• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENETAPAN HAK WASIAT WAJIBAH TERHADAP AHLI WARIS NON MUSLIM (STUDI PUTUSAN NO. 0141/PDT.P/2012/PA. SBY) TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENETAPAN HAK WASIAT WAJIBAH TERHADAP AHLI WARIS NON MUSLIM (STUDI PUTUSAN NO. 0141/PDT.P/2012/PA. SBY) TESIS."

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

MUHAMMAD HEKKI MIKHAIL 107011107/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD HEKKI MIKHAIL 107011107/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2013

(3)

Nomor Pokok : 107011107

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 28 Oktober 2013

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Hasballah Thain, MA, PhD

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum

3. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

(5)

Nama : MUHAMMAD HEKKI MIKHAIL

Nim : 107011107

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENETAPAN HAK WASIAT WAJIBAH TERHADAP AHLI WARIS

NON MUSLIM (STUDI PUTUSAN NO.

0141/PDT.P/2012/PA. SBY)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : MUHAMMAD HEKKI MIKHAIL

Nim : 107011107

(6)

i

sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup. Penelitian ini memiliki sifat analisis deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian dilapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung dengan penelitian lapangan.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu

data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif

agar dapat diperoleh kejelasan masalah yang akan dibahas. Hukum kewarisan adalah

hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa-siapa yang behak menjadi ahli waris dan menentukan

berapa bagian masing-masing ahli waris. Ahli waris adalah orang yang pada saat

seorang pewaris meninggal dunia, mempunyai hubungan darah atau hubungan

perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karean hukum untuk

menjadi ahli waris. Oleh sebab itu tentang non-Muslim tidak akan dapat menjadi ahli

waris dari seorang Muslim, para ulama sepakat bahwa hal itu dapat diterima dan

sejalan dengan ketentuan QS. Al-Maidah ayat 5 dan hadits Rasulullah Imam Ibnu

Qayyim. Secara etimologi, wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan,

menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang

lainnya. Secara terminologi wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain

baik berupa barang, piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi

wasiat sesudah orang yang berwasiat mati. Wasiat wajibah merupakan kebijakan

penguasa yang bersifat memaksa untuk memberikan wasiat kepada orang lain tertentu

dalam keadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukkan

kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari

orang yang wafat, karena ada halangan syara. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah

dalam pandangan Islam, ahli waris non muslim tidak mendapat warisan dari keluarga

muslim begitu juga sebaliknya ahli waris non muslim tidak dapat mewarisi dari

keluarga muslim hal ini sesuai dengan ketentuan Al Qur’an dan Hadis berdasarkan

atas hadis yang mengatakan bahwa muslim tidak bisa saling mewarisi dengan non

muslim yang tertuang dalam(QS. An-Nisa [4] : 11)“…Allah sekali-kali tidak akan

memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang

beriman”. (QS. An-Nisa [4]: 141).Hadis Rasul Allah s.a.w. Dari Usamah bin Zaid r.a.,

sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda: “Orang Muslim tidak (boleh) mewarisi orang

Kafir, dan orang Kafir tidak (boleh) mewarisi orang Muslim" (HR. Muttafaq Alaih).

(7)

ii

keturunan. Pandangan Mahkamah Agung terhadap Putusan PA.Sby No.

0140/Pdt.p/2012/PA. Sby bahwa anak yang murtad tetap tidak mendapat warisan dari orang tuanya yang muslim namun atas keadilan diberikan hak wasiat wajibah.Saran yang dapat diambil kesimpulan pada penelitian ini adalah dalam menjalankan syariat Islam secara keseluruhan memang sebagai umat Islam wajib menjalankan aturan yang berlaku sesuai Al qur’an dan Hadis sehingga tidak menjadi dualisme peraturan yang dijalankan dalam beragama.Untuk memberikan jalan keluar bagi mereka yang tidak memperoleh harta warisan memang secara manusiawi seharusnya diberikan wasiat atau pemberian yang nilainya tidak sama dengan bagian ahli waris.

Diharapkan kepada MA dimasa yang akan datang tetap mempertahankan nilai-nilai aqidah Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadis dalam memutuskan perkara sehingga bagi umat tetap pada rambu-rambu hukum Islam .

Kata Kunci: Hukum Waris Islam, Wasiat Wajibah, Ahli Waris Non Muslim

(8)

iii

was descriptive analytic which described, analyzed, and explained legal provisions, either in theory or in practice in the field. It used judicial normative method, a judicial study which used law as a system of norms. The data were gathered by using library research which was supported by field study. They were analyzed qualitatively - the gathered data were arranged systematically and analyzed qualitatively in order to obtain the clarity of the problems which were going to be analyzed. Law of inheritance is a law which regulates the transfer of

‘tirkah’ (abandonment of inheritance) of the testator, determines who will be the heirs, and determines the share of each heir. An heir is a person who has a blood relationship or marital relation with the testator, when the latter is dead, who is a Moslem, and has the right to be an heir. Therefore, a non-Moslem cannot be an heir of a Moslem, and the Islamic scholars agree on it since it is in line with QS, Al-Maidah: 5 and Hadist of the Prophet Muhammad, s.a.w. from Imam Ibnu Qayyim. Etymologically, a will can mean to make, to love, to order, or to relate something to another thing. Terminologically, a will as a gift from someone to someone else, whether it is a thing, loan, or benefit to be owned by the person who receives the gift after the giver had died. A ‘wajibah’ will is the authority’s policy which forces someone to bequeath someone else in a certain circumstance. It is a will intended to heirs or relatives who do not get the inheritance because of being forbidden by canon law.

The conclusion of the research was that in the Islamic law, a non-Moslem heir does not have the right to inherit from a Moslem, as it is stipulated in the Koran and Hadits which state that Moslems cannot bequeath non-Moslems (the Koran, an-Nisa: 11). It says, “Allah will never give a chance to a non-Moslem to destroy a believer (QS, an-Nisa [4]:141). The hadits of the Prophet Muhammad, s.a.w. from Usamah bin Zaid r.a., the Prophet Muhammad s.a.w. says,

“A Moslem cannot bequeath a non-Moslem, and Non-Moslem cannot bequeath a Moslem”

(HR. muttafaq alaih). From Abdullah bin Umar, r.a., he says, “The Prophet Muhammad s.a.w. says, “there is no bequeath between two (different) religious followers.” (HR. Ahmad, the four imams and Turmudzi). The basic reason of giving a ‘wajibah’ will to non-Moslem is analogized with giving ‘wajibah’ will to foster child/father, based on humanity and affection because of heredity relationship. The viewpoint of the Supreme Court on the Ruling of PA Sby No 0140/Pdt.p/2012/PA Sby states that apostate child does not get inheritance from his parents who are Moslems; but for the sake of justice, he can get ‘wajibah’ will. It is recommended that, in complying with the Islamic Law completely, Moslems should obey the tenets of the Koran and the Hadist so that there will no dualism in following the rules. For those who do not get inheritance, for the sake of humanity, should get the will although its share is less than that of the heir. The Supreme Court should maintain the values of Islamic aqidah which comes from the Koran and Hadits in giving verdicts so that the Moslems keep in line with the Islamic law.

Keywords: Law of Islamic Inheritance, Wajibah Will, Non-Moslem Heirs

(9)

iv

penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Magister Kenotariatan.

Penulisan tesis ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi pada program studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara, berkat rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENETAPAN HAK WASIAT WAJIBAH TERHADAP AHLI WARIS NON MUSLIM”(Studi Putusan No.

0141/Pdt.P/2012/PA.Sby) Pemilihan judul ini didasari oleh rasa ketertarikan penulis terhadap permasalahan terhadap analisis Hukum Islam tentang penetapan hak wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim.

Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa khususnya yang berada, di lingkungan pendidikan hukum. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

(10)

v petunjuk hingga selesainya penulisan tesis ini.

5. Prof. Dr. H. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Pembimbing Kedua yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.

6. Dr. Idha Aprilyana Sembiring., SH, M.Hum, selaku Pembimbing Ketiga yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.

7. Para Bapak/ Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.

8. Seluruh Staf Biro Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama ini.

9. Sahabat-sahabatku di Magister Kenotariatan dan seluruh kawan-kawan stambuk 2010.

10. Keluarga penulis tercinta, orang tua penulis yaitu Ayahanda RA.Setia Budi dan Ibunda Suryawati.

Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.

Medan, Oktober 2013 Penulis,

(Muhammad Hekki Mikhail)

(11)

vi

Tempat tangagal lahir : Medan, 11 Juni 1987

Alamat : Komplek Taman setia Budi II No.39 Medan Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Nama Orang Tua : a. Bapak : RA.Setia Budi b. Ibu : Suryawati

Latar Belakang Pendidikan:

a. SDN 1Banda Aceh (1993-1999) b. SMPN 1 Banda Aceh (1999-2002) c. SMU Harapan Medan (2002-2006)

d. S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara-Medan (2006-2010)

e. S2 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU (2010-2013)

(12)

vii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

DAFTAR PUTUSAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi... 18

G. Metode Penelitian... 19

1. Spesifikasi Penelitian ... 20

2. Metode Pendekatan ... 20

3. Teknik Pengumpulan Data... 21

4. Alat Pengumpulan Data ... 22

5. Analisis Data ... 22

BAB II DASAR-DASAR PENGATURAN WARISAN ANTARA SEORANG MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM HUKUM ISLAM ... 24

A. Pembagian Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam... 24

(13)

viii

KELUARGA NON MUSLIM ... 65

A. Pandangan Islam Tentang Wasiat ... 65

B. Hukum-Hukum Pemberian Wasiat ... 69

C. Unsur-Unsur Dalam Pemberian Wasiat ... 70

D. Pengertian Wasiat Wajibah ... 77

E. Wasiat Wajibah Bagi Pewaris Non Muslim... 81

F. Pandangan Islam Terhadap Pembagian Harta Bagi Non Muslim ... 86

BAB IV PANDANGAN PENGADILAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN No.0140/Pdt.P/2012/PA. Sby ... 95

A. Analisa Putusan Pengadilan Agama surabaya No. 0140/Pdt.P/2012/PA. Sby ... 95

B. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Medan Tentang Putusan No. 0140/Pdt.P/2012/PA. Sby... 113

C. Pandangan Kompilasi Hukum Islam Tentang Putusan Pengadilan Agama No. 0140/Pdt.P/2012/PA. Sby ... 116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran... 123

DAFTAR PUSTAKA ... 124

(14)

ix

KHYI : Kompilasi Hukum Islam

Curator : Orang yang mengurus dan membereskan prihal harta Curandus : Orang yang dibawah pengampuan

PP : Peraturan Pemerintah

MUI : Majelis Ulama Islam

RUU : Rancangan Undang-Undang

MUNAS : Musawarah Nasional

MA : Mahkamah Agung

(15)

x

Sunnahtullah = hukum allah yang di sampaikan untuk manusia melalui para rasul

Muamalat = hukum syariat yang bersangkutan dengan urusan dunia

Hablum min allah = perjanjian dari allah SWT

Hablum minannas = perjanjian kaum mukmin untuk hidup dari kalangan minoritas non muslim

Faraidh = cara peralihan hak seseorang meninggal dunia kepada orang masih hidup

Tirkah = hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta peninggalan

Ijbari = peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli waris berlaku sendiri nya menurut ketetapan allah swt tanpa di gantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris.

Bilateral = perjanjian kerja sama dua negara

Individual = hubungan dengan manusia secara pribadi Qarabah = hubungan kekerabatan ahli waris

Hadits = perkataan perbuatan atau ketetapan dari nabi Muhammad SAW

Qiyas = analogi

Muhrim = orang yang melakukan ihram

Wasiat = pemberian kepemilikan yang di lakukan seseorang

untuk orang lain ketika si pemberi meninggal dunia

(16)

xi

Hukum islam = aturan berdasarkan hukum islam

Waris = merupakan peninggalan

Hukum waris = ketentuan terhadap pembagian warisan

Hukum waris islam = ketentuan terhadap pembagian warisan secara islam Wasiat wajibah = pemberian terhadap yang bukan ahli waris

Ahli waris = penerima warisan

Muslim = subjek yang beragama islam

Non muslim = objek yang bukan agama islam Musyrik = orang yang menyekutukan allah SWT

Dalil = sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang di kehendaki

Batil = rusak atau tidak berguna

Mazhab = metode yang di bentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian di bangun atas prinsip dan kaidah- kaidah

Kafir = non muslim

(17)

xii

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Segi kehidupan manusia tidak terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk hidup terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut Allah menciptakan dalam diri setiap manusia tiga nafsu, yaitu: nafsu amarah, nafsu lawamah dan nafsu mutmainnah, nafsu makan dan nafsu syahwat masuk dalam nafsu amarah dan nafsu lawamah. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup dan karena itu setiap manusia memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan dan untuk itu setiap manusia memerlukan lawan jenisnya untuk menyalurkan nafsu syahwatnya itu. Sebagai makhluk berakal manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya itu. Sebagai makhluk beragama manusia memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan menyempurnakan agamanya itu inilah masuk dalam nafsu mutmainnah

1

.

Dengan demikian terdapat lima hal yang merupakan syarat bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Karena hal ini disebut dengan

1

M. Toha, 2001, Imam Ghazali, Pustaka Maju, Tangerang, hal 76.

(19)

danifiyatal-khamsa (lima kebutuhan dasar) pada diri setiap manusia.

Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatullah. namun, dalam ayat 53 surah Yusuf, Allah SWT menerangkan bahwa nafsu itu sendiri cenderung ke arah keburukan. Nafsu yang tidak dikontrol dan dikendalikan dapat menimbulkan pertumpahan darah di atas permukaan bumi ini, sebagaimana yang dirisaukan oleh para malaikat. Maka, untuk tujuan itulah berbagai aturan bernama hukum yang ditetapkan Allah SWT.

Segi kehidupan manusia yang diatur Allah SWT tersebut dapat dikelompokkan kepada dua kelompok. Pertama: hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut hukum ibadah.Tujuannya untuk menjaga hubungan atau tali antara Allah SWT dengan hamba-Nya yang disebut juga hablum min Allah. Kedua: berkaitan dengan hubungan antar manusia dan alam sekitarnya. Aturan tentang hal ini di sebut hukum muamalat. Tujuannya menjaga hubungan antara manusia, dan alamnya atau yang disebut hablum minannas. Kedua hubungan itu harus tetap terpelihara, agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan dan kemarahan Allah yang dinyatakan Allah dalam surah Ali Imran ayat 112 yang artinya:

”Mereka diliputi kehinaan di mana berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali(agama) Allah SWT dan (tali) perjanjian dengan manusia dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari allah SWT dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”.(QS.3:112).

Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan

(20)

Allah adalah aturan tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari suatu kematian, harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal memerlukan pengaturan tentang; siapa, yang berhak memahaminya, jumlahnya dan bagaimana cara mewarisinya.

Aturan tentang warisan tersebut ditetapkan Allah melalui firmanNya yang terdapat dalam Al-qur’an, pada dasarnya ketentuan Allah berkenaan dengan kewarisan jelas maksud dan arahnya. Berbagai hal yang masih memerlukan penjelasan, baik yang bersifat menegaskan yang merinci disampaikan Rasulullah SAW melalui haditsnya.

Bagi umat Islam Indonesia, aturan Allah tentang kewarisan telah menjadi hukum positif yang dipergunakan dalam Pengadilan Agama dalam memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan berkenaan dengan harta waris tersebut.

Hukum berkaitan dengan masyarakat

2

, hukum dipengaruhi filsafat dan nilai-nilai

3

. dengan demikian maka umat Islam yang telah melaksanakan hukum Allah itu dalam penyelesaian harta warisan, di samping telah melaksanakan ibadat dengan melaksanakan aturan Allah tersebut, dalam waktu yang sama, telah patuh kepada, aturan yang telah ditetapkan negara.

Hukum kewarisan dalam Islam yang tergambar dari dasar dan sumber hukum kewarisan Islam itu serta berbagai prinsip dasar dari kewarisan Islam dalam wacana;

diteruskan dengan Hukum Kewarisan Islam sebagai ajaran dan diakhiri dengan

2

Al-Raghib al- Isfahani, Mu’jam Mufradat alfazh alqur’an(Beirut: Sar al-Fikr,t,t), hlm. 126.

3

M. Rasayid 1984, living in Philosopy, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 119.

(21)

penerapan hukum tersebut di Indonesia. Dalam istilah arab disebut Faraidh

4

. Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefenisikan : “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris”.

Warisan menurut sebagian besar ahli hukum Islam ialah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berapa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.

5

Allah SWT memerintahkan agar setiap orang yang beriman mengikut, ketentuan-ketentuan Allah menyangkut hukum kewarisan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al-qur'an dan menjanjikan siksa neraka bagi orang yang melanggar peraturan ini.

6

Dalam Al-qur'an Surah An-Nisa ayat 13 dan 14, Allah berfirman :

Artinya : hukum-hukum tersebut adalah ketentuan-ketentuan dari Allah, barang siapa yang taat pada (hukum-hukum) Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka (akan) kekal didalamnya. Dan yang demikian tersebut merupakan kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, serta melanggar ketentuan (hukum-

4

Pandangan Idris Djakfar dan Taufik Yahya mendefinisikan bahwa hukum kewarisan ialah seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-qur’an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, Idris Djakfar dan Taufik Yahya, 1995, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : PT. Dania Pustaka Jaya), hal. 3-4.

5

Masjfuk Zuhdi, 1993, Studi Islam, Jilid III, (Jakarta : PT. Raja Grafindo), hal. 57.

6

Mahmud Yunus, 1989, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung),

hal.5

(22)

hukum) Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan mereka akan kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang amat menghinakan.

7

Ayat tersebut merupakan ayat yang mengiringi hukum-hukum Allah menyangkut penentuan para ahli waris, tahapan pembagian warisan serta bagian masing-masing ahli waris, yang menekankan kewajiban melaksanakan pembagian warisan sebagaimana yang telah ditentukan Allah yang disertai ancaman bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Sebaliknya bagi hamba yang mengikuti ketentuan- Nya, Allah menjanjikan surga. Rasulullah SAW, bersabda yang artinya : “barang siapa yang tidak menerapkan hukum waris yang telah diatur Allah SWT, maka ia tidak akan mendapat warisan surga (muttafak alaih)”

8

.

Dalam tradisi arab pra Islam, hukum yang diberlakukan menyangkut ahli waris mereka menetapkan bahwa wanita dan anak-anak tidak memperoleh bagian warisan dengan alasan mereka tidak atau belum dapat berperang guna mempertahankan diri, suku atau kelompoknya.

9

Oleh karena itu yang berhak mewarisi adalah laki-laki yang berfisik kuat dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.

10

Konsekwensinya perempuan, anak- anak dan orang tua renta tidak berhak mewarisi harta peninggalan kerabatnya.

Islam datang membawa panji keadilan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan, anak-anak, orang dewasa, orang tua renta, suami, isteri, saudara laki-laki

7

Al-Quran, Surah An-Nisa, ayat 13 dan 14.

8

Op.Cit Masjfuk Zuhdi, 1993, Studi Islam, Jilid III, (Jakarta : PT. Raja Grafindo), hal. 58.

9

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, (Surabaya : Mutiara llmu), hal. 15.

10

Ahmad Rofik, 1998, Fiqh Mawaris, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada) hal. 6.

(23)

dan saudara perempuan sesuai tingkatan masing-masing. Dari ketentuan dalam hukum kewarisan Islam, setidaknya ada lima azas sebagai sesuatu yang dianggap menyifati hukum kewarisan Islam, yaitu bersifat Ijbari, bilateral, individual, keadilan yang berimbang dan akibat kematian,

11

sedang Hukum Waris masuk dalam buku II Hukum Perdata Barat

12

.

Peraturan tentang Perkawinan yang bersifat Nasional, dalam arti berlaku untuk seluruh golongan masyarakat bangsa Indonesia dan berlaku untuk seluruh wilayah negara Indonesia.

13

Cita-cita tersebut seringkali disebut cita-cita akan unificatie Peraturan Perkawinan dan cita-cita tersebut telah diwujudkan dalam Undang-Undang No. 1/1974 (beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya) yang dinamakan Undang-undang Perkawinan

14

, yang telah mendapat pengesahan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, dimuat dalm Lembaran Negara No. 1 tahun 1974. Karena itu orang seringkali menyebutnya Undang-Undang No. 1/1974 atau Undang-Undang Perkawinan (UUP).

11

Amir Syarifuddin, 1984, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat/Minangkabau, (PT. Gunung Agung), hal. 24

12

Ali Afandi, 1997, Hukum Waris Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.9

13

Di dalam Pertimbangan atas dikeluarkannya Undang-Undang No. 1/1974 dikatakan

”....perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang Berlaku bagi Semua Warga Negara Indonesia”

14

Mengenai apakah benar telah tercapai unificatie, silahkan lihat Prof.Dr. Hazairin dalam

“Tijauan mengenai Undang-undang nomor 1/1974 sebagai dicitir oleh K. Wantjik Saleh, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia, cetakan kedua tahun 1978, hal 3 menyatakan ”....Unificatie dalam Undang-undang Perkawinan adalah unificatie yang unik, dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber ke Tuhanan Yang Maha Esa” : Ada pula yang menyebut ”unificatie tanpa meninggalkan ke masyarakat”, vide Retno Wulan Sutantio, SH sebagai dicitir oleh T.H. Liem dalam ”Perkembangan kedudukan hukum wanita Belanda sekadar perbandingan dengan perkembangannya di Indoensia”, Kompas 14 Desember 1980. Surat MA No.

MA/Pemb/0807/75 pada sub 1 menyatakan Undang-Undang No. 1/1974 sebagai Undang-undangNo.

1/1974 sebagai Undang-Undang Perkawinan Nasional bermaksud mengadakan unificatie dalam bidang

Hukum Perkawinan tanpa menghilangkan ke Bhinekaan (nuances) yang masih harus dipertahankan

karena masih berlakunya hukum perdata positip yang beraneka ragam dalam masyarakat.

(24)

Sekalipun judul resminya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi kalau kita simak isi undang-undang tersebut, maka akan ternyata, bahwa di dalamnya tidak hanya diatur tentang perkawinan saja, seperti :

a. Putusnya Perkawinan dan lain-lain (Pasal 38 s/d 41), tetapi juga mengatur tentang akibat-akibat perkawinan seperti :

1) Hak dan kewajiban suami istri di dalam perkawinan (Pasal 30 s/d 34) 2) Harta benda di dalam perkawinan (Pasal 35 s/d 37) dan bahkan

didalamnya diatur pula tentang :

- Hubungan antara orang tua dan anak (Pasal 45 s/d 49);

- Hubungan antara anak dan yang dibawah perwalian/dengan wali (Pasal 50 s/d 54)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1/1974) berisi ketentuan-ketentuan tentang Hukum Keluarga.

15

Hubungan hukum yang muncul dari hubungan kekeluargaan meliputi antara lain :

a. Perkawinan, dalam mana termasuk hubungan hukum kekayaan antara suami istri.

b. Hubungan orang tua dan anak

c. Hubungan wali dan anak yang dibawah perwaliannya d. Hubungan curator dan curandus

16

.

15

L.J. Apeldoorn, Incleiding tot de studie van het Nederlandse Recht”, Cetakan XI, Tjeenk

Willink, Zwolle, th. 1952, dalam Jimly Asshidieqy, hal. 171 mengatakan : ”Hukum Keluarga adalah

hukum yang mengatur hubungan yang muncul dari hubungan kekeluargaan.”

(25)

Seperti pada pasal 35 s/d 37 UU No 1 thn 1974 tentang harta bersama dan bawaan memberikan solusi bagi istri non muslim. Menurut R. Subekti

17

, memberikan perumusan yang kurang lebih sam, dan juga dengan tegas mengatakan, bahwa Hukum Keluarga meliputi juga hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri.

Hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum kekayaannya dan hukum harta perkawinan tidak lain merupakan hukum kekayaan keluarga.

18

Orang-orang Arab di masa jahiliyah telah mengenal sistem waris sebagai sebab berpindahnya kepemilikan, yang dapat dilakukannya berdasarkan dua sebab atau alasan, yakni garis keturunan atau nasab dan sebab atau alasan tertentu, yaitu :

1. Berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan (qarabah).

19

Adalah warisan yang diturunkan kepada anak lelaki yang dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang kuda, bertempur dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan terdekat, seperti saudara laki-laki, paman, dan lainnya.

20

Dengan demikian maka semua ahli waris terdiri dari kaum

16

Ibid.

17

R. Subekti, 1983, “Pokok-pokok Hukum Perdata”, (PT. Intermasa, Cetakan ke XVII), hlm.

16

18

J.G. Karlsen, J. Eggens, J.M. Polak, 1956, ”Huwelijkgoederen en Erfrecht”, (cetakan kedelapan, Tjeenk Willink, Zwolle),Oleh R.Subekti hal. 3

19

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, 2004, Ahkamul-Mawaarils fil-Fighil- Islami, Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan Faturrahman, Hukum Waris, (Jakarta : Senayan Abadi Publishing), hal.2.

20

Ibid

(26)

laki-laki.

21

Muhammad Yusuf Musa mengutip pendapat Jawwad yang mengatakan bahwa :

Riwayat-riwayat yang menerangkan pusaka orang perempuan dan istri masyarakat jahiliyah itu bertentangan satu sama lain. Tetapi dari kebanyakan riwayat-riwayat tersebut menjelaskan bahwa mereka tidak dapat mempusakai sama sekali. Namun ada juga beberapa riwayat yang dapat difahamkan bahwa orang-orang perempuan dan istri-istri itu dapat mempusakai harta peninggalan kerabatnya dan suaminya dan tradisi yang melarang kaum wanita mempusakai harta peninggalan ahli warisnya tidak merata pada seluruh kabilah, tetapi hanya khusus pada beberapa kabilah, terutama banyak dilakukan orang-orang hijaz saja. Seterusnya beliau juga menerangkan suatu riwayat yang menerangkan bahwa orang yang pertama-tama membenkan pusaka kepada anak-anak perempuan jahiliyah ialah Dzul-Masajid 'An-dr bin Jusyam bin Ghunm bin Habib. la mempusakakan harta peninggalannya kepada anak- anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk yang laki-laki diberi dua kali lipat bagian anak perempuan. Disamping itu beliau juga menerangkan bahwa seorang anak yang diadopsi oleh seseorang berstatus sebagai anak kandungnya sendiri dan anak diluar perkawinan (anak zina) – pun dinasabkan kepada ayah mereka sehingga mereka mempunyai hak mempusakai penuh.

22

2. Sebab atau alasan tertentu, yaitu :

23

a. Berdasarkan Janji setia

Yaitu dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan : “Darahku adalah darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku berarti aku menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi hartamu.”

24

Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini bila salah seorang meninggal dunia, pihak lain berhak mempusakai harta peninggalan yang mendahuluinya sebanyak seper-enam. Sisa harta setelah dikurang seper-enam

21

Fatchur Rahman, 1975, Ilmu Waris, (Bandung : Penerbit PT. Al-Ma'arif), hal 13.

22

Muhammad Yusuf Musa, At-Tirkah wal-Mirats fil 'I-Islam, Darul-Ma'rifah, Kairo, t.t., hlm.

15, dalam Fatchur Rahman, Loc Cit.

23

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Loc Cit.

24

Abu Abdillah Muhammad Al-Qurthuby, AI-Jami' liahkamil Qur'an, Darul Lutubil

Mishriyah, Kairo, t.t., hal. 166, dalam Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Loc Cit.

(27)

dibagi-bagikan kepada ahli waris orang yang meninggal.

25

Mengenai hal ini juga dibenarkan oleh Al-Qur'an berdasarkan firman Allah pada Q.S. An-Nisa ayat 33, yang artinya :

“Bagi setiap harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat-kerabat, Kami adakan pewaris-pewarisnya. Dan (Jika ada) orang-orang yang berjanji setia dengan kamu berikanlah kepada mereka

... “

26

Tentang non-muslim tidak dapat menjadi ahli waris dari seorang Muslim, maka ulama sepakat bahwa hal itu dapat diterima dan sejalan dengan ketentuan QS.

Al-Maidah ayat 5 yaitu diperbolehkan bagi laki-laki Muslim mengawini wanita Ahli Kitab, akan tetapi tidak diperbolehkan bagi laki-laki dari kalangan Ahli Kitab menikahi Muslimah dan hadits Rasulullah di atas. Akan tetapi dalam permasalahan seorang muslim yang menajadi ahli waris dari seorang non-muslim, maka dalam hal ini ulama terbagi menjadi dua pendapat, yaitu :

1. Seorang muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi pewaris yang berstatus non-muslim atau murtad, begitu pula sebaliknya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, diantaranya para sahabat Rasulullah SAW, dari kalangan Utsman Bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para sahabat yang lain. Adapun dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Amru bin Utsman, Urwah, Al-Zuhri, Atha’Thaawus, Al-Hasan, Umar bin Abdul Al-’Aziz.

Begitu juga dengan Al-Tsauri, Abu Hanifah dan para sahabatnya, Malik, Al-Syafi’i, Ahmad Bin Hambal, dan mayoritas para fuqaha’ yang lain.

27

Landasannya hadits Rasulullah SAW, diriwayatkan Usmah Bin Zaid ra :

”Seorang muslim tidak menerima warisan dari orang kafir dan orang

25

Fatchur Rahman, Op Cit, hal 14.

26

Departemen Agama RI, 1996, Al Qur'an Al Karim dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Karya Putra Toha), hal. 66.

27

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, al-Syarh al-Kabir, (Beirut : Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyah, t.th) juz VIII hal. 495

(28)

kafir tidak menerima warisan dari orang muslim.

28

2. Seorang muslim menjadi ahli waris bagi non-muslim. Sebaliknya, seorang non-muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi seorang muslim. Ini merupakan pendapat sebagian ulama diantaranya Mu’awiyah, Mu’adz Bin Jabal, Abu Darda’, Sa’id Bin Musayyib, ”Ali Bin Husein, Ibnu Hanifah (Muhammad Bin Al-Hanafiyah), Musruq Al-Nakha’i, Al-Sya’bi, Yahya Bin Ya’mar, dan Ishaq.

29

Akan tetapi pendapat ini tidak bisa disandarkan kepada mereka sepenuhnya, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, bahwa mereka Imam Ahmad mengatakan, ”Tidak ada perbedaan (pendapat) diantara manusia (ulama) bahwa seorang muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi orang kafir.

30

Adapun yang menjadi dalil mereka adalah : a. Hadits Rasulullah SAW :

”Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi (darinya)”.

31

Sehingga pada akhirnya seorang muslim tersebut mewarisi harta benda saudaranya yang beragam Yahudi.

32

3. Diriwayatkan dari Umar, Mu’adz dan Mu’awiyah ra, bahwasanya seorang muslim dapat mewarisi (harta benda) orang kafir, akan tetapi orang kafir tidak dapat mewarisi seorang muslim.

33

4. Qiyas (analogi) mereka kepada ketentuan hukum yang terdapat dalam QS, Al-Maidah ayat ke-5, yaitu diperbolehkan bagi laki-laki mengawini wanita Ahli Kitab, akan tetapi tidak diperbolehkan bagi laki-laki dari kalangan Ahli Kitab menikahi muslimah. Maka dengan dalil ayat ini, mereka berpendapat kalau seorang laki-laki muslim diperbolehkan mengawini

28

Mhd. Rifai, Fiqih Islam, PT. Karya Toha Putra, Semarang, Tanpa Tahun, hal. 516

29

Al-Nawawi, Al-Majmu, Juz XVII, hal. 190

30

Ibnu Qudamah, Op.Cit

31

HR. Al-Daa Quthi, dalam : Nikah, Bab : Mahar, (Hadist No. 3578)

32

HR. Al-Thabrani, dalam : Al-Hu Jam Al-Kabiir, (201162), Hadist No. 338

33

Ibnu Qudamah, Op.Cit, Jilid VIII, hal. 496

(29)

wanita ahli kitab, maka seorang muslim juga dapat menjadi ahli waris dari seorang pewaris non-muslim dari kalangan ahli kitab.

34

Imam An-Nawawi ra., mengatakan bahwa pendapat yang rajih dari kedua pendapat diatas adalah jumhur ulama.

35

Hal ini ada beberapa sebab, yaitu :

1. Dalil yang digunakan oleh kalangan yang mengatakan bahwa seorang muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi ahli kitab adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

36

2. Adapun hadis ”Islam itu bertambah tidak berkurang” tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk memperbolehkan seorang muslim menjadi ahli waris bagi ahli kitab karena maksud hadits ini sebagaimana yang dijelaskan Imam An- Nawawi ra., adalah keutamaan Islam atas yang lain, dan hal ini tidak ada kaitannya dengan masalah warisan. Sedangkan Imam Ibnu Qudamah ra., menjelaskan hadis tersebut maksudnya bahwa Islam ini akan bertambah dengan adanya orang yang masuk Islam dan dengan adanya perluasan wilayah. Dan Islam tidak akan berkurang karena orang yang murtad lebih sedikit dibanding dengan orang yang masuk Islam.

37

Kemungkinan hadis

”tidak menerima warisan muslim dari kafir” belum sampai kepada kalangan yang berpendapat bahwa seorang muslim bisa menjadi ahli waris bagi ahli kitab. Demikian yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi ra.

38

, perlu diketahui bahwa mayoritas ulama tidak menggunakan penafsiran analogi/qiyas, sebab dalam hal waris mewarisi terdapat dalil dari sunnah yang kuat yang sama sekali bertentangan dengan analogi/qiyas. Dan qiyas yang bertentangan dengan nash yang shahih, maka qiyas ini batal.

39

Disamping itu, pendapat yang kedua dianut oleh para khalifah semenjak Mu’awiyah ra, menjadi penguasa, dan berakhir sampai berkuasanya khalifah Umar bin Abdul Aziz, ra, maka mulai saat itu beliau mengembalikan masalah tersebut dengan merujuk kepada ajaran sunnah yang pertama kali.

40

Dari Usamah Bin Zaid, bahwasanya nabi SAW telah bersabda :”muslim tidak

34

Ibid, lihat pula : Al-Nawawi, Al-Ujmu, Juz XVII, hal. 190

35

Al-Nawawi, Syarat Shahih Muslim, Juz XI, hal. 54 dan Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim At-Mubarakfuri, Op.Cit, Juz V, hal. 617.

36

Ibnu Qudamah, Op. Cit, Jilid VIII, hal. 496

37

Ibnu Qudamah, Op. Cit

38

Al-Nawawi, Op. Cit

39

Dr. Abdul Karim Zaidan

40

Muhammad Nafi,/25-12-2010/pa-barabai-ptabanjarmasin.go.ic/WARISAN BALI NON

MUSLIM DAN MURTAD

(30)

mewarisi kafir, dan kafir tidak mewarisi muslim.

41

Sehingga istri atau anak non muslim tidak berhak mewarisi namun putusan pengadilan memberikan kepada keluarga yang non muslim hak wasiat wajibah.

Dalam hal mengenai pembagian warisan dalam hukum Islam terhadap istri yang non-muslim, maka berdasarkan latar belakang diatas, maka tesis ini akan membahas tentang “ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PENETAPAN HAK WASIAT WAJIBAH TERHADAP AHLI WARIS NON MUSLIM” (Studi Putusan PA No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby).

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan di bahas di rumuskan sebagai berikut :

1. Kenapa ahli waris non muslim tidak mendapat warisan dari keluarga yang muslim?

2. Apa yang menjadi dasar pemberian wasiat wajibah kepada keluarga non muslim?

3. Bagaimanakah pandangan Pengadilan Agama terhadap Putusan PA No.

0140/Pdt.P/2012/PA.Sby?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

41

Al-Bukhari , Shahih al-Bukhari, (Mesir : Dar al-Fikr, 1981), Juz III, hal.5

(31)

1. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris non muslim terhadap harta warisan dari keluarga yang muslim.

2. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim.

3. Untuk mengetahui pandangan Pengadilan Agama terhadap Putusan PA No. 0140/Pdt.P/2012/PA.Sby.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum islam, hukum Perkawinan dan studi notariat yang berhubungan dengan pengaturan-pengaturan warisan serta solusi terhadap ahli waris yang tidak mendapatkan warisan sesuai Al-qur’an, Hadist, Ijma’, Kompilasi Hukum Islam.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai warisan status istri non muslim dan juga memberikan upaya-upaya apa saja yang dilakukan oleh pihak dalam hal ahli waris tidak mendapatkan warisan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi

dan dari penelusuran di Kepustakaan Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera

Utara, bahwa penelitian dengan judul “ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG

(32)

PENETAPAN HAK WASIAT WAJIBAH TERHADAP AHLI WARIS NON MUSLIM” (Studi Putusan PA No. 0141/Pdt.P/2012/PA.Sby). belum pernah dilakukan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Pendapat Gorys Keraf tentang definisi teori adalah

42

: “Asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada”. Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori

43

. Menurut Soerjono Soekanto, teori

44

adalah suatu sistim yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya untuk menjelaskan aneka macam gejala sosial yang dihadapinya dan memberikan pengarahan pada aktifitas penelitian yang dijalankan serta memberikan taraf pemahaman tertentu.

Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research menjelaskan teori

45

: “Suatu teori adalah seperangkat konsep, batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antarvariabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut”.Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.

46

Teori yang dipergunakan adalah teori keadilan yaitu keadilan melalui wahyu Allah SWT, secara filsafat hukum Islam keadilan ilahiyah adalah dialektika muktazilah dan asy’ariah, gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya

42

Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press), hal.6.

43

Ibid, hal 6.

44

Ibid,.hal. 13

45

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, op. cit. hal.133

46

M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju), hal. 80.

(33)

manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah)., sedang hukum produk manusia yaitu perubahan masyarakat harus diikuti dengan perubahan hukum.

47

Tesis dasar mu’tazilah manusia sebagai yang bebas bertanggung jawab dihadapan allah secara adil selanjutmya baik dan buruk dapat diketahui melalui nalar berdasarkan wahyu.Tesis pokok mereka bahwa keadilan bergantung pada pengetahuan obyektif tentang kebaikan dan keburukan, kaum mu’tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian menegakkan obyektivisme rasionalis.

48

Kaum mu’tazilah mendapat tantangan dari kaum asy’ariah yang menentang bahwa gagasan akal merupakan otonomi pengetahuan etika. Mereka menyebutkan bahwa baik dan buruk itu datangnya dari Allah, konsep asyariah ini tentang pengetahuan etika dikenal sebagai subyektivisme teistis, bahwa semua nilai-nilai etika tergantung pada ketetapan-ketetapan berdasarkan wahyu.

Kedua pandangan teologis tersebut menyatakan bahwa kaum mu’tazilah berpendapat dimana manusia sebagai mahluk yang bertanggung jawab dalam menentukan terhadap kehendak nalarnya berdasarkan wahyu, sedangkan asy’ariah bahwa manusia sebagai mahluk yang menjalan etika naluri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu (umat religius) Kami berikan aturan dan jalan (tingkah laku). Apabila Allah menghendaki, niscaya kamu

47

Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum dan Masyarakat, (Bandung : Angkasa),hal, 102.

48

Mumtaz Ahmad (ed),Masalah-Masalah Politik Islam, Bandung Mizan, 1994,hal.154-155.

(34)

dijadikan-Nya satu umat (berdasarkan pada aturan dan jalan itu), tetapi, (ia tidak melakukan demikian). Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian- Nya kepadamu. Oleh karena itu, berlomba-lombalah (yaitu, bersaing satu samalain) dalam berbuat baik. Karena Allah-lah kamu semua akan kembali, lalu Ia akan memberitahukan kepadamu (kebenaran) mengenai apa yang kamu perselisihkan itu.”

49

Terhadap suatu asumsi yang jelas dalam ayat ini bahwa semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan tertentu, yang diakui secara obyektif, tak soal dengan perbedaan keyakinan-keyakinan religius. Cukup menarik, manusia yang idael disebutkan sebagai menggabungkan kebajikan moral tersebut dengan kepasrahan religius yang sempurna. Bahkan,

“barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”.

50

Jelaslah, disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan antara keadilan obyektif dan teistis, dimana keadilan obyektif diperkuat lagi oleh tindakan- religius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif universal, manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk akal untuk mengatakan bahwa Al-Quran menunjukkan sesuatu yang sama dengan pemikiran barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan positif dalam masyarakat yang berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi. Karena Al-

49

Al-Qur’an surah Al-maidah: 48

50

Al-Qur’an surah Al-Baqoroh: 112

(35)

Quran mengakui keadilan teitis dan obyektif, maka mungkin untuk mengistilahkannya keadilan natural dalam arti yang dipakai oleh Aristoteles – yaitu, suatu produk dari kekuatan natural bukan dari kekuatan sosial.

2. Konsepsi

Konsep berasal dari Bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.

51

Didalam melakukan suatu penelitian diperlukan suatu konsepsi yang masuk didalam pemikiran dan tepat sasaran.

Konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit yang disebut dengan operational definition. Pentingnya definisi operasional tersebut adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius), dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut. Analisis hukum adalah merupakan hasil dari evaluasi akan peraturan hukum yang berlaku.

a. Analisis adalah suatu analisa terhadap suatu objek.

b. Analisis Hukum adalah suatu analisa dalam sudut pandang hukum.

51

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, 2000, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah,

(Jakarta : Bumi Aksara), hal. 122.

(36)

c. Hukum adalah suatu aturan-aturan yang mengikat terhadap yang berkaitan atasnya.

d. Hukum Islam adalah merupakan aturan yang berdasarkan hukum Islam.

e. Waris adalah merupakan peninggalan.

f. Hukum Waris adalah ketentuan terhadap pembagian warisan.

g. Hukum waris Islam adalah ketentuan terhadap pembagian warisan secara Islam.

h. Penetapan Hak adalah ketentuan atas ketetapan hak

i. Wasiat wajibah merupakan pemberian terhadap yang bukan ahli waris.

j. Ahli Waris adalah penerima warisan

k. Muslimadalah merupakan subjek yang beragama Islam.

l. Non muslim adalah objek yang bkan beragama Islam.

G. Metode Penelitian

Agar penelitian tersebut memenuhi syarat keilmuan, maka diperlukan pedoman yang disebut metode penelitian. Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yaitu dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian.

52

Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan- kemungkinan, sebagai berikut

53

:

52

Kartini Kartono, 1986, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung: Alumni),hal.15-16.

53

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, op. cit, hal. 5.

(37)

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Adapun metode yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain : 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini memiliki sifat analisis deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian dilapangan

54

. Sehingga penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang, berikut segala permasalahan yang akan timbul. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan.

2. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).

Penelitian hukum normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan “justifikasi” preskriptif tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem

54

Ibid, hal. 63

(38)

kaidah atau aturan, sehingga penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum.

Jadi penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum tentang analisis hukum terhadap hak waris istri non muslim .

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung dengan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

55

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain : 1) Al Qur’an

2) Hadis 3) Ijma’

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

5) Kompilasi Hukum Islam berlakunya sesuai INPRES No 1 tahun 1991.

6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

7) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

8) Kompilasi Hukum Islam.

55

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta : Rajawali Press), hal. 39.

(39)

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang terkait dengan masalah penelitian.

c. Bahan tertier adalah bahan pendukung diluar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan masalah penelitian.

4. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :

a. Studi Dokumen yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, berupa dokumen-dokumen maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Wawancara (interview) adalah sekumpulan pertanyaan (tersusun dan bebas) yang diajukan dalam situasi atau keadaan tatap muka atau langsung berhadapan dan catatan lapangan diperlukan untuk menginventarisir hal-hal baru yang terdapat dilapangan yang ada kaitannya dengan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan, dilakukan terhadap Ketua PA Medan.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif agar dapat diperoleh kejelasan masalah yang akan dibahas.

Pengertian analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan

penginterpretasian secara logis dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara

(40)

berfikir deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah.

Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

56

56

H.B. Sutopo, 1998, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif, Bagian II, (Surabaya : UNS

Press),

(41)

BAB II

DASAR-DASAR PENGATURAN WARISAN ANTARA SEORANG MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DALAM HUKUM ISLAM

A. Pembagian Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam

Harta benda adalah segala sesuatu yang sangat disenangi setiap orang sehingga selalu diupayakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sesuatu itu bisa berbentuk barang-barang, uang dan sebagainya, yang menjadi kekayaan.

57

Harta adalah sesuatu yang disenangi naluri dan dapat disimpan untuk waktu yang diperlukan serta dapat diserahkan dan dapat dihalangi seseorang dalam mempergunakan atau menikmatinya.

58

Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu “warasa-yarisu” yang berarti berpindah harta seorang fulan kepada seseorang yang telah meninggal.

59

Sedangkan Al-mirats menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syari’i.

60

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris. Ahli waris adalah orang yang pada saat seorang pewaris meninggal dunia, mempunyai

57

WJS. Poerdawinio, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai Pustaka, 1983, hal.

257

58

Salam Madkur, Al-Fiqh Al-Islami, Juz II, Mesir : Abdullah Wahbah, 1995, hal. 157

59

Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Luqah wa Al-A’lam, Beirut, Alkasulukiyah, 1986, hal. 895

60

M. Ali As-Sabuni, Pembagian Waris menurut Islam, Penerjemah A.M. Basamalah),

Jakarta, Gema Insani Press, 1995, hal. 33.

(42)

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

61

Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya yaitu: wajib, sunat, haram dan mubah. Di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti, sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti.

Hal yang demikian itu tidak berarti Allah SWT dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sangat tinggi atau tepat dan merupakan rahmat bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetapkan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkembangan kemajuannya.

62

Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadapi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al- Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-

61

Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004, hal. 57

62

Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah

Al-Arabiyah, 1960, hal. 211-212. Dan untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu

hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975,

hal. 380-404

(43)

macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagian masing-masing. Waris adalah harta peninggalan setelah hak-hak yang wajib

63

Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan.

Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka. Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan. Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak.

Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :

1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan

2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.

Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum

63

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 1997, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra,

Semarang, hal.55.

(44)

Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al- Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al- Qur’an, Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat.

Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al- Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya. Salah satu aspek yang mendapat sorotan utama dalam Islam adalah masalah kewarisan (farâidh).

Hukum kewarisan bersifat wajib bagi setiap muslim, sehingga tidak dapat diubah oleh siapa pun dan berlaku dengan sendirinya, tanpa ada usaha dari orang yang akan meninggal (pewaris) atau kehendak dari orang yang akan menerima (ahli waris) yang dikenal dengan asas ijbari.

64

Pada dasarnya hukum waris Islam mengandung asas-asas sebagai berikut:

1. Asas Ijbari, ialah peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur keharusan dalam hukum kewarisan Islam terlihat dari segi bahwa ahli waris harus tidak boleh tidak menerima berpindahnya harta pewaris sesuai dengan jumlah yang

64

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta : Kencana, 2004, hal.. 17

(45)

ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu calon pewaris yaitu orang yang akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah la meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. Asas ijbari hukum kewarisan Islam ini dapat pula dilihat dari beberapa segi lain, yaitu: (a) dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. (b) dari jumlah harta yang sudah ditentukan oleh masing-masing ahli waris. (c) dan mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan itu yang sudah ditentukan dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan ikatan perkawinan dengan pewaris.

2. Asas Bilateral, berarti seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak kerabat dari keturunan laki-laki dan dari pihak kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dari Surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 16.

Di dalam ayat 7 surat tersebut di tegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya, Demikian juga halnya dengan perempuan ia juga berhak mendapatkan warisan dalam kewarisan bilateral. Secara rinci asas ini juga disebutkan dalam ayat-ayat lain di atas.

3. Asas Individual. Asas ini menyatakan harta warisan dapat dibagi bagi pada

masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan dalam

pelaksanaannya seluruh harta warisan dikatakan dalam nilai tertentu yang

kemudian dibagikan kepada setiap ahli warisnya menurut kadar bagian

masing-masing.

(46)

4. Asas keadilan dan berimbang. Asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh hak seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki- laki dan perempuan misalnya mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan masyarakat.

Dalam Sistem kewarisan Islam harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakekatnya adalah kewajiban tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya.

5. Asas yang menyatakan bahwa pewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia.

Ini berarti bahwa pewarisan semata-mata akibat dari kematian seseorang.

Menurut ketentuan hukum kewarisan Islam peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan terjadi apabila setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Jika pewaris masih hidup tidak bisa dialihkan warisannya, bila terjadi demikian maka hal tersebut beralih namanya bukan lagi warisan akan tetapi sudah menjadi ketentuan lain yang bernama wasiat wajibah begitulah dalam tata cara pemberian wasiat didalam hukum Islam.

Dalam sejarah kewarisan Islam ada 3 dasar untuk mewaris atas berbagai hubungan antara si pewaris dengan si ahli waris menurut perbedaan masa dan jalan pikiran serta tempat waris asal katanya miras

65

.

Ada tiga macam penyebab yang berkaitan dengan hubungan waris saling

65

Dian Khairul Umam, 2000, Fiqh Mawaris, CV. Pustaka Setia, Bandung, hal.11.

(47)

waris mewarisi di jazirah Arab sebelum datangnya Islam.

1. Di zaman Arab sebelum Islam

Sebab-sebab mewaris pada saat itu disebabkan oleh:

a. Hubungan darah.

Mewaris berlaku hanya bagi laki-laki yang sang mengendarai kuda, memerangi musuh dan merebut rampasan perang dan musuh dan tidak berlaku bagi wanita, serta anak kecil sekalipun laki-laki karena mereka tidak sanggup berperang.

b. Hubungan sebagai anak angkat

Seorang anak orang lain yang diangkat seseorang menjadi anak angkat, mendapat hak sebagai anak dalam hal mewaris dan hal lainnya.

c. Hubungan berdasarkan sumpah dan janji.

Apabila dua orang bersumpah dan berjanji satu sama lain untuk mewaris.

Jadilah mereka saling mewaris. Apabila diantara mereka meninggal dunia, maka yang tinggal hidup menjadi ahli waris atas peninggalan harta yang telah meninggal.

2. Sesudah datang Islam

Pada permulaan perkembangan Islam tetap berlaku ketentuan-ketentuan menurut hukum adat Arab yang telah berlaku sebelumnya. Kemudian sesudah hijrah ke Madinah berangsur-angsur ditetapkan ketentuan-ketentuan baru dan ditetapkan sebagai dasar hukum waris adalah sebagai berikut:

a. Dalam hubungan darah ini tidak terbatas pada laki-laki yang sanggup

Referensi

Dokumen terkait

Setelah pengakuan awal, aset keuangan tersebut dicatat pada biaya perolehan diamortisasi dengan menggunakan metode suku bunga efektif, dan keuntungan dan kerugian

Responden penelitian adalah petani pembudidaya ikan nila di Kecamatan Seginim Kabupaten Bengkulu Selatan berjumlah 50 pembudidaya ikan air tawar, khususnya ikan

Untuk menghitung besarnya gaya yang terjadi kita dapat menghitung perubahan defleksi membran karena gaya yang menekan- nya dengan menggunakan transduser pengukur

Tujuan disusunnya analisis peta mutu pendidikan (capaian Standar Nasional Pendidikan) Kabupaten Jembrana adalah untuk mengetahui gambaran ketercapaian mutu pendidikan

Didasari hasil penelitian ini, maka pemeriksaan dengan metode imunokromatografi yang diperbandingkan dengan uji mikroskopis yang merupakan pemeriksaan standar emas,

Nilai OR yang diperoleh yaitu 4,444 (95% CI= 1,855-10,648) sehingga dapat diartikan bahwa ibu yang terpapar asap rokok selama hamil memiliki risiko untuk mengalami kematian

Hubungan kolerasi antara kegiatan empat atribut green city yang terdiri atas kegiatan penanaman pohon, luas RTH, jumlah pengguna sepeda, panjang jalur sepeda,

Kadar NH 4 + dalam larutan tanah Vertisols menunjukkan bahwa pada hari kesatu hingga ketujuh lebih kecil daripada nitrat dan kadar NH 4 menurun, tetapi pada hari ke-14 naik dan