PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN
DAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh:
IIK NURHIKMAYATI
1009508
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH PASCASARJANA
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN
DAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP
Oleh Iik Nurhikmayati
S.Si UPI Bandung, 2012
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Matematika
© Iik nurhikmayati 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
Desember 2012
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
LEMBAR PENGESAHAN
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN
DAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP
Oleh:
IIK NURHIKMAYATI 1009508
Disetujui dan Disahkan oleh:
Pembimbing I,
Prof. H. Yaya S. Kusumah, M.Sc., Ph.D.
Pembimbing II,
Dr. Jarnawi Afgani Dahlan, M.Kes.
Mengetahui:
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN METAPHORICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN
DAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP
Iik Nurhikmayati
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan tujuan mengkaji masalah peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking. Selain itu penelitian ini juga mengkaji sikap/respon siswa terhadap matematika dan pendekatan pembelajaran metaphorical thinking. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP kelas VIII SMP Negeri 3 Lembang Provinsi Jawa Barat. Adapun Sampelnya yaitu 37 siswa kelas VIIIA sebagai kelompok eksperimen dan 36 siswa kelas VIIIB sebagai kelompok kontrol. Pengambilan sampel didasarkan kepada teknik purposive sampling. Instrumen terdiri dari pretes dan postes serta skala sikap. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan Independent
Sample t-test serta Mann-Whitney Test, sedangkan analisis kualitatif dilakukan
secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui pendekatan Metaphorical Thinking lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvenisonal. Analisis data angket skala sikap memperlihatkan bahwa siswa bersikap positif terhadap pembelajaran matematika, baik terhadap pelajaran matematika, pembelajaran dengan pendekatan Metaphorical
Thinking, maupun terhadap soal-soal pemahaman dan penalaran matematis.
Hal
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN
KATA PENGANTAR ... i
UCAPAN TERIMA KASIH ... ii
ABSTRAK ... iii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 15
E. Definisi Operasional ... 16
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kemampuan Pemahaman ... 18
B. Kemampuan Penalaran ... 21
C. Metaphorical Thinking ... 23
D. Penelitian-Penelitia yang Relevan ... 32
E. Kaitan antara Metaphorical Thinking, Kemampuan Pemahaman dan Kemampuan Penalaran Matematis . ... 37
F. Hipotesis Penelitian ... 39
C. Instrumen Penelitian ... 43
1. Tes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 43
a. Analisis Validitas ... 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 65
1. Deskripsi Hasil Pengolahan Data… ... 66
2. Analisis Hasil Tes… ... 72
a. Analisis Skor Pretes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 73
b. Analisis Skor Postes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 78
c. Analisis Skor N-Gain Kemampuan Pemahaman Matematis . ... 84
d. Analisis Skor N-Gain Kemampuan Penalaran . ... Matematis . ... 88
3. Skala Sikap Siswa ... 93
a. Sikap Siswa terhadap Matematika . ... 93
b. Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Metaphorical Thinking . ... 95
b. Aktivitas Siswa selama Pembelajaran . ... 100
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 117
B. Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 120
LAMPIRAN-LAMPIRAN: A. Instrumen Penelitian ... 127
B. Analisis Hasil Uji Coba ... 204
C. Analisis Data Hasil Penelitian ... 225
D. Data Skala Sikap dan Hasil Observasi ... 250
Hal
Tabel 3.1 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemahaman Matematis .. . 45
Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemahaman Matematis .. . 46
Tabel 3.3 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 47
Tabel 3.4 Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas ... 49
Tabel 3.5 Hasil Uji Validitas Butir Soal Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 49
Tabel 3.6 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas ... 51
Tabel 3.7 Hasil Uji Reliabilitas Butir Soal Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 51
Tabel 3.8 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 52
Tabel 3.9 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 53
Tabel 3.10 Klasifikasi Daya Pembeda ... 54
Tabel 3.11 Hasil Uji Daya Pembeda Soal Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 55
Tabel 3.12 Kriteria Skor Gain Ternormalisasi ... 59
Tabel 3.13 Jadwal Kegiatan Penelitian .. ... 63
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Kemampuan Pemahaman... 66
Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Kemampuan Penalaran . ... 67
Tabel 4.3 Rata-rata Skor Pretes, Postes dan N-Gain Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 69
Tabel 4.7 Uji Normalitas Skor Pretes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 73
Tabel 4.8 Uji Mann-Whitney kemampuan Pemahaman Matematis . ... 75
Tabel 4.9 Uji Mann-Whitney kemampuan Penalaran Matematis . ... 76
Tabel 4.12 Uji Mann-Whitney kemampuan Pemahaman Matematis . ... 81 Tabel 4.13 Uji Perbedaan Skor Postes Kemampuan Penalaran Matematis . .. 82 Tabel 4.14 Rata-Rata dan Klasifikasi N-Gain Pemahaman Matematis . ... 84 Tabel 4.15 Uji Normalitas Skor N-Gain Kemampuan Pemahaman
Matematis ... 85 Tabel 4.16 Uji Homogenitas Varians Skor N-Gain Kemampuan Pemahaman
Matematis ... 85 Tabel 4.17 Uji Perbedaan Rata-Rata Skor N-Gain Kemampuan Pemahaman
Matematis ... 87 Tabel 4.18 Rata-Rata dan Klasifikasi N-Gain Kemampuan Penalaran
Matematis ... 88 Tabel 4.19 Uji Normalitas Skor N-Gain Kemampuan Penalaran
Matematis ... 89 Tabel 4.20 Uji Homogenitas Variansi Skor N-Gain Kemampuan
Penalaran Matematis ... 90 Tabel 4.21 Uji Perbedaan Rata-Rata Skor N-Gain Kemampuan
Penalaran Matematis . ... 91 Tabel 4.22 Sikap Siswa Kelas Eksperimen terhadap Pelajaran Matematika .. 93 Tabel 4.23 Sikap Siswa Kelas Eksperimen terhadap Pembelajaran
dengan Pendekatan Metaphorical Thinking ... 95 Tabel 4.24 Hasil Pengamatan Aktivitas Guru selama Pembelajaran
dengan Pendekatan Metaphorical Thinking ... 98 Tabel 4.25 Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa selama Pembelajaran
dengan Pendekatan Metaphorical Thinking ... 100 Tabel 4.27 Rangkuman Hasil Uji Hasil Uji Hipotesis Penelitian . ... 104 Tabel 4.28 Kemampuan Pemahaman dan Penalaran
Matematis pada Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical
Hal
Gambar 1.1 Kubus 3 x 3 ... 8
Gambar 1.2 Soal Aspek Penalaran pada TIMSS 2003 ... 8
Gambar 2.1 Konsep Metaphorical Thinking ... 27
Gambar 2.2 Keadaan Awal Timbangan . ... 30
Gambar 2.3 Keadaan Akhir Timbangan . ... 30
Gambar 2.4 Penelitian dengan Pendekatan Metaphorical Thinking. ... 33
Gambar 2.5 Penelitian dengan Pendekatan Metaphorical Thinking di Indoensian. ... 34
Gambar 2.6 Hubungan Metaphorical Thinking, Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis ... 32
Gambar 4.4 Diagaram Batang Perbandingan Rata-Rata Skor Pretes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran... 69
Gambar 4.5 Diagaram Batang Perbandingan Rata-Rata Skor Postes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran... 70
Gambar 4.6 Diagaram Batang Perbandingan Rata-Rata Skor N-Gain Kemampuan Pemahaman dan Penalaran... 70
Hal
LAMPIRAN A: INSTRUMEN PENELITIAN ... 125
A.1 Silabus Bahan Ajar ... 126
A.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 129
A.3 Lembar Kerja Siswa . ... 159
A.4 Kisi –Kisi dan Tes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis . ... 192
A.5 Kisi-kisi Skala Sikap ... 197
A.6 Lembar Observasi ... 200
LAMPIRAN B: ANALISIS HASIL UJI COBA ... 204
B.1 Data Skor Uji Coba Tes Kemampuan Pemahaman Matematis 205 B.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Skor Uji Coba Tes Kemampuan Pemahaman Matematis dengan Program Microsoft Exel 2007 ... 207
B.3 Data Skor Uji Coba Tes Kemampuan Penalaran Matematis ... 213
B.4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Skor Uji Coba Tes Kemampuan Penalaran Matematis dengan Program Microsoft Exel 2007 ... 216
LAMPIRAN C: ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN ... 225
C.1 Data Hasil Pretes, Postes, dan Gain Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Kelas Eksperimen . ... 226
C.2 Data Hasil Pretes, Postes, dan Gain Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 229
C.3 Pengolahan Data dan Uji Statistik Pretes, Postes, dan Gain Kemampuan Pemahaman Matematis . ... 232
Kemampuan Penalaran Matematis . ... 244 LAMPIRAN D: DATA SKALA SIKAP DAN HASIL OBSERVASI .. 250 D.1 Data Skala Siswa Sikap Kelas Eksperimen ... 251 D.2 Frekuensi dan Presentase Skala Sikap Siswa Kelas
Eksperimen. ... 257 D.3 Hasil Observasi Kegiatan Guru dalam Pembelajaran
Matematika . ... 260 D.4 Hasil Observasi Kegiatan Guru dalam Pembelajaran
Matematika . ... 262 LAMPIRAN E: DATA-DATA PENUNJANG PENELITIAN ... 264
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir terjadi di setiap negara, bahkan negara kita Indonesia. Dari pandangan awal
bahwa matematika sebagai ilmu pengetahuan yang “ketat” dan “terstruktur secara
rapi” ke pandangan bahwa matematika adalah aktivitas kehidupan manusia
(Turmudi, 2009:3). Pandangan tersebut memberi dampak yang sangat luar biasa
hebat, para ahli matematika di seluruh dunia berlomba-lomba menghasilkan karya dalam rangka memberi kontribusi dalam paradigma matematika di era globalisasi
sekarang ini. Menurut De Lange hal ini juga berpengaruh terhadap cara bagaimana matematika dipelajari dan dikembangkan, yaitu dari penyampaian rumus-rumus, definisi, aturan, hukum, konsep, prosedur dan algoritma, yang
dikenal sebagai ready-made mathematics menjadi penyampaian konsep-konsep matematika melalui konteks yang bermakna dan yang lebih berguna bagi siswa
(Turmudi, 2009:3).
Dalam Kurikulum 2006 telah disampaikan bahwa tujuan umum pendidikan matematika adalah membangun siswa-siswa yang diharapkan memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dalam tahap pencapaian tujuan di atas, maka Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menganjurkan bahwa penyampaian konsep-konsep matematika dalam pembelajaran harus dimulai dengan pengenalan masalah yang
sesuai dengan situasi (contextual problem).
Namun kenyataan yang terjadi di lapangan masih belum sejalan dengan apa
yang diharapkan dalam tujuan umum pendidikan matematika di atas. Masih banyak guru yang tidak memulai pembelajaran dengan pengenalan masalah terlebih dahulu dan langsung kepada konsep matematika yang sebagian besar
abstrak dan sulit dipahami siswa. Depdiknas (2007:205) menyatakan bahwa ada yang kurang sesuai dengan proses pendidikan yang terjadi selama ini di sekolah,
1. Kondisi pertama sebelum sekolah: (a) Anak lincah, (b) Selalu belajar apa yang diinginkan dengan gembira dan riang, (c) Menggunakan segala sesuatu
yang terdapat di sekitar yang menarik perhatiannya, (d) Anak membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya lewat pengalaman nyata sehari-hari.
2. Kondisi kedua setelah sekolah: (a) Anak dipaksa belajar dengan cara guru, (b) Suasana tegang, (c) Seringkali tidak bermakna, (d) Seringkali siswa belajar sesuatu yang tidak menarik perhatiannya, (e) Telah terjadi
“penjinakan” terhadap anak, (f) Makin tinggi kelas anak, makin kurang
inisiatif dan keberaniannya bertanya/mengemukakan pendapatnya.
Depdiknas (2007: 189-190) juga menggambarkan kondisi empiris yang seringkali membuat kita kecewa pada proses belajar mengajar di sekolah, apalagi
jika dikaitkan dengan pemahaman siswa terhadap materi ajar. Hal ini disebabkan (a) Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang sangat baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahami
materi ajar tersebut. Contohnya, siswa mampu menghafal rumus luas segitiga, akan tetapi mereka tidak mampu memecahkan berbagai soal tentang luas segitiga;
(b) Sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan digunakan atau dimanfaatkan. Misalnya siswa sedang belajar luas segitiga tetapi mereka tidak
mengerti apa manfaat luas segitiga itu dalam kehidupan sehari-hari; (c) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa
yang berhubungan dengan tempat kerja atau masyarakat pada umumnya dimana mereka akan hidup dan bekerja.
Kondisi empiris yang diungkapkan Depdiknas tersebut secara tidak langsung menyebabkan kemampuan matematis siswa menjadi lemah. Wahyudin
(1999:22) mengatakan bahwa salah satu penyebab siswa lemah dalam matematika adalah kurang memiliki kemampuan untuk memahami (kemampuan pemahaman) untuk mengenali konsep-konsep dasar matematika (aksiomatik, definisi, kaidah
dan teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan. Dari studi yang dilakukan Priatna (2003) mengenai kemampuan
pemahaman konsep, diperoleh temuan bahwa kualitas kemampuan pemahaman konsep berupa pemahaman instrumental dan relasional masih rendah yaitu sekitar
50% dari skor ideal.
Pentingnya kemampuan pemahaman matematis merupakan hal yang menjadi suatu keharusan. Hal ini disampaikan pula oleh Sumarmo (2004) bahwa
visi pengembangan pembelajaran matematika untuk memenuhi kebutuhan masa kini, mengarahkan pembelajaran matematika untuk pemahaman konsep/prinsip
matematika yang kemudian diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika serta masalah ilmu pengetahuan lainnya.
Namun sebagian besar siswa masih belum mampu menyelesaikan masalah
matematika dikarenakan kemampuan pemahamannya belum berkembang sebagaimana mestinya. Hal ini diungkapkan oleh Abdi (Hendriana, 2009:5)
konsep-konsep matematika yang diberikan oleh guru. Hal ini berkaitan dengan cara mengajar guru di kelas yang tidak membuat siswa merasa senang dan
simpatik terhadap matematika, pendekatan yang digunakan guru juga cenderung monoton dan tidak bervariasi.
Turmudi (2009:13) juga menyatakan bahwa pembelajaran matematika yang selama ini disampaikan kepada siswa hanya bersifat informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat kemelekatannya juga
dapat dikatakan rendah. Kegiatan belajar seperti ini cenderung membuat siswa hanya meniru dan menghafal apa yang disampaikan guru tanpa adanya
pemahaman, sehingga pada saat siswa diberi suatu permasalahan lain dan kondisi lain di luar konteks yang diajarkan, siswa tidak mampu menyelesaikannya karena
merasa bingung dan tidak paham.
Berdasarkan pendapat dan hasil temuan dari beberapa ahli yang menyatakan tentang rendahnya kemampuan pemahaman matematik, maka perlu adanya suatu
tindakan yang mengarah kepada peningkatan kemampuan pemahaman dalam bermatematik sehingga tujuan, visi dan misi pengembangan pembelajaran
matematika dapat terwujud.
Selain kemampuan pemahaman, kemampuan penalaran dalam pembelajaran matematika juga penting untuk diperhatikan. Hal ini dikarenakan pembelajaran
yang lebih menekankan pada aktivitas penalaran dan pemecahan masalah sangat erat kaitannya dengan pencapaian prestasi belajar siswa yang tinggi (Suryadi,
Sebagai subjek belajar, siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran, siswa kurang aktif dan cenderung meniru atau mengcopy apa yang disampaikan
guru tanpa ada eksplorasi dalam menemukan konsep-konsep pelajaran yang harus dikuasainya. Kemampuan penalaran yang seharusnya dijadikan landasan dalam
proses pembelajaran menjadi tidak ada dan belajar menjadi tidak bermakna. Pada proses pembelajaran di sekolah yang selama ini terjadi, guru juga biasanya hanya mengutamakan penekanan terhadap aspek doing tetapi kurang
menekankan pada aspek thinking. Apa yang diajarkan di ruang kelas lebih banyak berkaitan dengan masalah keterampilan manipulatif atau berkaitan dengan
bagaimana mengerjakan sesuatu tetapi kurang berkaitan dengan mengapa demikian dan apa implikasinya (Prabawa, 2009:7). Ini mengindikasikan bahwa
basis dari pembelajaran matematika di kelas hanya berupa hafalan saja bukannya penalaran sebagai basis pemahaman. Akibatnya pengembangan kemampuan penalaran siswa menjadi terhambat dan kurang berkembang.
Menurut Prabawa (2009:7) proses pembelajaran yang kurang menekankan pada aspek thinking akan membentuk siswa yang cenderung mengoptimalkan
dirinya dengan menerima saja apa yang diajarkan oleh guru. Tidak ada proses bernalar dan melatih berpikir secara logis dan terurut dalam setiap pemecahan masalah yang dihadapi. Hal ini akan berakibat pada fiksasi fungsional tentang
makna belajar yang keliru tertanam dalam diri siswa, yang pada akhirnya akan mempengaruhi proses berpikir tingkat tinggi siswa. Selanjutnya kemampuan
teutama aspek thinking lebih banyak di ambil alih oleh guru. Inilah yang berakibat lemahnya kemampuan penalaran matematis siswa kita.
Namun kenyataan pada saat ini, kegiatan pembelajaran kurang menekankan terhadap aspek penalaran sehingga hasil belajarpun belum optimal. Seperti yang
diungkapkan oleh Ruseffendi (Nurlaelah, 2009) bahwa siswa masih menggangap matematika sebagai ilmu yang sukar dan ruwet akibatnya hasil belajar matematika siswa pada umumnya masih rendah. Salah satu indikator yang menunjukkan hal
tersebut adalah hasil analisis TIMSS tahun 2007 (Sugianti, 2009:1) bahwa rata-rata skor matematika siswa Indonesia untuk setiap kemampuan yang diteliti yaitu
kemampuan pengetahuan, penerapan, dan penalaran masih di bawah rata-rata skor matematika siswa internasional, untuk kemampuan penalaran berada pada
rangking 36 dari 48 negara.
Wardhani dan Rumiati (2011) mengungkapkan bahwa kemampuan pemahaman dan penalaran siswa-siswi Indonesia masih lemah. Hal ini
ditunjukkan oleh laporan hasil studi PISA tahun 2000 dan TIMSS tahun 2003 terbitan tahun 2006 oleh Pusat Penilaian Pendidikan Depdiknas.
Sebagai ilustrasi disajikan soal PISA 2000 sebagai berikut:
Dari soal pemahaman di atas, hanya 33,4% siswa Indonesia yang menjawab benar dan sisanya 58,79% menjawab salah.
Selanjutnya, siswa kita masih lemah dalam mengerjakan soal yang
menuntut kemampuan penalaran. Salah satunya pada penalaran bilangan seperti pada soal TIMSS 2003 berikut.
Perhatikan tiga gambar berikut.
Perhatikan gambar kubus di samping! Jika kubus besar tersebut kemudian dipotong menjadi tiga bagian dari arah yang berbeda dan menghasilkan banyak kubus kecil seperti gambar di samping. Berapa banyak kubus kecil yang dihasilkan?
Gambar 1.1 Kubus 3×3
Gambar 1.2
A. Lengkapilah tabel dibawah ini
Bangun Banyaknya segitiga kecil
1 2
2 8
3
4
B. Jika diteruskan sampai gambar ke-7, berapakah banyaknya segitiga kecil
pada gambar ke-7?
Laporan hasil studi TIMSS 2003 tersebut menyebutkan bahwa untuk pertanyaan A ternyata hanya 23,6% saja siswa Indonesia yang menjawab dengan benar, sementara 76,4% menjawab salah. Sementara untuk pertanyaan B, hanya
14,8% yang menjawab benar dan 85,2% menjawab salah.
Jawaban terhadap kedua soal PISA dan TIMSS di atas merupakan salah satu
contoh yang menunjukkan masih rendahnya kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa-siswi Indonesia. Selain dari dua soal yang telah dipaparkan tersebut, masih terdapat soal-soal TIMSS dan PISA terkait
kemampuan pemahaman dan penalaran yang di setiap tahunnya dari siswa Indonesia hanya sebagain kecil yang mampu menjawab dengan benar. Tiga hasil
Adapun tiga studi internasional itu antara lain PIRLS 2006, PISA 2006 dan TIMSS 2007.
Selanjutnya Mullis (2012) menyampaikan laporan hasil studi TIMSS 2011 yang menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman dan penalaran siswa-siswi
Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan kemampuan siswa-siswi dari negara-negara lain. Diantaranya pada rata-rata skor kemampuan pengetahuan, penerapan dan penalaran masih di bawah rata-rata skor matematika siswa-siswi
dari negara-negara lain yaitu rangking 38 dari 42 negara. Untuk aspek pemahaman terkait konten aljabar, hanya 18,1% dari siswa Indonesia yang dapat
menjawab benar, 81,9% menjawab salah. Demikian juga halnya untuk aspek penalaran terkait konten geometri dimana hanya 11,5% siswa Indonesia yang
menjawab benar dan sisanya sebesar 88,5% menjawab salah.
Laporan hasil studi TIMSS tersebut menggambarkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa Indonesia secara umum dapat dikatakan lemah. Oleh
karena itu, aspek kemampuan penalaran sangat penting untuk diperhatikan dalam meningkatkan kualitas hasil belajar matematika siswa.
Pengembangan kemampuan pemahaman dan penalaran selama proses belajar dititikberatkan pada kemampuan menghubungkan antara konsep matematika dan fenomena nyata yang ada disekitar. Konsep berpikir yang
menekankan pada hubungan antara matematika dan fenomena nyata yang ada disekitar menurut (Carreira, 2001:67) antara lain adalah methaporical thinking.
Methaporical thinking memiliki metafora sebagai konsep dasar dalam berpikir.
pengalaman yang dimiliki siswa dapat dengan mudah membangun sebuah model matematika dengan interpretasi yang akurat (Hendriana, 2009:6). Diperlukan
adanya proses yang integratif antara model matematika dan aplikasinya sehingga konsep berpikir matematik siswa dapat diimbangi dan diberi gambaran secara
konkret dalam memudahkan menguasai konsep matematik.
Bote (Kilic, 2010:1) menyatakan bahwa dengan metafora, ide-ide baik dari diri sendiri ataupun orang lain dapat dirangsang sehingga memunculkan
hubungan-hubungan yang mungkin tidak dapat dibuat dengan pertanyaan-pertanyaan secara langsung. Dengan kata lain, melalui metaphorical thinking,
siswa secara tidak langsung diberi kesempatan berperan serta dalam pembelajaran dengan merangsang ide-ide atau pemikiran-pemikiran siswa dalam
menghubungkan konsep matematika yang abstrak dengan fenomena nyata yang ada disekitar.
Selain kemampuan pemahaman dan penalaran yang menjadi fokus utama
dalam penelitian ini, respon siswa terhadap matematika dan pembelajaran yang disampaikan oleh guru juga merupakan suatu hal yang penting dan sangat
berpengaruh terhadap terlaksana dan berhasilnya suatu pembelajaran. Poerwadarminta (1984:944) mengungkapkan bahwa sikap adalah perbuatan berdasarkan pendirian (pendapat dan keyakinan). Pada saat siswa memiliki
keyakinan dan pendapat yang positif terhadap matematika dan pembelajaran yang diberikan, secara tidak langsung siswa akan mengembangkan sikap positif di
Menurut Callahan (Bargeson, 2000) siswa mengembangkan sikap positif terhadap matematika ketika mereka melihat matematika sebagai sesuatu yang
berguna dan menarik. Dengan demikian, siswa akan berusaha mempelajari matematika dengan kemampuan yang mereka miliki apabila sudah didasari rasa
senang dan tertarik terhadap matematika. Rasa senang dan ketertarikan tersebut harus dikembangkan oleh guru dalam proses belajar di kelas sehingga siswa akan memiliki sikap positif terhadap matematika yang pada akhirnya akan berpengaruh
besar terhadap peningkatan kemampuan dan hasil belajar.
Tidak hanya sekedar keinginan namun paling tidak siswa melihat kegunaan
matematika itu sendiri, melihat keunikannya, tantangannya dan proses yang dilalui membuat mereka ingin terus mempelajari. Hal ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan Ruseffendi (Bani, 2011:7) bahwa untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, pembelajaran harus menyenangkan, mudah dipahami, tidak menakutkan, dan ditunjukkan kegunaannya.
Menurut Suhandri (2011: 10) respon positif dari siswa memungkinkan pembelajaran akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal. Respon positif akan terjadi manakala guru mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, tidak ada paksaan dan tekanan dalam pembelajaran, sehingga siswa bebas bertanya,
mengemukakan pendapat, berdiskusi dan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Oleh karena itu, sikap siswa sangat
Berdasarkan seluruh uraian di atas, terlihat bahwa kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan penalaran siswa tersebut menentukan keberhasilan
belajar matematika yang erat kaitannya dengan metafora-metafora yang dapat mengkonseptualisasikan konsep yang abstrak dan tidak terbawa ke konsep yang
konkret dan lebih dikenal. Dengan demikian pembelajaran dengan pendekatan
metaphorical thinking menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan
kemampuan pemahaman dan penalaran matematik siswa dan memberikan
peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi pengetahuannya dalam belajar matematik. Dengan menggunakan metaphorical thinking proses belajar
siswa menjadi lebih bermakna (meaningful learning) karena ia dapat melihat, membentuk dan memetakan konsep matematika ke konsep pengalaman ataupun
sebaliknya.
Pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking juga pernah dilakukan oleh Hendriana (2009). Hendriana menyimpulkan bahwa pendekatan
metaphorical thinking dapat meningkatkan kemampuan pemahaman, komunikasi
serta kepercayaan diri siswa SMP lebih baik daripada siswa yang mendapat
pembelajaran biasa (konvensional). Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan Afrilianto (2012) bahwa kemampuan pemahaman konsep dan kompetensi strategis matematis siswa SMP dapat ditingkatkan melalui
pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking.
Dalam hubungannya dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji
latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya. Pemahaman dalam penelitian ini berbeda dengan pemahaman pada penelitian yang dilakukan oleh
Hendriana sebelumnya dalam hal indikator pembelajarannya, dimana pada penelitian ini memuat indikator-indikator pembelajaran yang berkaitan erat
dengan pendekatan metaphorical thinking yang digunakan.
Dengan demikian berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, penulis terdorong untuk melakukan penelitian yang lebih spesifik dengan judul
“Pembelajaran Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa
SMP”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking lebih
baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa (konvensional)? 2. Apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang
mendapatkan pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking lebih
baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional)?
3. Bagaimana sikap (respon) siswa terhadap matematika dan pembelajaran
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya
penelitian ini adalah untuk:
1. Menelaah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).
2. Menelaah peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking dengan siswa yang memperoleh pembelajaran biasa (konvensional).
3. Mendeskripsikan pandangan (sikap) siswa terhadap matematika dan pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking yang digunakan.
D. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan
bagi semua pihak, terutama bagi siswa, guru, peneliti sendiri, dan para peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Secara rinci manfaat penelitian
ini adalah: 1. Bagi siswa
Siswa mampu mengembangkan kemampuan pemahaman dan kemampuan
penalaran matematis untuk meningkatkan prestasi belajarnya dalam matematika melalui pembelajaran melalui pendekatan metaphorical
thinking.
Pembelajaran melalui pendekatan metaphorical thinking dapat menjadi alternatif model pembelajaran untuk variasi yang lebih menarik dalam
pembelajaran matematika.
3. Semua pihak yang berkepentingan untuk dapat dijadikan bahan rujukan
dalam penelitian selanjutnya.
E. Definisi Operasional
1. Pendekatan metaphorical thinking adalah pendekatan pembelajaran untuk memahami, menjelaskan dan menalar konsep-konsep abstrak menjadi lebih
konkret dengan membandingkan dua hal atau lebih yang berbeda makna baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan.
2. Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan menerapkan konsep matematika dengan kata-kata sendiri, mengenali, menafsirkan dan menarik kesimpulan dari informasi yang didapatkan. Adapun
indikator-indikator yang dipakai dalam penelitian ini berdasarkan pemahaman konsep dari Skemp yaitu: (a) Pemahaman instrumental adalah pemahaman konsep
yang masih saling terpisah antara satu konsep dengan konsep lainnya dan baru mampu menerapkan konsep tersebut pada perhitungan sederhana, atau mengerjakan sesuatu secara algoritmis; (b) Pemahaman relasional
adalah kemampuan mengaitkan beberapa konsep yang saling berhubungan.
serangkaian informasi atau kasus yang diperlukan untuk menyelesaikan soal matematik. Adapun indikator-indikator yang dipakai dalam penelitian ini
berdasarkan penalaran konsep dari Sumarmo yaitu: (a) Membuat kesimpulan yang logis; (b) Memperkirakan jawaban dan proses solusi; dan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji implementasi pendekatan metaphorical
thinking dalam meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran. Dalam
penelitian ini subyek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti melakukan pemilihan sampel berdasarkan kelas-kelas yang sudah terbentuk sebelumnya, karena pembentukan kelas baru akan menyebabkan kekacauan
jadwal pelajaran dan mengganggu efektivitas pembelajaran di sekolah. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen atau eksperimen
semu yang melibatkan dua kelompok penelitian. Kelompok pertama disebut dengan kelompok eksperimen yang menggunakan penerapan pendekatan
metaphorical thinking yang selanjutnya akan dinyatakan sebagai kelas MT
(metaphorical thinking) dan kelompok kedua disebut dengan kelompok kontrol yang menggunakan pembelajaran biasa (konvensional) yang akan dinyatakan sebagai kelas konvensional.
Sebelum diberikan perlakuan pembelajaran, diadakan tes awal kemampuan pemahaman dan penalaran matematis siswa (pretes) yang bertujuan untuk
diberi perlakuan dan untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan rata-rata kelas MT dan kelas konvensional.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretes-Postest Control
Group Design yang melibatkan dua kelas yang dipilih dari dua sampel kelas yang
homogen.
Secara eksplisit desain penelitian yang digunakan adalah desain kelompok
kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2005: 52) sebagai berikut:
Kelas MT : O X O
Kelas Konvensional : O O
Keterangan:
O : Pretes atau Postes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis
X : Pembelajaran Metaphorical Thinking : Subjek tidak dikelompokkan secara acak
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP dengan populasi
terjangkaunya adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Lembang Provinsi Jawa Barat. Sebagaimana desain yang digunakan dalam penelitian ini, maka diperoleh dua kelas sebagai sampel. Pengambilan sampel didasarkan kepada
purposive sampling. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan pengambilan
sampel secara purposive ini berdasarkan justifikasi para ahli, diantaranya
Supaya validasi internal dapat terjaga dengan baik selama penelitian, maka penelitian dilakukan secara efektif dan efisien terutama dalam hal pengawasan,
kondisi subyek penelitian, waktu penelitian yang ditetapkan, kondisi tempat penelitian serta prosedur perizinan.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes dan non-tes.
Instrumen tes berupa soal-soal kemampuan pemahaman dan penalaran matematis yang berbentuk uraian yang digunakan untuk pretes dan postes. Selanjutnya,
instrumen non-tes berupa angket skala sikap mengenai pendapat siswa terhadap pembelajaran matematika, lembar observasi yang memuat item-item aktivitas
siswa serta guru dalam pembelajaran dan bahan ajar. Berikut akan diuraikan masing-masing instrumen yang digunakan dengan pengembangannya
1. Tes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik
Tes adalah kumpulan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang dipergunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi,
kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes awal (pretes) dan tes akhir (postes) terdiri dari soal-soal pemahaman dan penalaran matematis. Pretes dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal kedua kelas
yaitu MT dan konvensional mengenai kemampuan pemahaman dan penalaran matematis sebelum diberikan pembelajaran.
mengikuti pembelajaran dengan perlakuan yang berbeda. Soal yang diberikan dalam pretes sama dengan soal yang diberikan dalam postes, yakni berupa tes
tulis dalam bentuk uraian. Tes yang diberikan terdiri dari 5 butir soal uraian. Soal tes tersebut terdiri dari 2 soal yang mengukur pemahaman matematis dan 3 soal
yang mengukur kemampuan penalaran matematis. Soal pada pretes dan postes disesuaikan dengan indikator masing-masing kemampuan pemahaman dan penalaran yang telah ditetapkan pada penelitian ini. Selengkapnya hasil pretes dan
postes kemampuan pemahaman dan penalaran matematis dapat dilihat pada Lampiran C.
Bahan tes diambil dari materi pelajaran matematika SMP kelas VIII semester ganjil dengan mengacu pada Kurikulum 2006 pada materi Sistem
Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV). Validitas soal yang dinilai oleh validator adalah meliputi validitas muka (face validity), validitas isi (content
validity) dan validitas konstruksi (contruct validity). Validitas muka disebut pula
validitas bentuk soal (pertanyaan, pernyataan, suruhan) atau validitas tampilan, yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas
pengertiannya dan tidak menimbulkan tafsiran lain (Suherman, 2003), termasuk juga kejelasan gambar dalam soal. Validitas isi menunjukkan ketepatan alat tes dilihat dari segi isi tersebut. Suatu tes hasil belajar dikatakan valid apabila materi
tes tersebut betul-betul merupakan bahan-bahan yang representatif terhadap bahan-bahan pelajaran yang diberikan. Dengan kata lain sebuah tes dikatakan
memiliki validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar
memiliki validitas konstruksi apabila butir-butir soal yang membangun tes tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti yang disebutkan dalam tujuan
pembelajaran. Dengan kata lain jika butir-butir soal mengukur aspek berpikir tersebut sudah sesuai dengan aspek berpikir yang menjadi tujuan pembelajaran.
Untuk mengevaluasi kemampuan pemahaman matematis siswa, digunakan sebuah panduan penskoran yang disebut Holistic Scoring Rubics yang tertera pada Tabel 3.1 dibawah ini.
Tabel 3.1
Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemahaman Matematis
Respon Siswa terhadap Soal Skor
Tidak menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap
soal matematika 0
Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal matematika sangat terbatas, dan sebagian besar jawaban masih mengandung perhitungan yang salah
1
Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhdap soal matematika kurang lengkap, dan perhitungan masih terdapat sedikit kesalahan
2
Menunjukkan pemahaman konsep dan prinsip terhadap soal matematika hampir lengkap, penggunaan istilah dan notasi matematika hampir benar, penggunaan algoritma secara lengkap, perhitungan secara umum benar, namun mengandung sedikit kesalahan
3
Jawaban lengkap (hampir semua petunjuk diikuti) penggunaan algoritma lengkap dan benar, serta melakukan perhitungan dengan benar
4
Apabila terdapat soal pemahaman yang disertai gambar, grafik, atau tabel,
panduan penskoran. Kriteria penskoran yang digunakan adalah skor rubik yang dimodifikasi dari WCCUSD (Irwan, 2011:83) pada Tabel 3.
Tabel 3.2
Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemahaman Matematis
Respon Siswa terhadap Soal Skor
Tidak dapat menggambar grafik atau membuat tabel sama
sekali 0
Grafik atau tabel tidak lengkap dan tidak ada argumentasi
terhadap jawaban 1
Grafik atau tabel hampir lengkap dan hanya sedikit
memperkuat argumentasi terhadap jawaban 2
Grafik atau tabel lengkap dan hampir dapat memperkuat
argumentasi terhadap jawaban 3
Grafik atau tabel lengkap dan dapat memperkuat argumentasi
terhadap jawaban 4
(Nanang, 2009: 97)
Sebelum tes kemampuan pemahaman dan penalaran matematis diberikan kepada sampel penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba dengan tujuan untuk mengetahui apakah soal tersebut sudah memenuhi persyaratan validitas,
reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda. Soal tes kemampuan pemahaman dan penalaran ini diujicobakan pada siswa kelas IX SMPN 3
Lembang yang telah menerima materi tentang Sistem Persamaan Linier Dua Variabel. Berikut adalah tahapan yang dilakukan pada uji coba tes kemampuan pemahaman dan penalaran matematis.
a. Analisis validitas tes
Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak
suatu ukuran yang menunjukan tingkatan kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen.
Tabel 3.3
Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Penalaran Matematis
Aspek yang Diukur Respon Siswa terhadap Soal Skor Memberikan penjelasan
dengan menggunakan tabel atau gambar
Tidak menjawab atau salah menggunakan tabel atau gambar
0
Sudah menggunakan tabel atau gambar tapi tidak ada penjelasan
1
Sudah menggunakan tabel atau gambar dengan penjelasan, tapi penjelasan dan proses perhitungan salah
3
Sudah menggunakan tabel atau gambar dengan penjelasan, tapi kurang lengkap
3
Sudah menggunkan tabel atau gambar dengan penjelasan dan alasan yang lengkap dan tepat
Sudah menggunakan teorema tapi tanpa penjelasan selanjutnya penjelasan dan perhitungan yang lengkap dan tepat
4
Memberikan penjelasan dengan menggunakan fakta dan sifat-sifatnya
Tidak menjawab atau tidak menggunakan fakta yang ada
0
Sudah menggunakan fakta yang ada tapi tanpa penjelasan selanjutnya
1
Sudah menggunakan fakta yang ada dengan sifat-sifatnya, tapi proses perhitungan salah
2
Sudah menggunakan fakta yang ada dengan penjelasan, tapi kurang lengkap
3
Sudah menggunakan fakta yang ada dengan penjelasan dan perhitungan yang lengkap dan tepat
Aspek yang Diukur Respon Siswa terhadap Soal Skor Memberikan penjelasan
dengan menggunakan contoh dan sifat-sifatnya
Tidak menjawab atau tidak menggunakan contoh
0
Sudah menggunakan contoh tapi tanpa penjelasan selanjutnya
1
Sudah menggunakan contoh, tapi proses perhitungan salah
2
Sudah menggunakan contoh dengan penjelasan , tapi kurang lengkap
3
Sudah menggunakan contoh dengan penjelasan dan perhitungan yang lengkap dan tepat perkiraan jawaban tapi tanpa penjelasan selanjutnya
1
Sudah memberikan kesimpulan atau
perkiraan tapi proses solusi salah 2 Sudah memberikan kesimpulan atau
perkiraan jawaban tetapi kurang lengkap dan tepat
3
Sudah memberikan kesimpulan atau perkiraan jawaban dengan penjelasan dan perhitungan yang lengkap dan tepat
4
Pengukuran validitas butir tes menggunakan rumus korelasi product moment dari Karl Pearson (Sudjono, 1998: 181) yaitu:
r = koefisien koralasi antara variabel X dan variabel Y
N = banyaknya tes
X = skor item
Suherman (2001:136) mengklasifikasikan koefisien validitas seperti pada Tabel 3.4. Skor hasil uji coba yang diperoleh kemudian dihitung validitasnya.
Selanjutnya uji validitas tiap item instrumen dilakukan dengan membandingkan
dengan nilai kritis (nilai tabel). Tiap item tes dikatakan valid apabila
pada taraf signifikasi dengan dk=28 didapat .
Tabel 3.4
Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas
Kategori rxy Interpretasi
0,80 < rxy≤ 1,00 Sangat tinggi
0,60 < rxy≤ 0,80 Tinggi
0,40 < rxy≤ 0,60 Sedang
0,20 < rxy≤ 0,40 Rendah
0,00 ≤ rxy≤ 0,20 Sangat rendah
Hasil uji validitas kemampuan pemahaman matematis disajikan dalam Tabel 3.5.
Dari Tabel 3.5 diperoleh hasil uji validitas yang menunjukkan bahwa soal-soal pemahaman dan penalaran matematis sebagai instrumen penelitian ini
Tabel 3.5
Hasil Uji Validitas Butir Soal
Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis
No Urut No Soal Koefisien (rxy) Kategori Kriteria
Reliabilitas adalah ketetapan suatu tes apabila diteskan kepada subyek yang sama (Arikunto, 2003: 90). Suatu alat evaluasi (tes dan nontes) disebut reliabel
bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama. Hasil penelitian yang reliabel terjadi jika terdapat
kesamaan data dalam waktu yang berbeda (Sugiyono, 2008: 121). Suatu tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap (Arikunto, 2009: 86). Untuk menghitung koefisien
reliabilitas tes digunakan rumus Alpha Cronbach karena jenis tes yang digunakan berupa tes essay (Sudjono, 2005:282) yaitu sebagai berikut:
keterangan:
Menurut Suherman (2001: 156) ketentuan klasifikasi koefisien reliabilitas seperti pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6
Klasifikasi Tingkat Reliabilitas
Besarnya nilai r11 Interpretasi
0,80 < r11≤ 1,00 Sangat tinggi
0,60 < r11≤ 0,80 Tinggi
0,40 < r11≤ 0,60 Sedang
0,20 < r11≤ 0,40 Rendah
0,00 ≤ r11≤ 0,20 Sangat rendah
Untuk mengetahui sebuah instrumen yang digunakan reliabel, dilakukan pengujian reliabilitas dengan rumus Alpha-Croncbach dengan bantuan program
Microsoft Excel. Pengambilan keputusan yang dilakukan adalah dengan
membandingkan rhitung dan rtabel. Jika rhitung > rtabel maka soal reliabel, sedangkan
jika rhitung≤ rtabel maka soal tidak reliabel.
Tabel 3.7
Hasil Uji Reliabilitas Butir Soal
Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis
Soal rhitung Kriteria Kategori
Pemahaman 0,9600 Reliabel Sangat Tinggi Penalaran 0,7602 Reliabel Tinggi
Hasil analisis menunjukkan bahwa soal kemampuan pemahaman dan penalaran matematis telah memenuhi karakteristik yang memadai untuk
digunakan dalam penelitian yaitu reliabel dengan kategori sangat tinggi untuk soal pemahaman dan tinggi untuk soal penalaran.
c. Analisis Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran adalah bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal tes (Arikunto, 2006: 207). Adapun untuk mengukur tingkat kesukaran (TK)
tiap butir tes dipakai rumus proporsi (Suherman dan Sukjaya, 1999:213) yaitu:
100%
i TK
SM
keterangan:
i = Jumlah skor item
TK = Tingkat kesukaran
SM = Jumlah skor maksimum item
Menurut Suherman (2001: 170) klasifikasi tingkat kesukaran soal dapat
Tabel 3.8
Kriteria Tingkat Kesukaran
Kriteria Indeks Kesukaran Kategori
IK = 0,00 Soal Sangat Sukar
Hasil Uji Tingkat Kesukaran Tes
Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis
No Urut No Soal IK Interpretasi sesuai dengan kemampuannya. Untuk tingkat kesukaran tinggi terdapat 5 butir
baik kelompok atas maupun bawah tidak dapat menjawab soal tersebut dengan benar karena soal tersebut terlalu sulit bagi mereka. Perhitungan selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran B.
d. Analisis Daya Pembeda
Daya pembeda item dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya angka indeks diskriminasi item. Analisis daya pembeda dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa yang memiliki kemampuan tinggi dengan siswa yang
memiliki kemampuan rendah. Rumus yang digunakan untuk menentukan daya pembeda menurut Surapranata (2009: 31) adalah:
∑ ∑
Keterangan:
DP = Daya pembeda
∑ = Jumlah peserta tes yang menjawab benar pada kelompok atas
∑ = Jumlah peserta tes yang menjawab benar pada kelompok bawah
n = Jumlah peserta tes
Menurut Suherman (2001: 161) klasifikasi interpretasi daya pembeda soal dapat dilihat pada Tabel 3.10. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 3.10
Klasifikasi Daya Pembeda
Kriteria Daya Pembeda Keterangan
DP ≤ 0 Sangat Jelek
Hasil Uji Daya Pembeda Soal
Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematis
No Urut No Soal DP Interpretasi
Hasil uji coba instrumen untuk kriteria daya pembeda diperoleh bahwa daya pembeda dengan klasifikasi cukup sebanyak 5 soal yaitu nomor 1a, 1b, 3c, 5a dan
5b. Untuk daya pembeda dengan kriteria baik sebanyak 6 soal. Lebih banyak daripada daya pembeda dengan kriteria cukup. Sedangkan untuk daya pembeda
bahwa soal-soal tersebut memiliki daya pembeda yang baik dalam membedakan tingkat kemampuan siswa yang berkemampuan tinggi dan siswa yang
berkemampuan rendah.
2. Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk melihat aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran berlangsung di kelas eksperiman. Aktivitas siswa yang diamati pada kegiatan pembelajaran dengan pendekatan metaphorical
thinking adalah keaktifan siswa dalam mengajukan dan menjawab pertanyaan,
mengemukakan dan menanggapi pendapat, mengemukakan ide untuk
menyelesaikan masalah, bekerjasama dalam kelompok dalam melakukan kegiatan pembelajaran, berada dalam tugas kelompok, membuat kesimpulan di akhir
pembelajaran dan menulis hal-hal yang relevan dengan pembelajaran. Sedangkan aktivitas guru yang diamati adalah kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking. Tujuannya dilakukannya
observasi adalah sebagai evaluasi dan refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan supaya pembelajaran berikutnya dapat menjadi lebih baik
daripada pembelajaran sebelumnya dan sesuai dengan skenario yang telah dibuat. Observasi tersebut dilakukan oleh peneliti dan satu orang guru matematika. Lembar observasi siswa dan guru disajikan dalam Lampiran A.
3. Skala Sikap
Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan
Instrumen skala sikap dalam penelitian ini terdiri dari 20 butir pertanyaan dan diberikan kepada siswa kelas MT setelah semua kegiatan pembelajaran berakhir
yaitu setelah postes. Instrumen skala sikap secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran A.
Model skala yang digunakan adalah model skala Likert. Derajat penilaian terhadap suatu pernyataan tersebut terbagi ke dalam 4 kategori, yaitu : sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Penentuan
jumlah pilihan sebanyak empat buah tanpa melibatkan pilihan Netral (N) bertujuan untuk menghindari jawaban netral yang dapat menyulitkan pengukuran
nilai afektif siswa. Dalam menganalisis hasil skala sikap, skala kualitatif tersebut ditransfer ke dalam skala kuantitatif. Pemberian nilainya dibedakan antara
pernyataan yang bersifat negatif dengan pernyataan yang bersifat positif. Untuk pernyataan yang bersifat positif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 4, S diberi skor 3, TS diberi skor 2, dan STS diberi skor 1. Sedangkan untuk
pernyataan negatif, pemberian skornya adalah SS diberi skor 1, S diberi skor 2, TS diberi skor 3, dan STS diberi skor 4.
Langkah pertama dalam menyusun skala sikap adalah membuat kisi-kisi. Kemudian melakukan uji validitas isi butir pernyataan dengan meminta pertimbangan teman-teman mahasiswa dan selanjutnya dikonsultasikan dengan
dosen pembimbing, mengenai isi dari skala sikap sehingga skala sikap yang dibuat sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditentukan serta dapat
sebanyak empat orang dalam melihat keterbacaan kalimat-kalimat dalam angket
tersebut.
Menganalisa skala sikap siswa dilakukan dengan membandingkan hasil skor respon skala sikap antara skor positif dengan skor negatif. Jika jumlah skor subjek
positif (SS dan S) lebih besar daripada jumlah skor subjek negatif maka subjek tersebut secara umum dapat dikatakan memiliki sikap positif. Sebaliknya, jumlah skor subjek negatif (STS dan TS) lebih besar daripada jumlah skor subjek positif
maka subjek tersebut secara umum dapat dikatakan memiliki sikap negatif. Lembar observasi beserta kisi-kisinya dapat dilihat dalam Lampiran A.
4. Bahan Ajar
Bahan ajar dalam penelitian ini adalah bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan metaphorical thinking untuk kelas
MT. Bahan ajar disusun berdasarkan kurikulum yang berlaku di lapangan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Isi bahan ajar memuat materi-materi
matematika untuk kelas VIII semester I dengan materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV). Pokok bahasan dipilih berdasarkan alokasi waktu yang telah disusun oleh guru peneliti. Isi dari bahan ajar disesuaikan dengan
langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan metafora yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis. Setiap
pertemuan memuat satu pokok bahasan yang dilengkapi dengan lembar aktivitas siswa (LKS).
D. Prosedur Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini dapat dikategorikan menjadi
data kuantitatif dan data kualitatif. Kedua data tersebut merupakan data mentah yang perlu dilakukan pengolahan data sehingga data tersebut menjadi bermakna.
1. Data kuantitatif
Data kuantitatif diperoleh dari hasil tes (pretes dan postes) dan peningkatan kemampuan siswa (gain ternormalisasi) dari kelas MT dan kelas
konvensional dengan menggunakan uji statistik serta pengisian skala sikap siswa terhadap matematika dan pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking
yang selanjutnya diolah secara deskriptif. Setelah data diperoleh, langkah selanjutnya adalah menganalisis dan mengolah data. Pengolahan data dapat
dilakukan secara manual maupun dengan bantuan softwere SPSS versi 16 for Windows.
Untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan, terlebih dahulu diuji
normalitas data dan homogenitas varians. Sebelum uji tersebut dilakukan harus ditentukan terlebih dahulu rata-rata skor serta simpangan baku untuk setiap
kelompok. Berikut adalah tahapan dalam pengolahan data tes:
a. Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang telah dibuat. Selanjutnya menghitung statistik deskriptif
skor pretes dan skor postes.
b. Menghitung besarnya peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran
menggunakan gain ternormalisasi yang dikembangkan oleh Hake (Meltzer, 2002) sebagai berikut:
Gain ternormalisasi (g) =
dengan kriteria indeks gain pada Tabel 3.12.
Tabel 3.12
Kriteria Skor Gain Ternormalisai
Skor Gain Interpretasi g > 0,7 Tinggi 0,3 < g ≤ 0,7 Sedang
g ≤ 0,3 Rendah
c. Melakukan uji normalitas pada setiap data skor pretes, postes dan gain ternormalisasi untuk tiap kelompok. Adapun rumusan hipotesisnya adalah:
H0 : Data berdistribusi normal
H1 : Data tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian adalah tolak H0 apabila Asymp.Sig < taraf signifikansi
( ).
d. Menguji varians. Pengujian varians antara kelas MT dan konvensional
dilakukan untuk mengetahui apakah varians kedua kelas sama atau berbeda. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 : varians gain ternormalisasi kemampuan pemahaman
H1 : varians gain ternormalisasi kemampuan pemahaman
dan penalaran matematis kedua kelas tidak homogen.
Keterangan :
: varians skor rata-rata gain ternormalisasi kelas MT
: varians skor rata-rata gain ternormalisasi kelas konvensional
Uji statistik menggunakan Uji Levene dengan kriteria pengujian adalah terima H0
apabila Sig. Based on Mean taraf signifikansi ( ).
e. Melakukan uji kesamaan rata-rata skor pretes antara kelas MT dan konvensional serta perbedaan peningkatan untuk kemampuan pemahaman
matematis siswa. Hipotesis yang diajukan adalah:
Keterangan:
: rata-rata pretes pemahaman matematis kelas MT
: rata-rata pretes pemahaman matematis kelas konvensional
Selanjutnya melakukan uji perbedaan dua rata-rata untuk data skor gain ternormalisasi pada kedua kelas tersebut. Berikut ini adalah rumusan hipotesisnya:
Keterangan:
: rata-rata gain ternormalisasi pemahaman matematis kelas MT
: rata-rata gain ternormalisasi pemahaman matematis kelas konvensional
Jika kedua rata-rata skor berdistribusi normal dan homogen maka uji statistik yang digunakan adalah Uji-t, Data berdistribusi normal tetapi tidak
homogen maka uji statistik yang digunakan adalah Uji-t’, sedangkan jika tidak normal maka menggunakan uji non parametrik Mann Whitney. Untuk uji dua
pihak, kriteria pengujian dengan taraf signifikansi adalah terima jika
sig>0,05.
f. Melakukan uji kesamaan dua rata-rata skor pretes kedua kelas MT dan konvensional serta perbedaan peningkatan untuk kemampuan penalaran
matematik siswa. Hipotesis yang diajukan adalah:
Keterangan:
: rata-rata pretes penalaran matematis kelas MT
: rata-rata pretes penalaran matematis kelas konvensional
Selanjutnya melakukan uji perbedaan rata-rata skor gain ternormalisasi
antara kelas MT dan konvensional. Berikut adalah rumusan hipotesisnya:
Keterangan:
: rata-rata gain ternormalisasi penalaran matematis kelas MT
: rata-rata gain ternormalisasi penalaran matematis kelas konvensional
Jika kedua rata-rata skor berdistribusi normal dan homogen maka uji statistik yang digunakan adalah Uji-t, Data berdistribusi normal tetapi tidak
homogen maka uji statistik yang digunakan adalah Uji-t’, sedangkan jika tidak normal maka menggunakan uji non parametrik Mann Whitney. Untuk uji dua
pihak, kriteria pengujian dengan taraf signifikansi adalah terima 0jika
sig>0,05.
Selanjutnya data skala sikap diolah secara deskriptif untuk mengetahui
gambaran umum tentang sikap atau respon siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking yang telah diberikan kepada kelas MT.
2. Data kualitatif
Data kualitatif diperoleh melalui lembar observasi, catatan lapangan, dan angket. Observasi, skala sikap dan catatan lapangan diolah melalui laporan
penulisan essay yang menyimpulkan kriteria, karakteristik serta proses yang terjadi dalam pembelajaran.
E. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan September 2012 sampai dengan Oktober 2012. Dimulai dari penyusunan proposal tesis pada awal bulan Juni 2012 sampai
Tabel 3.13
Jadwal Kegiatan Penelitian
No Kegiatan Tahun 2012
Jun Jul Agu Sep Okt Nov 1 Penyusunan Proposal
2 Seminar Proposal 3 Penyusunan Instrumen
Penelitian
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan
pembelajaran dengan pendekatan Metaphorical Thinking lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvenisonal. Peningkatan
siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan Metaphorical
Thinking berada pada kategori batas atas klasifikasi sedang dan siswa yang
mendapatkan pembelajaran konvensional berada pada kategori batas bawah
klasifikasi sedang.
2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan
pembelajaran melalui pendekatan Metaphorical Thinking lebih baik daripada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvenisonal. Peningkatan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan Metaphorical
Thinking dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional
sama-sama berada pada kategori batas atas klasifikasi sedang.
3. Siswa menunjukkan sikap positif terhadap pelajaran matematika dan pembelajaran dengan pendekatan Metaphorical Thinking. Secara umum dapat dikatakan bahwa siswa memperlihatkan sikap yang positif terhadap
B. Saran
Berdasarkan analisis dan hasil penelitian, maka penulis mengemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pembelajaran
dengan pendekatan Metaphorical Thinking dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan penalaran matematis, disarankan kepada para guru untuk menerapkan pendekatan pembelajaran Metaphorical Thinking dalam
pembelajaran di sekolah sebagai upaya dalam meningkatkan kemampuan matematis siswa.
2. Pembelajaran dengan pendekatan Metaphorical Thinking merupakan pembelajaran yang menuntut tingkat imajinasi yang tinggi dalam membuat
metafora sesuai dengan konsep matematika yang dipelajari. Sebaiknya guru membuat desain materi yang matang, sehingga pembelajaran dapat berlangsung maksimal dalam meningkatkan kemampuan yang ingin dicapai.
3. Dikarenakan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking
sama-sama berada pada kategori batas atas klasifikasi sedang, maka diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat membuat bahan ajar yang lebih baik dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis.
4. Penelitian pembelajaran dengan pendekatan metaphorical thinking ini sebelumnya belum pernah diteliti pada jenjang Sekolah Dasar dan
DAFTAR PUSTAKA
Afrilianto, M. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan
Metaphorical Thinking untuk Meningkatan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematis Siswa. Tesis Pendidikan Matematika
Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan
Alfeld, P. (2004). Understanding Mathematics. [online]. Tersedia: http://www.math.utah.edu/-pa/math.html. (30 desember 2008)
Arianti, N. W. (2012). Pengaruh pendekatan Metaphorical Thinking terhadap
Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMP. Karya Ilmiah Portal
Publikasi STKIP Siliwangi Bandung
Arikunto, S. (2003). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. __________. (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
__________. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Bani, A. (2011). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran
Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pembelajaran Penemuan Terbimbing. Tesis Pendidikan Matematika Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan
Bergeson, T. (2000). Teaching and Learning Mathematics. Using Research to
Shift from The Yesterday Mind to The Tomorrow Mind. Resource Center,
Office Superintendent of Public Instruction, Olympia. Los Angeles. March 2000
Carreira, S. (2001). Where There’s a Model, There’s a Metaphor: Metaphorical
thinking in Student’s Understanding of a Mathematical Model: Journal of
International Mathematical Thinking and Learning. 3(4), 261-287
Dahlan, J.A. (2004). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman
Depdiknas. (2002). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah.
________. (2007). Materi Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: [Online]. Tersedia:
http://203.130.201.221/materi_rembuknas 2007/ komisi1/subkomisi-3-KTSP/SMP/naskahword/-2k (10 juni 2007)
Doritou, M., & Gray, E. (2007). The Line Number as Metaphor of the Number
System: A Case Study of A Primary School of the English West
Midlands.
Suherman, E. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Ferrara, F. (2003). Bridging Perception and Theory: What Role can Metaphors
and Imagery Play?. Paper of study of Dipartimento di Matematica,
Universita di Torino
Furchan, A. (1985). Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Hake, R. R. (1999). Analyzing Change/Gain Score. Indiana: Indiana University
Haylock, D., & Cockburn, A. (2008). Understanding Mathematics for Young
Children: A Guide for Foundation Stage and Lower Primary. London:
SAGE Publications Ltd
Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking
untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik, dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama.
Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan
___________. (2011). Pendekatan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk
Meningkatkan kemampuan Komunikasi dan Kepercayaan diri Siswa.