• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian."

Copied!
267
0
0

Teks penuh

(1)

KECERDASAN EMOSI ANAK DENGAN IBU SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL AKIBAT PERCERAIAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Gita Gafiratri NIM: 089114032

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

(5)

v

(6)
(7)

vii

KECERDASAN EMOSI ANAK DENGAN IBU SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL AKIBAT PERCERAIAN

Gita Gafiratri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kecerdasan emosi yang dimiliki oleh anak-anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian. Mengingat bahwa ibu sebagai orangtua tunggal mempunyai permasalahan dalam membagi waktu serta menanggung beban dan tanggung jawab yang berat karena harus memegang dua peran sekaligus, yaitu peran sebagai ibu yang harus mengasuh dan mendidik anak, serta menggantikan figur ayah yang harus mencari nafkah. Keterbatasan waktu dan peran ganda yang dimiliki oleh ibu sebagai orangtua tunggal tersebut berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan anak, khususnya dalam pembentukan karakteristik, watak serta kecerdasan emosi anak. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data diperoleh menggunakan metode wawancara semi terstruktur dan observasi skala rating. Dari kedua metode tersebut kemudian dianalisis untuk dapat menggambarkan kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian. Subjek dalam penelitian ini adalah anak yang berada pada masa pertengahan dan akhir anak-anak, yaitu anak-anak yang berusia 6-12 tahun dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian memiliki kecerdasan emosi yang beragam untuk setiap aspeknya. Para subjek tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam aspek pengenalan terhadap emosi diri dan emosi orang lain. Meskipun demikian, anak-anak tersebut kurang memiliki kemampuan yang baik dalam aspek pengelolaan emosi. Kecerdasan emosi tersebut terbentuk dari pola asuh yang diterapkan oleh orangtua, relasi yang terbentuk antara ibu dan anak, serta kegiatan anak diluar sekolah. Relasi antara ibu dan anak ini terbentuk akibat pola asuh yang diterapkan oleh ibu.

(8)

viii

EMOTIONAL INTELLIGENCE OF CHILDREN WITH A SINGLE PARENT MOTHER DUE TO DIVORCE

Gita Gafiratri

ABSTRACT

This study aimed to provide an overview of emotional intelligence possessed by the children with a single parent mother due to divorce. Considering that a single parent mother had a problem in dividing her time, bearing the burden and also had a heavy responsibility because a single parent mother having to hold two roles at once, that is a role as a mother that taking care for her children and educated them. Beside that, a single parent mother also replace the father figure who had to making a living. Limitations of time and the multiple roles that held by a single parent mother due to divorce had an effect on the child development and their behavior, especially in the formation of characteristics, character and emotional intelligence of children. This research is a qualitative-descriptive study. The data obtained using a semi-structured interviews and using the rating scales observation methods. Of these two methods were then analyzed to describe the emotional intelligence of children with a single parent mother due to divorce. Subjects in this study were children in the middle and late childhood aged 6-12 years old with a single parent mother due to divorce. The findings in this study showed that children with a single parent mother due to divorce have a variety emotional intelligence for each aspects. These children have a good ability in recognition of emotional self and others emotions’ aspects. Neverthless, these children lack good skills in managing emotions. Emotional intelligence is formed of parenting applied by

parents, relationships formed between mother and child, and children’s activities besides school. The relationship between mother and child was formed by parenting style that applied by the mother.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat-Nya yang telah dikaruniakan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul ”Kecerdasan Emosi Anak dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal Akibat Perceraian”. Penulisan ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Terselesaikannya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak di sekitar penulis. Maka pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus, Bapa sekaligus sahabat setia yang selalu hadir dalam doa yang aku panjatkan ketika aku mengeluh dan selalu memberi damai sejahtera dalam hatiku. You are my hope, my strength and my all in all. I could never do and through this all without You LORD JESUS.

2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan Fakultas Psikologi serta selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan selama proses kuliah dan memberikan pelajaran berharga tentang perjuangan dalam menyelesaikan skripsi.

(11)

xi

4. Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si., Psi., selaku Wakaprodi dan dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga serta pikiran dan dengan penuh kesabaran selalu membimbing penulis serta memberikan saran yang bermanfaat dalam penelitian ini sehingga proses penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Terima kasih, Bu.

5. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi., dan Ibu Sylvia Carolina MYM., M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lebih baik.

6. Dosen-dosen Fakultas Psikologi, terima kasih telah membantu penulis dalam memberikan ilmu pengetahuan selama penulis mengikuti perkulian.

7. Karyawan Fakultas Psikologi: Mas Muji, Mas Doni, Mas Gandung, Mbak Nanik, dan Pak Giek, atas segala bantuan fasilitas selama proses perkuliahan. 8. Papaku Sugihartono dan mamaku Nunung Joeniartin selaku orangtua yang

telah membantu penulis tanpa pamrih dari segi materil, maupun non materil, yang selalu ada di saat sedih ataupun gembira serta doa-doa yang dipanjatkan untuk penulis. You’re the best and perfect parents ever to me, I love you. 9. Kakakku Gina serta adik-adikku Gilang dan Nanda. I’m so proud to be your

sister. Terimakasih untuk doa-doanya. I love you all.

10. Thomas “[F]ame” Budianto my idol, my inspirations, my everything. Thanks for every smile that shown and thanks for always encourage me

(12)

xii

11. Riana, teman seperjuangan yang selalu bisa menerima aku apa adanya serta saling mendukung dan menguatkan selama proses pengerjaan skripsi. I never found a best friend like you. You’re the best friend ever.

12. Om Maryono dan Tante Ningsih – orangtua dari Riana yang selalu saja aku repotin kalau main ke rumahnya. Terima kasih, Om; terima kasih, Tante. 13. Kak Sentya dan Kak Linda, teman sekaligus kakak untuk saran dan masukan

yang diberikan terkait dengan penulisan skripsi; serta Dessy dan Mega, atas waktu yang diluangkan untuk diskusi dan sharing terkait dengan penulisan skripsi.

14. Teman-teman Komsel J-Lo Saranghae (Ci Intan, Ci Nila, Kak Emy, Kak Iken, Claudia, Tata) untuk doa, semangat dan dukungannya.

15. Kakak-kakak Guru Sekolah Minggu Kids Impact Gereja Keluarga Allah Grand Pelita (Kak Sylvi, Kak Felly, Kak Meta, Kezia dan Agitha) serta

anak-anak Sekolah Minggu Kids Impact Gereja Keluarga Allah Grand Pelita untuk dukungan doa, keceriaan dan kebersamaannya.

16. Mbak Rup, yang menemani dan membuat hari-hariku ceria di rumah.

17. Teman-teman „Famous Jogja‟ (Neng Mita dan Bang Mirza) untuk keceriaan dan dukungannya;

(13)

xiii

19. Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak mungkin disebutkan satu persatu untuk doa dan dukungannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima segala kritik dan saran yang diberikan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi yang membacanya.

(14)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoretis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

(15)

xv

1. Pengertian Emosi ... 9

2. Pengertian Kecerdasan Emosi ... 11

3. Proses Berkembangnya Kecerdasan Emosi ... 12

4. Aspek Kecerdasan Emosi ... 15

a. Mengenali Emosi Diri ... 15

b. Mengelola Emosi ... 16

c. Memotivasi Diri Sendiri ... 17

1) Optimisme ... 17

2) Harapan ... 18

3) Flow ... 18

d. Mengenali Emosi Orang Lain ... 18

e. Membina Hubungan ... 19

5. Ciri-ciri Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi ... 20

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi ... 22

a. Keluarga ... 22

b. Pengalaman dengan Lingkungan Sekitar ... 23

c. Pendidikan Sekolah ... 23

B. Anak-anak Masa Pertengahan dan Akhir ... 24

1. Batasan Usia Anak Usia Akhir ... 24

2. Karakteristik Perkembangan Masa Pertengahan dan Akhir Anak-anak ... 24

a. Perkembangan Fisik ... 24

(16)

xvi

c. Perkembangan Psikososial ... 26

d. Perkembangan Emosi ... 28

3. Tugas Perkembangan Anak Tahap Akhir (Usia 6-12 Tahun) ... 30

C. Keluarga dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal Akibat Perceraian ... 31

1. Pengertian dan Fungsi Keluarga ... 31

2. Perceraian ... 32

3. Ibu sebagai Orangtua Tunggal ... 35

D. Kecerdasan Emosi Anak-anak dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal Akibat Peceraian ... 37

E. Pertanyaan Penelitian ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

A. Jenis Penelitian ... 42

B. Fokus Penelitian ... 44

C. Subjek Penelitian ... 46

D. Metode Pengambilan Data ... 46

E. Analisis Data ... 54

1. Reduksi Data ... 55

2. Penyajian Data ... 56

3. Menarik Kesimpulan atau Verifikasi ... 56

F. Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data ... 59

1. Triangulasi Sumber ... 60

2. Triangulasi Teknik ... 60

(17)

xvii

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Proses Pengambilan Data ... 62

1. Pelaksanaan ... 62

2. Data Subjek ... 63

B. Hasil ... 63

1. Subjek 1 ... 63

a. Latar Belakang Subjek 1 ... 63

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 1 ... 65

1) Pengenalan Emosi Diri ... 66

2) Pengelolaan Emosi ... 67

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 69

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 70

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 71

2. Subjek 2 ... 72

a. Latar Belakang Subjek 2 ... 72

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 2 ... 74

1) Pengenalan Emosi Diri ... 74

2) Pengelolaan Emosi ... 76

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 78

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 79

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 79

3. Subjek 3 ... 81

(18)

xviii

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 3 ... 84

1) Pengenalan Emosi Diri ... 85

2) Pengelolaan Emosi ... 86

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 87

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 88

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 89

4. Subjek 4 ... 91

a. Latar Belakang Subjek 4 ... 91

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 4 ... 94

1) Pengenalan Emosi Diri ... 94

2) Pengelolaan Emosi ... 96

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 97

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 98

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 99

5. Subjek 5 ... 101

a. Latar Belakang Subjek 5 ... 101

b. Hasil: Kecerdasan Emosi Subjek 5 ... 103

1) Pengenalan Emosi Diri ... 103

2) Pengelolaan Emosi ... 105

3) Motivasi terhadap Diri Sendiri ... 106

4) Pengenalan terhadap Emosi Orang Lain ... 107

5) Pembinaan Hubungan dengan Orang Lain ... 108

(19)

xix

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran ... 118

1. Bagi Orangtua Tunggal ... 119

2. Bagi Peneliti Lain ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120

(20)

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pedoman Wawancara terhadap Anak mengenai Kecerdasan

Emosi ... 48 Tabel 3.2 Pedoman Observasi SkalaRating ... 51 Tabel 3.3 Pedoman Wawancara Kecerdasan Emosi Anak dengan Ibu sebagai

Orangtua Tunggal untuk Wawancara denganSignificant Others

(Ibu) ... 54 Tabel 3.4 Pedoman Pemberian Koding ... 57 Tabel 4.1 Daftar Pelaksanaan Wawancara Langsung dengan Subjek dan Ibu

Subjek ... 62 Tabel 4.2 Data Subjek ... 63 Tabel 4.3 Ringkasan Temuan Penelitian berdasarkan Hasil Wawancara

dengan Orangtua Seluruh Subjek ... 109 Tabel 4.4 Ringkasan Temuan Penelitian berdasarkan aspek Kecerdasan Emosi

(21)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kecerdasan emosi merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupannya. Terdapat individu yang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) tinggi namun mengalami kegagalan, sebaliknya individu yang memiliki IQ rata-rata bisa mendapatkan kesuksesan atau berhasil dalam kehidupannya. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan yang terletak pada kemampuan-kemampuan tertentu yang oleh Goleman (1994) disebut sebagai kecerdasan emosi (Emotional Intelligence). Kecerdasan emosi ini mencakup pengendalian diri, semangat, ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.

(22)

lebih menyenangkan, emosi mampu membuat individu merasakan getaran-getaran perasaan dalam dirinya maupun orang lain.

Untuk dapat berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan, seseorang perlu memiliki kecerdasan emosi. Bar-On mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (dalam Goleman, 2000). Kecerdasan emosi ini tentunya tidak terlepas dari perkembangan emosi sejak masa kanak-kanak. Shapiro (1997) mengatakan bahwa anak-anak yang memiliki keterampilan emosional menunjukkan sikap lebih percaya diri, lebih bahagia dan lebih sukses di sekolah.

(23)

Perkembangan emosi anak sangat dipengaruhi oleh keluarga, pengalaman dengan lingkungan sekitar dan pendidikan sekolah (Gottman & Declaire, 2003). Goleman (1997) mengatakan bahwa keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak dalam mempelajari emosi. Sebagaimana kita ketahui, keluarga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan sepanjang hidup seorang individu. Dari keluargalah semua aktivitas dimulai. Keluarga yang dikatakan sukses dalam mendidik anak dapat terlihat melalui terbentuknya kepribadian anak yang utuh dan sehat mental, sebab di dalam keluarga terdapat fondasi untuk terbentuknya suatu pribadi yang sehat baik secara fisik maupun psikis. Santrock (2003) mengatakan bahwa lingkungan keluarga, khususnya orangtua, dapat mengajarkan kecerdasan emosi kepada anak sejak masih bayi meskipun masih melalui ekspresi wajah. Oleh sebab itu, pengalaman emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa.

(24)

ayah atau ibu tetap dirasakan kehadirannya dan dihayati secara psikologis oleh anak-anak.

Keluarga ideal pada umumnya membesarkan anak dengan dua orangtua, yang terdiri dari ayah dan ibu. Namun kenyataanya ada beberapa keluarga dengan orangtua tunggal yang membesarkan anaknya. Hal ini berarti dalam keluarga hanya terdapat satu orangtua, yaitu ayah atau ibu saja. Keluarga dengan orangtua tunggal dapat terjadi karena disebabkan oleh meninggalnya salah satu orangtua dalam keluarga atau dikarenakan adanya perpisahan ataupun perceraian (Balson, 1993). Hurlock (1989) menyatakan bahwa apabila keluarga dengan orangtua tunggal disebabkan oleh perceraian, akibat yang dirasakan oleh anak akan lebih terasa jika dibandingkan dengan yang disebabkan oleh kematian salah satu orangtua. Terdapat dua alasan berkenaan dengan hal ini. Pertama, periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi anak daripada periode penyesuaian yang menyertai kematian orangtua. Kedua, akibat yang disebabkan oleh perceraian dapat dikatakan serius karena orangtua telah membuat anak menjadi “berbeda” diantara teman sebayanya.

(25)

pengaruhnya terhadap rentang hidup anak. Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang membuktikan bahwa perceraian dan perpisahan orangtua memiliki pengaruh lebih besar terhadap masalah-masalah kejiwaan anak di kemudian hari daripada pengaruh kematian orangtua (dalam Gottman & DeClaire, 2008).

Banyaknya kasus perceraian yang terjadi menyebabkan meningkatnya jumlah keluarga dengan orangtua tunggal. Demikian halnya dengan perceraian yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Data Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (Ditjen Badilag MA) pada tahun 2010 terdapat 285.184 perkara yang berakhir dengan perceraian dan diajukan ke Pengadilan Agama se-Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir berdasarkan data tersebut, peningkatan perkara yang masuk dapat mencapai 81% (“Tingkat Perceraian di Indonesia Meningkat”, 2011).

(26)

juta jiwa di Indonesia yang kepala keluarganya berstatus janda (dalam Zakiah 2007).

Terdapat beberapa permasalahan terkait dengan ibu sebagai orangtua tunggal. Sebagai seorang janda, ibu cenderung memiliki perasan khawatir terhadap anak sehingga ibu memberikan perlindungan yang berlebihan. Perasaan khawatir yang muncul tersebut merupakan akibat dari dua peran yang dipegang sekaligus oleh ibu. Di sisi lain, ibu juga cenderung tidak memiliki waktu yang cukup lagi untuk anak-anak karena harus bekerja demi memenuhi kebutuhan finansial. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bird (dalam Gass-Sternas, 1995) bahwa orangtua tunggal wanita mempunyai beban dan tanggung jawab yang berat karena harus memegang dua peran sekaligus, yaitu sebagai ibu yang harus mengasuh dan mendidik anak, juga menggantikan figur ayah yang harus mencari nafkah.

(27)

Ketidakutuhan dalam keluarga memiliki dampak besar yang akan dirasakan oleh anak. Sebagai contoh, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Seltzer (dalam Papalia, 2004) menunjukkan bahwa anak dari orangtua tunggal atau single parent cenderung dinilai kurang, baik secara sosial maupun edukasional jika dibandingkan anak dari orangtua utuh, yaitu orangtua yang terdiri dari ayah dan ibu. Hal ini sebagian dikarenakan orangtua tunggal lebih cenderung menjadi miskin (partly because one-parent families are more likely to be poor). Selain itu, hasil dalam penelitian yang dilakukan oleh Bamlet dan Mosher (dalam Papalia, 2004) menunjukkan bahwa anak dengan orangtua utuh cenderung dinilai lebih baik daripada anak yang berasal dari keluarga yang bercerai atau keluarga tiri. Kecenderungan lain yang dimiliki oleh anak yang tinggal dengan ibu sebagai orangtua tunggal adalah kurangnya kohesi dalam keluarga, dukungan, kontrol serta disiplin dari ayah, karena ayah absen dari kehidupan rumah tangga (Amato, 1987; Coley, 1998; Walker & Hennig, 1997 dalam Papalia, 2004).

B. Rumusan Masalah

(28)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kecerdasan emosi yang dimiliki oleh anak-anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, di bidang psikologi anak khususnya terkait dengan kecerdasan emosi anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian.

2. Secara Praktis

(29)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Goleman (2005), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologis terlihat tertawa, dan emosi sedih mendorong seseorang untuk berperilaku menangis.

(30)

hidup kita. Akan tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikannya (Goleman, 2005).

Menurut Mayer (dalam Goleman, 2005), orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu: sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosi agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia.

Senada dengan pendapat ahli lainnya di atas, Seamon dan Kenrick (dalam Priyanti, 2003) juga mengungkapkan bahwa emosi memiliki tiga komponen yang saling terkait satu sama lain, yakni aspek fisiologis (sistem syaraf), aspek perilaku (gerak dan ekspresi wajah), dan aspek pengalaman fenomenologis. Pengalaman fenomenologis yang dimaksudkan oleh kedua tokoh tersebut adalah pengalaman yang diperoleh dengan melibatkan perasaan atau kognitif.

(31)

2. Pengertian Kecerdasan Emosi

Istilah “kecerdasan emosi” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dariHarvard Universitydan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Keterampilan EQ bukanlah lawan dari keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu,EQtidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan (Shapiro, 1997).

Menurut Goleman (2005), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence) atau mengenali emosi diri; menjaga

keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) atau mengelola emosi melalui keterampilan kesadaran

diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial (membina hubungan atau kerjasama dengan orang lain).

(32)

kelemahan pribadi, menunjukkan rasa empati kepada orang lain serta membangun kesadaran diri dan pemahaman pribadi.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan emosi secara efektif dengan cara mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, mampu mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain sehingga seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

3. Proses Berkembangnya Kecerdasan Emosi

Menurut Shapiro (1997), tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosi yang ditinjau melalui tahap-tahap perkembangan anak lebih bervariasi dibandingkan perkembangan anak secara fisik maupun kognitif. Perkembangan secara fisik dan kognitif dapat diperkirakan dalam banyak hal, sedangkan perkembangan secara emosi lebih kompleks. Pada umumnya orangtua hanya mengikuti dan mengantisipasi perkembangan anak secara fisik dan kognitif saja. Kecerdasan emosi anak berkembang seiring dengan tingkat keinginan anak untuk mencoba melakukan hal-hal baru. Dengan adanya kesempatan yang diberikan kepada anak, merangsang anak untuk memotivasi dirinya sendiri dalam mencapai apa yang diinginkannya (dalam Priyanti, 2003).

(33)

perkembangan kecerdasan emosi anak. Pada usia balita, anak memiliki optimisme dan kepercayaan diri yang tinggi dalam beraktivitas. Pada usia tersebut, anak belum dapat membedakan antara upaya dan kemampuan, sehingga anak akan tetap mencoba melakukan aktivitas hingga berhasil. Dengan bertambahnya usia anak antara 8 hingga 12 tahun, maka meningkat pula kematangan kognitif anak yang menjadikannya mampu menilai secara lebih realistis. Kemampuan nilai tersebut menimbulkan suatu kesadaran bahwa upaya dapat menjadi kompensasi untuk kemampuan.

Terdapat 2 aspek utama dalam perkembangan emosi anak pada usia pertengahan dan akhir anak-anak, yaitu melanjutkan pertumbuhan pengetahuan anak tentang emosinya dan kemajuan dalam mengelola keadaan emosi mereka. Bukatko (2008) mengatakan bahwa perkembangan emosi dipengaruhi oleh komunikasi dan interaksi sosial yang dimiliki oleh anak dengan orang dewasa dan dengan teman sebaya.

(34)

(anak harus tersenyum meskipun sedang tidak merasa baik jika ingin diizinkan oleh ibu menghadiri pesta ulang tahun teman) (Bukatko, 2008).

Harris (dalam Bukatko, 2008) menyatakan bahwa anak-anak usia pertengahan dan akhir anak-anak telah mengembangkan pemahaman yang luas dari norma-norma sosial dan harapan yang mengelilingi tampilan perasaan. Pengetahuan tentang emosi dapat memiliki konsekuensi yang signifikan bagi perkembangan sosial anak. misalnya, anak-anak usia 5 tahun yang mampu memberikan label ekspresi emosi pada wajah dengan tepat, lebih cenderung menampilkan perilaku sosial yang positif pada usia 9 tahun (Izard et al., 2001 dalam Bukatko, 2008).

Perkembangan emosional pada anak usia pertengahan dan akhir anak-anak erat berafiliasi dengan kemajuan dalam kognisi yang memungkinkan anak-anak tersebut untuk berpikir dalam istilah abstrak yang lebih kompleks. Pada saat anak-anak tersebut masuk sekolah, mereka mulai memahami bahwa perubahan dalam pikiran dapat menyebabkan perubahan dalam perasaan – yang memiliki pikiran bahagia misalnya, dapat menghilangkan suasana hati yang sedih (Weiner & Handel, 1985 dalam Bukatko, 2008).

(35)

dengan pikiran mereka sendiri dan kadang-kadang dua emosi yang berbeda dapat dialami secara bersamaan. Pengetahuan tentang emosi yang dipelajari oleh anak-anak usia pertengahan dan akhir anak-anak ini diperoleh melalui interaksi dengan orangtua. Orangtua yang memberikan bimbingan yang mendukung dan berinteraksi dengan anak secara positif, memiliki anak yang memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola emosinya.

4. Aspek Kecerdasan Emosi

Goleman (2005) mengutip Salovey, menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu:

a. Mengenali Emosi Diri

(36)

atas perasaannya yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Kemampuan mengenali diri sendiri meliputi: kesadaran diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Menurut Mayer (dalam Goleman, 2005), kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

b. Mengelola Emosi

(37)

mengelola emosi diri sendiri mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan (dalam Goleman, 2005).

c. Memotivasi Diri Sendiri

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. Perkembangan kemampuan memotivasi diri ini juga dimotori oleh kemampuan memecahkan masalah. Bila diberi kesempatan dan dukungan, anak akan mampu melihat permasalahan dari berbagai sisi dan menyelesaikan masalahnya. Keberhasilan dalam memecahkan masalah ini akan mengembangkan kemampuan memotivasi dirinya.

Memotivasi Diri menurut Myers (dalam Goleman, 1995) adalah suatu kebutuhan atau keinginan yang dapat memberi kekuatan dan mengarahkan tingkah laku menjadi motivasi. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat di telusuri melalui hal-hal sebagai berikut:

1) Optimisme

(38)

saat mengalami kekecewaan dan kesulitan dalam hidup. Optimis merupakan sikap yang cerdas secara emosi.

2) Harapan

Harapan sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Harapan merupakan keyakinan adanya kemauan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Orang yang mempunyai harapan tidak akan menjadi cemas dan tidak akan bersikap pasrah, seseorang yang mempunyai harapan memiliki beban stres yang rendah.

3) Flow

Flow merupakan puncak pemanfaatan emosi demi mencapai sasaran yang ditetapkan. Dalam flow, emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan tetapi juga bersifat mendukung, memberi tenaga dan keselarasan dengan tugas yang dihadapi. Ciri khas flow adalah perasaan kebahagiaan yang spontan.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

(39)

kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa saja yang dibutuhkan orang lain sehingga menjadi lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Kunci dari empati adalah kemampuan membaca kesan nonverbal, yaitu nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi wajah.

Rosenthal (dalam Priyanti, 2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat nonverbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosi, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2005), seorang ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustrasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain (dalam Wahyuningsih, 2004).

e. Membina Hubungan

(40)

keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2005). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun, karena orang tersebut mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (dalam Goleman, 2005). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana anak mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian anak berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.

5. Ciri-ciri Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi

Berdasarkan aspek kecerdasan emosi yang telah terpapar di atas, Goleman (2001) menyimpulkan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi sebagai berikut:

a. Memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu; b. Mampu mengendalikan perasaan seperti marah, agresif, dan tidak sabar; c. Memikirkan akibat sebelum bertindak;

d. Berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidup; e. Sadar akan perasaan diri dan orang lain;

f. Berempati dengan orang lain;

(41)

h. Membentuk konsep diri yang positif;

i. Mudah menjalin persahabatan dengan orang lain; j. Mahir dalam berkomunikasi;

k. Menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.

Sedangkan ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Bertindak mengikuti perasaan, tanpa memikirkan akibat; b. Pemarah, bertindak agresif;

c. Memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas; d. Kurang peka terhadap perasaaan diri;

e. Tidak dapat mengendalikan perasaan danmoodyang negatif; f. Terpengaruh oleh perasaan negatif;

g. Harga diri negatif;

h. Tidak mampu menjalin persahabatan dengan orang lain; i. Menyelesaikan konflik dengan kekerasan.

(42)

menuju kehidupan emosi yang normal dapat dilakukan pula dengan cepat. Menurut Monks (1996), kecerdasan emosi yang tinggi pada anak dapat mengalami penurunan apabila orangtua dan lingkungan yang melingkupi anak tidak mampu memberikan dorongan atau bimbingan (dalam Priyanti, 2003).

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Menurut Gottman dan Declaire (2003) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain, yaitu:

a. Keluarga

(43)

dalam upaya pemenuhan kebutuhan emosi anak melalui perhatian dan sikap dalam berinteraksi serta berkomunikasi dengan anak karena ibu merupakan sosok yang dekat dengan anak dan berperan sebagai pelindung dan pengasuh utama (dalam Retnowati, 2007).

b. Pengalaman dengan Lingkungan Sekitar

Kecenderungan seseorang untuk bertindak biasanya diawali oleh pengalaman hidupnya. Cara mempelajari keterampilan emosi dapat diperoleh dari pengalaman dengan lingkungan sekitar, ketika individu melakukan kontak sosial dengan orang lain. Adanya hubungan dengan orang lain dapat mempengaruhi perilaku individu seperti bagaimana menilai orang lain, bagaimana berkomunikasi dan bagaimana individu dapat menentukan sikap (Goleman, 2005).

c. Pendidikan Sekolah

(44)

B. Anak-anak Masa Pertengahan dan Akhir

1. Batasan Usia Anak Usia Akhir Anak-anak

Anak tahap akhir berkisar antara usia 6-12 tahun, namun akhir usia anak tahap akhir lebih ditandai oleh kematangan seksual, sehingga usia akhir anak tahap akhir bisa berubah sesuai dengan kondisi individu. Para ahli lebih banyak menyebut periode anak tahap akhir sebagai usia sekolah dasar karena di usia ini anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa.

Menurut Hurlock (1980), masa pertengahan dan akhir anak-anak merupakan kelanjutan dari masa awal anak-anak yang dimulai dari usia pra sekolah hingga usia sekolah dasar. Periode perkembangan ini berlangsung dari usia 6 tahun hingga anak menjadi individu yang matang secara seksual, yaitu usia sekitar 12 tahun (dalam Desmita, 2010).

2. Karakteristik Perkembangan Masa Pertengahan dan Akhir

Anak-anak

Periode perkembangan masa pertengahan dan akhir kanak-kanak memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Perkembangan Fisik

(45)

menjadi matang secara seksual. Oleh karena itu, masa ini sering juga disebut sebagai “periode tenang” sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang masa remaja. Dalam perkembangan fisik ini, terjadi perubahan pada berat dan tinggi badan yang berkaitan dengan sistem rangka, sistem otot, serta keterampilan-keterampilan motorik (Santrock, 2008).

b. Perkembangan Kognitif

Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar maka kemampuan kognitifnya turut mengalami perkembangan yang pesat. Hal tersebut disebabkan oleh bertambah luasnya dunia anak sehingga memunculkan minat anak dalam berbagai hal.

Perkembangan kognitif anak pada masa ini mengacu pada teori dan pemikiran operasional konkrit (concrete operational thought) Piaget. Menurut Piaget (1967), pemikiran operasional konkrit terdiri dari operasi-operasi dan tindakan-tindakan mental yang memungkinkan anak melakukan secara mental apa yang telah dilakukan sebelumnya secara fisik. Namun demikian, operasi konkrit ialah suatu tindakan mental yang bertentangan terhadap objek-objek yang nyata dan konkrit (dalam Deswita, 2010).

(46)

tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindera, karena anak mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya. Menurut Piaget, anak-anak pada masa operasional konkrit ini telah mampu menyadari konservasi, yakni kemampuan anak untuk berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak (Johnson & Medinnus dalam Deswita, 2010).

c. Perkembangan Psikososial

Pada masa ini anak-anak mengalami perubahan-perubahan tertentu untuk menyiapkan diri memasuki masa remaja bahkan masa dewasa, diantaranya adalah anak-anak mulai sekolah dan kebanyakan anak-anak sudah mempelajari mengenai sesuatu yang berhubungan dengan manusia, serta mulai mempelajari berbagai keterampilan praktis.

(47)

Sekolah Dasar (SD). Kelompok-kelompok anak usia 10-14 tahun merupakan kelompok yang ada organisasinya, dengan aturan-aturan dan perjanjian-perjanjian.

Pada masa usia anak tengah dan akhir, anak-anak mengalami banyak penyesuaian. Masa ini bisa dikatakan sebagai masa awal permulaan transisi. Anak belum sepenuhnya memasuki masa remaja namun sudah tidak bisa dianggap sebagai anak kecil lagi. Pergaulan lingkungan sosial mereka tidak lagi terbatas dalam lingkungan tertentu namun sudah mulai bersinggungan dengan masyarakat yang lebih luas lagi. Anak pada usia ini sudah tanggap dengan segala kondisi dan tekanan yang ada dalam lingkungan sekitar, namun masih belum mampu merespon dengan tepat. Akibatnya, anak yang dibiarkan tumbuh tanpa kontrol orangtua bisa terjebak pada pengaruh-pengaruh negatif dan keputusasaan (dalam Monks, 1996).

Beberapa aspek yang berpengaruh terhadap perkembangan psikososial anak pada masa akhir ini diantaranya adalah pemahaman anak terhadap “diri” (self), yaitu anak mengorganisasi dan memahami tentang siapa dirinya yang didasarkan atas pandangan orang lain terhadap dirinya, pengalaman-pengalamannya sendiri, dan atas dasar penggolongan budaya, seperti gender, ras, dan sebagainya.

(48)

meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya (Seiffert & Hoffnung, 1994; Atwater, 1987 dalam Desmita, 2010). Selanjutnya, Atwater mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image yaitu kesadaran tentang tubuhnya (bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri). Kedua, ideal self yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya (Desmita, 2010).

d. Perkembangan Emosi

(49)

Kontrol diri melibatkan aspek perkembangan emosional yaitu regulasi emosi. Thompson (1994) mendefinisikan regulasi emosi sebagai kemampuan untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosional seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, regulasi emosi membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami dan untuk meredam perasaan.

Syamsu (2008), menyatakan bahwa menginjak usia sekolah anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Anak kemudian mulai belajar untuk mengendalikan ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperoleh anak melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Emosi-emosi yang secara umum dialami pada tahap perkembangan usia sekolah ini adalah marah, takut, cemburu, iri hati, kasih sayang, rasa ingin tahu, dan kegembiraan (rasa senang, nikmat, atau bahagia).

(50)

tersebut. Garnefski dan rekannya (2001) menggungkapkan bahwa regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (dalam Salamah, 2008).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah terpapar di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun emosi anak pada tahap usia pertengahan dan akhir kanak-kanak sedang berkembang. Namun demikian, anak-anak pada masa tersebut pada dasarnya telah memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dan mengontrol emosi yang dirasakan.

3. Tugas Perkembangan Anak Tahap Akhir (Usia 6-12 Tahun)

Menurut Havighurst (dalam Desmita, 2010), tugas perkembangan anak usia sekolah (6-12 tahun) antara lain adalah a) belajar bergaul dan bekerjasama dalam kelompok sebaya; b) mengembangkan keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung; c) mengembangkan konsep-konsep penting dalam kehidupan sehari-hari; d) mengembangkan hati nurani, moralitas dan sistem nilai sebagai pedoman perilaku; e) belajar menjadi pribadi yang mandiri.

(51)

menguasai ledakan-ledakan emosinya, mampu mengendalikan emosi yang tidak sesuai dengan harapan lingkungannya. Peran orangtua dalam mengembangkan kecerdasan dan perkembangan emosi anak secara bertahap, akan mendorong potensi anak untuk tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kemampuan kecerdasan yang tinggi, pengendalian emosi yang baik, serta kuat mental spiritualnya (Desmita, 2010).

C. Keluarga dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal Akibat Perceraian

1. Pengertian dan Fungsi Keluarga

Menurut Gerungan (2009), keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat untuk belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Keluarga tidak hanya berfungsi sebagai penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan, keluarga merupakan sumber pendidikan utama karena segala pengetahuan dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama kali dari orangtua dan anggota keluarganya sendiri. Keluarga merupakan produsen dan konsumen sekaligus dan harus mempersiapkan dan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari seperti sandang dan pangan. Setiap anggota keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka dapat lebih hidup senang dan tenang.

(52)

sebagai anggota individual dan sebagai sebuah unit sosial, antara lain: a) Fungsi Ekonomi, meliputi pemenuhan kebutuhan materi; b) Fungsi Perlindungan, dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga; c) Fungsi Agama, fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan dalam keluarga dan anggotanya agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa; d) Fungsi Pendidikan, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya dimana orangtua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan rohani dalam dimensi kognitif, afektif maupun skill; e) Fungsi Rekreasi, keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukkan dan melepas lelah dari seluruh aktivitas masing-masing anggota keluarga sehingga dapat mewujudkan suasana keluarga yang menyenangkan, menghargai, menghormati dan menghibur; f) Fungsi Afeksi, meliputi pengertian, perhatian, pemberian kasih sayang dan penerimaan; dan g) Fungsi Sosialisasi, mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik yang mampu memegang norma-norma kehidupan.

2. Perceraian

(53)

situasi yang sangat menekan dalam pernikahan, kemudian pasangan memutuskan apakah pernikahan akan dilanjutkan atau tidak. Sedangkan perceraian dimaknai sebagai putusnya ikatan pernikahan secara sah dan resmi. Jadi berpisah tidak sama dengan bercerai. Berpisah dapat diartikan sebagai awal dari perceraian walaupun berpisah tidak berarti bercerai (dalam Regina & Risnawaty, 2007).

(54)

Perceraian dapat memberikan dampak di berbagai aspek kehidupan, diantaranya adalah dampak secara hukum yaitu konsekuensi mengenai harta bersama yang diatur dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yaitu apabila perceraian terjadi, harta bersama diatur menurut hukum yang digunakan oleh pihak yang bercerai (hukum adat atau hukum agama). Berdasarkan Pasal 126 KUHPer, harta bersama dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang tersebut. Dampak hukum lainnya berkaitan dengan masalah pemeliharaan anak setelah perceraian diatur dalam Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1947, yaitu baik suami maupun istri memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara dan mendidik anak meskipun telah bercerai.

(55)

lain yang mungkin dialami adalah perasaan terhina atau perasaan marah dan kesal akibat sikap buruk pasangan atau mungkin merasa kesepian karena sudah tidak ada lagi tempat untuk berbagi cerita, mencurahkan dan mendapatkan bentuk kasih sayang. Serangkaian masalah kesehatan juga dapat muncul akibat depresi karena bercerai.

3. Ibu sebagai Orangtua Tunggal

Pada umumnya suatu keluarga terdiri dari ayah (suami), ibu (istri), dan anak-anak. Di dalam kehidupan keluarga, ayah dan ibu memiliki peran sebagai orangtua dari anak-anak. Pada kenyataannya, di masyarakat terdapat keluarga yang salah satu dari orangtua tidak ada, baik karena perceraian, perpisahan atau meninggal dunia. Di dalam suatu keluarga dimana hanya seorang ibu berperan tanpa dukungan atau bantuan figur seorang suami, sering dinamakan sebagaisingle mother.

(56)

Menurut Papalia (2008), single mother adalah wanita yang ditinggalkan oleh suami atau pasangan hidupnya baik karena terpisah, bercerai atau meninggal dunia untuk kemudian memutuskan untuk tidak menikah melainkan membesarkan anak-anak seorang diri. Anderson (dalam Mash & Wolfe, 1999), mengartikan single mother sebagai wanita dewasa yang memilih untuk hidup sendiri tanpa pendamping dikarenakan perceraian, perpisahan, maupun kematian dan menjadi tulang punggung keluarga. Exter (dalam Mash & Wolfe, 1999), mengatakan bahwa menjadi single mother merupakan pilihan hidup yang dijalani oleh individu yang berkomitmen untuk tidak menikah atau menjalin hubungan intim dengan orang lain.

(57)

Saat ini perceraian menjadi cara yang umum untuk menjadi orangtua tunggal. Ibu yang bercerai lebih banyak memiliki kesulitan dalam masalah kekuasaan dan kedisiplinan. Beberapa ibu menjelaskan tentang beratnya mengemban tugas tersebut. Para ibu ini mungkin terpaksa mulai bekerja di luar rumah untuk pertama kalinya guna memenuhi kebutuhan keuangan keluarganya dengan gaji pertama yang tidak begitu banyak. Beberapa di antaranya juga tidak dapat lagi menggantungkan kebutuhan keuangan dan emosionalnya ke mantan suami. Kita tahu bahwa kurang dari 50% ayah yang bersedia untuk menanggung biaya hidup anaknya setelah perceraian (dalam Weitzman, 1985).

Berdasarkan definisi diatas maka pengertian single mother adalah wanita yang ditinggalkan oleh suami karena kematian, perceraian atau ditinggalkan pasangan hidupnya yang tanpa ada ikatan pernikahan dan berperan sebagai tulang punggung keluarga dimana tanggung jawab atas finansial, emosi maupun masa depan keluarga dipegang sepenuhnya oleh individu tersebut.

D. Kecerdasan Emosi Anak-anak dengan Ibu sebagai Orangtua Tunggal

Akibat Perceraian

(58)

Kecerdasan emosi anak akan berkembang seiring dengan tingkat keinginan anak untuk mencoba melakukan hal-hal baru (dalam Priyanti, 2003).

Menurut Hurlock (1988), kemampuan anak untuk bereaksi secara emosional sudah ada semenjak bayi baru dilahirkan. Karakteristik anak pada akhir masa kanak-kanak adalah anak sudah memiliki kontrol diri yang tinggi, mampu memotivasi diri serta mengendalikan diri (Wenar & Kerig, 2000). Kontrol diri melibatkan aspek perkembangan emosional yaitu regulasi emosi. Selain itu, anak-anak pada akhir masa kanak-kanak juga sudah memahami bahwa perilaku emosional ditentukan oleh aturan-aturan budaya (anak seharusnya terlihat bahagia ketika menerima hadiah meskipun tidak menyukai hadiah tersebut) dan perilaku yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu (anak harus tersenyum meskipun sedang tidak merasa baik jika ingin diizinkan oleh ibu menghadiri pesta ulang tahun teman) (Bukatko, 2008).

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa meskipun emosi anak pada tahap usia pertengahan dan akhir kanak-kanak sedang berkembang. Namun demikian, anak-anak pada masa tersebut pada dasarnya telah memiliki kemampuan untuk mengendalikan diri dan mengontrol emosi yang dirasakan.

(59)

masih melalui ekspresi wajah. Oleh sebab itu, pengalaman emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa.

Idealnya seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, namun hal tersebut akan berbeda jika salah satu atau bahkan kedua orangtua mereka tidak ada, apakah disebabkan oleh meninggalnya salah satu orangtua ataupun karena perceraian.

Berdasarkan berbagai sumber, jumlah wanita yang menjadi orangtua tunggal lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria yang menjadi orangtua tunggal. Menurut Kimmel (1980), hal ini terjadi karena wanita memiliki usia rata-rata yang lebih panjang dan pada umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua usianya. Di samping itu, lebih banyak duda yang menikah kembali sehingga lebih banyak jumlah janda dibandingkan duda (dalam Hetherington & Parke, 1999).

(60)

Hetherington dan rekannya (1999) mencatat bahwa segera setelah berpisah dari suami, ibu cenderung mengadopsi pola asuh yang lebih otoriter. Ibu memberi banyak larangan dan perintah serta menunjukkan sedikit afeksi dan tanggapan terhadap anak-anak. Tidak diragukan lagi bahwa ibu mengalami masalah, baik dalam mengatasi permasalahan emosi maupun praktis dengan status baru sebagai orangtua tunggal. Ibu akan menanggapi anak dengan pembatasan dan hukuman yang meningkat. Terjebak dalam spiral frustrasi, ketidakberdayaan dan perasaan tidak mampu, ibu-ibu merespon secara negatif pada banyak perilaku anak-anak, bahkan perilaku anak yang netral atau positif sekalipun.

Data membuktikan bahwa anak-anak yang dididik oleh orangtua yang bercerai jauh lebih besar kemungkinannya untuk memperlihatkan tingkah laku antisosial serta agresi terhadap teman-teman bermain mereka. Anak-anak tersebut juga menghadapi lebih banyak kesulitan untuk mengatur emosi mereka, untuk memusatkan perhatian dan menghibur diri saat merasa marah. Anak-anak yang pernikahan orangtuanya menyedihkan akan menjadi kurang mampu berkerjasama saat bermain bersama teman dan mempunyai lebih banyak interaksi negatif dengan teman-teman bermainnya jika dibandingkan dengan anak-anak yang pernikahan orangtuanya bahagia (Gottman & DeClaire, 2008).

(61)

penelitian-penelitian tersebut membuktikan bahwa perceraian dan konflik pernikahan dapat menempatkan anak pada suatu lintasan yang menjurus pada masalah-masalah berat dikemudian hari (Gottman & DeClaire, 2008).

Untuk lebih memperjelas mengenai terbentuknya kecerdasan emosi pada anak, maka di bawah ini akan digambarkan sebuah skema:

Skema Gambaran Umum tentang Terbentuknya Kecerdasan Emosi pada

Anak

E. Pertanyaan Penelitian

Dari uraian di atas, maka muncul pertanyaan: “Bagaimanakah kecerdasan emosi anak-anak dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian?”

Kecerdasan Emosi Anak? EfekParentingibu terhadap anak:

Pendampingan pada anak relative kurang

Rentan terhadap relasi kurang hangat

Ibu sebagai Orangtua Tunggal:

Ibu yang bekerja

Waktu yang terbatas dengan anak Anak

(62)

42 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang dipakai adalah studi deskriptif kualitatif. Studi

deskriptif adalah metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis

fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual

dan cermat. Penelitian deskriptif tidak mencari atau menjelaskan hubungan,

tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi, tapi hanya memaparkan situasi

atau peristiwa (Azwar, 2010). Penelitian deskriptif memiliki ciri-ciri: a)

berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat itu; b) menguraikan satu

variabel saja. Jika ada beberapa variabel yang akan diuraikan, dijelaskan satu

persatu; c) variabel yang diteliti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan

(treatment) terhadap variabel (Kountur, 2007).

Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menggambarkan karakteristik

dari individu, situasi atau kelompok tertentu. Sesuai dengan sifatnya yang

deskriptif, maka data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan

angka (Moleong, 2004). Selain itu, penelitian deskriptif juga ditujukan untuk:

1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang

ada.

2. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-parktek

(63)

3. Membuat perbandingan atau evaluasi (Azwar, 2010).

Menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif adalah penelitian

yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti

transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan

lain-lain. Patton mengatakan bahwa dalam penelitan kualitatif perlu

menekankan pada pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi

penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan

kondisi kehidupan nyata (dalam Poerwandari, 1998).

Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah manusia, baik peneliti

sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Oleh karena itu, kehadiran peneliti

dalam penelitian kualitatif mutlak diperlukan dalam menguraikan data

nantinya. Karena dengan terjun langsung ke lapangan maka peneliti dapat

melihat secara langsung fenomena di daerah lapangan seperti:

kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya ia menjadi hasil pelapor dari hasil penelitiannya” (Moleong, 2005).

Dalam penelitian kualitatif, peneliti berusaha menggali informasi dari

lapangan tanpa berusaha mempengaruhi informan. Moleong (2002)

mengatakan bahwa data yang dihasilkan dalam penelitian kualitatif adalah

data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang serta

(64)

Sebagai penelitian sosial, penelitian kualitatif memiliki beberapa

keunggulan dibandingkan dengan penelitian lain, diantaranya adalah (dalam

Catatan Ringan tentang Penelitian Kualitatif, 2008):

1) Fokus penelitian dalam penelitian kualitatif merupakan suatu entitas yang

utuh, sehingga penelitian kualitatif menekankan pada kajian terhadap

pelbagai hal yang terjadi di lapangan.

2) Pendekatan yang dilakukan oleh penelitian jenis ini adalah pendekatan

yang bersifat definition of situation, yaitu pendekatan yang dilakukan

secaraintensguna mendefinisikan sebuah situasi.

3) Jika dilihat dari segi hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian,

jenis penelitian ini mensyaratkan kedekatan dan komunikasi yangintens

antara peneliti dan subjek.

4) Analisis data dalam penelitian ini bersifat induktif, dimana data yang

diperoleh harus lengkap dan dapat direlasikan dengan teori-teori yang

membicarakan objek dalam suatu disiplin ilmu tertentu.

Dengan melihat kelebihan studi deskriptif kualitatif, maka metode ini

sesuai untuk menggali informasi mengenai gambaran kecerdasan emosi anak

dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat perceraian.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kecerdasan emosi

(65)

emosi merupakan serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang

dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi

tuntutan dan tekanan lingkungan. Kecerdasan emosi ini terdiri dari 5 aspek,

yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri,

mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain.

Kecerdasan emosi dalam penelitian ini terbentuk dari ibu sebagai orangtua

tunggal yang mengasuh anak.

Anak yang dinilai cerdas secara emosi memiliki kemampuan dalam

aspek-aspek kecerdasan emosi yang akan dijelaskan sebagai berikut

(Goleman, 2001):

1. Mengenali Emosi Diri; anak sadar akan perasaan diri sehingga

memikirkan tindakan dan perasaaan sebelum melakukan sesuatu.

2. Mengelola Emosi; anak mampu mengendalikan perasaan-perasaan yang

dirasakan. Sebagai contoh, anak mampu mengendalikan perasan marah,

ketidaksabaran dan menahan diri untuk tidak bersikap agresif, serta

mampu mengendalikanmooddan perasaan negatif yang dirasakan.

3. Memotivasi Diri; anak berusaha dan mempunyai daya tahan untuk

mencapai tujuan hidup.

4. Mengenali Emosi Orang Lain; anak peka terhadap perasaan orang lain

sehingga mampu berempati dengan orang lain.

5. Membina Hubungan dengan Orang Lain; anak mahir dalam berkomunikasi

(66)

C. Subjek Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian, subjek dalam penelitian ini adalah

anak yang berada pada masa pertengahan dan akhir anak, yaitu

anak-anak yang berusia 6-12 tahun dengan ibu sebagai orangtua tunggal akibat

perceraian.

D. Metode Pengambilan Data

Dalam penelitian ini, data mengenai kecerdasan emosi pada anak

diperoleh dengan menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yaitu:

1. Wawancara terhadap subjek (anak). Wawancara terhadap anak akan

menjadi data utama dalam penelitian ini;

2. Observasi skala rating yang dilakukan oleh ibu subjek. Observasi yang

dilakukan oleh ibu ini berfungsi sebagai data untuk mengkonfirmasi

wawancara terhadap subjek; dan

3. Wawancara terhadap ibu subjek, yang berfungsi sebagai data pelengkap

yang berisi latar belakang subjek.

Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab dalam penelitian yang

berlangsung secara lisan, dimana dua orang atau lebih bertatap muka

mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan

keterangan yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Banister (dalam

Poerwandari, 2005) mengungkapkan bahwa wawancara kualitatif dilakukan

(67)

subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan

bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak

dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang sangat

fleksibel, sebab mudah menyesuaikan dengan keadaan untuk diarahkan pada

relevansi informasi. Selain itu, melalui wawancara, peneliti dapat memperoleh

informasi secara langsung, tepat dan mendalam, serta membaca isyarat non

verbal dari subjek penelitian (Wawancara, 2012).

Wawancara yang akan dilakukan merupakan wawancara terbuka semi

terstruktur, yaitu wawancara yang terjadi ketika subjek mengetahui atau

menyadari bahwa mereka sedang dalam proses wawancara dan peneliti

memiliki panduan wawancara tetapi masih bisa dikembangkan lagi saat

pelaksanaan wawancara sesuai dengan kebutuhan perkembangan proses

wawancara. Wawancara semi terstruktur berarti peneliti tetap membuat

panduan pertanyaan, tetapi tidak harus mengikuti ketentuan secara ketat dan

memungkinkan mencakup ruang lingkup yang besar atau memungkinkan

untuk dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan di luar pertanyaan formal

guna mendukung pengumpulan informasi (Basuki, 2006). Agar data yang

diperoleh sesuai dengan apa yang disampaikan oleh subjek, maka

pembicaraan selama wawancara sedapat mungkin direkam dengan tape

recorder. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman wawancara

(68)

kuesioner wawancara sebagai landasan dalam menentukan fokus yang akan

peneliti tanyakan.

Tabel 3.1

Pedoman Wawancara terhadap Anak mengenai Kecerdasan Emosi

Aspek Kecerdasan Emosi Pertanyaan

Mengenali emosi diri 1. Apa Anda pernah merasa senang? Apa yang

membuat Anda senang?

2. Apa Anda pernah merasa sedih? Apa yang

membuat anak sedih?

3. Apa Anda pernah merasa marah? Apa yang

membuat Anda marah?

4. Apa Anda pernah merasa cemas? Apa yang

membuat Anda cemas?

5. Apa Anda pernah merasa iri? Apa yang membuat

Anda iri?

6. Apa Anda pernah merasa bersalah? Apa yang

membuat Anda bersalah?

7. Apa Anda pernah merasa takut? Apa yang

membuat Anda takut?

8. Apa Anda pernah merasa kecewa? Apa yang

membuat Anda kecewa?

Mengelola emosi 1. Apa yang Anda lakukan saat merasa sedih?

Bagaimana cara Anda menghibur diri?

2. Apa yang Anda lakukan saat merasa marah?

Bagaimana cara Anda menenangkan diri?

3. Apa yang Anda lakukan saat merasa cemas?

(69)

4. Apa yang Anda lakukan saat merasa iri?

5. Apa yang Anda lakukan saat merasa bersalah?

6. Apa yang Anda lakukan saat merasa takut?

Bagaimana cara Anda menenangkan diri?

7. Apa yang Anda lakukan saat merasa kecewa?

Bagaimana cara Anda menenangkan diri?

Memotivasi diri sendiri 1. Bagaimana sikap/perilaku Anda ketika menghadapi

tugas?

2. Bagaimana sikap/perilaku Anda ketika menghadapi

kesulitan?

3. Bagaimana sikap/perilaku Anda ketika menghadapi

kegagalan?

Mengenali emosi orang

lain atau empati

1. Apa yang biasanya Anda lakukan ketika ada teman

yang terlihat murung/sedih?

2. Apa yang biasanya Anda lakukan ketika ada teman

yang terlihat marah? Dari mana Anda mengetahui

hal tersebut?

3. Apa yang biasanya Anda lakukan ketika ada teman

yang terlihat senang? Dari mana Anda mengetahui

hal tersebut?

4. Apa yang biasanya Anda lakukan ketika ada teman

yang terlihat cemas? Dari mana Anda mengetahui

hal tersebut?

5. Apa yang biasanya Anda lakukan ketika ada teman

yang terlihat takut? Dari mana Anda mengetahui

hal tersebut?

Membina hubungan atau

kecakapan sosial

1. Apa yang Anda lakukan dalam menghadapi orang

lain/teman (khususnya orang yang baru dikenal)?

(70)

3. Apa yang Anda sukai dari teman itu? Kenapa

memilih berteman dengannya?

4. Apa saja yang Anda lakukan ketika bersama

teman?

5. Apakah Anda pernah marah/bertengkar dengan

teman? Bagaimana ceritanya? Apa yang Anda

lakukan setelah itu? Apakah ada upaya untuk

berdamai dengan teman? Seperti apa upayanya? /

Bagaimana situasi tersebut diselasaikan?

6. Apa saja yang Anda lakukan saat bermain dengan

teman?

7. Apa saja yang Anda lakukan saat bekerjasama

dengan teman?

8. Apakah ada teman yang nakal? Seperti apa

nakalnya? Bagaimana sikap Anda dalam

menanggapi teman yang demikian?

9. Bagaimana cara Anda menanggapi perlakuan dari

teman, misalnya ketika:

- Teman berkata kasar

- Memukul

- Menendang

- Marah-marah

- Mengejek

- Merebut/mengambil barang

- Melanggar janji

Selain menggunakan wawancara, penelitian ini juga menggunakan

observasi. Yang akan diamati adalah perilaku yang menunjukkan kecerdasan

(71)

Patton (dalam Poerwandari, 2005), menyatakan bahwa hasil observasi

menjadi data penting karena memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka,

berorientasi pada penemuan daripada penelitian. Selain itu memungkinkan

peneliti melihat hal-hal yang oleh subjek penelitian sendiri kurang disadari

dan juga memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang

karena berbagai sebab tidak diungkapkan oleh subjek penelitian secara terbuka

dalam wawancara.

Observasi yang digunakan bersifat deskriptif, yaitu mencatat data

konkrit berkaitan dengan fenomena yang diamati agar memungkinkan

pembaca untuk dapat memvisualisasikansetting yang diamati. Dengan uraian

deskriptif, pengamat meminimalkan biasnya, sehingga dengan sendirinya juga

dapat mengembangkan analisis yang lebih akurat saat menginterprestasi

seluruh data yang ada (Poerwandari, 2005). Alat pengumpulan data yang

digunakan adalah pedoman observasi yang akan dijadikan pedoman dalam

pengamatan terhadap subjek.

Tabel 3.2

Pedoman Observasi SkalaRating

Aspek Kecerdasan Emosi Indikator Perilaku

Mengenali emosi diri a. Anak menceritakan masalah-masalah yang

dialaminya pada orangtua/orang lain (guru)

b. Anak memberitahukan

perasaan-perasaannya pada orangtua/orang lain

(72)

c. Anak menjelaskan mengapa ia:

Mengelola emosi a. Anak menghibur diri sendiri di saat sedih

b. Anak menenangkan diri sendiri di saat

cemas

c. Anak menenangkan diri sendiri di saat

marah

Memotivasi diri sendiri a. Anak mencoba lagi setelah gagal

melakukan sesuatu

b. Anak bersemangat melakukan sesuatu

Mengenali emosi orang

lain atau empati

a. Anak menghibur teman yang sedang sedih

b. Anak membantu teman yang mengalami

kesulitan

c. Anak menceritakan masalah apa yang

menimpa temannya pada orangtua/guru

Membina hubungan atau

kecakapan sosial

a. Anak mau menyapa temannya terlebih

dahulu

b. Anak memperkenalkan diri pada teman

yang baru ditemui

c. Anak mau berbagi dengan temannya

d. Anak menggunakan kata ‘tolong’ ketika

Gambar

Tabel 3.2 Pedoman Observasi Skala Rating ..........................................................
Tabel 3.1
Pedoman Observasi SkalaTabel 3.2 Rating
Gambaran kedekatan ibu dengan anak (dalam hal keseharian
+7

Referensi

Dokumen terkait

In this chapter the writer analyzes the data by applying X-bar theory to both languages noun phrases found in the data. After applying X-bar theory, the writer

Syaikh Shaleh al-Fauzan juga membolehkan mengonsumsi obat- obatan pencegah kehamilan, atau lebih tepatnya penunda kehamilan, untuk jangka waktu tertentu bukan

0HOLKDW NHOHPDKDQ GL DWDV PDND SHUOX EDJL &9 ³(//<1 -$<$´ XQWXN PHODNXNDQ SHUEDLNDQ SHUEDLNDQ WHUKDGDS SHQHUDSDQ DFWLRQ FRQWURO WHUVHEXW VHSHUWL GLEXDWNDQ FDWDWDQ YROXPH

Non Aplicable Berdasarkan hasil verifikasi dokumen ekspor periode audit, diketahui bahwa produk yang diperdagangkan PT Sinar Abadi Utama (barecore dengan jenis kayu sengon –

pembahasan evaluasi dari komponen konteks, pada program pembelajaran tematik di Sekolah Dasar Negeri 33 Solie Kabupaten Soppeng, maka dapat disimpulkan bahwa dari

perhitungan inventory level produk Konicare 125 ml di cabang Jakarta 1 dan Solo, Grafik tersebut yang merupakan selisih antara jumlah stok dibandingkan dengan jumlah

Dua bentuk perkembangan keilmuan yang terjadi di dunia Islam, khususnya pada awal perkembangan, mengisyaratkan adanya sebuah tradisi yang hidup dan bersumber

Mikroskop pertama kali dikembangkan pada abad ke-16 menggunakan lensa sederhana untuk mengatur cahaya biasa.Pertama kali perbesaran terbatas kira – kira 10 kali dari ukuran