• Tidak ada hasil yang ditemukan

Luita Aribowo Memetakan Kemampuan Berbahasa Pada Otak Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Luita Aribowo Memetakan Kemampuan Berbahasa Pada Otak Manusia"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

Sutji Hartiningsih

Sofyan Hadi

Hermanu J

Lina Puryant

S. Itafarida

Dwi Handayan

Stereotipe Manusia Madura Dulu dan Sekarang 1

Tradisi Bersih Desa di Desa Ngasinan Kediri 9

Kosmologi dan Sinkretisme Orang Jawa:

Sistem Sosial Masyarakat Ngayogyakarta Hadiningrat 17

Jatuhnya Elit Keraton dalam Politik Pergerakan 25

Modernitas dan Lokalitas dalam Novel Mencari Sarang Angin Karya Suparto Brata:

Perspektif Pascakolonial 42

Intertekstualitas dalam Cinta Merah Jambu

Karya Bonari Nabonenar 54

Penggunaan Bahasa Plesetan dalam Bahasa indonesia 62

i

(2)

Resensi Buku: Dekolonisasi Metodologi

(3)

Pendahuluan

“Orang Madura itu sulit aturannya”, ujar seorang kiai yang juga Ketua Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember baru-baru ini pada saya. Ucapan kiai yang asal Jawa ini berkenaan dengan sulitnya orang Madura yang menjadi Pedagang kaki Lima di Jember direlokasi oleh Pemkab Jember. Ucapan yang bernada pejoratif banyak kita jumpai dalam forum resmi atau tidak resmi. Seperti halnya orang Jawa dan Sunda, ada banyak stereotipe yang ditempelkan pada manusia Madura.

Memang, tidak semua stereotipe orang Madura adalah benar. Karena stereotipe sama sekali tidak mencakup hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran objektif. Lebih dari itu, stereotipe bahkan menjadi semacam ilusi atau khayalan yang dimiliki bersama oleh banyak orang. Sama seperti orang Barat menciptakan stereotipe orang Timur sebagai makhluk yang bodoh, terbelakang, irasional, bejat dan sebagainya. (Edward W. Said: 1994, 51). Menarik sekali pernyataan Huub de

Jonge ketika menjelaskan stereotipe sebagai berikut:

Jonge, nampaknya mengafirmasi bahwa stereotipe tidaklah berhubungan dengan kebenaran objective, tetapi hanya pada khayalan-khayalan atau ilusi-ilusi yang bersifat kolektif. Makanya, bagi Jonge, tidak ada masalah apakah stereotipe itu secara faktual sesuai dengan kenyataan atau tidak; sebagian atau seluruhnya. Dan ini pula yang juga terjadi ketika orang-orang membuat stereotipe mengenai orang Madura.

Dus, ketika stereotipe dibuat, ia juga dibumbui oleh sederet penilaian. Ironisnya, bukan penilaian yang penuh kebijaksanaan, melainkan penilaian yang

“…are not concerned with objective truth, but rather with collective de or ilusions. It does not matter wether they are factually correct, some can be fully or partially so. Rather people believe them to be true and as such the have meaning in human thought and actions”. (Huub de Jonge: 1991, 3) Abstract

Key Word:

Both in the colonial period or after that, there were negative stereotypes about Madurese society. Nowdays stereotypes about Madurese society are better than years ago. In the colonial period, Madurese society were described as strongman, angry, not patient, extrovert, exlusive give ideas and do'nt know tradition. In this time, although stereotypes about Madurese society like years ago, but they are described by positive stereotypes like hardman in work, valiantman and affirmman in Islamic religiousity. Madurese society especially in out of Madura Island, can decrease this negative stereotypes now.

Manusia Madura, Stereotipe, Kolonial

(4)

bias dengan prasangka. Di sini, penalaran jarang sekali berperan bila seseorang memandang kelompok orang lain. Lebih lanjut, Hollander mengatakan bahwa citra yang dimiliki oleh sekelompok orang dengan kelompok lainnya sering didasarkan pada kriteria, emosi dan perasaan. “Jika seseorang tidak tahu apa-apa tentang orang lain, pada aras primitif peradaban, semua kendali belum terbentuk. Dengan demikian, dasar yang dipakai adalah rumor, sehingga rasa takut akan meraja lela, cemooh, benci, cemas dan kagum. Akibatnya, timbullah citra khayalan yang paling menakjubkan dan mengerikan. (Mien Ahmad Rifai: 2007, 130).

St e re o tip e , o le h ka r e na n ya , merupakan “suatu pendapat yang secara relatif mantap yang bersifat perampatan atau generalisasi dan evaluatif”. Stereotipe mencoba untuk membuat penilaian tidak terperinci tentang sekelompok orang yang sampai tingkat tertentu dapat disebut dengan tipe. Pencirian dalam stereotipe biasanya sangat tidak mendalam, dan hanya menonjolkan sifat-sifat yang menjelekkan. (Duijker & Frijda: 1960, 116). Dalam membuat stereotipe, ciri-ciri jelek selalu ditempelkan pada kelompok lain dan maka ciri-ciri baik akan dilekatkan pada kelompoknya.

Tulisan ini tidak berpretensi untuk membenarkan atau menyalah stereotipe mengenai orang Madura. Namun tulisan ini akan mencoba menelusuri rekam-jejak stereotipe orang Madura mulai dulu hingga sekarang. Di samping itu, tulisan ini juga akan melihat bagaimana perubahan stereotipe itu terjadi dan atau bertahan sampai masa sekarang.

Stere optipe pe rta ma , bahwa menurut van Gennep, orang Madura dapat dengan mudah dibedakan dari orang Jawa. Mereka memiliki perawakan yang lebih kekar dan berotot, tetapi tidak lebih besar dan tidak berkesan halus dengan sifat-sifat permukaan yang garang dan kasar. Veth misalnya mencatat sifat kejam pada muka orang Madura karena susunan kepala yang bertulang lebih kukuh, memiliki paras wajah yang terkesan lebih kuat dan beringas. Sementara itu, Lindoeng berpendapat bahwa baik kaum bangsawan

Madura maupun rakyat jelatanya

memiliki tubuh yang tidak seanggun orang Jawa. (Mien Ahmad Rifai: 2007, 132-133).

Jika dibandingkan dengan wanita Jawa, wanita Madura pada waktu kolonial sangat jauh sekali kelasnya. Wanita Madura lebih disebut sebagai terbelakang, kaku, gemuk dan jelek. Pendeta Katolik van der Linden misalnya menganggap kecantikan wanita Madura berada jauh di bawah wanita Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara Lindoeng mencatat: “Kelembutan muka pucat halus yang menyebabkan wanita Jawa memikat, jarang sekali dijumpai pada perempuan Madura”. Bahkan Surink menduga bahwa wanita Madura mudah cepat tua dan pada u m u r y a n g a g a k d i n i s u d a h memperlihatkan kesan kelaki-lakian dengan wajah keriput.

(5)

selembar sarung yang dikalungkan di leher serta destar yang diikatkan sekenanya di kepala”.

Wanita Madura juga sangat sembrono dalam berpakaian. Jika mereka dalam keadaan tergesa-gesa dan menjunjung barang di atas kepalanya, bagian bawah gaunnya akan digulung ke atas lalu diikatkan di sekeliling pinggang s e h i n g g a m e r e k a b i s a b e rg e r a k sebebasnya. Dalam perjalanan ke pasar, mereka terkadang melipat baju ke bahunya. Rambut mereka juga jarang disisir dengan sepatutnya. Baik pria maupun wanita Madura waktu itu suka dengan warna pakaian mencolok dan norak seperti merah menyala, kuning, hijau, jingga dan biru langit. (Mien Ahmad Rifai: 2007, 135).

Sementara itu, dalam hal sikap dan perilaku, orang Madura juga berbeda dengan orang Jawa maupun Sunda. Seperti kata seorang pastor Katolik, orang Madura tidak memiliki etiket sama sekali. Secara mencolok, mereka berbeda dengan orang Jawa yang lebih berbakat dan sensitif serta sangat lurus sikapnya dalam melakukan hubungan sosial. Orang Jawa lebih menghargai adat. Orang Jawa merasa lebih berharkat dan berwibawa serta memandang rendah orang Madura yang kasar.

Menurut van Gelder, orang Madura kurang sopan dan lebih tidak formal dibanding dengan orang Jawa. Mereka memiliki keberanian menyuarakan pen dapatnya, meskipun pada atasannya. Suara orang Madura memang lantang, menunjukkan wataknya yang keras. Namun, suara yang lantang dan berat itu s e s u n g g u h n y a m e n y i r a t k a n kepribadiannya yang seutuhnya. Jika orang Jawa cenderung menyembunyikan sesuatu dalam ucapannya, maka dalam suara orang Madura menjelaskan apa

yang sebenarnya dalam pribadinya. Sifat lain yang juga muncul dalam ste re otipe or an g Ma dur a a da lah kecepatannya tersinggung, penuh curiga, pemarah, berdarah panas, beringas, pendendam, suka berkelahi dan kejam. Harga diri orang Madura menjadi kunci dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa orang Madura: “Angoan pote tolang etembang pote mata”. Maksudnya, mereka lebih baik mati daripada hidup dengan menanggung malu. (A. Latif Wiyata: 1997, 6). Makanya, jika orang Madura dipermalukan, maka mereka akan menghunus belati dan segera membalas dendam hinaannya. Atau setidaknya menunggu hingga ada kesempatan untuk membalasnya. Perkelahian, carok dan pembunuhan merupakan sesuatu yang biasa terjadi setiap hari.

Manusia Madura “tempoe doeloe” identik dengan senjata tajam. Seperti digambarkan oleh Wopp: “Di jalan, orang hampir tidak pernah melihat orang Madura tanpa keris atau tombak, dan kalau ia di sawah, atau ladang, ia tentu membawa sada' atau are' (celurit, arit), calo' (parang berujung bengkok), baddhung (sejenis kapak besar) atau rajhang (linggis). Ia akan menggunakan calo' tadi untuk segala macam pekerjaan. Dengan alat tajam itu, ia menebang pohon, membersihkan belukar untuk merintis jalan, memotong kayu dan bambu dan lain-lain. Dengan tarikan nafas yang sama, ia juga akan memotong tangan, kaki dan kepala orang lain jika memang harus berbuat demikian”.

(6)

menggadaikan sawah ladangnya pada tetangganya yang lebih kaya atau pada orang Arab dan Cina. Jika ia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi kecuali istri atau anak gadisnya yang cantik, iapun akan tega menggadaikan atau menyerahkan wanita itu pada penjudi yang lebih beruntung. Ament menyatakan bahwa pelaksanaan kerapan sapi secara jelas memperlihatkan betapa rendahnya perilaku orang Madura. Bila memang, mereka akan berteriak kegirangan, bersorak menjerit dan menari-nari, namun jika kalah serta diejek secara memalukan, ia akan segera menghunus pisau.

Selain sifat negatif diatas, orang Madura diakui juga memiliki karakter positif. Sifat positif ini misalnya berani, gagah, petualang, lurus, tulus, setia, rajin, hemat, ceria, sungguh dan humoris. Jika orang Jawa dianggap bersifat petani, maka orang Madura dicirikan sebagai “nelayan-pelaut” yang lebih bernyali, dan berpetualang. Namun demikian, sifat-sifat positif ini tidak menonjol karena dibayang-bayangi oleh sifat negatif. Lagi pula, sifat-sifat baik ini hanya muncul dalam keadaan tertentu saja. Misalnya, bila lingkungan dalam keadaan damai, teratur dan ketat pemimpin.

Walhasil, hampir dalam segala hal, stereotipe orang Madura di masa dulu dianggap rendah dibandingkan orang Jawa. Tak heran jika orang Jawa melihat orang Madura sebagai seorang berderajat lebih rendah, namun pada saat yang sama mereka merasa takut pada keberingasan watak dan kelicikannya. Bahkan, menurut Lindoeng, secara intelektual orang Madura berada jauh di bawah orang Jawa, karena mereka lebih sulit diajar dan lebih malas belajar.

Tanah yang sangat tandus dan kering menjadikan tiga perempat penduduk Madura melakukan migrasi ke tempat lain. Seperti ditegaskan oleh Muthmainnah, perekonomian yang minus memaksa orang Madura keluar pulau tersebut untuk mencari nafkah. Mereka pergi tidak hanya ke dalam negeri, namun juga sampai ke manca negara seperti Arab Saudi, Malaysia dan Brunei Darussalam. Dari semua tempat tersebut, Arab Saudi menjadi tempat paling favorit karena selain bisa mencari nafkah, mereka juga dapat melaksanakan ibadah haji yang menjadi dambaan setiap orang Madura. (Muthmainnah: 1998, 21).

Menurut Kuntowijoyo, kegiatan migrasi ke luar pulau pada awalnya merupakan migrasi musiman yang kemudian berkembang menjadi migrasi secara permanen. Sekarang, lebih banyak orang yang tinggal di luar pulau Madura dibanding dengan yang tinggal di Madura. Ketiadaan surplus ekonomi oleh pengaruh ekologi tegalan yang miskin telah mengurangi kejahatan yang terorganisasi secara komunal seperti perampokan besar-besaran. Oleh karena itu, kekerasan carok yang menjadi ciri orang Madura u m u m n y a b e r s i f a t i n d i v i d u a l . (Kuntowijoyo: 1980, 75).

(7)

pola hidup untuk meraih peluang hidup yang maksimal. Rendahnya tingkat pendidikan pada satu sisi memang kelemahan, namun pada sisi lain mengharuskan mereka memasuki lapangan kerja dalam sektor informal yang tidak memerlukan ketrampilan yang tinggi seperti buruh tani, pedagang eceran, dan sebagai pekerja kasar di bidang jasa. (Mien Ahmad Rifai: 2007, 163).

P r o f . D r. H e n d r o S u r o y o mengatakan bahwa sifat etnosentrisme orang Madura merangsang hasrat untuk saling membantu dalam bekerja secara keras yang didukung oleh pembawaannya yang ulet dan tahan banting. Hanya saja, sayangnya sifat ini berdampak negatif pada kelompok masyarakat lain. Orang Madura tidak memperhatikan dan juga kurang toleran terhadap suku bangsa lain. Selain itu, pembawaan temperamental yang mudah tersinggung, begitu melihat ada gerakan yang bakal merugikan diri dan kelompoknya, maka mereka akan bereaksi dan mencoba menandingi.

Lebih lanjut, Hendro Suroyo yang juga pakar antropologi sosial Madura mengatakan bahwa kebiasaan membawa senjata tajam yang sukar dihilangkan, merupakan faktor budaya yang bisa memicu konflik sosial. Apalagi, ditambah keberhasilan orang Madura secara sosial e k o n o m i y a n g j u g a m e m b u a t kecemburuan etnis yang lain juga meningkatkan kecemburuan yang sewaktu-waktu dapat meledak. Insiden kecil dapat menyukut dan membakar konflik antar etnis. Pada kelompok yang berwatak keras dan berpendidikan rendah, solidaritas gampang sekali muncul sehingga orang Madura dapat dihasut sedikit saja tanpa berpikir panjang. Ini yang menurut guru besar FISIP Universitas Tanjungpura (Pontianak)

telah terjadi di Kalimantan Barat yang menjadi tujuan transmigrasi swakarsa orang Madura Barat yang umumnya dikenal berwatak keras. (Mien Ahmad Rifai: 2007, 163-164).

Sementara, Parsudi Suparlan, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia mengatakan bahwa di tempat lain seperti Irian dan Ambon, orang Madura bisa bersifat tertib. Lingkungannya juga aman dan tentram. Hal yang demikian ini berbeda dengan Sambas yang rata-rata berasal dari transmigrasi Madura Barat. Parsudi Suparlan membedakan antara perilaku orang Madura Barat (Bangkalan dan Sampang) dan orang Madura Timur (Pamekasan dan Sumenep). Dalam penilaian, orang Madura Timur lebih b e r a d a b d a n l e b i h t a h u a t u r a n dibandingkan dengan orang Madura Barat. Selain itu, orang Madura Barat juga rendah pendidikannya dan agresif dalam melanggar hukum seperti menjadi preman, tukang tipu, pemeras dan lain sebagainya. (Mien Ahmad Rifai: 2007, 175).

(8)

Ketika meneliti tentang pengobatan tradisional penduduk pantai utara Madura, Jordaan menemukan bahwa manusia Madura merupakan orang yang sulit, penuh percaya diri dan angkuh. Mereka suka memamerkan kekayaan sehingga barangnya yang mahal terpajang secara mencolok. (Jordaan: 1986, 23). Orang Madura terutama yang tinggal di pedesaanpada umumnya selalu menjaga jarak dan curiga pada orang luar, pada orang yang dianggap asing dan pada gagasan yang tidak berasal dari kalangan sendiri. (Jordaan: 1985, 120).

Wiryoprawiro yang meneliti tentang arsitektur tradisional Madura, mencatat bahwa akibat kegersangan pulau, jiwa bahari orang Madura sangat menonjol. Ini selain dibuktikan dengan banyaknya penduduk yang hidup sebagai nelayan, tapi juga terlihat dalam keberanian mereka mengarungi lautan terbuka dengan perahu untuk merantau j a u h . A k i b a t n y a , o r a n g M a d u r a Pandalungan (peranakan atau perantau) tersebar luas di daerah tapal kuda Jawa Timur dan kantong-kantong tertentu nusantara. (Wiryoprawiro: 1986, 18).

Sementara itu, Ayu Sutarto mencatat bahwa masyarakat Madura baik yang hidup di Madura maupun yang hidup di Kangean, Bawean atau mereka yang berada di komunitas Pandalungan wilayah Tapalkuda Jawa Timur dikenal memiliki etos kerja yang sangat ulet, tangguh dan semangat keagamaan yang tinggi. (Ayu Sutarto: 2004, 2). Sutarto juga menggambarkan manusia Madura se b ag a i pe r a nt au ya n g b er te k a d mengubah nasibnya sehingga rata-rata bersifat ekspansif, agresif, tidak suka memendam perasaannya dengan ikatan dan solidaritas kekeluargaan yang tinggi.

T a k h e r a n , A m i n R a i s

mengungkapkan kekagumannya pada keislaman orang Madura yang kuat. Sejak kecil, Amin sudah banyak mendapat cerita bahwa orang Madura paling jahatpun masih ingin disebut muslim. Dengan begitu, orang Madura yang jahat sekalipun, kalau masih diberi tahu kebenaran yang hakiki kejahatannya akan dikurangi. (Amin Rais: 1996, 246).

Dalam soal agama, orang Madura memang memiliki kepatuhan pada ulamanya. Patronase antar orang Madura dengan para kiai, memang demikian terasa. Sehingga, seperti hasil penelitian Iik Arifin Mansurnoor, kiai atau ulama menempati kedudukan yang sangat sentral dalam kehidupan orang Madura. Para kiai atau ulama ini mendapat kedudukan yang sangat terhormat di kalangan orang Madura. Iik Arifin Mansurnoor menjelaskan:

Sa ngat terang di sini, jika kedudukan penting ulama Madura di mata orang-orang Madura, merupakan bentuk kemapanan dari keberagamaan dan pusat pendidikan umat dan santri. Makanya, ketika dihadapkan pada penguasa, dalam penelitian sepanjang tahun 1985, Iik Arifin Mansurnoor menemukan bahwa ulama Madura saat itu memilih beroposisi dengan rezim Orde Baru. Jika rezim mendapat sedikit sokongan rakyat, ulama Madura justru mendapatkan dukungan yang total dari masyarakat Madura.

Di aras yang lain, Emha Ainun Najib (2005) menyebut orang Madura

sebagai yang

watak dan kepribadi tertentunya dipuji

“The emergence of the ulama as important local leaders is evidenced by the establisment of religious and educational centers which attracted many participants and student”. (Iik Arifin Mansurnoor: 1990, xviii).

(9)

dan dikagumi. Menurut Cak Nun, tidak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya sangat berhati-hati seperti ditampakkan oleh orang Madura. Mereka sangat bersungguh-sungguh dan lugu serta lugas dalam berkata-kata. Kalau orang Madura mengatakan sesuatu, maka demikianlah isi hati dan pikirannya.

Seperti dikatakan Toto Rahardjo (2005) dalam mengantarakan buku Folklore Madura yang dikumpulkan Emha Ainun Najib (2005) tersebut, suku bangsa Madura memang memiliki kemampuan menghadirkan realitas secara

sederhana melalui parodi yang

bersumber dari kehidupan sehari-hari. Bagi orang Madura, parodi yang selalu ditangkan sambil guyonan itu merupakan bahasa ungkap yang tidak dimiliki bangsa lain. Sebentuk humor paling canggih untuk menggambarkan inti realitas hidup dalam menghadapi terpaan dunia modern yang mutakhir.

Kendati sudah ada perbaikan stereotipe mengenai orang Madura, namun secara umum stereotipe ini hingga kini masih memarginalkan mereka. Stereotipe baik di masa kolonial maupun sesudahnya mengenai orang Madura tetap tidak beranjak jauh. Orang Madura selalu diasosiasikan sebagai manusia yang cepat tersinggung, penuh curiga, pemarah, berdarah panas, beringas dan suka berkelahi. Mereka juga acapkali digambarkan sebagai orang yang berwatak kasar, arogan, ekstrover, keras bicaranya dan blak-blakan menyuarakan pendapatnya serta tidak tahu adat sehingga dikatakan tidak memiliki sopan santun. Kendati stereotipe paska masa kolonial, lebih lunak da n le bih

menghargai orang Madura.

Dampak sosialnya, orang Madura yang sukses berada di luar Pulau Madura merasa risih mengaku sebagai orang Madura. Stigma yang mengasosiasikan Madura dengan keterbelakangan, carok, kekasaran watak dan pembawaan, agaknya merupakan sesuatu yang dianggap memalukan. Sebagian mereka, seringkali memilih diam saja bahwa dirinya orang Madura, kecuali kalau ia berhasil secara spektakuler.

Padahal, ada banyak cerita sukses yang diraih oleh orang Madura di luar pulau Madura. Tidak sedikit putra unggulan Madura yang mendapat kepercayaan untuk mengemban tugas kenegaraan Republik Indonesia, baik sebagai menteri, jaksa agung, panglima angkatan, duta besar, rektor, guru besar dan beberapa di antaranya sudah dianugerahi Bintang Mahaputra Republik Indonesia. Meskipun terpatri anggapan bahwa manusia Madura bersifat inferior, terbelakang atau ortodoks, kiprah mereka membuktikan bahwa gambaran buruk dan citra negatif yang dilukiskan orang tentang dirinya tidak sepenuhnya benar.

Oleh karena itu, orang Madura yang berada di luar Pulau Madura dapat mengeliminasi stereotipe negatif yang disematkan pada orang Madura. Dengan kesuksesan yang diraihnya,

gambaran yang buruk rupa ini dapat diganti dengan performance yang lebih adil dan objektif. Mereka juga dapat membantu saudara-saudaranya yang berada di Pulau Madura agar mendapat pendidikan yang lebik laik.

Kesimpulan

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Duijker, H.C.J & Frijda, N.H,

Amsterdam: North Holland Publishing Company, 1960.

Jonge, Huub de,

I n t e r n a t i o n a l Wo r k s h o p o n Indonesian Studies No.6, Leiden, 7-11 October 1991.

Jordaan, R.E,

L e i d e n , Rijksuniversiteit, 1985.

Kuntowijoyo,

terj Yogyakarta, Matabangsa, 2002.

Mansurnoor, Iik Arifin,

Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1990.

Muthmainnah,

L K P S M , Yogyakarta, 1998.

Najib, Emha Ainun,

Yogayakarta, Progess, 2005.

Rais, H.M.Amien, Islam dan Budaya Madura, dalam Mahasin A, et al (penyunting).

Jakarta, Yayasan Festival Istiqlal, 1996.

Yogyakarta

Sutarto,Ayu & S.Y. Sudikan (Penyunting),

Jember, Kompyawisda, 2004 . National

Character and National Stereotypes : A Trend Report Prepared for International Union of Scientific Psychology.

Stereotype of the Madurese, Royal Institutes of Linguistics and Antrophology,

Folk Medicine in Madura ( I n d o n e s i a ) ,

Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris 1850-1940,

Islam in an Indonesian World Ulama of Madura,

Jembatan Suramadu: R e s p o n U l a m a Te r h a d a p I n d u s t r i a l i s a s i ,

Folkore Madura,

Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: 2 Aneka Budaya di Jawa,

Pendekatan Kebudayaan dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur, R i f a i , M i e n A h m a d ,

Pilar Media , 2007.

Said, Edward W., terj. Asep

Hikmat, Bandung, Penerbit Pustaka, 1994.

Wiyata, A. Latief,

U n i b a n g , 1 6 - 1 8 September 1997.

M a n u s i a

Madura, :

Orientalisme,

(11)

Di Jawa kegiatan bersih desa banyak dilakukan, dengan nama dan cara y a n g b e r b e d a - b e d a . A d a y a n g menyebutnya dengan sedekah desa, karena acara tersebut diadakan sedekah masal. Ada pula yang menyebutkan memetri desa, karena dalam kegiatannya dilakukan pembenahan dan pemeliharaan desa. Ada lagi yang menyebut dengan rasulan, karena kendurinya disajikan selamatan rasulan. Dari sekian ragam istilah bersih desa, merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup.

Bersih desa sebagai tradisi budaya juga memuat seni spiritual. Seni spiritual ini perlu dilihat lebih jauh dari aspek etnografi agar jelas makna dan fungsinya, juga dapat memberikan gambaran bahwa dibalik fenomena tradisi dan seni, memuat konteks etnografi yang menarik untuk dibicarakan Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih desa, dapat terkait

dengan berbagai hal, antara lain tempat, waktu, dan pelaku, dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi ada seni.

Waktu penyelenggaraan bersih desa bisa berbeda-beda, bahkan teks dan tata cara ritual masing-masing wilayah dapat berbeda. Perbedaan dan kesamaan proses, merupakan aspek penting bagi pemahaman makna dan fungsinya. Hal ini dapat dipahami bahwa satu-satunya kesamaan dalam bersih desa adalah waktu pelaksanaan yaitu satu tahun sekali, biasanya sesudah musim panen padi. Sedangkan bulan, hari, tanggal dan cara pelaksanaannya tidak selalu sama.

Tradisi bersih desa ini memiliki bobot spiritual yang luar biasa melalui ritual tersebut menjadi wahana antara lain: menyatakan syukur kepada Tuhan YME atas ketentraman penduduk dan desa, dan

Abstract

The tradition of “bersih desa” is not only signified as a physical ritual to clean the village, but it is also called merti desa, which means preserving the village physically and spiritually. Physically, villagers clean graveyards and other sacred places considered as their ancestors' heritage that need to be preserved. Spiritually, they also conduct some mystical rituals such as slametan (meal ceremony as an expression of gratitude) and spiritual performance.

This paper explores various meanings of bersih desa tradition at Ngasinan village Kediri. This tradition which commonly becomes “a big event” for the local village is basically aimed to make the village clean, orderly, and well-maintained. Consequently, it will also “preserve” the village sustainability and help to improve and develop the village. The essence of bersih desa activity is worship and prayers included in the worship are in the form of mantra and performing art. Bersih desa is usually considered as a sacred tradition.

Keywords: tradition, bersih desa, ritual

*)

(12)

atas hasil panennya yang memuaskan, memberi penghormatan kepada para leluhur dan cikal bakal desa yang telah berjasa merintis pembukaan desa setempat, mengharapkan pengayoman (nyuwun wilujeng) dari Tuhan YME dan Rasulullah, agar panen mendatang lebih meningkat dan hidup masyarakat desa lebih sejahtera.

Oleh karena itu tradisi tersebut t e l a h m e n d a r a h d a g i n g , d a l a m masyarakat Jawa pedesaan, karena h a m p i r s e t i a p w i l a y a h menyelenggarakannya. Masing-masing wilayah di Jawa memiliki keunikan sendiri-sendiri dalam melaksanakan bersih desa. Salah satu aktivitas bersih desa yang unik adalah fenomena yang ada di wilayah Desa Ngasinan, Purwoasri, Kediri, yang biasanya dilakukan pascapanen dan palawija, menjelang akan dimulainya proses penggarapan sawah (wiwit).

Keunikan tradisi bersih desa di wilayah ini yaitu selalu menggunakan seni pertunjukkan ritual berupa wayang kulit. Rangkaian ritual ditata menurut laku dan aktivitas spiritual. Didalamnya terdapat laku mistik kejawen yang kental dengan nilai-nilai mitos. Tradisi ini juga terdapat mitos yang diyakini akan membawa berkah apabila dihormati melalui bersih desa, dan sebaliknya akan m e n d a t a n g k a n b a h a y a a p a b i l a masyarakat meninggalkannya. Ada perasaan takut masyarakat jika bersih desa tidak melaksanakan pertunjukkan wayang kulit. Itulah seba bnya, masyarakat selalu berjuang keras agar bersih desa tetap terselenggara meskipun d a l a m e k o n o m i y a n g k u r a n g memungkinkan. Dengan kata lain,

masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan rencana bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup.

Rangkaian tradisi bersih desa di wilayah desa Ngasinan, Kediri ini sebagian besar didukung oleh kelompok penghayat kepercayaan. Meskipun pada umumnya para pelaku tidak secara terang-terangan ma s u k d a l a m a l ir a n pe n gh a ya ta n kepercayaan namun hampir lima puluh persen mereka kaum abangan. Agama resmi hanya KTP (administratif), namun dalam dunia batin yang diterapkan adalah memanfaatkan tradisi kepercayaan. M e n u r u t t r a d i s i l e l u h u r, m e r e k a menjalankan laku-laku mistik bersih desa, untuk mendapatkan kesempurnaan hidup dan budi luhur. Oleh karena selamatan bersih desa dilaksanakan dengan cara yang khas, khidmat, dan sakral. Penuh dengan laku-laku mistik, baik yang diwujudkan dalam bentuk sesaji maupun dalam bentuk pertunjukkan.

Inti dari aktivitas bersih desa adalah pemujaan, doa-doa terkandung dalam pemujaan, baik yang diwujudkan dalam bentuk mantra maupun seni pertunjukkan. Biasanya para penghayat kepercayaan menjadikan bersih desa sebagai tradisi sakral.

(13)

bahwa religi merupakan pancaran kesungguhan moral, sehingga bersih desa merupakan bagian khusus religi jawa. Di dalamnya menuntut kewajiban intrinsik yang kudus. Implikasi dari seluruh hal ini, tidak lain sebagai perwujudan hidup yang berbudaya. Segala pekerti penghayatan kepercayaan menjadi sinar batin yang luhur.

Adapun urutan pelaksanaan tradisi bersih desa sebagai berikut :

Pukul 07.00 dilakukan ker ja ba kti a ta u gotong royon g pembersihan jalan dan kuburan bersama-sama. Kepala dusun berusaha membagi tugas masing-masing kelompok, secara serentak menurut RT masing-masing. Sekelompok RT ada yang menuju ke rumah Kepala Dusun untuk pembuatan tarub yang akan dipasang di depan halaman rumah. Di samping itu juga dipersiapkan gelaran (tikar), penyediaan a l a t - a l a t s e s a j i p a n g g u n g , d a n pembersihan alat-alat makan bersama (kenduri). Kemudian RT lain mengganti p a g a r p a d a p o h o n S a n a y a n g dikeramatkan, yang berada di tempat kedung dekat sungai yang konon dijadikan kerajaan para arwah yang nglambrang. Di tempat itu juga diberi sesaji berupa ingkung (ayam utuh) dan tumpeng beserta lauk pauknya. Sesaji diperebutkan oleh warga sekitar dengan tujuan agar hantu gaib penunggu pohon Sana tidak mengganggunya.

dilakukan pembuatan sesaji pada rumah warga masing-masing. Sesaji dimasukkan dalam tenong, terbuat dari bambu, dibawa ke kepala dusun pada jam 12.00. Sesaji berisi nasi dan lauk pauk dalam ragam yang berbeda-beda. Untuk menghadirkan warga yang akan kenduri

di tempat Kepala dusun, ditabuh kentongan. Menjelang dilaksanakan kenduri, di balik kelir wayang kulit, warga berkumpul secara khusyuk dengan aneka warna kostum kejawen. Masing-masing warga menghadap sesajinya sendiri.

seorang pranatacara menyatakan bahwa pertunjukkan dan selamatan bersih desa akan segera mulai. T e r l e b i h d a h u l u , p r a n a t a c a r a mempersilahkan kepada dalang untuk mengawali pertunjukkan. Adegan pertama, pasti akan membicarakan kepergian Dewi Sri dari keraton. Setelah m e n j e l a n g P e r a n g K e m b a n g , pertunjukkan dihentikan sementara oleh ki dalang dengan menutup kelir menggunakan gunungan. Pada saat itu, dibalik kelir melakukan kenduri bersama, yang isinya mohon keselamatan. Kenduri diakhiri dengan kembul bujana, saling menukar sesaji, kemudian pertunjukkan dilanjutkan. Seluruh warga menonton pertunjukkan wayang kulit, sambil makan. c a r a w a r g a meninggalkan arena kenduri pun tidak serentak, ada yang menyelang gara-gara, dan ada pula yang menonton sampai pertunjukkan siang hari itu selesai. Dan malam harinya kembali untuk menghadiri malam tirakatan.

pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk. Meskipun wayang kulit ini bernilai hiburan, tetapi lakon yang dipertontonkan memuat wejangan ke arah p e n g h o r m a t a n p a d a l e l u h u r desa.Biasanya lakon yang dimainkan b e r g a n t i - g a n t i s e p e r t i Wa h y u Makutharama, Wahyu Purbasejati dan sebagainya. Konsep wahyu selalu menjadi andalan bagi warga, dengan harapan agar bersih desa itu membawa Pertama,

Kedua,

Ketiga,

K e e m p a t ,

(14)

berkah.

Bersih desa biasanya juga disebut merti desa, artinya memelihara desa secara batiniah dan lahiriah. Secara batiniah, orang desa menjalankan ritual mistik, baik berupa slametan maupun pertunjukkan spiritual. Secara lahiriah, mereka juga membersihkan keramatan (kuburan) dan tempat-tempat khusus yang dianggap sakral. Tempat-tempat tersebut dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan.

Tradisi tersebut, pada umumnya menjadi “hajatan besar” desa setempat. Hajatan besar dilakukan secara kolektif, dengan biaya ditanggung bersama. Kegiatan dilakukan oleh seluruh warga desa, tua-muda, pria-wanita, bersama pamong dan sesepuh desa, petinggi dan pemangku adat setempat, bahkan sering terjadi warga tetangga desa ikut serta meramaikannya. Kegiatan bersih desa pada dasarnya untuk membuat desanya menjadi bersih, tertib, teratur, dan terawat baik, sehingga dapat “ikut menjaga” ketahanan desa, agar menjadi lebih maju dan lestari.

B e r b a g a i k e g i a t a n y a n g dilaksanakan pada bersih desa antara lain

meliputi: penataan hunian

keluarga: kebersihan lingkungan rumah, pekarangan, kebun, halaman, selokan, pagar, sampah dan sebagainya.

kerja bakti/gotong royong membenahi tempat-tempat umum, jalan, selokan, sungai, da n sebagainya.

kenduri/selamatan dalam berbagai bentuk yaitu arak-arakkan gunungan yang berisi

berbagai makanan. , kegiatan

olah raga yaitu berbagai pertandingan dan permaianan serta perlombaan, antar dukuh dan antar desa. pentas seni

dan pagelaran hiburan sesuai dengan kecenderungan desa masing-masing, misalnya tayuban, wayang kulit semalam suntuk dan sebagainya.

Kegiatan bersih desa biasanya memakan biaya besar dan curahan tenaga masyarakat desa. Adapun manfaatnya antara lain: kegiatan bersih desa untuk mendekatkan diri masyarakat

dengan Tuhan YME. untuk

meningkatkan rasa hormat kepada R a s u l u l l a h d a n m e n g i n d a h k a n tuntunannya. untuk meningkatkan kecintaan masyarakat kepada desanya, daerah, dan tanah air.

m e m p e r e r a t k e g u y u b a n ( t a l i persaudaraan) antar warga desa,

untuk mematangkan diri dalam bercocok

tanam dan usaha. bagi pamong

desa kegiatan bersih desa dapat menjadikan sarana untuk menilai tingkat k e g a i r a h a n m a s y a r a k a t d a l a m memelihara desanya, dan

meningkatkan kesadaran masyarakat desa untuk melestarikan lingkungan.

T a h a p - t a h a p d e m i k i a n menunjukkan bahwa prosesi ritual bersih desa berkaitan dengan simbol dan proses sosial. Simbol dan proses sosial membentuk sebuah sistem budaya yang rapi. Hal ini memang diakui oleh Geertz ( Mo rr i s,2 00 3: 39 5) b ah w a ka ji an antropologi religi dapat terdiri dari dua aspek, yaitu pertama, analisis makna yang diejawantahkan lewat simbolisme, kedua, menghubungkan sistem itu dengan proses sosio-kultural dan psikologis. Aspek-aspek yang, memberikan pemahaman t e r h a d a p k a j i a n s i m b o l s e s a j i , pertunjukkan, peralatan, dan seterusnya dalam bersih desa. Simbol ini dikaitkan dengan makna dan fungsi bersih desa pertama,

Kedua,

K eti ga,

Keempat

Kelima,

pertama,

Kedua,

Ketiga,

Keempat,

Kelima,

Keenam,

(15)

dalam struktur sosial masyarakat.

Biasanya masyarakat penghayat kepercayaan menanggap pertunjukkan wayang kulit sebagai puncak bersih desa. Wayang kulit dilakukan siang hari dengan lakon khusus dan malam hari (semalam suntuk) dengan lakon tertentu. Hal ini dilakukan, karena ada anggapan bahwa Pandhawa merupakan lambang arwah para leluhur, sedangkan para Korawa lambang arwah-arwah yang jelek. Jadi pada saat bersih desa, lakon Baratayudha sering dimainkan pada malam hari, sedangkan siang harinya mengambil lakon Sri Mulih (Sri Kondur) atau Sri Kembang. Lakon Baratayudha dijadikan simbol peperangan antara arwah baik dan buruk. Arwah baik akan membantu hidup penghayat, sedangkan yang buruk akan mengganggu. Maka harus dilakukan dengan berbagai sesaji, agar arwah buruk jinak dan mau membantunya.

L a k on w a y a ng k u li t y a n g dimainkan, baik siang maupun malam hari merupakan representasi simbolik dari kesadaran dan atau ketidaksadaran warga. Berbagai harapan dan mimpi tentang keselamatan, mereka lukiskan melalui pertunjukkan. Setiap lakon memiliki visi dan misi khusus yang berkaitan dengan keselamatan.

Maka, kalau dicermati sebenarnya lakon Sri Mulih maupun lakon-lakon yang b e r t i t e l w a h y u , s e b e n a r n y a menggambarkan simbol keagungan spiritual yang masih perlu ditafsirkan. Lakon Sri Mulih, menggambarkan tokoh Dewi Sri dan Raden Sadana anak Prabu Maha Punggung raja Medhang Kamulyan. Dewi Sri meninggalkan istana, karena dimarahi raja. Raden Sadana menyusul

kepergian kakaknya. Mereka tidak segera bertemu, masing-masing berkelana dari desa ke desa sambil bercocok tanam. Setelah lama berkelana , mereka bertemu kembali. Dewi Sri kembali ke Kahyangan, Raden Sadana diambil menantu oleh raja Wiratha. Dalam lakon Dewi Sri Kondur (Mulih) diceritakan kembalinya Dewi Sri ke negara Wiratha. Dewi Sri berada di negara Pratalaretna yang dikuasai oleh raja Darmasara. Prabu Suryakumara, raja Guwa Rajeng, juga menginginkan Dewi Sri. Dewi sri menjadi perebutan, tetapi N a g a t a t m a l a , a n a k S a n g H y a n g Anantaboga, atas bantuan Bagawan Abiyasa dapat memboyong Dewi Sri ke Wiratha.

Kisah Dewi Sri tersebut diyakini sebagai lambang bersih desa. Berarti kembalinya Dewi Sri, mempunyai makna simbolik agar warga desa tersebut mendapat bersih desa dalam pertanian. Bersih desa identik dengan anugerah rejeki. Untuk menjaga keseimbangan antara jagad gedhe dan jagad kecil masyarakat dusun Ngasinan mencoba menyiasati dengan tradisi bersih desa. Tradisi ritual bersih desa ini bersifat individual dan kolektif dalam rangka menjaga kepentingan bersama seluruh warga desa yang dinamakan bersih desa. Ritual bersih desa diwujudkan ke dalam pertunjukkan simbolik wayang kulit dengan lakon Sri Mulih. Sikap religius semacam ini menunjukan bahwa bersih desa merupakan ritual yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan. Bersih de s a se ba g a i r e f le ks i k ei ng in an masyarakat penghayat kepercayaan, yang dimanifestasikan melalui wayang kulit.

(16)

kekhawatiran akan datangnya gangguan fisik dan non fisik yang setiap saat dapat m e n i m p a j i k a t r a d i s i i t u t i d a k dilaksanakan. Oleh karenanya, tradisi bersih desa ini termasuk kategori tradisi krisis. Dengan pelaksanaan tradisi bersih desa secara rutin diharapkan berdampak positif bagi kegiatan pertanian mulai dari masa tanam hingga masa panen, termasuk keselamatan seluruh warga masyarakat. Pada sikap berusaha dan pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena ada keterkaitan antara manusia dengan Tuhan, maka tradisi bersih desa itu termasuk tradisi religius. Mereka yakin bahwa keberhasilan suatu tradisi religi sedikit banyak dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya persyaratan ritual, yaitu perlengkapan sesaji yang diperlukan untuk sahnya suatu tradisi.

Sesaji yang ditaruh di atas panggung di pengeret terdiri dari: pertama, nasi diberi warna merah, hitam, kuning, putih, dan biru yang masing-masing warna ditaruh di dalam takir; kedua, jenang/bubur terbuat dari beras, santan, daun salam, garam (untuk warna putih), kalau warna merah diberi gula jawa; (jenang abrit), pethak, baro-baro, jenang abrit diatasnya diberi gula dan kelapa diparut, jenang blowok (nasi yang ditaruh dalam takir yang dibuat dari daun pisang, diatasnya diatasnya ditumpangi gula jawa); ketiga, minuman: teh, kopi, jahe, rujak degan (kelapa muda); keempat, daun-daun: daun pakel, daun awar-awar, daun bambu dan daun kopi. Sesaji tersebut diyakini tetap sebagai pengorbanan logis bagi arwah leluhur.

Tylor (Pitchard, 1984:39) dalam kaitan dengan hal tersebut di atas selalu berasumsi bahwa orang primitif pun tetap

berpikir logis. Penghayat kepercayaan y a n g s e r i n g d i k a t a k a n p r i m i ti f , sebenarnya memiliki pengetahuan logis dalam tradisi sesajen. Hanya saja, bagi orang awam sering mengecap sesaji itu suatu bentuk pemborosan.

Pendapat orang awam demikian, perlu dikoreksi secara arif. Keyakinan penghayat kepercayaan selalu mantap, menggunakan kekuatan batin, mereka juga kritis, dan bahkan eksperimental menggunakan pikiran dan rasa. Melalui rasa batin mereka menembus selubung gaib, memasuki wilayah yang riil. Maka seluruh sesaji yang terdiri dari ubarampe, baik yang ditempatkan ditempak khusus, di atas dalang maupun di dekat gong tetap melukiskan simbol yang masuk akal.

(17)

makanan kecil: jadah bakar, ketela pohon bakar.

Sesaji juga diletakkan dekat gong. Jenis sesaji antara lain tumpeng gudangan, dua buah kelapa yang telah dibersihkan kulit dan sabutnya, tetapi belum dipecah, jajan pasar (terdiri dari bermacam-macam makanan kecil antara lain: wajik, jadah, kimpul, tela pendhem, kacang tanah yang masih ada kulitnya direbus dan lain-lain), gulan jawa satu tangkep, teh satu bungkus, tembakau, gambir, injet. Dilengkapi buah-buahan seperti nanas, timun, jambu, bengkoang, blimbing, sawo, salak, pisang raja satu tangkep.Semua ini diletakkan dalam sebuah tempat yang dibuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat dan diberi alas daun pisang.

Sepintas pemakaian sesaji dalam ritual bersih desa, sekedar menghambur-h a m b u r k a n m a t e r i . B e g i t u p u l a pemakaian pertunjukkan wayang kulit, yang memakan banyak biaya, bagi orang awam mungkin akan menganggap fenomena mubazir. Padahal jika dicermati fenomena demikian merupakan wilayah seni spiritual yang agung. Aspek-aspek estetika spiritual yang sekaligus menjadi w a ha n a k om un ik a si ga i b a n ta r a penghayat kepercayaan dengan Tuhan merupakan aspek extraordinary (“ke-luar-biasaan”) dalam bersih desa. Hal-hal yang sakral, penuh sensasi, mistik, dan memuat greget spiritualitas tinggi merupakan keluarbiasaan bersih desa.

Uraian lengkap tentang sesaji tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Ngasinan tampaknya masih meneruskan tradisi para leluhurnya yang banyak dipengaruhi oleh agama Hindu dan kepercayaan agama lokal yang berbau animisme. Dari keseluruhan sesaji itu,

tampaknya yang paling penting ialah terpenuhinya macam sesaji, bukan jumlah masing-masing sesaji yang tidak menjadi persyaratan mutlak.

Kedudukan dan fungsi dalang dalam tradisi bersih desa sangat penting mengingat keberhasilan suatu tradisi bersih desa sangat ditentukan oleh dalang. Dalang secara spiritual berkedudukan sebagai perantara kontrak batin dengan roh nenek moyang atau leluhur. Hal ini berarti seorang dalang bukanlah orang sembarangan, ia memiliki kelebihan dibanding kebanyakan orang, memiliki syarat tertentu yang menyangkut kemampuan supranatural. Karena kelebihan ini, maka dalang dianggap sebagai orang yang serba mampu atau m u m p u n i , k h u s u s n y a d a l a m hubungannya dengan alam gaib. Di samping berfungsi sebagai pemimpin tradisi, dalang juga sebagai pemimpin p e r t u n j u k k a n , y a i t u m e m i l i k i kewenangan untuk membuka dan menutup jalannya prosesi tradisi.

Berdasarkan uraian di atas, tradisi bersih desa atau ruwatan bumi (bersih desa) merupakan ekspresi individual dan kolektif masyarakat Ngasinan, Kediri yang melestarikan tradisi mitos Dewi Sri sebagai ekspresi sosial-budaya yang mencerminkan percampuran unsur-unsur kebudayaan pra-Islam, yaitu kebudayaan animisme, dinamisme, Hindu, dan Islam, sehingga terjadi interpenetrasi yang mengkristal dalam wujud akulturasi dan inkulturasi budaya yang menjadi suatu pandangan hidup baru yang berupa kegiatan religius.

(18)

desa secara keseluruhan tidak dapat terpisahkan dari sebuah struktur sosial. Bersih desa tetap lestari dan berkembang di tengah masyarakat dusun Ngasinan, karena adanya keterkaitan fungsi dan makna dalam suatu sistem sosial-budaya. Keterkaitan itu terletak pada peranan wayang kulit, warga penghayatan kepercayaan, penjual bunga, juru kunci kuburan, pemerintah (kepala dusun), dalang, dan sebagainya, yang menjadi bagian dari sistem sosial-budaya masyarakat dusun Ngasinan, yaitu sebagai media tradisi bersih desa.

Bersih desa sebuah ritual yang membentuk kisah etnografi masyarakat setempat, Jika hal ini diselaraskan dengan gagasan Radcliffe-Brown (Jakobson,1991:21) berarti peranan sosial dan norma ikut memberi makna sebuah budaya. Hubungan antara posisi sosial akan membentuk aktualisasi hubungan dan pekerti yang unik dalam masyarakat.

Dalam wacana lain Geertz (Simatupang,2005:viii) menyatakan bahwa manusia ibarat makhluk yang terjerat dalam jaring-jaring makna yang dipintalnya sendiri. Dari pendapat ini dapat dinyatakan bahwa setiap gerak hidup manusia memiliki makna. Makna tersebut terangkum dalam simbol budaya. Dengan kata lain, bersih desa akan memuat mana yang melukiskan segala pekerti, sikap, norma masyarakat yang terangkum dalam sebuah struktur sosial padu.

D a r u s u p r a p t a . 1 9 8 8 . ” S a r a s e h a n

K e b u d a y a a n J a w i ” d a l a m

Semarang:Aneka Ilmu.

Geertz,Clifford.1973.

N e w Yo r k : B a s i c Books,Inc.Publishers.

---.2003. “Seni sebagai Sistem Budaya” dalam

Yogyakarta:Merapi.

J a k o b s o n , D a v i d . 1 9 9 1 .

New York:State University of New York Press.

Koentjaraningrat.1985. Jakarta:Balai Pustaka.

Morris, Brian.2003.

Yogyakarta:AKGroup

Murgiyanto,Sal.1998.”Mengenai Kajian Pertunjukkan” dalam Pudentia MPSS (Ed.)

Jakarta Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

Permadi, K.1995

.Jakarta:Dirjen Kebudayaan.

Pritchard,Evans,EE$.1984.

.Jakarta:PLP2M.

Simatupang,G.R..2005. Kuliah S3:

.Yogyakarta:FIB UGM.

DAFTAR PUSTAKA

Ya t m a n a , T u n t u n a n K a g e m Pranatacara Tuwin Pamedhar Sabda.

The Interpretation of C u l t u re .

Pengetahuan Lokal.

R e a d i n g Ethnography.

Kebudayaan Jawa.

Antropologi Agama.

Metodologi Kajian Tradisi Lisan.

Pandangan Aliran K e p e r c a y a a n T e r h a d a p Islam.

Teori-teori

t e n t a n g A g a m a

Primitif

(19)

Pendahuluan

Franz Magnis Suseno, berdasar penelitian-penelitiannya, mengkonstruksi masyarakat Jawa dari sisi filosofi kehidupan tentang manusia dari aspek individu maupun sosial. Konstruksi tersebut, walaupun ia sebutkan bahwa sosok manusia Jawa belum tentu ada atau bahkan tidak ada yang se-ideal yang ia gambarkan, tetapi telah memberikan gambaran berupa cerminan tentang adanya idealisme dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa menurut Suseno, dalam kehidupan sosialnya memiliki k a i d a h d a s a r y a n g k a i d a h i t u m e m p e n g a r u h i m a s a l a h - m a s a l a h hubungan sosial, yaitu berupa prinsip rukun dan prinsip hormat (Franz Magnis Suseno, 1988) atau menurut Niels Mulder prinsip hormat ini disebut prinsip hierarki

(Niels Mulder, 1984). Kedua prinsip tersebut mengacu pada tujuan sosial masyarakat Jawa, yaitu tujuan keselarasan kehidupan berupa terciptanya kondisi masyarakat tanpa konflik, tanpa gejolak menerima dan menaruh hormat pada individu-individu sesuai posisi sosial yang ditempati.

Upacara merupakan sisi paling menonjol pada perilaku sosial dan system gagasan orang Jawa. Upacara muncul secara luas, melingkupi siklus hidup dan berbagai kegiatan sosial di dalam kehidupan masyarakat. Upacara yang meluas semacam ini menunjukkan bahwa upacara memiliki arti penting bagi masyarakat Jawa. Mempelajari upacara berarti mempelajari nilai-nilai penting di dalam masyarakat itu. Analisa upacara itu ditujukan untuk menemukan nilai-nilai

*)

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember, Sofyan Hadi*)

Abtract

(20)

masyarakat yang sukar diamati di dalam kehidupan biasa. Melalui upacara juga ditemukan kunci-kunci seperti yang d i u n g k a p a n Tu r n e r, 1 9 6 9 : 6

.

Tidak semua orang yang tinggal di Pulau Jawa merupakan orang Jawa dan tidak pula semua mereka yang berbahasa Jawa disebut orang Jawa. Tetapi, seseorang yang dianggap sebagai orang Jawa adalah orang yang mengikuti prinsip-prinsip hidup masyarakat Jawa. Siapapun, apabila dalam masyarakat Jawa mengikuti prinsip filosofi Jawa sebagai idealisme kehidupannya, maka ia akan diakui sebagai orang Jawa. Sebaliknya, apabila seseorang tidak mengikuti prinsip f ilo so f i Ja w a se b a ga i i de a lis me kehidupannya (walaupun hidup di wilayah suku Jawa), maka ia akan dikatakan sebagai bukan orang Jawa (ora njawani). Dengan demikian yang dimaksud dengan orang Jawa (terutama dalam bahasan ini) adalah orang yang menjadikan filosofi hidup Jawa dalam prinsip kehidupan dan dalam menjalin hubungan-hubungan sosial di masyarakat Jawa.

Bentuk-bentuk hubungan sosial masyarakat Jawa lebih kurang merupakan refleksi filosofis yang dalam prinsip kehidupan sosial masyarakat Jawa terdiri dari konsep filsafat manusia dan lingkungan. Dan dalam masyarakat Jawa ini, konsep tentang lingkungan tampak lebih besar mempengaruhi bentuk-bentuk hubungan sosial. Pola-pola hubungan

yang menekankan keselarasan atau harmoni, keinginan untuk menghindari konflik secara terbuka merupakan refleksi langsung dari konsep keteraturan lingkungan yang terkondisikan sebagai suatu obsesi atau kondisi ideal yang terus menerus berada dalam pikiran orang Jawa (FachriAli, 1986).

Konsep tentang manusia sangat dipengaruhi oleh ajaran tiga agama yang pernah berpengaruh di masyarakat Jawa, yaitu Hindu, Budha dan Islam. Pengaruh masing-masing agama ini pada satu sisi lebih dominant dari yang lain dan pada sisi berikutnya kurang dominan. Dalam proses sosiologisnya, pengaruh ini membentuk klasifikasi manusia secara umum, yaitu wong cilik dan priyayi (Clifford Geertz, 1983 ; 56).

Priyayi merupakan kelompok sosial kelas atas. Mereka merupakan kaum ar istokr at ya ng se c ar a hie ra rk is menempati kelas lebih tinggi daripada wong cilik. Secara sosial ekonomi, politik dan kebudayaan, priyayi menjadi kontributor dan referensi pada masalah kultural dan filsafat hidup banyak dibicarakan dan merupakan ”produk” priyayi. Sedangkan wong cilik, walaupun pada umumnya menganggap masalah kultural dan filsafat hidup ini penting, tetapi mereka merasa cukup menjadi konsumen dari ide-ide yang berkembang di kalangan priyayi.

Adapun kontribusi utama wong cilik dalam kehidupan bermasyarakat adalah hasil-hasil pertanian. Wong cilik, dalam hubungan relatifnya dengan priyayi, sering diistilahkan dengan antara ”kaum kasar dan halus”. Pola hubungan saling mengisi ini terjadi dan menjadi To

understanding of how people think and feel about those relationship, and about the natural and sosial environments in which they operate

Sistem Kehidupan Masyarakat Jawa dan Filosofi Kehidupan Sosial

(21)

sistem tata kehidupan sosial masyarakat Jawa.

M e n u r u t k o n s e p b e r p i k i r masyarakat Jawa, kenyataan-kenyataan hidup empiris, secara utuh menyatu dengan hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera (metempiris). Interaksi-interaksi sosial antar manusia adalah sekaligus interaksi dengan alam lingkungan, terutama alam yang tak tercapai pancaindera, dan sebaliknya, sikap terhadap alam lingkungan sekaligus mempunyai relevansi pada kehidupan sosial. Hal ini karena menurut orang Jawa semua sikap dan tindakan manusia tidak dibedakan antara sikap religius dan bukan religius. Jadi antara pekerjaan, interaksi dan do'a tidak terdapat perbedaan prinsip hakiki. (Niels Mulder, 1984 : 67).

Dengan demikian, lingkungan dalam pandangan masyarakat Jawa menjadi hal yang sangat penting. Semua unsur lingkungan ini menyatu dengan alam adikodrati (supranatural). Yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia adalah menjaga keteraturan kehidupan lingkungan. Keteraturan ini adalah kehidupan yang terkoordinasikan antara manusia dan alam lingkungannya. Dalam konsep ini, segala bentuk gejala alamiah dan akibat dari tindakan-tindakan manusia tidaklah dihayati sebagai suatu kejadian yang berdiri sendiri, oleh karena setiap masing-masing merupakan bagian dari totalitas yang dikoordinasikan oleh kekuatan supranatural (Fachri Ali, 1986 : 45).

Orang Jawa tidak menyukai adanya konflik terbuka dalam lingkungan kehidupan. Dengan demikian adanya perubahan-perubahan yang menimbulkan kegoncangan atau ketidakharmonisan pada kehidupan sosial tidak diterima. Implikasinya adalah masyarakat Jawa sangat hati-hati dalam menginternalisasi hal-hal yang baru (ungkapan ini lebih tepat daripada pernyataan bahwa masyarakat Jawa bersikap statis).

Etika keselarasan sebagai prinsip untuk menghindari adanya konflik terbuka tersebut. Segala sesuatu yang ada dalam lingkungan adalah suatu keadaan yang tidak boleh diganggu. Masyarakat Jawa memandang lingkungan kehidupan s e b a g a i s e s u a t u y a n g p e n t i n g . Lingkungan merupakan basis kehidupan yang melingkupi individu, masyarakat dan alam sekitarnya. Kesemua unsur lingkungan itu menyatu dengan alam adi kodrati (supranatural) (Fahri Ali, 1986 : 34). Dengan demikian adanya sedikit pergeseran pada satu titik tata lingkungan akan menimbulkan pergeseran pada titik-titik yang lain dan akan menganggu keselarasan yang sudah ada (goro-goro). Ini merupakan kejadian yang harus dihindari, karena goro-goro ini adalah akibat dari menganggu keselarasan totalitas yang dikoordinasi oleh ”Sang Penyebab Tunggal”.

Prinsip rukun (Franz Magnis Suseno, 1988: 34) bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun berarti ”berada dalam keadaan selaras”. Keadaan rukun terletak di mana semua pihak Konsep Tentang Lingkungan

Keselarasan sebagai Konsep Sistem Sosial Masyarakat Jawa

(22)

berada dalam keadaan damai, suka bekerjasama, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun adalah k e a d a a n i d e a l y a n g d i h a r a p k a n dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, rumah tangga, di desa, di setiap kelompok-kelompok sosial. Dengan demikian diharapkan rukun dapat mengatasi perbedaan, saling menerima, bekerjasamas, hati tenang dan harmonis. Dengan demikian rukun disini bersifat positif, yaitu prinsip mencegah untuk tidak menganggu keselarasan yang sudah ada yang menurut Ann R Wilmer sebagai ”prinsip pencegahan konflik”.

Manusia dalam pikiran Jawa dilahirkan pada kodratnya yang tidak sederajat (Niels Mulder, 1984 : 45) Ketidaksamaan derajat ini ada dalam semua hubungan individu manusia Jawa, dari sisi keluarga sampai pada hubungan sosial kemasyarakatan dan pemerintahan. Dari sini terwujudlah apa yang disebut dengan hirarki dalam tiap-tiap status (posisi) keluarga maupun masyarakat.

Semua hubungan sosial ini secara hierarkis diatur oleh nuansa-nuansa halus sesuai dengan perbedaan kedudukan menurut posisi masing-masing individu Jawa. Pengaturan hubungan sosial ini diwujudkan dalam prinsip norma hormat. Orang Jawa wajib mempertahankan posisi-posisi dalam hierarki, baik dalam membawa diri maupun dalam menerima (mengakui) orang lain dalam posisinya. D en ga n ca r a itu ak a n te r wu ju d masyarakat yang teratur dengan baik, di mana setiap orang mengenal dan melegitimasi dalam tindakan posisinya sendiri juga orang lain. Dengan demikian hal tersebut berarti setiap orang Jawa akan

menjaga seluruh posisi-posisi dalam masyarakat agar tetap selaras dan harmoni.

Prinsip hormat adalah cara untuk merealisasi keharusan-keharusan dalam t a t a n o r m a i t u . M e r e k a y a n g berkedudukan tinggi harus diberi hormat, sedangkan sikap yang tepat untuk orang berkedudukan tinggi kepada yang lebih rendah adalah kebapakan atau keibuan dan tanggungjawab (Fahri Ali, 1986 : 15). Jika semua orang Jawa menerima realitas hirararki A yang diwujudkan dengan sikap hormat A pada tiap-tiap posisi relatif itu, maka tatanan sosial akan terjamin.

Kosmologi Jawa memperlihatkan dua perbedaan sifat manusia, yaitu sifat baik dan buruk atau lazim disebut sebagai alus (halus) dan kasar. Kedua sifat ini digambarkan oleh konsep kakang kawa adi ari-ari. Kawah (air ketuban) dipandang sebagai jiwa manusia, sedangkan ari-ari (tembuni) dianggap sebagai badan kasar manusia. Bersatunya air ketuban dan tembuni dipandang sebagai bersatunya kekuatan baik dan kekuatan buruk dalam diri manusia. Kedua kekuatan ini menjadi dasar lahirnya tindakan.

Gambaran sifat baik dan buruk dijabarkan menjadi empat sifat dalam diri

manusia. (sifat

memetingkan makan), dilambangkan dengan warna hitam karena dihubungkan dengan tanah. Tanah merupakan tempat tumbuhnya tanaman yang menghasilkan

makanan. (sifat pemarah)

dilambangkan dengan warna merah yang dihubungkan dengan api dan darah. ( s i f a t b i r a h i ) dilambangkan dengan warna kuning yang Prinsip Hormat

Pribadi dalam Masyarakat Jawa Ciri Personal Dalam Kosmologi Jawa

Pertama, lawwamah

Kedua, amarah

(23)

dihubungkan dengan angin yang menjadi nafas bila masuk ke dalam tubuh manusia. Nafas ini dihubungkan dengan nafsu yang mengarah kepada dorongan pemenuhan k e b u t u h a n s y a h w a t .

(sifat baik) dilambangkan dengan warna putih dihubungkan dengan air yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui air minum.

Dalam gagasan orang Jawa manusia harus mengutamakan sifat yang keempat agar bisa hidup dalam tatanan kosmis. Sebaliknya ketiga sifat lain harus ”ditekan” (dikendalikan) agar tidak menghambat tujuan hidup sesungguhnya. Manusia yang bisa memelihara sifat baik dan menggunakan sifat itu untuk mengendalikan sifat buruk maka ia akan

menjadi .

Sifat-sifat yang menjadi prasyarat seorang ksatrio utomo adalah sifat luhur seperti nrima, sabar dan ikhlas. Seseorang yang bersifat nrimo akan mendatangkan k e te na ng a n d a n me m p e r l ih a t ka n penerimannya terhadap suatu keadaan. Sikap ini menumbuhkan kesusilaan batin yang tinggi dalam diri seseorang Jawa.

Sikap Sabar melengkapi sikap nrima untuk mengekspresikan keluhuran budi, yang tampak dari adanya sikap waspada (kehati-hatian) dalam membuat keputusan. Geertz menunjukkan sikap sabar ini sebagai ketiadaan hasrat, kesabaran dan ketiadaan nafsu (Geertz, 1983 : 323). Konsep ikhlas dalam diri seseorang dikonsepsikan sebagai ketulusan dalam bertindak, tindakan tidak m e n g a r a h k e p a d a p e m e n u h a n kepentingan pribadi.

Cara yang ditempuh untuk menjaga harmoni ini adalah dengan meninggalkan kepentingan duniawi karena kehidupan itu sendiri merupakan perjalanan ke dunia

yang kekal, yakni alam kelanggengan. Alam kelanggengan ini memiliki kedudukan paling tinggi dibandingkan dengan alam-alam lain dalam sistem gagasan orang Jawa. Hal ini dipengaruhi

oleh konsep ,

yaitu konsepsi tentang alam tempat asal dan tujuan berakhir manusia.

Rasa ( ) dalam kosmologi

Jawa merupakan konsep sentral. Sifat sabar, nrima, ikhlas, waspada dan sifat-sifat lain bersumber dan dipengaruhi oleh ada tidaknya rasa. Tanpa rasa tidak mungkin sifat-sifat bijak dimiliki oleh seseorang. Rasa tidak hanya diartikan sebagai ”cita-rasa”, ”perasaan”, tetapi juga panca indera perasaan. Rasa disini menunjukkan kepada hakekat , sifat dasar suatu benda atau kenyataan yang sebenarnya. Ia juga berarti hakekat seseorang (Mulder, 1985 : 23). Dengan rasa inilah seseorang, mengendalikan jalan pikiran, sikap dan perilakunya. Apabila seseorang dapat melatih rasa dengan baik sehingga ia menjadi orang yang peka, maka ia akan memiliki kekuatan batin yang luar biasa.

Gambaran ini membawa kita kepada penjelasan pola berpikir orang Jawa. Pola berpikir yang alon-alon, teliti, penuh perasaan, dan senang dengan ketidakpastian serta dengan bijak bisa menempatkan diri diantara pasti dan tidak, diantara ada dan tiada, dan diantara ya dan tidak.

Wayang merupakan rumusan konkrit dari tokoh, watak dan dunia. Tokoh tertentu mewakili watak tertentu, yakni menggambarkan macam orang yang memberikan pengetahuan dan pilihan untuk merumuskan dirinya sendiri, K e e m p a t ,

mutmainnah

ksatrio utomo

sangkan paraning dumadi

intuition

(24)

untuk berempati. Semua itu adalah simbol y a n g m e n g k o m u n i k a s i k a n d a n mewariskan gagasan tentang realitas. Bahasa merupakan rumusan lain yang t i d a k s a j a b e r f u n g s i u n t u k mengkomunikasikan diri si pembicara dan mengkomunikasikan yang diajak bicara maupun orang lain oleh si pembicara, tetapi bahasa lebih sebagai pengendali dan pengembalian status seseorang sebagai bagian dari garis keluarga, bagian dari masyarakatnya, bahkan bagian dari sebuah peradaban.

Di sini kembali tampak, konsep Jawa tentang pribadi, pemimpin dan kekuasaan itu sendiri adalah sesuatu yang ada pada tataran imaji, pada kesan dan perasaan, tanpa ada wujud nyata. Sistem gagasan ini dibangun dengan konsep kejawen dan seperti kata Koetjaraningrat (1980 : 135) ciri penting yang memperkuat kekuasaan adalah kekuatan magis (kasekten).

Kraton sebagai pusat orientasi budaya Jawa tidak lagi memiliki batas-batas kekuasaan dan pengikut yang jelas karena ia bukan lagi sebagai istana dari sebuah kerajaan. Kraton Yogyakarta memang sebagai sebuah istana dari sebuah kesultanan, namun kedudukannya didalam sistem politik Indonesia adalah bagian didalam sistem yang besar, kraton sudah dinasionalkan. Akan tetapi penyatuan itu tidak berarti penyatuan kebudayaan Kraton ke dalam sistem yang lebih luas. Proses yang terjadi agak berbeda dan menarik untuk dikaji. Dalam proses ini dapat dilihat Kraton dengan ke buda yaa nnya tid ak me ngala mi pengikisan, tetapi sebaliknya.

Pengaruh kebudayaan kraton yang

paling penting adalah ide-ide sinkretisme. Seperti baru saja diperlihatkan dari analisa simbol, makna-makna mendasar dari simbol kehidupan orang Jawa adalah k e m e n d u a a n d a l a m s i s t e m i d e . Kemenduaan terjadi karena usaha menempatkan diri di tengah-tengah di dalam setiap kesempatan, baik gagasan, pembicaraan, maupun perilaku. Orang Jawa selalu mengambil posisi di tengah, pada posisi keseimbangan. Perilaku seremonial di dalam kehidupan sosial merupakan wujud dari sistem gagasan semacam ini. Tumpeng, sajen dan simbol itu sendiri sebenarnya menghubungkan sesuatu yang ada dengan tiada, yang gaib dan yang nyata yang keseluruhan menunjuk kepada usaha olah pikir.

Hal ini dapat dilihat sebagai indikator atas perhatian orang Jawa terhadap pengetahuan dan gejala yang gaib dan subyektif, yakni suatu wawasan pribadi mengenai sesuatu dan susunannya yang sebenarnya tidak dapat dirumuskan secara obyektif. Orang Jawa hidup dalam berpikir ini, mereka memang makhluk simbolis dalam rumusan Cassirer.

(25)

kejawen sekaligus mengikat seluruh agama di dalam suatu sistem keyakinan. Kejawen menjadi penghubung antar agama yang memungkinkan terjadinya integrasi dan stabilitas sosial.

Kerjasama antara Kejawen dan Islam sebagai contoh, dimungkinkan karena ”

”)Lihat Koentjaraningrat, 1980 : 128, Geertz, 1976: 125, Anderson, 1972 : 58).

Kesejajaran antara Islam dan Kejawen itu dipengaruhi juga oleh proses penetrasi Islam dan ini yang melahirkan Sinkretisme di Jawa. Proses penetrasi Islam, seperti ditunjukkan Anderson, lebih bersifat asimilatif daripada revolusioner. Hal ini dapat dilacak pada kenyataan bahwa Islam masuk ke Jawa bukan dengan cara penaklukan, tetapi melalui perdagangan (Anderson, 1972 : 58).

Sisi lain yang menarik dalam melihat proses sinkretisme di Jawa adalah dari sisi Kejawen itu sendiri. Munculnya sinkretisme dapat dikatakan disebabkan oleh kuatnya kejawen mempertahankan nilai dan ajarannya. Analisa ini dapat dilacak pada sejarah Islam masuk ke Jawa. Sampai paruh pertama abad ke-17 agama Islam masih menjadi agama asing, belum diterima di dalam peradaban Jawa (Koetjaraningrat, 1980 : 127-128). Saat itu Islamisasi aturan-aturan kehidupan tampaknya tidak menyebabkan terjadinya

perubahan-perubahan mendasar dalam pendangan hidup (Anderson, 1972 : 57-58).

Setelah kraton tidak mampu menolak agama Islam pun, dengan bijak kraton mengambil langkah kompromi. Seperti dikatakan didalam Serat Cabolek oleh Yasadipura. Penerimaan Islam yang dianggap orang Jawa sebagai agama Allah dan syari'ah hanya sebagai pedoman formal, atau sebagai wadhah bagi kebudayaan Jawa, dalam rangka mencari pembersihan dan penyempurnaan spiritual (Koetjaraningrat, 1980 : 131). H u b u n g a n o r a n g J a w a d e n g a n supranatural Islam memang lebih formal. Sedangkan suprnatural yang bukan Islam lebih bersahabat karena berkaitan langsung dengan kegiatan sehari-hari keluarga Jawa sehingga komunikasi dengan supranatural itu dianggap tidak bersifat formal (1980 : 138).

Sinkretisme dalam pengertian ini telah membangun stabilitas nasional. Sampai sekarang kekuatan kraton sebagai pewaris tradisi tampak jelas melalui symbol-simbol yang digunakan. Oleh karenanya, seperti diuraikan di bagian sebelumnya, sinkretisme dapat menjadi a ru s b es a r d a la m c a ra p an da ng masyarakat Jawa. Kraton dalam hal ini, yang memiliki kharisma tinggi dengan kedudukannya sebagai pewaris tradisi memberikan sumbangan besar dalam p r o se s p e n y a t u a n d a n me n g i ka t masyarakat yang semakin majemuk. Namun apakan Kraton akan terus mampu memberikan bingkai kebudayaan yang d a p a t m e n g a r a h k a n p e r u b a h a n masyarakat, masih perlu dipertanyakan. Tantangan perubahan tampaknya semakin berat dan peranan kebudayaan semakin the kind of Islam that came to

Indonesia (and hence also to Jawa) was one which, unlike the orthodoxs Islam from Mecca and Cairo, had picked up many mystical elements in Persia and India, and was therefore congruent with the comtemporary javanese traditional world view

(26)

dibutuhkan untuk memberi kepribadian kepada “masyarakat baru” yang terus terbentuk. Mungkin dibutuhkan symbol-s i m b o l b a r u u n t u k k o m u n i k a symbol-s i kebudayaan.

Ali, Fachri, (1986). Refleksi paham “kekuasaan Jawa” dalam

Jakarta: Gramedia

Anderson, B.R, O'G., (1972). The idea of power in javanese culture, dalam Claire Holt (ed),

Ithaca: Cornell University Press

Cassirer, E. (1969), New

Haven: Yale University Press

G e e r t z , C l i f f o r d , ( 1 9 7 3 ) , New York: Basic

_____________(1976),

University of Chicago Press

_____________(1983).

Jakarta: PT. Pustaka Jaya

Koentjaraningrat, (1980).

Jakarta: PN Balai Pustaka

Mulder, Neils, (1984),

Jakarta : Bina Aksara

Suseno, Franz Magnis, (1988).

Jakarta : Gramedia

Turner, (1969),

London: Keagan Paul Trench, Trubner & Co., Ltd.

DAFTAR PUSTAKA

Indonesia Modern,

Culture and politic in Indonesia,

An essay on man,

T h e interpretation of cultures,

The religion of java, Chicago:

Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat jawa,

Kebudayaan Jawa,

Sosiologi Suatu Analisa Sistem Sosial, Penerjemah: Sahat Simamora,

Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi

Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa,

(27)

Pendahuluan

Awal abad XX, gerakan perubahan-p e r ub a h a n t e la h b e r la n g su ng d i K a s u n a n a n , t e r u t a m a p e r u b a h a n paradigma politik dari perspektif tradisional menuju perspektif partisipasi massa. Sunan Paku Buwana (PB) X menyadari bahwa perubahan paradigma p o l i t i k a m a t p e n t i n g u n t u k mempertahankan eksistensi politik

Kasunanan. yang

ditandatangani raja-raja sebelumnya,

termasuk 1893 yang dia

tandatangani mempersempit ruang gerak p o l i t i k , b a h k a n U n d a n g - U n d a n g Desentralisasi (UUD) 1903 yang diberlakukan memaksa hanya berkuasa di lingkungan istana saja. Kenyataan itu mendorong Sunan memainkan simbol

politik yang sifatnya (eling

l a n w a s p a d a ) d a n

(membangkitkan kembali) yang ditujukan untuk menumbuhkan kekuatan rakyat, b a i k d a l a m s e g i p e n d i d i k a n , perekonomian, sosial, maupun politik. Sementara itu dalam bidang politik Sunan Verklaring-verklaring

verklaring

recollection

re a w a k e n i n g

1

2

*)

Program Studi Pendidikan Sejarah S1 dan S2, serta Program Studi S2 Kesehatan Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta.

1 Isi 1893 yang ditandatangani mencakup: (1) perbaikan pengadilan, kepolisian, dan penyelesaian menurut hukum; (2) daerah terselip atau ; (3) ganti kerugian dari pemerintah; (4) pemungutan pajak baru; (5) penyewaan tanah kepada orang-orang Eropa; (6) kerja wajib bagi penduduk yang tinggal di daerah yang disewa oleh pengusaha asing; (7) seremoni pada pesta dan kesempatan lain. Lihat Darsiti Soeratman, , (Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia, 2000), pp. 51-59. Sementara itu diberlakukan UUD 1903 adalah untuk mewujudkan tuntutan pengusaha Belanda agar tanah-tanah direorganisasi agraria untuk perluasan perkebunan, dan peradilan ( masjid dan kabupaten) diambilalih pemerintah untuk menjadi keamanan. Di samping itu dengan adanya otonomi, pengusaha Belanda mempunyai hak bicara dalam proses pembuatan kebijakan ekonomi dan politik di Hindia Belanda. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto,

, (Malang: Bayumedia, 2005), pp. 4-17; George D. Larson, , (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), pp. 30-40; Takashi Shiraishi,

, a.b. Hilmar Farid, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).

2 Dalam bidang pendidikan didirikan Madrasah Mamba'ul Ulum (1905), HIS Kasatryan (1914), HIS Parmadi Putri (1914), Taman Kanak-Kanak Parmadi Siwi (1914), lembaga , dan Paheman Radya Pustaka (1910). Bidang ekonomi, mendirikan Bank Bandhalumaksa untuk membantu , dan yang membutuhkan modal pengembangan usaha; membangun Pasar

Verklaring

enclave

Kehidupan dunia Keraton Surakarta 1830-1939

lungguh

surambi surambi

Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda

Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Kasunanan, 1912-1942

Zaman Bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa, 1912-1926

Rijksstudiefond

sentana abdi kawula dalem

Abstract

Kata kunc

This article tried to analyze political thinking of the kratons' elites in the twentieth century. The political thinking of Sunan Paku Buwana (PB) X was to restored his power that disappeared by penetration of Dutch colonial. The Sunan's strategy to restored the power was (1) changed political paradigm from the traditional perspective to political mass; (2) built schools, markets, bank, hospital, gardens, mosques; and give migrant skills; (3) supported local party that was Sarekat Islam and Boedi Oetomo. But, blunder diplomacy took PB XI that was surrender to the Japanese troops, and PB XII tried to return to the traditional political paradigm and formed 'swapraja' government in Surakarta. That blunder policy to be opposite of the nasionalist perspective.

(28)

Gedhe Hardjonegoro (1930) dengan arsitektur modern yang dikerjakan Herman Thomas Karsten (1884-1945), membangun Jembatan Jurug (1913), Bacem (1915), dan Mojo untuk menghubungkan jalur perekonomian Kota Surakarta dengan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo. Bidang kesehatan, membangun Rumah Sakit Panti Rogo (Rumah Sakit Kadipolo) dan Apotik Pantihusada yang dikelola Dinas Kesehatan Keraton Kasunanan (Kridha Nirmolo). Dalam bidang sosial mendirikan rumah Wangkoeng untuk memberi keterampilan membuat alat-alat rumah tangga kepada buruh migran berasal dari pedesaan, dan Taman Hiburan Rakyat Sriwedari (1902). Lihat Wangsa Leksana, , (Surakarta: Sasana Pustaka, 1939), pp. 16-37; lihat pula Asnawi Hadisiswaja, , (Surakarta: Poesaka Soerakarta & Islam Radja, 1939), pp. 9-15; Paku Buwana X, alih aksara Moelyono S., (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud, 1981); Karno Sontoprodjo,

[ .] , (Surakarta: tanpa penerbit, 1990).

3 Besarnya perhatian PB X kepada Tirtoadhisoerjo karena keberhasilan membongkar sengkongkol Residen Madiun J.J. Donner. Lihat Ong Hok Ham, “The Inscrutable and the Paranoid: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair”, in Ruth T. McVey (ed.),

, (New Haven: Yale University Press, 1978), pp. 112-157; lihat pula Pramoedya Ananta Toer, , (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), pp. 48-49.

4 Ketika Residen J.J. Donner menurunkan Brotodiningrat dari jabatan bupati Madiun merupakan persengkongkolan antara Residen J.J. Donner, Patih Mangoen Atmodjo, dan Kepala Kejaksaan Madiun, Adipoetro. Laporan J.J. Donner kepada Gubernur Jenderal Rooseboom, pada tanggal, 29 November 1902, menyatakan bahwa Brotodiningrat adalah pemimpin sejumlah kerusuhan di dalam dan di luar Karesidenan Madiun. Bahkan jaringan kerusuhan yang dipimpinnya meliputi seluruh Jawa, mulai dari Banten hingga Banyuwangi. Laporan Residen Madiun mengakibatkan Bupati Madiun dihadapkan ke pengadilan tanpa saksi-saksi. Adanya kejanggalan proses peradilan mendorong Tirtoadhisoerjo melakukan investigasi jurnalistik, dan hasilnya dimuat dalam surat kabar , dalam rubrik “Dreyfusiana”. Tulisan Tirtoadhisoerjo menimbulkan kegemparan, dan Gubernur Jenderal meminta kepada Christian Snouck Hurgronje untuk melakukan penelitian terhadap laporan-laporan Donner. Namun surat-surat Donner tidak ditemukan, dan Brotodiningrat terlanjur dihukum dalam pembuangan. Tidak ditemukannya surat Donner, mendorong Snouck Hurgronje memrovokasi bahwa Tirtoadhisoerjo: (1) tidak lulus STOVIA karena cacat watak dan tidak berbakat; (2) penghasut dan koruptor, bahkan abangnya RM. Said (jaksa) tidak mau tahu

Biwadha Nata Soerakarta Adiningrat Srikarongron,

Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoe Boewana Ke-X sic 1893-1939

Southeast Asia Transitions: Approaches through Social Histtory

Sang Pemula

Pembrita Betawi membangun komunikasi dan jejaring

dengan priyayi protagonis dan komunitas epistemik (tokoh dan pengusaha Islam) yang dilakukan melalui perjalanan atau perlawatan politik ke berbagai daerah Nusantara. Komunikasi politik sering dilakukan sendiri, dan kadangkala melalui seorang utusan. Perlawatan tersamar dan bermuatan politik ini berhasil menumbuhkan dinamika politik lokal, tetapi pada sisi lain menimbulkan ketegangan antara Sunan dan Residen Surakarta.

Perlawatan politik ke Banten, April 1902, mengutus R.M.Ng. Prodjo Sapoetro untuk men yampaika n pesa n da n cinderamata kepada Tirtoadhisoerjo. Cinderamata berupa kain batik dan destar, sedangkan pesan lisannya adalah meminta kesediaan Tirtoadhisoerjo untuk mengelola mingguan berbahasa Jawa,

, yang sedang menghadapi

kesulitan manajemen. terbit

pada 1855 hingga 1932, dan merupakan mingguan yang berafiliasi dengan Kasunanan. Cinderamata batik dan destar adalah simbol politik, yang bermakna ingin memulihkan harga diri sebagai bangsa Jawa, serta menggunakan Islam sebagai kekuatan penyangganya. Melalui cinderamata dan pesan, PB X hendak me n g gu g a h d a n me n gu n gk a p ka n kenyataan ekonomi, politik, dan sosial kepada Tirtoadhisoe rjo. Ta waran

mengelola dimaksudkan

bersedia menuangkan pemikiran politik p a d a m i n g g u a n t e r s e b u t u n t u k membentuk pendapat umum serta membangkitkan kesadaran terhadap hak dan keadilan. Kesadaran ini sama halnya dengan menyalakan keberanian melawan kebijakan kolonial.

incognito

Bromartani

Bromartani

Bromartani

3

Referensi

Dokumen terkait

Sebenarnya jika dilihat sekilas maka tidak ada masalah dalam hal ini, namun yang menjadi pembahasan selanjutnya adalah timbulnya stigma yang menyebutkan ketidakpatuhan

Hasil analisis ekstrak kasar pigmen bakteri simbion karang (5.A.4) menggunakan KCKT diperoleh 6 puncak dominan dengan waktu retensi yang berbeda yang disajikan

Memasuki era globalisasi yang ditandai dengan persaingan dalam berbagai aspek, diperlukan sumber daya yang berkualitas tinggi agar mampu bersaing dengan Negara

Abstrak− Tujuan utama dari kertas kerja ini adalah untuk menganalisis korelasi antara penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dengan laju pertumbuhan ekonomi

2 Melanjutkan penelitian yang telah dilakukan, dimana telah dilakukan pencampuran serat sabut kelapa dalam campuran beton dan upaya peningkatan kekuatan tarik sabut kelapa

Nilai indeks polidispersitas yang dihasilkan dari ketiga formula menunjukkan bahwa distribusi ukuran partikel pada FI dan FII yang dihasilkan bersifat monodispers,

Manfaat penelitian ini adalah (1) meningkatkan profesionalitas guru, memberikan informasi mengenai penggunaan model TAPPS berbasis multimedia (2) melatih agar peserta