PENANAMAN NILAI-NILAI RELIGIUS, KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK-ANAK DAN PEMBENTUKAN GENERASI YANG SEHAT
BERKUALITAS (Studi literature)
Alhamdu
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang
alhamdu@ymail.com
ABSTRAK
Studi literature ini bertujuan untuk melihat secara empiris hubungan antara penanaman nilai-nilai religious, kekerasan seksual pada anak-anak dan pembentukan generasi yang sehat berkualitas. Pembentukan generasi yang sehat berkualitas merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar dan ditunda lagi, karena hal ini diyakini sebagai asset yang tak ternilai harganya untuk kemajuan dan keunggulan suatu bangsa dan peradaban. Salah satu aspek yang berpengaruh terhadap pembentukan generasi sehat berkualitas adalah kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyatakan terdapat 925 kasus pelecehan seksual pada anak, dan dari 925 kasus pelecehan seksual tersebut 400 kasus diantaranya diikuti oleh kekerasan seksual pertahunnya. Sementara, Komnaspa (komisi Nasional Perlindungan Anak) mengatakan bahwa dari tahun 2010 sampai dengan triwulan pertama 2014 terdapat 10725 kasus dan 62% atau sekitar 6649 kasus dikuti oleh kekerasan seksual terhadap anak. Dampak dari kekerasan seksual ini antara lain berupa fisik, psikologis, maupun sosial (Orange & Brodwin, 2005), serta berhubungan dengan kecemasan, stress pasca-traumatis (PTSD), depresi, self-esteem yang rendah, keluhan yang bersifat somatis, agresi, perilaku seksual, dan perilaku yang cenderung merusak diri (Robert et al. 2003; Messman-Moore, 2000; Dinwiddie et al. 2000; Kendall-Tackett et al, 1993), termasuk juga membenci lawan jenis dan memiliki keinginan untuk balas dendam (Dube et al., 2005). Fuadi (2011) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual adalah kelalaian orang tua, rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku, dan faktor ekomoni. Hal yang berhubungan dengan rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku kekerasan seksual berhubungan dengan penanaman nilai-nilai religious. Penanaman nilai-nilai religious sejak dini dapat mengantisipasi terjadinya tindakan kekerasan seksual terhadap anak dan dapat menjadi benteng yang kuat untuk menjaga dan membentuk generasi yang sehat berkualitas.
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia, merupakan salah satu bangsa yang besar, baik itu
dilihat dari jumlah penduduknya ataupun dari kekayaan alamnya. Tingkat
populasi yang tinggi dan kekayaan sumber daya alam ini seharusnya bisa dikelola
dan dimanfaatkan untuk menjadikan bangsa ini berdiri sejajar dengan
Negara-negara maju. Kenyataannya, kebesaran populasi dan kekayaan sumber daya alam
ini ternyata belum mampu untuk membawa bangsa ini berdiri tegak terhormat dan
sejajar dengan Negara-negara maju yang notabene pernah mengalami krisis social
ataupun ekonomi, bahkan ada diantara Negara-negara maju tersebut juga
sebenarnya mengalami kemiskinan sumber daya alam, seperti Swiss, Hongkong,
Korea Selatan dan Jepang, akan tetapi Negara-negara tersebut mampu berdiri
tegak terhormat dan sejajar dengan Negara-negara maju lainnya. Pertanyaan yang
muncul kemudian adalah “Apa yang menyebabkan Negara-negara tersebut
mampu bangkit dan berdiri sejajar dengan negara-negara maju lainnya?”.
Sementara bangsa Indonesia dengan segenap potensi diatas, belum mampu
bangkit dan berdiri sejajar dengan Negara-negara maju lainnya.
Memperhatikan hal tersebut diatas, maka tantangan dan permasalahan
bangsa Indonesia kedepan sangatlah kompleks. Disatu sisi, dengan segenap
potensi yang ada bangsa ini seharusnya dapat segera keluar dari krisis
multidimensi yang sudah berlangsung cukup lama, dan disisi lain bangsa ini juga
dihadapkan pada realitas persaingan antar bangsa yang dari waktu ke waktu
semakin keras dan kompetitif. Oleh karena itu, pembentukan generasi yang sehat
berkualitas merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar dan ditunda lagi,
karena hal ini diyakini sebagai asset yang tak ternilai harganya untuk kemajuan
dan keunggulan bangsa ini.
Generasi sehat berkualitas adalah generasi yang mempunyai
kesempurnaan fisik, mental, sosial dan bebas dari berbagai penyakit atau kelainan,
serta mempunyai ukuran ataupun standar tertentu berdasarkan nilai-nilai atau
norma-norma yang terbaik. Kesempurnaan disini merujuk pada kondisi sehat
lahir batin tanpa diikuti oleh kelainan-kelainan ataupun
secara maksimal sesuai dengan potensinya. Oleh karena itu, Negara dianggap
mempunyai peran yang sangat penting dan strategies untuk membentuk generasi
sehat berkualitas ini dengan cara membuat kebijakan-kebijakan yang baik dan
tepat, seperti membuat payung-payung hukum yang harus mampu melindungi
anak-anak, menyediakan program-program yang visioner yang dapat mewadahi
anak-anak Indonesia untuk tumbuh dan berkembang, dan menata lingkungan
pendidikan dan social kemasyarakatan yang baik untuk anak-anak tumbuh dan
berkembang secara sehat dan maksimal sesuai dengan potensinya, dan lain
sebagainya. Selain itu, tentunya juga dibutuhkan keseriusan dari setiap komponen
bangsa ini agar pembentukan generasi sehat berkualitas ini dapat terwujud.
Artinya, tanggung jawab pembentukan generasi sehat berkualitas ini menjadi
tanggung jawab setiap komponen bangsa ini, mulai dari keluarga, sekolah,
masyarakat dan juga Negara.
Namun pada kenyataannya, pembentukan generasi yang sehat berkualitas
ini masih belum bisa maksimal dilakukan. Indikasi ini dapat dilihat dari
banyaknya kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak. Berdasarkan data dari
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), terdapat 925 kasus pelecehan
seksual pada anak, dan dari 925 kasus pelecehan seksual tersebut 400 kasus
diantaranya diikuti oleh kekerasan seksual pertahunnya. Lebih jauh, Komnaspa
(komisi Nasional Perlindungan Anak) mengatakan bahwa laporan tentang
kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun terus meningkat, pada tahun 2013
terdapat 3339 kasus (lihat tabel 1), dan dalam tiga bulan pertama tahun 2014
sudah terdapat 252 kasus kekerasan pada anak, dan 62% atau sekitar 6649 dari
kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi antara tahun 2010 hingga triwulan
pertama tahun 2014 ini, menurut Komnaspa didominasi oleh kasus kekerasan
Tabel 1.Kasus kekerasan pada anak tahun 2010 sampai triwulan pertama tahun 2014. Tahun Kasus kekerasan Keterangan
2010 2046
Total
terdapat 10725 kasus dan 62% atau sekitar 6649 kasus dikuti oleh kejahatan
seksual.
2011 2462
2012 2626
2013 3339
2014 252 sampai triwulan pertama Sumber: Kompas.com
Berdasarkan data diatas jelas terlihat bagaimana upaya untuk membentuk
generasi sehat berkualitas dapat terwujud bila setiap tahun tingkat kekerasan
seksual yang terjadi pada anak-anak sebagai generasi penerus bangsa terus
meningkat. Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena dampak dari kekerasan seksual
yang terjadi pada anak-anak ini dapat berakibat pada sakit fisik, mental, sosial,
dan bahkan mengancam masa depan anak. Orange & Brodwin (2005) mengatakan
bahwa anak-anak yang mengalami kekerasan seksual akan mengalami dampak
psikologis dan sosial yang meliputi trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan
bahkan keinginan atau percobaan bunuh diri, serta kemungkinan akan
mendapatkan perlakuan sinis dari masyarakat di sekelilingnya, ketakutan terlibat
dalam pergaulan dan sebagainya. Selain itu, efek dari kekerasan seksual terhadap
anak ini juga akan menyebabkan stress pasca-traumatis (PTSD), depresi,
self-esteem yang rendah, keluhan yang bersifat somatis, agresi, perilaku seksual, dan
perilaku yang cenderung merusak diri (Robert et al. 2003; Messman-Moore, 2000;
Dinwiddie et al. 2000; Kendall-Tackett et al, 1993).
Selanjutnya, Fuadi (2011) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang
meyebabkan terjadinya kekerasan seksual adalah disebabkan oleh rendahnya
moralitas dan mentalitas pelaku. Penulis sendiri menduga bahwa salah satu hal
yang berhubungan dengan rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku kekerasan
seksual berhubungan dengan nilai-nilai religious yang dimilikinya. Oleh karena
antara penanaman nilai-nilai religious, kekerasan seksual pada anak-anak dan
pembentukan generasi yang sehat berkualitas?”.
TINJAUAN PUSTAKA Generasi Sehat Berkualitas
Regenerasi merupakan suatu sunnatullah yang tidak bisa dibantah,
karena tidak seorang manusia pun yang bisa mencegah dan menghindari proses
menjadi tua, atau bahkan kematian. Suatu generasi yang ada pada suatu bangsa,
pasti akan digeser oleh generasi selanjutnya. Bila regenerasi ini gagal dilakukan,
maka akan terjadi kecenderungan untuk menimbulkan
permasalahan-permasalahan baru, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran dari suatu peradaban.
Oleh karena itulah ada ungkapan yang sering kita dengar bahwa walaupun jumlah
anak-anaknya hanya 25% dari total penduduknya, tetapi anak-anak tersebut akan
menentukan 100% masa depan bangsanya. Ini berarti, bagaimana kualitas
pertumbuhan dan perkembangan anak-anak disuatu bangsa, akan mempengaruhi
maju atau mundurnya bangsa tersebut. Hal ini senada dengan apa yang pernah
diungkapkan oleh Jung (Santrock, 2012) yang mengatakan bahwa manusia bisa
melihat masa depan melalui anak-anaknya hingga kemasa depan yang takkan
dialaminya sendiri. Pernyataan Jung ini semakin menguatkan pentingnya
pembentukan generasi yang sehat berkualitas yang dimulai dari anak-anak atau
sedini mungkin.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai suatu
keadaan yang sempurna baik jasmani, rohani dan social seseorang. Sementara itu,
menurut UU No. 23 tahun 1992, sehat merupakan keadaan yang meliputi
kesehatan badan (jasmani), rohani (psikologi), social dan ekonomi. Artinya, sehat
dalam pengertian ini, selain menekankan pada ketiga aspek sebelumnya, juga
menekankan pada aspek produktivitas individu yang ditandai oleh kemampuan
dari individu tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhannya secara ekonomi.
Selanjutnya, Nawawi dan Martini (1994) menjelaskan pengertian kualitas sebagai
suatu kondisi yang dapat dibandingkan dengan suatu ukuran tertentu berdasarkan
Berdasarkan pengertian tersebut, penulis mendefinisikan generasi sehat
berkualitas adalah generasi yang mempunyai kesempurnaan fisik, mental
(psikologis) dan sosial yang bebas dari berbagai penyakit atau kelainan, serta
mempunyai ukuran ataupun standar tertentu berdasarkan nilai-nilai atau
norma-norma yang terbaik. Kesempurnaan disini merujuk pada kondisi sehat lahir batin
tanpa diikuti oleh kelainan-kelainan ataupun penyimpangan-penyimpangan yang
akan menghambat individu tersebut untuk berkembang secara maksimal sesuai
dengan potensinya.
Undang-undang No 23 tahun 1992 menjelaskan generasi yang sehat
berkualitas adalah generasi yang mampu mencapai empat aspek, yakni
tercapainya aspek generasi yang sehat berkualitas secara fisik, mental atau
psikologis, social dan ekonomi. Sejalan dengan itu, Nawawi dan Martini (1994)
juga mengungkapkan ciri-ciri generasi yang sehat berkualitas dilihat dari beberapa
aspek, yaitu;aspek fisik atau jasmani, aspek psikis atau psikologis, aspek social
cultural dan aspek spiritual dan moral.
Aspek fisik atau jasmani ini merujuk pada generasi yang dari segi
jasmani menunjukkan tingkat perkembangan kesehatan yang baik. Papalia &
Feldman (2014) menjelaskan bahwa perkembangan fisik yang baik dari sebuah
generasi tidak hanya mencakup pertumbuhan dan perkembangan jasmani (badan)
dan otak, melainkan juga termasuk pola-pola perubahan dalam kemampuan
sensori, motorik dan kesehatan. Oleh karena itulah, aspek fisik dan jasmani ini
dipengaruhi oleh jenis dan kualitas makanan sejak masa konsepsi, dilanjutkan
setalah kelahiran, pada masa kanak-kanak, remaja, dan masa dewasa. Selain itu,
faktor kebersihan dalam menjalani kehidupan baik kebersihan diri, rumah dan
lingkungan tempat tinggal juga akan mempengaruhi bagaimana anak tumbuh dan
berkembang menjadi generasi yang sehat berkualitas. Sementara aspek psikis atau
psikologis dari generasi yang sehat berkualitas diukur dari tingkat pengembangan
dan pendayagunaan potensi-potensi yang terdapat di dalam diri anak, seperti
bakat, minat, kemampuan berpikir, pengendalian emosi, kepedulian sosial dan
lain-lain. Kualitas psikologis ini, menurut Papalia & Feldman (2014) meliputi
bertindak dan berperilaku. Artinya, secara kognitif, generasi sehat berkualitas
akan mengggambarkan generasi yang memiliki kemampuan mental yang baik,
seperti berpikir, belajar, atensi, memori, bahasa, penalaran dan kreativitas yang
akan mengarahkan individu tersebut dapat mempunyai ilmu pengetahuan dan
wawasan yang luas, serta menguasai teknologi. Secara afektif, generasi sehat
berkualitas adalah generasi yang memiliki kecerdasan emosi yang baik, termasuk
juga disini adalah pola-pola perkembangan kepribadiannya, sehingga anak
tersebut mempunyai kepekaan yang baik dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Dan secara konatif, generasi sehat berkualitas menunjukkan generasi yang
mempunyai dorongan dan motivasi yang tinggi untuk mencapai kemandirian,
kesuksesan, keselamatan dan juga kebahagian hidup.
Selanjutnya, aspek sosial kultural menggambarkan generasi yang sehat
berkualitas sebagai makhluk social yang mau tidak mau harus menjalani
kehidupan bersama dengan orang lain. Bentuk dari menjalani kehidupan bersama
dengan orang lain disini bukan hanya sekedar dapat bergaul dan berinteraksi
dengan masyarakatnya, tetapi juga harus mempunyai kepekaan dan kepedulian
social yang tinggi dengan masyarakat dan lingkungannya. Terakhir, aspek
spiritual dan moral menjelaskan ciri generasi yang sehat berkualitas itu harus
bersandar dengan keimanan dan ketaqwaan pada sang penciptanya Tuhan
penguasa semesta alam. Pengertian bersandar disini bukan hanya ikhlas dan
berserah diri akan ketentuan dan taqdir Tuhan, melainkan juga harus memiliki
kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melanggar apa yang diperintahkan
dan sebaliknya tidak mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh Tuhan. Artinya, ciri
dari generasi sehat berkualitas dalam aspek spiritual dan moral disini menitik
beratkan generasi yang tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan
hidupnya ataupun untuk memuaskan nafsunya, yang terintegrasi dalam bentuk
perilaku dan tindakan dalam berinteraksi dan berhubungan dengan masyarakat
dan lingkungannya. Hartati (2006) menambahkan bahwa implementasi dari aspek
spiritual dan moral ini akan terlihat dari bagaimana individu tersebut mampu
sopan santun terhadap sesamanya, termasuk juga tidak melakukan perbuatan yang
dapat menyakiti dan merugikan orang lain.
Anak yang tumbuh dan berkembang dengan sehat, baik dan benar, akan
mengarah pada pembentukan generasi sehat berkualitas. Akan tetapi,
pembentukan generasi sehat berkualitas ini tidak sesederhana yang kita
bayangkan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Hidayat (2006)
mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan
generasi sehat berkualitas, yakni, faktor keluarga, lembaga pendidikan,
masyarakat dan Negara. Masing-masing faktor ini saling berhubungan secara erat
dan tidak bisa diabaikan tugas, peran dan fungsinya dalam pembentukan generasi
sehat berkualitas. Setiono (2011) menyatakan bahwa keluarga merupakan institusi
pertama yang ditemui seorang anak dalam perjalanan hidupnya yang merupakan
awal dari pengenalan dan pemahaman setiap anak mengenai kehidupan.
Perkembangan kepribadian seorang anak, termasuk aspek fisik atau jasmani,
aspek psikis atau psikologis, aspek social cultural dan aspek spiritual dan moral
anak, sangat dipengaruhi peran dan pola pengasuhan dalam keluarganya.
Kemudian, agar anak tumbuh dan berkembang dengan optimal, dibutuhkan juga
waktu, tenaga, pikiran, pengetahuan, kesabaran, dan sikap yang konsisten dari
keluarga, dalam hal ini orang tua. Bila dalam peran dan pola pengasuhan ini
anak-anak tidak mendapat rangsangan yang optimal, maka pertumbuhan dan
perkembangan anak pun akan terhambat. Artinya, peran dan pola asuh keluarga
memiliki posisi yang sangat strategis dan menentukan arah tumbuh dan
kembangnya aspek fisik atau jasmani, aspek psikis atau psikologis, aspek social
cultural dan aspek spiritual dan moral anak. Oleh karena itulah peran dan pola
pengasuhan ini tidak bisa dibaikan atau pun dialih fungsikan, karena berkaitan
erat dengan kesehatan dan kualitas generasi penerus bangsa.
Lembaga pendidikan merupakan tempat untuk menghasilkan
generasi-generasi yang terpelajar, memiliki kapasitas intelektual dan keterampilan tertentu,
yang dilakukan dengan usaha yang sadar dan sistematis, dan berusaha membantu
perkembangan anak-anak sesuai dengan potensinya. Oleh karena itu peranan
dan memerlukan perhatian dan keterlibatan dari masyarakat dan juga Negara.
Masyarakat adalah lingkungan sekitar di mana seorang anak tumbuh dan
dibesarkan. Lingkungan masyarakat dengan segala sistem nilai dan normanya
akan sangat mempengaruhi bagaimana anak-anak tumbuh dan berkembang.
Masyarakat yang sakit, permisif dan materialistik cenderung akan menghasilkan
individu-individu yang sakit, permisif dan materialistik pula. Masyarakat yang
suka bekerja keras dan kreatif akan membuat individu-individu di dalamnya suka
pula bekerja keras dan kreatif. Selain itu, diperlukan juga peran dan keterlibatan
Negara, seperti penyediaan berbagai sarana dan prasarana, pembuatan
kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang mendukung agar anak-anak dapat tumbuh
dan berkembang dengan sehat dan maksimal. Hal ini sesuai dengan kalimat yang
termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai salah satu tujuan penyelenggaraan kehidupan
bernegara. Artinya, pembentukan generasi yang sehat berkualitas merupakan
tanggung jawab negara, di samping tentunya tanggung jawab keluarga, lembaga
pendidikan, dan lingkungan masyarakat seperti yang telah dijelaskan diatas.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat diketahui bahwa
pembentukan generasi sehat berkualitas tidaklah sesederhana yang kita
bayangkan, akan tetapi menuntut kepedulian dan keterlibatan semua komponen
bangsa ini. Bila setiap komponen bangsa ini sudah berkurang tanggung jawab,
peran dan fungsinya, maka bukan tidak mungkin generasi sehat berkualitas hanya
akan menjadi angan-angan. Lickona (2004) mengungkapkan bahwa ada beberapa
tanda-tanda yang bila sudah ada pada suatu bangsa maka itu berarti indikasi
bangsa tersebut akan mengalami kehancuran. Diantara tanda-tanda tersebut
menurut Lickona (2004) adalah meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti
narkoba, sex bebas dan alkohol, semakin kaburnya pedoman moral baik dan
buruk, serta meningkatnya kekerasan, termasuklah disini kekerasan seksual yang
terjadi pada anak-anak.
Kekerasan Seksual pada Anak
Kekerasan seksual pada anak adalah pemaksaan, ancaman atau
meliputi melihat,meraba, penetrasi (tekanan), pencabulan dan pemerkosaan
(Paramastri, Supriyati & Priyanto. 2010). Sementara itu, U.S. National Library of
Medicine mendefinisikan kekerasan seksual terhadap anak sebagai suatu bentuk
penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan
anak untuk rangsangan seksualnya. Bentuk kekerasan seksual anak disini menurut
Martin et al. (1993) dan NSPCC (2014), termasuk meminta atau menekan seorang
anak untuk melakukan aktivitas seksual, memberikan paparan yang tidak senonoh
dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan
hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak,
melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks pemeriksaan
medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Selanjutnya, Suhandjati (2004) mengatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai
korban kekerasan seksual apabila orang tersebut menderita kerugian fisik,
mengalami luka atau kekerasan psikologis, trauma emosional, tidak hanya
dipandang dari aspek legal, tetapi juga sisi sosial dan kultural.
Hornor (2008) yang telah melakukan advokasi terhadap anak-anak yang
mengalami kekerasan seksual melalui program Child Advocacy Centers (CACs),
melaporkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak telah
mempengaruhi kehidupan banyak anak-anak di Amerika. Kekerasan seksual ini
juga telah menjadi problem yang sangat kompleks dan sulit untuk di cari
solusinya. Orange & Brodwin (2005) menjelaskan bahwa dampak kekerasan
seksual pada anak dapat berupa fisik, psikologis, maupun sosial. Dampak secara
fisik dapat berupa luka atau robek pada selaput dara. Dampak psikologi meliputi
trauma mental, ketakutan, malu, kecemasan bahkan keinginan atau percobaan
bunuh diri. Dampak sosial misalnya perlakuan sinis dari masyarakat di
sekelilingnya, ketakutan terlibat dalam pergaulan dan sebagainya. Selain itu, efek
dari kekerasan seksual terhadap anak ini juga akan menyebabkan stress
pasca-traumatis (PTSD), depresi, self-esteem yang rendah, keluhan yang bersifat
somatis, agresi, perilaku seksual, dan perilaku yang cenderung merusak diri
(Robert et al. 2003; Messman-Moore, 2000; Dinwiddie et al. 2000;
Lebih jauh, Messman-Moore & Long (2000) menjelaskan bahwa efek
negatif jangka panjang pada perkembangan anak yang mengalami perlakuan
kekerasan sekual akan mempunyai kecenderungan untuk berulang pada masa
dewasa. Hasil studi ini juga menyatakan ada hubungan sebab akibat dari
pelecehan seksual masa kanak-kanak dengan kasus psikopatologi dewasa,
termasuk bunuh diri dan kelakuan anti-sosial. Senada dengan pernyataan tersebut,
Daniel Brown (2002) dalam laporan studinya juga menyatakan bahwa terdapat
hubungan sebab akibat antara masa kanak-kanak yang mengalami pelecehan
seksual dan psikopatologi yang terjadi dimasa dewasa, termasuk kecenderungan
bunuh diri, kelakuan anti-sosial, gangguan kejiwaan paska trauma, kegelisahan,
dan kecanduan alkohol. Arnow (2004) memperkuat pernyataan tersebut melalui
hasil studinya yang melaporkan bahwa orang dewasa yang pernah mengalami
kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya, umumnya menjadi pelanggan
layanan darurat dan layanan medis dibanding mereka yang tidak mempunyai
sejarah gelap dimasa lalu.
Penelitian lainnya yang dilakukan Dube et al. (2005) mempertegas
hasil-hasil penelitian sebelumnya dengan mengatakan bahwa korban kekerasan seksual
mempunyai kecenderungan mengalami sejumlah masalah yang sama antara lain
trauma fisik dan psikologis yang berkepanjangan, kehilangan semangat hidup,
membenci lawan jenis dan memiliki keinginan untuk balas dendam. Selanjutnya,
Sisca & Moningka (2009) dan Leifer et al. (2004) mengatakan bahwa kekerasan
seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial
karena membawa dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya.
Berdasarkan hasil studi diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
sementara yang berhubungan dengan fenomena meningkatnya angka kekerasan
seksual yang terus meningkat grafiknya dari tahun ketahun kemungkinan besar
disebabkan oleh karena pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini sebelumnya
juga pernah mengalami kekerasan seksual, sehingga menimbulkan tekanan secara
kejiwaan terhadap korban, seperti stress pasca-traumatis (PTSD), depresi,
self-esteem yang rendah, agresi, dan perilaku yang cenderung merusak diri atau pun
adalah kasus Andri Sobari alias Emon yang mengingatkan kita dengan kasus
serupa sebelumnya yang dilakukan oleh Siswanto alias Robot Gedek. Kedua
pelaku kekerasan seksual terhadap anak ini mengaku bahwa mereka dahulunya
juga pernah menjadi korban kekerasan seksual (sodomi). Sehingga diduga balas
dendam dan kebencian merupakan salah satu motif yang muncul dari perilaku
kekerasan seksual yang telah mereka lakukan.
Kemudian, Fuadi (2011) juga menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kekerasan seksual adalah kelalaian orang tua, faktor
ekomoni dan faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Faktor kelalaian
orang tua disini menurut penulis lebih menitik beratkan karena tidak berfungsi dan
berperannya keluarga dengan baik, sehingga terjadi pengabaian orang tua
terhadap anak dan terjadinya alih fungsi peran dan pola pengasuhan orang tua
terhadap anak yang berdampak pada kurang atau pun hilangnya perhatian orang
tua pada proses tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat anak
terjebak dengan perhatian semu dan menjadi korban kekerasan seksual. Faktor
ekonomi disini tidak selamanya berkolerasi dengan kemiskinan, tetapi menurut
penulis faktor ekonomi disini juga berhubungan dengan keinginan atau pun
kebutuhan-kebutahan anak yang tidak didapatkan atau tidak terpenuhi dari
keluarganya, sehingga membuat anak-anak terjebak dengan pemuasan kebutuhan
secara ekonomi dari pelaku kekerasan seksual. Artinya, pelaku bisa dengan
mudah membuat strategi untuk memuluskan rencananya dengan memberikan
iming-iming kepada anak yang menjadi target kekerasan seksual. Faktor
rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku merujuk pada ketidak mampuan
individu untuk tumbuh dan berkembang secara baik dalam hubungannya dengan
pembentukan kepribadian individu, sehingga individu tumbuh dan berkembang
dengan mengabaikan norma-norma, nilai-nilai, dan aturan-aturan yang berada
dalam tatanan masyarakatnya, dan membuat perilaku individu tidak dapat
mengontrol dan menyalurkan nafsunya dengan baik dan benar. Selanjutnya,
penulis berasumsi bahwa salah satu hal yang berkaitan erat dengan rendahnya
moralitas dan mentalitas pelaku kekerasan seksual berhubungan dengan
Penanaman Nilai-nilai Religius
Religiusitas berasal dari kata religi dalam bahasa latin disebut religio
yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat. Religi juga berhubungan
dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan
dilaksanakan oleh pemeluknya. Kesemuanya itu berfungsi mengikat seseorang
atau sekelompok orang yang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia
dan alam sekitarnya (Gazalba dalam Ghufran, 2010). Prihastuti (2003)
mengartikan religiusitas sebagai kualitas keadaan individu dalam memahami,
menghayati serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur dan aturan-aturan agama yang
dianutnya dalam kehidupannya sehari-hari yang menunjukkan ketaatan individu
terhadap agamanya. Sementara itu, Dister (1998) mengartikan religiusitas sebagai
sikap batin (personal) setiap manusia dihadapan Tuhan yang sedikit banyak
merupakan misteri bagi orang lain, yang mencakup totalitas dalam pribadi
manusia. Sebagai sikap batin, religiusitas tidak dapat dilihat secara langsung
namun bisa tampak dari implementasi perilaku religiusitas itu sendiri. Artinya,
ada pengahayatan dan penanaman nilai-nilai luhur yang diyakini individu
sehingga terjadi internalisasi nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Glock dan Stark (Shepard, 2010) menjelaskan bahwa untuk memahami
religiusitas dengan lebih mudah, maka Glock dan Stark membagi religiusitas
menjadi lima dimensi; pertama adalah dimensi keyakinan, yang merujuk pada
pengharapan-pengharapan di mana individu yang religious akan berpegang teguh
pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin yang
diyakininya. Dalam hal ini, setiap agama akan mempertahankan seperangkat
kepercayaan di mana para penganutnya diharapkan akan menunjukkan ketaatan
dengan keyakinannya tersebut. Akan tetapi, isi dan ruang lingkup keyakinan itu
terkadang bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi seringkali juga di
antara tradisi-tradisi dalam agama yang sama. Kedua adalah dimensi praktik
agama, yang mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan
individu untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yakni yang berhubungan
pura, wihara dan sejenisnya, dan yang berkaitan dengan ketaatan. Ketaatan dan
ritual ini keduanya saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Ketiga adalah
dimensi Pengalaman, yang berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua
agama mengandung pengharapan-pengaharapan tertentu. Dimensi ini berkaitan
dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan
sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok
keagamaan, sehingga individu bisa bisa merasakan kehadiran Tuhannya dalam
setiap perilaku dan tindakannya. Keempat adalah dimensi Pengetahuan Agama,
yang mengacu pada harapan-harapan bahwa orang-orang yang beragama paling
tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,
nilai-nilai yang dianut dan diajarkan dalam kitab sucinya, termasuk juga disini
adalah tradisi-tradisi yang menjadi ritual dari keyakinan yang dianut oleh individu
tersebut.. Dimensi yang kelima adalah dimensi pengamalan atau konsekuensi,
yang berupa komitmen keagamaan yang mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengamalan, dan pengetahuan seseorang dari hari
ke hari, sehingga nampak perilaku yang cenderung konsekwen dan konsisten
berdasarkan nilai-nilai agama yang diyakininya.
Selanjutnya, Desmita (2005) menjelaskan bahwa religiusitas memberikan
kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah
lakunya dan juga dapat menstabilkan tingkah lakunya, memberikan perlindungan
rasa aman terutama bagi individu yang tengah mencari eksistensinya. Individu
yang mempraktekkan nilai-nilai religiusitas yang diyakininya dengan baik, yang
tujuannya adalah semata-mata hanya untuk menyembah Tuhannya, maka perilaku
tersebut dapat menjadikan hubungan dengan Tuhannya baik dan kokoh, serta
dapat meluruskan tingkah lakunya, maka ketika hal tersebut dapat diintegrasikan
dalam kehidupannya akan membuat individu tersebut dapat mengontrol
perilakunya atau dengan kata lain meningkatkan kontrol dirinya. Khairunnisa
(2013) dalam studinya tentang hubungan religiusitas dan kontrol diri dengan
perilaku seksual pranikah remaja, melaporkan bahwa terdapat hubungan negatif
antara religiusitas dan kontrol diri dengan perilaku seksual pranikah pada remaja.
kontrol dirinya yang selanjutnya akan dapat membantu remaja untuk tidak terlibat
dalam perilaku seksual pranikah. Religiusitas dan kontrol diri yang baik akan
dapat membuat remaja terhindar dari tingkah laku negatif yang tidak sesuai
dengan norma social dan norma agama yang berlaku.
Studi lain tentang religiusitas dilakukan oleh Nasikhah (2013) yang
mencoba melihat hubungan tingkat religiusitas dengan perilaku kenakalan remaja.
Hasil studi ini menjelaskan terdapat hubungan antara tingkat religiusitas dengan
perilaku kenakalan remaja. Semakin tinggi tingkat religiusitas, maka kenakalan
remaja semakin rendah. Sementara itu Rafellino (2007) dalam studinya menggali
hubungan antara religiusitas dengan kecenderungan perilaku masturbasi pada
remaja. Hasil studi ini menenjukkan bahwa religiusitas memiliki peranan sebesar
11,1% terhadap perilaku masturbasi. Hal ini menunjukan bahwa terdapat
hubungan negatif yang signifikan antara religiusitas dengan perilaku masturbasi
pada remaja. Semakin tinggi tingkat religiusitasnya maka semakin rendah perilaku
masturbasi, sebaliknya semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perilaku
masturbasinya. Kemudian, Rahayu (2008) dalam studinya tentang hubungan
religiusitas dengan kematangan emosi menyimpulkan bahwa ada hubunngan yang
positif antara tingkat religiusitas dengan kematangan emosi. Semakin tinggi
tingkat religiusitas maka akan semakin matang emosinya. Artinya, nilai-nilai
religiusitas yang ada pada individu dapat membantu individu untuk
mengendalikan dirinya dari melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
norma-norma, nilai-nilai moral dan agama yang dianutnya, sehingga dapat membantu
mengarahkan perilaku individu dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri,
atau pun orang lain dan lingkungannya.
Lebih jauh, Andisti & Ritandiyono (2008) dalam studinya tentang
hubungan religiusitas dengan perilaku sek bebas pada masa dewasa awal
melaporkan bahwa ada korelasi yang negatif antara kedua variabel, yaitu semakin
tinggi religiusitas maka semakin rendah perilaku seks bebasnya, sebaliknya
semakin rendah religiusitas maka semakin tinggi perilaku seks bebasnya. Senada
dengan dengan studi Andisti & Ritandiyono tersebut, Indrastuti & Rustam (2009)
Aini (2011) yang menggali hubungan antara pemahaman nilai-nilai religiusitas
dengan perilaku seks bebas pada remaja, menemukan bahwa ada indikasi
hubungan negative yang sangat signifikan antara religiusitas dengan sikap remaja
terhadap perilaku sek bebas tersebut. Semakin tinggi tingkat religiusitas maka
semakin negative sikapnya terhadap perilaku sek bebas, sebaliknya semakin
rendah religiusitas semakin positif sikapnya terhadap perilaku sek bebas.
Studi-studi tentang religiusitas ini telah memberikan gambaran bahwa penanaman
nilai-nilai religiusitas terhadap individu, akan membantu individu untuk mengontrol
dirinya atau pun mengendalikan perilakunya agar tidak bertentangan dengan
norma-norma, nilai-nilai agama yang dianutnya, karena nilai-nilai yang
terkandung dalam keyakinan yang dianut oleh individu akan membantu individu
tersebut untuk menjadi individu yang taat terhadap ajaran agamanya (Prihastuti,
2003) dan akan menjauhi hal-hal yang dilarang oleh agamanya.
KESIMPULAN
Pembentukan generasi sehat berkualitas merupakan suatu keharusan yang
tidak bisa ditunda lagi, karena hal ini berhubungan dengan kemajuan dan
peradaban suatu bangsa. Akan tetapi pembentukan generasi sehat berkualitas ini
tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Dibutuhkan komitmen, kerja keras dan
kepedulian semua komponen bangsa ini, sehingga hal-hal yang akan merusak dan
menghancurkan masa depan generasi penerus (Lickona, 2004), seperti semakin
meningkatnya angka kekerasan seksual terhadap anak akhir-akhir ini perlu
mendapatkan perhatian secara khusus dan serius, baik itu dari kalangan orang tua
dan keluarga yang berperan secara langsung dalam pola pengasuhan terhadap
anak, ataupun dari lembaga pendidikan, masyarakat dan juga Negara sebagai
penentu kebijakan (Hidayat, 2006).
Selain itu, diperlukan juga penanaman nilai-nilai religious sedini
mungkin kepada anak-anak, karena berdasarkan studi-studi yang ada, tingkat
religiusitas ini berhubungan dengan rendahnya perilaku kenakalan remaja
(Nasikhah, 2013), dapat mengontrol perilaku untuk melakukan masturbasi
2008), dapat meningkatkan kontrol diri untuk melakukan sek diluar nikah
(Khairunnisa, 2013), dan dapat menghilangkan keinginan atau menjauhkan diri
dari perilaku sek bebas (Andisti & Ritandiyono, 2008; Indrastuti & Rustam, 2009;
Aini, 2011). Walaupun belum ada penelitian yang secara langsung mengukur
variabel penanaman nilai-nilai religious, tetapi berdasarkan literature yang ada
penulis meyakini bahwa penanaman nilai-nilai religious sejak dini akan sangat
membantu individu untuk dapat mengetahui, memahami dan menghayati
tatanan-tatanan, nilai-nilai dan norma-norma yang berhubungan dengan kebaikan dan
keburukan, kepantasan dan ketidak pantasan, ataupun yang berhubungan dengan
ganjaran dan hukuman, baik itu secara hukum kenegaraan ataupun hukum-hukum
agama yang lebih menitik beratkan bahwa setiap individu tidak akan bisa lolos
dari hukum dan akan menerima ganjaran sesuai dengan apa yang telah
diperbuatnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis menyarankan agar
penanaman nilai-nilai religious ini harus dimulai pada usia sedini mungkin,
dengan menitik beratkan pada fungsi dan peran pengasuhan keluarga, dalam hal
ini adalah memaksimalkan peran, fungsi dan kepedulian orang tua dengan cara
memberikan perhatian, pendidikan dan pengasuhan kepada anak-anak dengan
lebih intens dan berkesinambungan, sehingga anak-anak akan merasa aman,
nyaman dan diperhatikan, serta diharapkan akan lebih mudah untuk menanamkan
nilai-nilai luhur dan keyakinan yang baik dan benar untuk membantu anak-anak
tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang sehat berkualitas. Selain itu,
peran lembaga pendidikan, masyarakat dan Negara juga tidak dapat diabaikan,
karena ketiga lingkungan tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan
anak-anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang sehat
berkualitas. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
DAFTAR PUSTAKA
Aini, L.N. (2011). Hubungan Pemahaman Tingkat Agama (Religiusitas) dengan Perilaku Seks Bebas pada Remaja di SMA 1 Bangsal Mojokerto. Jurnal Keperawatan. 1 (1).
Al Qur’an dan Terjemahannya. Annur: Asy Syifa Semarang.
Andisti, M. A., & Ritandiyono (2008). Religiusitas dan Perilaku Seks Bebas pada Dewasa Awal. Jurnal Psikologi. 1 (2). 170
Arnow, B.A. (2004). Relationships between Childhood Maltreatment, Adult Health, and Psychiatric Outcomes, and Medical Utilization. Journal of Clinical Psychiatry. 65 (12). 5-10.
Brown, D. (2002). (Mis) Representations of the Long –Term Effect of Chilhood Sexual Abuse in the Courts. Journal of Child Sexual Abuse. 9 (3-4). 79-107.
Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya
Dinwiddie, S., Heath, A.C., Dunne, M.P. (2000). Early Child Sexual Abuse and Life Time Psychopathology: A Co-twin-control Study. Psychological Medicine. 30 (1). 41-52.
Dister, N. S. (1988). Pengalaman Beragama dan Motivasi Beragama. Yogyakarta: kanisius
Dube, S.R., Anda, R.F., Whitfield, C.L., Brown, D.W., Felitti, V.J., Dong, M., & Giles, W.H. (2005). Long‐ term consequences of childhood sexual abuse by gender of victim. American Journal of Preventive Medicine,28(5),430-438.
Fuadi, M.A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal Psikologi Islam, 8 (4), 191-208.
Ghufron, M. Nur & Rini Risnawita S. (2010). Teori-Teori Psikologi. Ar-Ruzz media. Jogjakarta
Hartati (2006). Ibu Teladan di Era Global dalam Perspektif Islam. Jakarta: PSW UIN.
Hidayat, A. (2006). Pendidikan Anak dalam Perspektif Islam. Jurnal Studi Gender dan Islam Musawa, 4 (2).
Hornor, G. (2008). Child Advocacy Centers: Providing Support to Primary Care Providers. Jurnal of Pediatric Health Care. 22 (1). 35-39.
Indrastuti, O. & Rustam, A. (2009). Religiusitas dan Sikap terhadap Perilaku Sek Bebas. Jurnal Psikologi Proyeksi. 4 (2)
Kendall-Trackett, K.A., Williams, L.M., & Finkelhor, D. (1993). Impact of Sexual Abuse on Children: A review and synthesis of recent empirical studies. Psychological Bulletin. 113. 164-180.
Leifer,M., Kilbane, T., Jacobsen,T., & Grossman,G. (2004). A three-generational study of transmision of risk for sexual abuse. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology, 33(4),662‐672.
Lickona, T. (2004). Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Essential Virtues. Touchstone Publisher. Martin,J., Anderson, J., Romans, S., Mullen, P., & O’Shea, M. (1993). Asking
about Child Sexual Abuse: Methodological Implications of a Two Stage Survey. Journal Child abuse & Neglect. 17 (3). 383-392.
Medline Plus. (2014). Child Sexual Abuse. U.S. National Library of Medicine. 2014 – 05 – 30.
Messman-Moore, T.L., & Long, P.J. (2000). Child Sexual Abuse and Revictimization in the Form of Adult Sexual Abuse, Adult Physical Abuse, and Adult Psychological Maltreatment. Journal of Interpersonal Violence. 15 (5). 489-502.
Nasikha, D. (2013). Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Perilaku Kenakalan Remaja pada Masa Remaja Awal. Jurnal Psikologi rehabilitation counselors need to know. Journal of Rehabilitation,71(4), 5-12.
Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2014). Experience Human Development. 12 Ed. Jilid I. Salemba Humanika.
Paramastri, I., Supriyati., & Priyanto, M.A. (2010). Early Prevention Toward Sexual Abuse on Children. Jurnal Psikologi, 37 (1). 1-12.
Prihastuti, El Nora dan Theresiawati. (2003). Hubungan antara tingkat religiusitas dengan metode active coping ptsd dimana tingkat ptsd merupakan variabel kontrol pada pengungsi remaja asal Sampit sebagai santri Pondok Pesantren Darussalam Ketapang Sampang Madura. Jurnal Insan, 5 (3). 157-168.
Rafellino, R. (2007) Hubungan antara religiusitas dengan kecenderungan perilaku masturbasi pada remaja di Jogyakarta. Naskah Publikasih UII. 2014-30-15.
Rahayu, S. (2008). Hubungan religiusitas dengan kematangan emosi pada siswa SMU I Institut Indonesia Jogyakarta, Skripsi, UIN Sunan Kali Jaga. 2014-30-05.
Disorder in a Community Sample of Ontario: Issues of Co-morbidity and Specificity. Journal of Depression and Anxiety. 17 (1). 34-42.
Santrock, J.W. (2012). Life Span Development : Perkembangan Masa Hidup. 13 Ed. Jilid. I. Penerbit Erlangga.
Setiono, K. (2011). Psikologi Keluarga. PT. Alumni Bandung.
Shepard, J.M. (2010). Sociology (8th Edition). USA: Wandsworth
Sirait, A.M. (2014). Indonesia Darurat Kekerasan pada Anak. Kompas.com. diakses pada 7 Mei 2014.
Sisca, H., & Moningka, C. (2009). Resiliensi perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa kanak-kanak. Jurnal Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Sipil) 3.
Suhandjati, S. (2004). Kekerasan terhadap istri, Yogyakarta: Gama Media.