BAB II
LANDASAN TEORI
A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING
A.1. Definisi Psychological Well-being
Pencapaian terbaik seorang manusia adalah memperoleh
kebahagiaan. Kebahagiaan dilihat dari adanya keseimbangan antara efek
negatif dengan efek positif dalam hidup manusia (Bradburn dalam Ryff,
1989). Bradburn melakukan penelitian yang mempelajari bagaimana
perubahan sosial yang terjadi pada level makro baik dari segi level
pendidikan, urbanisasi, masalah politik dan pola pekerjaan. Perubahan sosial
yang dialami mempengaruhi situasi kehidupan dari seseorang yang
mengarah pada psychological well-being. Bradburn merujuk pada
Aristoteles mengenai kebahagiaan atau eudaimonia sebagai pencapaian
tertinggi pada kehidupan manusia. Eudaimonia diartikan sebagai realisasi
potensi yang dimiliki manusia daripada hanya kebahagiaan saja (Brandburn
dalam Ryff, 1989)
Aristoteles (dalam Ryff, 1989) menyebutkan bahwa kebahagiaan
merupakan kebutuhan terpenting individu untuk seseorang. Kebahagiaan
jika dikombinasikan dengan well-being (kesejahteraan) maka akan
menghasilkan suatu kualitas hidup yang sangat baik. Ryff memulai
penelitiannya mengenai hidup yang berkualitas dengan menggunakan
beberapa indikator utama yang menjadi dimensi – dimensi yang berguna
tersebut antara lain adalah penerimaan diri (self-acceptance), pertumbuhan
pribadi (personal growth), otonomi (autonomy), tujuan dalam hidup
(purpose in life), penguasaan lingkungan (environmental mastery) dan
hubungan positif dengan orang lain.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
psikologis atau psychological well-being adalah evaluasi diri individu dalam
mencapai kebahagiaan dan kepuasan hidup dengan cara dapat menerima
diri, bertumbuh secara pribadi, mampu menjalankan pilihan sendiri,
memiliki tujuan dalam hidup, mampu menguasai lingkungan sekitar dan
memiliki hubungan yang positif dengan orang lain
A.2. Dimensi – dimensi Psychological Well-being
Untuk menjelaskan psychological well-being, Ryff (1989)
membaginya ke dalam enam dimensi, yaitu :
a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)
Penerimaan diri merupakan evaluasi positif yang individu lakukan
terhadap masa lalunya dan kehidupannya sekarang. Dimensi self
acceptance berhubungan dengan pemikiran positif mengenai diri sendiri
baik mengenai hal yang postif ataupun negatif yang ada pada dirinya
Dimensi ini mengkarateristikkan individu sebagai seseorang yang
mampu mengaktualisasikan dirinya, berfungsi secara optimal dan
dewasa. Dimensi penerimaan diri ini merupakan karateristik utama dari
b. Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relation with Other)
Dimensi ini berkaitan dengan adanya hubungan yang terjalin baik dan
hangat dengan orang lain. Dimensi ini termasuk didalamnya menjalin
hubungan yang hangat dan membuat orang lain menjadi nyaman serta
dicintai. Cinta dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan mental
seseorang. Hubungan yang hangat menggambarkan kedewasaan yang
merupakan karateristik dari dimensi penerimaan diri. Dengan memiliki
empati dan afeksi yang ditandai dengan hubungan percintaan,
persahabatan dan hubungan lain yang erat dengan orang lain , maka
individu akan semakin mampu mengaktualisasikan dirinya dan
kesejahteraannya pun akan turut meningkat.
c. Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Dimensi ini mencakup kemampuan seseorang untuk menyadari potensi
dan bakat yang dimiliki dan mengembangkan potensi tersebut agar
psikologis individu tersebut dapat berfungsi secara optimal dan mampu
mengembangkan sumber daya baru (Awaningrum, 2007). Dalam dimensi
ini dibutuhkan suatu aktualisasi diri yang bisa digambarkan dengan
terbuka dengan pengalaman – pengalaman yang baru. Individu yang
mampu menjalani dimensi ini dengan baik, ia akan menunjukkan
karateristik seperti terbuka dengan pengalaman baru, mampu melihat
kesalahan diri dan memperbaikinya, melakukan perubahan dan
meningkatkan pengetahuan diri dan efektivitas mereka. Sedangkan
stagnasi, merasa kosong, cepat bosan dan kurang memiliki minat untuk
menjalani hidup.
d. Otonomi (Autonomy)
Dimensi ini menyangkut kemandirian yang dimiliki seorang individu
dalam menjalani dan menentukan kehidupannya tanpa harus berpaku
pada orang lain. Dimensi ini mengacu pada kemampuan seseorang untuk
mengejar keyakinan pribadi dan kepercayaannya. Hidup yang berkualitas
adalah hidup yang independen, mandiri, menentukan nasibnya sendiri
dan bahkan mampu melawan ajaran atau kepercayaan yang biasa yang
ada namun tidak sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan pribadinya.
Individu yang menjalankan dimensi ini memiliki internal locus of control
karena ia tidak terlalu memikirkan anggapan orang lain, menentukan
segala sesuatunya sendiri dan tidak tergantung dengan orang lain,
menahan tekanan sosial dan mampu mengatur perilakunya berdasarkan
penilaianya sendiri serta mengevaluasi diriniya sendiri dengan standar
pribadinya
e. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Dimensi ini menyangkut kemampuan individu menguasai kehidupannya
dengan baik dan efisien dengan cara memilih ataupun menciptakan
lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikologisnya. Kemampuan
individu untuk memanipulasi dan mengendalikan lingkungan sekitarnya
merupakan kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam rentang waktu
Individu diharapkan mampu bertindak kreatif melalui kegiatan fisik dan
mental sehingga individu mampu meningkatkan psychological
well-being-nya dan nantinya juga akan berimbas ke suksesnya seseorang
dalam menghadapi masa – masa selanjutnya. Jadi bisa dikatakan bahwa
partisipasi aktif seseorang dalam menguasai lingkungannya menjadi
bagian penting dari suatu skema mengenai fungsi psikologis yang positif.
f. Tujuan dalam Hidup (Purpose in Life)
Dimensi ini menyatakan bahwa seseorang yang memiliki psychological
well-being yang baik adalah individu yang memiliki tujuan hidup dan
memaknai hidupnya. Tercapainya tujuan hidup dan membawa individu
untuk mencapai kebahagiaan. Dan kebahagiaan tidak sama dengan
makna hidup. Kebahagiaan merupakan hasil dari menjalankan kegiatan
yang bermakna, sedangkan makan hidup merupakan hal yang dianggap
sangat penting dan berharga bagi seseorang sehingga mampu
mmeberikan nilai khusus yang layak diajdikan tujuan hidup seseorang.
(Bastaman, 2007) sehingga makna hidup di setiap orang berbeda – beda
sesuai dengan apa yang individu tersbeut anggap penting.
A.3.Faktor – faktor yang mempengaruhi Psychological Well-being
Ada beberapa hal yang mampu mempengaruhi tinkatan Psychological
a. Usia.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ryff pada tahun 1989
ditemukan bahwa ada perbedaan tingkat psychological well-being pada
orang dari beberapa kelompok usia (Ryff, 1989b;Ryff & Keyes,1995).
Ryff menggunakan 3 kategori umur yaitu young adult, middle adult dan
older adult (Ryff, 1989) dan ditemukan bahwa dimensi environmental
mastery semakin meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Individu
dewasa akhir memiliki tingkat yang lebih rendah dibanding kategori
kelompok lainnya dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri dan
memiliki skor tinggi pada dimensi otonomi, hubungan positif dengan
orang lain, penguasaan lingkungan, dan penerimaan diri, sedangkan
dewasa madya memiliki tingkat yang tinggi pada penguasaan
lingkungannya. Dan individu yang berada dalam usia dewasa awal
memiliki skor yang lebih rendah di sisi dimensi otonomi dan penguasaan
lingkungan dan personal growth yang cukup tinggi (Ryff dalam Ryan &
Deci, 2001)
b. Jenis Kelamin
Pria dan wanita memiliki tingkatan psychological well-being yang
berbeda. Wanita memiliki dimensi hubungan dengan orang lain yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini terkait dengan sensitifitas
wanita terhadap perasaan orang lain, sehingga wanita terbiasa membina
hubungan dengan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Personal
dimensi lainnya pria dan wanita tidak terjadi perbedaan yang signifikan.
(Ryff, 1995)
c. Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi memiliki hubungan dengan dimensi tujuan hidup,
penguasaan lingkungan, penerimaan diri dan pertumbuhan dirinya
dimana individu dengan status ekonomi yang tinggi akan memiliki
psychological well-being yang lebih tinggi dan kesehatan mental yang
baik. Individu yang memiliki status ekonomi rendah cenderung mudah
stress dan mempengaruhi kesehatan mental seseorang. (Ryff, 1989)
d. Budaya
Budaya individualisme dan kolektivisme memberikan dampak yang
berbeda pada psychological well-being seseorang. Hasil penelitian Ryff
(1995) menyebutkan bahwa budaya individualis memiliki skor yang
lebih tinggi pada dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi,
sedangkan budaya kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi
hubungan positif dengan orang lain.
e. Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang diberikan orang lain kepada individu dapat
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
psychological well-being seseorang (Devis dalam Oktintia, 2012).
Dukungan sosial disini merupakan perhatian, pertolongan dan rasa
dukungan ini bisa berasal dari mana saja, bisa saja pasangan, keluarga,
teman ataupun organisasi sosial.
f. Locus of Control (LOC)
Locus of Control merupakan suatu kepecayaan yang dimiliki seseorang
mengenai kontrol terhadap peristiwa yang dialami (Rotter dalam (Schultz
& Schultz, 1994). Robinson et.al (dalam Oktintia, 2012) mengemukakan
bahwa locus of control dapat memberikan gambaran terhadap well-being
seseorang. Individu dengan locus of control internal pada umumnya
memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibanding
individu dengan locus of control eksternal.
B. BEKERJA
Bekerja menjadi fokus utama dalam perkembangan masa dewasa
(Lemme, 1999). Setiap manusia harus memiliki dan menjalankan sebuah
pekerjaan untuk memenuhi tugas perkembangannya. Memilih sebuah
pekerjaan menjadi bagian dari tugas perkembangan utama seseorang yang
nantinya bisa mempengaruhi seluruh struktur kehidupan.
Bekerja mampu memenuhi beberapa kebutuhan manusia. Selain untuk
kepentingan finansial, terdapat aspek lain yang dapat terpenuhi ketika
seseorang memiliki pekerjaan. Menurut Lemme (1999), aspek-aspek tersebut
terkait dengan harga diri, penerimaan sosial, status sosial, sebagai jalan
masuk bagi masa dewasa, menjadi struktur kehidupan, menghindari
otonomi, dan makna bekerja) serta generativitas. Bekerja juga mampu
memberikan identitas dan integrasi sosial kepada seseorang. (Newman &
Newman, 2011). Lemme (1999) juga menyebutkan bahwa bekerja sering
digunakan sebagai simbol kemandirian, keamanan finansial dan well-being.
Bekerja memiliki makna yang berbeda-beda untuk setiap individu tergantung
dari karateristik individu dan pekerjaan yang dilakukannya. Makna dari
pekerjaan itu sendiri berubah seiring usia. Orang yang lebih tua akan lebih
menempatkan nilai dari pekerjaan tersebut dibandingkan finansialnya (Birren,
dalam Lemme 1999).
B.1.Masa Bekerja
Terdapat perbedaan masa bekerja bagi seseorang sampai diputuskan
untuk berhenti bekerja dan menjalani masa pensiun. Seseorang dapat bekerja
setelah memasuki usia 18 tahun, terkecuali pekerjaan ringan yang dapat
dimulai ketika berusia 16 tahun (Undang - Undang Republik Indonesia,
Nomor 20 Tahun 1999). Di Indonesia sendiri terdapat berbagai jenis
pekerjaan dan beragam batas usia pensiun sesuai dengan pekerjaannya. Untuk
Pegawai Negeri Sipil, batas usia pensiun bagi PNS pada umumnya
berdasarkan Undang - Undang Aparatur Sipil Negara adalah 58 tahun
(ANTARA News, 2014). Sedangkan untuk yang bekerja di sektor swasta
dapat berlangsung lebih cepat lagi. Normalnya seseorang yang bekerja di
sektor swasta akan mengalami pensiun di usia 55 tahun, walaupun ada
beberapa perusahaan yang menetapkan batas usia pensiunnya hingga 60
C. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
C.1.Definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan hubungan kerja merupakan pengakhiran hubungan kerja
dikarenakan suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja atau buruh dan pengusaha. (UU No.13 tahun 2003
pasal 1 butir 25). Manulang (2001) menyebutkan bahwa pemutusan hubungan
kerja adalah berakhirnya hubungan antara yang memberikan pekerjaan
dengan yang menerima dan menjalankan pekerjaan (pekerja) dan pekerja
tersebut mendapatkan upah dari pekerjaan yang dilakukannya.
Dari penjelasan di atas disimpulkan pemutusan hubungan kerja
adalah berakhirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dan
pekerja mendapatkan upah dari pekerjaan yang dilakukannya
C.2.Jenis – Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Rosyid (dalam Harahap, 2010) membagi Pemutusan Hubungan Kerja
ke dalam 2 bagian, yaitu :
1. PHK dalam Kondisi Normal
PHK dalam kondisi normal mempunyai makna pemutusan hubungan kerja
yang memang sudah memasuki waktunya dikarenakan pekerja sudah
memasuki masa purna bakti. Dalam kondisi normal, PHK jenis ini akan
menimbulkan perasaan yang membahagiakan dikarenakan setelah
bertahun – tahun bekerja sesuai dengan peran yang berada di perusahaan
maka tiba saatnya untuk memperoleh penghargaan atas semua jerih
bagian dari pemutusan hubungan kerja secara normal,, dikarenakan
pekerja dengan sadar mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan
memulai karirnya dari awal
2. PHK dalam Kondisi Tidak Normal
Berkembangnya suatu perusahaan tergantung oleh lingkungan tempat
perubahaan tersebut beroperasi dan tergantung perolehan dukungan agar
perusahaan tersebut tetap bertahan (Robbins dalam Harahap, 2010).
Tuntutan yang berasal dari dalam dan luar (inside & outside stakeholder)
dapat membuat sebuah perusahaan melakukan perubahan termasuk di
dalamnya penggunaan tenaga kerja (Harahap, 2010). Dan dampak dari
pengurangan tenaga kerja ini adalah pemutusan hubungan kerja.
Flippo (1981, dalam Edwin, 2003) membagi pemutusan hubungan
kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu :
a. Layoff : Keputusan yang diberikan kepada pekerja yang walaupun
memiliki kualifikasi yang membanggakan, namun tetap harus
dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan jasanya.
b. Outplacement : Keputusan yang diambil dikarenakan perusahaan ingin
mengurangi banyak tenaga kerja baik profesional, manajerial ataupun
pelaksana biasa. Hal – hal yang menyebabkan sebuah perusahaan
mengambil keputusan ini adalah untuk mengurangi karyawan yang
performansinya tidak memuaskan, mengurangi orang – orang yang
dianggap kurang memiliki kompetensi kerja dan orang-orang yang
c. Discharge : Keputusan ini diambil berdasarkan bukti lapangan bahwa
pekerja kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan.
C.3.Dampak dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Stress muncul ketika seseorang menganggap sebuah kejadian sebagai
kejadian yang menakutkan, tidak dapat dihadapi dan merasa putus asa dalam
menghadapinya (Lemme, 1999). Situasi yang paling menimbulkan stress
adalah situasi yang berhubungan dengan kehilangan ataupun ekspektasi yang
terlalu tinggi yang sudah ditetapkan oleh individu (Hobfoll dalam Lemme,
1999). Pemutusan Hubungan kerja menimbulkan konsekuensi psikologis
yang sangat besar bagi individu (Paul & Moser, 2009). Pemutusan hubungan
kerja menyebabkan seseorang mengalami kehilangan baik dari segi
kehilangan pekerjaan, rutinitas, finansial dan kehilangan identitas di
masyarakat (Creed & Macintyre dalam Papalia, 2007). Segala bentuk
kehilangan yang diakibatkan pemutusan hubungan kerja mempengaruhi fisik
dan psikologis individu (Journal Of Occupation Health Psychology Vol 7 No
4 dalam Dance 2011). Gangguan fisik yang biasa pada seseoran yang berhenti
bekerja adalah hipertensi (Papalia, 1998). Penelitian lain menunujukkan
bahwa seseorang yang tidak bekerja cenderung mengalami masalah dengan
jantung dan melemahnya sistem imun (Cohen, Kemeny, & Zegans, 2007).
Selain fisik, mental seseorang pun dapat terganggu akibat pemutusan
hubungan kerja. Seseorang yang diberhentikan dari pekerjaannya cenderung
Segala tekanan mental yang terjadi dapat mempengaruhi psychological
well-being seseorang (Bradburn dalam Ryff, 1989)
D. DEWASA MADYA
D.1.Definisi Dewasa Madya
Hurlock (1998) menyebutkan bahwa masa dewasa madya dimulai dari
usia 40 - 60 tahun. Sedangkan jika dilihat dari sudut konteks keluarga,
dewasa madya merupakan masa dimana individu memiliki anak yang sedang
tumbuh dan memiliki orangtua yang sudah lanjut usia (Papalia, Olds, &
Feldman, 2007).
Pada masa ini individu mulai memiliki berbagai tanggung jawab dan
peran seperti melakukan pekerjaan rumah tangga, mengurus usaha,
membesarkan anak, merawat orangtua dan memulai karir baru (Papalia, Olds,
& Feldman, 2007). Individu di masa ini memiliki keadaan fisik, kognitif dan
emosi yang baik dan nyaman dengan kualitas hidupnya. Masa dewasa madya
sering disebut masa krisis dikarenakan di masa ini seseorang kembali
meninjau target dan aspirasinya dan menentukan apa – apa saja yang akan
dilakukan untuk menjalani sisa hidup (Lachman & James dalam Papalia, Olds
& Feldman, 2007).
Boyd & Bee (2009) menyebutkan bahwa kecenderungan individu
untuk bekerja di masa dewasa madya masih tinggi. Mereka
mengkarateristikkannya kedalam dua perspektif dimana Boyd & Bee melihat
meningkat di masa ini. Hal itu dikarenakan individu memperoleh upah yang
besar sesuai pertambahan usianya dan karena individu tersebut telah berada di
posisi yang lebih aman dari sebelumnya. (Santrock, 2002)
Di usia dewasa madya, individu akan lebih berfokus pada otonomi
dalam bekerja, kesempatan untuk individu untuk mendapatkan jabatan yang
lebih tinggi, pencapaian personal, kebebasan untuk lebih kreatif dan
kebutuhan untuk melihat suatu pekerjaan mampu memberikan kontirbusi
yang nyata dalam kehidupan (Clausen dalam Hoyer, Rybash, & Roodin,
1999)
Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah dewasa madya merupakan
masa yang dimulai dari usia 40 - 60 tahun dan memiliki tanggungan keluarga
serta merupakan masa dengan berbagai tanggung jawab dan peran baik dalam
keluarga dan pekerjaan.
D.2.Karateristik Dewasa Madya
Masa dewasa madya adalah masa yang sangat ditakuti dari berbagai
rentang kehidupan. Karena di masa ini seseorang sudah harus mengevaluasi
apa yang ia rancang di masa dewasa dini dan apa yang harus ia lakukan di
masa dewasa lanjut. Menurut Hurlock (1998), Masa dewasa madya
diasosiasikan dengan beberapa karaterstik, yaitu :
a. Masa yang ditakuti
Stereotipe-stereotipe yang muncul di tengah masyarakat mengakibatkan
penurunan fungsi mental dan fisik serta berhentinya reproduksi menjadi
hal utama dari ketakutan individu dewasa madya
b. Masa transisi
Masa dewasa madya merupakan masa transisi dimana individu harus
melepaskan ciri-ciri jasmani dan perilakunya di masa dewasa dini dan
menyesuaikan diri dengan ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru.
Biasanya ini berhubungan dengan masa transisi keperkasaan seorang pria
dan kesuburan seorang wanita
c. Masa stress
Perubahan yang terlalu drastis terkadang berimbas kepada psikologis
individu di masa ini. Marmor (dalam Hurlock, 1998) membagi kategori
stress yang dihadapi dewasa madya menjadi empat bagian termasuk
didalamnya stress somatik, stress budaya, stress ekonomi dan stress
psikologis
d. Usia yang berbahaya
Di masa ini dikatakan usia yang berbahaya karena di masa inilah terjadi
rasa cemas yang berlebihan, penurunan fungsi fisik dan kurang
memperhatikan diri sendiri. Di beberapa kasus terdapat kemungkinan
bunuh diri ketika tidakmampu mencapai targetnya.
e. Usia canggung
Masa ini merupakan masa canggung karena dewasa madya berada
ada kepastian apakah individu ini masih pantas disebut muda namun
apakah sudah pantas ia disebut tua.
f. Masa berprestasi
Di masa ini performa seseorang untuk menghasilkan sesuatu itu
meningkat. Hal itu dilakukan untuk mencapai generativitas dan tidak
hanya berdiam diri dan mengalami stagnasi. Masa ini merupakan masa
berprestasi dikarenakan di masa ini individu udah berada di puncak
karirnya. Mereka akan puas terhadap hasil yang sudah diperoleh sepanjang
dewasa dini dan menikmati hasil dari kesuksesan mereka sampai
memasuki usia pensiun. Di masa ini juga masa di mana pendapatan
meningkat secara signifikan.
g. Masa evaluasi
Masa ini menjadi masa evaluasi terhadap apa yang sudah dicapainya
sepanjang dewasa madya. Keinginan-keinginan dan tujuan apa yang sudah
tercapai dan belum tercapai. Jika berhubungan dengan puncak karir, maka
individu dewasa madya akan mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan
aspirasi yang sudah ditentukan sejak awal.
h. Masa dengan standar ganda
Individu dievaluasi melalui dua aspek utama, yaitu jasmani dan sikap.
Aspek perubahan jasmani termasuk didalamnya ketika rambut sudah
mengendur. Dari segi sikap terdiri dari merasa diri tetap muda dan aktif ,
dan secara perlahan menua dengan anggun dan lambat serta hati-hati.
i. Masa sepi
Masa sepi disini maksudnya adalah ketika anak sudah mulai meninggalkan
rumah dan memulai kehidupannya sendiri (emptynest). Namun selain itu
masa sepi disini termasuk didalamnya masa sepi dalam kehidupan
perkawinannya.
j. Masa jenuh
Individu di masa ini sudah mulai jenuh dengan kegiatan yang
dilakukannya sehari-hari. Misalnya pada wanita yang sudah mulai jenuh
untuk mengurus rumah dan anak-anak , dan pria yang mulai
mempertanyakan kegiatan sehari - harinya
D.3.Tugas Perkembangan Dewasa Madya
Ada 4 kategori yang menjadi tugas utama dalam perkembangan
masa dewasa madya (Havighurst dalam Hurlock, 1998), yaitu :
a. Berkaitan dengan perubahan fisik
Menyadari perubahan fisik yang tidak seberfungsi dulu dan mulai
menyesuaikan diri dengna perubahan fisik yang terjadi seperti perubahan
dalam penampilan, kemampuan indra yang menurun, perubahan pada
kemampuan seksual (menopause pada wanita dan klimakterik pada pria)
b. Tugas yang berkaitan dengan perubahan kejuruan
Pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan dengan
cara bekerja
c. Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga.
Tugas ini berkaitan dengan menyesuaikan diri denga orang tua yang
lanjut usia serta membantu mengarahkan anak – anak yang sudah
beranjak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab.
D.4.Perkembangan Psikososial Dewasa Madya
Masa dewasa madya merupakan periode yang cukup stabil walaupun
dipenuhi dengan berbagai tanggung jawab. Bahkan Abraham Maslow dan
Carl Rogers menyebutkan bahwa masa dewasa madya memiliki kesempatan
untuk berubah ke arah yang lebih positif (Papalia, Olds, & Feldman, 2007).
Di masa ini pula individu dewasa madya mengalami berbagai jenis krisis
yang mempengaruhi psikologis individu. Krisis paruh baya atau yang sering
disebut dengan mid-life crisis adalah kenyataan yang dihadapi tidak berjalan
sesuai dengan ekspektasi yang dimiliki seseorang di usia dewasa madya
(Lachman dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) Menurut Erikson, dewasa
madya berada dalam tahap generativitas. Generativitas merupakan kepedulian
pada orang dewasa dalam membangun dan mengarahkan generasi berikutnya
(Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Kepedulian ini kemudian menciptakan
kesejahteraan bagi individu dan mempengaruhi lingkungan menjadi lebih
individu itu akan berhenti di tempat dan mengalami stagnasi yang membuat
hidupnya mengalami kekosongan (Papalia, Olds, & Feldman, 2007)
E. PsychologicalWell-being Dewasa madya Yang Mengalami PHK
Dewasa madya merupakan masa dimana seorang individu memiliki
tugas perkembangan, dimana salah satu tugas tersebut adalah bekerja. Bekerja
menjadi tanda kemandirian, keamanan finansial, diterima secara sosial serta
dan kesejahteraan pribadi (McConnel & Beitler dalam Lemme 1999). Dengan
bekerja pula seseorang bisa menunjukkan dan mengembangkan aspek dan
kebutuhan pribadinya (Lemme, 1999). Gambaran diri seseorang pun dapat
terbentuk melalui sebuah pekerjaan (Kinderman dalam Dance, 2011). Dalam
masa dewasa madya, individu menikmati hasil-hasil pekerjaan mereka yang
sudah dibangun sejak masih dewasa dini. Individu di masa ini akan berfokus
pada berapa lama waktu yang ia miliki sebelum pensiun dan berpacu dengan
waktu tersebut untuk mencapai tujuan – tujuannya. Namun hal itu bisa
terhambat jika individu tidak memiliki pekerjaan akibat pemutusan hubungan
kerja / pemecatan.
Pemutusan hubungan kerja adalah berhentinya hubungan kerja antara
pemilik perusahaan dengan pekerja. Pemutusan hubungan kerja membuat
individu menjadi tidak bekerja dan mengalami masa pensiun sebelum
waktunya. Hal ini termasuk kedalam salah satu krisis yang dialami oleh
individu yang memasuki dewasa madya, dimana ekspektasinya dapat bekerja
hubungan kerja mengakibatkan seseorang kehilangan pekerjaan. Kehilangan
pekerjaan menjadikan sebuah pekerjaan yang awalnya dianggap tantangan
yang harus dihadapi malah menjadi bumerang yang melemahkan psikologis
dewasa madya (Blustein, dalam Dance, 2011). Kehilangan pekerjaan akibat
PHK mengakibatkan seseorang kehilangan identitas diri, menjadi sulit
menyesuaikan diri dan merasa tidak mampu mengontrol hidupnya lagi.
Seseorang yang mengalami pemecatan juga mengalami penurunan
harga diri dan kepuasan hidup. Menurut penelitian, lebih dari 24.000 individu
mengalami penurunan kepuasan hidup ketika tidak bekerja dan tidak dapat
kembali ke tingkat semula walaupun sudah mendapatkan pekerjaan kembali
(Santrock, 2002). Penelitian lain menyebutkan bahwa diberhentikan dari
pekerjaan berdampak buruk bagi individu, khususnya dewasa madya karena
menimbulkan rasa terbuang dan merasa tidak memiliki kontrol dalam
kehidupan (Barling dalam Australian Psychological Society Ltd., 2000).
Kehilangan pekerjaan juga mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap
kesuksesan di situasi lainnya. Kehilangan pekerjaan membuat seseorang
merasa tidak memiliki harapan sukses lagi walaupun ia sudah mendapat
pekerjaan baru. Ia merasa kehilangan harga diri dan tak mampu mengontrol
kehidupannya. Ketidakmampuan menguasai kehidupan berujung pada
terpengaruhnya Psychological Well-being (kesejahteraan psikologis)
seseorang. Psychological well-being merupakan konstruk yang dirumuskan
oleh Carol D. Ryff (1995), terdiri dari 6 dimensi yang dapat mengungkap
individu dapat dilihat dari dari kemampuan individu menguasai lingkungan
sekitarnya, mejalankan apa yang menjadi pilihannya, memiliki tujuan hidup,
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, terus berkembang dan dapat
menerima dirinya (Ryff, 1989)
Seseorang yang mengalami pemecatan akan mengalami perubahan
kesejahteraan hidup (Kalleberg, 2009). Individu yang mengalami PHK ketika
memasuki dewasa madya menjadi tidak mampu menerima dirinya. Seseorang
yang tidak mampu menerima dirinya tidak dapat menyadari potensi yang dia
miliki untuk bisa bangkit dari situasi PHK yang dialami. Ia tidak sadar dapat
membangun karir baru. Ia juga mengalami gangguan dalam menilai kembali
tujuan hidup dan prestasi apa yang harus dicapainya (Broomhall & Winefield
dalam Berk, 2007). Hal ini nantinya akan mempengaruhi generativitas dari
dewasa madya tersebut. Ia juga memiliki hubungan yang tidak terlalu positif
dengan lingkungan karena merasa lingkungan sudah tidak lagi bersahabat
dengannya. Jika dibiarkan, kondisi tersebut dapat mempengaruhi mental
secara signifikan. Seseorang yang kehilangan pekerjaan 4 kali lebih rentan
mengalami gangguan mental dibandingkan para pekerja (Mental Health
F. Paradigma Teoritis identitas dan kegiatan sehari - hari