BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk
selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.
Demikian juga kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan.1
Seiring dengan perkembangan dunia usaha, maka berbagai pihak mengajukan
untuk melakukan pengkajian terhadap dunia usaha tersebut secara komprehensif.
Munculnya pemikiran semacam itu, rasanya memang suatu hal yang tidak
mungkin dihindarkan pada saat sekarang ini, karena jika berbicara dalam konteks
bisnis hampir tidak ada lagi batas-batas antarnegara. Hal ini disebabkan dalam
dekade terakhir ini mobilitas bisnis melintas antarnegara demikian cepat. Untuk
itu, tanpa terasa norma hukum maupun karakteristik dari perusahaan yang akan
melakukan kegiatannya di suatu negara sedikit banyak juga akan dipengaruhi oleh
sistem hukum dari negara asal perusahaan yang bersangkutan. Di sisi lain pebisnis
yang hendak melakukan kegiatan bisnisnya di luar negeri harus memahami
ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut, khususnya yang berkaitan
dengan badan usaha, dalam hal ini Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT).2
1
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal.1.
PT merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling disukai saat ini, di
samping karena pertanggungjawabannya yang bersifat terbatas, PT juga
2
memberikan kemudahan bagi pemilik atau pemegang sahamnya untuk
mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham
yang dimilikinya pada perusahaannya tersebut.3 Kemudahan untuk menarik dana
dari masyarakat dengan jalan penjualan saham merupakan satu alasan untuk
mendirikan suatu badan usaha berbentuk PT.4 PT (Perseroan) adalah kegiatan
bisnis yang penting dan banyak terdapat di dunia ini, termasuk Indonesia.
Kehadiran perseroan sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi
pada hampir semua bidang kehidupan manusia. perseroan telah menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan
kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial.5
Keberadaan perseroan di Indonesia sekarang ini tunduk pada ketentuan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya
disebut UUPT). Selain itu juga perseroan tunduk pada peraturan
perundang-undangan lain yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya perseroan,
termasuk Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), sepanjang tidak dicabut atau
ditentukan lain dalam UUPT. Diakuinya perseroan sebagai institusi berbadan
hukum dalam Undang-Undang telah menempatkan perseroan sebagai subyek
hukum sehingga dianggap cakap (bekwaam) untuk melakukan perbuatan hukum
3
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 1.
4
Badriyah Rifai Amirudin, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governancedi Tubuh Perusahaan Publik
5
dan dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dibuatnya.6
Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan
perseroan adalah direksi. Disebut cukup penting, karena direksilah yang
mengendalikan perusahaan dan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan jika masyarakat awam berpandangan posisi direksi dalam suatu
perusahaan acapkali diidentikkan dengan pemilik perusahaan. Pandangan yang
demikian tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan, terlebih lagi dalam perseroan
tertutup dimana pemegang sahamnya didominasi oleh kalangan keluarga, hampir
dapat dipastikan yang duduk di posisi direksi pun adalah dari kalangan
perusahaan sendiri.
Dengan kata lain para pemegang saham yang menyertakan modalnya dalam
bentuk perseroan hanya bertanggung jawab sebatas modal yang disertakan yang
menjadi harta perseroan, bilamana terjadi gugatan atau tuntutan dari pihak ketiga
terhadap perseroan (limited liability).
7
Akan tetapi dalam peta bisnis modern posisi direksi tidak
selamanya dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para
profesional di bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara
profesional, kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam mengelola
perusahaan dapat dicegah sedini mungkin.8
6
I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2003), hlm. 140.
Direksi diberikan kepercayaan oleh
seluruh pemegang saham melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) untuk menjadi organ perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan
perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan
7
Sentosa Sembiring, Op.Cit., hal. 43.
8
mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola
perseroan. Setelah RUPS menyetujui pengangkatan direksi perseroan, dan oleh
karena itu maka direksi tidak dapat mempergunakan kepercayaan yang diberikan
kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan
kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas, meskipun tindakan yang
dilakukannya tersebut baik bagi perseroan, menurut pertimbangannya.9
Dalam hubungan hukum, di satu sisi direksi diperlakukan sebagai
penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan
kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan
dalam anggaran dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan
perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu perjanjian
perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan
sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Disinilah sifat
pertanggungjawaban renteng dan pertanggungjawaban pribadi direksi sangat
relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah
perseroan, untuk kepentingan perseroan.10 Keberadaan direksi dalam suatu
perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata lain perseroan wajib
memiliki direksi, karena perseroan sebagai artificial person tidak dapat berbuat
apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota direksi sebagai natural person.11
9
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. Piercing the Corporate Veil Memberlakukan Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris Menurut UUPT Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal.53.
Direksi dalam PT ibarat nyawa bagi perseroan. Tidak mungkin suatu perseroan
10
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas,Op. Cit., hal.98.
11
tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada direksi tanpa adanya
perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi perseroan sangat penting.
Sekalipun PT sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah dengan
direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa perseroan dianggap
seakan-akan sebagai subyek hukum, sama seperti manusia.12
Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Di dalam menjalankan
tugasnya tersebut, direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan
konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh direksi
akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan,
sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran
dasar perseroan. Selama direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar
perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung akibat dari perbuatan
direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan direksi yang merugikan
perseroan, yang dilakukan diluar batas dan kewenangan yang diberikan
kepadanya oleh anggaran dasar, dapat tidak diakui oleh perusahaan. Dengan ini
berarti direksi bertanggung jawab secara pribadi atas seriap tindakannya diluar
batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar perseroan.13
Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap perseroan tersebut, direksi
tidak hanya bertanggung jawab terhadap perseroan dan para pemegang saham
perseroan, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan
hukum dan terkait dengan perseroan, baik langsung maupun tidak langsung
12
Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), hal. 7.
13
dengan perseroan.14 Oleh karena itu seorang direksi harus bertindak hati-hati
dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya
tersebut seorang direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri
atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut
dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan direksi untuk
dimintai pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang
dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.15
Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Pasal 97
mengatur bahwa kepengurusan mana yang dipercayakan kepada direksi harus
dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, maka direksi mana
terbukti salah atau lalai dalam menjalankan kepengurusannya (beritikad tidak
baik) mengakibatkan perseroan rugi, pemegang saham perseroan sesuai ketentuan
yang ada berhak menggugat direksi bersangkutan untuk dimintai
pertanggungjawaban secara penuh, sampai dengan harta pribadinya. Setiap
anggota direksi bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahannya yang
mengakibatkan perseroan rugi, dalam hal ini pailit. Dalam hal perseroan,
kepailitan membawa akibat bahwa direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk
mengurus harta kekayaan perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan
dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan,16
14
Umar Kasim, Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan atau Likuidasi,
kepailitan
15
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 81.
16
dapat mengakibatkan perseroan tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan
usahanya. Tidak mungkinnya perseroan melaksanakan kegiatan usahanya
tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi perseroan itu sendiri,
melainkan juga kepentingan dari pemegang saham perseroan, belum lagi
kepentingan para kreditor yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan
seluruh harta kekayaan perseroan.
Sampai sejauh ini, sesuai dengan sifat badan hukumnya (dengan
pertanggungjawaban terbatas, baik bagi pemegang saham perseroan, direksi,
maupun komisaris), praktik menunjukkan bahwa perseroan seringkali
dipergunakan sebagai alat untuk menutupi pertanggungjawaban yang lebih luas,
yang seharusnya dapat dikenakan dan dipikulkan kepada pihak-pihak yang telah
menerbitkan kerugian tersebut. Dengan berkedok di belakang sifat
pertanggungjawaban yang terbatas, acapkali kita temukan keadaan dimana
perseroan dijadikan tameng bagi direksi perseroan yang tidak beritikad baik.
Melalui pelaksanaan kegiatan PT, dengan pertanggungjawabannya yang terbatas,
harta kekayaan direksi perseroan yang tidak beritikad baik seolah-olah menjadi
tidak tersentuh. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya
dikenakan terhadap harta kekayaan perseroan, sedangkan harta kekayaan
perseroan tersebut sama sekali tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya,
yang diterbitkan oleh direksi perseroan yang tidak beritikad baik tersebut.
Namun pada kenyataannya, penerapan pasal tersebut tidak semudah yang
tertera. Pada praktiknya dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
PKPU), mengenai pembuktian unsur-unsur kesalahan atau kelalaian direksi serta
pembuktian unsur-unsur kepailitannya sendiri sering menemui kesulitan, belum
lagi tidak ada pengaturan yang jelas tentang bagaimana prosedur
pertanggungjawaban tersebut dimintakan dengan adanya pertanggungjawaban
direksi sampai harta pribadi.
B. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas yaitu
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan Direksi menurut ketentuan UU No. 40 Tahun 2007?
2. Bagaimana suatu PT dapat dipailitkan?
3. Kapan Direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan PT dinyatakan
pailit?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai
berikut :
1) Untuk mengetahui dan memahami kedudukan, kewajiban, kewenangan dan
tanggung jawab direksi dalam UUPT
2) Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban direksi jika perseroan
3) Untuk mengetahui kapan direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan
perseroan pailit.
2. Manfaat Penulisan
Selain dari tujuan diatas, penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat
antara lain :
1) Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah yang telah dirumuskan akan
memberikan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab direksi terhadap
perseroan pailit akibat kelalaian atau kesalahannya serta mengetahui bagaimana
tanggung jawab direksi tersebut karena kelalaiannya.
2) Secara praktis, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
para pembaca terutama kepada setiap orang yang merupakan direksi perseroan
agar lebih profesional dan berhati-hati dalam melakukan pengurusan perseroan.
D. Keaslian Penulisan
“Pertanggungjawaban Direksi Karena Kelalaian Atau Kesalahannya
Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit” yang diangkat sebagai judul skripsi ini
telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini disusun melalui referensi,
buku-buku, media cetak, dan elektronik serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan
E. Tinjauan Kepustakaan
Dalam tinjauan kepustakaan ini perlu diperhatikan beberapa
ketentuan-ketentuan yang menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Ketentuan
tersebut berguna untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi ini agar sesuai
dengan topik yang telah ditentukan sebelumnya serta membantu pembaca untuk
mengerti cakupan ini. Adapun ketentua-ketentuan yang akan ditemukan antara
lain sebagai berikut :
Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 arti pailit sebagaimana diatur
dalam Lampiran UUK dan PKPU Pasal 1 ayat (1) adalah :
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya”
Sedangkan pengertian Kepailitan menurut UUK dan PKPU dalam pasal
1 ayat (1) adalah :
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”
Menurut Black’s Law Dictionary, pailit adalah seorang pedagang yang
bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk
mengelabuhi krediturnya.17
17
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (St. Paul. Minnesota, USA. West Publishing Co. 1968), hal. 186, dikutip dari buku Fuady.
Kepailitan menurut Memori Van Toelichting
(penjelasan umum) adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa Kepailitan adalah keadaan atau
kondisi atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya
(dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang.18
Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan
berasal dari kata “Sero”, yang mempunyai arti “Saham”. Sedangkan kata
“Terbatas” menunjukkan adanya tanggung jawab yang terbatas. Dengan demikian
Perseroan Terbatas dapat dijelaskan sebagai bentuk usaha yang modalnya terdiri
dari saham-saham yang masing-masing pemegangnya atau anggotanya
bertanggung jawab terbatas sampai pada nilai saham/ nilai modal yang
dimilikinya. Menurut UUPT dalam Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa :
“Peseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut dengan Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
Sedangkan defenisi yang disebutkan di dalam UUPT terdapat juga
defenisi lain tentang PT yakni menurut Wasis, yang menyebutkan bahwa PT
adalah perusahaan yang modalnya dibagi-bagi atas saham-saham dengan harga
nominal yang sama besarnya dan yang para pemiliknya bertanggung jawab secara
terbatas sampai sejumlah modal yang disetorkan atau sejumlah saham yang
dimiliki.19
18
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hal. 812.
Sebagai “artificial person”, perseroan tidak mungkin dapat bertindak
sendiri. Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri.
Untuk itulah maka diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak yang akan
menjalankan perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian
19
perseroan. Orang-orang yang akan menjalankan, mengelola, dan mengurus
perseroan ini, dalam UUPT disebut dengan istilah organ perseroan. Dalam UUPT
dapat kita ketahui bahwa organ perseroan yang bertugas melakukan pengurusan
perseroan adalah direksi.
Pengertian Direksi menurut UUPT dalam Pasal 1 ayat (5) adalah :
“Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik
di dalam maupun di luar Pengadilan, sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”
Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Hal ini
membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab
secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan.
F. Metode Penulisan
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan maka digunakan berbagai metode. Adapun metode
penelitian hukum yang digunakan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1) Tipe Penelitian
Tipe penelitian bahan hukum yang digunakan adalah metode penelitian
hukum normatif. Dengan pengumpulan bahan dilakukan melalui studi
data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
antara lain berasal dari buku-buku perpustakaan, artikel-artikel, dan peraturan
perundang-undangan, juga sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat
dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini dengan cara membaca, menafsirkan,
membandingkan serta menerjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan
dengan skripsi ini.
2) Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni metode
penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
perundang-undangan (statuted approach). Pendekatan perundangan-undangan
dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
3) Bahan Hukum
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum
mulai dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(UUPT), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU), KUHPerdata, KUHPidana, dan
KUHD. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan pendapat para
Sarjana. Bahan hukum tersier (bahan hukum penunjang) adalah bahan hukum
yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya
harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan menjadi salah satu
metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan
untuk mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini.
Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 bab yang secara garis besar isi dari bab per bab
diuraikan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di
dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi,
perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,
metode penulisan, yang kemudian diakhiri oleh sistematika
penulisan.
BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN
UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS
Merupakan suatu bab yang membahas tentang Pengertian
Kepailitan, Syarat-syarat untuk dapat Dinyatakan Pailit, dan
Perseroan Terbatas yang dapat Dipailitkan, dan Akibat Hukum
Kepailitan dalam Perseroan Terbatas.
BAB III PERSEROAN TERBATAS DAPAT DIPAILITKAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang Pengaturan Direksi menurut
Kedudukan Direksi sebagai Pengurus dalam Perseroan Terbatas,
Kewajiban dan Kewenangan Direksi, dan Pertanggungjawaban
Direksi sebagai Pengurus Perseroan Terbatas.
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS KESALAHAN
YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT
Dalam bab ini merupakan bab paling pokok dari penulisan skripsi
ini, sebab dalam bab ini diuraikan mengenai Pertanggungjawaban
Direksi Atas Kesalahan yang Mengakibatkan Perseroan Pailit.
BAB V PENUTUP
Dalam Bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari bab-bab yang
telah dibahas sebelumnya yang merupakan jawaban dari
permasalahan yang dikemukakan dan saran-saran dari jawaban
permasalahan tersebut yang mungkin berguna bagi orang-orang