• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Direksi Karena Kelalaian Atau Kesalahannya Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Direksi Karena Kelalaian Atau Kesalahannya Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk

selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

Demikian juga kiranya dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan.1

Seiring dengan perkembangan dunia usaha, maka berbagai pihak mengajukan

untuk melakukan pengkajian terhadap dunia usaha tersebut secara komprehensif.

Munculnya pemikiran semacam itu, rasanya memang suatu hal yang tidak

mungkin dihindarkan pada saat sekarang ini, karena jika berbicara dalam konteks

bisnis hampir tidak ada lagi batas-batas antarnegara. Hal ini disebabkan dalam

dekade terakhir ini mobilitas bisnis melintas antarnegara demikian cepat. Untuk

itu, tanpa terasa norma hukum maupun karakteristik dari perusahaan yang akan

melakukan kegiatannya di suatu negara sedikit banyak juga akan dipengaruhi oleh

sistem hukum dari negara asal perusahaan yang bersangkutan. Di sisi lain pebisnis

yang hendak melakukan kegiatan bisnisnya di luar negeri harus memahami

ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut, khususnya yang berkaitan

dengan badan usaha, dalam hal ini Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT).2

1

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal.1.

PT merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling disukai saat ini, di

samping karena pertanggungjawabannya yang bersifat terbatas, PT juga

2

(2)

memberikan kemudahan bagi pemilik atau pemegang sahamnya untuk

mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham

yang dimilikinya pada perusahaannya tersebut.3 Kemudahan untuk menarik dana

dari masyarakat dengan jalan penjualan saham merupakan satu alasan untuk

mendirikan suatu badan usaha berbentuk PT.4 PT (Perseroan) adalah kegiatan

bisnis yang penting dan banyak terdapat di dunia ini, termasuk Indonesia.

Kehadiran perseroan sebagai salah satu kendaraan bisnis memberikan kontribusi

pada hampir semua bidang kehidupan manusia. perseroan telah menciptakan

lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberikan

kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial.5

Keberadaan perseroan di Indonesia sekarang ini tunduk pada ketentuan

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya

disebut UUPT). Selain itu juga perseroan tunduk pada peraturan

perundang-undangan lain yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya perseroan,

termasuk Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), sepanjang tidak dicabut atau

ditentukan lain dalam UUPT. Diakuinya perseroan sebagai institusi berbadan

hukum dalam Undang-Undang telah menempatkan perseroan sebagai subyek

hukum sehingga dianggap cakap (bekwaam) untuk melakukan perbuatan hukum

3

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 1.

4

Badriyah Rifai Amirudin, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governancedi Tubuh Perusahaan Publik

5

(3)

dan dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dibuatnya.6

Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan

perseroan adalah direksi. Disebut cukup penting, karena direksilah yang

mengendalikan perusahaan dan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah

berlebihan jika masyarakat awam berpandangan posisi direksi dalam suatu

perusahaan acapkali diidentikkan dengan pemilik perusahaan. Pandangan yang

demikian tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan, terlebih lagi dalam perseroan

tertutup dimana pemegang sahamnya didominasi oleh kalangan keluarga, hampir

dapat dipastikan yang duduk di posisi direksi pun adalah dari kalangan

perusahaan sendiri.

Dengan kata lain para pemegang saham yang menyertakan modalnya dalam

bentuk perseroan hanya bertanggung jawab sebatas modal yang disertakan yang

menjadi harta perseroan, bilamana terjadi gugatan atau tuntutan dari pihak ketiga

terhadap perseroan (limited liability).

7

Akan tetapi dalam peta bisnis modern posisi direksi tidak

selamanya dipegang oleh pemilik perusahaan, melainkan dipegang oleh para

profesional di bidangnya. Dengan dikelolanya suatu badan usaha secara

profesional, kemungkinan terjadinya konflik kepentingan dalam mengelola

perusahaan dapat dicegah sedini mungkin.8

6

I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2003), hlm. 140.

Direksi diberikan kepercayaan oleh

seluruh pemegang saham melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS) untuk menjadi organ perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan

perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan

7

Sentosa Sembiring, Op.Cit., hal. 43.

8

(4)

mempercayakan sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola

perseroan. Setelah RUPS menyetujui pengangkatan direksi perseroan, dan oleh

karena itu maka direksi tidak dapat mempergunakan kepercayaan yang diberikan

kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan

kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas, meskipun tindakan yang

dilakukannya tersebut baik bagi perseroan, menurut pertimbangannya.9

Dalam hubungan hukum, di satu sisi direksi diperlakukan sebagai

penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan

kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan

dalam anggaran dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan

perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam suatu perjanjian

perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan

sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Disinilah sifat

pertanggungjawaban renteng dan pertanggungjawaban pribadi direksi sangat

relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas kuasa dan perintah

perseroan, untuk kepentingan perseroan.10 Keberadaan direksi dalam suatu

perseroan merupakan suatu keharusan, atau dengan kata lain perseroan wajib

memiliki direksi, karena perseroan sebagai artificial person tidak dapat berbuat

apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota direksi sebagai natural person.11

9

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas. Piercing the Corporate Veil Memberlakukan Tanggung Jawab Pribadi Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris Menurut UUPT Nomor 40 Tahun 2007, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal.53.

Direksi dalam PT ibarat nyawa bagi perseroan. Tidak mungkin suatu perseroan

10

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas,Op. Cit., hal.98.

11

(5)

tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin ada direksi tanpa adanya

perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi perseroan sangat penting.

Sekalipun PT sebagai badan hukum, yang mempunyai kekayaan terpisah dengan

direksi, tetapi hal itu hanya berdasarkan fiksi hukum, bahwa perseroan dianggap

seakan-akan sebagai subyek hukum, sama seperti manusia.12

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya

perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Di dalam menjalankan

tugasnya tersebut, direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan

konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh direksi

akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan,

sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran

dasar perseroan. Selama direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar

perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung akibat dari perbuatan

direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan direksi yang merugikan

perseroan, yang dilakukan diluar batas dan kewenangan yang diberikan

kepadanya oleh anggaran dasar, dapat tidak diakui oleh perusahaan. Dengan ini

berarti direksi bertanggung jawab secara pribadi atas seriap tindakannya diluar

batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar perseroan.13

Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap perseroan tersebut, direksi

tidak hanya bertanggung jawab terhadap perseroan dan para pemegang saham

perseroan, melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan

hukum dan terkait dengan perseroan, baik langsung maupun tidak langsung

12

Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), hal. 7.

13

(6)

dengan perseroan.14 Oleh karena itu seorang direksi harus bertindak hati-hati

dalam melakukan tugasnya (duty of care). Selain itu dalam melakukan tugasnya

tersebut seorang direksi tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri

atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua prinsip tersebut

dalam hubungannya dengan fiduciary duty dapat menyebabkan direksi untuk

dimintai pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang

dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada pihak lainnya.15

Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 Pasal 97

mengatur bahwa kepengurusan mana yang dipercayakan kepada direksi harus

dilaksanakan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, maka direksi mana

terbukti salah atau lalai dalam menjalankan kepengurusannya (beritikad tidak

baik) mengakibatkan perseroan rugi, pemegang saham perseroan sesuai ketentuan

yang ada berhak menggugat direksi bersangkutan untuk dimintai

pertanggungjawaban secara penuh, sampai dengan harta pribadinya. Setiap

anggota direksi bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahannya yang

mengakibatkan perseroan rugi, dalam hal ini pailit. Dalam hal perseroan,

kepailitan membawa akibat bahwa direksi tidak berhak dan berwenang lagi untuk

mengurus harta kekayaan perseroan. Sebagai suatu badan hukum yang didirikan

dengan maksud dan tujuan untuk menyelenggarakan perusahaan,16

14

Umar Kasim, Tanggung Jawab Korporasi dalam Mengalami Kerugian, Kepailitan atau Likuidasi,

kepailitan

15

Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 81.

16

(7)

dapat mengakibatkan perseroan tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan

usahanya. Tidak mungkinnya perseroan melaksanakan kegiatan usahanya

tentunya akan menimbulkan kerugian, tidak hanya bagi perseroan itu sendiri,

melainkan juga kepentingan dari pemegang saham perseroan, belum lagi

kepentingan para kreditor yang tidak dapat dibayar lunas dari hasil penjualan

seluruh harta kekayaan perseroan.

Sampai sejauh ini, sesuai dengan sifat badan hukumnya (dengan

pertanggungjawaban terbatas, baik bagi pemegang saham perseroan, direksi,

maupun komisaris), praktik menunjukkan bahwa perseroan seringkali

dipergunakan sebagai alat untuk menutupi pertanggungjawaban yang lebih luas,

yang seharusnya dapat dikenakan dan dipikulkan kepada pihak-pihak yang telah

menerbitkan kerugian tersebut. Dengan berkedok di belakang sifat

pertanggungjawaban yang terbatas, acapkali kita temukan keadaan dimana

perseroan dijadikan tameng bagi direksi perseroan yang tidak beritikad baik.

Melalui pelaksanaan kegiatan PT, dengan pertanggungjawabannya yang terbatas,

harta kekayaan direksi perseroan yang tidak beritikad baik seolah-olah menjadi

tidak tersentuh. Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya

dikenakan terhadap harta kekayaan perseroan, sedangkan harta kekayaan

perseroan tersebut sama sekali tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya,

yang diterbitkan oleh direksi perseroan yang tidak beritikad baik tersebut.

Namun pada kenyataannya, penerapan pasal tersebut tidak semudah yang

tertera. Pada praktiknya dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004

(8)

PKPU), mengenai pembuktian unsur-unsur kesalahan atau kelalaian direksi serta

pembuktian unsur-unsur kepailitannya sendiri sering menemui kesulitan, belum

lagi tidak ada pengaturan yang jelas tentang bagaimana prosedur

pertanggungjawaban tersebut dimintakan dengan adanya pertanggungjawaban

direksi sampai harta pribadi.

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis

akan mengemukakan beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas yaitu

sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan Direksi menurut ketentuan UU No. 40 Tahun 2007?

2. Bagaimana suatu PT dapat dipailitkan?

3. Kapan Direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan PT dinyatakan

pailit?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dapat diuraikan sebagai

berikut :

1) Untuk mengetahui dan memahami kedudukan, kewajiban, kewenangan dan

tanggung jawab direksi dalam UUPT

2) Untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban direksi jika perseroan

(9)

3) Untuk mengetahui kapan direksi dinyatakan lalai atau salah yang mengakibatkan

perseroan pailit.

2. Manfaat Penulisan

Selain dari tujuan diatas, penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat

antara lain :

1) Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah yang telah dirumuskan akan

memberikan pemahaman mengenai tugas dan tanggung jawab direksi terhadap

perseroan pailit akibat kelalaian atau kesalahannya serta mengetahui bagaimana

tanggung jawab direksi tersebut karena kelalaiannya.

2) Secara praktis, pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

para pembaca terutama kepada setiap orang yang merupakan direksi perseroan

agar lebih profesional dan berhati-hati dalam melakukan pengurusan perseroan.

D. Keaslian Penulisan

“Pertanggungjawaban Direksi Karena Kelalaian Atau Kesalahannya

Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit” yang diangkat sebagai judul skripsi ini

telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini disusun melalui referensi,

buku-buku, media cetak, dan elektronik serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan

(10)

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam tinjauan kepustakaan ini perlu diperhatikan beberapa

ketentuan-ketentuan yang menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Ketentuan

tersebut berguna untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi ini agar sesuai

dengan topik yang telah ditentukan sebelumnya serta membantu pembaca untuk

mengerti cakupan ini. Adapun ketentua-ketentuan yang akan ditemukan antara

lain sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 arti pailit sebagaimana diatur

dalam Lampiran UUK dan PKPU Pasal 1 ayat (1) adalah :

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya”

Sedangkan pengertian Kepailitan menurut UUK dan PKPU dalam pasal

1 ayat (1) adalah :

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan

Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”

Menurut Black’s Law Dictionary, pailit adalah seorang pedagang yang

bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk

mengelabuhi krediturnya.17

17

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (St. Paul. Minnesota, USA. West Publishing Co. 1968), hal. 186, dikutip dari buku Fuady.

Kepailitan menurut Memori Van Toelichting

(penjelasan umum) adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta

(11)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa Kepailitan adalah keadaan atau

kondisi atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya

(dalam hal utang-utangnya) kepada si piutang.18

Dari kata Perseroan Terbatas dapat diartikan bahwa, kata Perseroan

berasal dari kata “Sero”, yang mempunyai arti “Saham”. Sedangkan kata

“Terbatas” menunjukkan adanya tanggung jawab yang terbatas. Dengan demikian

Perseroan Terbatas dapat dijelaskan sebagai bentuk usaha yang modalnya terdiri

dari saham-saham yang masing-masing pemegangnya atau anggotanya

bertanggung jawab terbatas sampai pada nilai saham/ nilai modal yang

dimilikinya. Menurut UUPT dalam Pasal 1 angka (1) dinyatakan bahwa :

“Peseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut dengan Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”

Sedangkan defenisi yang disebutkan di dalam UUPT terdapat juga

defenisi lain tentang PT yakni menurut Wasis, yang menyebutkan bahwa PT

adalah perusahaan yang modalnya dibagi-bagi atas saham-saham dengan harga

nominal yang sama besarnya dan yang para pemiliknya bertanggung jawab secara

terbatas sampai sejumlah modal yang disetorkan atau sejumlah saham yang

dimiliki.19

18

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hal. 812.

Sebagai “artificial person”, perseroan tidak mungkin dapat bertindak

sendiri. Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri.

Untuk itulah maka diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak yang akan

menjalankan perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian

19

(12)

perseroan. Orang-orang yang akan menjalankan, mengelola, dan mengurus

perseroan ini, dalam UUPT disebut dengan istilah organ perseroan. Dalam UUPT

dapat kita ketahui bahwa organ perseroan yang bertugas melakukan pengurusan

perseroan adalah direksi.

Pengertian Direksi menurut UUPT dalam Pasal 1 ayat (5) adalah :

“Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan

perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik

di dalam maupun di luar Pengadilan, sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”

Setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung

jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Hal ini

membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab

secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan

tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan.

F. Metode Penulisan

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuannya lebih terarah dan

dapat dipertanggungjawabkan maka digunakan berbagai metode. Adapun metode

penelitian hukum yang digunakan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1) Tipe Penelitian

Tipe penelitian bahan hukum yang digunakan adalah metode penelitian

hukum normatif. Dengan pengumpulan bahan dilakukan melalui studi

(13)

data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

antara lain berasal dari buku-buku perpustakaan, artikel-artikel, dan peraturan

perundang-undangan, juga sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat

dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini dengan cara membaca, menafsirkan,

membandingkan serta menerjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan

dengan skripsi ini.

2) Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yakni metode

penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan

perundang-undangan (statuted approach). Pendekatan perundangan-undangan

dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

3) Bahan Hukum

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum

mulai dari Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(UUPT), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (UUK dan PKPU), KUHPerdata, KUHPidana, dan

KUHD. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku dan pendapat para

Sarjana. Bahan hukum tersier (bahan hukum penunjang) adalah bahan hukum

yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum

(14)

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya

harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan menjadi salah satu

metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan

untuk mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini.

Keseluruhan skripsi ini meliputi 5 bab yang secara garis besar isi dari bab per bab

diuraikan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di

dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi,

perumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan

manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,

metode penulisan, yang kemudian diakhiri oleh sistematika

penulisan.

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN

UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

Merupakan suatu bab yang membahas tentang Pengertian

Kepailitan, Syarat-syarat untuk dapat Dinyatakan Pailit, dan

Perseroan Terbatas yang dapat Dipailitkan, dan Akibat Hukum

Kepailitan dalam Perseroan Terbatas.

BAB III PERSEROAN TERBATAS DAPAT DIPAILITKAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang Pengaturan Direksi menurut

(15)

Kedudukan Direksi sebagai Pengurus dalam Perseroan Terbatas,

Kewajiban dan Kewenangan Direksi, dan Pertanggungjawaban

Direksi sebagai Pengurus Perseroan Terbatas.

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI ATAS KESALAHAN

YANG MENGAKIBATKAN PERSEROAN PAILIT

Dalam bab ini merupakan bab paling pokok dari penulisan skripsi

ini, sebab dalam bab ini diuraikan mengenai Pertanggungjawaban

Direksi Atas Kesalahan yang Mengakibatkan Perseroan Pailit.

BAB V PENUTUP

Dalam Bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari bab-bab yang

telah dibahas sebelumnya yang merupakan jawaban dari

permasalahan yang dikemukakan dan saran-saran dari jawaban

permasalahan tersebut yang mungkin berguna bagi orang-orang

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal stabilitas Beta, yang dilihat dari deviasi standar yang makin kecil, dari data Beta mentah tampak bahwa deviasinya agak meningkat seiring dengan periode estimasi yang

yang berjudul “ Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Dalam Membentuk. Kepribadian Peserta Didik (Studi Kasus di SDI Sunan Giri

kemandirian belajar dalam kategori cukup. Pada siklus I kemandirian belajar siswa dalam kategori rendah sebanyak 1 orang, kemandirian belajar dalam kategori cukup sebanyak 6 orang

mengelolah aktiva, kewajiban kepada kreditur, dan kekayaan bersih dari koperasi, (2) Laporan Perhitungan Sisa Hasil Usaha yang menggambarkan kegiatan koperasi dan hasil operasi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 60,6% responden merasa tidak puas terhadap pekerjaannya, sebesar 50,7% responden menyatakan kepemimpinan dalam kategori baik,

Memberi tahapan dalam berdakwah juga pernah dilakukan Nabi Muhammad saw ketika mengutus salah satu sahabatnya yang bernama Mu’āż bin Jabāl untuk berdakwa di negeri

Hal ini karena biaya proyek termasuk kecil, sedangkan perbaikan yang dilakukan mampu meningkatkan kinerja dari irigasi, sehingga terjadi peningkatan hasil produksi

Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual