• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK) (Jurnal Penelitian)

Oleh:

MANGGARA GUIN TRICAHYO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(STUDI KASUS NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK)

Oleh:

Manggara Guin Tricahyo, Sunarto, Budi rizki Husin Email: manggara_guin@yahoo.com

ABSTRAK

Putusan hakim adalah bersifat sangat penting, karena didalamnya terdapat sebuah nilai yang dapat bersentuhan langsung dengan hak-hak asasi manusia. Sehubungan dengan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan permasalahan : Apakah putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK ini sudah sesuai dengan syarat-syarat formil dan materiil sebagaimana yang dituangkan di dalam KUHAP dan Apakah akibat hukum atas putusan No. 281/Pid.B/2013/PN.TK apabila tidak memenuhi syarat-syarat formil dan materiil. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa : Putusan Hakim harus sesuai dengan syarat materiil dan formil berdasarkan KUHAP, karena Perbedaan unsur dalam pasal yang digunakan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa dengan dakwaan yang di berikan penuntut umum akan berakibat terhadap putusan yang tidak berdasarkan bukti-bukti persidangan, sehingga batal demi hukum dan berpotensi terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia. Akibat hukum atas putusan yang tidak memenuhi syarat-syarat formil dan materiil adalah batal demi hukum, karena tersurat dalam KUHAP bahwa setiap putusan hakim hendaknya memuat norma Pasal 197 ayat (1) KUHAP, agar putusan tersebut memiliki kedudukan hukum yang kuat. KUHAP juga memberi ketentuan ketika sebuah putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada maka ia dianggap batal demi hukum.

(3)

ANALYSIS JURIDICAL OF VERDICT WHO LEGALLY BINDING FOR CRIMINAL OFFENSE NARCOTICS

(CASE STUDY: NO. 281/Pid.B/2013/PN.TK)

By

Manggara Guin Tricahyo, Sunarto, Budi rizki Husin Email: manggara_guin@yahoo.com

ABSTRACT

The Verdict is very important, because in it there is a value who may come into direct contact with human rights. With respect to the description above, researcher interested to do research by the problems : Is this verdict No. 281/Pid.B/2013/PN.TK has been accordance with the terms formal and material as stated in KUHAP and Is the legal consequences of verdict No. 281/Pid.B/2013/PN.TK if it does not comply the terms of formal and material. The results of research and discussions showed that : the verdict should be in accordance with terms of material and formal based KUHAP, because differences element in article who judges used the imposition of criminal against a defendant with indictment given public prosecutor will result in the decision is not based on trial evidence, so that null and void and the potential for Human Rights violations. Legal consequences as decision that does not comply the terms of the formal and material is null and void, because contained in KUHAP that each judge's ruling there should be the norm in article 197 paragraph (1) KUHAP, that the decision have a strong legal position. KUHAP also provides provisions when a decision which is not in accordance with the existing provisions then it is considered null and void.

(4)

I. PENDAHULUAN

Salah satu proses penegakan hukum adalah terdapat pada institusi pengadilan. Institusi pengadilan berperan untuk mengadili, dan kemudian memutuskan tentang bersalah atau tidaknya seseorang yang disertai dengan penetapan pertanggung jawaban pidananya. Disini diperlukan keahlian, integritas, dan kecermatan hakim dalam memutuskan sebuah perkara.

Keahlian yang dimiliki oleh Hakim yang bersentuhan langsung dengan Hak Asasi Manusia adalah kecermatan. Hakim harus memiliki kecermatan yang tinggi dalam menganalisis setiap fakta per sidangan yang ada, untuk kemudian disimpulkan menjadi sebuah putusan. Kecermatan hakim juga diperlukan dalam membuat sebuah putusan, sebab putusan hakim akan berdampak besar bagi hak-hak seorang terpidana. Dalam memutuskan sebuah perkara, hakim harus cermat atas segala tuntutan jaksa dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Hakim diberikan kebebasan yang bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya dan tidak terlepas dari apa yang diperintahkan oleh undang-undang. Hakim juga memiliki hak untuk menggali berbagai informasi, baik yang bersumber kepada proses hukum sebelumnya, maupun atas dasar pengetahuan dan keyakinan nya.

Putusan hakim adalah bersifat sangat penting, karena didalamnya terdapat sebuah nilai yang dapat bersentuhan langsung dengan hak-hak asasi manusia. Pada prinsipnya hanya putusan hakim yang mempunyai

kekuatan hukum tetap yang dapat dijalankan. Suatu putusan itu dapat dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila dikeluarkan melalui sebuah persidangan yang terbuka dan transparan dan tidak adanya upaya hukum lain yang diajukan.

Terkait dengan putusan hakim yang memiliki pengaruh besar terhadap hak asasi seseorang, maka penulis merasa perlu untuk meneliti sebuah putusan dengan No : 281/Pid.B/ 2013/PN.TK. Dalam putusan ini, menurut penulis nampak perbedaan antara putusan hakim dengan tuntutan yang diajukan jaksa berdasarkan fakta-fakta yang ada. Padahal KUHAP telah mengatur ketentuan-ketentuan mengenai kerangka putusan hakim yang harus diikuti apabila hendak mendapatkan putusan yang legitimate.

(5)

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Putusan Hakim harus sesuai dengan syarat-syarat formil dan materiil berdasarkan KUHAP.

Sistem penegakkan hukum terdiri atas substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Substansi hukum adalah aturan-aturan yang mengatur perbuatan apa yang boleh atau dilarang dengan disertakan sanksi bagi yang melanggar. Disini hukum dapat ditinjau dari sisi living law (hukum berjalan) dan positifisme hukum. Living law adalah sebuah kesepakatan luhur dari sekelompok masyarakat atas norma-norma yang ingin ditegakkan dalam masyarakat, sedangkan positifisme hukum adalah sebuah paham yang menginginkan hukum dibuat secara tertulis oleh pejabat yang berwenang.

Struktur hukum adalah institusi penegak hukum yang berfungsi untuk memastikan bahwa hukum berjalan sebagaimana semestinya dan diberikan hak untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan Undang-undang. Sedangkan budaya hukum adalah sikap masyarakat yang tunduk dan patuh terhadap hukum yang diberlakukan dengan semata-mata untuk ketertiban dan keadilan bersama-sama.

Penegakkan hukum berupa penjatuhan pidana terhadap seseorang selalu terikat pada sistem dan aturan yang melibatkan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak-pihak yang dimaksud adalah tersangka, terdakwa, penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, dan penasihat hukum.

Secara normatif kewenangan penyidik termaktub dalam Pasal 7 KUHAP ayat (1). Proses penegakkan hukum setelah berjalan di penyidik maka beralih kepada penuntut umum (Institusi Kejaksaan). KUHAP memberi uraian pengertian jaksa dan penuntut umum pada pasal 1 butir 6a dan b serta pasal 13. Ditegaskan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 6a). Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim (Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13). Rumusan pengertian itu ditegaskan kembali dalam Pasal 1 butir (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI.

Setelah melewati proses administrasi yang dilakukan oleh penuntut umum dan penyidik terkait dengan fakta-fakta yang didapatkan maka penuntut umum membuat surat dakwaan guna melakukan proses penuntutan terhadap terdakwa1. Hakikatnya surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pemeriksaan bagi hakim didalam sidang pengadilan. Begitu pentingnya surat dakwaan ini sehingga KUHAP mengancam apabila tidak memenuhi persyaratan

1

(6)

tertentu maka batal demi hukum (Pasal 143 ayat (3) KUHAP).

Selengkapnya Pasal 143 KUHAP, yang menegaskan sebagai berikut : 1) Penuntut Umum melimpah kan

perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 2) Penuntut Umum membuat surat

dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : a) Nama lengkap, tempat lahir,

umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka.

b) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri.

Pada proses persidangan, penuntut umum berkewajiban untuk membuktikan fakta-fakta yang termuat dalam surat dakwaan agar nantinya menjadi pertimbangan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Setelah dimulainya proses pengadilan, maka dimulai pula tugas

seorang hakim yang pada akhirnya akan bermuara kepada pemberian putusan yang adil terhadap seseorang yang telah disangkakan melakukan perbuatan pidana. Wewenang hakim antara lain dapat disimak dalam KUHAP, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

KUHAP menyatakan bahwa hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8). Adapun yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 9). Tampak jelas bahwa wewenang hakim utamanya adalah mengadili yang meliputi kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana. Dalam hal ini, pedoman pokoknya adalah KUHAP dan materi tuntutan yang dilandasi asas kebebasan, kejujuran, dan tidak memihak.

(7)

Putusan pemidanaan terjadi, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 193 ayat 1 KUHAP). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan. Terbukti melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim yakin terdakwa yang bersalah melakukan. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Tujuan undang-undang mengatur demikian adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang (Penjelasan Pasal 183 KUHAP).

Sebagaimana paham negara hukum modern bahwa hukum adalah kaidah yang tertulis dan putusan hakim bersifat kongkrit dan individual maka dalam menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa berdasarkan keyakinan hakim harus dituangkan dalam sebuah putusan berdasarkan aturan KUHAP pasal 197 ayat (1) sebagai berikut :

a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN kelamin, kebangsaan, tempat

tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.

c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

e) Tuntuan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan. f) Pasal peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. g) Hari dan tanggal diadakannya

musyawarah majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i) Ketentuan kepada siapa biaya

perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

j) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu.

k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

(8)

Menyimak rumusan muatan surat pemidanaan ternyata ada sepuluh poin, yang harus dipenuhi. Kesepuluh poin tersebut, apabila tidak dipenuhi mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP).

Adapun ketentuan yang harus dipenuhi meliputi huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l, sedangkan yang dapat disimpangi adalah huruf g dan i. Ditentukan pula, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum, kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h (Penjelasan Pasal 197 ayat (2).

B. Akibat Hukum Atas Putusan Yang Batal Demi Hukum.

Ketentuan tersurat didalam KUHAP bahwa setiap putusan hakim hendaknya memuat norma Pasal 197 ayat (1) KUHAP, agar putusan tersebut memiliki kedudukan hukum yang kuat. KUHAP juga memberi ketentuan ketika sebuah putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada maka ia dianggap batal demi hukum.

Putusan hakim No. 281/Pid.B/2013/PN.TK atas terdakwa Wahyudi Bin Rauf Mustofa yang telah diputus bersalah dan dijatuhi hukuman selama 4 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000,- (Delapan Ratus Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan, namun tidak mencantumkan norma yang diatur dalam pasal 197 ayat (1) huruf F dan

H yakni “Pasal peraturan perundang -undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa” dan “Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang

dijatuhkan”, maka secara hukum

memiliki konsekuensi sebagai berikut :

1. Pasal 197 ayat (1) KUHAP, meyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat antara lain huruf F. Jadi jika seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara maka pasal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhi putusan pemidanaan haruslah sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum dengan memperhatikan bukti dan fakta persidangan serta keyakinan hakim atas perbuatan pidana seorang terdakwa.

(9)

2. Pasal 197 ayat (1) huruf H, memerintahkan putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Jika kita berpedoman pada ketentuan ini, maka telah jelas putusan tersebut bertentangan dengan KUHAP karena hakim memutus seorang terdakwa dengan unsur pasal yang berbeda dengan dakwaan jaksa. Sesuai dengan dakwaan jaksa, terdakwa Wahyudi dituntut dengan menggunakan pasal 111 ayat (1) UU RI No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika “setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam Bentuk Tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah)”, sedangkan hakim memutuskan dengan menggunakan pasal 111 ayat (1), akan tetapi dengan klausul jenis Narkotika Bukan Tanaman. Padahal kita semua tahu bahwa ganja adalah Narkotika Jenis Tanaman.

3. Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf F dan H tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. Putusan pengadilan dikatakan batal demi

hukum , artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada. Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum sehingga dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh jaksa sebagai ekekutor putusan pengadilan.

4. Oleh karena putusan yang batal demi hukum dalam perkara Wahyudi adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (tidak dilakukan upaya hukum lainnya), maka tidak ada upaya hukum apapun baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, karena putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Namun mengingat bahwa putusan tersebut adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf F dan H KUHAP maka Jaksa tidak dapat melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut. Jika jaksa memaksakan pelaksanaan putusan yang batal demi hukum tersebut, maka jaksa telah melakukan tindakan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia yakni melanggar pasal 28D ayat (1) Undang-undang dasar 1945 yang

menyatakan “setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

(10)

hukum bukan berarti tidak ada akibat hukum terhadapnya (terpidana). Namun, menurut penulis pendapat seperti itu adalah keliru sebagaimana tertera dalam Pasal 76 KUHP yang berbunyi “ Kecuali dalam hal putusan hakim dapat diubah, orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim di Indonesia dengan putusan yang telah tetap”. Ketentuan pasal ini dimaksudkan guna memberikan kepastian kepada masyarakat maupun kepada setiap individu agar menghormati putusan tersebut. Prinsip yang dimuat dalam pasal 76 KUHP tersebut dikenal dengan ne bis in idem, yang artinya tidak boleh suatu perkara yang sama yang sudah diputus, diperiksa, dan diputus lagi untuk kedua kalinya oleh Pengadilan.

5. Demi kepastian hukum, putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula tidak pernah ada, tidak membawa akibat hukum dan tidak dapat dieksekusi2. Karena itu, jika jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum dapat digolongkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asasi negara hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang salah satu cirinya dalah mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi asas legalitas. Tindakan jaksa yang memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum juga

Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm 78.

Manusia yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif.

6. Jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum, maka korban eksekusi itu berhak untuk melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena jaksa tersebut telah melanggar pasal 333 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja melawan hukum, merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Jaksa tersebut juga dapat dituntut berdasarkan pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Selain pendapat diatas, menurut penulis terdapat celah hukum lain yang dapat menghapuskan hukuman bagi terpidana sebagaimana menurut KUHAP hukuman terpidana adalah batal demi hukum. Langkah ini menurut penulis dapat dilakukan mengingat hukuman yang telah dijalankan oleh terpidana telah berjalan dan nampaknya kurang mendapat perhatian dari aparat penegak hukum khususnya Jaksa selaku eksekutor putusan Hakim. Langkah ini dapat dilakukan, ketika jaksa tidak mengindahkan prinsip batal demi hukum.

(11)

Presiden berdasarkan Undang-undang. Yang dimaksud dengan amnesti pada dasarnya ialah hak yang diberikan kepada Presiden untuk menghapuskan hak penuntutan dari penuntut umum dan penghentiannya dan sekaligus penghapusan hak (menyuruh) melaksanakan pidana dari penuntut umum (atau kewajiban pelaksanaan pidana dan terpidana) terhadap pelaku dari suatu tindak pidana demi kepentingan hak asasi dan Negara.

Kesalahan seperti ini juga berdampak kepada hak asasi manusia, karena putusan hakim merupakan kehendak negara atas perampasan hak-hak dari seorang warga negara. Putusan hakim, adalah sesuatu yang dibacakan oleh hakim dalam sebuah persidangan formal, sehingga seketika itu juga putusan dapat dijalankan. Sekarang yang menjadi permasalahan adalah bagaimana mungkin putusan tersebut dapat dijalankan, sedangkan hakim salah dalam memutuskan. Dakwaan jaksa dan bukti persidangan secara jelas membuktikan bahwa terpidana menggunakan narkoba jenis tanaman. Namun, hakim memutusnya dengan kesalahan bahwa menggunakan narkoba bukan jenis tanaman. Bagi penulis, disinilah letak pelanggaran terhadapa hak asasi, karena seorang warga negara telah dihukum bukan berdasarkan kebenaran formil yang ada. Kelainan seperti ini apabila dianggap sebagai hal yang biasa akan menjadi preseden buruk terhadap penegakkan hukum di Negara ini.

III. SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf F, bahwa putusan hakim hendaknya memuat pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terpidana. Hal ini sama saja dengan kesimpulan bahwa seorang terpidana yang diadili dan diputus bersalah berdasarkan pertimbangan hakim harus sesuai dengan dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum dengan memperhatikan bukti dan fakta persidangan serta keyakinan hakim atas perbuatan pidana seorang terpidana.

(12)

tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum. Dengan demikian putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Wahyu, 1982, Berbagai Masalah Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung.

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode

Penelitian Hukum, Mandar

Maju, Bandung.

Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.

E.Y. Kanter, 1982, Asas-asas Hukum

Pidana di Indonesia dan

Penerapannya, Gunung Mulya, Jakarta.

E.Y. Kanter, 2001, Etika Profesi Hukum, Storia Grafika, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1984, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghali Indonesia, Jakarta.

Harahap, Yahya, 2001, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta.

Leden Marpaung, 2008, Asas-Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Mulyadi, Lilik, 2002, Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nasution, Bahde Johan, 2008, Metode

Penelitian Hukum, Mandar

Maju, Bandung.

Oemar Seno Adji, 1985, Peradilan

Bebas Negara Hukum,

Erlangga, Jakarta.

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia UI-Press, Jakarta.

Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan, maka kesimpulan pada penelitian ini adalah : (1) Untuk dimensi percaya diri berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

Pembelajaran inovatif yang relevan dengan kondisi sekarang ini adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) , yaitu pembelajaran yang menekankan

This course will cover the basic concepts of semiotics including the nature of signs, models of signs, the signification process, typology of signs, value

 Dibutuhkan input maupun output atau library untuk Arduino yang secara tidak menentu karena disesuaikan dengan kondisi atau permintaan dari user atau orang –

Bentuk penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK).Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui observasi, tes, wawancara, dan dokumentasi.Teknisanalisis

[r]

In general, the teaching and learning process ran well. The students were active in following the activities in the teaching learning process. For example they

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini