Nama : Fitria Nurhaliza
Kelas : A
NIM : E1A016013
LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. ISI BUKU
Judu Buku : Lembaga Negara Independen Penulis : Zainal Arifin Mochtar
Penerbit : Rajawali Pers Tahun Terbit : 2016
Jumlah Buku : 242 halaman
Ukuran : 23 cm
Lembaga Negara di Indonesia sudah di disukusikan oleh beberapa pakar, bahkan beberapa buku yang sudah terbit. Buku ini membedah beberapa aspek. Menurutnya, demokrasi konstitusional diharapkan memunculkan pemerintahan efektif. Perkembangan lembaga negara dimaksudkan sebagai proses check and balances, pemenuhan hak-hak individu dan penghindaran tirani otoritarian. Hal itu merupakan perkembangan pemikiran trias politika yang dikemukakan oleh Montesquie yang kemudian dikembangkan oleh
Cindy Skatch dalam Newest Separation Power.
Andrew Heywood (2000) menerjemahkan konstitusionalisme dalam dua sudut pandang, pemaknaan sempit dan luas. Menurut Heywood, dalam ruang lingkup yang sempit, konstitusionalisme dapat ditafsirkan sebatas penyelenggaraan Negara yang dibatasi oleh undang-undang dasar. Artinya, suatu Negara dapat dikatakan menganut paham konstitusionalisme jika lembaga-lembaga Negara dan proses politik dalam Negara tersebut. Dalam pemaknaan yang lebih luas, konstitusionalisme yaitu perangkat nilai dan manifestasi dari aspirasi politik warga Negara yang merupakan cerminan dari keinginan untuk melindungi kebebasan sebuah mekanisme pengawasan terhadap kekuasaan pemerintahan.
Ada delapan ciri Lembaga Negara Independen di Indonesia, menurut Zainal Arifin Mochtar. Adapun, ciri-cirinya, yaitu bukan cabang kekuasaan utama, pemilihan pimpinan dengan seleksi, pemilihan dan pemberhentian berdasar aturan, proses deliberasi kuat, kepemimpinan kolektif dan kolegial, kewenangan devolutif untuk self regulated, dan legitimasi dari undang-undang.
Kehadiran banyak lembaga Negara independen tentunya memberikan serangkaian implikasi dalam sistem ketatanegaraan dan juga penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Pertama, implikasi substantif yuridis seperti, implikasi pada posisi institusional lembaga Negara independen, implikasi pada independensi institusional lembaga Negara independen, implikasi hubungan lembaga Negara independen dengan lembaga Negara lainnya, implikasi sengketa kewenangan antar-lembaga Negara, implikasi pengawasan kelembagaan terhadap lembaga Negara independen, implikasi kebutuhan penguatan daya jelajah kelembagaan, dan implikasi pada aturan yang dikeluarkan oleh lembaga Negara independen. Permasalahan yang terkait pada implikasi administrative yuridis setidaknya dapat dilihat dalam nomenklatur kelembagaan, persoalan pembiayaan lembaga Negara, perbedaan dalam hak protokoler dan keuangan, status pegawai dan tenaga pendukung, masalah pada proses pengambilan keputusan yang bermodel kolegial-kolektif, dan kualitas legislasi dan uji materi atas peraturan perundang-undangan yang mendasari lembaga-lembaga Negara independen. Beberapa permasalahan dalam implikasi politis yang muncul terhadapan kehidupan politik kenegaraan. Terdapat empat implikasi politis yang sifatnya langsung dari keberadaan lembaga-lembaga Negara independen, seperti implikasi politis dalam pemilihan komisioner, ketegangan hubungan dengan pemerintah, ketegangan hubungan dengan DPR, dan ketegangan hubungan dengan Mahkamah Agung. Sejumlah permasalahan khususnya kerangka hukum, telah bermunculannya banyak persoalan baru. Permasalahan tersebut dipaparkan dua hal yang terkait dengan penataan kembali kelembagaan lembaga-lembaga Negara independen. Pertama, beberapa usulan penataan yang pernah mengemuka, terutama dari beberapa lembaga, dan kedua, tawaran penataan kelembagaan yang paling mungkin untuk dilakukan.
Semua permasalahan yang mengemuka sebagai implikasi dari kehadiran lembaga-lembaga Negara independen. Persoalan kecentang-perenangan keberadaan lembaga-lembaga Negara independen, diidentifikasi beragam usulan penataan, termasuk tahapan-tahapannya sebagai berikut:
Penataan lembaga-lembaga Negara independen yang sudah ada dan upaya menetapkan landasan pembentukannya ke depan, perlu dilakukan moratorium atau penundaan sementara pembentukan lembaga-lembaga Negara yang baru. Periode ini digunakan untuk mengkaji, memetakan dan mengorganisasi, termasuk mengevaluasi keberadaan lembaga yang sudah ada, serta menyiapkan kebijakan besar penataan kelembagaan lembaga-lembaga Negara independen.
Dalam klausula pengaturannya perlu dibuatkan mekanisme penggabungan antar lembaga Negara yang akan dibentuk. Bisa juga dibuatkan mekanisme perubahan cepat melalui mekanisme legislative review. Pada kondisi konsep penataan dan cetak biru lembaga-lembaga Negara, maka harus segara dilakukan legislative review guna penyesuaian dengan kerangka besar yang dihasilkan dalam masa moratorium. Moratorium diperlukan untuk memberi kesempatan kalkulasi ulang keberadaan lembaga Negara independen. Kemudian dari konsep moratorium ini juga perlu dipikirkan apa yang akan menjadi landasan hukumnya, sehingga mengikat komitmen para pengambil kebijakan.
2. Penyusunan Cetak Biru Kelembagaan
Keberadaan cetak biru kelembaagaan akan menjadi pra-syarat yang sangat penting dalam menentukan strategi sekaligus arah penataan kembali lembaga-lembaga Negara independen. Sebelum melakukan penyusunan cetak biru kelembagaan, beberapa permasalahan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu:
Pertama, pada wilayah yuridis harus mampu menjawab penempatan posisi yang sesuai dari lembaga-lembaga Negara independen dalam struktur ketatanegaraan. Selain itu harus mengatasi persoalan yang mungkin timbul akibat kemungkinan tergerusnya keindependenan dari suatu lembaga.
Ketiga, kaitannya dengan permasalahan politis yang hadir bersamaan dengan kemunculan lembaga Negara independen, khususnya dalam proses pemilihan komisioner atau anggota lembaga-lembaga Negara independen. Khususnya pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, DPR sebagai pelaku kekuasaan legislative, dan MA yang memegang kekuasaan yudikatif.
Dalam rangka penyusunan cetak biru kelembagaan beberapa mekanisme kerja atau tahapan yang dapat di dorong dan diaplikasikan, yaitu:
a) Penyelarasan dengan Tujuan Negara b) Penataan Kembali Penanam Lembaga
c) Penyempurnaan Sistem dan Mekanisme Rektrutmen d) Penataan Aturan yang Dikeluarkan
e) Penataan Sistem dan Status Kepegawaian f) Pola Hubungan dengan Lembaga Lain
g) Penataan Perwakilan dan/atau Komisi Daerah h) Sifat Kolegialitas dan Kolektivitas
i) Pengawasan Terhadap Lembaga Negara Independen 3. Dasar Hukum Penataan Kelembagaan
Penataan kelembagaan yang dilakukan pada saat dilakukannya moratorium tentu membutuhkan basis legitimasi hukum yang kuat dalam kerangka melakukan perbaikan yang bisa mengikat seluruh komponen Negara.
Pilihan untuk memberikan dasar hukum yang kuat dapat dilakukan secara khusus membentuk undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai penataan kelembaan Negara.
Bentuk peraturan perundang-undangan lainnya dapat dipilih sebagai basis hukum dalam penataan kelembagaan lembaga-lembaga Negara independen ialah melalui Ketetapan MPR. Akan tetapi, dengan format Tap MPR, setidaknya akan menyiratkan adanya kesepakatan politik dari partai-partai politik di DPR dan kesepakatan daerah yang tersirat dari representasi DPD, untuk melakukan penataan kelembagaan.
perundang-undangan ini ke depannya juga akan menjadi platform dasar dalam pembentukan lembaga-lembaga Negara independen.
4. Pilihan Waktu Pelaksanaan Penataan Kelembagaan
Pilihan waktu yang mungkin tepat untuk mengimplementasikannya dengan mendekatkan pada agenda ketatanegaraan atau secara khusus menciptakan agenda itu. Pilihan pertama misalnya melalui penyelenggaraan amandemen kelima Undang-Undang Dasar. Agenda amandemen ini menjadi sangat strategis dalam konteks pelaksanaan penataan, sebab melalui proses ini perbaikan menyeluruh dapat dilakukan. Semua permasalahan yang sifatnya mendasar terkait dengan keberadaan dan kebutuhan lembaga-lembaga Negara independen bisa diperdebatkan dan dirumuskan kembali secara lebih terarah di dalam forum perubahan UUD.
Apabila amandemen Undang-Undang Dasar sulit terlaksana, mengingat beratnya syarat untuk melakukan perubahan konstitusi, sebagaimana diatur oleh UUD 1945, maka pilihan kedua untuk melakukan penataan adalah dengan melangsungkannya pasca-pemilihan umum. Oleh karenanya, ini dapat digunakan untuk membangun kesepahaman politik bersama antara legislatif dan pemerintah terpilih guna melakukan penataan kembali kelembagaan Negara.
Kelebihan dari buku ini, menurut saya bukunya lengkap dan mendalam dinamika lembaga Negara independen di Indonesia. Mulai dari kerangka konseptual lembaga negara independen, latar belakang kelahiran, dan implikasinya terhadap kehidupan ketatanegaraan. Dan berhasil menawarkan usulan penataan kembali lembaga-lembaga Negara independen.
BAB II
PERMASALAHAN
2.1 Berdasarkan review buku diatas, maka yang menjadi permasalahan yaitu:
1. Bagaimana Komisi Pemilihan Umum sebagai komisi Negara independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indoenesia sebagai lembaga Negara independen?
BAB III
PEMBAHASAN
1. Komisi Pemilihan Umum sebagai komisi Negara independen dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
Lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Kementerian Negara, Pemerintah Daerah, Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan Pertimbangan Presiden. Namun pengaturan lembaga-lembaga negara tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut (termasuk Komisi Pemilihan Umum), harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi negara) sebagai lembaga utama (main organs). (dapat dilihat gambar di bawah).
Kehadiran lembaga negara bantu (state auxiliary bodies), baik yang sifatnya independen (independent regulatory agencies) maupun sebatas sampiran negara (state auxiliary agencies) tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat Konstitusi (constitutionally entrusted power) sebagaimana tersebut di atas, tetapi ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang (legislatively entrusted power) ataupun keputusan presiden.
Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) merupakan lembaga negara yang menyelenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal 22E Konstitusi UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik
4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan
5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri
6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.1
Ketentuan lebih lanjut dari amanat Pasal 22 UUD 1945 diatur dalam UU No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu.
Pasal 1 UU No.12 Tahun 2003 “KPU adalah lembaga yang bersifat Nasional, tetap dan mandiri untuk menyelenggarakan pemilu”. Bertanggungjawab atas penyelenggaran pemilu laporan tahapan-tahapan pemilu disampaikan ke Presiden dan DPR. Tugas & Wewenang:
1) Merencanakan Pemilu.
2) Menetapkan Organisasi & Tata Cara Pemilu
3) Mengoordinasikan, Menyelenggarakan & Mengendalikan Pemilu 4) Menetapkan peserta pemilu
5) Menetapkan daerah pemilihan & jumlah kursi
6) Menetapkan waktu, tanggal tata cara pelaksanaan kampanye & pemungutan suara
7) Menetapkan hasil & mengumumkan calon terpilih 8) Melakukan evaluasi & laporan
9) Melaksanakan tugas & kewenangan diatur UU
1 Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:PT RajaGrafido Persada), hlm.
Yang kemudian diatur lebih lanjut dengan beberapa undang-undang, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Sebelum Pemilu 2004, KPU dapat terdiri dari anggota-anggota yang merupakan anggota sebuah partai politik berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, namun setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, maka diharuskan anggota KPU adalah non-partisan dan independen.
Artinya bahwa keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) yang diatur dalam Konstitusi dan dijabarkan lebih lanjut dengan undang-undang dikuatkan oleh pendapatnya Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa kelembagaan negara di tingkat pusat dibedakan dalam 4 (empat) tingkatan kelembagaan, yaitu:
a. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden;
b. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden;
c. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;
d. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Pejabat di bawah Menteri.2
Adapun kewajiban Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah:
1) Memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan serta guna menyukseskan Pemilu
2 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
2) Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan
3) Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan
4) Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat
5) Melaporkan penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR dan DPD
6) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN dan melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.3
Hal ini menunjukkan dan menegaskan bahwa keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) berada pada tingkatan kelembagaan yang kuat dikarenakan pembentukaannya berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang yang artinya kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kelembagaan negara bantu (state auxiliary bodies) yang independen (independent regulatory agencies) pada tingkatan Konstitusi, dengan catatan bahwa perlakuannya tidak bisa disamakan dengan lembaga negara utama (main state organs) seperti yang dijelaskan di atas. Sehingga kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara ditinjau menurut fungsi kelembagaan merupakan lembaga penunjang (auxliary state organ) dalam ranah kekuasaan eksekutif yang secara hierarkis kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan organ lapis kedua (lembaga negara bantu (state auxiliary bodies) yang sifatnya independen (independent regulatory agencies). Lihat gambar berikut :
Konstruksi logika hukumnya dari perspektif Hukum Tata Negara adalah sebagai berikut :
1. Landasan filosofis, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) tentunya dapat dilihat dari nilai-nilai
3 Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta:UII Pres
Pancasila baik sebagai filsafat hidup (Weltanschaung, Volksgeist), maupun sebagai dasar negara dan ideologi negara, ideologi nasional yang berfungsi sebagai jiwa bangsa dan jati diri nasional. Esensinya bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu dari kesejarahan tetap diakui dan legitimate dari Tahun 1955 sampai dengan Pemilu Tahun 2014, walaupun dengan berbagai perubahan penyebutan nama.
2. Segi yuridis konstitusional diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (sebagaimana telah dijelaskan di atas) yang di dalamnya diatur cakupan mengenai kedudukan, tugas, fungsi, hubungan dan kewenangan serta pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap penyelenggaraan Pemilu.
3. Eksistensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sistem Pemilu berdasarkan UUD 1945, yaitu menyangkut problematika yang dihadapi KPU di Indonesia, konstruksi kewenangan dan tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis, kontribusi keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menunjang upaya pelaksanaan Pemilu menuju terwujudnya kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis.
4. Sistem hirarkis Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota yang diatur secara tegas dalam peraturan perundangan (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum) yang menguatkan sistem kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara nasional, mandiri, non-partisan dan independen.
2. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indoenesia sebagai lembaga Negara independen?
kemudian ada pula yang menyebutnya lembaga negara sampiran, lembaga negara bantu, ataupun komisi negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman. Hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, seperti apa yang pernah dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sebuah putusan yang menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kelahiran lembaga-lembaga negara baru dalam berbagai bentuk merupakan sebuah konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances.
Checks and balances antara komisi ncgara independen dan tiga poros kekuasaan asli (legislatif,cksekutif, dan yudikatif) menunjukkan bahwa:
a) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat membatasi dan menyeimbangi komisi negara independen, sedangkan Presiden dan Mahkamah Agung kurang berpengaruh dalam hal membatasi dan menyeimbangi komisi negara independen.
b) Cabang kekuasaan eksekutif (Presiden) merupakan ndin target dari pembatasan dan penyeimbangan komisi 11 negara independen, sehingga komisi negara independen dalam konteks checks and balances sangat membatasi Presiden dalanl hal-hal tenentu c) Mahkamah Konstitusi tidak tersentuh pembatasan dan penyeimbangan dari komisi
negara independen begitu pula dengat Parlemon Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.
berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang. Jimly Asshiddiqie menyatakan, berdasarkan “Teori Norma Sumber Legitimasi” yaitu alat-alat perlengkapan Negara di kelompokkan menurut bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau pemberi kewenangan kepada lembaga yang terkait. Di tingkat pusat pengelompokkan lembaga-lembaga Negara dalam beberapa pembagian salah satunya ada yang terbagi atas “lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang” yang di mana proses pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga ini melibatkan suatu peran DPR dan Presiden. Oleh karena itu implikasi dari proses tersebut, dalam hal pembubaran atau perubahan bentuk dan kewenangan lembaga semacam ini juga kembali melibatkan DPR dan Presiden.4
Pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia (dalam hal ini KPK) menurut Luthfie Yazid juga dilandasi atas beberapa hal penting, yakni: pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang ada sebelumnya akibat adanya asumsi (adanya bukti) mengenai korupsi yang sistematik, mengakar dan sulit untuk diberantas;
kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang telah ada sebelumnya karena alasan-alasan tertentu atau tunduk pada kekuasaan tertentu (power); ketiga,
ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal; keempat, adanya pengaruh global yang menunjukkan kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut sebagai lembaga negara mandiri atau lembaga pengawas yang dianggap sebagai kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang sudah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki; kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.5
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang dibentuk sebagai salah satu bagian dari agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda
4 Jimly Asshiddiqie, opcit, hlm.26
5 Sirajuddii dai Wiiardi, 2015. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, (Malaig: Setara
terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitannya pada masalah keorganisasian, lalu memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi, namun dalam perkembangannya keberadaan dan kedudukan KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang membuat komisi ini terkesan menyerupai sebuah lembaga “superbody” dan berpotensi “abuse of power”. Sebagai lembaga negara yang nama nya tidak tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, KPK dianggap oleh sebagian pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional. Akibat beberapa anggapan tersebut beberapa orang sebagai pemohon mengajukan
judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, mempersoalkan eksistensi KPK dengan menghadapkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20 Undang-Undang KPK dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang Indonesia adalah Negara hukum. Mereka berpendapat bahwa ketiga pasal Undang-undang KPK tersebut bertentangan dengan konsep negara di dalam UUD 1945 yang telah menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat yang secara langsung mendapat fungsi konstitusional dari UUD 1945 yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK dan KY.
artinya undang yang bersifat khusus didahulukan keberlakunya daripada undang-undang yang bersifat umum. Yang umum dan khusus itu dapat ditentukan oleh pembuat Undang-Undang sesuai dengan kebutuhan, kecuali apabila UUD 1945 jelas-jelas menentukan sendiri. Dalam konteks ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan hukum khusus yang kewenangannya diberikan oleh UU selain kewenangan-kewenangan umum yang diberikan kepada kejaksaan dan polri. Ketiga, pembuat UU (badan legislatif) dapat mengatur lagi lanjutan sistem ketatanegaraan yang tidak atau belum dimuat dalam UUD sejauh tidak melanggar asas-asas dan restriksi yang jelas-jelas dimuat didalam UUD. Oleh sebab itu, pembuatan UU apa pun yang tidak secara eksplisit diperintah atau dilarang oleh UUD dapat dilakukan oleh legislatif untuk melaksanakan UUD itu sendiri. Dalam kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari hak legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataan yang menuntut perlunya lembaga itu hadir.
3. Perbandingan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia dengan di berbagai Negara
Di dunia ini tidak ada satupun Negara yang bebas dari perbuatan korupsi. Sebab korupsi bagian yang tidak terpisahlkan dalam sejarah perkembangan peradaban manusia dan termasuk jenis kejahatan tertua. Dapat dibedakan korupsi satu Negara dengan Negara-negara lainnya dari intensitas dan modus operandinya yang sangat tergantung pada kualitas masyarakat, adat istiadat dan sistem penegakkan hukum di suatu Negara. Usuha untuk memberantas korupsi sudah menjadi masalah global bukan lagi nasional atau regional. Gejala korupsi ada pada setiap Negara, terutama Negara yang sedang membangun sudah hampir menjadi condition sine qua non. Ada desakan dari rakyat agar korupsi diberantas habis sehingga jika perlu digunakan hukum darurat, seperti pidana yang berat, sistem Pembalikan Beban Pembuktian, pembebasan penanganan korupsi dari instansi pemerintah kepada suatu badan independen yang terjamin kredibilitasinya dan integritasnya. Upaya untuk dapat melaksanakan pemberantasan korupsi secara efektif dan efisien salah satunya adalah melalui penerapan sistem Pembalikan Beban Pembuktian dan pembentukan suatu badan atau lembaga khusus yang independen dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.
Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 20 UU No.30 Tahun 2002), dan KPK mempunyai tugas dan kewenangan (Pasal 6 UU No.30 Tahun 2002).6
Tugas KPK:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
b. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002)
Wewenang KPK:
a. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002)
f. Wewenang lain bisa dilihat dalam Pasal 12,13, dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 20027
Adapun kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak konvensional, mempersoalkan bahwa pemberian kewenangan kepada KPK untuk
6 Tumbur Ompus Suiggu,Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penegakan
Hukum di Indonesia,(Yogyakarta:Total Media), hlm.55-56
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan adalah tidak sah karena menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dituntut oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kepastian hukum menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum (lex cetra) yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan dalam pemberlakuannya. Dikatakan bahwa pemberlakuan Pasal 6 huruf c UU KPK menyebabkan munculnya pertentangan antara dua UU atau lebih yang berlaku mengikat pada saat yang sama.
Sebenarnya, ketika ternyata lembaga legislatif memberi kewenangan kepada KPK untuk dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, isi UU itu sah dan tak bertentangan dengan UU lain, sebab hubungan yang terjadi (dengan UU lain) sebenarnya hanyalah pengkhususan karena situasi atau tujuan khususnya, bukan pertentangan. Bukankah hak itu memang harus diberikan oleh UU? Akan menjadi tak sah kalau hak itu diberikan oleh lembaga lain. Kalaupun itu dianggap bertentangan dengan UU Kejaksaan atau UU Kepolisian maka masalahnya adalah ‘legislative review’ bukan ‘judicial review’. Kalau pemohon mengatakan bahwa ketentuan seperti itu dirasakan tidak menjamin kepastian hukum, justru sebaliknya dapat dikatakan pula bahwa disana ada kepastian hukum karena secara khusus KPK diberi wewenang oleh UU untuk melakukan itu. Harus diingat bahwa kedaulatan rakyat harus dilakukan menurut UUD di sini sudah dipenuhi, yakni bahwa menurut UUD hal-hal yang seperti itu diatur oleh lembaga legislative. Lembaga legislatif dapat menentukkan mana ynag umum dan mana yang khusus. Masalah-masalah lain yang dikaitkan dengan hal ini oleh Pemohon, seperti Penjelasan Umum alinea 6 UU KPK, tak relevan untuk dipersoalkan karena hal itu menyangkut persoalan pelaksanaan oleh KPK terhadap Mulyana W. Kusumah, bukan soal isi Penjelasan terhadap UUD. Begitu juga soal Penjelasan Umum angka 8 UU tersebut persoalan pelaksanaan oleh KPK, bukan persoalan materi pengaturan UU terhadap UUD.8
Komisi Pemberantasan Korupsi diberbagai Negara ini membahas keberadaan komisi pemberantasan korupsi di lima Negara, antara lain:
1) Komisi Pemberantasan Korupsi Australia (ICAC New South Wales)
Lembaga independen yang bertugas memberantas korupsi di Australia khususnya Negara bagian New South Wales adalah ICAC (Independent
8 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, (Jakarta:
Commission Against Corruption). Negara bagian New South Wales dengan ibukota Sydney inilah yang mempunyai komisi anti korupsi yang lengkap, independen, dan telah berjalan dengan lancer.
ICAC didirikan berdasarkan Independent Commission Against Corruption Act Nomor 35 Tahun 1988. Undang-undang ini sudah beberapa kali diamandemen, sehingga hampir setiap tahun diamandemen sejak tahun 1989 terkecuali pada tahun 1993. ICAC beroperasi di lingkungan sektor publik New South Wales. Badan lain yang bergerak di bidang publik adalah Ombudsman dan New South Wales Auditor General (semacam BPK di Indonesia). ICAC adalah suatu komisi untuk pemeriksaan yang terfokus secara khusus pada tindak pidana korupsi. Selain melakukan penyidikan, ICAC juga bertugas untuk membantu mencegah korupsi di sektor publik dan mendidik masyarakat di sektor publik tentang pencegahan tindak pidana korupsi.
Korupsi menurut Australia (News South Wales) adalah tingkah laku oleh setiap orang (apakah pejabat publik ataukah bukan pejabak publik) yang memberi dampak menentang atau dapat memberi dampak menentang kejujuran atau pelaksanaan fungsi yang adil oleh seorang pejabat publik New South Wales atau penguasa New South Wales.
Bagaimana Australia dapar berhasil memberantas korupsi sehingga saat ini telah menjadi sebuah Negara yang paling bersih di dunia dari korupsi, telah dipaparkan oleh Peter Wilis, seorang barrister, dan Director of Transparent International Australia dalam makalahnya pada lokakarya pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia, bahwa “Semula suatu pemerintahan yang boros, membuang-buang uang dengan korupsi dan kotor. Sejumlah uang dihamburkan, gelar dan jabatan Negara diperjualbelikan. Monopoli, pajak, dan penguasaan tanah Negara dengan cara dirampas oleh penguasa yang parasit beserta krooni-kroninya”.
Australia dari kondisi yang sangat korup tersebut, dapat dilakukan perubahan dengan 6 (enam) hal berikut:
b) Pejabat publik yang jujur, netral, dan berkualitas
c) Audit dan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran pemerintah
d) Penyidikan yang independen dan pengajuan pengaduan terhadap pemerintah sendiri
e) Akses bebas kepada informasi
f) Penuntutan kejahatan yang independen dan adanya hakim yang independen, tidak bias, dan jujur.
Didukung oleh masyarakatnya yang memang sudah tertib, terbiasa taat kepada undang-undang, ditambah dengan administrasi Negara yang tertib, ditunjang oleh pegawai negeri dan pejabat publik yang professional dan berintegritas, dan dengan gaji yang memadai. Sehingga dengan dukungan kondisi demikian, fungsi ICAC New South Wales hanya merupakan alat pembersih sebagaimana pengisap debu yang membersihkan sesuatu yang tidak terlaku kotor.9
2) Komisi Pemberantasan Korupsi Hongkong (ICAC)
Permasalahan korupsi yang sangat meluas di Hongkong, terutama pada tahun 60-an dan 70-an tidak terlepas dari masalah narkotika, karena Hongkong tetap menjadi tempat transit para pengedar narkotika yang berkolusi dengan pihak kepolisian Hongkong, yang pada pucuk pimpinannya masih dijabat oleh orang-orang Inggris. Selain berkolusi dengan sindikat narkotika, polisi Hongkong juga menjadi the god father tempat perjudian dan pelacuran. Pada tahun 70-an diperkirakan 50 ton candu dan 10 ton morfin masuk ke Hongkong setiap tahunnya dari kawasan segitiga emas Thailand-Laos-Burma. Di Hongkong terdapat 80.000 orang pecandu narkotika.
Sebuah sindikat narkotika bisa sukses dan berlangsung lama jika terjalin kerja sama dengan pihak kepolisian, dan hal inilah yang terjadi di Hongkong terutama dalam tahun 60-an dan 70-an. Terjadi kewajiban setoran regular dari
sindikat narkotika kepada kepolisian untuk mengamankan operasi sindikat narkotikanya.
Setiap harinya kepolisian Hongkong menerima 10.000 dolar Hongkong dari para sindikat, selanjutnya uang itu dibagi dari atas sampai ke bawah di jajaran kepolisian secara hierarkis, dan demikian juga setoran dari kalangan sindikat perjudian dan pelacuran juga terjadi, kasiona yang memiliki omzet 600.000 dolar Hongkong per hari membayar 10.000 dolar Hongkong per hari kepada pihak kepolisian, sedangkan setoran dari kalangan pelacuran tidak terlalu besar.
Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi di Hongkong oleh ICAC Hongkong adalah disebabkan hal-hal berikut:
a) Adanya political will pemerintah, baik pada zaman colonial Inggris maupun pada zaman Hongkong SAR yang melanjutkannya dengan sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi, baik melalui cara represif maupun preventif dan pendidikan kepada masyarakat.
b) Masih terjaminnya integritas dan kejujuran para hakim pada waktu ICAC Hongkong dibentuk.
c) Adanya budget atau anggaran operasional ICAC Hongkong yang sangat besar.
d) Pemanfaatan teknologi canggih dalam melaksanakan semua kegiatan ICAC Hongkong.
e) Diikutsertakannya masyarakat dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi.
Indonesia yang ibarat kanker sudah pada posisi stadium akhir baru membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketika gejala korupsi sudah mulai menggejala di kepolisian Hongkong yang merupakan sistem yang terorganisir, dengan melakukan pungutan pada sindikat narotika, perjudian, dan pelacuran, dengan pembagian hasil yang dilakukan secara merata kepada semua jajaran kepolisian berdasarkan status jabatan dan kepangkatannya. Maka Gubernur Hongkong atau Chief Executive
segera membuat gagasan yang diajukkan kepada dewan perwakilan rakyat agar segera dibentuk komisi pemberantasan korupsi yaitu ICAC Hongkong, dan Anti Corruption Organization yang ada pada lembaga kepolisian Hongkong segera dibubarkan
Sebelum keadaan menjadi parah seperti keadaan di Indonesia saat ini, komisi pemberantasan korupsi ICAC Hongkong dibentuk dan ternyata mendapat sukses besar, sehingga banyak dicontoh oleh Negara-negara lain.10
3) Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia (BPR/Badan Pencegah Rasuah)
ACA (Anti Corruption Act) di Malaysia yang mengatur baik hukum pidana materil maupun hukum pidana formil, organisasi, wewenang, pengangkatan pejabat BPR Malaysia, wewenang penuntut umum dan juga delik lain yang dapat disidik oleh BPR Malaysia, seperti delik suap dalam Penal Code
atau KUHP Malaysia, delik kepabeanan, dan delik pemilihan umum (pemilihan raya). Juga mencampuri ketentuan tentang disiplin pegawai negeri atau pejabat publik. Meliputi sistem jaringan pencegahan korupsi dan hubungan masyarakat dalam bentuk propaganda anti korupsi secara gencar kepada masyarakat, sampai ada pengkajian Islam yang tujuannya demikian.
Terbukti bahwa pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan dengan segala daya dan cara, represif yang keras, tegas, dibarengi sistem preventif dan hubungan masyarakat yang sangat intensif, didukung oleh political will yang prima dari Pemerintah disertai dengan sumber daya manusia yang professional
dan berintegritas. Tidak kurang pentingnya adalah tersedianya anggaran yang sangat memadai untuk menunjang semua kegiatan operasional dari BPR Malaysia. Peraturannya atau ACA (Anti Corruption Act) pun sangat lengkap, walaupun dengan hanya satu undang-undang telah mampu mecakup semua hal dengan rumusan delik yang jelas, sangat keras, dan dijalankan oleh BPR Malaysia dengan konsisten.
Permasalahan dalam pemberantasan korupsi di Malaysia oleh BPR Malaysia adalah independensinya BPR Malaysia yang kurang jelas dan tegas, karena BPR Malaysia masih berada dibawah administrasi kantor Perdana Menteri Malaysia, pimpinannya diangkat oleh Yang Dipertuan Agung, dengan nasihat dari Perdana Menteri. Demikian pula halnya dengan janji ikrar atau sumpah jabatan pada waktu pejabat teras BPR Malaysia dilantik, susunan kalimatnya ditentukan oleh Perdana Menteri, sehingga janji ikrar atau sumpah itu secara psikologis BPR Malaysia harus setia kepada Pemerintah atau Perdana Menteri.
Dengan demikian, pertanggungjawabannya BPR Malaysia juga menjadi pertanyaan atau permasalahan, yaitu bagaimana mekanismenya. Berbeda dengan Australia ICAC New South Wales bertanggungjawab melalui Parliamentary Joint Committee yang ada diparlemen, begitu juga di Thailand NCCC (National Counter Corruption Commission) bertanggungjawab kepada parlemen.
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Indonesia, berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertanggungjawab kepada:
a) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerja
Menerbitkan laporan tahunan
Membuka akses informasi
Dengan rumusan Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berarti Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan pertanggungjawabannya sudah diatur secara sistematis dan jelas sehingga independensinya pun juga jelas.11
4) Komisi Pemberantasan Korupsi Singapura (CPIB/CORRUPT PRACTICES INVESTIGATION BUREAU)
Singapura adalah Negara pulau yang merupakan Negara terkecil di ASEAN, tetapi yang paling kaya dan paling makmur, aman, dan tertib. Penduduknya tidak bertambah dari factor emigrant, seperti halnya Jakarta yang setiap selesai lebaran Idul Fitri ribuan penduduk baru datang dari berbagai daerah sehingga sulit diatur dan diprediksi pertumbuhan yang berasal dari tingkat kelahiran.
Pelabuhan Singapura adalah pelabuhan nomor enam tersibuk di dunia, yang mampu melakukan bongkar muat ribuan ton setiap harinya.
Singapura didirikan oleh Thomas Stamford Raffles pada tanggal 9 Agustus 1819, sehingga SIngapura mengambil hari bersejarah itu sebagai hari kemerdekaannya, lepas dari federasi Malaysia pada 9 Agustus1965.
Walaupun Singapura tergolong Negara yang makmur, tertib, dan paling kecil korupsinya, tetapi saja pemerintah SIngapura menciptakan badan anti korupsi yang disebut CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau). Undang-undang anti korupsinya pun sudah ada sejak tahun 1960 dan telah berkali-kali dilakukan perubahan, yaitu tahun 1963, 1966, 1972, 1981, 1989, dan 1991.
Undang-undang anti korupsi Singapura adalah Prevention of Corruption Act. Undang-undang tersebut memuat hukum pidana materil dan hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Adapun rumusan delik korupsi diambil dari KUHP SIngapura tanpa diubah sanksinya menjadi lebih berat seperti undang-undang anti korupsi Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kalau Hongkong membentuk komisi pemberantasan korupsi dipicu dengan merajalelanya korupsi di kalangan kepolisian yang melindungi pengedaran narkotika, pelacuran, dan perjudian, maka SIngapura pembentukan CPIB Singapura dipicu dengan kenyataan ekonominya dengan Negara-negara luar. Dengan demikian, penyelundupan merupakan ancaman sebagai lading korupsi di kalangan bea cukai Singapura, yang telah berkembang sejak tahun 50-an.
Disamping itu, karena ada usaha keras para pemimpinnya yang dipelopori oleh Lee Kuan Yew untuk menciptakan pemerintah dan masyarakat yang taat hukum sebagai dasar untuk menuju kemakmuran.
Upaya pemberantasan korupsi di Singapura tidak terlalu gencar atau sibuk, karena masyarakat Singapura sudah tertib, kesadaran hukum rakyat Singapura sudah tinggi, serta pemerintahannya juga tertib (clean government). Disamping itu, jumlah penduduk Singapura relative sedikit, pengangguran sangat sedikit, dan pendapatan perkapita rakyat Singapura tinggi, dan hukum benar-benar ditegakkan secara konsisten.
Jadi, sama dengan di Australia yang memang sudah relative bersih dari korupsi. CPIB Singapura sebenarnya ibarat anjing penjaga (watchdog) saja, yang siap menakuti orang dengan mata yang membelalak agar orang tidak berani melakukan korupsi.
CPIB Singapura dibandingkan dengan ICAC Hongkong adalah kelemahannya kurangnya melibatkan partisipasi publik Singapura dalam memberantas korupsi, seperti melalui selebaran atau seminar yang dilakukan secara luas, intensif, dan priodik.12
5) Komisi Pemberantasan Korupsi Thailand (NCCC/NATION COUNTER CORRUPTION COMMISSION)
Thailand adalah sebuah Negara di Asia Tenggara yang berbeda dengan Negara-negara tetangganya seperti Vietnam, Laos, Kamboja, Burma, Malaysia, dan Indonesia. Karena Thailand tidak pernah dijajah oleh Negara barat.
Sebelum tahun 1975, penyidikan dan pemberantasan korupsi dilakukan oleh penegak hukum kepolisian, dan pengawasan dilakukan di dalam badan-badan secara sistem pengawasan melekat sebagaimana di Indonesia dilakukan oleh inspektorat jenderal pada masing-masing departemen. Adapun undang-undang yang diterapkan adalah undang-undang-undang-undang hukum pidana umum dan peraturan kepegawaian yang ditambah dengan beberapa delik-delik korupsi yang berkaitan dengan penegakan hukum bidang pemberantasan korupsi.
Kemudian, masyarakat Thailand merasa bahwa perlu diadakan usaha pemberantasan korupsi sebagai masalah yang sangat mendesak. Seperti diketahui pada masa rezim militer sangat berkuasa telah terjadi beberapa kali coup d’etat, dan untuk mencegah jangan lagi terjadi coup d’etat dengan alasan bahwa militer ingin memberantas korupsi dan mengakhiri dominasi militer, maka terjadilah demonstrasi pelajar dan mahasiswa pada tanggal 14 Oktober 1973.
Rakyat Thailand banyak melihat para pejabat yang mencari kekayaan dengan melakukan korupsi karena memanfaatkan jabatan publik yang dipegangnya, da nada pula yang seharusnya melakukan pemberantasan korupsi justru terlibat melakukan korupsi. Mereka yang ingin memberantas korupsi justru tidak memiliki kemampuan untuk bertindak, bahkan banyak yang justru tersingkir dari jabatannya.
Bahwa ternyata ada 2 (dua) hal yang sangat baik yang tidak terdapat pada komisi pemberantasan di Negara-negara lain, yaitu tentang pengangkatan dan tanggungjawab NCCC Thailand yang sangat rapid an terperinci. Pengangkatannya melalui penjaringan sangat ketat oleh Komisi Seleksi Anggota NCCC Thailand yang sangat independen. Sehingga secara formil, yang paling baik dalam sistem pengangkatan dan rektrumen pejabat komisi pemberantasan korupsi adalah Thailand.
Pertanggungjawabannya NCCC Thailand juga sangat independen yaitu langsung kepada Raja, karena berbeda dengan BPR Malaysia yang bertanggungjawab kepada Perdana Menteri, ICAC Hongkong bertanggungjawab kepada Chief Executive.
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Indonesia, berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertanggungjawab kepada:
a) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
b) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
Wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerja
Menerbitkan laporan tahunan
Membuka askes informasi
Masalah ini yang sangat baik adalah dalam sistem pendaftaran harta benda pejabat Negara dan mereka yang memangku jabatan politik seperti DPR. Pendaftaran dan pelaporan dilakukan pada waktu menjabat, tiga tahun dalam jabatan, dan pada waktu setelah melepaskan jabatannya. Ada yang agak mirip dengan pembalikan beban pembuktian, yaitu bagi mereka yang menjadi kaya luar biasa setelah menjabat dapat diperiksa. Juga ada sanksi hukum jika seorang yang memegang jabatan politik atau pejabat Negara yang tidak bersedia menyerahkan
account-nya, atau account yang diserahkan itu palsu, langsung harus berhenti dari posisi jabatannya. Bahkan tidak boleh menjabat dalam jangka waktu lima tahun sesudah itu.
Bahkan pejabat yang meninggal dalam jabatannya, ahli waris atau yang mengurus hartanya harus membuat deklarasi. Hal ini sangat berbeda dengan sistem pendaftaran harta benda para pejabat publik di Indonesia, yang tidak ada sanksi jika tidak menyerahkan account atau jika yang didaftarkan itu account palsu, dan tidak ada kewajiban pada waktu menjabat dan setelah melepaskan jabatan agar dapar dilihat nerACA perubahan hartanya. Pendek kata, sistem pendaftaran harta kekayaan pejabat publik yang berlaku di Indonesia adalah sistem sandiwara.
Secara formil yang kurang pada sistem NCCC Thailand adalah mengenai partisipasi masyarakat dan hubungan masyarakat, walaupun dalam buku pedoman dikatakan, ada sistem seminar, penerangan, dan lain-lain ditingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota mengenai program pemberantasan korupsi, tetapi tidak segencar yang dilakukan BPR Malaysia dan ICAC Hongkong. Partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi yang terbaik adalah sistem ICAC Hongkong karena ada dewan penasihat yang diambil dari tokoh masyarakat untuk bagian operasi dan hubungan masyarakat. Adapun yang paling gencar melakukan kampanye pemberantasan korupsi di tempat-tempat umum, termasuk pemasangan kamera di tempat rawan korupsi seperti dibidang lalu lintas adalah BPR Malaysia. 13
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1) Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) merupakan lembaga negara yang menyelenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal 22E Konstitusi/UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan beberapa undang-undang, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Hal ini menunjukkan dan menegaskan bahwa keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies) berada pada tingkatan kelembagaan yang kuat dikarenakan pembentukaannya berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Undang-Undang yang artinya kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kelembagaan negara bantu (state auxiliary bodies) yang independen (independent regulatory agencies) pada tingkatan Konstitusi, dengan catatan bahwa perlakuannya tidak bisa disamakan dengan lembaga negara utama (main state organs). Sehingga kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary bodies) yang independen (independent regulatory agencies) dalam sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia dapat dilihat dari perspektif hukum yang didasarkan pada landasan filosofis, landasan yuridis konstitusional, esensi dari eksistensinya, sistem hirarkisnya serta sifatnya yang nasional, mandiri, non-partisan dan independen.
2) Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kedudukan sebagai Lembaga Negara Independen, namun ia memiliki kewenangan-kewenangan yang “extra ordinary” adalah sesuai dengan apa yang ia berantas. Dalam hal ini, kejahatan luar biasa hanya bisa diberantas dengan cara-cara yang juga luar biasa. Pandangan yang mengatakan bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah ekstra konstitusional adalah keliru, hal ini mengingat keberadaan lembaga KPK secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air.
4.2 Saran
Menurut saya, masih banyak hal-hal di Indonesia yang perlu diperbaiki. Terutama dalam bidang korupsi yang sulit untuk memberantasinya, serta hukum harus banyak mengalami perubahan mengarah kepada yang lebih baik. Saya yakin meskipun secanggih-canggihnya zaman nanti, apabila kita tetap berpegang teguh terhadap Pancasila dan UUD 1945, maka kehidupan Negara ini akan menjadi semaakin baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011
Huda, Ni’matul, Lembaga Negara Masa Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: UII Press, 2007
MD, Moh, Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2013
Sirajudin dan Winardi, Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara Press, 2012