• Tidak ada hasil yang ditemukan

Window of Health : Jurnal Kesehatan, Vol. 1 No. 2 (April, 2018) E-ISSN 2614-5375

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Window of Health : Jurnal Kesehatan, Vol. 1 No. 2 (April, 2018) E-ISSN 2614-5375"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

61

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

ARTIKEL RISET

URL artikel: http://jurnal.fkmumi.ac.id/index.php/woh/article/view/woh1201

Faktor Risiko Kejadian Katarak Pada Pasien Pria Usia 40-55 Tahun Dirumah Sakit Pertamina Balikpapan

K

Andi Dewi Sari1, Masriadi2, Arman3

1

Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muslim Indonesia 2

Departemen Epodemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, STIK Tamalatea 3

Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muslim Indonesia Email Penulis Korespondensi (K): andidewisari24@gmail.com

ABSTRAK

Katarak terjdi akibat kekeruhan pada lensa mata yang mengakibatkan tergantungnya cahaya masuk ke dalam bola mata, sehingga penglihatan menjadi kabur dan lama kelamaan dapat menyebabkan kebutaan. Salah satu penyebab kebutaan terbanyak di seluruh dunia adalah katarak. Peningkatan kasus kejadian katarak terjadi di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan selama 3 bulan terakhir pada bulan Januari hingga Maret yaitu 142 kasus, 173 kasus dan 188 kasus. Kejadian katarak berhubungan dengan penyebab diabetes mellitus, status ekonomi, kebiasaan merokok, pekerjaan terpapar UV, dan kebiasaan konsumsi protein. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis besarnya faktor risiko dengan kejadian katarak pada pasien pria usia 40-55 tahun di rumah sakit pertamina Balikpapan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan desain case control study. Sampel pada penelitian ini terdiri dari kasus dan control dengan menggunakan metode Purposive Sampling, sampel kasus yakni pasien pria usia 40-55 katarak yang berobat maupun screening di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Tahun 2017. Sampel kontrol penelitian ini adalah pasien pria usia 40-55 yang tidak menderita katarak yang berobat maupun screening di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus (OR=4.419;95%Cl:1,991-9,809), Status ekonomi (OR=2.852;95%Cl:1,346-6,042), Kebiasaan merokok (OR=3,850; 95%Cl:1,785-8,304), Pekerjaan terpapar UV (OR=3.217; 95%Cl:1.523-6.795) merupakan faktor risiko terhadap kejadian Katarak. Sedangkan Konsumsi protein (OR=0.110; 95%Cl:0,046-0,264) merupakan faktor protektif kejadian katarak. Berdasarkan analisis multivariat menemukan bahwa Faktor risiko yang paling berpengaruh yaitu diabetes mellitus (p = 0,000) dan pekerjaan terpapar UV (p =0,001) terhadap kejadian katarak.

Kata Kunci: DM, Merokok, Terpapar UV, Katarak

PENDAHULUAN Latar Belakang

Katarak merupakan kelainan lensa mata yang keruh di dalam bola mata Katarak terjadi akibat kekeruhan pada lensa mata yang mengakibatkan tergantungnya cahaya masuk ke dalam bola mata, sehingga penglihatan menjadi kabur dan lama kelamaan dapat menyebabkan kebutaan (Ilyas S, 2014). Pada tahun 1990 katarak menjadi penyebab paling dominan terjadinya kebutaan di dunia. Sampai tahun 2010, katarak tetap menjadi penyebab utama terjadinya kebutaan di 16 negara dan menjadi penyebab kebutaan kedua di lima Negara (Khairallah dkk., 2015).

(5)

62

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Mirawati (2016) di Poli Mata RSUD DR. M. Yunus Bengkulu bahwa riwayat diabetes mellitus signifikan secara statistik dengan nilai p value = 0,000 (p<0,05) Ulandari, Tri (2014) yang menemukan bahwa pekerjaan merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian katarak (p=0,014 dan OR = 13). Hadani (2016) responden dengan risiko tinggi merokok lebih berisiko 2,771 kali lebih besar menderita katarak senilis dibandingkan dengan responden yang tidak merokok. Penelitian yang dilakukan oleh (Ulandari Tri, 2014) menunjukkan adanya hubungan antara pekerjaan di luar ruangan yang terpapar UV dengan kejadian katarak. Penelitian di Taizhou Cina menyatakan bahwa kegiatan di luar ruangan, dimana terpapar sinar UV-B dengan intensitas waktu yang lama merupakan faktor risiko untuk terjadinya katarak (Tang Yating, Ji Ying hong, et al., 2015). Kurangnya asupan vitamin dan asam folat sebagai antioksidan tentunya dapat meningkatkan risiko terjadinya katarak (Laila, 2017)

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis factor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian katarak pada pria usia 40-55 tahun di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Tahun 2017

METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Poli Mata Rumah Sakit Pertamina Balikpapan. Penelitian dilakukan mulai Oktober – November 2017.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan desain case control study. Penelitian ini menggunakan dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok control. Kelompok kasus adalah kelompok yang menderita Katarak. Sedangkan kelompok kontrol adalah mereka yang tidak menderita katarak.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah pria yang berobat di poli mata Rumah sakit pertamina Balikpapan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 120 orang terdisi dari 60 kelompok kasus dan sebanyak 60 orang pada kelompok control. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan metode teknik Purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu yaitu kriteria pemilihan (kriteria inklusi dan eksklusi sebagai subyek penelitian) sebagai berikut:

a. Kelompok Kasus dengan kriteria Laki-laki berusia 40 – 55 tahun, Didiagnosis sebagai penderita katarak oleh dokter maupun pada buku register, Bersedia menjadi responden selama penelitian berlangsung dan menandatangani informed consent.

b. Kriteria eksklusi dengan kritiria Jenis Kelamin yaitu Wanita, Usia selain 40 – 55 Tahun, Tidak didiagnosis sebagai penderita katarak oleh dokter maupun pada buku register

Analisis Data

(6)

63

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

HASIL

Tabel 1. Faktor Risiko kejadian katarak pada Pasien Pria Usia 40-55 Tahun di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Tahun 2017

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa orang yang menderita DM berisiko 4.419 kali menderita katarak dibandingkan yang tidak menderita DM. Orang dengan status ekonominya rendah berisiko 2.852 kali mengalami katarak dibandingkan dengan ekonominya tinggi. Orang yang merokok berisiko 3.85 kali mengalami katarak dibandingkan dengan yang tidak merokok. Orang yang pekerjaannya terpapar dengan UV berisiko 3.217 kali mengalami katarak dibandingkan dengan pekerjaan yang tidak terpapar UV sedangkan orang yang konsumsi protein faktor protektif terjadinya katarak.

2. Analisis Multivariat

Tabel 2

(7)

64

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Tabel 2. Diabetes mellitus mempunyai nilai sig 0,000 < 0,05 dan dan OR 5,678 berarti diabetes mellitus memberikan pengaruh yang sangat besar dengan p=0,000, OR = 5,678 terhadap kejadian katarak pada pasien usia 40-55 tahun di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan

.

PEMBAHASAN

1. Faktor Risiko Diabetes Mellitus

Hasil uji statistik untuk varibel riwayat diabetes mellitus diperoleh nilai OR sebesar 4.419 dan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 1.991 dan batas atas sebesar 9.809 dan nilai p = 0,001. Penelitian ini, ditemukan bahwa durasi menderita DM tertinggi adalah <1 tahun (61.7%), hal ini disebabkan karena sebagian besar penderita DM tidak mengetahui bahwa mereka menderita diabetes, mereka mengetahui bahwa mereka menderita diabetes melllitus setelah mereka cek kesehatan pada saat pemeriksaan katarak. Oleh karena itu kontrol gula darah sejak dini sangat baik guna mencegah komplikasi.

Proses terjadinya katarak pada penderita diabetes mellitus merupakan akibat peningkatan enzim aldose reductase yang yang mereduksi gula menjadi sorbitol, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan osmotik sehingga serat lensa lama kelamaan akan menjadi keruh dan mengakibatkan katarak. Pengaruh klinis yang lama akan mengakibatkan terjadinya katarak lebih dari pada pasien diabetes dibandingkan dengan pasien non diabetes (Ulandari, 2014).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamidi M (2017) yang menemukan bahwa ada hubungan antara diabetes mellitus dengan kejadian katarak senilis di Poli Mata RSUD Bangkinang p= 0,007, dan Odds Rasio = 13,5, hal ini berarti responden yang menderita penyakit diabetes melitus berpeluang 13,5 kali mengalami katarak senilis. Hal ini Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mirawati (2016) di Poli Mata RSUD DR. M. Yunus Bengkulu tahun 2015 bahwa riwayat diabetes mellitus signifikan secara statistik dengan nilai p value = 0,000 (p<0,05).

Seseorang yang menderita diabetes melitus terjadi karena mengalami diabetes melitus yang tidak terkontrol. Akibat peningkatan dari gula darah dapat menyebabkan penumpukan zat-zat metabolik gula oleh sel-sel lensa mata, tekanan osmosis intraseluler meningkat dan terbentuklah katarak. Sedangkan responden yang menderita diabetes melitus tetapi tidak mengalami katarak disebabkan karena selalu mengotrol dan mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal dan selalu mencheck-up kesehatan mata secara rutin, serta menderita diabetes melitus tapi baru beberapa bulan terakhir mengalami peningkatan gula darah (Hamidi, M, 2017).

2. Faktor Risiko Status Ekonomi

Hasil uji statistik untuk varibel status ekonomi diperoleh nilai OR sebesar 2.852 dengan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 1.346 dan batas atas sebesar 6.042 dan p value = 0.368 berarti status ekonomi merupakan faktor risiko yang berpengaruh namun tidak signifikan terhadap kejadian katarak. Pada penelitian ini sebagian besar masyarakat memiliki penghasilan >2.400.000 sebesar 57.5%. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden adalah buruh dimana gaji buruh wajib sesuai dengan standar UMK di Balikpapan. Sebagian besar responden memiliki menanggung untuk kebutuhan keluar sebesar 65%. Berbicara perihal pengobatan, sebagian besar masyarakat masih belum mendapatkan informasi bahwa dengan adanya asuransi kesehatan pemerintah, masyarakat yang memiliki asuransi kesehatan tersebut dapat melakukan operasi katarak tanpa membayar yang mahal karena operasi katarak tersebut ditanggung oleh pemerintah di beberapa rumah sakit swasta di tanah air

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laila A (2017) yang menemukan bahwa. terdapat hubungan antara penghasilan dengan kejadian katarak. Seseorang yang berpenghasilan rendah memiliki risiko terkenana katarak 3.067 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang berpenghasilan tinggi. Hal ini sejalan dengan ppenelitian yang dilakukan oleh Hadini (2016) menemukan bahwa pendapatan yang rendah berisiko 2,252 kali untuk menderita katarak daripada yang memiliki pendapatan yang tinggi.

Pendapatan masyarakat pesisir yang rendah dikarenakan karena pada umumnya mereka menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar, sehingga sebagian besar pekerjaan yang dilakukan ialah sebagai nelayan kecil, pedagang jalanan dan buruh. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisr dengan tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar (Laila, A, 2017).

(8)

65

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

membeli kacamata juga tidak dapat dilakukan. Faktor ekonomi telah dilaporkan menjadi penghalang pasien untuk melakukan operasi katarak pada negara berkembang. Penghalang yang di maksud ialah karena kemiskinan, tidak adanya transpotasi, dan biaya (Radhakrishnan dkk., 2015)

3. Faktor Risiko Kebiasaan Merokok

Hasil uji statistik untuk varibel kebiasaan merokok diperoleh nilai OR sebesar 3.850 dengan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 1.785 dan batas atas sebesar 8.304 dan p = 0.233 yang berarti kebiasaan merokok merupakan faktor risiko yang berpengaruh namun tidak signifikan terhadap kejadian katarak. Pada penelitian ini sebagian besar responden yang merokok mulai merokok pada usia 17 tahun sebesar 13,3%. Hal ini disebabkan karena usia 17 tahun merupakan usia perlihan menuju dewasa dan rawan terhadap pengaruh lingkungan. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa jumlah rokok yang dihisap paling banyak adalah 12 batang sehari sebesar 14,2%. Jenis rokok yang tertinggi adalah filter sebesar 21,7%. Dalam rokok terdapat Tembakau yang mengandung logam berat seperti kadmium, timah dan tembaga yang akan terakumulasi dan menyebabkan toksisitas langsung. Individu yang merokok 10 batang atau lebih dalam sehari mempunyai risiko 2 kali lebih banyak mengalami katarak.

Rokok berperan dalam pembentukan katarak melalui dua cara yaitu, pertama paparan asap rokok yang berasal dari tembakau dapat merusak membrane sel dan serat yang ada pada mata. Ke dua yaitu, merokok dapat menyebabkan antioksidan dan enzim-enzim di dalam tubuh mengalami gangguan sehingga dapat merusak mata (Ulandari, 2014). Merokok menyebabkan penumpukan molekul berpigmen 3-hydroxikhynurinine dan chomophores yang menyebabkan terjadinya penguningan warna lensa. Sianat dalam rokok juga menyebabkan terjadinya karbamilasi dan denaturasi protein.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamidi M (2017) yang menemukan bahwa ada hubungan merokok dengan kejadian katarak senilis di Poli Mata RSUD Bangkinang p value = 0,03 (p ≤0,05), dan Odds Rasio = 7,5 hal ini berarti responden yang merokok berpeluang 7,5 kali mengalami katarak senilis. Merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya katarak. Merokok dapat menginduksi stress oksidatif dan dihubungkan dengan penurunan kadar antioksidan, askorbat dan karotenoid yang secara terus-menerus akan mempercepat kerusakan protein lensa. Sedangkan responden yang merokok tetapi tidak terkena katarak, dari hasil wawancara bahwa penyebabnya karena usia responden (<50 tahun) dan faktor-faktor lainnya seperti pekerjaan responden sebagai pegawai PNS/Swasta.

Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laila A, 2017) yang menemukan bahwa seseorang yang memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko terkena katarak 1.816 kali lebih tingi dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok tidak berpengaruh secara statistik dengan kejadian katarak (Laila A, 2017).

4. Faktor Risiko Perkerjaan Terpapar UV

Hasil uji statistik untuk varibel bekerja diluar ruangan diperoleh nilai OR sebesar 3.217 dan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 1.523 dan batas atas sebesar 6.795 berarti bekerja diluar ruangan berisiko 3.217 terhadap kejadian katarak. Pada penelitian ini, pekerjaan yang paling banyak menderita katarak adalah buruh sebesar 27,5%. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar wilayah Kalimantan adalah dearah pertambangan, baik pertambangan minyak maupun pertambangan batu bara. Terdapat banyak buruh lepas yang bekerja di pertambangan diwilayah Balikpapan dan sekitarnya. Sebagian besar responden yang tidak menggunakan alat pelindung diri sebesar 61,7%. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap remeh aktifitas diluar ruangan dengan tidak menggunakan kacamata hitam. Mereka hanya menggunakan jaket ketika keluar rumah. Selain itu, sebagian besar buruh menggunakan alat pelindung diri berupa kecamata safety berwarna putih yang bukan anti UV.

(9)

66

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamidi M (2017) yang menemukan bahwa hasil ada hubungan terpajan sinar ultraviolet yang lama dengan kejadian katarak senilis di Poli Mata RSUD Bangkinang dengan p value 0,000 (≤ 0,05). dan Odds Rasio = 63 hal ini berarti responden yang terpajan sinar ultraviolet yang lama berpeluang 63 kali mengalami katarak senilis. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laila A (2017) Hasil uji statistik menunjukkan bahwa seseorang yang bekerja di luar gedung memiliki risiko terkena katarak 2.908 kali lebih besar dibandingkan dengan yang bekerja di dalam gedung. Sehingga, dapat disimpulkan terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kejadian katarak. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunaningsih (2017) yang menemukan bahwa p Tidak ada hubungan antara paparan sinar ultraviolet dengan kejadian katarak pada pasien di poli mata RSU Bahteramas Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2017, karena nilai p (0,077) > α (0,05) dengan nilai OR sebesar 2,182 dengan rentang nilai lower limit (batas bawah) OR= 0,996 dan upper limit(batas atas) OR = 4,779 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Radiasi bukan pengion yang dapat menimbulkan katarak adalah sinar ultraviolet. Radiasi UV ditimbulkan oleh gelombang panas yang berasal dari sumber energi yang mengeluarkan cahaya yang mengeluarkan cahaya yang berasal dari alam dan buatan. Sumber utama UV alam adalah matahari, yang difiltrasi oleh lapisan ozon pada atmosfir. Pajanan sinar dengan gelombang ultraviolet 300-400 nm berhubungan dengan terjadinya perubahan kimia dan fisik pada protein dan sel epitel lensa (Yunaningsih, 2017).

5. Faktor Risiko Konsumsi Protein

Hasil uji statistik untuk varibel bekerja diluar ruangan diperoleh nilai OR sebesar 0.110 dan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 0.046 dan batas atas sebesar 0.264 berarti konsumsi protein berisiko 0,110 (faktor protektif) kejadian katarak. Pada penelitian ini, sebagian besar responden mengkonsumsi setiap hari atau 2-3 kali seminggu makanan berprotein (60%). Makanan yang paling sering dikonsumsi adalah telur. Hal ini disebabkan karena telur merupakan lauk yang paling gampang ditemukan dan pengolahannya sangat mudah kemudian disusul oleh tahu dan tempe makanan berprotein yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar responden. Pola konsumsi protein sebagian besar responden adalah rutin mengkonsumsi protein setiap hari atau 2-3 kali seminggu sehingga konsumsi protein merupakan faktor risiko protektif terhadap kejadian katarak.

Pola konsumsi protein nabati tidak setiap hari memberikan peluang untuk terjadinya katarak dibandingkan dengan reponden yang mengkonsumsi protein nabati setiap hari. Protein hewani dan nabati banyak mengandung riboflavin yang dapat menghambat katarak. Mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas dilakukan oleh enzim yang terdapat dalam antioksidan seperti asam askorbat, alfa tokoferol dan betakaroten. Bahan makanan hewani merupakan protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti daging, ikan, unggas, kerang, telur, susu dan produk olahannya. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasil olahannya seperti tempe dan tahu serta kacang-kacangan yang lain. Rendahnya penghasilan seseorang akan mempengaruhi status nutrisi seseorang. Tak hanya itu, rendahnya pendidikan seseorang berakhir dengan pekerjaan sebagai nelayan, buruh dan pedagang jalanan yang kegiatan sehari-harinya terkena dengan sinar matahari. Padahal status nutrisi dan sinar matahari memiliki hubungan yang signifakan dengan kejadian katarak. Kurangnya asupan vitamin dan asam folat sebagai antioksidan tentunya dapat meningkatkan risiko terjadinya.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspasari, M (2012) yang menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian katarak. Dan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusumaningtyas, E (2011) yang menemukan bahwa konsumsi protein tidak berpengaruh signifikan dengan kejadian katarak. Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pujianto (2011) yang menemukan bahwa konsumsi protein (protein hewani dan nabati) 2-3 kali seminggu merupakan faktor risiko terhadap kejadian Katarak (OR = 7,0 ; CL : 2,3 – 20,4). Konsumsi antioksidan merupakan faktor risiko terhadap katarak OR=2,430 dengan rentang nilai LL 1,090 dan UL 5,417 pada interval kepercayaan (CI) 95% (Yunaningsih, 2017).

KESIMPULAN

(10)

67

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Arimbi A. (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan katarak degeneratif di RSUD Budhi Asih Tahun 2011. Skripsi dipublikasikan. FKMUI Jakarta.

Hamidi, M. (2017). Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Katarak Senilis Pada Pasien Di Poli Mata RSUD Bangkinang. Vol 1, No 1, April 2017

Hadini, MA, (2016). Analisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian katarak Senilis di RSU Bahteras Tahun 2016. Volume 3 Nomor 2 Bulan April 2016.

Ilyas S. (2014). Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Cetakan kedua. Jakarta.

Infodatin, Kemenkes RI. (2014). Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. (Online) Available atwww.depkes.go.id/download.php?file=download/.../infodatin/infodatinpenglihatan. Diakses 25 Maret 2017

Khairallah, M., Kahloun, R., Bourne, R.., Limburg, H., Flaxman, S.R., Jonas, J.B., dkk. (2015). Number of People Blind or Visually Impaired by Cataract Worldwide and in World regions, 1990 to 2010. The Association for Research in Vision and Ophtalmology.

Kusumaningtyas, E. (2011). Pengaruh Status Gizi, Kebiasaan Merokok, dan Paparan Sinar Ultraviolet Terhadap Kejadian Katarak Senilis (Studi Kasus Di Poli Mata RSD Dr. Soebandi Jember

Laila, A. (2017). Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Katarak di Daerah Pesisir Kendari. RSUP Bahteramas. Volume 4 Nomor 2 Bulan April 2017. Vol 1, No 1, April 2017

Mirawati. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian katarak di Poli Mata RSUD DR. M. Yunus Bengkulu Tahun 2015. Journal of Nursing and Public Health.

Mo'otapu, et al. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit katarak di Poli Mata RSUP Prof Dr.RD Kandou Manado.e-journal Keperawatan, Volume 3 Nomor 2 September 2015. Puspasari, Monika, (2012). Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian katarak diwilayah kerja

Puskesmas Lapai Tahun 2012.

Radhakrishnan, dkk., (2015). Economic and social factors that households not willing to undergo cataract surgery Vol.63 Issue:7 Page 594-599

Tang Yating, Ji Ying hong, et al. (2015). The Association of Outdood Activity and Age-Related Cataract in a rural Popultion of Taizhou Eye Study: Phase 1 Report. PLOS ONE. DOI:10.1371/Journal.pone.0135870, Agustust 18, 2015

Ulandari Tri. (2014). Pengaruh Pekerjaan Dan Pendidikan Terhadap Terjadinya Katarak Pada Pasien rawat jalan yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Nusa Tenggara Barat.

(11)

68

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

ARTIKEL RISET

URL artikel: http://jurnal.fkmumi.ac.id/index.php/woh/article/view/woh1202

Analisis Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan dalam Ruangan

Administrasi Gedung Menara UMI Makassar

KIsharyadi Putra¹, Muhammad Ikhtiar², Andi Emelda³ 1

Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana UMI ²Prodi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI

³Fakultas Farmasi, UMI

Email Penulis Korespondensi (K): IsharyadiP@gmail.com

ABSTRAK

Ruang Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia merupakan ruangan tertutup dan menggunakan sistem pengaturan udara dengan Air Conditioner (AC) untuk mengurangi panas udara di dalam ruang kerja. Kondisi gedung dan ruang kerja dengan ventilasi tertutup, furnitur dan bahan bangunan yang bervariasi, serta aktifitas perkantoran di ruangan tersebut yang cukup padat serta keberadaan alat-alat perkantoran dalam ruangan dapat memicu timbulnya kontaminan mikrobiologis pada udara dalam ruang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas mikroorganisme udara dalam ruang adsministrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Dalam hal ini jumlah angka kuman berupa bakteri dan jamur di udara terhadap gangguan kesehatan dalam ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Desain penelitian ini adalah cross-sectional dengan penentuan sampel menggunakan teknik total sampling. Sampel objek dalam penelitian ini berjumlah enam ruangan, sedangkan sampel subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 37 responden. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik chi square. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara suhu ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan, dengan nilai p-value 0.001 (0.001<0.05). Terdapat hubungan antara kelembaban ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dengan nilai p-value 0.001 (0.001<0.05), tidak ada hubungan antara pencahayaan ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dengan nilai p-value 0.156 (0.156>0.05), ada hubungan antara angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dengan nilai p-value 0.001 (0.001<0.05). Penelitian ini menyarankan perlunya peningkatan pemahaman akan gangguan kesehatan yang diakibatkan mikroorganisme di udara pada pihak manajemen dan pegawai.

Kata Kunci: Mikroorganisme Udara, Gangguan Kesehatan, Bakteri

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Udara bersih merupakan hak dasar seluruh masyarakat yang tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan vital untuk bernapas akan tetapi juga udara yang memenuhi syarat kesehatan. Berpijak pada kebutuhan masyarakat akan udara bersih sehat ini, program pengendalian pencemaran udara menjadi salah satu dari sepuluh program unggulan dalam pembangunan kesehatan Indonesia (HCEU, 2008).

Penelitian tentang udara luar ruangan sebelumnya telah banyak dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki kuaitas udara luar ruang, namun penelitian tentang polusi dalam ruangan secara umum masih kurang (HCEU, 2008).

(12)

69

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Mikroorganisme di udara merupakan unsur pencemaran yang sangat berarti sebagai penyebab gejala berbagai penyakit antara lain iritasi mata, kulit, dan saluran pernapasan (ISPA). Jumlah koloni mikroorganisme di udara tergantung pada aktifitas dalam ruangan serta banyaknya debu dan kotoran lain. Ruangan yang kotor akan berisi udara yang banyak mengandung mikroorganisme dari pada ruangan yang bersih (Moerdjoko, 2004). Secara sepintas ruang perkantoran di dalam gedung bertingkat bersih dan nyaman karena umumnya ruang perkantoran berkarpet, berdinding luar kaca dan dinding bagian dalam berupa tripleks atau asbes berlapis wallpaper serta full AC. Pada kenyataannya, justru di ruangan seperti inilah kesehatan orang yang bekerja sering terganggu. Gangguan kesehatan di dalam ruang perkantoran gedung bertingkat kemudian dikenal dengan sebagai sick building sindrome (Joviana, 2009).

Pada penelitian terhadap kualitas udara dalam ruang pada PT. Infomedia Nusantara Surabaya, menunjukkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji statistik regresi logistik terlihat bahwa ada dua variabel yang signifikan terhadap terjadinya gangguan kesehatan SBS, yaitu jamur berpengaruh terhadap terjadinya gangguan kesehatan berupa iritasi hidung, artinya semakin banyak jumlah koloni jamur dalam ruangan mempunyai resiko 16.463 kali lebih besar untuk dapat terjadinya iritasi hidung, sedangkan kuman berpengaruh terhadap terjadinya gangguan kesehatan berupa mual, artinya semakin banyak jumlah koloni kuman dalam ruangan mempunyai resiko 1.008 kali lebih besar untuk dapat terjadinya mual (Prasasti et al., 2005).

Ruang Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia merupakan ruangan tertutup dan menggunakan sistem pengaturan udara dengan Air Conditioner (AC) untuk mengurangi panas udara di dalam ruang kerja. Kondisi gedung dan ruang kerja dengan ventilasi tertutup, furnitur, dan bahan bangunan yang bervariasi serta aktifitas perkantoran di rungan tersebut yang cukup padat, juga keberaaan alat-alat perkantoran dalam ruangan dapat memicu timbulnya kontaminan mikrobiologis pada udara dalam ruang.

Berdasarkan hal tersebut maka dirasa penting untuk menganalisis kualitas mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dalam ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah mikroorganisme udara dan hubungan suhu, kelembaban, pencahayaan, dan mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dalam ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruangan administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia pada bulan Mei – Juli 2017.

Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi yang digunakan adalah cross-sectional.

Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu populasi objek dan populasi subjek. Populasi objek dalam penelitian ini adalah ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia, sebanyak enam ruangan. Adapun populasi subjek, yaitu semua karyawan yang berada pada ruangan yang diteliti.

Sampel dan Teknik Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan teknik total sampling, baik itu sampel objek maupun sampel subjek.

Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Observasi.

(13)

70

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

2. Pengukuran.

Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan data primer sesuai dengan variabel yang telah ditentukan.

a. Thermohygrometer, Dual Temp./RH% Monitor mode 87792 in/out temp./RH monitor. Alat ini digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban dengan menggunakan metode pembacaan langsung.

Adapun Prosedur kerja dari alat ini, yaitu:

1) Siapkan alat ukur yang akan digunakan (thermohygrometer). 2) Pasang baterai pada tempatnya.

3) Saat baterai dipasang maka alat ukur akan langsung bekerja. 4) Menekan tombol clear agar angka dalam keadaan netral.

5) Alat akan menunjukkan besar suhu dalam ruangan serta besar kelembaban di ruangan tersebut. 6) Tombol thermo minimum dan maksimum ditekan secara bergantian untuk mengetahui suhu. 7) Baca hasil yang tampak pada layar hygrometer.

8) Lalu catat hasil pengukuran dalam lembar catatan.

9) Bandingkan dengan standar sesuai peraturan yang berlaku.

b. Alat Lux Meter. Alat ini digunakan untuk mengukur pencahayaan dengan menggunakan metode pembacaan langsung.

Adapun Prosedur kerja dari alat ini, yaitu: 1) Tombol “off/on” digeser ke arah On.

2) Kisaran range yang akan di ukur (2.000 lux, 20.000 lux, atau 50.000 lux) dipilih pada tombol range.

3) Sensor cahaya diarahkan dengan menggunakan tangan pada permukaan daerah yang akan diukur kuat penerangannya.

4) Hasil pengukuran dilihat pada layar panel.

c. Pengukuran Mikrorganisme Udara. Parameter yang digunakan adalah jumlah CFU/m3. Pengukuran menggunakan alat Microbiological Air Sampler (MAS) 100 NT. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor: 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, kualitas udara dalam ruang dikatakan baik apabila angka kuman dalam ruang kurang dari 700 koloni/m3 udara dan bebas kuman patogen.

Adapun prosedur kerja alat ini, yaitu:

1) Melakukan disinfeksi dengan alkohol pada bagian dalam dari air inlet MAS100. 2) Meletakkan media plate agar dalam air inlet dan tutup bagian atas MAS100.

3) Mengatur volume udara yang akan dihisap dengan menekan tombol “yes” kemudian tekan tombol “no” untuk keluar dari pengaturan volume udara.

4) Mengaur program delay start dengan menekan tombol “yes” untuk memberikan jeda waktu sebelum pengoperasian alat MAS100 (maksimal waktu delay start 60 menit), kemudian tekan “no” jika waktu jeda telah disesuaikan.

5) Tekan tombol “yes” untuk memulai proses pengisapan udara di dalam ruangan (lampu indikator berwarna hijau).

6) Jika indikator lampu berwarna merah, maka keluarkan media agar plate dari alat MAS100, dan tutup kembali.

7) Masukkan semua cawan petri dengan posisi terbalik ke dalam inkubator pada suhu (35±1)oC selama 24-48 jam.

8) Catat pertumbuhan koloni pada setiap cawan petri setelah 48 jam.

9) Hitung angka lempeng koloni pada setiap cawan petri yang tumbuh pada media agar.

Analisis dan Pengolahan Data

(14)

71

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

HASIL

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Tabel 1 menunjukkan hasil analisis univariat berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin. Terlihat kelompok umur paling banyak adalah umur di atas 55 tahun, dan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Mikroorganisme Udara

Titik Total Angka Mikroorganisme (CFU/ m³)

Ket (<700 CFU/ m³)*

1 1078 TMS**

2 1515 TMS**

3 >1885 TMS**

4 >1885 TMS**

5 458 MS***

6 228 MS***

*Mengacu Permenkes RI No 48 Tahun 2016 <700(CFU/ m³) **Tidak memenuhi Syarat

***Memenuhi syarat

Tabel 2 menunjukkan hasil pengukuran mikroorganisme udara, dimana hasil terbesar terdapat pada titik ketiga dan keempat, yaitu lebih dari1885 CFU/ m³.

Tabel 3.Hasil Pengukuran Suhu, Kelembaban, dan Pencahayaan

Titik Suhu

(23-26°C)

Kelembaban (40%-60%)

Pencahayaan (>100 Lux)

1 27.8 66.6 50.5

2 28.5 65.3 36.5

3 28.7 71 17.4

4 29.2 63.2 63.2

5 26 55 51.6

6 25.6 55.8 146

Tabel 3 menunjukan bahwa dari 6 titik, terdapat 4 titik yang tidak memenuhi syarat karena memiliki suhu ruang di atas 26°C, dan kelembaban juga menunjukkan 4 titik yang tidak memenuhi syarat, yaitu di atas 60%. Sementara pencahayaan menunjukkan hanya satu titik yang memenuhi syarat, yaitu >100 Lux.

Sementara tabel 4 di bawah ini menunjukkan bahwa gangguan kesehatan yang paling banyak dialami responden adalah reaksi alergi dan SBS, yaitu sebanyak 23 responden.

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Gangguan Kesehatan

Gangguan Kesehatan Ya Tidak Total

Reaksi Alergi Selama di Gedung 23 14 37

Gejala Asma 4 33 37

Efek Iritan 4 33 37

Sick Building Syndrome (SBS) 23 14 37

Karekteristik Responden Jumlah Responden

n %

Kelompok Umur

20-55 Tahun 18 48.6

>55 Tahun 19 51.4

Jumlah 37 100

Jenis Kelamin

Laki-laki 14 37.8

Perempuan 23 62.2

(15)

72

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Hubungan antara Suhu Ruang dengan Angka Total Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan

Tabel 5. Hubungan Antara Suhu dengan Angka Total Mikroorganisme Udara pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Suhu

Mikroorganisme Udara Total

<700 CFU/mᵌ >700 CFU/mᵌ

N % n % n %

23°C - 26°C 2 33.3 0 0 2 33.3

<23°C atau >26°C 0 0 4 66.7 4 66.7

Total 2 33.3 4 66.7 6 100

Terdapat hubungan yang linear antara suhu dengan angka total mikroorganisme udara, dimana ruangan yang suhunya tidak memenuhi syarat juga didapatkan hasil bahwa ruangan tersebut memiliki angka mikroorganismenya yang tidak memenuhi syarat.

Tabel 6. Hubungan antara Suhu dengan Gangguan Kesehatan Udara pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Suhu

Gangguan Kesehatan Total

P-value Tidak ada Ada

n % n % n %

23°C - 26°C 8 21.6 10 27 18 48.6 0.001

<23°C atau >26°C 0 0 19 51.4 19 51.4

Total 8 21.6 29 78.4 37 100

Adapun Hasil uji statistik jika suhu dihubungkan langsung dengan gangguan kesehatan menunjukkan hasil yang signifikan dimana didapatkan nilai p-value 0.001 (0.001<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara suhu dengan gangguan kesehatan.

Hubungan antara Kelembaban Ruang dengan Angka Total Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan

Tabel 7. Hubungan antara Kelembaban dengan Total Mikroorganisme Udara Pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Kelembaban

Mikroorganisme Udara Total <700 CFU/mᵌ >700 CFU/mᵌ

n % n % n %

40%-60% 2 33.3 0 0 2 33.3

<40% atau >60% 0 0 4 66.7 4 66.7

Total 2 33.3 4 66.7 6 100

(16)

73

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Tabel 8. Hubungan antara Kelembaban dengan Gangguan Kesehatan Udara pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Kelembaban hubungan yang signifikan antara suhu dengan gangguan kesehatan.

Hubungan antara Pencahayaan Ruang dengan Angka Total Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan

Tabel 9. Hubungan antara Pencahayaan dengan Mikroorganisme Udara pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Pencahayaan

Ruangan yang pencahayaannya tidak memenuhi syarat, hasilnya sama dengan ruangan yang mikroorganismenya juga tidak memenuhi syarat, walaupun ada 1 ruangan yang dimana pencahayaannya tidak memenuhi syarat tetapi angka total mikroorganismenya memenuhi syarat.

Hasil analisis hubungan antara pencahayaan dengan gangguan kesehatan pada ruangan administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 10. Hubungan antara Pencahayaan dengan Gangguan Kesehatan pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Pencahayaan yang signifikan antara pencahayaan dengan gangguan kesehatan. Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan.

Hubungan antara Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan

Tabel 11. Hubungan antara Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan

(17)

74

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan di ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia, dimana nilai hasil analisis statistik bivariat menggunaka chi-square menunjukkan p-value penelitian sebesar 0.001 (0.001<0.05) yang berarti ada hubungan antara angka mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil yang linear antara suhu dengan angka total mikroorganisme udara dan berdasarkan hasil uji statistik antara suhu dengan gangguan kesehatan maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara suhu dengan mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan di ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Naddafi (2011) yang menyatakan bahwa jumlah bakteri berkolerasi signifikan dengan angka penumpang (p<0.001) dan temperatur udara (p<0.001).

Jika ditinjau dari hubungan antara kelembaban dengan angka total mikroorganisme yang linear dan berdasarkan hasil uji statistik antara kelembaban dengan gangguan kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Mahfudah (2015), dimana diperoleh bahwa berdasarkan uji signifikansi parsial (uji t) didapatkan bahwa kelembaban berpengaruh terhadap angka total bakteri di udara.

Sejalan dengan hal tesebut, Mandal (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kelembaban yang lebih tinggi menjadi faktor utama timbulnya bioaeroso/mikrobiologi udara, dimana konsentrasi jamur yang lebih tinggi terjadi pada ruangan dengan kelembaban yang lebih tinggi dari nilai rata-rata. Kelembaban sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya untuk pertumbuhan bakteri dibutuhkan kelembaban yang tinggi (Kristianti, 2012)

Kemudian jika ditinjau dari hubungan antara pencahayaan dengan angka total mikroorganisme dan berdasarkan hasil uji statistik antara pencahayaan dengan gangguan kesehatan maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan di ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dan Buraerah (2011), dimana intensitas cahaya tidak mempunyai kontribusi langsung kepada angka kuman (0.106>0.05) tetapi pencahayaan hampir signifikan berkolerasi dengan suhu (nilai p=0.053).

Adapun hubungan antara mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan di ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Prasasti (2005) menyatakan bahwa jumlah koloni jamur di udara mempunyai risiko lebih besar dibandingkan dengan jumlah koloni bakteri di udara terhadap kejadian SBS di ruang kerja. Prasasti juga menyebutkan bahwa jamur berpengaruh terhadap gejala SBS berupa iritasi hidung dengan resiko sebesar 16.463 kali pada ruangan dengan jumlah koloni jamur yang bertambah banyak. Sedangkan untuk bakteri, disebutkan bahwa terdapat resiko 1.008 kali berupa gangguan mual apabila terdapat pertambahan jumlah kuman di dalam ruangan.

KESIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan bahwaterdapat hubungan yang bermakna antara suhu ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan di ruangan administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Terdapat pula hubungan yang bermakna antara kelembaban ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan di ruangan. Namun penelitian ini tidak melihat adanya hubungan yang bermakna antara pencahayaan ruang dengan angka total mikroorganisme udara di ruangan. Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan yang bermakna antara angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan di ruangan administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia Makassar.

Penelitian ini menyarankan perlunya peningkatan pemahaman akan gangguan kesehatan yang diakibatkan mikroorganisme di udara pada pihak manajemen dan pegawai administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia untuk mencegah gangguan penyakit lain akibat kerja pada pegawai.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T., & Buraerah A. H (2011). Lingkungan Fisik dan Angka Kuman Udara Ruangan di Rumah Sakit Umum Haji Makassar, Sulawesi Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 5(5), 206-211.

Achmadi, U. F. (2013). Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Rajawali Pers, Jakarta.

(18)

75

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Joviana (2009). Hubungan Konsentrasi Aktivitas Radon (222rn) dan Thoron (220rn) di Udara dalam Ruangan dengan Gejala Sick Building Syndrome pada Tiga Gedung DKI Jakarta Tahun 2009 (Skripsi, Universitas Indonesia, Jakarta).

Kristianti, E. (2012). Efektivitas Penggunaan Radiasi Sinar Ultraviolet dalam Penurunan Jumlah Angka Kuman Ruang Operasi Rumah Sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta (Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta).

Mahfudah, U. (2015). Analisis Pengaruh Kualitas Lingkungan Fisik Ruangan terhadap Angka Total Bakteri di Udara dalam Ruang Laboratorium Area Eksakta Di Universitas Hasanuddin Makassar (Tesis, Universitas Hasanuddin, Makassar).

Mandal, Bibhatk, Wilkins, Edmun, G.L. (2008). Lecture Notes: Penyakit Infeksi. Penerbit Airlangga, Jakarta. Moerdjoko (2004). Kaitan Sistem Ventilasi Bangunan dengan Keberadaan Mikroorganisme Udara. Jurnal

Dimensi Teknik Arsitektur,Vol.32, 89 – 94.

Nadaffi, et al. (2011). Investigation of Indoor and Outdoor Air Bacterial Density In Tehran. Iranian Journal of Enviromental Health Science & Engineering; Tehran Vol.8, Iss, 383-388.

(19)

76

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

ARTIKEL RISET

URL artikel: http://jurnal.fkmumi.ac.id/index.php/woh/article/view/woh1203

Pengaruh Senam Aerobik Terhadap Penurunan Berat Badan Remaja Obesitas di SMP

Katolik Rajawali Makassar Tahun 2017

Indriani Pratiwi1, Masriadi2, Muh Basri3

1

Departemen Epidemiologi, Pascasarjana, Universitas Muslim Indonesia 2

Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, STIK Tamalatea Makassar 3

Departemen Biostatistik, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Timur Email Penulis Korespondensi (K): indrianipratiwi1703@gmail.com

ABSTRAK

Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas fisik, gaya hidup, dan nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi. Obesitas atau kegemukan merupakan masalah yang merisaukan dikalangan remaja. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh aktivitas fisik terhadap penurunan berat badan remaja yang mengalami obesitas di kota Makassar. Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah quasi experimental pre-post test. Sampel pada penelitian ini terdiri dari kasus dan kontrol, sampel kasus yakni berjumlah 17 orang, sampel kontrol yakni berjumlah 17 orang. Hasil uji nomalitas diperoleh nilai signifikan kelompok intervensi yakni pretest-postest sebesar 0.571 (p>0.05), nilai signifikan untuk kelompok kontrol pretest-postest sebesar 0.115 (p>0.05), p value kelompok intervensi yaitu 0.000 (p<0.05) dan p value kelompok kontrol yaitu 0.000 (p<0.05), artinya kedua kelompok tidak homogen (ada perbedaan) berat badan saat pretest-postest. hasil analisis paired t test menunjukan bahwa terdapat pengaruh aktivitas fisik (senam aerobic) pada kelompok intervensi terhadap penurunan berat badan remaja dengan p value 0.045 (p<0.05) dan nilai t hitung (2.170) > t tabel (17; 0.05) adalah 1.730, pada kelompok kontrol tidak terdapat pengaruh terhadap penurunan Berat badan pada remaja karena diperoleh p value 0.230 (p>0.05) dan nilai t hitung (1.246) < t tabel (17; 0.05) adalah 1.730. Dapat disimpulkan secara garis besar penelitian ini terdapat pengaruh penurunan berat badan remaja pada kelompok intervensi atau yang diberikan senam aerobik, sedangkan untuk kelompok kontrol tidak terdapat pengaruh terhadap penurunan berat badan.

Kata Kunci: Aktivitas fisik, Obesitas, Senam Aerobik, Berat Badan Remaja

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktivitas fisik, gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi (Siti Muthoharoh, 2017).

(20)

77

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U) prevalensi remaja gemuk umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8% terdiri dari 8,3% gemuk dan 2,5% sangat gemuk. yang tertinggi yaitu pada provinsi kepulauan riau sebesar 0,6%, provinsi DKI sebesar 0,5%, prevalensi obesitas di Provinsi kalimantan timur dan Provinsi DIY sebesar 0,3% sedangkan prevalensi obesitas Di Provinsi Sulawesi Utara dan di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 0,2% (Riskesdas,2013).

Penelitian di kendari menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola makan (Pvalue=0,018), aktivitas fisik (Pvalue=0,000), uang jajan (Pvalue=0,017) dan parental fatness (Pvalue=0,004) dengan kejadian obesitas (Syamsinar Wulandari, 2016).

Tujuan

Tujuan umum dalam penelitian adalah untuk menganalisis pengaruh aktivitas fisik terhadap penurunan berat badan remaja yang mengalami obesitas di SMP Katolik Rajawali Makassar.

METODE Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMP Katolik Rajawali Makassar. Penelitian dilakukan bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2017.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimen pre-post test dengan melibatkan kelompok kontrol dan intervensi. Perlakuan yang diberikan pada kelompok intervensi berupa senam aerobik dan kelompok kontrol tidak diberikan intervensi senam aerobik.

Populasi danSampel

Populasi pada penelitian ini semua siswa yang dipilih sebagai sampel berjumlah 36 orang yang memenuhi kriteria inklusi.

Sampel pada penelitian ini 18 orang kelompok intervensi dan 18 orang kelompok kontrol. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan metode teknik Purposive sampling.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengukuran berat badan kepada responden (yang memenuhi kriteria inklusi) dan apabila responden bersedia menjadi sampel maka diberikan informed consent sebelum melakukan pre-test baik untuk kelompok intervensi maupun kelompok kontrol (yang tidak di intervensi). Selanjutnya kelompok intervensi akan diberikan latihan senam aerobic (aktivitas fisik) pada remaja yang mengalami obesitas, sedangkan pada kelompok control tidak diberikan intervensi dan setelah diberikan intervensi senam aerobik pada kelompok intervensi kemudian diberikan post-test untuk melihat perubahan berat badan.

Pengolahan Data

a. Editing, untuk melihat apakah data yang diperoleh sudah terisi lengkap atau masih kurang.

b. Coding, mengklarifikasi jawaban/nilai dengan mengisi kode pada masing-masing jawaban menurut item dalam lembar penilaian.

c. Tabulating, untuk memudahkan pengolahan data maka dibuatkan tabel untuk menganalisis data tersebut menurut sifat-sifat yang dimiliki. Tabel dapat berupa tabel sederhana atau tabel silang.

Analisis Data

(21)

78

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

HASIL 1. Karateristik Responden

Tabel 1. Karateristik Responden Pengaruh Senam Aerobik terhadap Penurunan BB pada remaja obesitas di SMP Katolik Makassar tahun 2017

Pada table 1. Menunjukkan bahwa jumlah sampel yang berjenis kelamin laki-laki dengan sampel kontrol sebesar 52.4% dan sampel kasus sebesar 47.6%. Sedangkan yang berjenis kelamin perempuan dengan sampel kontrol sebesar 46.7% dan sampel kasus sebesar 53.3%.

Menurut umur sebesar 70.0% dan sampel kasus sebesar 30.0%. Sedangkan yang berumur 12 tahun dengan sampel kontrol sebesar 42.3% dan sampel kasus sebesar 57.7%.

Pada jenis pekerjaan orangtua yang paling banyak bekerja sebagai pegawai swasta dengan sampel kontrol sebesar 40.0% dan sampel kasus sebesar 60%. Sedangkan jenis pekerjaan orangtua yang bekerja sebagai IRT dengan sampel kontrol sebesar 33.3% dan sampel kasus sebesar 66.7%.

2. Analisis Statistik perbedaan Pre dan Post test

Sebelum dilakukan uji T-test maka data terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data:

Tabel 2. Uji Normalitas Data pre-post test pengaruh aktivitas fisik

Variabel P value Distribusi Data Pilihan Statistik

Intervensi (senam aerobic):

Pada tabel 2. Menunjukkan bahwa nilai signifikan kelompok intervensi yakni pretest-postest sebesar 0.571 (p>0.05), sehingga dikatakan data berditribusi normal (p>0.05) dan uji yang digunakan yaitu paired t test.

(22)

79

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Nilai signifikan untuk kelompok kontrol pretest-postest sebesar 0.115 (p>0.05), sehingga dikatakan data berditribusi normal (p>0.05) dan uji yang digunakan yaitu paired t test.

Tabel 3. Hasil Paired T-Test Pengaruh Senam Aerobik terhadap Penurunan BB pada remaja

Kelompok

Mean ±SD p value

Pretest Postest Selisih Intervesi Kontrol

Intervensi 31.92±3.35 31.74±3.17 0.18±0.35

0.000 0.000 Kontrol 30.76±3.28 30.85±3.26 0.08±0.30

Pada tabel 3. Menunjukkan nilai mean ±SD kelompok intervensi 31.92±3.35 dan kelompok kontrol 30.85±3.26 saat postest tidak jauh berbeda, p value kelompok intervensi yaitu 0.000 (p<0.05) dan p value kelompok kontrol yaitu 0.000 (p<0.05), artinya kedua kelompok tidak homogen (ada perbedaan) berat badan saat pretest-postest.

Tabel 4. Pengaruh Senam Aerobik terhadap Penurunan Berat Badan pada remaja obesitas di SMP Katolik Makassar tahun 2017

Kelompok t-test p value

Intervensi 2.170 0.045

Kontrol 1.246 0.230

Pada tabel 4. Menunjukkan hasil analisis paired t test menunjukan bahwa terdapat pengaruh aktivitas fisik (senam aerobic) pada kelompok intervensi terhadap penurunan berat badan remaja dengan p value 0.045 (p<0.05) dan nilai t hitung (2.170) > t tabel (17; 0.05) adalah 1.730 Berat badan pada remaja karena diperoleh p value 0.230 (p>0.05) dan nilai t hitung (1.246) < t tabel (17; 0.05) adalah 1.730 Ha ditolak.

Tabel 5. Hasil Independent T-Test Pengaruh Senam Aerobik terhadap Penurunan BB pada remaja obesitas di SMP Katolik Makassar tahun 2017

Variabel

Levene's Test for Equality

of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Berat Badan

(pretest) 0.005 0.945 1.053 0.300 1.1667 1.108 3.4184 1.085

Berat Badan

(postest) 0.105 0.748 0.833 0.411 0.8944 1.0741 3.0772 1.2883

(23)

80

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

PEMBAHASAN

1. Obesitas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari hasil analisis statistik normaltitas data menunjukkan nilai mean ±SD kelompok intervensi 31.92±3.35 dan kelompok kontrol 30.76±3.28 saat postest tidak jauh berbeda, p value kelompok intervensi yaitu 0.000 (p<0.05) dan p value kelompok kontrol yaitu 0.000 (p<0.05), artinya kedua kelompok tidak homogen (ada perbedaan) berat badan saat pretest-postest.

Hasil analisis stratifikasi dapat disimpulkan semakin meningkat tingkat kecukupan energi sebanyak 1% pada kelompok tingkat kecukupan energi kurang, maka IMT/U akan meningkat 0,03 mendekati status gizi normal, LILA akan meningkat 0,10 cm dan LP meningkat 0,22 cm. Namun hubungan ini tidak berlaku ketika tingkat kecukupan energi telah mencukupi atau lebih dari 80% AKG. Seseorang disebut mengalami obesitas apabila besar lemak tubuhnya melebihi batas normal. Jumlah lemak yang normal pada wanita adalah sekitar 15 - 28% dari berat badanya dan untuk pria jumlah lemak yang normal adalah 10 - 18% dari berat badannya (Zuhdy N. 2015).

Remaja obesitas memiliki aktivitas fisik tidak aktif yang lebih tinggi dibandingkan remaja non-obesitas (56,9% vs 34,7%). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa remaja dengan aktivitas fisik tidak aktif (OR=2,48; 95% CI:1,26-4,87); memiliki ibu dengan status obesitas (OR=3,78; 95% CI:1,89-7,56); dan memiliki ayah dengan status obesitas (OR=2,78; 95%CI:1,41-5,46) berisiko lebih besar mengalami obesitas dibandingkan dengan remaja yang memiliki aktivitas fisik aktif dan memiliki ayah dan ibu yang tidak obesitas. Subjek yang obesitas lebih banyak yang memiliki ibu dan ayah dengan status obesitas (69,4% dan 63,9%) sedangkan subjek yang tidak obesitas paling banyak memiliki ibu dan ayah yang tidak obesitas (62,5% dan 61,1%) (Weni Kurdanti, 2015).

Orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak, termasuk didalamnya pemberian makan. Orang tua yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Tingkat pendidikan orang tua yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional, dan psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orang tua yang tingkat pendidikannya rendah (Andries K, 2016).

Obesitas mempunyai dampak terhadap perkembangan anak terutama aspek perkembangan psikososial. Obesitas yang terjadi selama masa kanak-kanak memiliki konsekuensi medis jangka pendek, meliputi efek-efek yang merugikan terhadap pertumbuhan, tekanan darah, lipid darah, dan metabolisme glukosa. Obesitas pada masa anak-anak juga menimbulkan konsekuensi psikososial jangka pendek dan panjang seperti image diri yang negatif, penurunan kepercayaan diri, gangguan makan, dan kesehatan yang lebih rendah hubungannya dengan kualitas hidup (Andries K, 2016).

Pola makan berlebihan cenderung dimiliki oleh orang yang kegemukan. Orang yang kegemukan biasanya lebih responsif disbanding dengan orang yang memiliki berat badan normal terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu makan. Mereka cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan pada saat ia lapar. Pola makan yang berlebihan inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk keluar dari kegemukan apabila tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang kuat untuk mengurangi berat badan (Zulfa, 2016).

2. Aktivitas Fisik

Dalam penelitian ini didapatkan hasil berat badan responden dengan nilai signifikan pretest sebesar 0.945 dan nilai signifikan postest sebesar 0.105. Hasil uji statistik untuk dengan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) dari pretest diperoleh nilai batas bawah sebesar -3.4184 dan batas atas sebesar 1.0851. Sedangkan hasil uji statistik untuk dengan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) dari Postest diperoleh nilai batas bawah sebesar -3.0773 dan batas atas sebesar 1.2884. Berarti aktivitas fisik (senam) tidak mempengaruhi penurunan berat badan pada remaja, namun aktivitas lain termasuk faktor yang mempengaruhi penurunan berat badan apabila dilakukan secara rutin seperti tenis meja, berenang, berjalan cepat, berlari, bermain sepak bola dan bela diri.

(24)

81

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

tetapi dapat menjadi sarana belajar yang menyenangkan dan berolahraga secara tidak langsung. Bermain yang dilakukan seorang anak diharapkan permainan yang bermanfaat melatih kekuatan otot dan fisik, kemampuan komunikasi, sosialisasi, sehingga dapat menyehatkan anak (Yani M, 2013).

Hasil penelitian di Banyuwangi menunjukan bahwa aktifitas fisik yang dilakukan secara rutin dapat mempertahankan status gizi optimal. Aktifitas fisik yang dilakukan secara rutin dapat membakar penimbunan lemak, sehingga mengurangi risiko overweight (Aripin. 2015).

Penelitian Zuhdy N. (2015), aktivitas fisik yang paling sering dilakukan remaja putri adalah kegiatan domestik dengan jumlah 89,3% pelajar putri SMA kelas 1 yang secara teratur melakukan aktivitas domestik. Aktivitas fisik lainnya yang juga teratur dilakukan adalah menari dan yoga. Di salah satu tempat penelitian yaitu di SMA Dwijendra, yoga merupakan kelas tambahan yang wajib diikuti semua siswa sekali setiap minggu dengan durasi 120 menit setiap pertemuan. Aktivitas fisik merupakan gerakan tubuh untuk mengeluarkan energi, aktivitas yang dilakukan bergantung pada intensitas, curahan waktu dan juga frekuensi aktivitas fisik yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kestabilan berat badan. Semakin aktif seseorang dalam melakukan aktivias fisik maka semakin banyak energi yang dibutuhkan. Tubuh yang besar akan memerlukan energi yang juga lebih (Zulfa, 2016).

Hasil analisis uji-t terhadap berat badan, menghasilkan t hitung sebesar 2,650kg dengan p<0,05. Rata-rata penurunan berat badan pada subjek penelitian dengan frekuensi senam aerobik latihan > 3kali adalah 3,371kg, nilai tersebut leboh tinggi dibandingkan dengan rata-rata penurunan berat badan pada subjek penelitian dengan frekuensi <2kali sebesar 1,443kg. Dapat disimpulkan bahwa frekuensi senam aerobik >3kali dalam seminggu dapat menurunkan persentase lemak tubuh dan berat badan lebih tinggi daripada frekuensi senam aerobik <2kali dalam seminggu (Azmy A,2016). Aktivitas fisik seperti senam aerobik tampak lambat dalam menunjukkan perubahan persentase lemak tubuh dan berat badan, namun bila dilakukan secara intensif akan menunjukkan hasil yang cukup baik dalam hal penurunan persentase lemak tubuh dan berat badan.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari penelitian ini terdapat pengaruh penurunan berat badan remaja pada kelompok intervensi atau yang diberikan senam aerobik, sedangkan untuk kelompok kontrol tidak terdapat pengaruh terhadap penurunan berat badan. Hal ini dikarenakan remaja memiliki karakteristik yang sama. perubahan psikis menyebabkan remaja sangat mudah terpengaruh oleh teman sebaya. Kelompok teman sebaya mempengaruhi seorang remaja dalam berperilaku karena kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Andries K Matthew. (2016). Sikap Guru Mengenai Intervensi Diet Dan Aktivitas Fisik Pada Siswa Obesitas Di Sekolah Dasar. Tesis Dipublikasi. Universitas Sam Ratulangi.

Aripin. (2015). Pengaruh Aktivitas Fisik, Merokok Dan Riwayat Penyakit Dasar Terhadap Terjadinya Hipertensi Di Puskesmas Sempu Kabupaten Banyuwangi Tahun 2015. Tesis dipublikasi. Universitas Udayana.

Azmy Andini. (2016). Perbedaan Pengaruh Frekuensi Latihan Senam Aerobik Terhadap Penurunan Persentase Lemak Tubuh dan Berat Badan Pada Members Wanita. Jurnal dipublikasi. Universitas Negeri Yogyakarta.

Bustan M.N. (2015). Manajemen Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Cetakan Pertama. PT. Rineka Cipta: Jakarta.

Noor N.N. (2008). Epidemiologi. Cetakan Pertama. Rineka Cipta: Jakarta.

Notoatmodjo. (2010). Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku.Cetakan Pertama Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta.

Priyoto. (2014). Teori Sikap dan Perilaku dalam Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta.

Riset Kesehatan Dasar. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Siti Muthoharoh. (2017). Pengaruh pengetahuan dan lama olahraga terhadap penurunan berat badan pada remaja

overweight & obesitas di Mojokerto 2017. Tesis publikasi. Stikes Dian Husada.

Syamsinar Wulandari. (2016). Faktor yang berhubungan dengan kejadian obesitas pada remaja di SMAN 4 Kendari,2016. Skripsi. Universitas Halu Oleo.

(25)

82

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Weni Kurdanti. (2015). Faktor yang mempengaruhi kejadian obesitas pada remaja 2015. Jurnal Publikasi. Politeknik Kesehatan Yogyakarta.

WHO. (2014). World health statistics 2014 Library Cataloguing-in-Publication Data.

Yani Maidelwita. (2013). Pengaruh Faktor Genetik Pola Komsumsi Dan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Obesitas Pada Anak Kelas 4-6 SD SBI Percobaan Ujung Gurun Padang. Stikes Mercubaktijaya.

Zuhdy Nabila. (2015). Hubungan Pola Aktivitas Fisik dan Pola Makan Dengan Status Gizi pada Pelajar Putri SMA Kelas 1 di Denpasar Utara. Tesis dipublikasi.. Universitas Udayana Denpasar

(26)

83

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

ARTIKEL RISET

URL artikel: http://jurnal.fkmumi.ac.id/index.php/woh/article/view/woh1204

Pengaruh Peran Ganda Perempuan terhadap Kelangsungan Hidup Anak pada

Keluarga Berpenghasilan Rendah di Kota Makassar

KNurbaeti Arifin1 1

Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muslim Indonesia Email Penulis Korespondensi (K): nurbaeti63@gmail.com

ABSTRAK

Angka morbiditas dan mortalitas anak di Makassar secara umum masih tinggi, khususnya pada keluarga berpenghasilan rendah. Salah satu faktor penyebab yang dicurigai adalah rendahnya kelangsungan hidup anak. Penelitian ini bertujuan untuk menilai peran ganda ibu, jumlah penghasilan suami, pendidikan ibu dan tingkat pengetahuan ibu tentang upaya kesehatan akan kelangsungan hidup anak pada keluarga berpenghasilan rendah. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan cross-sectional study. Sampel yang dteliti adalah ibu rumah tangga pada keluarga berpenghasilan rendah (dibawah UMP/UMK) yang memiliki anak Balita. Besar sampel semuanya 92 orang yang dipilih secara purposive sampling. Analisis data dilakukan dengan bantuan komputer. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji T independen, uji korelasi dan Anova. Faktor determinan kelangsungan hidup anak dinilai berdasarkan hasil analisis regressi ganda. Pengujian statistik menggunakan tingkat kemaknaan 0,05. Dapat disimpulkan bahwa kelangsungan hidup anak pada keluarga berpenghasilan rendah di Makassar dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pendidikan dan pengetahuan ibu tentang KIA, namun yang dominan adalah pengetahuan ibu. Hasil penelitian menjelaskan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan keterlibatan ibu/perempuan dalam bekerja mencari tambahan penghasilan rumah tangga sambil mengasuh anak.Disarankan instansi terkait (khususnya dinas kesehatan) lebih

meningkatkan upaya promosi dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak pada keluarga berpenghasilan rendah .

Kata Kunci: Peran ganda perempuan, Kelangsungan hidup anak

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kematian bayi mengambil prosentasi sebanyak 59,4% dan 47,5% merupakan prosentase kematian balita yang terjadi pada usia neonatal (kematian pada usia di bawah 28 hari per seribu kelahiran dalam setahun). Angka Kematian Balita (1 - 4 tahun) adalah jumlah kematian anak umur 1 – 4 tahun per 1.000 anak balita. AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak dan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan anak Balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan kecelakaan, indikator ini menggambarkan tingkat kesejahteraan sosial, dalam arti besar dan tingkat kemiskinan penduduk.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Propensi Sulawesi Selatan dalam tahun 2014 angka kematian bayi mencapai 41 per 1.000 kelahiran hidup. (Dinkes

(27)

84

| Penerbit: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia

Di kota Makassar, berdasarkan penelitian terdapat 147.585 warga yang t idak/belum tamat SD terdiri dari 104.765 warga perempuan dan 42.820 warga laki-laki pada usia 12 tahun ke atas. Pada tingkat pendidikan rendah, persentase wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Begitupula dengan penduduk yang Tidak/Belum Tamat SD, kesempatan wanita lebih rendah. Sementara pada tingkat pendidikan tinggi, terjadi sebaliknya. Ini menandakan bahwa partisipasi wanita di bidang pendidikan lebih rendah daripada laki-laki.

Diharapkan dengan bertambahnya wanita yang berpendidikan, khususnya untuk wilayah Makassar, akan

diikuti dengan semakin luasnya peran wanita dalam segala bidang kehidupan. Namun, berdasarkan kenyataannya di lapangan, hal itu tidak terjadi, mungkin karena peran reproduktif yang dilakukannya menyebabkan banyak wanita yang menunda atau menghentikan peran produktifnya.

Pada keluarga berpenghasilan rendah trade-off yang terjadi apabila ibu bekerja adalah hilangnya kesempatan dia mengasuh dan membesarkan anaknya secara optimal. Ini bagaikan buah simalakama, sebab seandainya ibu tidak bekerja dan penghasilan suami tidak mencukupi, maka seluruh anggota keluarga (termasuk anak balita) akan mengalami defisit konsumsi gizi. Penelitian di India membuktikan, tumbuh kembang anak balita yang tidak diasuh ibunya akibat ibu bekerja, ternyata lebih baik jika ibu tidak bekerja dan hanya mengandalkan penghasilan suami yang kurang.( Ali Khomsan, Kompas Senin 7 Agustus 2006).

Kita menyadari perempuan di seluruh dunia memainkan peran ganda, yakni sebagai ibu, pengatur rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, produsen dan konstributor penghasilan keluarga, dan pengatur organisasi kemasyarakatan yang berdampak pada kesejahteraan sosial. Inilah yang dikenal sebagai Empat Peran Perempuan.

Tujuan

Pengaruh peran ganda perempuan, jumlah penghasilan suami, pendidikan dan pengetahuan KIA terhadap kelangsungan hidup anak pada keluarga berpenghasilan rendah

.

METODE

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan cross-sectional study yakni suatu pendekatan dengan cara mengumpulkan berbagai data dan informasi atau keterangan dari responden terhadap peran ganda perempuan dalam kelangsungan hidup anak pada keluarga berpenghasilan rendah di kota Makassar. Semua data variabel penelitian akan dikumpulkan pada periode waktu yang sama.

Populasi penelitian adalah semua ibu rumah tangga dari keluarga berpenghasilan rendah (dibawah UMP/UMK sejumlah 2,5 Juta) yang bertempat tinggal di wilayah cakupan Puskesmas Jongaya Kota Makassar. Sampel yang diteliti adalah anggota populasi yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan Puskesmas Jongaya pada saat penelitian dilaksanakan, yang memenuhi kriteria penelitian. Perkiraan besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus estimasi proporsi. Jumlah sampel yang diteliti adalah 92 orang.

Data yang dikumpulkan kemudian diinput ke dalam komputer. Pengolahan dan analisis data akan dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak statistik. Jenis analisis yang akan dilakukan adalah univariat, bivariat (Independent T-test, one-way Anova, Person correlation) dan multivariat (Multiple regression). Semua hasil analisis akan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik disertai dengan penjelasannya.

HASIL

Pengaruh Peran Ganda Terhadap Kelangsungan Hidup Anak

Gambar

Tabel 1. Faktor Risiko kejadian katarak pada Pasien Pria Usia 40-55 Tahun di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Tahun 2017
Tabel 3.Hasil Pengukuran Suhu, Kelembaban, dan Pencahayaan
Tabel 5. Hubungan Antara Suhu dengan Angka Total Mikroorganisme Udara pada Ruangan  Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia
Tabel 11. Hubungan antara  Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Mahadi Saputra, Universitas Pamulang (Jurnal Pemasaran Kompetitif ISSN No.print 2598-0823 Vol. 2 No.1 Oktober 2018) mengenai “Pengaruh

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan wisatawan dalam penggunaan transportasi laut dari Bali menuju Gili

Di dalam pura, terdapat peninggalan beberapa benda purbakala berbentuk arca seperti: (a) Arca Dwarepala yaitu patung penjaga pintu atau gerbang dalam ajaran Siwa

5.1. Produksi pigmen merah oleh Monascus purpureus dalam medium limbah ubi kayu dengan jumlah stater dan waktu fermentasi berbeda menghasilkan konsentrasi pigmen yang

Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa nilai p=0,000 (p&lt;0,5) yang artinya bahwa terdapat hubungan antara kecukupan energi dengan kejadian obesitas pada anak kelas 3-5 di SD

Karena itu pelaksanaan kontrak belajar merupakan bagian dari hidden kurikulum, karena pelaksanaan kontrak belajar tidak tercantum secara eksplisit dalam kurikulum namun

Hasil uji statistik didapatkan nilai P sebesar 0,820 karena nilai signifikan lebih dari 0,05 maka dapat disimpulkan tidak ada pengaruh aktivitas fisik dengan kejadian obesitas

bahwa Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2019 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal di dalam Unit Pelaksana Teknis Dinas Panti Sosial