• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SLB AUTIS DI SURAKARTA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SLB AUTIS DI SURAKARTA SKRIPSI"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

DI SLB AUTIS DI SURAKARTA

SKRIPSI

Dalam Rangka Penyusunan Skripsi sebagai Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi

Oleh:

G0107070

Pembimbing:

1. Dra. Machmuroch, M.S.

2. Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M.

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

"Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya"

QS. Al Baqarah:286

Berfikirlah apa yang kita bisa lakukan jangan berfikir tentang apa yang tidak bisa kita lakukan

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

1. Alm. Bapak dan Ibu tercinta

2. Kakak-kakakku tercinta, Mas Antok, Mbak Diana, Mbak Fithri, dan Elyda

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan

karya ini. Satu hal yang penulis sadari, bahwa karya ini dapat terselesaikan juga

karena bantuan dari berbagai pihak. Rasa terima kasih sudah sepantasnya penulis

sampaikan dengan hati yang tulus kepada segenap pihak atas segala partisipasinya

dalam pelaksanaan dan penyelesaian karya ini. Untuk itu dengan kerendahan hati,

penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp. PD-KR-FINASIM, selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

2. Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

3. Dra. Machmuroch, M.S selaku pembimbing utama skripsi yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, dan ilmu yang

bermanfaat selama penyelesaian skripsi

4. Bapak Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M. selaku pembimbing pendamping

dan pembimbing akademik atas segala bimbingan, bantuan, nasihat, dan

kesabaran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama studi dan

penyusunan karya ini

5. Ibu Dra. Suci Murti Karini, M.Si., dan Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku

penguji I dan II, yang telah bersedia memberikan saran dan kritik kepada

(8)

6. Ibu C. Ari Sulistyandari, S.Pd., selaku Kepala SLB Autis AGCA Center, Ibu

Yatmi, S.Pd., selaku Kepala SLB Autis Alamanda, dan Ibu Etty Prasetyastuti,

S.E., M.M., selaku Kepala SLB Autis Harmony, yang telah memberikan ijin

kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.

7. Ibu-ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis Surakarta yang telah bersedia

menjadi responden dan berbagi pengalaman yang sangat berharga

8. Ahmad Isnaini Hasan, S.Si., yang setia dan penuh kesabaran selalu

membantu, mendukung, memotivasi agar cepat selesai. Kita akan

mendapatkan yang terbaik apabila melakukan yang terbaik.

9. Sahabatku yang sudah lulus tetapi masih memonitor penulis dari kota lain,

Widya, Nisong, Ayu, Jessica, Shesa, dan Rifa, serta sahabatku Aan dan Dewi

yang masih berjuang bersama di kampus ini. Semoga persahabatan kita kekal

selamanya.

10. Teman-teman angkatan 2007 yang telah memberikan masukan, dukungan,

dan pertemanan yang indah.

11. Anis, Septi, Mayya, Sofi, Prily, Adhisty, Mbak Nisa, Mbak Arum, dan para

volunteer Autism Care Indonesia yang telah memberikan semangat dan tetap tersenyum, serta para orang tua dan anak berkebutuhan khusus yang menjadi

inspirasi.

Semoga Allah SWT berkenan memberikan pahala yang sepadan dan

semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak.

(9)

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS

DI SLB AUTIS DI SURAKARTA

Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK

Autis adalah gangguan perkembangan yang sifatnya kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, komunikasi, dan aktivitas serta minat yang terbatas yang sulit untuk dipahami oleh ibu yang memiliki anak autis, sehingga dapat menyebabkan stres. Penerimaan diri dan dukungan sosial diharapkan dapat membantu ibu yang memiliki anak autis untuk menghindari stres. Ibu yang dapat menerima diri sebagaimana adanya akan dapat menghindari stres karena dapat menyesuaikan harapan dengan kenyataan. Ibu yang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan akan terhindar dari stres karena adanya perasaan positif dalam dirinya.

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Subjek penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta, yaitu SLB Autis AGCA Center, SLB Autis Alamanda, dan SLB Autis Harmony dengan jumlah 68 orang, 30 orang untuk try out dan 38 orang untuk penelitian. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria sampel berusia 20-45 tahun dan bukan single parent. Alat ukur yang digunakan adalah skala stres pada ibu yang memiliki anak autis, skala penerimaan diri, dan skala dukungan sosial. Analisis data menggunakan analisis regresi dua prediktor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F-test = 14,916, p < 0,05, dan nilai R = 0,678. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu terdapat hubungan signifikan yang kuat antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Hasil penelitian juga menunjukkan nilai rx1y = -0,338; p<0,05, artinya terdapat hubungan signifikan yang negatif antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Nilai rx2y = -0,354; p<0,05, menunjukkan terdapat hubungan signifikan yang negatif antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis..

Nilai R2 dalam penelitian ini sebesar 0,460 atau 46%, terdiri atas sumbangan efektif penerimaan diri terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 22,27% dan sumbangan efektif dukungan sosial terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 23,73%. Ini berarti masih terdapat 54% faktor lain yang mempengaruhi stres pada ibu yang memiliki anak autis selain penerimaan diri dan dukungan sosial.

(10)

CORRELATION BETWEEN SELF ACCEPTANCE AND SOCIAL SUPPORT TOWARD STRESS HAPPENED TO MOTHERS WITH AUTISM

CHILDREN IN SLB AUTISM SURAKARTA

Sebelas Maret University of Surakarta ABSTRACT

Autism is complex developmental disorder, consisting of social interaction aspect, communication aspect, activity aspect, and limited apitude that hard to be understood by mother with autism children, so that it causes stress. Self acceptance and social support can help mothers with autism children to avoid stress. Mothers who can accept their self will avoid from stress because can adapt their wishes with the real situation. Mothers who get social support from their environment will avoid from stress because positif feeling on their self.

The purpose of this research is to find out the correlation between self criteria of 20 45 years old and not including a single parent. This research used the scale of stress happened to mothers with autism childrens, self acceptance scale, and social support scale as the instruments. Data analysis in this research is multiple predictors regression analysis.

The result shows the value of F-test = 14.916, p < 0.05, and the value of R = 0,678. Based on the result, it can be concluded that the hypothesis in this research is accepted, that is a significant correlation between self acceptance and social support toward stress happened to mothers with autism childrens in SLB Autism Surakarta. The result also shows the value of rx1y = -0.338; p<0.05, it indicates negative significant correlation between self acceptance and stress happened to mothers with autism childrens. The value of rx2y = -0.354; p<0,05, it indicates negative significant correlation between social support and stress happened to mothers with autism childrens.

The value of R2 in this research equals 0.460 or 46%, consisting of 22.27% effective contribution of self acceptance toward stress happened to mothers with autism childrens and 23.73% effective contribution of social support toward stress happened to mothers with autism childrens

still 54% of another factors that also influence stress happened to mothers with autism childrens beside self acceptance and social support.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. LANDASAN TEORI ... 12

A. ... 12

(12)

3. Stres pada Orang tua yang Memiliki anak Autis ... 18

4. Aspek-aspek Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ... 21

5. Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ... 25

B. Penerimaan Diri ... 30

1. Pengertian Penerimaan Diri ... 30

2. Tahapan Penerimaan Diri ... 32

3. Dampak Penerimaan Diri ... 33

4. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri... 35

5. Aspek-aspek Penerimaan Diri... 37

C. Dukungan Sosial ... 40

1. Pengertian Dukungan Sosial ... 40

2. Sumber-sumber Dukungan Sosial... 42

3. Dampak Dukungan Sosial... 43

4. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial ... 44

5. Aspek-aspek Dukungan Sosial ... 45

D. Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ... 49

1. Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ... 49

(13)

3. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang

Memiliki Anak Autis ... 54

E. Kerangka Pemikiran ... 55

F. Hipotesis ... 56

BAB III. METODE PENELITIAN ... 57

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 57

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 57

C. Populasi, Sampel, dan Sampling ... 59

1. Populasi ... 59

2. Sampel... 60

3. Sampling ... 61

D. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 62

1. Sumber Data... 62

2. Metode Pengumpulan Data ... 63

E. Validitas dan Reliabilitas Skala Pengukuran ... 68

1. Validitas ... 68

2. Reliabilitas ... 70

F. Metode Analisis Data ... 71

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74

A. Persiapan Penelitian ... 74

1. Orientasi Kancah Penelitian ... 74

2. Persiapan Penelitian ... 78

(14)

4. Uji Validitas dan Reliablitas Skala ... 85

B. Pelaksanaan Penelitian ... 95

1. Penentuan Responden Penelitian ... 95

2. Pengumpulan Data Penelitian ... 95

3. Pelaksanaan Skoring ... 95

C. Analisis Data Penelitian ... 96

1. Uji asumsi dasar ... 96

2. Uji asumsi klasik ... 99

3. Uji hipotesis ... 103

4. Analisis deskriptif ... 108

5. Analisis Crostab ... 112

6. Sumbangan relatif dan sumbangan efektif ... 112

D. Pembahasan ... 113

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 122

A. Kesimpulan ... 122

B. Saran ... 123

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Penerimaan Diri

dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki

Anak Autis ... 55

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tabel Penilaian Aitem Skala ... 64

Tabel 2. Blue Print Skala Stres ... 65

Tabel 3. Blue Print Skala Penerimaan Diri ... 66

Tabel 4. Blue Print Skala Dukungan Sosial ... 67

Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Sebelum Uji Coba ... 80

Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Sebelum Uji Coba ... 82

Tabel 7. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba ... 84

Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis yang Valid dan Gugur ... 87

Tabel 9. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri yang Valid dan Gugur ... 89

Tabel 10. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial yang Valid dan Gugur ... 91

Tabel 11. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis untuk Penelitian ... 92

Tabel 12. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri untuk Penelitian... 93

Tabel 13. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial untuk Penelitian ... 94

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ... 97

Tabel 15. Hasil Uji Linearitas Penerimaan Diri dengan Stres ... 98

Tabel 16. Hasil Uji Linearitas Dukungan Sosial dengan Stres ... 98

Tabel 17. Hasil Uji Multikolinearitas... 100

(17)

Tabel 20. Hasil Uji Autokorelasi ... 102

Tabel 21. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi Ganda (R) ... 104

Tabel 22. Hasil Uji F ... 105

Tabel 23. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda ... 105

Tabel 24. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi (r) ... 106

Tabel 25. Hasil Analisis Korelasi Parsial Penerimaan Diri dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ... 107

Tabel 26. Hasil Analisis Korelasi Parsial Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ... 108

Tabel 27. Analisis Deskripsi Data Penelitian ... 109

Tabel 28. Hasil Perhitungan ME, MH, Nilai Tengah Skor, Skor Tinggi, Skor Rendah, Rentang Skor, dan SD Variabel Penelitian ... 109

Tabel 29. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ... 110

Tabel30. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Penerimaan Diri ... 110

Tabel31. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Dukungan Sosial ... 111

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Uji Coba ... 132

Lampiran B. Distribusi Skor Uji-Coba ... 147

Lampiran C. Uji Validitas Dan Reliabilitas ... 160

Lampiran D. Skala Penelitian ... 168

Lampiran E. Distribusi Skor Skala Penelitian... 180

Lampiran F. Analisis Data Penelitian ... 195

Lampiran G. Kelengkapan Admintrasi ... 209

Lampiran H. Jadwal Kegiatan Penyusunan Skripsi ... 216

(19)
(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang tua khususnya ibu menginginkan anaknya berkembang

sempurna, namun sering terjadi harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang

ada dimana anak memperlihatkan masalah dalam perkembangan sejak usia dini.

Salah satu gangguan perkembangan yang dapat terjadi pada anak adalah autis.

Autis secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, auto, yang artinya sendiri.

Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa anak autis pada umumnya hidup

dengan dunianya sendiri, menikmati kesendirian dan tidak respon dengan

orang-orang sekitar (Geniofam, 2010). Jumlah anak yang terkena autis semakin

meningkat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini

mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002

disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan

autis terjadi pada 60.000 - 150.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain

menyebutkan prevalensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang

mengatakan 1 diantara 1.000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan

dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10

anak menderita autis (Huzaemah, 2010).

Yayasan Autisma Indonesia (YAI) menyebutkan, meskipun jumlah anak

penderita autis terus meningkat, namun belum pernah ada survei khusus mengenai

(21)

bahwa jumlah penderita autis terus meningkat dari tahun ke tahun, dan kini tidak

hanya ada di kota-kota besar saja, tetapi sudah merambah di daerah-daerah.

Sayangnya hingga kini belum ada survei yang menunjukkan seberapa banyak

jumlah penderita autis (Judarwanto, 2009). Indikator peningkatan baru dapat

diperoleh dari catatan praktek dokter, yang dari penanganan 3-5 pasien baru per

tahun, kini menangani 3 pasien baru setiap hari dan itupun dibatasi, serta dari

catatan penerimaan siswa di sekolah-sekolah. Sulit mendapatkan angka di

Indonesia mengingat bahwa belum ada sensus resmi, belum meratanya diagnosis

untuk anak-anak autis, dan keengganan orang tua untuk mengakui bahwa anaknya

adalah individu autistik (Yayasan Autisma Indonesia, 2008). Indonesia dengan

jumlah penduduk 200 juta orang, hingga saat ini belum diketahui jumlah pasti

penyandang namun diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai

150.000-200.000 orang. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 4 : 1, namun anak

perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Huzaemah,

2010).

Berdasarkan data di Sekolah Luar Biasa (SLB) Autis Surakarta, antara lain

SLB Autis Alamanda, SLB Autis AGCA Center, dan SLB Autis Harmony, telah

terjadi peningkatan jumlah anak autis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak autis

dari yang awalnya hanya menangani 3-5 anak per hari, sekarang menangani 10-20

anak per hari bahkan lebih. Selain itu, walaupun SLB tersebut juga menangani

anak berkebutuhan khusus yang lain, jumlah anak autis lebih besar dibandingkan

dengan jumlah anak berkebutuhan khusus lain. Jumlah total siswa di SLB Autis

(22)

mental, 1 gangguan down syndrome, dan 3 gangguan kesulitan belajar. Jumlah total siswa di SLB Autis AGCA Center adalah 35 siswa, dengan rincian siswa

yang autis sebanyak 28 siswa dan 7 siswa memiliki gangguan down syndrome. Jumlah total siswa di SLB Harmony adalah 50 orang dengan rincian 30 siswa

autis dan 20 gangguan kesulitan belajar.

Orang tua memiliki peran penting dalam perkembangan anak autis.

Marijani (2003) menyatakan bahwa peran serta orang tua dalam memberikan

penanganan kepada anak autis secara tepat, terarah, dan sedini mungkin dapat

memberikan kesempatan yang besar kepada anak agar dapat hidup mandiri.

Menurut Cohen & Volkmar (dalam Sembiring, 2010), ibu merupakan sosok yang

banyak terlibat sehari-hari dalam pengasuhan anak dibandingkan ayah, karena

ayah berperan sebagai pencari nafkah utama sehingga mereka tidak terlalu terlibat

dalam pengasuhan anak sehari-hari maka ibu dipandang sebagai sosok yang

paling dekat dengan anak.

Berdasarkan wawancara dengan S, salah satu ibu yang memiliki anak autis

di SLB Autis AGCA Center, memiliki anak autis merupakan salah satu masalah

terberat dalam hidupnya. S bercerita bahwa orang tua khususnya ibu yang

memiliki anak autis memiliki kehidupan yang berbeda dengan ibu yang memiliki

anak normal. Perilaku anak autis yang sulit dipahami dan seperti tidak memiliki

rasa lelah membuat S harus menghabiskan banyak waktu di rumah. S yang

dulunya bekerja bahkan memutuskan untuk berhenti bekerja. S bercerita bahwa

terkadang dia sulit memahami perilaku anaknya yang sangat suka merobek kertas

(23)

juga sering menggesekkan kedua tangannya sampai tangannya menjadi sangat

kasar dan menggigit dirinya sendiri sehingga S harus mengawasi jangan sampai

anaknya terluka. Perilaku anaknya yang belebihan, seperti berjalan-jalan keliling

rumah, berlari-lari, dan tidak bisa diam membuatnya harus selalu mengawasi

anaknya karena takut anaknya keluar rumah dan dapat membahayakan anak. S

mengatakan bahwa setiap hari hanya tidur beberapa jam sehingga sangat lelah. S

juga merasa sedih dan merasa bersalah saat memikirkan masa depan anaknya.

Menurut Handoyo (2003), anak autis memiliki kecenderungan untuk

berperilaku berlebihan ataupun berkekurangan, berbeda untuk masing-masing

anak. Perilaku berlebihan antara lain perilaku melukai diri sendiri (self abuse), seperti memukul, menggigit, dan mencakar diri sendiri; agresif, seperti perilaku

menendang, memukul, menggigit, dan mencubit; dan tantrum, seperti perilaku

menjerit, menangis, dan melompat-lompat. Perilaku berkekurangan ditandai

dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga

terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat

misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. Perilaku ini

menyebabkan ibu yang memiliki anak autis harus ekstra 24 jam mengawasi

anaknya. Hambatan komunikasi yang dialami anak mengakibatkan ibu semakin

frustasi karena tidak dapat memahami keinginan anak. Boyd, dkk., (dalam

Burrows, 2010) menyebutkan bahwa ibu yang memiliki anak autis membutuhkan

usaha untuk mengatasi permasalahan yang sering muncul ketika menghadapi

(24)

Menurut Monat & Lazarus (dalam Safaria, 2005), stres adalah segala

peristiwa atau kejadian baik berupa tuntutan-tuntutan lingkungan maupun

tuntutan-tuntutan internal (fisiologis atau psikologis) yang menuntut, membebani,

atau melebihi kapasitas sumber daya adaptif individu. Sarafino (1994)

berpendapat bahwa stres adalah kondisi yang disebabkan ketika ada perbedaan

antara seseorang atau situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis,

psikologis, atau sistem sosial individu tersebut.

Boyd, dkk., (dalam Burrows, 2010) menyebutkan bahwa ibu yang

memiliki anak autis memiliki resiko yang tinggi terhadap depresi, stres, dan

kecemasan. Depresi, stres, dan kecemasan ini disebabkan karena adanya dua hal

yang saling bertentangan antara kebutuhan untuk tetap berbicara dan kebutuhan

untuk tetap diam mengenai pengalaman traumatis memiliki anak autis. Hal ini

diilustrasikan dengan perasaan yang kuat dan tanda-tanda penderitaan seperti

sering menangis, merasa cepat lelah karena merasa secara otomatis dan permanen

tidak dapat rileks, dan tidak mendapatkan malam tidur secara bertahun-tahun.

Bristol & Schopler, Holroyd & McArthur, dan Dumas, dkk., (dalam Davis, dkk.,

2008; Plumb, 2011) mengemukakan bahwa tingkat resiko depresi, stres, dan

kecemasan ibu yang memiliki anak autis lebih tinggi dibandingkan dengan ibu

yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan yang lainnya seperti down syndrome dan retardasi mental.

Menurut hasil penelitian Sabih dan Sajid (2006), dengan sampel 60 orang

tua (30 ayah, 30 ibu), dari 30 anak-anak dengan diagnosis autis yang diperoleh

(25)

dan Wah Cantt, Pakistan, diketahui bahwa muncul stres yang signifikan pada

orangtua yang memiliki anak-anak yang mengalami gangguan autis. Hasil

penelitian menunjukkan tingkat stres pada ibu lebih tinggi daripada tingkat stres

pada ayah.

Hjelle dan Ziegler (dalam Ellyya dan Rachmahana, 2008) menyatakan

bahwa toleransi terhadap stres yang tinggi merupakan salah satu ciri dari individu

yang mampu menerima dirinya. Penerimaan diri ini terbentuk karena individu

yang bersangkutan dapat mengenal dirinya dengan baik. Hurlock (1974)

mengatakan bahwa penerimaan diri inilah yang membuat perilaku individu

menjadi well-adjusted yang pada akhirnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap stres.

Penerimaan diri merupakan kemampuan untuk mengesampingkan

kekurangan dan kesalahan, rasa malu yang merusak dan kecemasan yang ekstrim

atau luar biasa (Maslow, 1994). Individu yang dapat menerima dirinya sendiri,

mampu menerima sifat manusiawi dengan segala kekurangan dan dengan segala

yang tidak sesuai dengan cita-cita idealnya, serta puas akan keadaan dan sifatnya

sebagaimana adanya, tanpa kesal atau keluhan, atau bahkan terlalu banyak

memikirkannya. Schultz (1991) berpendapat bahwa orang yang menerima diri

dapat menerima kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa

keluhan atau kesusahan dan terlampau banyak memikirkannya. Meskipun mereka

memiliki kelemahan-kelemahan, mereka tidak merasa malu atau merasa bersalah

(26)

Ibu yang memiliki anak autis dapat dikatakan memiliki penerimaan diri

yang tinggi bila mampu memahami kelebihan-kelebihan dirinya, memaksimalkan

segala potensi yang ada, dan mengakui keterbatasan dirinya. Ibu yang memiliki

anak autis tidak membandingkan kehidupannya dengan kehidupan ibu dengan

anak normal lainnya. Individu dapat menyesuaikan harapannya sesuai dengan

kenyataan yang ada dan memahami keadaan diri sebagaimana adanya. Hal ini

sejalan dengan pendapat Hurlock (1974), yang menyebutkan bahwa penerimaan

diri yang baik hanya akan terjadi bila individu yang bersangkutan mau dan

mampu memahami keadaan diri sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang

diinginkan. Selain itu juga harus memiliki harapan yang realistis, sesuai dengan

kemampuannya. Dengan demikian bila seorang individu memiliki konsep yang

menyenangkan dan rasional mengenai diri maka dapat dikatakan orang tersebut

dapat menyukai dan menerima diriya.

Selain penerimaan diri, dukungan sosial merupakan komponen penting

dalam kehidupan orang tua yang memiliki anak autis untuk menghindari stres.

Menurut Tarwanti dan Astuti (2008), faktor pendukung dalam penyesuaian orang

tua yang memiliki anak autis sehingga menghindarkan dari bahaya stres

diantaranya adalah kondisi lingkungan yang selalu kondusif; dukungan emosional

dari berbagai pihak baik dari pasangan, keluarga, teman-teman, maupun

lingkungan; dukungan material; serta unsur-unsur penentu psikologis yang

merupakan cara orang tua untuk bisa belajar dari pengalaman agar dapat

menangani anak secara tepat. Sedangkan faktor penghambat adalah kondisi anak

(27)

Dukungan sosial merupakan suatu bentuk kenyamanan, pengertian,

penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok

Sumber utama dukungan sosial adalah dukungan yang berasal dari anggota

keluarga, teman dekat, rekan kerja, saudara dan tetangga (Cobb, dkk., dalam

Sarafino, 1994). Sarason (dalam Rustiana, 2006) menyebutkan dukungan sosial

dapat berupa pemberian informasi, bantuan tingkah laku atau materi yang terdapat

dari hubungan sosial yang akrab, atau hanya disimpulkan dari keberadaan mereka,

yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai.

Lieberman (dalam Lubis, 2006) mengemukakan bahwa secara teoritis

dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang

dapat mengakibatkan stres. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan

orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian

tersebut sehingga akan mengurangi potensi munculnya stres. Dukungan sosial

juga dapat mengubah hubungan antara respon individu pada kejadian yang dapat

menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi

stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang

menimbulkan stres dan efeknya.

Penelitian Dunn, dkk., (2001) yang berjudul Moderators of Stress in Parents of Children with Autism menyebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu mekanisme untuk mengurangi stres pada orang tua yang memiliki anak

autis. Lebih lanjut, dalam penelitian yang sama Gill & Harris (1991) menjelaskan

bahwa tingkatan stres pada orang tua anak autis dapat dibedakan dari dukungan

(28)

dukungan sosial memiliki tingkatan stres yang lebih rendah terkait dengan

masalah somatik dan gejala depresi.

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa ibu yang memiliki anak

autis memiliki peran yang sangat penting dalam membantu upaya penanganan

anak autis untuk menjadi mandiri dan mampu beradaptasi. Perilaku anak autis

yang sulit untuk dipahami dimungkinkan dapat menyebabkan ibu yang memiliki

anak autis mengalami stres. Penerimaan diri dan dukungan sosial dimungkinkan

terkait dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Fenomena semakin

meningkatnya jumlah anak autis di SLB Autis di Surakarta membuat peneliti

tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul

Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah:

1. Apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan

stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta?

2. Apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang

memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta?

3. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang

(29)

C. Tujuan

Sesuai dengan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan

stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.

2. Mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang

memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.

3. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang

memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.

D. Manfaat

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis:

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi

mengenai penerimaan diri, dukungan sosial, dan stres dalam

pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis, psikologi sosial

ataupun studi psikologi pada umumnya.

b. Dapat berguna bagi bidang pengetahuan serta pihak-pihak terkait yang

membutuhkan informasi seperti guru inklusi atau sekolah luar biasa dan

praktisi psikolog yang menangani anak berkebutuhan khusus, khususnya

(30)

2. Manfaat praktis:

Dari hasil penelitian ini diharapkan:

a. Bagi ibu yang memiliki anak autis, dapat membantu individu untuk

menghindari stres dengan memiliki penerimaan diri yang tinggi dan

memanfaatkan dukungan sosial dengan baik.

b. Bagi praktisi anak (guru inklusi atau sekolah luar biasa, psikolog, dokter

dan atau tenaga kesehatan), diharapkan dapat dijadikan pertimbangan

(31)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

1. Pengertian Autisme pada Anak

Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang

mencakup bidang sosial dan afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non-verbal,

imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Autisme merupakan kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau yang

abnormal dari hubungan sosial dan bahasa (Lumbantobing, 2001).

Menurut Kanner (dalam Wenar, 2006) autisme adalah salah satu

gangguan pervasif yang dicirikan dengan tiga ciri utama, yaitu pengasingan

yang ekstrim (extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis dan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku

untuk anak dan lingkungannya. Ketiga, yaitu mutism dan cara berbicara yang tidak komunikatif, termasuk di dalamnya echolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan untuk

menerjemahkan kalimat secara harafiah dan kata gantinya sendiri, biasanya

Nevid (2005) berpendapat bahwa autisme adalah salah satu gangguan

terparah di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung

sepanjang hidup. Anak-anak yang menderita autisme tampak benar-benar

(32)

autisme mulai tampak pada usia 18-30 bulan. Namun demikian barulah pada

usia sekitar 6 tahun rata-rata anak yang mengalami gangguan ini untuk

pertama kali memperoleh diagnosis (Fox, dalam Nevid, 2005).

Pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan

perkembangan pervasif, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk

dalam gangguan perkembangan pervasif (Pervasive Developmental Disorder)

menurut DSM IV (APA, 2000 dalam Wenar, 2006). Namun dalam

kenyataannya hampir keseluruhan golongan gangguan perkembangan pervasif

disebut oleh para orangtua atau masyarakat sebagai autisme. Padahal di dalam

gangguan perkembangan pervasif meski sama-sama ditandai dengan gangguan

dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial,

komunikasi serta munculnya perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan gangguan autistik (Autistic Disorder) dengan

gangguan Rett gangguan disintegatif masa anak (Childhood

Disintegrative Disorder) dan gangguan Asperger ). Gangguan autistik berbeda dengan gangguan Rett dalam rasio jenis

kelamin penderita dan pola berkembangnya hambatan. Gangguan Rett hanya

dijumpai pada wanita sementara gangguan Autistik lebih banyak dijumpai

pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 : 1. Selanjutnya pada sindroma Rett

dijumpai pola perkembangan gangguan yang disebabkan perlambatan

(33)

prasekolah, sama seperti penderita autistik, anak dengan gangguan Rett

mengalami kesulitan dalam interaksi sosialnya.

Selain itu gangguan Autistik berbeda dari Gangguan Disintegratif

masa anak, khususnya dalam hal pola kemunduran perkembangan. Pada

Gangguan Disintegratif, kemunduran (regresi) terjadi setelah perkembangan

yang normal selama minimal 2 tahun sementara pada gangguan autistik

abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama kelahiran. Selanjutnya,

gangguan autistik dapat dibedakan dengan gangguan Asperger karena pada

penderita asperger tidak terjadi keterlambatan bicara. Penderita Asperger

sering juga disebut dengan istilah High Function Autism , selain karena kemampuan komunikasi mereka yang cukup normal juga disertai dengan

kemampuan kognisi yang memadai.

Kriteria Diagnostik Autisme DSM IV (APA, 2000) dalam (Wenar,

2006) yaitu :

a. Didapatkan jumlah total 6 (atau lebih) aitem dari (1), (2), dan (3), dengan

sekurangnya 2 dari (1) dan masing-masing (1) dari (2) dan (3).

(1) Gangguan kualitatif interaksi sosial, bermanifestasi pada sekurangnya

dua dari hal berikut :

(a) Gangguan yang nyata dalam perilaku non verbal multiple, seperti

menatap mata, ekspresi wajah, sikap badan, dan gestur (isyarat)

untuk berinteraksi sosial.

(b)Gagal mengembangkan hubungan antar sebaya sesuai dengan

(34)

(c) Kurang spontanitas membagi kegembiraan, kesenangan, interest,

atau perolehan (misalnya kurang menyatakan, membawakan atau

menunjukkan objek yang menarik).

(d)Kurang hubungan timbal balik sosial dan emosional.

(2) Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi sebagaimana terlihat pada

sekurangnya satu dari hal berikut :

(a) Terlambat, atau sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa lisan

(tidak disertai upaya untuk mengkompensasikannya dengan cara

komunikasi alternatif, seperti isyarat atau mimik).

(b)Pada individu yang bicaranya memadai, terdapat gangguan yang

nyata dalam kemampuan untuk memulai atau mempertahankan

percakapan dengan orang lain.

(c) Penggunaan bahasa secara stereotip atau berulang-ulang (yang itu

itu saja) atau bahasa idiosinkratik.

(d)Kurang ragam bermain yang menggandai atau bermain sosial

imitative sesuai dengan tingkat perkembangannya.

(3) Pola yang terbatas, berulang, dan stereotip dari perilaku, interest, dan

aktivitas sebagai yang bermanifestasi pada sekurangnya satu dari hal

berikut :

(a) Terpaku perhatiannya pada satu atau lebih pola interest yang

stereotip dan terbatas yang abnormal intensitas atau fokusnya.

(b)Tampak menempel secara tidak fleksibel pada rutinitas atau ritual

(35)

(c) Perilaku motorik yang aneh, stereotip dan berulang (misalnya

mengelepak atau memilin tangan atau jari, atau gerak seluruh

badan yang kompleks).

(d)Perhatiannya secara persisten dipenuhi atau melekat pada

bagian-bagian suatu objek.

b. Terlambat atau fungsi yang abnormal dari sekurangnya satu dari bidang

berikut yang bermula sebelum usia 3 tahun, yaitu : (1) interaksi sosial, (2)

bahasa yang digunakan pada komunikasi sosial, (3) permainan simbolik

dan imajinatif.

c. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam atau

Childhood Disintegrative Disorder.

Jadi dapat dipahami bahwa autisme adalah gangguan perkembangan

yang mencakup aspek interaksi sosial, komunikasi, dan aktifitas dan minat

yang terbatas, yang gejalanya biasanya muncul usia 1-3 tahun.

2. Pengertian Stres

Stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial

(tekanan mental atau beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara

bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan

yang tidak disukai berupa respon fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap

stressor; konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan

stimulus yang membuat stres; semua sebagai suatu sistem (WHO, dalam

(36)

Rice (1999) mengemukakan bahwa stres memiliki tiga pengertian yang

berbeda, definisi pertama stres dikatakan sebagai stimulus yang berasal dari

situasi atau lingkungan yang menyebabkan individu merasa tertekan pada

situasi tersebut, dalam pengertian ini stres dianggap sebagai sesuatu yang

eksternal. Definisi kedua, stres dianggap sebagai respons subjektif, dalam

pengertian ini stres dianggap sebagai sesuatu yang internal yaitu keadaan

psikologis individu atau ketegangan yang dirasakan oleh individu dan definisi

yang ketiga, stres dianggap sebagai reaksi fisikal tubuh untuk menuntut dan

merusak sehingga menyebabkan gangguan-gangguan pada individu.

Menurut Crider, dkk., (1983), stres dapat diartikan sebagai gangguan

reaksi fisiologis dan psikologis yang muncul ketika kejadian lingkungan

mengancam dan memaksa kemampuan individu untuk menghadapi masalah.

Taylor (2009) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif

disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif, dan perilaku yang

bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang

menyebabkan stres.

Menurut McGrath (dalam Walker, dkk, 2009) stres mengarah pada

ketidakseimbangan antara tuntutan yang diterima dengan kemampuan individu

untuk meresponnya. Lebih lanjut, Sarafino (1994) berpendapat bahwa stres

adalah kondisi yang disebabkan ketika ada perbedaan antara seseorang atau

lingkungan yang berhubungan dengan individu, yaitu situasi yang diinginkan

(37)

Hans Selye (dalam Hawari, 2002) mengatakan bahwa stres merupakan

respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban

atasnya. Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang

menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga seseorang itu

terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya.

Namun, tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stressor

tersebut, sehingga muncul keluhan-keluhan antara lain stres.

Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan

oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang

berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King, dalam Rice, 1999).

Menurut Atkinson (2000) stres muncul disebabkan adanya permintaan yang

berlebihan yang tidak dapat dipenuhi sehingga dapat mengancam

kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai

penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini disebut respon

stres.

Berdasarkan pengertian ahli-ahli di atas dapat diperoleh pengertian

bahwa stres adalah keadaan yang disebabkan oleh adanya tuntutan, baik

tuntutan internal maupun tuntutan eksternal yang dapat membahayakan

individu sehingga individu bereaksi baik secara fisiologis maupun psikologis.

3. Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

Ibu yang memiliki anak autis sering mengalami stres. Memiliki anak

(38)

pikiran negatif yang muncul saat mengetahui hal tersebut, seperti rasa

bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan, stigma negatif dari

masyarakat (Williams & Wright, 2004).

Pikiran negatif ibu yang memiliki juga disebabkan perilaku anak autis

yang berbeda dengan anak yang lain. Anak autis dapat berperilaku berlebihan

(excessive), seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat-lompat. Hal ini menyebabkan ibu merasa khawatir anak akan kelelahan dan merasa bersalah

karena dapat mengganggu dan membahayakan orang lain di sekitar. Perilaku

berlebihan juga dapat berupa perilaku yang melukai diri sendiri (self abuse) seperti memukul, menggigit dan mencakar diri sendiri yang tentu saja dapat

membahayakan nyawa anak. Ibu harus bekerja keras dalam mengawasi anak

karena setiap saat anak dapat melakukan tindakan self abuse. Untuk menghentikan tindakannya orang tua juga karus sabar karena anak mengalami

hambatan dalam berkomunikasi, sehingga bila cara yang dilakukan salah

maka akan memperparah keadaan. Hal ini membuat ibu yang memiliki anak

autis merasa mudah lelah, makan menjadi tidak teratur, dan mengalami

gangguan tidur.

Selain perilaku yang berlebihan, anak autis juga dapat memiliki

perilaku berkekurangan yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial

kurang sesuai, defisit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain

tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab,

(39)

dan kesulitan dalam memahami keinginan anak. Perilaku anak autis dapat

membuat ibu frustasi dan lama-kelamaan akan menyebabkan stres.

Cohen & Volkmar (dalam Lubis, 2009) menjelaskan bahwa umumnya

orang tua yang memiliki anak autis akan mengalami stres. Hal ini terjadi baik

pada ayah maupun ibu. Ayah dan ibu juga mengalami penampakan yang

berbeda dari stres yang mereka alami yang berhubungan dengan

masalah-masalah anak autisnya. Ibu lebih rentan terhadap stres karena ibu berperan

langsung dalam kehadiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan

rasa bersalah dan depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan

anaknya. Ibu juga merasa stres karena perilaku yang ditampilkan anaknya,

seperti tantrum, hyperaktif, kesulitan bicara. perilaku yang tidak lazim, dan ketidakmampuan bersosialisasi. Berbeda dengan ayah yang juga sebenarnya

mengalami stres yang sama, tetapi dampak stresnya tidak seberat apa yang

dialami oleh ibu. Hal ini disebabkan peran utama ayah sebagai pencari nafkah

utama dalam keluarga sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam

pengasuhan anak sehari-hari.

Memiliki anak autis menyebabkan ibu mengalami konflik batin dalam

menerima keberadaan anaknya yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena

adanya kesenjangan antara keinginan dan harapan ibu yang tidak terpenuhi

untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam keluarga. Konflik batin

yang dialami oleh ibu akan mempengaruhi keadaan psikologisnya, yang

kemudian akan berdampak pada sikap atau perilaku yang ditunjukkan oleh ibu

(40)

cukup berat karena membesarkan anak autis tidak hanya membutuhkan

pengorbanan fisik tetapi juga psikis.

Menurut Heiman (2002), stres ibu yang memiliki anak autis

disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal meliputi menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuan anak;

ketidakmampuan dalam keterampilan pengasuhan; merasa syok, depresi,

bersalah, bingung, marah, putus asa, dan menyangkal atas diagnosis anak;

ketidakmampuan dalam mengatasi stres; dan merasa putus asa dengan masa

depan anak. Faktor eksternal meliputi ketidakpercayaan terhadap pihak

professional, stereotip, biaya medis, dan kurangnya informasi mengenai autis.

Berdasarkan uraian di atas, stres pada ibu yang memiliki anak autis

dalam penelitian ini dimaknakan sebagai kondisi atau keadaan tidak

menyenangkan yang dialami ibu yang disebabkan oleh adanya tuntutan, baik

tuntutan internal maupun eksternal yang dapat membahayakan individu

sehingga individu bereaksi secara fisiologis maupun psikologis.

4. Aspek-aspek Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

Crider, dkk., (1983) mengemukakan aspek stres menjadi 3, yaitu :

a. Gangguan emosional

Gangguan emosional biasanya berwujud keluhan-keluhan seperti

tegang, khawatir, marah, malu, tertekan dan perasaan bersalah. Secara

umum, hal tersebut adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan atau

(41)

bahagia dan cinta. Hal ini berarti ibu yang memiliki anak autis akan

merasa tegang, khawatir, tertekan, dan merasa bersalah.

b. Gangguan kognitif

Gejalanya tampak pada fungsi berpikir, mental images, konsentrasi

dan ingatan. Dalam keadaan stres, ciri berpikir dalam keadaan normal

seperti rasional, logis dan fleksibel akan terganggu karena dipengaruhi

oleh kekhawatiran tentang konsekuensi yang terjadi maupun evaluasi diri

yang negatif. Mental images diartikan sebagai citra diri dalam bentuk

kegagalan dan ketidakmampuan yang sering mendominasi kesabaran

individu yang mengalami stres, seperti mimpi buruk, mimpi-mimpi yang

menimbulkan imajinasi visual menakutkan dan emosi negatif.

Konsentrasi diartikan sebagai kemampuan untuk memusatkan pada suatu

stimulus yang spesifik dan tidak memperdulikan stimulus lain yang tidak

berhubungan. Pada individu yang mengalami stres, kemampuan

konsentrasi akan menurun, yang akhirnya akan menghambat performansi

kerja dan kemampuan pemecahan masalah (problem-solving). Memori

pada individu yang mengalami stres akan terganggu dalam bentuk sering

lupa dan bingung. Hal ini disebabkan karena terhambatnya kemampuan

memilahkan dan menggabungkan ingatan-ingatan jangka pendek dengan

yang telah lama. Maka dari itu, orang tua yang memiliki anak autis akan

mengalami gangguan fungsi berpikir, mental images, konsentrasi dan

(42)

c. Gangguan fisiologis

Gangguan fisiologis ditandai dengan terganggunya pola-pola

normal dari aktivitas fisiologik yang ada. Gejala-gejalanya yang timbul

biasanya adalah sakit kepala, konstipasi, nyeri pada otot, menurunnya

nafsu seks, cepat lelah dan mual. Ibu yang memiliki anak autis akan

mengalami gangguan fisiologis tersebut.

Taylor (2009) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon.

Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat

berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur

tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai

aspek, yaitu:

a. Aspek fisiologis, dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,

detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.

b. Aspek kognitif, dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu,

seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran

berulang, dan pikiran tidak wajar.

c. Aspek emosi, dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin

dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.

d. Aspek tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Menurut Rice (1999), secara umum aspek-aspek stres diidentifikasikan

(43)

a. Gejala perilaku, banyak diantara perilaku yang menunjukkan stres

diantaranya yaitu penundaan dan menghindar, menarik diri dari teman dan

keluarga, kehilangan nafsu makan atau sebaliknya, kehilangan tenaga,

emosi yang meledak dan agresi, memulai atau peningkatan penggunaan

obat-obatan secara dramatis, perubahan pola tidur, melalaikan

tanggungjawab, penurunan produktifitas dalam diri seseorang, dan

keinginan bunuh diri.

b. Gejala emosi, sebagian besar gejala emosi pada stres adalah kecemasan,

ketakutan, cepat marah dan depresi. Gejala lainnya yaitu frustrasi,

perasaan yang tidak menentu dan kehilangan kontrol. Di dalam pekerjaan,

stres ditunjukkan dengan kehilangan semangat dan penurunan kepuasan

kerja.

c. Gejala kognitif, di antara sebagian besar gejala mental atau kejiwaan dari

stres adalah kehilangan motivasi dan konsentrasi. Hal ini terlihat pada

seseorang yang kehilangan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada

tugas yang diberikan dan kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan

tugas dengan baik. Gejala mental lainnya adalah kecemasan yang

berlebihan, kehilangan ingatan, kesalahan persepsi, kebingungan, terjadi

pengurangan daya tahan tubuh dalam membuat keputusan, lemah dalam

menyelesaikan masalah terutama selama krisis, mengasihani diri sendiri,

kehilangan harapan.

d. Gejala fisik, di antara gejala fisik dari stres adalah kelelahan secara fisik

(44)

ketegangan otot yang ditandai dengan gemetaran dan kekejangan. Dalam

sistem cardiovascular, stres ditandai dengan percepatan denyut jantung,

hipertensi dan proses atherosclerotic yang buruk.

Aspek-aspek stres yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada

teori yang dikemukakan oleh Crider, dkk., (1983), Taylor (2009), dan Rice

(1999), yang meliputi aspek emosi, aspek kognitif, aspek fisiologis, dan aspek

tingkah laku. Aspek-aspek yang dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut

dimodifikasi sehingga lebih lengkap dan menyeluruh.

5. Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis

a. Faktor Lingkungan (Rutter, dkk., 1993)

Menurut Lazarus & Folkman (dalam Rutter, dkk., 1993), situasi,

kejadian atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan

penyebab reaksi psikologis disebut stressor. Memiliki anak autis merupakan stressor bagi ibu karena ibu merasa terbeban dengan rasa takut

dan sedih berkepanjangan karena merasa kehilangan masa depan anak.

Tidak ada seorangpun ibu yang mengharapkan anaknya terlahir dengan

gangguan perkembangan. Diagnosis autis dapat sangat memberikan

kekecewaan terhadap ibu dan mengakibatkan stres. Lingkungan yang

mendukung akan dapat mengurangi tingkatan stres yang dialami.

Sebaliknya, tekanan dari lingkungan akan dapat meningkatkan stres pada

(45)

b. Faktor-Faktor Psikologis

1) Cara coping stres (Nevid, dkk., 2005; Wortman,dkk., 2004; Dunn,dkk.,

2001)

Berpura-pura seakan masalah tidak ada atau tidak terjadi

merupakan penyangkalan. Penyangkalan merupakan contoh coping

yang berfokus pada emosi (Lazarus & Folkman, dalam Nevid dkk.,

2005). Pada coping yang berfokus pada emosi, orang berusaha segera

mengurangi dampak stresor dengan menyangkal adanya stresor atau

menarik diri dari situasi. Sebaliknya, pada coping yang berfokus pada

masalah (problem focused coping) orang menilai stresor yang mereka

hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau

memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stresor

tersebut (Nevid dkk., 2005). Ibu yang memiliki anak autis yang

melakukan penyangkalan atas stressor dengan menarik diri dari lingkungan sekitar karena merasa malu dengan kondisi anaknya,

sedangkan ibu yang berfokus pada masalah akan mencari solusi untuk

anak mereka dan diri mereka sendiri agar bisa berbaur dengan

masyarakat.

2) Harapan akan self-efficacy (Nevid,dkk., 2005)

Harapan akan self efficacy berkenaan dengan harapan individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang hadapinya,

harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan perilaku

(46)

menghasilkan perubahan hidup yang positif (Bandura, dalam Nevid

dkk., 2003). Ibu yang memiliki anak autis mungkin dapat mengelola

stres lebih baik apabila orang tersebut yakin dan percaya diri (memiliki

harapan yang tinggi).

3) Ketahanan psikologis (Nevid dkk, 2003)

Ketahanan psikologis (psychological hardiness) atau sekumpulan trait individu yang dapat membantu dalam mengelola stres yang dialami. Williams dkk., (dalam Nevid dkk, 2003)

mengemukakan bahwa secara psikologis, orang yang ketahanan

psikologisnya tinggi cenderung lebih efektif dalam mengatasi stres

dengan menggunakan pendekatan coping yang berfokus pada masalah

secara efektif. Ibu anak autis yang memiliki ketahanan psikologis yang

tinggi menganggap stressor yang mereka hadapi membuat kehidupan

lebih menarik dan menantang, bukan semata-mata membebani mereka

dengan tekanan-tekanan tambahan.

4) Optimisme (Wortman, dkk., 2004; Nevid, dkk., 2005; Walker, dkk.,

2009)

Brissete (dalam Walker, dkk., 2009) berpendapat bahwa orang

yang optimis lebih banyak menggunakan strategi coping yang efektif dan sehingga biasanya orang yang optimis kurang rentan terhadap

stres. Scheier & Carver (dalam Wortman, dkk., 2004) mengemukakan

lebih lanjut bahwa individu yang optimis lebih dapat beradaptasi, baik

(47)

memiliki anak autis yang optimis akan memiliki resiko yang lebih

rendah untuk stres.

5) Locus of control (Dunn, dkk., 2001)

Locus of control adalah keyakinan yang dimiliki individu terhadap sumber penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam

kehidupannya, apakah berasal dari dalam atau dari luar individu. Locus

of control berkaitan dengan ketahanan psikologis untuk mengubah stressor yang negatif menjadi stressor positif.

c. Faktor-Faktor Kepribadian (Hawari, 2002)

Tidak semua orang yang mengalami stres psikososial yang sama

akan mengalami stres. Ternyata pada seseorang yang memiliki tipe

)

Type

Pattern) lebih rentan terkena stres. Sedangkan orang dengan tipe

lebih kebal terhadap stres. Pola tingkah laku tipe A adalah sekelompok

karakteristik yang menimbulkan rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan

keras, tidak sabar, mudah marah, dan tidak dapat santai. Sedangkan pola

tingkah laku tipe B memiliki ambisi yang wajar saja, tidak agresif,

penyabar, dan mampu mengendalikan diri. Meskipun demikian tidak

berarti orang dengan tipe kepribadian di luar kategori di atas tidak akan

mengalami stres, atau dengan kata lain orang dengan tipe kepribadian A

(48)

2002). Dengan demikian, ibu yang memiliki anak autis dengan tipe

kepribadian A memiliki resiko stres lebih besar daripada tipe kepribadian

lain.

d. Faktor-Faktor Kognitif (Rutter, dkk., 1993)

Lazarus (dalam Rutter, dkk., 1993), mengatakan sesuatu yang

menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan

menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Penilaian kognitif

(cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk

menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam

hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau

menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan

untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif. Jadi, seberapa besar

tingkat ibu menginterpretasikan stressor memiliki anak autis tergantung dari bagaimana ibu menginterpretasikannya.

e. Faktor Usia (Hurlock, 2002)

Hurlock (2002) menyatakan bahwa individu yang semakin tua

akan memiliki emosi yang cenderung akan semakin stabil dan kestabilan

emosi ini berpengaruh terhadap daya tahan terhadap stres. Usia yang

semakin bertambah mengakibatkan seseorang akan semakin mudah

mengalami stres. Hal ini berkaitan dengan faktor fisiologis yang

mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan

(49)

Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi

stres pada ibu yang memiliki anak autis meliputi faktor lingkungan, faktor

psikologis (terkait cara coping stres, harapan akan self efficacy , ketahanan psikologis, optimisme, dan locus of control), faktor kepribadian, faktor kognitif, dan faktor usia.

B. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

Menurut Supratiknya (1995), penerimaan diri adalah memiliki

penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap sinis

terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri

atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain,

kesehatan psikologis individu, serta penerimaan terhadap orang lain.

Sheerer (Cronbach, 1954) mengemukakan bahwa penerimaan diri

adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima

segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan

kelemahan-kelemahannya. Penerimaan diri menurut Hurlock (1974) adalah suatu tingkat

kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik

dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang

tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan

terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan

untuk beradaptasi dengan lingkungan dan merasa bahagia.

Penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari dan

(50)

kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan

seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima

kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang

terus menerus untuk mengembangkan diri (Handayani, dkk. 1998)

Jersild (1978) mengemukakan bahwa seseorang yang menerima

dirinya memiliki penilaian yang realistis terhadap kemampuannya yang

berkesinambungan dengan penghargaan terhadap keberhargaan dirinya,

jaminan dari dirinya tentang batasan (standar) pendiriannya tanpa merasa

terendahkan oleh opini orang lain dan penilaian realists dari keterbatasan

dirinya tanpa menyalahkan dirinya secara tidak rasional. Orang yang

menerima dirinya mengenali kemampuan dirinya dan mereka dapat

menggunakan kemampuan dirinya dengan bebas walaupun tidak semua

keinginannya tersebut diinginkan. Mereka juga mengenali kelemahan dirinya

tanpa menyalahkan diri sendiri.

Perls (dalam Schultz, 1991) berpendapat bahwa orang yang memiliki

penerimaan diri mampu memahami dan menerima kekuatan-kekuatan dan

kelemahan-kelemahan mereka serta menyadari potensi-potensi mereka

sebagai manusia. Mereka mengetahui bahwa mereka memiliki kemampuan

untuk melakukan dan untuk menjadi. Sama juga halnya dengan mereka yang

mengetahui apa yang mereka tidak dapat lakukan, dan mereka berusaha untuk

tidak menjadi sesuatu yang bukan mereka. Mereka tidak mempertahankan

cita-cita atau tujuan-tujuan yang mereka ketahui bahwa mereka tidak dapat

(51)

Berdasarkan pengertian ahli-ahli di atas dapat diperoleh pengertian

bahwa penerimaan diri adalah kemampuan menerima kondisi diri sendiri

secara jujur dan terbuka, baik kelebihan maupun kelemahan, pada diri sendiri

dan di hadapan orang lain, serta mampu memaksimalkan potensi yang ada

pada dirinya.

2. Tahapan Penerimaan Diri

Menurut Fuad (2006), ada 4 tahapan penerimaan diri, antara lain :

a. Tahap menolak menerima kenyataan (Denial)

Setiap individu memiliki kecenderungan untuk menolak suatu

kondisi yang tidak ia inginkan. Banyak mekanisme yang dilakukan untuk

menolak kenyataan yang tidak ia kehendaki. Sebagian dari mereka

mengurung diri dan menghindar untuk bersosialisasi dengan lingkungan

sekitar, sebagian lagi menjadi sangat sensitif dan reaktif terhadap situasi

disekitarnya.

b. Tahap tawar-menawar (Bargaining)

Maksud tawar-menawar dalam tahap ini adalah sebuah mekanisme

yang dilakukan individu untuk menutupi kondisi yang tidak diinginkannya

tersebut.

c. Tahap depresi (Depression)

Jika seseorang sudah mengalami kelelahan dalam pergulatan pada

dua tahapan yaitu menolak dan tawar-menawar ia akan terpaksa menyerah

(52)

dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa

bersalah. Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang

tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak.

d. Tahap puncak menerima kenyataan (Acceptance)

Dalam tahapan ini kondisi dan situasi yang tidak mengenakkan

oleh individu dimaknai sebagai anugerah kehidupan. Memang sangat sulit

mencapai tahapan ini, oleh karena itu disebut tahapan puncak dari seluruh

proses penerimaan diri. Rasa syukur dalam tahapan ini dimaknai sebagai

penerimaan realitas diri secara total.

Berdasarkan uraian di atas tahapan penerimaan diri terdiri dari 4 tahap,

yaitu tahap menolak menerima kenyataan, tahap tawar-menawar, tahap

depresi, dan tahap puncak menerima kenyataan.

3. Dampak Penerimaan Diri

Hurlock (1974) menjelaskan bahwa semakin baik seseorang dapat

menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuian diri dan

sosialnya. Kemudian Hurlock (1974) membagi dampak dari penerimaan diri

dalam 2 kategori yaitu :

a. Dalam penyesuaian diri

Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali

kelebihan dan kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang

meiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan

(53)

itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang

kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki

penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga

dapat menggunakan semua potensinya secara efektif hal tersebut

dikarenakan memiliki anggapan yang realistik terhadap dirinya maka akan

bersikap jujur dan tidak berpura-pura.

b. Dalam penyesuaian sosial

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari

orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk

memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa

empati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat

mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan

orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sehingga mereka

itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented).

Berdasarkan uraian di atas dampak dalam penerimaan diri ada 2 yaitu

dalam penyesuaian diri dan dalam penyesuaian sosial. Penerimaan diri

memiliki dampak dalam penyesuaian sosial berkaitan dengan kemampuan

individu dalam mengenali kelebihan dan kekurangannya. Penerimaan diri

memiliki dampak penyesuaian sosial berkaitan dengan timbulnya empati.

4. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Hurlock (1974) mengemukakan tentang faktor-faktor yang

(54)

a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri (self understanding).

Hal ini timbul dengan adanya kesempatan seseorang untuk

mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Pemahaman diri dan

penerimaan diri berjalan dengan berdampingan, semakin orang dapat

memahami dirinya, maka semakin orang tersebut dapat menerima dirinya.

b. Adanya harapan yang realistik (realistic expectations).

Hal ini timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan

disesua ikan dengan pemahaman dengan kemampuannya, dan bukan

diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya. Individu yang

memiliki harapan yang realistik akan memperoleh kesempatan yang lebih

besar untuk mencapai harapan itu, dan hal ini akan menimbulkan kepuasan

diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.

c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan (absence of environment obstacles).

Walaupun seseorang sudah memiliki harapan yang realistik, tetapi

jika lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan

menghalangi, maka harapan individu tersebut akan sulit tercapai.

d. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan (favourable social

attitudes).

Sikap-sikap anggota masyarakat ditandai dengan tidak adanya

prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan

Gambar

Gambar 2.  Uji Autokorelasi ...........................................................................
 Tabel 1 Tabel Sistem Penilaian Aitem Skala
  Tabel 2
  Tabel 4 Blue Print Skala Dukungan Sosial
+7

Referensi

Dokumen terkait

perasaan lelah dan tidak bertenaga, berisi 4 item skala yang mengevaluasi perasaan energi, kelelahan, kelemahan. 6) Fungsi sosial adalah derajat dalam hal keterbatasan kesehatan atau

Hasil wawancara dengan informan tentang pengertian Manajemen Rantai Suplai adalah permintaan dari pelanggan atau customer atau buyer sampai pemilihan pemesanan

Ini artinya bahwa semakin baik kepemimpinan yang ada di Dinas Kesehatan Kota Depok akan berpengaruh meningkatkan kinerja pegawai dan semakin baik sistem kompensasi yang ada

Dapatan kajian ini menunjukkan tidak terdapat perbezaan yang signifikan seeara keseluruhan namun keputusan kajian ini yang menunjukkan pelajar yang menggunakan

Pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berorientasi pada keluaran hasil akhir penelitian sesuai dengan kualifikasi standar kualitas yang telah ditetapkan dalam

Pada Hasil Pemantauan bulan lalu, telah dilaporkan bahwa pada tanggal 3 Juli 2007 terjadi demonstrasi oleh ribuan warga Aceh Timur yang menuduh PT Bumi Flora

Alat-alat yang digunakan untuk analisa meliputi : cawan, oven, furnace, desikator, alumunium foil, erlemeyer, ruang laminar, timbangan digital, waterbath, gelas

Maṣlaḥah ḍ arūriyyah (kebutuhan primer), yaitu segala sesuatu yang harus ada demi tegaknya kehidupan manusia untuk menopang kemaslahatan agama dan dunia di mana