HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS
DI SLB AUTIS DI SURAKARTA
SKRIPSI
Dalam Rangka Penyusunan Skripsi sebagai Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh:
G0107070
Pembimbing:
1. Dra. Machmuroch, M.S.
2. Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M.
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
MOTTO
"Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya"
QS. Al Baqarah:286
Berfikirlah apa yang kita bisa lakukan jangan berfikir tentang apa yang tidak bisa kita lakukan
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
1. Alm. Bapak dan Ibu tercinta
2. Kakak-kakakku tercinta, Mas Antok, Mbak Diana, Mbak Fithri, dan Elyda
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
karya ini. Satu hal yang penulis sadari, bahwa karya ini dapat terselesaikan juga
karena bantuan dari berbagai pihak. Rasa terima kasih sudah sepantasnya penulis
sampaikan dengan hati yang tulus kepada segenap pihak atas segala partisipasinya
dalam pelaksanaan dan penyelesaian karya ini. Untuk itu dengan kerendahan hati,
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp. PD-KR-FINASIM, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
2. Drs. Hardjono, M.Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
3. Dra. Machmuroch, M.S selaku pembimbing utama skripsi yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, dan ilmu yang
bermanfaat selama penyelesaian skripsi
4. Bapak Arista Adi Nugroho, S.Psi., M.M. selaku pembimbing pendamping
dan pembimbing akademik atas segala bimbingan, bantuan, nasihat, dan
kesabaran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama studi dan
penyusunan karya ini
5. Ibu Dra. Suci Murti Karini, M.Si., dan Ibu Rin Widya Agustin, M.Psi., selaku
penguji I dan II, yang telah bersedia memberikan saran dan kritik kepada
6. Ibu C. Ari Sulistyandari, S.Pd., selaku Kepala SLB Autis AGCA Center, Ibu
Yatmi, S.Pd., selaku Kepala SLB Autis Alamanda, dan Ibu Etty Prasetyastuti,
S.E., M.M., selaku Kepala SLB Autis Harmony, yang telah memberikan ijin
kepada penulis untuk melaksanakan penelitian.
7. Ibu-ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis Surakarta yang telah bersedia
menjadi responden dan berbagi pengalaman yang sangat berharga
8. Ahmad Isnaini Hasan, S.Si., yang setia dan penuh kesabaran selalu
membantu, mendukung, memotivasi agar cepat selesai. Kita akan
mendapatkan yang terbaik apabila melakukan yang terbaik.
9. Sahabatku yang sudah lulus tetapi masih memonitor penulis dari kota lain,
Widya, Nisong, Ayu, Jessica, Shesa, dan Rifa, serta sahabatku Aan dan Dewi
yang masih berjuang bersama di kampus ini. Semoga persahabatan kita kekal
selamanya.
10. Teman-teman angkatan 2007 yang telah memberikan masukan, dukungan,
dan pertemanan yang indah.
11. Anis, Septi, Mayya, Sofi, Prily, Adhisty, Mbak Nisa, Mbak Arum, dan para
volunteer Autism Care Indonesia yang telah memberikan semangat dan tetap tersenyum, serta para orang tua dan anak berkebutuhan khusus yang menjadi
inspirasi.
Semoga Allah SWT berkenan memberikan pahala yang sepadan dan
semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak.
HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS
DI SLB AUTIS DI SURAKARTA
Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK
Autis adalah gangguan perkembangan yang sifatnya kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, komunikasi, dan aktivitas serta minat yang terbatas yang sulit untuk dipahami oleh ibu yang memiliki anak autis, sehingga dapat menyebabkan stres. Penerimaan diri dan dukungan sosial diharapkan dapat membantu ibu yang memiliki anak autis untuk menghindari stres. Ibu yang dapat menerima diri sebagaimana adanya akan dapat menghindari stres karena dapat menyesuaikan harapan dengan kenyataan. Ibu yang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan akan terhindar dari stres karena adanya perasaan positif dalam dirinya.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Subjek penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta, yaitu SLB Autis AGCA Center, SLB Autis Alamanda, dan SLB Autis Harmony dengan jumlah 68 orang, 30 orang untuk try out dan 38 orang untuk penelitian. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria sampel berusia 20-45 tahun dan bukan single parent. Alat ukur yang digunakan adalah skala stres pada ibu yang memiliki anak autis, skala penerimaan diri, dan skala dukungan sosial. Analisis data menggunakan analisis regresi dua prediktor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai F-test = 14,916, p < 0,05, dan nilai R = 0,678. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu terdapat hubungan signifikan yang kuat antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta. Hasil penelitian juga menunjukkan nilai rx1y = -0,338; p<0,05, artinya terdapat hubungan signifikan yang negatif antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Nilai rx2y = -0,354; p<0,05, menunjukkan terdapat hubungan signifikan yang negatif antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis..
Nilai R2 dalam penelitian ini sebesar 0,460 atau 46%, terdiri atas sumbangan efektif penerimaan diri terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 22,27% dan sumbangan efektif dukungan sosial terhadap stres pada ibu yang memiliki anak autis sebesar 23,73%. Ini berarti masih terdapat 54% faktor lain yang mempengaruhi stres pada ibu yang memiliki anak autis selain penerimaan diri dan dukungan sosial.
CORRELATION BETWEEN SELF ACCEPTANCE AND SOCIAL SUPPORT TOWARD STRESS HAPPENED TO MOTHERS WITH AUTISM
CHILDREN IN SLB AUTISM SURAKARTA
Sebelas Maret University of Surakarta ABSTRACT
Autism is complex developmental disorder, consisting of social interaction aspect, communication aspect, activity aspect, and limited apitude that hard to be understood by mother with autism children, so that it causes stress. Self acceptance and social support can help mothers with autism children to avoid stress. Mothers who can accept their self will avoid from stress because can adapt their wishes with the real situation. Mothers who get social support from their environment will avoid from stress because positif feeling on their self.
The purpose of this research is to find out the correlation between self criteria of 20 45 years old and not including a single parent. This research used the scale of stress happened to mothers with autism childrens, self acceptance scale, and social support scale as the instruments. Data analysis in this research is multiple predictors regression analysis.
The result shows the value of F-test = 14.916, p < 0.05, and the value of R = 0,678. Based on the result, it can be concluded that the hypothesis in this research is accepted, that is a significant correlation between self acceptance and social support toward stress happened to mothers with autism childrens in SLB Autism Surakarta. The result also shows the value of rx1y = -0.338; p<0.05, it indicates negative significant correlation between self acceptance and stress happened to mothers with autism childrens. The value of rx2y = -0.354; p<0,05, it indicates negative significant correlation between social support and stress happened to mothers with autism childrens.
The value of R2 in this research equals 0.460 or 46%, consisting of 22.27% effective contribution of self acceptance toward stress happened to mothers with autism childrens and 23.73% effective contribution of social support toward stress happened to mothers with autism childrens
still 54% of another factors that also influence stress happened to mothers with autism childrens beside self acceptance and social support.
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II. LANDASAN TEORI ... 12
A. ... 12
3. Stres pada Orang tua yang Memiliki anak Autis ... 18
4. Aspek-aspek Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ... 21
5. Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ... 25
B. Penerimaan Diri ... 30
1. Pengertian Penerimaan Diri ... 30
2. Tahapan Penerimaan Diri ... 32
3. Dampak Penerimaan Diri ... 33
4. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri... 35
5. Aspek-aspek Penerimaan Diri... 37
C. Dukungan Sosial ... 40
1. Pengertian Dukungan Sosial ... 40
2. Sumber-sumber Dukungan Sosial... 42
3. Dampak Dukungan Sosial... 43
4. Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial ... 44
5. Aspek-aspek Dukungan Sosial ... 45
D. Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ... 49
1. Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Orang tua yang Memiliki Anak Autis ... 49
3. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang
Memiliki Anak Autis ... 54
E. Kerangka Pemikiran ... 55
F. Hipotesis ... 56
BAB III. METODE PENELITIAN ... 57
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 57
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 57
C. Populasi, Sampel, dan Sampling ... 59
1. Populasi ... 59
2. Sampel... 60
3. Sampling ... 61
D. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 62
1. Sumber Data... 62
2. Metode Pengumpulan Data ... 63
E. Validitas dan Reliabilitas Skala Pengukuran ... 68
1. Validitas ... 68
2. Reliabilitas ... 70
F. Metode Analisis Data ... 71
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74
A. Persiapan Penelitian ... 74
1. Orientasi Kancah Penelitian ... 74
2. Persiapan Penelitian ... 78
4. Uji Validitas dan Reliablitas Skala ... 85
B. Pelaksanaan Penelitian ... 95
1. Penentuan Responden Penelitian ... 95
2. Pengumpulan Data Penelitian ... 95
3. Pelaksanaan Skoring ... 95
C. Analisis Data Penelitian ... 96
1. Uji asumsi dasar ... 96
2. Uji asumsi klasik ... 99
3. Uji hipotesis ... 103
4. Analisis deskriptif ... 108
5. Analisis Crostab ... 112
6. Sumbangan relatif dan sumbangan efektif ... 112
D. Pembahasan ... 113
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 122
A. Kesimpulan ... 122
B. Saran ... 123
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Penerimaan Diri
dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki
Anak Autis ... 55
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Penilaian Aitem Skala ... 64
Tabel 2. Blue Print Skala Stres ... 65
Tabel 3. Blue Print Skala Penerimaan Diri ... 66
Tabel 4. Blue Print Skala Dukungan Sosial ... 67
Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Sebelum Uji Coba ... 80
Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri Sebelum Uji Coba ... 82
Tabel 7. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial Sebelum Uji Coba ... 84
Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis yang Valid dan Gugur ... 87
Tabel 9. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri yang Valid dan Gugur ... 89
Tabel 10. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial yang Valid dan Gugur ... 91
Tabel 11. Distribusi Aitem Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis untuk Penelitian ... 92
Tabel 12. Distribusi Aitem Skala Penerimaan Diri untuk Penelitian... 93
Tabel 13. Distribusi Aitem Skala Dukungan Sosial untuk Penelitian ... 94
Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ... 97
Tabel 15. Hasil Uji Linearitas Penerimaan Diri dengan Stres ... 98
Tabel 16. Hasil Uji Linearitas Dukungan Sosial dengan Stres ... 98
Tabel 17. Hasil Uji Multikolinearitas... 100
Tabel 20. Hasil Uji Autokorelasi ... 102
Tabel 21. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi Ganda (R) ... 104
Tabel 22. Hasil Uji F ... 105
Tabel 23. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda ... 105
Tabel 24. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi (r) ... 106
Tabel 25. Hasil Analisis Korelasi Parsial Penerimaan Diri dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ... 107
Tabel 26. Hasil Analisis Korelasi Parsial Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ... 108
Tabel 27. Analisis Deskripsi Data Penelitian ... 109
Tabel 28. Hasil Perhitungan ME, MH, Nilai Tengah Skor, Skor Tinggi, Skor Rendah, Rentang Skor, dan SD Variabel Penelitian ... 109
Tabel 29. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Skala Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis ... 110
Tabel30. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Penerimaan Diri ... 110
Tabel31. Kriteria Kategorisasi Responden Penelitian Berdasar Skor Dukungan Sosial ... 111
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Skala Uji Coba ... 132
Lampiran B. Distribusi Skor Uji-Coba ... 147
Lampiran C. Uji Validitas Dan Reliabilitas ... 160
Lampiran D. Skala Penelitian ... 168
Lampiran E. Distribusi Skor Skala Penelitian... 180
Lampiran F. Analisis Data Penelitian ... 195
Lampiran G. Kelengkapan Admintrasi ... 209
Lampiran H. Jadwal Kegiatan Penyusunan Skripsi ... 216
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang tua khususnya ibu menginginkan anaknya berkembang
sempurna, namun sering terjadi harapan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang
ada dimana anak memperlihatkan masalah dalam perkembangan sejak usia dini.
Salah satu gangguan perkembangan yang dapat terjadi pada anak adalah autis.
Autis secara harfiah berasal dari bahasa Yunani, auto, yang artinya sendiri.
Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa anak autis pada umumnya hidup
dengan dunianya sendiri, menikmati kesendirian dan tidak respon dengan
orang-orang sekitar (Geniofam, 2010). Jumlah anak yang terkena autis semakin
meningkat di berbagai belahan dunia. Di Kanada dan Jepang pertambahan ini
mencapai 40 persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002
disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di Amerika Serikat disebutkan
autis terjadi pada 60.000 - 150.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain
menyebutkan prevalensi autis 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada yang
mengatakan 1 diantara 1.000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan
dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10
anak menderita autis (Huzaemah, 2010).
Yayasan Autisma Indonesia (YAI) menyebutkan, meskipun jumlah anak
penderita autis terus meningkat, namun belum pernah ada survei khusus mengenai
bahwa jumlah penderita autis terus meningkat dari tahun ke tahun, dan kini tidak
hanya ada di kota-kota besar saja, tetapi sudah merambah di daerah-daerah.
Sayangnya hingga kini belum ada survei yang menunjukkan seberapa banyak
jumlah penderita autis (Judarwanto, 2009). Indikator peningkatan baru dapat
diperoleh dari catatan praktek dokter, yang dari penanganan 3-5 pasien baru per
tahun, kini menangani 3 pasien baru setiap hari dan itupun dibatasi, serta dari
catatan penerimaan siswa di sekolah-sekolah. Sulit mendapatkan angka di
Indonesia mengingat bahwa belum ada sensus resmi, belum meratanya diagnosis
untuk anak-anak autis, dan keengganan orang tua untuk mengakui bahwa anaknya
adalah individu autistik (Yayasan Autisma Indonesia, 2008). Indonesia dengan
jumlah penduduk 200 juta orang, hingga saat ini belum diketahui jumlah pasti
penyandang namun diperkirakan jumlah anak autis dapat mencapai
150.000-200.000 orang. Perbandingan antara laki dan perempuan adalah 4 : 1, namun anak
perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat (Huzaemah,
2010).
Berdasarkan data di Sekolah Luar Biasa (SLB) Autis Surakarta, antara lain
SLB Autis Alamanda, SLB Autis AGCA Center, dan SLB Autis Harmony, telah
terjadi peningkatan jumlah anak autis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak autis
dari yang awalnya hanya menangani 3-5 anak per hari, sekarang menangani 10-20
anak per hari bahkan lebih. Selain itu, walaupun SLB tersebut juga menangani
anak berkebutuhan khusus yang lain, jumlah anak autis lebih besar dibandingkan
dengan jumlah anak berkebutuhan khusus lain. Jumlah total siswa di SLB Autis
mental, 1 gangguan down syndrome, dan 3 gangguan kesulitan belajar. Jumlah total siswa di SLB Autis AGCA Center adalah 35 siswa, dengan rincian siswa
yang autis sebanyak 28 siswa dan 7 siswa memiliki gangguan down syndrome. Jumlah total siswa di SLB Harmony adalah 50 orang dengan rincian 30 siswa
autis dan 20 gangguan kesulitan belajar.
Orang tua memiliki peran penting dalam perkembangan anak autis.
Marijani (2003) menyatakan bahwa peran serta orang tua dalam memberikan
penanganan kepada anak autis secara tepat, terarah, dan sedini mungkin dapat
memberikan kesempatan yang besar kepada anak agar dapat hidup mandiri.
Menurut Cohen & Volkmar (dalam Sembiring, 2010), ibu merupakan sosok yang
banyak terlibat sehari-hari dalam pengasuhan anak dibandingkan ayah, karena
ayah berperan sebagai pencari nafkah utama sehingga mereka tidak terlalu terlibat
dalam pengasuhan anak sehari-hari maka ibu dipandang sebagai sosok yang
paling dekat dengan anak.
Berdasarkan wawancara dengan S, salah satu ibu yang memiliki anak autis
di SLB Autis AGCA Center, memiliki anak autis merupakan salah satu masalah
terberat dalam hidupnya. S bercerita bahwa orang tua khususnya ibu yang
memiliki anak autis memiliki kehidupan yang berbeda dengan ibu yang memiliki
anak normal. Perilaku anak autis yang sulit dipahami dan seperti tidak memiliki
rasa lelah membuat S harus menghabiskan banyak waktu di rumah. S yang
dulunya bekerja bahkan memutuskan untuk berhenti bekerja. S bercerita bahwa
terkadang dia sulit memahami perilaku anaknya yang sangat suka merobek kertas
juga sering menggesekkan kedua tangannya sampai tangannya menjadi sangat
kasar dan menggigit dirinya sendiri sehingga S harus mengawasi jangan sampai
anaknya terluka. Perilaku anaknya yang belebihan, seperti berjalan-jalan keliling
rumah, berlari-lari, dan tidak bisa diam membuatnya harus selalu mengawasi
anaknya karena takut anaknya keluar rumah dan dapat membahayakan anak. S
mengatakan bahwa setiap hari hanya tidur beberapa jam sehingga sangat lelah. S
juga merasa sedih dan merasa bersalah saat memikirkan masa depan anaknya.
Menurut Handoyo (2003), anak autis memiliki kecenderungan untuk
berperilaku berlebihan ataupun berkekurangan, berbeda untuk masing-masing
anak. Perilaku berlebihan antara lain perilaku melukai diri sendiri (self abuse), seperti memukul, menggigit, dan mencakar diri sendiri; agresif, seperti perilaku
menendang, memukul, menggigit, dan mencubit; dan tantrum, seperti perilaku
menjerit, menangis, dan melompat-lompat. Perilaku berkekurangan ditandai
dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensoris sehingga
terkadang anak dianggap tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat
misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. Perilaku ini
menyebabkan ibu yang memiliki anak autis harus ekstra 24 jam mengawasi
anaknya. Hambatan komunikasi yang dialami anak mengakibatkan ibu semakin
frustasi karena tidak dapat memahami keinginan anak. Boyd, dkk., (dalam
Burrows, 2010) menyebutkan bahwa ibu yang memiliki anak autis membutuhkan
usaha untuk mengatasi permasalahan yang sering muncul ketika menghadapi
Menurut Monat & Lazarus (dalam Safaria, 2005), stres adalah segala
peristiwa atau kejadian baik berupa tuntutan-tuntutan lingkungan maupun
tuntutan-tuntutan internal (fisiologis atau psikologis) yang menuntut, membebani,
atau melebihi kapasitas sumber daya adaptif individu. Sarafino (1994)
berpendapat bahwa stres adalah kondisi yang disebabkan ketika ada perbedaan
antara seseorang atau situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis,
psikologis, atau sistem sosial individu tersebut.
Boyd, dkk., (dalam Burrows, 2010) menyebutkan bahwa ibu yang
memiliki anak autis memiliki resiko yang tinggi terhadap depresi, stres, dan
kecemasan. Depresi, stres, dan kecemasan ini disebabkan karena adanya dua hal
yang saling bertentangan antara kebutuhan untuk tetap berbicara dan kebutuhan
untuk tetap diam mengenai pengalaman traumatis memiliki anak autis. Hal ini
diilustrasikan dengan perasaan yang kuat dan tanda-tanda penderitaan seperti
sering menangis, merasa cepat lelah karena merasa secara otomatis dan permanen
tidak dapat rileks, dan tidak mendapatkan malam tidur secara bertahun-tahun.
Bristol & Schopler, Holroyd & McArthur, dan Dumas, dkk., (dalam Davis, dkk.,
2008; Plumb, 2011) mengemukakan bahwa tingkat resiko depresi, stres, dan
kecemasan ibu yang memiliki anak autis lebih tinggi dibandingkan dengan ibu
yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan yang lainnya seperti down syndrome dan retardasi mental.
Menurut hasil penelitian Sabih dan Sajid (2006), dengan sampel 60 orang
tua (30 ayah, 30 ibu), dari 30 anak-anak dengan diagnosis autis yang diperoleh
dan Wah Cantt, Pakistan, diketahui bahwa muncul stres yang signifikan pada
orangtua yang memiliki anak-anak yang mengalami gangguan autis. Hasil
penelitian menunjukkan tingkat stres pada ibu lebih tinggi daripada tingkat stres
pada ayah.
Hjelle dan Ziegler (dalam Ellyya dan Rachmahana, 2008) menyatakan
bahwa toleransi terhadap stres yang tinggi merupakan salah satu ciri dari individu
yang mampu menerima dirinya. Penerimaan diri ini terbentuk karena individu
yang bersangkutan dapat mengenal dirinya dengan baik. Hurlock (1974)
mengatakan bahwa penerimaan diri inilah yang membuat perilaku individu
menjadi well-adjusted yang pada akhirnya memiliki daya tahan yang tinggi terhadap stres.
Penerimaan diri merupakan kemampuan untuk mengesampingkan
kekurangan dan kesalahan, rasa malu yang merusak dan kecemasan yang ekstrim
atau luar biasa (Maslow, 1994). Individu yang dapat menerima dirinya sendiri,
mampu menerima sifat manusiawi dengan segala kekurangan dan dengan segala
yang tidak sesuai dengan cita-cita idealnya, serta puas akan keadaan dan sifatnya
sebagaimana adanya, tanpa kesal atau keluhan, atau bahkan terlalu banyak
memikirkannya. Schultz (1991) berpendapat bahwa orang yang menerima diri
dapat menerima kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa
keluhan atau kesusahan dan terlampau banyak memikirkannya. Meskipun mereka
memiliki kelemahan-kelemahan, mereka tidak merasa malu atau merasa bersalah
Ibu yang memiliki anak autis dapat dikatakan memiliki penerimaan diri
yang tinggi bila mampu memahami kelebihan-kelebihan dirinya, memaksimalkan
segala potensi yang ada, dan mengakui keterbatasan dirinya. Ibu yang memiliki
anak autis tidak membandingkan kehidupannya dengan kehidupan ibu dengan
anak normal lainnya. Individu dapat menyesuaikan harapannya sesuai dengan
kenyataan yang ada dan memahami keadaan diri sebagaimana adanya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hurlock (1974), yang menyebutkan bahwa penerimaan
diri yang baik hanya akan terjadi bila individu yang bersangkutan mau dan
mampu memahami keadaan diri sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang
diinginkan. Selain itu juga harus memiliki harapan yang realistis, sesuai dengan
kemampuannya. Dengan demikian bila seorang individu memiliki konsep yang
menyenangkan dan rasional mengenai diri maka dapat dikatakan orang tersebut
dapat menyukai dan menerima diriya.
Selain penerimaan diri, dukungan sosial merupakan komponen penting
dalam kehidupan orang tua yang memiliki anak autis untuk menghindari stres.
Menurut Tarwanti dan Astuti (2008), faktor pendukung dalam penyesuaian orang
tua yang memiliki anak autis sehingga menghindarkan dari bahaya stres
diantaranya adalah kondisi lingkungan yang selalu kondusif; dukungan emosional
dari berbagai pihak baik dari pasangan, keluarga, teman-teman, maupun
lingkungan; dukungan material; serta unsur-unsur penentu psikologis yang
merupakan cara orang tua untuk bisa belajar dari pengalaman agar dapat
menangani anak secara tepat. Sedangkan faktor penghambat adalah kondisi anak
Dukungan sosial merupakan suatu bentuk kenyamanan, pengertian,
penghargaan atau bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok
Sumber utama dukungan sosial adalah dukungan yang berasal dari anggota
keluarga, teman dekat, rekan kerja, saudara dan tetangga (Cobb, dkk., dalam
Sarafino, 1994). Sarason (dalam Rustiana, 2006) menyebutkan dukungan sosial
dapat berupa pemberian informasi, bantuan tingkah laku atau materi yang terdapat
dari hubungan sosial yang akrab, atau hanya disimpulkan dari keberadaan mereka,
yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai.
Lieberman (dalam Lubis, 2006) mengemukakan bahwa secara teoritis
dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang
dapat mengakibatkan stres. Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan
orang lain dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu pada kejadian
tersebut sehingga akan mengurangi potensi munculnya stres. Dukungan sosial
juga dapat mengubah hubungan antara respon individu pada kejadian yang dapat
menimbulkan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi
stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang
menimbulkan stres dan efeknya.
Penelitian Dunn, dkk., (2001) yang berjudul Moderators of Stress in Parents of Children with Autism menyebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu mekanisme untuk mengurangi stres pada orang tua yang memiliki anak
autis. Lebih lanjut, dalam penelitian yang sama Gill & Harris (1991) menjelaskan
bahwa tingkatan stres pada orang tua anak autis dapat dibedakan dari dukungan
dukungan sosial memiliki tingkatan stres yang lebih rendah terkait dengan
masalah somatik dan gejala depresi.
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa ibu yang memiliki anak
autis memiliki peran yang sangat penting dalam membantu upaya penanganan
anak autis untuk menjadi mandiri dan mampu beradaptasi. Perilaku anak autis
yang sulit untuk dipahami dimungkinkan dapat menyebabkan ibu yang memiliki
anak autis mengalami stres. Penerimaan diri dan dukungan sosial dimungkinkan
terkait dengan stres pada ibu yang memiliki anak autis. Fenomena semakin
meningkatnya jumlah anak autis di SLB Autis di Surakarta membuat peneliti
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul
Diri dan Dukungan Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah:
1. Apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan
stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta?
2. Apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang
memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta?
3. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang
C. Tujuan
Sesuai dengan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui hubungan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan
stres pada ibu yang memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.
2. Mengetahui hubungan antara penerimaan diri dengan stres pada ibu yang
memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.
3. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan stres pada ibu yang
memiliki anak autis di SLB Autis di Surakarta.
D. Manfaat
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis:
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
mengenai penerimaan diri, dukungan sosial, dan stres dalam
pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis, psikologi sosial
ataupun studi psikologi pada umumnya.
b. Dapat berguna bagi bidang pengetahuan serta pihak-pihak terkait yang
membutuhkan informasi seperti guru inklusi atau sekolah luar biasa dan
praktisi psikolog yang menangani anak berkebutuhan khusus, khususnya
2. Manfaat praktis:
Dari hasil penelitian ini diharapkan:
a. Bagi ibu yang memiliki anak autis, dapat membantu individu untuk
menghindari stres dengan memiliki penerimaan diri yang tinggi dan
memanfaatkan dukungan sosial dengan baik.
b. Bagi praktisi anak (guru inklusi atau sekolah luar biasa, psikolog, dokter
dan atau tenaga kesehatan), diharapkan dapat dijadikan pertimbangan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis
1. Pengertian Autisme pada Anak
Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang
mencakup bidang sosial dan afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non-verbal,
imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Autisme merupakan kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau yang
abnormal dari hubungan sosial dan bahasa (Lumbantobing, 2001).
Menurut Kanner (dalam Wenar, 2006) autisme adalah salah satu
gangguan pervasif yang dicirikan dengan tiga ciri utama, yaitu pengasingan
yang ekstrim (extreme isolation) dan ketidakmampuan berhubungan dengan orang lain. Kedua, kebutuhan patologis dan kesamaan. Kebutuhan ini berlaku
untuk anak dan lingkungannya. Ketiga, yaitu mutism dan cara berbicara yang tidak komunikatif, termasuk di dalamnya echolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Anak autis juga memiliki ketidakmampuan untuk
menerjemahkan kalimat secara harafiah dan kata gantinya sendiri, biasanya
Nevid (2005) berpendapat bahwa autisme adalah salah satu gangguan
terparah di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung
sepanjang hidup. Anak-anak yang menderita autisme tampak benar-benar
autisme mulai tampak pada usia 18-30 bulan. Namun demikian barulah pada
usia sekitar 6 tahun rata-rata anak yang mengalami gangguan ini untuk
pertama kali memperoleh diagnosis (Fox, dalam Nevid, 2005).
Pada dasarnya gangguan autisme tergolong dalam gangguan
perkembangan pervasif, namun bukan satu-satunya golongan yang termasuk
dalam gangguan perkembangan pervasif (Pervasive Developmental Disorder)
menurut DSM IV (APA, 2000 dalam Wenar, 2006). Namun dalam
kenyataannya hampir keseluruhan golongan gangguan perkembangan pervasif
disebut oleh para orangtua atau masyarakat sebagai autisme. Padahal di dalam
gangguan perkembangan pervasif meski sama-sama ditandai dengan gangguan
dalam beberapa area perkembangan seperti kemampuan interaksi sosial,
komunikasi serta munculnya perilaku stereotipe, namun terdapat beberapa perbedaan antar golongan gangguan autistik (Autistic Disorder) dengan
gangguan Rett gangguan disintegatif masa anak (Childhood
Disintegrative Disorder) dan gangguan Asperger ). Gangguan autistik berbeda dengan gangguan Rett dalam rasio jenis
kelamin penderita dan pola berkembangnya hambatan. Gangguan Rett hanya
dijumpai pada wanita sementara gangguan Autistik lebih banyak dijumpai
pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 : 1. Selanjutnya pada sindroma Rett
dijumpai pola perkembangan gangguan yang disebabkan perlambatan
prasekolah, sama seperti penderita autistik, anak dengan gangguan Rett
mengalami kesulitan dalam interaksi sosialnya.
Selain itu gangguan Autistik berbeda dari Gangguan Disintegratif
masa anak, khususnya dalam hal pola kemunduran perkembangan. Pada
Gangguan Disintegratif, kemunduran (regresi) terjadi setelah perkembangan
yang normal selama minimal 2 tahun sementara pada gangguan autistik
abnormalitas sudah muncul sejak tahun pertama kelahiran. Selanjutnya,
gangguan autistik dapat dibedakan dengan gangguan Asperger karena pada
penderita asperger tidak terjadi keterlambatan bicara. Penderita Asperger
sering juga disebut dengan istilah High Function Autism , selain karena kemampuan komunikasi mereka yang cukup normal juga disertai dengan
kemampuan kognisi yang memadai.
Kriteria Diagnostik Autisme DSM IV (APA, 2000) dalam (Wenar,
2006) yaitu :
a. Didapatkan jumlah total 6 (atau lebih) aitem dari (1), (2), dan (3), dengan
sekurangnya 2 dari (1) dan masing-masing (1) dari (2) dan (3).
(1) Gangguan kualitatif interaksi sosial, bermanifestasi pada sekurangnya
dua dari hal berikut :
(a) Gangguan yang nyata dalam perilaku non verbal multiple, seperti
menatap mata, ekspresi wajah, sikap badan, dan gestur (isyarat)
untuk berinteraksi sosial.
(b)Gagal mengembangkan hubungan antar sebaya sesuai dengan
(c) Kurang spontanitas membagi kegembiraan, kesenangan, interest,
atau perolehan (misalnya kurang menyatakan, membawakan atau
menunjukkan objek yang menarik).
(d)Kurang hubungan timbal balik sosial dan emosional.
(2) Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi sebagaimana terlihat pada
sekurangnya satu dari hal berikut :
(a) Terlambat, atau sama sekali tidak ada, perkembangan bahasa lisan
(tidak disertai upaya untuk mengkompensasikannya dengan cara
komunikasi alternatif, seperti isyarat atau mimik).
(b)Pada individu yang bicaranya memadai, terdapat gangguan yang
nyata dalam kemampuan untuk memulai atau mempertahankan
percakapan dengan orang lain.
(c) Penggunaan bahasa secara stereotip atau berulang-ulang (yang itu
itu saja) atau bahasa idiosinkratik.
(d)Kurang ragam bermain yang menggandai atau bermain sosial
imitative sesuai dengan tingkat perkembangannya.
(3) Pola yang terbatas, berulang, dan stereotip dari perilaku, interest, dan
aktivitas sebagai yang bermanifestasi pada sekurangnya satu dari hal
berikut :
(a) Terpaku perhatiannya pada satu atau lebih pola interest yang
stereotip dan terbatas yang abnormal intensitas atau fokusnya.
(b)Tampak menempel secara tidak fleksibel pada rutinitas atau ritual
(c) Perilaku motorik yang aneh, stereotip dan berulang (misalnya
mengelepak atau memilin tangan atau jari, atau gerak seluruh
badan yang kompleks).
(d)Perhatiannya secara persisten dipenuhi atau melekat pada
bagian-bagian suatu objek.
b. Terlambat atau fungsi yang abnormal dari sekurangnya satu dari bidang
berikut yang bermula sebelum usia 3 tahun, yaitu : (1) interaksi sosial, (2)
bahasa yang digunakan pada komunikasi sosial, (3) permainan simbolik
dan imajinatif.
c. Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam atau
Childhood Disintegrative Disorder.
Jadi dapat dipahami bahwa autisme adalah gangguan perkembangan
yang mencakup aspek interaksi sosial, komunikasi, dan aktifitas dan minat
yang terbatas, yang gejalanya biasanya muncul usia 1-3 tahun.
2. Pengertian Stres
Stres adalah reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial
(tekanan mental atau beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara
bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan
yang tidak disukai berupa respon fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap
stressor; konteks yang menjembatani pertemuan antara individu dengan
stimulus yang membuat stres; semua sebagai suatu sistem (WHO, dalam
Rice (1999) mengemukakan bahwa stres memiliki tiga pengertian yang
berbeda, definisi pertama stres dikatakan sebagai stimulus yang berasal dari
situasi atau lingkungan yang menyebabkan individu merasa tertekan pada
situasi tersebut, dalam pengertian ini stres dianggap sebagai sesuatu yang
eksternal. Definisi kedua, stres dianggap sebagai respons subjektif, dalam
pengertian ini stres dianggap sebagai sesuatu yang internal yaitu keadaan
psikologis individu atau ketegangan yang dirasakan oleh individu dan definisi
yang ketiga, stres dianggap sebagai reaksi fisikal tubuh untuk menuntut dan
merusak sehingga menyebabkan gangguan-gangguan pada individu.
Menurut Crider, dkk., (1983), stres dapat diartikan sebagai gangguan
reaksi fisiologis dan psikologis yang muncul ketika kejadian lingkungan
mengancam dan memaksa kemampuan individu untuk menghadapi masalah.
Taylor (2009) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif
disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif, dan perilaku yang
bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang
menyebabkan stres.
Menurut McGrath (dalam Walker, dkk, 2009) stres mengarah pada
ketidakseimbangan antara tuntutan yang diterima dengan kemampuan individu
untuk meresponnya. Lebih lanjut, Sarafino (1994) berpendapat bahwa stres
adalah kondisi yang disebabkan ketika ada perbedaan antara seseorang atau
lingkungan yang berhubungan dengan individu, yaitu situasi yang diinginkan
Hans Selye (dalam Hawari, 2002) mengatakan bahwa stres merupakan
respon tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban
atasnya. Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga seseorang itu
terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya.
Namun, tidak semua orang mampu melakukan adaptasi dan mengatasi stressor
tersebut, sehingga muncul keluhan-keluhan antara lain stres.
Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan
oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang
berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King, dalam Rice, 1999).
Menurut Atkinson (2000) stres muncul disebabkan adanya permintaan yang
berlebihan yang tidak dapat dipenuhi sehingga dapat mengancam
kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai
penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini disebut respon
stres.
Berdasarkan pengertian ahli-ahli di atas dapat diperoleh pengertian
bahwa stres adalah keadaan yang disebabkan oleh adanya tuntutan, baik
tuntutan internal maupun tuntutan eksternal yang dapat membahayakan
individu sehingga individu bereaksi baik secara fisiologis maupun psikologis.
3. Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis
Ibu yang memiliki anak autis sering mengalami stres. Memiliki anak
pikiran negatif yang muncul saat mengetahui hal tersebut, seperti rasa
bersalah, kehilangan, ketakutan akan masa depan, stigma negatif dari
masyarakat (Williams & Wright, 2004).
Pikiran negatif ibu yang memiliki juga disebabkan perilaku anak autis
yang berbeda dengan anak yang lain. Anak autis dapat berperilaku berlebihan
(excessive), seperti perilaku menjerit, menangis, dan melompat-lompat. Hal ini menyebabkan ibu merasa khawatir anak akan kelelahan dan merasa bersalah
karena dapat mengganggu dan membahayakan orang lain di sekitar. Perilaku
berlebihan juga dapat berupa perilaku yang melukai diri sendiri (self abuse) seperti memukul, menggigit dan mencakar diri sendiri yang tentu saja dapat
membahayakan nyawa anak. Ibu harus bekerja keras dalam mengawasi anak
karena setiap saat anak dapat melakukan tindakan self abuse. Untuk menghentikan tindakannya orang tua juga karus sabar karena anak mengalami
hambatan dalam berkomunikasi, sehingga bila cara yang dilakukan salah
maka akan memperparah keadaan. Hal ini membuat ibu yang memiliki anak
autis merasa mudah lelah, makan menjadi tidak teratur, dan mengalami
gangguan tidur.
Selain perilaku yang berlebihan, anak autis juga dapat memiliki
perilaku berkekurangan yang ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial
kurang sesuai, defisit sensoris sehingga terkadang anak dianggap tuli, bermain
tidak benar dan emosi yang tidak tepat misalnya tertawa tanpa sebab,
dan kesulitan dalam memahami keinginan anak. Perilaku anak autis dapat
membuat ibu frustasi dan lama-kelamaan akan menyebabkan stres.
Cohen & Volkmar (dalam Lubis, 2009) menjelaskan bahwa umumnya
orang tua yang memiliki anak autis akan mengalami stres. Hal ini terjadi baik
pada ayah maupun ibu. Ayah dan ibu juga mengalami penampakan yang
berbeda dari stres yang mereka alami yang berhubungan dengan
masalah-masalah anak autisnya. Ibu lebih rentan terhadap stres karena ibu berperan
langsung dalam kehadiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan
rasa bersalah dan depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan
anaknya. Ibu juga merasa stres karena perilaku yang ditampilkan anaknya,
seperti tantrum, hyperaktif, kesulitan bicara. perilaku yang tidak lazim, dan ketidakmampuan bersosialisasi. Berbeda dengan ayah yang juga sebenarnya
mengalami stres yang sama, tetapi dampak stresnya tidak seberat apa yang
dialami oleh ibu. Hal ini disebabkan peran utama ayah sebagai pencari nafkah
utama dalam keluarga sehingga mereka tidak terlalu terlibat dalam
pengasuhan anak sehari-hari.
Memiliki anak autis menyebabkan ibu mengalami konflik batin dalam
menerima keberadaan anaknya yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena
adanya kesenjangan antara keinginan dan harapan ibu yang tidak terpenuhi
untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam keluarga. Konflik batin
yang dialami oleh ibu akan mempengaruhi keadaan psikologisnya, yang
kemudian akan berdampak pada sikap atau perilaku yang ditunjukkan oleh ibu
cukup berat karena membesarkan anak autis tidak hanya membutuhkan
pengorbanan fisik tetapi juga psikis.
Menurut Heiman (2002), stres ibu yang memiliki anak autis
disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal meliputi menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuan anak;
ketidakmampuan dalam keterampilan pengasuhan; merasa syok, depresi,
bersalah, bingung, marah, putus asa, dan menyangkal atas diagnosis anak;
ketidakmampuan dalam mengatasi stres; dan merasa putus asa dengan masa
depan anak. Faktor eksternal meliputi ketidakpercayaan terhadap pihak
professional, stereotip, biaya medis, dan kurangnya informasi mengenai autis.
Berdasarkan uraian di atas, stres pada ibu yang memiliki anak autis
dalam penelitian ini dimaknakan sebagai kondisi atau keadaan tidak
menyenangkan yang dialami ibu yang disebabkan oleh adanya tuntutan, baik
tuntutan internal maupun eksternal yang dapat membahayakan individu
sehingga individu bereaksi secara fisiologis maupun psikologis.
4. Aspek-aspek Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis
Crider, dkk., (1983) mengemukakan aspek stres menjadi 3, yaitu :
a. Gangguan emosional
Gangguan emosional biasanya berwujud keluhan-keluhan seperti
tegang, khawatir, marah, malu, tertekan dan perasaan bersalah. Secara
umum, hal tersebut adalah sesuatu hal yang tidak menyenangkan atau
bahagia dan cinta. Hal ini berarti ibu yang memiliki anak autis akan
merasa tegang, khawatir, tertekan, dan merasa bersalah.
b. Gangguan kognitif
Gejalanya tampak pada fungsi berpikir, mental images, konsentrasi
dan ingatan. Dalam keadaan stres, ciri berpikir dalam keadaan normal
seperti rasional, logis dan fleksibel akan terganggu karena dipengaruhi
oleh kekhawatiran tentang konsekuensi yang terjadi maupun evaluasi diri
yang negatif. Mental images diartikan sebagai citra diri dalam bentuk
kegagalan dan ketidakmampuan yang sering mendominasi kesabaran
individu yang mengalami stres, seperti mimpi buruk, mimpi-mimpi yang
menimbulkan imajinasi visual menakutkan dan emosi negatif.
Konsentrasi diartikan sebagai kemampuan untuk memusatkan pada suatu
stimulus yang spesifik dan tidak memperdulikan stimulus lain yang tidak
berhubungan. Pada individu yang mengalami stres, kemampuan
konsentrasi akan menurun, yang akhirnya akan menghambat performansi
kerja dan kemampuan pemecahan masalah (problem-solving). Memori
pada individu yang mengalami stres akan terganggu dalam bentuk sering
lupa dan bingung. Hal ini disebabkan karena terhambatnya kemampuan
memilahkan dan menggabungkan ingatan-ingatan jangka pendek dengan
yang telah lama. Maka dari itu, orang tua yang memiliki anak autis akan
mengalami gangguan fungsi berpikir, mental images, konsentrasi dan
c. Gangguan fisiologis
Gangguan fisiologis ditandai dengan terganggunya pola-pola
normal dari aktivitas fisiologik yang ada. Gejala-gejalanya yang timbul
biasanya adalah sakit kepala, konstipasi, nyeri pada otot, menurunnya
nafsu seks, cepat lelah dan mual. Ibu yang memiliki anak autis akan
mengalami gangguan fisiologis tersebut.
Taylor (2009) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon.
Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat
berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur
tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai
aspek, yaitu:
a. Aspek fisiologis, dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,
detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
b. Aspek kognitif, dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu,
seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran
berulang, dan pikiran tidak wajar.
c. Aspek emosi, dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin
dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.
d. Aspek tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.
Menurut Rice (1999), secara umum aspek-aspek stres diidentifikasikan
a. Gejala perilaku, banyak diantara perilaku yang menunjukkan stres
diantaranya yaitu penundaan dan menghindar, menarik diri dari teman dan
keluarga, kehilangan nafsu makan atau sebaliknya, kehilangan tenaga,
emosi yang meledak dan agresi, memulai atau peningkatan penggunaan
obat-obatan secara dramatis, perubahan pola tidur, melalaikan
tanggungjawab, penurunan produktifitas dalam diri seseorang, dan
keinginan bunuh diri.
b. Gejala emosi, sebagian besar gejala emosi pada stres adalah kecemasan,
ketakutan, cepat marah dan depresi. Gejala lainnya yaitu frustrasi,
perasaan yang tidak menentu dan kehilangan kontrol. Di dalam pekerjaan,
stres ditunjukkan dengan kehilangan semangat dan penurunan kepuasan
kerja.
c. Gejala kognitif, di antara sebagian besar gejala mental atau kejiwaan dari
stres adalah kehilangan motivasi dan konsentrasi. Hal ini terlihat pada
seseorang yang kehilangan kemampuan untuk memusatkan perhatian pada
tugas yang diberikan dan kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan
tugas dengan baik. Gejala mental lainnya adalah kecemasan yang
berlebihan, kehilangan ingatan, kesalahan persepsi, kebingungan, terjadi
pengurangan daya tahan tubuh dalam membuat keputusan, lemah dalam
menyelesaikan masalah terutama selama krisis, mengasihani diri sendiri,
kehilangan harapan.
d. Gejala fisik, di antara gejala fisik dari stres adalah kelelahan secara fisik
ketegangan otot yang ditandai dengan gemetaran dan kekejangan. Dalam
sistem cardiovascular, stres ditandai dengan percepatan denyut jantung,
hipertensi dan proses atherosclerotic yang buruk.
Aspek-aspek stres yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada
teori yang dikemukakan oleh Crider, dkk., (1983), Taylor (2009), dan Rice
(1999), yang meliputi aspek emosi, aspek kognitif, aspek fisiologis, dan aspek
tingkah laku. Aspek-aspek yang dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut
dimodifikasi sehingga lebih lengkap dan menyeluruh.
5. Faktor yang Mempengaruhi Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis
a. Faktor Lingkungan (Rutter, dkk., 1993)
Menurut Lazarus & Folkman (dalam Rutter, dkk., 1993), situasi,
kejadian atau objek apapun yang menimbulkan tuntutan dalam tubuh dan
penyebab reaksi psikologis disebut stressor. Memiliki anak autis merupakan stressor bagi ibu karena ibu merasa terbeban dengan rasa takut
dan sedih berkepanjangan karena merasa kehilangan masa depan anak.
Tidak ada seorangpun ibu yang mengharapkan anaknya terlahir dengan
gangguan perkembangan. Diagnosis autis dapat sangat memberikan
kekecewaan terhadap ibu dan mengakibatkan stres. Lingkungan yang
mendukung akan dapat mengurangi tingkatan stres yang dialami.
Sebaliknya, tekanan dari lingkungan akan dapat meningkatkan stres pada
b. Faktor-Faktor Psikologis
1) Cara coping stres (Nevid, dkk., 2005; Wortman,dkk., 2004; Dunn,dkk.,
2001)
Berpura-pura seakan masalah tidak ada atau tidak terjadi
merupakan penyangkalan. Penyangkalan merupakan contoh coping
yang berfokus pada emosi (Lazarus & Folkman, dalam Nevid dkk.,
2005). Pada coping yang berfokus pada emosi, orang berusaha segera
mengurangi dampak stresor dengan menyangkal adanya stresor atau
menarik diri dari situasi. Sebaliknya, pada coping yang berfokus pada
masalah (problem focused coping) orang menilai stresor yang mereka
hadapi dan melakukan sesuatu untuk mengubah stresor atau
memodifikasi reaksi mereka untuk meringankan efek dari stresor
tersebut (Nevid dkk., 2005). Ibu yang memiliki anak autis yang
melakukan penyangkalan atas stressor dengan menarik diri dari lingkungan sekitar karena merasa malu dengan kondisi anaknya,
sedangkan ibu yang berfokus pada masalah akan mencari solusi untuk
anak mereka dan diri mereka sendiri agar bisa berbaur dengan
masyarakat.
2) Harapan akan self-efficacy (Nevid,dkk., 2005)
Harapan akan self efficacy berkenaan dengan harapan individu terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang hadapinya,
harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menampilkan perilaku
menghasilkan perubahan hidup yang positif (Bandura, dalam Nevid
dkk., 2003). Ibu yang memiliki anak autis mungkin dapat mengelola
stres lebih baik apabila orang tersebut yakin dan percaya diri (memiliki
harapan yang tinggi).
3) Ketahanan psikologis (Nevid dkk, 2003)
Ketahanan psikologis (psychological hardiness) atau sekumpulan trait individu yang dapat membantu dalam mengelola stres yang dialami. Williams dkk., (dalam Nevid dkk, 2003)
mengemukakan bahwa secara psikologis, orang yang ketahanan
psikologisnya tinggi cenderung lebih efektif dalam mengatasi stres
dengan menggunakan pendekatan coping yang berfokus pada masalah
secara efektif. Ibu anak autis yang memiliki ketahanan psikologis yang
tinggi menganggap stressor yang mereka hadapi membuat kehidupan
lebih menarik dan menantang, bukan semata-mata membebani mereka
dengan tekanan-tekanan tambahan.
4) Optimisme (Wortman, dkk., 2004; Nevid, dkk., 2005; Walker, dkk.,
2009)
Brissete (dalam Walker, dkk., 2009) berpendapat bahwa orang
yang optimis lebih banyak menggunakan strategi coping yang efektif dan sehingga biasanya orang yang optimis kurang rentan terhadap
stres. Scheier & Carver (dalam Wortman, dkk., 2004) mengemukakan
lebih lanjut bahwa individu yang optimis lebih dapat beradaptasi, baik
memiliki anak autis yang optimis akan memiliki resiko yang lebih
rendah untuk stres.
5) Locus of control (Dunn, dkk., 2001)
Locus of control adalah keyakinan yang dimiliki individu terhadap sumber penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
kehidupannya, apakah berasal dari dalam atau dari luar individu. Locus
of control berkaitan dengan ketahanan psikologis untuk mengubah stressor yang negatif menjadi stressor positif.
c. Faktor-Faktor Kepribadian (Hawari, 2002)
Tidak semua orang yang mengalami stres psikososial yang sama
akan mengalami stres. Ternyata pada seseorang yang memiliki tipe
)
Type
Pattern) lebih rentan terkena stres. Sedangkan orang dengan tipe
lebih kebal terhadap stres. Pola tingkah laku tipe A adalah sekelompok
karakteristik yang menimbulkan rasa kompetitif yang berlebihan, kemauan
keras, tidak sabar, mudah marah, dan tidak dapat santai. Sedangkan pola
tingkah laku tipe B memiliki ambisi yang wajar saja, tidak agresif,
penyabar, dan mampu mengendalikan diri. Meskipun demikian tidak
berarti orang dengan tipe kepribadian di luar kategori di atas tidak akan
mengalami stres, atau dengan kata lain orang dengan tipe kepribadian A
2002). Dengan demikian, ibu yang memiliki anak autis dengan tipe
kepribadian A memiliki resiko stres lebih besar daripada tipe kepribadian
lain.
d. Faktor-Faktor Kognitif (Rutter, dkk., 1993)
Lazarus (dalam Rutter, dkk., 1993), mengatakan sesuatu yang
menimbulkan stres tergantung pada bagaimana individu menilai dan
menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Penilaian kognitif
(cognitive appraisal) adalah istilah yang digunakan Lazarus untuk
menggambarkan interpretasi individu terhadap kejadian-kejadian dalam
hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam, atau
menantang dan keyakinan mereka apakah mereka memiliki kemampuan
untuk menghadapi suatu kejadian dengan efektif. Jadi, seberapa besar
tingkat ibu menginterpretasikan stressor memiliki anak autis tergantung dari bagaimana ibu menginterpretasikannya.
e. Faktor Usia (Hurlock, 2002)
Hurlock (2002) menyatakan bahwa individu yang semakin tua
akan memiliki emosi yang cenderung akan semakin stabil dan kestabilan
emosi ini berpengaruh terhadap daya tahan terhadap stres. Usia yang
semakin bertambah mengakibatkan seseorang akan semakin mudah
mengalami stres. Hal ini berkaitan dengan faktor fisiologis yang
mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi
stres pada ibu yang memiliki anak autis meliputi faktor lingkungan, faktor
psikologis (terkait cara coping stres, harapan akan self efficacy , ketahanan psikologis, optimisme, dan locus of control), faktor kepribadian, faktor kognitif, dan faktor usia.
B. Penerimaan Diri
1. Pengertian Penerimaan Diri
Menurut Supratiknya (1995), penerimaan diri adalah memiliki
penghargaan yang tinggi terhadap diri sendiri, atau tidak bersikap sinis
terhadap diri sendiri. Penerimaan diri berkaitan dengan kerelaan membuka diri
atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain,
kesehatan psikologis individu, serta penerimaan terhadap orang lain.
Sheerer (Cronbach, 1954) mengemukakan bahwa penerimaan diri
adalah sikap untuk menilai diri dan keadaannya secara objektif, menerima
segala yang ada pada dirinya termasuk kelebihan-kelebihan dan
kelemahan-kelemahannya. Penerimaan diri menurut Hurlock (1974) adalah suatu tingkat
kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik
dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang
tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan
terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan
untuk beradaptasi dengan lingkungan dan merasa bahagia.
Penerimaan diri adalah sejauhmana seseorang dapat menyadari dan
kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh pengakuan
seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus menerima
kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan yang
terus menerus untuk mengembangkan diri (Handayani, dkk. 1998)
Jersild (1978) mengemukakan bahwa seseorang yang menerima
dirinya memiliki penilaian yang realistis terhadap kemampuannya yang
berkesinambungan dengan penghargaan terhadap keberhargaan dirinya,
jaminan dari dirinya tentang batasan (standar) pendiriannya tanpa merasa
terendahkan oleh opini orang lain dan penilaian realists dari keterbatasan
dirinya tanpa menyalahkan dirinya secara tidak rasional. Orang yang
menerima dirinya mengenali kemampuan dirinya dan mereka dapat
menggunakan kemampuan dirinya dengan bebas walaupun tidak semua
keinginannya tersebut diinginkan. Mereka juga mengenali kelemahan dirinya
tanpa menyalahkan diri sendiri.
Perls (dalam Schultz, 1991) berpendapat bahwa orang yang memiliki
penerimaan diri mampu memahami dan menerima kekuatan-kekuatan dan
kelemahan-kelemahan mereka serta menyadari potensi-potensi mereka
sebagai manusia. Mereka mengetahui bahwa mereka memiliki kemampuan
untuk melakukan dan untuk menjadi. Sama juga halnya dengan mereka yang
mengetahui apa yang mereka tidak dapat lakukan, dan mereka berusaha untuk
tidak menjadi sesuatu yang bukan mereka. Mereka tidak mempertahankan
cita-cita atau tujuan-tujuan yang mereka ketahui bahwa mereka tidak dapat
Berdasarkan pengertian ahli-ahli di atas dapat diperoleh pengertian
bahwa penerimaan diri adalah kemampuan menerima kondisi diri sendiri
secara jujur dan terbuka, baik kelebihan maupun kelemahan, pada diri sendiri
dan di hadapan orang lain, serta mampu memaksimalkan potensi yang ada
pada dirinya.
2. Tahapan Penerimaan Diri
Menurut Fuad (2006), ada 4 tahapan penerimaan diri, antara lain :
a. Tahap menolak menerima kenyataan (Denial)
Setiap individu memiliki kecenderungan untuk menolak suatu
kondisi yang tidak ia inginkan. Banyak mekanisme yang dilakukan untuk
menolak kenyataan yang tidak ia kehendaki. Sebagian dari mereka
mengurung diri dan menghindar untuk bersosialisasi dengan lingkungan
sekitar, sebagian lagi menjadi sangat sensitif dan reaktif terhadap situasi
disekitarnya.
b. Tahap tawar-menawar (Bargaining)
Maksud tawar-menawar dalam tahap ini adalah sebuah mekanisme
yang dilakukan individu untuk menutupi kondisi yang tidak diinginkannya
tersebut.
c. Tahap depresi (Depression)
Jika seseorang sudah mengalami kelelahan dalam pergulatan pada
dua tahapan yaitu menolak dan tawar-menawar ia akan terpaksa menyerah
dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa
bersalah. Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang
tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak.
d. Tahap puncak menerima kenyataan (Acceptance)
Dalam tahapan ini kondisi dan situasi yang tidak mengenakkan
oleh individu dimaknai sebagai anugerah kehidupan. Memang sangat sulit
mencapai tahapan ini, oleh karena itu disebut tahapan puncak dari seluruh
proses penerimaan diri. Rasa syukur dalam tahapan ini dimaknai sebagai
penerimaan realitas diri secara total.
Berdasarkan uraian di atas tahapan penerimaan diri terdiri dari 4 tahap,
yaitu tahap menolak menerima kenyataan, tahap tawar-menawar, tahap
depresi, dan tahap puncak menerima kenyataan.
3. Dampak Penerimaan Diri
Hurlock (1974) menjelaskan bahwa semakin baik seseorang dapat
menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuian diri dan
sosialnya. Kemudian Hurlock (1974) membagi dampak dari penerimaan diri
dalam 2 kategori yaitu :
a. Dalam penyesuaian diri
Orang yang memiliki penyesuaian diri, mampu mengenali
kelebihan dan kekurangannya. Salah satu karakteristik dari orang yang
meiliki penyesuaian diri yang baik adalah lebih mengenali kelebihan dan
itu juga lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang
kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang memiliki
penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistik, sehingga
dapat menggunakan semua potensinya secara efektif hal tersebut
dikarenakan memiliki anggapan yang realistik terhadap dirinya maka akan
bersikap jujur dan tidak berpura-pura.
b. Dalam penyesuaian sosial
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari
orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk
memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti menunjukkan rasa
empati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat
mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan
orang yang merasa rendah diri atau merasa tidak adekuat sehingga mereka
itu cenderung untuk bersikap berorientasi pada dirinya sendiri (self oriented).
Berdasarkan uraian di atas dampak dalam penerimaan diri ada 2 yaitu
dalam penyesuaian diri dan dalam penyesuaian sosial. Penerimaan diri
memiliki dampak dalam penyesuaian sosial berkaitan dengan kemampuan
individu dalam mengenali kelebihan dan kekurangannya. Penerimaan diri
memiliki dampak penyesuaian sosial berkaitan dengan timbulnya empati.
4. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Hurlock (1974) mengemukakan tentang faktor-faktor yang
a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri (self understanding).
Hal ini timbul dengan adanya kesempatan seseorang untuk
mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya. Pemahaman diri dan
penerimaan diri berjalan dengan berdampingan, semakin orang dapat
memahami dirinya, maka semakin orang tersebut dapat menerima dirinya.
b. Adanya harapan yang realistik (realistic expectations).
Hal ini timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan
disesua ikan dengan pemahaman dengan kemampuannya, dan bukan
diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya. Individu yang
memiliki harapan yang realistik akan memperoleh kesempatan yang lebih
besar untuk mencapai harapan itu, dan hal ini akan menimbulkan kepuasan
diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.
c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan (absence of environment obstacles).
Walaupun seseorang sudah memiliki harapan yang realistik, tetapi
jika lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan
menghalangi, maka harapan individu tersebut akan sulit tercapai.
d. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan (favourable social
attitudes).
Sikap-sikap anggota masyarakat ditandai dengan tidak adanya
prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan