commit to user
i TINDAK PIDANA
(Studi Kasus Pemulihan Kondisi dan Fungsi Psikologis Anak di Panti Sosial
Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Diyah Kun Mariati
NIM. E0007263
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKRTA
commit to user
commit to user
commit to user
commit to user
v
Diyah Kun Mariati, E 0007263. PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM
MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Studi Kasus Pemulihan Kondisi dan Fungsi Psikologis Anak di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaturan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana dan bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putar (PSMP) ANTASENA Magelang dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif, dengan jenis data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer berupa data yang diperoleh langsung dari lapangan yaitu Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang dengan teknik wawancara dan observasi. Data sekunder berupa data yang diperoleh dari buku literatur, dokumen dan tulisan lain dengan teknik pengumpulan secara studi kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan restorative justice dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana berdasarkan pada landasan hukum meliputi UUD 1945, peraturan perundang-undangan, Surat Edaran Mahkamah Agung, Surat Edaran Jaksa Agung, Surat Kesepakatan Bersama Ketua MA, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta peraturan lainya. Dalam penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang sangat besar bagi pemulihan kondisi dan fungsi psikologis anak kedepannya. Di dalam bentuk upaya pelayanannya yakni dengan pembagian tugas menjadi 3 (tiga) divisi. Pertama seksi advokasi sosial, tugasnya meliputi pendampingan anak pelaku pidana dalam proses penyidikan sampai pada persidangan dan juga sebagai mediator dalam proses restoratif. Kedua seksi rehabilitasi sosial, tugasnya yakni memberikan bimbingan terhadap anak. Ketiga pekerja sosial, tugasnya yaitu pengawasan terhadap perkembangan anak yang sudah keluar dengan kerjasama instansi terkait.
commit to user
vi Diyah Kun Mariati, E 0007263. APPLYING OF RESTORATIVE JUSTICE IN GIVING PROTECTION TO CHILD WHO DOES AN INJUSTICE (CASE STUDY CURE OF PSYCHOLOGICAL FUNCTION AND CONDITION OF CHILD IN PANTI SOSIAL MARSUDI PUTRA (PSMP) ANTASENA MAGELANG).
This research aims to know about arrangement of restorative justice to child who does an injustice and form applying of justice restorative in Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang in the effort giving law protection to child doing an injustice.
Research method which is used is descriptive research type, with primary data type and secondary type. Primary data collecting which is the form of data is obtained directly in the field that is Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang by technique interview and observation. Secondary data which is the form is obtained from the book literature, other article and document by gathering technique bibliography study. Analysis technique which is used is qualitative analysis.
From the result of research can be concluded that applying of justice restorative in giving protection to child who does an injustice based on basis of law cover UUD 1945, law and regulation, Handbill Appellate court, attorney handbill, agreement letter with chief of MA, Attorney General, lead police, law and HAM minister, social minister, powered minister of woman and protection of child, and also other regulation. In applying of justice restorative in Panti Social Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang is very big to cure psychological function and psychological condition of child in the future. In the striving steward form namely with division of duty become 3 division. First, Advokasi section, its duty covers adjacently of child which is perpetrator of crime in course of investigation until the court session and as the mediator as well in restorative process. Second, social rehabilitate section, which is its duty is give the tuition to child. Third, social worker, its duty is monitoring to growth of child which has gone out with related/relevant institution cooperation.
Keywords: Children, Crime Children, Child Protection and Restorative Justice.
commit to user
vii Kepunyaan Allah segala yang ada di langit dan di bumi.
Dan ilmu Allah mengikuti segala sesuatu.
(QS. An Nissa’ : 126)
Dialah yang mengkaruniakan hikmah kepada yang Ia kehendaki.
Siapapun yang mendapat hikmah, dia telah mendapatkan
kebahagiaan yang melimpah. Namun yang mampu mengambil
peringatan ini hanya orang-orang yang berfikir cerdik.
(QS. Al Baqarah : 269)
Allahlah pelindungmu yang sesungguhnya.
Dialah sebaik-baiknya penolong.
(QS. Ali Imran : 150)
Janganlah melihat masa lalu dengan penyesalan, jangan pula melihat
masa depan angan-angan, namun lihatlah masa sekarang dengan
semangat dan kerja keras.
commit to user
viii Skripsi ini penulis persembahan sebagai wujud syukur, cinta dan
terimakasih kepada :
Allah SWT sang penuntun hidup yang memberikan hidayah
serta inayah-Nya;
Ayahanda Sutardjo dan Ibunda Erli Hastuti Nuraeni dua bijak
yang membangkitkan penulis dengan doa, kasih sayang dan
perhatian dalam menyelesaikan skripsi ini;
Almarhum permata hati adikku tercinta Halim Al’’Muiz atas
tumpuan semangatnya, doa dan keceriaannya semasa hidup
hingga mampu menghibur penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
(semoga bahagia di surga sayang, I miss you :*);
Ari Susanto atas segala doa, semangat dan motivasi yang tulus
diberikan untukku;
Keluarga besarku yang dengan tulus membangkitkan semangat
dengan doa dan perhatian saat keputus asaku;
Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam
penulisan skripsi ini;
Almamaterku, Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal
ilmu pengetahuan dan pengalaman untuk menghadapi
commit to user
ix Dengan mengucap segala kerendahan hati, penulis memanjatkan segala puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENERAPAN RESTORATIVE
JUSTICE DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Studi Kasus Pemulihan Kondisi dan Fungsi
Psikologis Anak di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang).
Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dan diajukan dengan tujuan untuk memenuhi
persyaratan dalam rangka mencapai derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini
masih sangat jauh dari sempurna, berhubung dengan keterbatasan-keterbatasan yang penulis
miliki. Walaupun demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar inti dari
pembahasan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam rangka penyelesaian skripsi ini, terutama kepada :
1. Allah SWT sang penuntun hidup yang memberikan hidayah serta inayah-Nya yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis;
2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta;
3. Bapak Harjono,S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah memberi izin
dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
4. Bapak R. Ginting,S.H.,M.H. dan Ibu Siti Warsini,S.H.,M.H. selaku Pembimbing yang
telah telah menyediakan waktu serta pikirannya, tidak hanya untuk memberikan ilmu,
bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini namun juga untuk memberi nasihat,
cerita, serta mendengar keluh kesah penulis;
5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret
yang telah memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis selama menempuh kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret;
6. Seluruh Staf Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak
membantu penulis selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum;
7. Pimpinan dan staf Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang atas
commit to user
x menyelesaikan skripsi ini;
9. Almarhum permata hati adikku tercinta Halim Al’Muiz atas tumpuan semangatnya, doa
dan keceriaannya semasa hidup hingga mampu menghibur penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini;
10. Ari Susanto yang senantiasa memberikan inspirasi, semangat serta dukungan bagi penulis
untuk selalu berkarya;
11. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2007 penulis atas kebersamaannya yang
selama ini menimba ilmu di Fakultas Hukum UNS;
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Akhirnya penulis berharap semoga karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Surakarta, Januari 2012
Penulis
commit to user
xi
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 19
1. Tinjauan Umum Anak ... 19
a. Pengertian dan Batas Usia Anak ... 19
b. Hak-hak dan Kewajiban Anak ... 23
2. Tinjauan Umum Restorative Justice ... 25
a. Pengertian Restorative Justice ... 25
b. Prinsip, Syarat dan Bentuk Restorative Justice ... 28
3. Tinjauan Umum Perlindungan Tindak Pidana Anak... 32
a. Pengertian Tindak Pidana ... 32
b. Tindak Pidana Anak ... 35
c. Perlindungan Tindak Pidana Anak ... 38
commit to user
xii Anak yang Melakukan Tindak Pidana ... 45
B. Bentuk Penerapan Restorative Justice dalam Upaya Perlindungan
Hukum Terhadap Anak di PSMP ANTASENA
... 56
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ... 71 B. Saran-saran ... 72
commit to user
xiii
Gambar 1. Model Analisis Interaktif ... 16
Gambar 2. Kerangka Pemikiran... 40
Gambar 3. Susunan Organisasi ... 46
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,
yang memiliki peranan strategis dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan
seimbang. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan
terhadap anak diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan
maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Oleh karena itu
penanganan terhadap anak yang melakukan tindak pidana diperlukan
pengadilan anak secara khusus.
Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11,344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4,325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9,465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53,3%, berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.
(http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf diakses 1/09/11)
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang
dilakukan oleh anak, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan
dan faktor ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus
commit to user
keluarga. Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti ketidak
harmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk anak ke arah negatif,
karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan
perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak. Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan
lingkungan tempat bermainnya. Lingkungan merupakan institusi pendidikan
kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bermain
anak juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada
perbuatan melanggar hukum. Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang”
sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh
masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan
masyarakat. Sebuah komunitas gang biasanya dipandang negatif. Bahayanya
komunitas ini memiliki tingkat solidaritas yang tinggi, karena si anak ingin
tetap diakui eksistensinya dalam gang tersebut, karena di keluarga maupun di
sekolah si anak merasa tidak diakui keberadaannya. Akibatnya, penilaian
mengenai apakah perbuatan gang itu salah atau benar tidak lagi menjadi
masalah, yang penting si anak memiliki tempat di mana ia diterima apa adanya
Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak
perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan).
Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang
jajan sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hukum.
(http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=KRIMINALITAS%20ANAK
&&nomorurut_artikel=390)
“Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dibagi menjadi
dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “non penal” (bukan/di luar
hukum pidana)”. Penanggulangan kejahatan melalui jalur “penal” menyangkut bekerjanya fungsi aparatur penegak hukum sistem peradilan
commit to user
penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” (pencegahan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Jalur ”nonpenal” merupakan jalur penanggulangan dengan cara peningkatan nilai keagamaan
penyuluhan melalalui pemuka masyarakat, dan kegiatan lainnya. Persoalan
kejahatan tidak hanya diarahkan pada penyelesaian melalui proses
peradilan,tetapi bisa melalui non peradilan. (Marlina, 2009:15-16)
Romli Atmasasmita, dalam bukunya Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, menyebutkan menurut teori labeling, “label atau cap dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan dapat membentuk
karier kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh cap/label
dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya”.
(Melani, Stop Penayangan & Hindari Pemenjaraan Anak, www.pikiranrakyat.com. )
Untuk itu di dalam prinsip Beijing Rules mengatur anak pelaku tindak
pidana dihindarkan dari penjatuhan pidana penjara. Penjatuhan pidana
merupakan upaya terakhir yang urgent, karena penjatuhan pidana terhadap pelaku anak akan membawa dampak yang kurang bijak serta berakibat anak
masuk lembaga pemasyarakatan anak. Di dalam lembaga pemasyarakatan
anak kondisi untuk perkembangan anak ke depannya sangat memprihatinkan,
melihat kondisi lembaga pemasyarakatan yang kelebihan penghuninya,
keterbatasan sarana dan prasarana, serta pembinaan yang terbatas dalam hal
jumlah dan keterampilan. Panjangnya proses peradilan yang dijalani anak
pelaku tindak pidana, sejak proses penyidikan kepolisian di kepolisian sampai
selesai menjalankan hukuman di lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah
gambaran kesedihan seorang anak. Kejadian selama proses peradilan akan
menjadi trauma tersendiri yang sulit dilupakan bagi anak. Selain itu, dilema
lain yang dihadapi oleh narapidana anak yaitu adanya penilaian masyarakat
(stigmatisasi). Masyarakat masih ada yang menilai anak yang pernah
commit to user
terlibat tindak pidana lain di masa yang akan datang. Stigmatisasi tersebut sangat sulit dihilangkan dari pandangan masyarakat. (Marlina, 2009:12-13)
Dalam hal ini upaya penanggulangan berbagai perbuatan dan tingkah
laku sosial yang menyimpang dalam diri anak, tidak boleh dilupakan
kedudukannya dengan segala karakternya yang khusus. Anak-anak
mempunyai hak-hak yang secara spesifik berbeda dengan hak-hak manusia
dewasa sebagai warga negara, dan dalam segala keadaan hak-hak anak ini
harus didahulukan dari kepentingan yang lain. Walaupun pada dasarnya dan
dalam batas wajar telah menentukan sendiri tingkah laku perbuatan
berdasarkan pikiran, perasaan, kehendaknya, tapi karena kondisinya sebagai
anak, keadaan sekitarnya dapat berpengaruh lebih besar dalam menentukan
sikap dan nilai pribadinya. Anak-anak memerlukan kondisi dalam keluarga
dan masyarakat yang memungkinkan mereka tumbuh kembang secara wajar
dan optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai anak akan menjadi
manusia dewasa.
Restorative justice merupakan metode yang tepat dalam penyelesaian hukum kepada pelaku tindak pidana yang dilakukan anak. Karena fokus utama
dalam pendekatan keadilan restoratif adalah memperbaiki
kerusakan-kerusakan sosial yang disebabkan oleh pelaku. Kemudian memulihan korban
dan pelaku untuk dapat diterima di masyarakat. Dalam konsep ini, kasus yang
yang melibatkan anak tidak selalu perlu diproses secara hukum, cukup
diselesaikan melalui komunitas dengan jalan kekeluargaan. Proses ini
diharapkan akan mengurangi dampak pada anak yang berkonflik dengan
hukum yang kadang lebih buruk dari pada perilaku kriminalnya itu sendiri.
Untuk dapat mencapai keadilan restoratif yang sesungguhnya maka
masyarakat, korban, dan pelaku harus terlibat aktif dalam proses tersebut
dengan cara menyerahkan penyelesaiannya melalui musyawarah dan mufakat
dengan warga, lingkungan, RT, RW, Ketua Adat, Tokoh Agama, Guru
commit to user
Hak diversi yang dimiliki oleh Polisi serta adanya wacana keadilan
restoratif, dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak
diharapkan langkah penyelesaian yang tepat, dimana anak yang dituduh
melakukan tindak pidana, boleh dan bisa tidak ditahan terlebih dulu sebelum
tuduhan yang dituduhkan tersebut benar-benar terbukti menurut hukum,
sepanjang polisi mampu memaksimalkan hak diversi tersebut dengan
menggunakan konsep keadilan restoratif, jika suatu waktu tuduhan itu terbukti
menurut hukum, sanksi pidana berupa penahanan dan pemenjaraan bukanlah
solusi terbaik, sepanjang masih ada sanksi tindakan yang berupa;
pengembalian kepada orang tua, menyerahkan kepada negara, menyerahkan
kepada Departemen Sosial, atau pemberian teguran serta syarat tambahan.
Jadi, restorative justice merupakan alternatif juvenile justice system, di mana
anak tidak harus menempuh sanksi pidana berupa penahanan dan
pemenjaraan, sebagai wujud penghargaan terhadap hak-hak anak.
Mewujudkan penghargaan terhadap hak-hak anak, khususnya anak
yang mempunyai masalah perilaku sosial atau anak pelaku tindak pidana,
maka Departemen Sosial Republik Indonesia mendirikan Panti Sosial Marsudi
Putra (PSMP) ANTASENA yang dibangun tahun 1982 melalui Proyek
Bantuan Dan Pengentasan ANKN Kanwil Departemen Sosial Provinsi Jawa
Tengah dengan nama SRAN “AMONG PUTRO” dan diresmikan oleh
Menteri Sosial Sapardjo pada tanggal 30 april 1982 dan mulai operasional
bulan Agustus 1982. Berdasarkan keputusan Menteri Sosial R.I
No.6/HUK/1994, tanggal 5 February 1994 berganti nama menjadi PSMP
“ANTASENA” Magelang.
Berdasakan latar belakang tersebut maka penulis merasa perlu untuk
meneliti dan tertarik untuk mengetahui secara jelas dan terperinci yang akan
penulis tuangkan ke dalam skripsi yang berjudul “ PENERAPAN
RESTORATIVE JUSTICE DALAM MEMBERIKAN
PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN
commit to user
Psikologis Anak di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA
MAGELANG) ”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini penulis
merumuskan dalam dua pokok permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan pelayanan restorative justice terhadap anak pelaku
tindak pidana ?
2. Bagaimana bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya memberikan perlindungan
hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu target yang hendak dicapai dalam
suatu penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan
obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif).
Dalam penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan pelayanan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
b. Untuk memperoleh jawaban bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya
memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan
commit to user 2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah wawasan pengetahuan, serta pemahaman penulis
terhadap penerapan teori-teori yang telah penulis terima selama
menempuh kuliah untuk mengatasi masalah hukum yang terjadi di
masyarakat.
b. Untuk memperoleh data yang lengkap guna penulisan skripsi sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan bidang Hukum Pidana pada khususnya.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang kajian mengenai perlindungan
hukum terhadap pelaku tindak pidana.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian
sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran, pola pikir
dinamis dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama bangku kuliah.
b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu, memberikan tambahan
commit to user
yang sedang diteliti, juga kepada berbagai pihak yang berminat pada
permasalahan yang sama.
E. Metode Penelitian
Istilah “Metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.
3. Cara tertentu melaksanakan suatu prosedur.
(Soerjono Soekanto, 2010:5)
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu. Penelitian
hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala
bersangkutan. (Soerjono Soekanto, 2010:42-43)
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan
masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan, menyusun data guna
commit to user
dituangkan dalam penulisan ilmiah (skripsi). Adapun metode penelitian
dalam penulisan hukum ini meliputi :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penyusunan dalam penelitian ini
adalah penelitian hukum empiris atau “sosiologis”. Pada penelitian hukum
empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian
dilanjutkan pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat.
(Soerjono Soekanto, 2010:52)
Penelitian ini mengkaji mengenai bagaimanakah pengaturan
pelayanan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana
, bagaimanakah bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya memberikan
perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Untuk
dapat menjawab permasalahan di atas, maka peneliti akan melakukan
penelitian melalui suatu proses wawancara (interview) dengan mengajukan
pertanyaan kepada Kepala dan staf-staf Panti Sosial Marsudi Putra
(PSMP) ANTASENA Magelang, sehingga penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai penelitian hukum empiris.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Soerjono
Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadan atau
gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat
teori-teori baru. (Soerjono Soekanto, 2010:10)
Penelitian ini memberikan gambaran yang lengkap mengenai
commit to user
tindak pidana dan bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya memberikan
perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu tata
cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang dinyatakan oleh
responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata yang
diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh. (Soerjono Soekanto,
2010:250)
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini terdiri
dari :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumber pertama atau melalui penelitian di lapangan yaitu melalui
wawancara (interview) untuk memperoleh keterangan dari pihak-pihak
yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Sumber data primer
merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama yakni
perilaku warga masyarakat melalui penelitian. (Soerjono Soekanto,
2010:12)
Adapun sumber data primer yang diperoleh dalam penelitian ini
secara langsung dari lapangan berdasarkan keterangan dari pihak Panti
Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang yang beralamat
di Jln. Raya Magelang Purworejo Km 14 Salaman Magelang, terkait
dengan permasalahan yang sedang diteliti.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang secara tidak
commit to user
data primer. Menurut Soerjono Soekanto, sumber data sekunder dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu ; bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier. (Soerjono Soekanto, 2008:52)
Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang penulis gunakan antara lain :
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
c. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
d. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
e. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak.
f. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1995 tentang
Kemasyarakatan.
g. Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
h. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukuman
yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan (Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment, or Punishment).
i. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia.
j. Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
k. Keputusan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi
commit to user
l. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010
tanggal 24 Februari 2010 dalam sidang uji materi terhadap
Undang-Undang Nomor 3 tahun1997 tentang Pengadilan
Anak.
m. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1954, tentang
Prajuana/Bantuan Hukum Cuma-Cuma kepada Anak Miskin.
n. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959
tentang Persidangan Anak Harus Dilakukan Secara Tertutup.
o. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987,
tanggal 16 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.
p. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang
Penuntutan terhadap Anak.
q. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
B-532/E/11/1995, 9 November 1995 tentang Petunjuk
Penuntutan Terhadap Anak.
r. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan
DitPasDepKumHAM RI tentang Pembinaan Luar Lembaga
bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
s. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI
MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang kewajiban setiap Pengadilan
Negeri menata ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus
untuk anak yang akan disidangkan.
t. TR/1124/XI/2006 dari Kaberskrim POLRI tanggal 16
November 2006 dan TR/395/VI/2008 tanggal 9 Juni 2008
tentang Pelaksanaan Diversi dan Restorative Justice dalam Penanganan ABH.
u. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada
anak yang mengutamakan putusan berupa tindakan dari pada
penjara, tanggal 16 Juli 2007.
v. Peraturan KAPOLRI 10/200, 6 Juli 2007 tentang Unit
commit to user
Pembentukan RPK dan Tata Cara Pemeriksaan dan Saksi dan
atau Korban Tindak Pidana Anak.
w. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI No.
12/PRS-2/KPTS/2009, Departemen Hukum dan HAM RI No.
M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan
Nasional RI No. 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI No.
06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI No. B/43/XII/2009
tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang
Berhadapan dengan Hukum, tanggal 15 Desember 2009.
x. Surat Keputusan Bersama Ketua MA RI, Jaksa Agung RI,
Kepala Kepolisia Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI,
Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI, No.166/KMA/SKB/XII/2009,
No.1484A/A/JA/12/2009, No.M.HH-08 HM.03.02 Tahun
2009, No.10/PRS-2/KPTS/2009, No.02/Men.PP, dan
PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan
Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
2) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Hasil karya ilmiah para sarjana yang terkait dengan penelitian
ini.
b. Hasil-hasil penelitian yang releven dengan penelitian ini.
3) Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder, di antaranya adalah :
a. Kamus-kamus (hukum).
b. Media internet yang relevan dengan penelitian ini.
commit to user
Teknik pengumpulan data yang digunakan penyusunan dalam
penelitian ini yaitu :
a. Studi Lapangan
Studi lapangan merupakan pengumpulan data dengan cara
penelitian, dan untuk mendapatkan data yang diperlukan dengan cara
wawancara. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk
memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.
Yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang
kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka (Burhan Ashsofa,
2001: 95). Dalam hal ini, wawancara akan dilakukan berdasarkan
kerangka pertanyaan yang telah disusun kepada responden untuk
memperoleh data. Hasil wawancara baik lisan maupun tertulis
kemudian dicatat dan diolah secara sistematik.
Adapun wawancara dilakukan dengan Kepala Bagian atau pegawai
serta anak-anak penerima manfaat di PSMP ANTASENA Magelang.
b. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yang penyusun gunakan yaitu pengumpulan data
dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan-bahan
pustaka baik berupa peraturan perundang-undangan, artikel-artikel dari
internet, jurnal, makalah, dokumen, serta bahan-bahan lain yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan hal yang penting dalam penelitian
karena akan menetukan kualitas penelitian tersebut. Analisa data adalah
proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori,
dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditentukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data. (Lexy J.
Moleong, 2009:280)
Teknik analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
commit to user
data dan penyajian data yang dilakukan bersama dengan pengumpulan
data, kemudian setelah terkumpul maka ketiga komponen tersebut
berinteraksi dan bila kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu verifikasi
dan penelitian kembali mengumpulkan data lapangan. (HB Sutopo,
1999:8)
Ketiga komponen tersebut diuraikan sebagai berikut :
a. Reduksi Data
Merupakan suatu proses seleksi, penyederhanaan, dan abstraksi
dari data fieldone. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian, yang dimulai dari sebelum pengumpulan data.
b. Penyajian Data
Merupakan suatu realita organisasi informasi yang
memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan, sajian data,
meliputi berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja,
kaitan kegiatan dan juga tabel.
c. Kesimpulan dan verifikasi
Dalam pengumpulan data peneliti harus sudah memahami arti
berbagai hal yang ditemui, dengan melakukan pencatatan-pencatatan,
peraturan-peraturan, pola-pola, pertanyaan-pertanyaan,
konfigurasi-konfigurasi, arahan sebab akibat dan berbagai reposisi kesimpulan yang
diverifikasi.
Analisis data kualitatif dengan model interaktif tersebut dapat
digambarkan dengan skema sebagai berikut :
Pengumpulan Data
Reduksi Data Sajian Data
commit to user
Gambar 1. Model Analisis Interaktif
Pada saat pengumpulan data, penyusun membuat reduksi
dan sajian data. Reduksi dan sajian data tersebut harus disusun pada
saat penyusun sudah memperoleh unit data dari sejumlah unit data
yang diperlukan dalam penelitian. Pada saat pengumpulan data
berakhir, kemudian penyusun menarik kesimpulan data verifikasi
berdasarkan pada semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun
sajiannya. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya
rumusan dalam reduksi maupun maupun sajiannya, maka penyusun
dapat kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah
terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga
bagi pendalaman data. (HB. Sutopo, 2002:95-96)
Setelah proses analisis data dengan model interaktif
menghasilkan kesimpulan, kemudian penyusun menggunakan
metode interprestasi atau penafsiran terhadap kesimpulan tersebut
yaitu dengan cara menafsirkan data di lapangan sesuai dengan
kerangka teori yang digunakan. Hal ini dilakukan dengan acuan teori
yang dibandingkan dengan pengalaman, praktik, atau penilaian dan
pendapat penyusun. Dalam penelitian ini secara garis besar,
penyusun memperoleh data kemudian dikumpulkan dari hasil
wawancara (interview) kepada Kepala Panti, pegawai, dan
anak-anak penerima manfaat di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP)
ANTASENA Magelang. Langkah berikutnya adalah mencari
hubungan dengan data yang ada dan disusun secara logis, sistematis
commit to user
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan
dari isi penulisan hukum (skripsi) ini, maka penulis membagi penulisan
hukum (skripsi) ini menjadi lima bab. Adapun sistematika penulisan
hukum (skripsi) ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini dibagi menjadi 4 (empat) kategori sebagai berikut:
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
E. Metode Penulisan Hukum
F. Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Anak
2. Tinjauan Umum Restorative Justice
3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Anak
B. Kerangka Pemikiran
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dari
hasil yang diperoleh dari penelitian. Berdasarkan rumusan
masalah yang diteliti, terdapat dua pokok masalah yang dibahas
commit to user
A. Pengaturan pelayanan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
B. Bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya
memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang
melakukan tindak pidana.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang
dapat diperoleh dari hasil pembahasan yang telah dilakukan,
serta merekomendasikan saran-saran pada pihak terkait dengan
bahasan penulis hukum
DAFTAR PUSTAKA
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Anak
a. Pengertian dan Batas Usia Anak
Arti penting bagi orang tua bahwa anak dalam keluarga adalah
pembawa bahagia. Arti ini memberikan isi, nilai, kepuasan, kebanggaan,
dan rasa kepuasan diri yang disebabkan oleh keberhasilan orang tuanya
yang telah memiliki keturunan, yang akan melanjutkan semua cita-cita
harapan dan eksistensinya. Definisi tentang pengertian anak dan batas
usia anak berbeda-beda di perangkat hukum Indonesia. Pada dasarnya
batas usia anak merupakan pengelompokkan usia maksimum sebagai
wujud kemampuan anak dalam status hukum. Hal tersebut
mengakibatkan beralihnya status usia anak menjadi usia dewasa atau
menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri
terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukannya.
Berikut ini adalah definisi tentang anak dan batas usia pada anak
menurut ilmu hukum :
1. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa
commit to user
pemidanaan terhadap anak yang belum dewasa diatur dalam Pasal 45,
46 dan 47 KUHP. Namun pasal-pasal tersebut telah dihapus seiring
dengan diterbitkannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa batas usia anak yang
dapat dipidana yang telah mencapai umur antara 8 (delapan) tahun
sampai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2. Menurut Hukum Perdata
Bagi golongan timur asing bukan Tionghoa berlaku Lembar Negara 1925-556 paragraf 1 Pasal 1 bagian Ac. Yang isinya sama dengan Pasal 330 KUHPerdata. Berarti untuk golongan Arab yang beragama Islam istilah belum dewasa diartikan menurut ukuran Hukum Barat dan bukan menurut ukuran Hukum Islam. Walaupun akan tetapi bila dalam Hukum Adat tidak mengenal ukuran umur, akan tetapi bila dalam peraturan perundang-undangan yang ditujuakan kepada golongan pribumi terdapat istilah “belum dewasa”, maka yang dimaksud di sini bukan “belum dewasa” menurut Hukum Adat melainkan pengertian belum dewasa yang ditentukan oleh Lembar Negara 1931-54 yang berbunyi :
a. Apabila dalam peraturan-peraturan undang-undang terpakai istilah “minderjarig”, yang dimaksud di sini (golongan pribumi) : orang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum kawin ;
b. Bila perkawinan terputus sebelum mencapai umur 21 tahun, mereka tidak dewasa lagi ;
c. Yang dimaksud dengan perkawinan oleh ordonansi ini bukanlah perkawinana anak-anak, yaitu perkawinan antar anak-anak yang masih sangat muda dan tidak diikuti dengan hidup bersama.
(Sri Widoyati Wiratmo Soekito, 1988:48)
3. Menurut hukum Perburuhan
Pengertian anak menurut Pasal 1 (1) Undang-undang Nomor 12 tahun
1948 tentang Undang-undang Pokok Perburuhan mendefinisikan,
anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas)
tahun ke bawah.
commit to user
Pasal 7 ayat (1),Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 50 ayat (1), sebagai
berikut:
a) Pasal 7 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum untuk dapat
kawin bagi seorang pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun dan
bagi seorang wanita, yaitu 16 (enam belas) tahun.
b) Pasal 47 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum 18 (delapan
belas) tahun berada dalam kekuasaan orang tua selama
kekuasaan itu tidak dicabut.
c) Pasal 50 ayat (1), menyebutkan batas usia anak yang belum
mencapai usia 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
kawin berada pada status perwalian.
5. Menurut Undang-undang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Kesejahteraan Anak (UU No. 4 tahun 1979)
menentukan bahwa, anak adalah seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
6. Menurut Undang-undang Pengadilan Anak
Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-undang No.3 Tahun
1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam
perkara Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan
syarat ke dua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak
sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan
kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan
atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak
dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18
(delapan belas) tahun.
commit to user
Pengertian anak dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi, “Anak adalah
setiap manusia yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya”.
8. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak
Pengertian anak menurut undang-undang Nomor 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak disebutkan dalam Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 angka 1 bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan”.
9. Menurut Konvensi Hak Anak (Converention on the Rights of the
Child)
Pada Pasal 1 bagian 1 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa
sebagai berikut: “Seorang anak adalah bagian setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan dicapai lebih cepat.”
10. Menurut Hukum Adat
Menurut Irma Setyowati Sumitro dalam buku Perlindungan
Hukum Terhadap Anak , “hukum adat menentukan bahwa ukuran
seseorang telah dewasa bukan karena umurnya, tetapi ukuran
yang telah dipakai adalah: dapat bekerja sendiri; cakap melakukan
yang disaratkan dalam kehidupan masyarakat; dapat mengurus
kekayaan sendiri”. (Maidim Gultom, 2010:31)
commit to user
“Hukum Islam menentukan bahwa anak di bawah umur adalah
yang belum akil baliqh”. (Maidin Gulton, 2010:31)
12. Menurut Hukum Tata Negara
Di dalam lapangan Hukum Tata Negara, hak memilih dalam
Pemilu misalnya seseorang dianggap telah mampu bertanggung
jawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya kalau ia sudah
mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun.
Melihat dari hal-hal tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan
bahwa penetapan batas umur anak adalah relatif tergantung pada
kepentingannya.
b. Hak dan Kewajiban Anak
Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) telah mensahkan Deklarasi tentang hak-hak anak.
Deklarasi ini memuat 10 (sepuluh) asas tentang hak-hak anak, yaitu :
1. Anak berhak menikmati semua hak-haknya tanpa ada diskriminasi.
2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh
kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain.
3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan.
4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh
dan berkembang secara sehat.
5. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat
keadaan tertentu harus memperoeh pendidikan, perawatan, dan
perlakuan khusus.
6. Anak berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang.
7. Anak berhak mendapatkan pendidikan wajib secara cuma-cuma
minimal di tingkat dasar.
commit to user
9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan dan
penghisapan.
10. Anak harus dihindari dari bentuk diskriminasi dalam bentuk apapun.
(Maidin Gultom, 2010:45)
Selain itu menurut kesadaran nasional atau justifikasi konstitusional melindungi anak sebagai urusan utama dalam berbangsa dan bernegara, tertuang dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 secara ekplisit telah menegaskan hak-hak konstitusional anak yang berbunyi,“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi”. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia secara konstitusional telah eksplisit mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak yakni:
a. hak atas kelangsungan hidup;
b. hak atas tumbuh dan berkembang, dan;
c. hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
Pengakuan, penghormatan dan jaminan serta perlindungan hak-hak anak dimaksud merupakan realisasi dari kewajiban negara dan sekaligus pemenuhan hak-hak kewarganegaraan sebagai suatu “penganugerahan hak-hak sosial kepada rakyatnya” (the granting of social rights).
(Surat Keputusan Mahkamah Agung No. 1/PUU-VIII/2010 )
Sedangkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, hak-hak anak diatur sebagai berikut :
1. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi (Pasal 4).
2. Hak mempunyai nama dan status kewarganegaraan (Pasal 5).
3. Hak beribadah (Pasal 6).
4. Hak mengetahui orang tuanya (Pasal 7).
5. Hak layanan kesehatan dan jaminan sosial (Pasal 8).
6. Hak pendidikan (Pasal 9).
7. Hak didengar pendapatnya (Pasal 10).
8. Hak beristirahat (Pasal 11).
9. Hak mendapatkan rehabilitasi dan bantuan sosialterhadap anak
menyandang cacat (Pasal 12).
commit to user
11. Hak diasuh orang tuanya sendiri kecuali ada keputusan hukum (Pasal
14).
12. Hak perlindungan dari peristiwa darurat (Pasal 15).
13. Hak perlindungan dari penganiayaan dan proses pemeriksaan (Pasal
16).
14. Hak mendaptak perlakuan manusiawi (Pasal 17).
15. Hak mendapatkan bantuan hukum (Pasal 18).
Sementara itu kewajiban anak diatur pada Pasal 19 Undang-undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut :
1. Menghormati orang tua, wali, dan guru.
2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
3. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
5. Melaksankan etika dan akhlak yang mulia.
2. Tinjauan Tentang Restorative Justice
a. Pengertian Restorative Justice
Pendekatan penghukuman terhadap anak pelaku tindak pidana
dalam kerangka sistem pemasyarakatan sebagai pendekatan utama
mengandung risiko dan konsekuensi yang sangat besar yaitu menyangkut
nasib dan masa depan anak sekembalinya dari proses penghukuman.
Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan nonpenal merupakan bentuk upaya yang efektif dalam melindungi anak pelaku
tindak pidana.
Restorative Justice menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan yaitu dengan memberikan keutamaan pada
commit to user
diperhatikan adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang
disebabkan terjadinya kejahatan tersebut. Pelaksanaan restorative justice diawali dengan upaya diskresi dari pihak kepolisian, yaitu kewenangan
yang dimiliki Polisi untuk menghentikan penyidikan perkara dengan
membebaskan tersangka anak, ataupun melakukan pengalihan dengan
tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut. (Unicef, 2004 :
225). Kemudian salah satu tindakan dari diskresi adalah diversi, yaitu
pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan
tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. (Unicef, 204 :
330). Pelaksanaan diversi melalui pendekatan persuasif atau pendekatan
dan pemberian kesempatan terhadap pelaku untuk berubah, karena dengan
diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak
dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga
melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu
melalui proses hukum. Tujuan dari diversi yaitu :
1. Untuk menghindari penahanan;
2. Untuk menghindari cap/label sebagai penjahat; 3. Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku; 4. Agar pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya; 5. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana;
6. Untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korba dan pelaku tanpa harus melalui proses formal;
7. Program diversi juga akan menghindari anak mengikuti proses system peradilan;
8. Lebih lanjut program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruh-pengaruh dan implikasi negative dari proses peradilan tersebut.
(Unicef, 2004 : 332)
Restorative Justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam melakukan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.Hal itu
karena restorative justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan
di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan
melibatkan korban, pelaku, keluarga korban, dan masyarakat, serta
commit to user
mencapai penyelesaian dengan kesepakatan antara pihak yang
bersengketa.” (Marliana, 2009:23)
Sama halnya konsep diatas, Consedine mendefinisikan keadilan
restoratif sebagai berikut :
“Crime is no longer defined as an attack on the stage but rather an offence by one person against another. It is based on recognition of the humanity of both offender and victim. The goal of the restorative process is to heal the wounds of every person affected by the offence, including the victim and the offender. Options are explored that focus on repairingthe damage.” (Tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai serangan terhadap negara, tapi kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Keadilan restoratif berlandaskan pada kemanusiaan kedua belah pihak, pelaku dan korban. Prosese restoratif bertujuan untuk memulihkan luka semua pihak yang disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan. Alternatif solusi dieksplorasi dengan berfokus untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan). (Ds. Dewi & Fatahillah A. Syukur, 2011:29)
Restorative justice memiliki peran yang penting di dalam pemenuhan hak. Hal ini disebutkan dalam sebuah jurnal yang berjudul
“Balancing Restorative Justice Principles and Due Process Rights in Order to Reform the Criminal Justice System” oleh Tina S.Ikpa Vol. 24:301 bahwa menurut Howard Zehr seorang ahli hukum mendefinisikan
restorative justice sebagai berikut :
“Restorative justice is a process to involve, to the extent possible, those who have a stake in a specific offense and to collectively identify and address harms, needs, and obligations, inorder to heal and put things as right as possible.”( keadilan restoratif adalah adalah suatu proses yang memungkinkan melibatkan seseorang yang memiliki pelanggaran tertentu untuk bersama mengidentifikasi dan mengatasi merugikan, kebutuhan, dan kewajiban guna menyembuhkan sesuai dengan hak-haknya).
Penerapan pendekatan restorative justice di Indonesia merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam
Pasal 16 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu
commit to user
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”. Sementara itu menurut Supeno berpendapat bahwa “membedakan pengertian restoratif dari segi
penggunaan paradigma tersebut pada kasus ABH. Ia menggunakan istilah
keadilan restoratif sejati yang menampik sama sekali pemidanaan terhadap
anak, apapun alasannya. Sepanjang ia belum berusia 18 tahun , dia tidak
boleh dipidanakan dan hanya boleh dikenai tindakan”. (Ds. Dewi &
Fathillah A. Syukur, 2011:30)
Berdasarkan uraian secara garis besar pengertian restorative justive
mempunyai kesamaan dengan pengertian keadilan restoratif yang terdapat
dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung, Jaksa
Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial,
dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang
Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Keadilan restoratif
menurut SKB adalah :
1. Suatu penyelesaian secara adil,
2. Melibatkan :
a. Pelaku,
b. Korban,
c. Keluarga mereka,
d. Dan pihak-pihak lain yang dalam suatu tindak pidana.
3. Secara bersama-sama mencari penyelesaian.
4. Terhadap tindak pidana (tertentu) tersebut dan implikasinya,
5. Dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula.
(Ds. Dewi & Fathillah A. Syukur, 2011:30)
b. Prinsip, Syarat dan Bentuk Restorative Justice
commit to user
dan pendekatan keadilan, yang sangat menghormati hak-hak hukum
tersangka dan sangat memperhatikan kepentingan korban. Sasaran
peradilan restoratif adalah mengharapkan berkurangnya jumlah anak yang
ditangkap, ditahan dan divonis penjara serta menghapuskan stigma pada
diri anak dan mengembalikan anak menjadi manusia yang normal
sehingga dapat berguna di kemudian hari.
(http://eprints.undip.ac.id/25103/1/Novie_Amalia_Nugraheni.pdf)
Prinsip restorative justice di atas sama halnya dengan prinsip restoratif oleh Charles Barton Vol. 2 No. 1 dalam jurnal yang berjudul
“Theories of Restorative Justice”, yang diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut :
No one will argue against the right to silence, the right to legal representation, and competent counsel. But what we also suggest, and which lawyers can’t offer, and don’t want to offer, is the opportunity for the young offender to be educated from this experience. Young offenders have the right to learn the consequences of their crime. They have the right to understand how many other people it affects. They have the right to develop as full human beings through this process. Now if you let the opportunity slip by, by handing it over to lawyers, you deny them all those developmental rights. (Tak seorang pun akan menentang hak untuk diam, hak untuk perwakilan hukum, dan nasihat yang kompeten. Tapi apa kita juga sarankan, dan yang tidak dapat menawarkan pengacara, dan tidak ingin menawarkan, adalah kesempatan untuk pelaku muda untuk dididik dari pengalaman ini. Pelanggar muda memiliki hak untuk belajar konsekuensi dari kejahatan mereka. Mereka memiliki hak untuk memahami berapa banyak orang lain itu mempengaruhi. Mereka memiliki hak untuk berkembang sebagai manusia penuh melalui proses ini. Sekarang jika Anda membiarkan kesempatan slip menyerahkannya ke pengacara, sama saja menolak hak-hak untuk perkembangannya).
Syarat penerapan keadilan restorative justice adalah :
1. Syarat pada diri pelaku
Pada syarat ini terkait beberapa faktor,yaitu :
- Usia anak,
- Ancaman dan hukuman (maksimum 7 tahun),
commit to user - Persetujuan korban dan keluarga,
- Tingkat seringnya pelaku melakukan tindakan (residiv).
2. Sifat dan jumlah pelanggaran yang pernah dilakukan sebelumnya
(residiv).
3. Apakah anak/pelaku mengakui tindak pidana yang dilakukan dan
menyesalinya ?
- Jika anak mengakui dan menyesalinya perbuatannya, maka hal ini
menjadi sebuah pertimbangan positif untuk dapat menangani
dengan pendekatan keadilan restoratif.
- Jika anak tidak mengakuinya maka anak bebas berdasarkan putusan
hakim.
4. Dampak perbuatan terhadap korban.
5. Sikap keluarga pelaku/anak tersebut.
Dukungan dari orangtua dan keluarga sangat penting agar keadilan
restoratif dapat berhasil. Jika keluarga berusaha menutup-nutupi
perbuatan anak, maka akan sulit mengimplementasikan rencana
keadilan restoratif yang efektif. ( Ds. Dewi & Fatahillah A. Syukur,
2011:38)
Adanya upaya pelaksanaan restorative justice tidak berarti bahwa semua perkara anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan
dikembalikan kepada orang tua, karena hakim tentunya harus
memperhatikan kriteria-kriteria tertentu, antara lain :
1. Anak tersebut pertama kali melakukan kenakalan (frist offender); 2. Anak tersebut masih sekolah;
3. Tindak pidana yng dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang mengganggu/merugikan kepentingan umum;
4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi anak tersebut secara lebih baik.
commit to user
Bentuk restoratif menurut Stephenson, Giller, dan Brown
berpendapat ada 4 (empat) bentuk, namun keempat bentuk ini mempunyai
tujuan yang sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan
mengenyeimbangkan kepentingan anak pelaku tindak pidana, korban, dan
komunitas. Keempat bentuk keadilan restoratif tersebut adalah :
1. Mediasi penal (victim-offender mediation)
Sebuah proses dengan dibantu pihak ketiga yang netral dan imparsial,
membantu korban dan pelaku untuk berkomunikasi satu sama lain
dengan harapan dapat mencapai sebuah kesepakatan.
2. Restorative concerence
Hampir sama dengan mediasi penal, yang membedakan hanyalah peran
mediator sebagai pemandu diskusi, adanya naskah pemandu, dan
hadirnya pihak selain pelaku dan korban (yaitu keluarga dari
masing-masing pihak).
3. Family group conferencing
Keluarga kedua belah pihak (pelaku dan korban) membuat sebuah
rencana aksi (action plan) berdasarkan informasi dari pelaku, korban,
dan kalangan profesional yang membantu.
4. Community panel meetings
Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban, dan
orang tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan perbaikan
kesalahan.
(Ds. Dewi & Fatahillah A. Syukur, 2011:41)
Sedangkan bentuk keadilan restoratif dalam prakteknya di
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Musyawarah kelompok keluarga.
Kehadiran pihak-pihak yang terkait meliputi : korban, pelaku, dan
orang yang berkepentingan.
commit to user
Pelayanan yang bersifat pemulihan dapat dilakukan oleh lembaga-
lembaga dan organisasi independen peduli anak untuk pemulihan
psikologis korban dan pelaku.
3. Di setiap tahapan sistem peradilan.
Dalam proses penyidikan sampai pada persidangan wajib dilakukan
diversi melalui forum musyawarah/mediasi dengan tujuan pemulihan
bagi pelaku, korban, dan masyarakat.
(Ds. Dewi & Fathillah A. Syukur, 2011:41)
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir
dari peradilan restoratif diharapkan berkurangnya jumlah anak-anak yang
ditangkap, ditahan, dan divonis penjara; menghapuskan stigma dan
mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat
berguna kelak di kemudian hari; pelaku pidana anak dapat menyadari
kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya mengurangi beban
kerja Polisi, Jaksa, Rutan, Pengadilan, dan Lapas; menghemat keuangan
negara dan tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah
dimaafkan oleh korban.
3. Tinjauan tentang Perlindungan Tindak Pidana Anak
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan perbuatan
yang dapat atau boleh dihukum, perbuatan pidana, tindak pidana, sedangkan
dalam Bahasa Belanda “strafbaarfet” atau “delik”. Sama halnya dengan pendapat tersebut, Simons mengistilahkan tindak pidana menjadi “starfbaar
feit” yang berarti “perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi
commit to user
Alasan dari Simons merumuskan “strafbaarfeit” seperi diatas adalah
karena :
1. Untuk adanya suatu “strafbaarfeit” itu disyaratkan bahwa disitu harus
terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh
undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.
2. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam
undang-undang.
3. Setiap “strafbaarfeit” sebagai pelanggaran terhadap larangan atau
kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan
suatu tindakan melawan hukum.
Sama halnya dengan pendapat Simons, menurut Van Hamel
merumuskan “starfbaar feit” adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan. (Moeljatno,
2008:61)
Selanjutnya Pompe menggemukaan dua macam definisi perbuatan
pidana, yaitu bersifat teoritis dan yang bersifat undang-undang. Definisi
teoritis, perbuatan pidana ialah pelanggaran norma (kaidah;tata hukum),
yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana
untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan
umum. Sedangkan dari sisi perundang-undangan, perbuatan pidana ialah
suatu peristiwa yang oleh UU ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian) atau tidak berbuta atau berbuat pasif
commit to user
suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut itulah yang disebut
uraian delik. (Marlina, 2009:77)
Sedangkan KUHP di indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu
perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur :
a. Adanya perbuatan manusia;
b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;
c. Adanya kesalahan;
d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan definisi-definisi tindak pidana diatas, disimpulkan
unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi unsur subyektif dan
unsur objektif, sebagai berikut :
1. Unsur Subjektif
Unsur objektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau
berhubungan dari si pelaku, dan termasuk didalamnya adalah segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif tindak
pidana terdiri dari :
a. kesengajan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);
b. maksud pada suatu percobaan;
c. macam-macam maksud;
d. merencanakan terlebih dahulu (oogmerk);
e. perasaan takut (vress).
2. Unsur Objektif
Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari diri si pelaku itu harus dilakukan.Unsur-unsur objektif
tindak pidana terdiri dari :