• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Restorative Justice dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penerapan Restorative Justice dalam Memberikan Perlindungan terhadap Anak yang Melakukan Tindak Pidana"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i TINDAK PIDANA

(Studi Kasus Pemulihan Kondisi dan Fungsi Psikologis Anak di Panti Sosial

Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang)

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Diyah Kun Mariati

NIM. E0007263

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKRTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

(4)

commit to user

(5)

commit to user

v

Diyah Kun Mariati, E 0007263. PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM

MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Studi Kasus Pemulihan Kondisi dan Fungsi Psikologis Anak di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaturan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana dan bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putar (PSMP) ANTASENA Magelang dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif, dengan jenis data primer dan sekunder. Pengumpulan data primer berupa data yang diperoleh langsung dari lapangan yaitu Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang dengan teknik wawancara dan observasi. Data sekunder berupa data yang diperoleh dari buku literatur, dokumen dan tulisan lain dengan teknik pengumpulan secara studi kepustakaan. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan restorative justice dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana berdasarkan pada landasan hukum meliputi UUD 1945, peraturan perundang-undangan, Surat Edaran Mahkamah Agung, Surat Edaran Jaksa Agung, Surat Kesepakatan Bersama Ketua MA, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta peraturan lainya. Dalam penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang sangat besar bagi pemulihan kondisi dan fungsi psikologis anak kedepannya. Di dalam bentuk upaya pelayanannya yakni dengan pembagian tugas menjadi 3 (tiga) divisi. Pertama seksi advokasi sosial, tugasnya meliputi pendampingan anak pelaku pidana dalam proses penyidikan sampai pada persidangan dan juga sebagai mediator dalam proses restoratif. Kedua seksi rehabilitasi sosial, tugasnya yakni memberikan bimbingan terhadap anak. Ketiga pekerja sosial, tugasnya yaitu pengawasan terhadap perkembangan anak yang sudah keluar dengan kerjasama instansi terkait.

(6)

commit to user

vi Diyah Kun Mariati, E 0007263. APPLYING OF RESTORATIVE JUSTICE IN GIVING PROTECTION TO CHILD WHO DOES AN INJUSTICE (CASE STUDY CURE OF PSYCHOLOGICAL FUNCTION AND CONDITION OF CHILD IN PANTI SOSIAL MARSUDI PUTRA (PSMP) ANTASENA MAGELANG).

This research aims to know about arrangement of restorative justice to child who does an injustice and form applying of justice restorative in Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang in the effort giving law protection to child doing an injustice.

Research method which is used is descriptive research type, with primary data type and secondary type. Primary data collecting which is the form of data is obtained directly in the field that is Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang by technique interview and observation. Secondary data which is the form is obtained from the book literature, other article and document by gathering technique bibliography study. Analysis technique which is used is qualitative analysis.

From the result of research can be concluded that applying of justice restorative in giving protection to child who does an injustice based on basis of law cover UUD 1945, law and regulation, Handbill Appellate court, attorney handbill, agreement letter with chief of MA, Attorney General, lead police, law and HAM minister, social minister, powered minister of woman and protection of child, and also other regulation. In applying of justice restorative in Panti Social Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang is very big to cure psychological function and psychological condition of child in the future. In the striving steward form namely with division of duty become 3 division. First, Advokasi section, its duty covers adjacently of child which is perpetrator of crime in course of investigation until the court session and as the mediator as well in restorative process. Second, social rehabilitate section, which is its duty is give the tuition to child. Third, social worker, its duty is monitoring to growth of child which has gone out with related/relevant institution cooperation.

Keywords: Children, Crime Children, Child Protection and Restorative Justice.

(7)

commit to user

vii Kepunyaan Allah segala yang ada di langit dan di bumi.

Dan ilmu Allah mengikuti segala sesuatu.

(QS. An Nissa’ : 126)

Dialah yang mengkaruniakan hikmah kepada yang Ia kehendaki.

Siapapun yang mendapat hikmah, dia telah mendapatkan

kebahagiaan yang melimpah. Namun yang mampu mengambil

peringatan ini hanya orang-orang yang berfikir cerdik.

(QS. Al Baqarah : 269)

Allahlah pelindungmu yang sesungguhnya.

Dialah sebaik-baiknya penolong.

(QS. Ali Imran : 150)

Janganlah melihat masa lalu dengan penyesalan, jangan pula melihat

masa depan angan-angan, namun lihatlah masa sekarang dengan

semangat dan kerja keras.

(8)

commit to user

viii Skripsi ini penulis persembahan sebagai wujud syukur, cinta dan

terimakasih kepada :

Allah SWT sang penuntun hidup yang memberikan hidayah

serta inayah-Nya;

Ayahanda Sutardjo dan Ibunda Erli Hastuti Nuraeni dua bijak

yang membangkitkan penulis dengan doa, kasih sayang dan

perhatian dalam menyelesaikan skripsi ini;

Almarhum permata hati adikku tercinta Halim Al’’Muiz atas

tumpuan semangatnya, doa dan keceriaannya semasa hidup

hingga mampu menghibur penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

(semoga bahagia di surga sayang, I miss you :*);

Ari Susanto atas segala doa, semangat dan motivasi yang tulus

diberikan untukku;

Keluarga besarku yang dengan tulus membangkitkan semangat

dengan doa dan perhatian saat keputus asaku;

Sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam

penulisan skripsi ini;

Almamaterku, Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal

ilmu pengetahuan dan pengalaman untuk menghadapi

(9)

commit to user

ix Dengan mengucap segala kerendahan hati, penulis memanjatkan segala puji syukur

kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENERAPAN RESTORATIVE

JUSTICE DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG

MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Studi Kasus Pemulihan Kondisi dan Fungsi

Psikologis Anak di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang).

Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dan diajukan dengan tujuan untuk memenuhi

persyaratan dalam rangka mencapai derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini

masih sangat jauh dari sempurna, berhubung dengan keterbatasan-keterbatasan yang penulis

miliki. Walaupun demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar inti dari

pembahasan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas

segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam rangka penyelesaian skripsi ini, terutama kepada :

1. Allah SWT sang penuntun hidup yang memberikan hidayah serta inayah-Nya yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis;

2. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta;

3. Bapak Harjono,S.H.,M.H selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah memberi izin

dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak R. Ginting,S.H.,M.H. dan Ibu Siti Warsini,S.H.,M.H. selaku Pembimbing yang

telah telah menyediakan waktu serta pikirannya, tidak hanya untuk memberikan ilmu,

bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini namun juga untuk memberi nasihat,

cerita, serta mendengar keluh kesah penulis;

5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret

yang telah memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis selama menempuh kuliah di

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret;

6. Seluruh Staf Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak

membantu penulis selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum;

7. Pimpinan dan staf Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang atas

(10)

commit to user

x menyelesaikan skripsi ini;

9. Almarhum permata hati adikku tercinta Halim Al’Muiz atas tumpuan semangatnya, doa

dan keceriaannya semasa hidup hingga mampu menghibur penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini;

10. Ari Susanto yang senantiasa memberikan inspirasi, semangat serta dukungan bagi penulis

untuk selalu berkarya;

11. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2007 penulis atas kebersamaannya yang

selama ini menimba ilmu di Fakultas Hukum UNS;

12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini baik secara

langsung maupun tidak langsung.

Akhirnya penulis berharap semoga karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak.

Surakarta, Januari 2012

Penulis

(11)

commit to user

xi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 19

1. Tinjauan Umum Anak ... 19

a. Pengertian dan Batas Usia Anak ... 19

b. Hak-hak dan Kewajiban Anak ... 23

2. Tinjauan Umum Restorative Justice ... 25

a. Pengertian Restorative Justice ... 25

b. Prinsip, Syarat dan Bentuk Restorative Justice ... 28

3. Tinjauan Umum Perlindungan Tindak Pidana Anak... 32

a. Pengertian Tindak Pidana ... 32

b. Tindak Pidana Anak ... 35

c. Perlindungan Tindak Pidana Anak ... 38

(12)

commit to user

xii Anak yang Melakukan Tindak Pidana ... 45

B. Bentuk Penerapan Restorative Justice dalam Upaya Perlindungan

Hukum Terhadap Anak di PSMP ANTASENA

... 56

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan ... 71 B. Saran-saran ... 72

(13)

commit to user

xiii

Gambar 1. Model Analisis Interaktif ... 16

Gambar 2. Kerangka Pemikiran... 40

Gambar 3. Susunan Organisasi ... 46

(14)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya

manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,

yang memiliki peranan strategis dalam rangka menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan

seimbang. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan

terhadap anak diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan

maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Oleh karena itu

penanganan terhadap anak yang melakukan tindak pidana diperlukan

pengadilan anak secara khusus.

Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11,344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4,325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Lebih menyedihkan, sebagian besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes). Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9,465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53,3%, berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.

(http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf diakses 1/09/11)

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang

dilakukan oleh anak, diantaranya adalah faktor keluarga, faktor lingkungan

dan faktor ekonomi. Dari ketiga faktor tersebut, bisa ketiganya sekaligus

(15)

commit to user

keluarga. Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti ketidak

harmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk anak ke arah negatif,

karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan

perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma si anak. Kedua, faktor lingkungan. Setelah keluarga, tempat anak bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan

lingkungan tempat bermainnya. Lingkungan merupakan institusi pendidikan

kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bermain

anak juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada

perbuatan melanggar hukum. Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang”

sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh

masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan

masyarakat. Sebuah komunitas gang biasanya dipandang negatif. Bahayanya

komunitas ini memiliki tingkat solidaritas yang tinggi, karena si anak ingin

tetap diakui eksistensinya dalam gang tersebut, karena di keluarga maupun di

sekolah si anak merasa tidak diakui keberadaannya. Akibatnya, penilaian

mengenai apakah perbuatan gang itu salah atau benar tidak lagi menjadi

masalah, yang penting si anak memiliki tempat di mana ia diterima apa adanya

Ketiga, faktor ekonomi. Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak

perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan).

Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan ingin menambah uang

jajan sering menjadi alasan ketika anak melakukan pelanggaran hukum.

(http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=KRIMINALITAS%20ANAK

&&nomorurut_artikel=390)

“Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dibagi menjadi

dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur “non penal” (bukan/di luar

hukum pidana)”. Penanggulangan kejahatan melalui jalur “penal” menyangkut bekerjanya fungsi aparatur penegak hukum sistem peradilan

(16)

commit to user

penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive” (pencegahan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Jalur ”nonpenal” merupakan jalur penanggulangan dengan cara peningkatan nilai keagamaan

penyuluhan melalalui pemuka masyarakat, dan kegiatan lainnya. Persoalan

kejahatan tidak hanya diarahkan pada penyelesaian melalui proses

peradilan,tetapi bisa melalui non peradilan. (Marlina, 2009:15-16)

Romli Atmasasmita, dalam bukunya Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, menyebutkan menurut teori labeling, “label atau cap dapat memperbesar penyimpangan tingkah laku (kejahatan) dan dapat membentuk

karier kriminal seseorang. Seseorang yang telah memperoleh cap/label

dengan sendirinya akan menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya”.

(Melani, Stop Penayangan & Hindari Pemenjaraan Anak, www.pikiranrakyat.com. )

Untuk itu di dalam prinsip Beijing Rules mengatur anak pelaku tindak

pidana dihindarkan dari penjatuhan pidana penjara. Penjatuhan pidana

merupakan upaya terakhir yang urgent, karena penjatuhan pidana terhadap pelaku anak akan membawa dampak yang kurang bijak serta berakibat anak

masuk lembaga pemasyarakatan anak. Di dalam lembaga pemasyarakatan

anak kondisi untuk perkembangan anak ke depannya sangat memprihatinkan,

melihat kondisi lembaga pemasyarakatan yang kelebihan penghuninya,

keterbatasan sarana dan prasarana, serta pembinaan yang terbatas dalam hal

jumlah dan keterampilan. Panjangnya proses peradilan yang dijalani anak

pelaku tindak pidana, sejak proses penyidikan kepolisian di kepolisian sampai

selesai menjalankan hukuman di lembaga pemasyarakatan merupakan sebuah

gambaran kesedihan seorang anak. Kejadian selama proses peradilan akan

menjadi trauma tersendiri yang sulit dilupakan bagi anak. Selain itu, dilema

lain yang dihadapi oleh narapidana anak yaitu adanya penilaian masyarakat

(stigmatisasi). Masyarakat masih ada yang menilai anak yang pernah

(17)

commit to user

terlibat tindak pidana lain di masa yang akan datang. Stigmatisasi tersebut sangat sulit dihilangkan dari pandangan masyarakat. (Marlina, 2009:12-13)

Dalam hal ini upaya penanggulangan berbagai perbuatan dan tingkah

laku sosial yang menyimpang dalam diri anak, tidak boleh dilupakan

kedudukannya dengan segala karakternya yang khusus. Anak-anak

mempunyai hak-hak yang secara spesifik berbeda dengan hak-hak manusia

dewasa sebagai warga negara, dan dalam segala keadaan hak-hak anak ini

harus didahulukan dari kepentingan yang lain. Walaupun pada dasarnya dan

dalam batas wajar telah menentukan sendiri tingkah laku perbuatan

berdasarkan pikiran, perasaan, kehendaknya, tapi karena kondisinya sebagai

anak, keadaan sekitarnya dapat berpengaruh lebih besar dalam menentukan

sikap dan nilai pribadinya. Anak-anak memerlukan kondisi dalam keluarga

dan masyarakat yang memungkinkan mereka tumbuh kembang secara wajar

dan optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai anak akan menjadi

manusia dewasa.

Restorative justice merupakan metode yang tepat dalam penyelesaian hukum kepada pelaku tindak pidana yang dilakukan anak. Karena fokus utama

dalam pendekatan keadilan restoratif adalah memperbaiki

kerusakan-kerusakan sosial yang disebabkan oleh pelaku. Kemudian memulihan korban

dan pelaku untuk dapat diterima di masyarakat. Dalam konsep ini, kasus yang

yang melibatkan anak tidak selalu perlu diproses secara hukum, cukup

diselesaikan melalui komunitas dengan jalan kekeluargaan. Proses ini

diharapkan akan mengurangi dampak pada anak yang berkonflik dengan

hukum yang kadang lebih buruk dari pada perilaku kriminalnya itu sendiri.

Untuk dapat mencapai keadilan restoratif yang sesungguhnya maka

masyarakat, korban, dan pelaku harus terlibat aktif dalam proses tersebut

dengan cara menyerahkan penyelesaiannya melalui musyawarah dan mufakat

dengan warga, lingkungan, RT, RW, Ketua Adat, Tokoh Agama, Guru

(18)

commit to user

Hak diversi yang dimiliki oleh Polisi serta adanya wacana keadilan

restoratif, dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak

diharapkan langkah penyelesaian yang tepat, dimana anak yang dituduh

melakukan tindak pidana, boleh dan bisa tidak ditahan terlebih dulu sebelum

tuduhan yang dituduhkan tersebut benar-benar terbukti menurut hukum,

sepanjang polisi mampu memaksimalkan hak diversi tersebut dengan

menggunakan konsep keadilan restoratif, jika suatu waktu tuduhan itu terbukti

menurut hukum, sanksi pidana berupa penahanan dan pemenjaraan bukanlah

solusi terbaik, sepanjang masih ada sanksi tindakan yang berupa;

pengembalian kepada orang tua, menyerahkan kepada negara, menyerahkan

kepada Departemen Sosial, atau pemberian teguran serta syarat tambahan.

Jadi, restorative justice merupakan alternatif juvenile justice system, di mana

anak tidak harus menempuh sanksi pidana berupa penahanan dan

pemenjaraan, sebagai wujud penghargaan terhadap hak-hak anak.

Mewujudkan penghargaan terhadap hak-hak anak, khususnya anak

yang mempunyai masalah perilaku sosial atau anak pelaku tindak pidana,

maka Departemen Sosial Republik Indonesia mendirikan Panti Sosial Marsudi

Putra (PSMP) ANTASENA yang dibangun tahun 1982 melalui Proyek

Bantuan Dan Pengentasan ANKN Kanwil Departemen Sosial Provinsi Jawa

Tengah dengan nama SRAN “AMONG PUTRO” dan diresmikan oleh

Menteri Sosial Sapardjo pada tanggal 30 april 1982 dan mulai operasional

bulan Agustus 1982. Berdasarkan keputusan Menteri Sosial R.I

No.6/HUK/1994, tanggal 5 February 1994 berganti nama menjadi PSMP

“ANTASENA” Magelang.

Berdasakan latar belakang tersebut maka penulis merasa perlu untuk

meneliti dan tertarik untuk mengetahui secara jelas dan terperinci yang akan

penulis tuangkan ke dalam skripsi yang berjudul “ PENERAPAN

RESTORATIVE JUSTICE DALAM MEMBERIKAN

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN

(19)

commit to user

Psikologis Anak di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA

MAGELANG) ”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini penulis

merumuskan dalam dua pokok permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan pelayanan restorative justice terhadap anak pelaku

tindak pidana ?

2. Bagaimana bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya memberikan perlindungan

hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan suatu target yang hendak dicapai dalam

suatu penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan

obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif).

Dalam penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pengaturan pelayanan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

b. Untuk memperoleh jawaban bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya

memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan

(20)

commit to user 2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan pengetahuan, serta pemahaman penulis

terhadap penerapan teori-teori yang telah penulis terima selama

menempuh kuliah untuk mengatasi masalah hukum yang terjadi di

masyarakat.

b. Untuk memperoleh data yang lengkap guna penulisan skripsi sebagai

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada

umumnya dan bidang Hukum Pidana pada khususnya.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam dunia kepustakaan tentang kajian mengenai perlindungan

hukum terhadap pelaku tindak pidana.

c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian

sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban atas pokok permasalahan dalam penelitian ini.

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan penalaran, pola pikir

dinamis dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama bangku kuliah.

b. Penelitian ini diharapkan dapat membantu, memberikan tambahan

(21)

commit to user

yang sedang diteliti, juga kepada berbagai pihak yang berminat pada

permasalahan yang sama.

E. Metode Penelitian

Istilah “Metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”, namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut :

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.

2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan.

3. Cara tertentu melaksanakan suatu prosedur.

(Soerjono Soekanto, 2010:5)

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak

adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu. Penelitian

hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang

mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan

suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala

bersangkutan. (Soerjono Soekanto, 2010:42-43)

Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan

masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan, menyusun data guna

(22)

commit to user

dituangkan dalam penulisan ilmiah (skripsi). Adapun metode penelitian

dalam penulisan hukum ini meliputi :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penyusunan dalam penelitian ini

adalah penelitian hukum empiris atau “sosiologis”. Pada penelitian hukum

empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, kemudian

dilanjutkan pada data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat.

(Soerjono Soekanto, 2010:52)

Penelitian ini mengkaji mengenai bagaimanakah pengaturan

pelayanan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana

, bagaimanakah bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya memberikan

perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Untuk

dapat menjawab permasalahan di atas, maka peneliti akan melakukan

penelitian melalui suatu proses wawancara (interview) dengan mengajukan

pertanyaan kepada Kepala dan staf-staf Panti Sosial Marsudi Putra

(PSMP) ANTASENA Magelang, sehingga penelitian ini dapat

dikategorikan sebagai penelitian hukum empiris.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Soerjono

Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadan atau

gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah terutama untuk

mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat

teori-teori baru. (Soerjono Soekanto, 2010:10)

Penelitian ini memberikan gambaran yang lengkap mengenai

(23)

commit to user

tindak pidana dan bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya memberikan

perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu tata

cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang dinyatakan oleh

responden secara tertulis atau lisan, dan juga perilaku yang nyata yang

diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh. (Soerjono Soekanto,

2010:250)

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini terdiri

dari :

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

sumber pertama atau melalui penelitian di lapangan yaitu melalui

wawancara (interview) untuk memperoleh keterangan dari pihak-pihak

yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Sumber data primer

merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber pertama yakni

perilaku warga masyarakat melalui penelitian. (Soerjono Soekanto,

2010:12)

Adapun sumber data primer yang diperoleh dalam penelitian ini

secara langsung dari lapangan berdasarkan keterangan dari pihak Panti

Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA Magelang yang beralamat

di Jln. Raya Magelang Purworejo Km 14 Salaman Magelang, terkait

dengan permasalahan yang sedang diteliti.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang secara tidak

(24)

commit to user

data primer. Menurut Soerjono Soekanto, sumber data sekunder dibagi

menjadi 3 (tiga) yaitu ; bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

dan bahan hukum tersier. (Soerjono Soekanto, 2008:52)

Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang penulis gunakan antara lain :

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

c. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

d. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

e. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak.

f. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1995 tentang

Kemasyarakatan.

g. Undang- undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak.

h. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukuman

yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan (Convention

Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment, or Punishment).

i. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi

Manusia.

j. Undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

k. Keputusan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi

(25)

commit to user

l. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010

tanggal 24 Februari 2010 dalam sidang uji materi terhadap

Undang-Undang Nomor 3 tahun1997 tentang Pengadilan

Anak.

m. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Tahun 1954, tentang

Prajuana/Bantuan Hukum Cuma-Cuma kepada Anak Miskin.

n. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959

tentang Persidangan Anak Harus Dilakukan Secara Tertutup.

o. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987,

tanggal 16 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak.

p. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang

Penuntutan terhadap Anak.

q. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum

B-532/E/11/1995, 9 November 1995 tentang Petunjuk

Penuntutan Terhadap Anak.

r. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan

DitPasDepKumHAM RI tentang Pembinaan Luar Lembaga

bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

s. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI

MA/Kumdil/31/I/K/2005 tentang kewajiban setiap Pengadilan

Negeri menata ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus

untuk anak yang akan disidangkan.

t. TR/1124/XI/2006 dari Kaberskrim POLRI tanggal 16

November 2006 dan TR/395/VI/2008 tanggal 9 Juni 2008

tentang Pelaksanaan Diversi dan Restorative Justice dalam Penanganan ABH.

u. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada

anak yang mengutamakan putusan berupa tindakan dari pada

penjara, tanggal 16 Juli 2007.

v. Peraturan KAPOLRI 10/200, 6 Juli 2007 tentang Unit

(26)

commit to user

Pembentukan RPK dan Tata Cara Pemeriksaan dan Saksi dan

atau Korban Tindak Pidana Anak.

w. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI No.

12/PRS-2/KPTS/2009, Departemen Hukum dan HAM RI No.

M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, Departemen Pendidikan

Nasional RI No. 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI No.

06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI No. B/43/XII/2009

tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang

Berhadapan dengan Hukum, tanggal 15 Desember 2009.

x. Surat Keputusan Bersama Ketua MA RI, Jaksa Agung RI,

Kepala Kepolisia Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI,

Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak RI, No.166/KMA/SKB/XII/2009,

No.1484A/A/JA/12/2009, No.M.HH-08 HM.03.02 Tahun

2009, No.10/PRS-2/KPTS/2009, No.02/Men.PP, dan

PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan

Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Hasil karya ilmiah para sarjana yang terkait dengan penelitian

ini.

b. Hasil-hasil penelitian yang releven dengan penelitian ini.

3) Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder, di antaranya adalah :

a. Kamus-kamus (hukum).

b. Media internet yang relevan dengan penelitian ini.

(27)

commit to user

Teknik pengumpulan data yang digunakan penyusunan dalam

penelitian ini yaitu :

a. Studi Lapangan

Studi lapangan merupakan pengumpulan data dengan cara

penelitian, dan untuk mendapatkan data yang diperlukan dengan cara

wawancara. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk

memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.

Yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang

kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka (Burhan Ashsofa,

2001: 95). Dalam hal ini, wawancara akan dilakukan berdasarkan

kerangka pertanyaan yang telah disusun kepada responden untuk

memperoleh data. Hasil wawancara baik lisan maupun tertulis

kemudian dicatat dan diolah secara sistematik.

Adapun wawancara dilakukan dengan Kepala Bagian atau pegawai

serta anak-anak penerima manfaat di PSMP ANTASENA Magelang.

b. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yang penyusun gunakan yaitu pengumpulan data

dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan-bahan

pustaka baik berupa peraturan perundang-undangan, artikel-artikel dari

internet, jurnal, makalah, dokumen, serta bahan-bahan lain yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti.

6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan hal yang penting dalam penelitian

karena akan menetukan kualitas penelitian tersebut. Analisa data adalah

proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori,

dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditentukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data. (Lexy J.

Moleong, 2009:280)

Teknik analisis data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini

(28)

commit to user

data dan penyajian data yang dilakukan bersama dengan pengumpulan

data, kemudian setelah terkumpul maka ketiga komponen tersebut

berinteraksi dan bila kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu verifikasi

dan penelitian kembali mengumpulkan data lapangan. (HB Sutopo,

1999:8)

Ketiga komponen tersebut diuraikan sebagai berikut :

a. Reduksi Data

Merupakan suatu proses seleksi, penyederhanaan, dan abstraksi

dari data fieldone. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian, yang dimulai dari sebelum pengumpulan data.

b. Penyajian Data

Merupakan suatu realita organisasi informasi yang

memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan, sajian data,

meliputi berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja,

kaitan kegiatan dan juga tabel.

c. Kesimpulan dan verifikasi

Dalam pengumpulan data peneliti harus sudah memahami arti

berbagai hal yang ditemui, dengan melakukan pencatatan-pencatatan,

peraturan-peraturan, pola-pola, pertanyaan-pertanyaan,

konfigurasi-konfigurasi, arahan sebab akibat dan berbagai reposisi kesimpulan yang

diverifikasi.

Analisis data kualitatif dengan model interaktif tersebut dapat

digambarkan dengan skema sebagai berikut :

Pengumpulan Data

Reduksi Data Sajian Data

(29)

commit to user

Gambar 1. Model Analisis Interaktif

Pada saat pengumpulan data, penyusun membuat reduksi

dan sajian data. Reduksi dan sajian data tersebut harus disusun pada

saat penyusun sudah memperoleh unit data dari sejumlah unit data

yang diperlukan dalam penelitian. Pada saat pengumpulan data

berakhir, kemudian penyusun menarik kesimpulan data verifikasi

berdasarkan pada semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun

sajiannya. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya

rumusan dalam reduksi maupun maupun sajiannya, maka penyusun

dapat kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah

terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga

bagi pendalaman data. (HB. Sutopo, 2002:95-96)

Setelah proses analisis data dengan model interaktif

menghasilkan kesimpulan, kemudian penyusun menggunakan

metode interprestasi atau penafsiran terhadap kesimpulan tersebut

yaitu dengan cara menafsirkan data di lapangan sesuai dengan

kerangka teori yang digunakan. Hal ini dilakukan dengan acuan teori

yang dibandingkan dengan pengalaman, praktik, atau penilaian dan

pendapat penyusun. Dalam penelitian ini secara garis besar,

penyusun memperoleh data kemudian dikumpulkan dari hasil

wawancara (interview) kepada Kepala Panti, pegawai, dan

anak-anak penerima manfaat di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP)

ANTASENA Magelang. Langkah berikutnya adalah mencari

hubungan dengan data yang ada dan disusun secara logis, sistematis

(30)

commit to user

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan

dari isi penulisan hukum (skripsi) ini, maka penulis membagi penulisan

hukum (skripsi) ini menjadi lima bab. Adapun sistematika penulisan

hukum (skripsi) ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini dibagi menjadi 4 (empat) kategori sebagai berikut:

A. Latar Belakang

B. Perumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Manfaat Penulisan

E. Metode Penulisan Hukum

F. Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Anak

2. Tinjauan Umum Restorative Justice

3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Anak

B. Kerangka Pemikiran

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dari

hasil yang diperoleh dari penelitian. Berdasarkan rumusan

masalah yang diteliti, terdapat dua pokok masalah yang dibahas

(31)

commit to user

A. Pengaturan pelayanan restorative justice terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

B. Bentuk penerapan restorative justice di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) ANTASENA dalam upaya

memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang

melakukan tindak pidana.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan yang

dapat diperoleh dari hasil pembahasan yang telah dilakukan,

serta merekomendasikan saran-saran pada pihak terkait dengan

bahasan penulis hukum

DAFTAR PUSTAKA

(32)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Anak

a. Pengertian dan Batas Usia Anak

Arti penting bagi orang tua bahwa anak dalam keluarga adalah

pembawa bahagia. Arti ini memberikan isi, nilai, kepuasan, kebanggaan,

dan rasa kepuasan diri yang disebabkan oleh keberhasilan orang tuanya

yang telah memiliki keturunan, yang akan melanjutkan semua cita-cita

harapan dan eksistensinya. Definisi tentang pengertian anak dan batas

usia anak berbeda-beda di perangkat hukum Indonesia. Pada dasarnya

batas usia anak merupakan pengelompokkan usia maksimum sebagai

wujud kemampuan anak dalam status hukum. Hal tersebut

mengakibatkan beralihnya status usia anak menjadi usia dewasa atau

menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri

terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukannya.

Berikut ini adalah definisi tentang anak dan batas usia pada anak

menurut ilmu hukum :

1. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Dalam Pasal 45 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa

(33)

commit to user

pemidanaan terhadap anak yang belum dewasa diatur dalam Pasal 45,

46 dan 47 KUHP. Namun pasal-pasal tersebut telah dihapus seiring

dengan diterbitkannya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa batas usia anak yang

dapat dipidana yang telah mencapai umur antara 8 (delapan) tahun

sampai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

2. Menurut Hukum Perdata

Bagi golongan timur asing bukan Tionghoa berlaku Lembar Negara 1925-556 paragraf 1 Pasal 1 bagian Ac. Yang isinya sama dengan Pasal 330 KUHPerdata. Berarti untuk golongan Arab yang beragama Islam istilah belum dewasa diartikan menurut ukuran Hukum Barat dan bukan menurut ukuran Hukum Islam. Walaupun akan tetapi bila dalam Hukum Adat tidak mengenal ukuran umur, akan tetapi bila dalam peraturan perundang-undangan yang ditujuakan kepada golongan pribumi terdapat istilah “belum dewasa”, maka yang dimaksud di sini bukan “belum dewasa” menurut Hukum Adat melainkan pengertian belum dewasa yang ditentukan oleh Lembar Negara 1931-54 yang berbunyi :

a. Apabila dalam peraturan-peraturan undang-undang terpakai istilah “minderjarig”, yang dimaksud di sini (golongan pribumi) : orang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum kawin ;

b. Bila perkawinan terputus sebelum mencapai umur 21 tahun, mereka tidak dewasa lagi ;

c. Yang dimaksud dengan perkawinan oleh ordonansi ini bukanlah perkawinana anak-anak, yaitu perkawinan antar anak-anak yang masih sangat muda dan tidak diikuti dengan hidup bersama.

(Sri Widoyati Wiratmo Soekito, 1988:48)

3. Menurut hukum Perburuhan

Pengertian anak menurut Pasal 1 (1) Undang-undang Nomor 12 tahun

1948 tentang Undang-undang Pokok Perburuhan mendefinisikan,

anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas)

tahun ke bawah.

(34)

commit to user

Pasal 7 ayat (1),Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 50 ayat (1), sebagai

berikut:

a) Pasal 7 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum untuk dapat

kawin bagi seorang pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun dan

bagi seorang wanita, yaitu 16 (enam belas) tahun.

b) Pasal 47 ayat (1), menyebutkan batas usia minimum 18 (delapan

belas) tahun berada dalam kekuasaan orang tua selama

kekuasaan itu tidak dicabut.

c) Pasal 50 ayat (1), menyebutkan batas usia anak yang belum

mencapai usia 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah

kawin berada pada status perwalian.

5. Menurut Undang-undang Kesejahteraan Anak

Undang-undang Kesejahteraan Anak (UU No. 4 tahun 1979)

menentukan bahwa, anak adalah seorang yang belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

6. Menurut Undang-undang Pengadilan Anak

Undang-undang Pengadilan Anak (Undang-undang No.3 Tahun

1997) Pasal 1 (2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam

perkara Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun

tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan

syarat ke dua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak

sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan

kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan

atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak

dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18

(delapan belas) tahun.

(35)

commit to user

Pengertian anak dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi, “Anak adalah

setiap manusia yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya”.

8. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak

Pengertian anak menurut undang-undang Nomor 23 tahun 2002

tentang perlindungan anak disebutkan dalam Bab I Ketentuan

Umum Pasal 1 angka 1 bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan”.

9. Menurut Konvensi Hak Anak (Converention on the Rights of the

Child)

Pada Pasal 1 bagian 1 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa

sebagai berikut: “Seorang anak adalah bagian setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan dicapai lebih cepat.”

10. Menurut Hukum Adat

Menurut Irma Setyowati Sumitro dalam buku Perlindungan

Hukum Terhadap Anak , “hukum adat menentukan bahwa ukuran

seseorang telah dewasa bukan karena umurnya, tetapi ukuran

yang telah dipakai adalah: dapat bekerja sendiri; cakap melakukan

yang disaratkan dalam kehidupan masyarakat; dapat mengurus

kekayaan sendiri”. (Maidim Gultom, 2010:31)

(36)

commit to user

“Hukum Islam menentukan bahwa anak di bawah umur adalah

yang belum akil baliqh”. (Maidin Gulton, 2010:31)

12. Menurut Hukum Tata Negara

Di dalam lapangan Hukum Tata Negara, hak memilih dalam

Pemilu misalnya seseorang dianggap telah mampu bertanggung

jawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya kalau ia sudah

mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun.

Melihat dari hal-hal tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan

bahwa penetapan batas umur anak adalah relatif tergantung pada

kepentingannya.

b. Hak dan Kewajiban Anak

Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) telah mensahkan Deklarasi tentang hak-hak anak.

Deklarasi ini memuat 10 (sepuluh) asas tentang hak-hak anak, yaitu :

1. Anak berhak menikmati semua hak-haknya tanpa ada diskriminasi.

2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh

kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain.

3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan.

4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh

dan berkembang secara sehat.

5. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat

keadaan tertentu harus memperoeh pendidikan, perawatan, dan

perlakuan khusus.

6. Anak berhak mendapatkan perhatian dan kasih sayang.

7. Anak berhak mendapatkan pendidikan wajib secara cuma-cuma

minimal di tingkat dasar.

(37)

commit to user

9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan dan

penghisapan.

10. Anak harus dihindari dari bentuk diskriminasi dalam bentuk apapun.

(Maidin Gultom, 2010:45)

Selain itu menurut kesadaran nasional atau justifikasi konstitusional melindungi anak sebagai urusan utama dalam berbangsa dan bernegara, tertuang dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 secara ekplisit telah menegaskan hak-hak konstitusional anak yang berbunyi,“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi”. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia secara konstitusional telah eksplisit mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak konstitusional anak yakni:

a. hak atas kelangsungan hidup;

b. hak atas tumbuh dan berkembang, dan;

c. hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

Pengakuan, penghormatan dan jaminan serta perlindungan hak-hak anak dimaksud merupakan realisasi dari kewajiban negara dan sekaligus pemenuhan hak-hak kewarganegaraan sebagai suatu “penganugerahan hak-hak sosial kepada rakyatnya” (the granting of social rights).

(Surat Keputusan Mahkamah Agung No. 1/PUU-VIII/2010 )

Sedangkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, hak-hak anak diatur sebagai berikut :

1. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi (Pasal 4).

2. Hak mempunyai nama dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

3. Hak beribadah (Pasal 6).

4. Hak mengetahui orang tuanya (Pasal 7).

5. Hak layanan kesehatan dan jaminan sosial (Pasal 8).

6. Hak pendidikan (Pasal 9).

7. Hak didengar pendapatnya (Pasal 10).

8. Hak beristirahat (Pasal 11).

9. Hak mendapatkan rehabilitasi dan bantuan sosialterhadap anak

menyandang cacat (Pasal 12).

(38)

commit to user

11. Hak diasuh orang tuanya sendiri kecuali ada keputusan hukum (Pasal

14).

12. Hak perlindungan dari peristiwa darurat (Pasal 15).

13. Hak perlindungan dari penganiayaan dan proses pemeriksaan (Pasal

16).

14. Hak mendaptak perlakuan manusiawi (Pasal 17).

15. Hak mendapatkan bantuan hukum (Pasal 18).

Sementara itu kewajiban anak diatur pada Pasal 19 Undang-undang

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut :

1. Menghormati orang tua, wali, dan guru.

2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.

3. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara.

4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.

5. Melaksankan etika dan akhlak yang mulia.

2. Tinjauan Tentang Restorative Justice

a. Pengertian Restorative Justice

Pendekatan penghukuman terhadap anak pelaku tindak pidana

dalam kerangka sistem pemasyarakatan sebagai pendekatan utama

mengandung risiko dan konsekuensi yang sangat besar yaitu menyangkut

nasib dan masa depan anak sekembalinya dari proses penghukuman.

Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan nonpenal merupakan bentuk upaya yang efektif dalam melindungi anak pelaku

tindak pidana.

Restorative Justice menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan yaitu dengan memberikan keutamaan pada

(39)

commit to user

diperhatikan adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang

disebabkan terjadinya kejahatan tersebut. Pelaksanaan restorative justice diawali dengan upaya diskresi dari pihak kepolisian, yaitu kewenangan

yang dimiliki Polisi untuk menghentikan penyidikan perkara dengan

membebaskan tersangka anak, ataupun melakukan pengalihan dengan

tujuan agar anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut. (Unicef, 2004 :

225). Kemudian salah satu tindakan dari diskresi adalah diversi, yaitu

pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan

tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat. (Unicef, 204 :

330). Pelaksanaan diversi melalui pendekatan persuasif atau pendekatan

dan pemberian kesempatan terhadap pelaku untuk berubah, karena dengan

diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak

dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga

melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu

melalui proses hukum. Tujuan dari diversi yaitu :

1. Untuk menghindari penahanan;

2. Untuk menghindari cap/label sebagai penjahat; 3. Untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku; 4. Agar pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya; 5. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana;

6. Untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korba dan pelaku tanpa harus melalui proses formal;

7. Program diversi juga akan menghindari anak mengikuti proses system peradilan;

8. Lebih lanjut program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruh-pengaruh dan implikasi negative dari proses peradilan tersebut.

(Unicef, 2004 : 332)

Restorative Justice adalah bentuk yang paling disarankan dalam melakukan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.Hal itu

karena restorative justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan

di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan

melibatkan korban, pelaku, keluarga korban, dan masyarakat, serta

(40)

commit to user

mencapai penyelesaian dengan kesepakatan antara pihak yang

bersengketa.” (Marliana, 2009:23)

Sama halnya konsep diatas, Consedine mendefinisikan keadilan

restoratif sebagai berikut :

“Crime is no longer defined as an attack on the stage but rather an offence by one person against another. It is based on recognition of the humanity of both offender and victim. The goal of the restorative process is to heal the wounds of every person affected by the offence, including the victim and the offender. Options are explored that focus on repairingthe damage.” (Tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai serangan terhadap negara, tapi kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Keadilan restoratif berlandaskan pada kemanusiaan kedua belah pihak, pelaku dan korban. Prosese restoratif bertujuan untuk memulihkan luka semua pihak yang disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan. Alternatif solusi dieksplorasi dengan berfokus untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan). (Ds. Dewi & Fatahillah A. Syukur, 2011:29)

Restorative justice memiliki peran yang penting di dalam pemenuhan hak. Hal ini disebutkan dalam sebuah jurnal yang berjudul

“Balancing Restorative Justice Principles and Due Process Rights in Order to Reform the Criminal Justice System” oleh Tina S.Ikpa Vol. 24:301 bahwa menurut Howard Zehr seorang ahli hukum mendefinisikan

restorative justice sebagai berikut :

“Restorative justice is a process to involve, to the extent possible, those who have a stake in a specific offense and to collectively identify and address harms, needs, and obligations, inorder to heal and put things as right as possible.”( keadilan restoratif adalah adalah suatu proses yang memungkinkan melibatkan seseorang yang memiliki pelanggaran tertentu untuk bersama mengidentifikasi dan mengatasi merugikan, kebutuhan, dan kewajiban guna menyembuhkan sesuai dengan hak-haknya).

Penerapan pendekatan restorative justice di Indonesia merupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam

Pasal 16 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu

(41)

commit to user

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”. Sementara itu menurut Supeno berpendapat bahwa “membedakan pengertian restoratif dari segi

penggunaan paradigma tersebut pada kasus ABH. Ia menggunakan istilah

keadilan restoratif sejati yang menampik sama sekali pemidanaan terhadap

anak, apapun alasannya. Sepanjang ia belum berusia 18 tahun , dia tidak

boleh dipidanakan dan hanya boleh dikenai tindakan”. (Ds. Dewi &

Fathillah A. Syukur, 2011:30)

Berdasarkan uraian secara garis besar pengertian restorative justive

mempunyai kesamaan dengan pengertian keadilan restoratif yang terdapat

dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung, Jaksa

Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial,

dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang

Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Keadilan restoratif

menurut SKB adalah :

1. Suatu penyelesaian secara adil,

2. Melibatkan :

a. Pelaku,

b. Korban,

c. Keluarga mereka,

d. Dan pihak-pihak lain yang dalam suatu tindak pidana.

3. Secara bersama-sama mencari penyelesaian.

4. Terhadap tindak pidana (tertentu) tersebut dan implikasinya,

5. Dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula.

(Ds. Dewi & Fathillah A. Syukur, 2011:30)

b. Prinsip, Syarat dan Bentuk Restorative Justice

(42)

commit to user

dan pendekatan keadilan, yang sangat menghormati hak-hak hukum

tersangka dan sangat memperhatikan kepentingan korban. Sasaran

peradilan restoratif adalah mengharapkan berkurangnya jumlah anak yang

ditangkap, ditahan dan divonis penjara serta menghapuskan stigma pada

diri anak dan mengembalikan anak menjadi manusia yang normal

sehingga dapat berguna di kemudian hari.

(http://eprints.undip.ac.id/25103/1/Novie_Amalia_Nugraheni.pdf)

Prinsip restorative justice di atas sama halnya dengan prinsip restoratif oleh Charles Barton Vol. 2 No. 1 dalam jurnal yang berjudul

“Theories of Restorative Justice”, yang diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut :

No one will argue against the right to silence, the right to legal representation, and competent counsel. But what we also suggest, and which lawyers can’t offer, and don’t want to offer, is the opportunity for the young offender to be educated from this experience. Young offenders have the right to learn the consequences of their crime. They have the right to understand how many other people it affects. They have the right to develop as full human beings through this process. Now if you let the opportunity slip by, by handing it over to lawyers, you deny them all those developmental rights. (Tak seorang pun akan menentang hak untuk diam, hak untuk perwakilan hukum, dan nasihat yang kompeten. Tapi apa kita juga sarankan, dan yang tidak dapat menawarkan pengacara, dan tidak ingin menawarkan, adalah kesempatan untuk pelaku muda untuk dididik dari pengalaman ini. Pelanggar muda memiliki hak untuk belajar konsekuensi dari kejahatan mereka. Mereka memiliki hak untuk memahami berapa banyak orang lain itu mempengaruhi. Mereka memiliki hak untuk berkembang sebagai manusia penuh melalui proses ini. Sekarang jika Anda membiarkan kesempatan slip menyerahkannya ke pengacara, sama saja menolak hak-hak untuk perkembangannya).

Syarat penerapan keadilan restorative justice adalah :

1. Syarat pada diri pelaku

Pada syarat ini terkait beberapa faktor,yaitu :

- Usia anak,

- Ancaman dan hukuman (maksimum 7 tahun),

(43)

commit to user - Persetujuan korban dan keluarga,

- Tingkat seringnya pelaku melakukan tindakan (residiv).

2. Sifat dan jumlah pelanggaran yang pernah dilakukan sebelumnya

(residiv).

3. Apakah anak/pelaku mengakui tindak pidana yang dilakukan dan

menyesalinya ?

- Jika anak mengakui dan menyesalinya perbuatannya, maka hal ini

menjadi sebuah pertimbangan positif untuk dapat menangani

dengan pendekatan keadilan restoratif.

- Jika anak tidak mengakuinya maka anak bebas berdasarkan putusan

hakim.

4. Dampak perbuatan terhadap korban.

5. Sikap keluarga pelaku/anak tersebut.

Dukungan dari orangtua dan keluarga sangat penting agar keadilan

restoratif dapat berhasil. Jika keluarga berusaha menutup-nutupi

perbuatan anak, maka akan sulit mengimplementasikan rencana

keadilan restoratif yang efektif. ( Ds. Dewi & Fatahillah A. Syukur,

2011:38)

Adanya upaya pelaksanaan restorative justice tidak berarti bahwa semua perkara anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan

dikembalikan kepada orang tua, karena hakim tentunya harus

memperhatikan kriteria-kriteria tertentu, antara lain :

1. Anak tersebut pertama kali melakukan kenakalan (frist offender); 2. Anak tersebut masih sekolah;

3. Tindak pidana yng dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang mengganggu/merugikan kepentingan umum;

4. Orang tua/wali anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi anak tersebut secara lebih baik.

(44)

commit to user

Bentuk restoratif menurut Stephenson, Giller, dan Brown

berpendapat ada 4 (empat) bentuk, namun keempat bentuk ini mempunyai

tujuan yang sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan

mengenyeimbangkan kepentingan anak pelaku tindak pidana, korban, dan

komunitas. Keempat bentuk keadilan restoratif tersebut adalah :

1. Mediasi penal (victim-offender mediation)

Sebuah proses dengan dibantu pihak ketiga yang netral dan imparsial,

membantu korban dan pelaku untuk berkomunikasi satu sama lain

dengan harapan dapat mencapai sebuah kesepakatan.

2. Restorative concerence

Hampir sama dengan mediasi penal, yang membedakan hanyalah peran

mediator sebagai pemandu diskusi, adanya naskah pemandu, dan

hadirnya pihak selain pelaku dan korban (yaitu keluarga dari

masing-masing pihak).

3. Family group conferencing

Keluarga kedua belah pihak (pelaku dan korban) membuat sebuah

rencana aksi (action plan) berdasarkan informasi dari pelaku, korban,

dan kalangan profesional yang membantu.

4. Community panel meetings

Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban, dan

orang tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan perbaikan

kesalahan.

(Ds. Dewi & Fatahillah A. Syukur, 2011:41)

Sedangkan bentuk keadilan restoratif dalam prakteknya di

Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Musyawarah kelompok keluarga.

Kehadiran pihak-pihak yang terkait meliputi : korban, pelaku, dan

orang yang berkepentingan.

(45)

commit to user

Pelayanan yang bersifat pemulihan dapat dilakukan oleh lembaga-

lembaga dan organisasi independen peduli anak untuk pemulihan

psikologis korban dan pelaku.

3. Di setiap tahapan sistem peradilan.

Dalam proses penyidikan sampai pada persidangan wajib dilakukan

diversi melalui forum musyawarah/mediasi dengan tujuan pemulihan

bagi pelaku, korban, dan masyarakat.

(Ds. Dewi & Fathillah A. Syukur, 2011:41)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir

dari peradilan restoratif diharapkan berkurangnya jumlah anak-anak yang

ditangkap, ditahan, dan divonis penjara; menghapuskan stigma dan

mengembalikan anak menjadi manusia normal sehingga diharapkan dapat

berguna kelak di kemudian hari; pelaku pidana anak dapat menyadari

kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya mengurangi beban

kerja Polisi, Jaksa, Rutan, Pengadilan, dan Lapas; menghemat keuangan

negara dan tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah

dimaafkan oleh korban.

3. Tinjauan tentang Perlindungan Tindak Pidana Anak

a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan perbuatan

yang dapat atau boleh dihukum, perbuatan pidana, tindak pidana, sedangkan

dalam Bahasa Belanda “strafbaarfet” atau “delik”. Sama halnya dengan pendapat tersebut, Simons mengistilahkan tindak pidana menjadi “starfbaar

feit” yang berarti “perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi

(46)

commit to user

Alasan dari Simons merumuskan “strafbaarfeit” seperi diatas adalah

karena :

1. Untuk adanya suatu “strafbaarfeit” itu disyaratkan bahwa disitu harus

terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh

undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban

semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum.

2. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus

memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam

undang-undang.

3. Setiap “strafbaarfeit” sebagai pelanggaran terhadap larangan atau

kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan

suatu tindakan melawan hukum.

Sama halnya dengan pendapat Simons, menurut Van Hamel

merumuskan “starfbaar feit” adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)

yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan. (Moeljatno,

2008:61)

Selanjutnya Pompe menggemukaan dua macam definisi perbuatan

pidana, yaitu bersifat teoritis dan yang bersifat undang-undang. Definisi

teoritis, perbuatan pidana ialah pelanggaran norma (kaidah;tata hukum),

yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana

untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan

umum. Sedangkan dari sisi perundang-undangan, perbuatan pidana ialah

suatu peristiwa yang oleh UU ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian) atau tidak berbuta atau berbuat pasif

(47)

commit to user

suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut itulah yang disebut

uraian delik. (Marlina, 2009:77)

Sedangkan KUHP di indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu

perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur :

a. Adanya perbuatan manusia;

b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;

c. Adanya kesalahan;

d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan definisi-definisi tindak pidana diatas, disimpulkan

unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi unsur subyektif dan

unsur objektif, sebagai berikut :

1. Unsur Subjektif

Unsur objektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau

berhubungan dari si pelaku, dan termasuk didalamnya adalah segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif tindak

pidana terdiri dari :

a. kesengajan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);

b. maksud pada suatu percobaan;

c. macam-macam maksud;

d. merencanakan terlebih dahulu (oogmerk);

e. perasaan takut (vress).

2. Unsur Objektif

Unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana

tindakan-tindakan dari diri si pelaku itu harus dilakukan.Unsur-unsur objektif

tindak pidana terdiri dari :

Gambar

Gambar 4. Inisiatif Pendampingan ...........................................................
Gambar 1. Model Analisis Interaktif
Gambar 2. Kerangka Pemikiran commit to user
Gambar 3. Struktur Organisasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Namun pada aliran setelah titik B tekanan akan meningkat dalam arah aliran sehingga pada beberapa titik momentum aliran dari fluida didalam boundary layer tidak cukup untuk membawa

Pemerian dari etanol yaitu merupakan cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak, memiliki bau yang khas dan rasa yang panas.. Mudah terbakar

2) Tipe Tanah. Lahan-lahan subur sebaiknya dialokasikan untuk budidaya tanaman, sedangkan untuk lokasi kandang dapat digunakan lahan-lahan yang kurang subur atau marginal. Yang

Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini adalah Strategi Guru pendidikan Agama Islam mengatasi Perilaku

Hasil analisis nilai location quotient (LQ) di kecamatan Ternate Tengah ditinjau dari segi produksi komoditas tanaman holtikurtura jenis sayur-mayur menyatakan

Carding adalah pembobolan kartu kredit ataupun digital kredit dan digunakan untuk membeli dengan menggunakan nomor dan identitas kartu kredit orang lain yang dapat

Selain itu, penulis menganggap bahwa Museum Benteng Vredeburg memiliki keunikan yakni bangunannya berupa bangunan bekas Belanda yang sudah termasuk dalam Benda