• Tidak ada hasil yang ditemukan

MITOS DAN PENSEJARAHAN MELAYU Oleh Hasbu (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MITOS DAN PENSEJARAHAN MELAYU Oleh Hasbu (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MITOS DAN PENSEJARAHAN MELAYU

Oleh : Hasbullah

I. Pendahuluan

Pensejarahan (historiografi) berasal dari kata sejarah, yang secara umum diartikan sebagai “catatan peristiwa-peristiwa atau peristiwa-peristiwa itu sendiri.1

Dalam pengertian ini, catatan peristiwa-peristiwa dan peristiwa-peristiwa itu sendiri saling mempunyai hubungan yang relatif. Suatu peristiwa yang terjadi itu dicatatkan dan jadilah peristiwa itu sebagai sejarah, ini adalah pengertian sejarah yang konvensional.

Dalam catatan peristiwa-peristiwa terkandung pula bebepa hal yang penting, yaitu ; pertama, siapakah yang mencatat peristiwa itu ; kedua, bagaimanakah peristiwa itu dicatat – tetap atau tidak, bias atau sebaliknya, objektif atau subjektif, emosional atau rasional, apa dan bagaimanakah sudut pandang pencatat berdasarkan peristiwa dan latar belakang yang berkaitan dengannya ; ketiga, apakah cara dan kaedah, pendekatan dan teori, falsafah dan pemikiran yang digunakan ; keempat, dalam konteks pengertian pencatatan peristiwa masa kini, dengan nilai-nilai ilmiah diterapkan dalam pencatatan tersebut dengan menggunakan sumber sekunder, bagaimanakah sumber itu digunakan.2

Dalam peradaban Barat, sejak Herodotus – bapak sejarah – sampai sepanjang abad-abad berikutnya, dihasilkan karya-karya penulisan sejarah. Namun, dalam kebudayaan Indonesia atau Melayu pada umumnya dikenal sejumlah besar historiografi tradisional, yang lebih dikenal sebagai Kronik,

Silsilah, Hikayat, Sejarah, atau Babad. Dalam mempelajari karya-karya itu, akan ditemui keragaman versi, bentuk, dan gaya penyajian, dan tidak jarang pula terjadi perbedaan interpretasi.

Kesemuanya itu dapat dikembalikaan kepada faktor subjektif yang berkaitan dengan faktor “kehadiran” si subjek, ialah pengarang karya-karya itu. Pada hakikatnya tujuan setiap pembaca karya sejarah – dalam bentuk apa pun –

(2)

bukan semata- mata menyerap data dan fakta historis belaka. Ia juga perlu memperhatikan bentuk dan cara penggambaran yang disajikan pengarang. Bagaimanakah pandangannya, interpretasinya, pendekatannya, penyeleksian data, struktur rekonstruksi, dan sebagainya. Dimensi-dimensi subjektivitas itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh persepsi pengarang terhadap masa lampau masyarakatnya.

Dengan demikian, studi historiografi terutama memusnahkan perhatian kepada dimensi-dimensi subjektivitas penulis sejarah, termasuk visinya, persepsinya, struktur pikirannya dan sebagainya. Ini berarti bahwa objek studinya adalah ide atau alam pikiran manusia.

Permasalahan yang sering muncul dalam pengkajian teks-teks historiografi tradisional – khususnya pensejarahan Melayu – adalah tentang kewujudan atau pencampuran unsur fantasi (seperti mitos, legenda, dongeng, dan post-eventum) yang dianggap bukan sejarah. Sikap para pengkaji awal yang nampaknya memang disadari oleh sarjana semasa Robson, Jones, Kratz dan Brakel terhadap penelitian teks-teks ini ialah untuk mendapatkan bukti dan data sejarah untuk mendukung dan melengkapkan penulisan mereka tentang kebudayaan penduduk lokal.

Banyaknya pencampuran unsur-unsur mitos dalam pensejarahan Melayu mengakibatkan karya ini dipandang sinis oleh sebagian sarjana Barat. Mereka menganggap karya historiografi tradisional bukanlah sebuah karya sejarah – dalam arti sejarah modern – yang bisa digunakan sebagai sumber dan informasi yang valid tentang suatu masyarakat. Oleh karena itu, karya-karya ini tidak bisa dijadikan rujukan dalam suatu studi ilmiah. Hal ini tentu saja merugikan masyarakat lokal, karena kajian yang dilakukan selalu bersandar dengan informasi-informasi yang dibuat atau dicacat oleh para penjajah atau musafir, sehingga karya seperti ini lebih terkesan eropa sentris.

(3)

juga memandangnya tidak lebih dari dongeng, legenda, atau mitos belaka. Jadi, kredibilitas dari sistem dan materi pengetahuan hanya terletak pada nilai antropologisnya – sebagai kesaksian akan diri sendiri (self image) – bukan sebagai sumber pengetahuan yang sah tentang sejarah3. Dalam konteks ini, proses

pengislaman Raja Pasai atau Raja Melaka tidak bisa dilihat sebagai sejarah empiris, melainkan sebagai pertanggungjawaban kultural Melayu tentang proses yang dramatis dan luar biasa tersebut. Local knowledge bukanlah pengetahuan yang informatif tentang realitas empiris, tetapi kesaksian kultural terhadap dirinya sendiri.

Dalam dua tiga dasawarsa terakhir ini, pandangan tersebut telah mengalami perubahan. Local knowledge dan historiografi tradisional tidak lagi dianggap hanya sebagai kesaksian atau pertanggungjawaban kultural, tetapi telah dipertimbangkan sebagai kemungkinan dari sumber informasi yang sah tentang sejarah4. Peristiwa-peristiwa ajaib yang kerap kali ditonjolkan dalam historiografi

tradisional tidak lagi hanya diperlakukan sebagai “dongeng” atau “mitos” (seperti perlakuan Winstedt), tetapi bisa dipertimbangkan sebagai simbol yang mungkin ingin “mengatakan sesuatu tentang sesuatu”.

Sekalipun cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu tidak dapat dipercaya sebagai berita tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah, namun cerita itu selamanya masih penting untuk dipelajari tentang bagaimana para leluhur memandang dan menilai dunia mereka pada waktu itu. Mitos dan legenda dengan demikian mendapatkan arti yang baru, antara lain menjadi sumber tentang bagaimana dan apa yang dipercaya di masa lalu tersebut. Juga adat istiadat rakyat, seperti yang masih terpelihara sampai sekarang merupakan sumber informasi mengenai bentuk-bentuk hidup dari masa lalu5.

Pandangan positif para sarjana masa kini, menyebabkan unsur mitos yang terdapat pada ‘hampir’ semua karya historiografi tradisional telah dinilai dari sudut ilmiah dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu seperti, sastera, filologi, sosiologi-antropologi, arkeologi, etnologi, atau dengan menggunakan pendekatan

multi-dimensional. Walau bagaimanapun pandangan tersebut menumpu kepada

(4)

II. Fungsi Mitos Dalam Pensejarahan Melayu

Sepanjang sejarah, mitos telah dinilai baik secara positif maupun negatif. Penilaian yang positif terhadap mitos dilakukan oleh orang-orang yang menganggap mitos memiliki kebenaran-kebenaran filosofis, agamis maupun alegoris. Kelompok ini diwakili oleh Vico, Goethe, Schelling, Jung, Neuman, Campbell, dan lain-lain. Walaupun demikian, banyak juga orang-orang yang tidak melihat mitos sebagai pengungkapan kebenaran yang fundamental tentang eksistensi manusia. Sebaliknya, mereka melihat mitos itu sebagai fiksi, kebohongan, fabel, khayalan, fantasi yang tidak akan mungkin terjadi. Mereka juga memandang mitos merupakan pelarian manusia karena ketidakmampuan rasional dalam menjelaskan berbagai fenomena dan kejadian alam serta berbagai peristiwa yang dialami manusia. Asal muasal kritikan terhadap mitos merujuk pada zaman Yunani abad kelima. Kelompok ini diwakili oleh antara lain, Xenophanes, Thales, Heraclitus, dan Homer.

Mitos dikritik tidak hanya karena ia berisikan gagasan-gagasan yang tidak bermoral, tapi juga karena sifatnya yang tidak rasional yang menghambat pertumbuhan pemikiran ilmiah. Pada waktu bangsa Yunani melakukan perpindahan dari mitos masa lampaunya, yaitu dari “mitos” dan kemudian mengambil “logos” – kata yang mengacu pada kemampuan rasional atau penanganan kebenaran – itulah mereka berhasil membuat kemajuan yang pesat sekali dalam bidang filsafat dan ilmu alam6.

Kebanyakan karya sejarah masa lalu (historiografi tradisional) ditulis untuk kepentingan para penguasa atau keluarga istana. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bentuk dan susunan Sejarah Melayu yang menunjukkan bahwa penulisan sejarah ini ialah untuk mengabdi kepada kepentingan raja yang kedudukannya lebih dari pusat kerajaan di dunia saja. Keadaan serupa juga bisa ditemukan dalam kesusasteraan Jawa, yang juga ditulis di Kraton yang merupakan pusat kekuasaan. Seorang pujangga Jawa semenjak dulu bukan hanya berfungsi sebagai pujangga saja dalam arti sekarang ini. Dia menjabat fungsi yang penting di Kraton atau seperti yang disebut oleh Berg, dia adalah “Pendeta-bahasa”.7

(5)

sebuah babad untuk menyanjungkan rajanya, misalnya dalam ciptaan seninya itu raja disamakannya dengan leluhurnya yang masyhur yang berasal dari dewa-dewa. Hal ini terlihat dengan jelas dalam epos besar Mahabharata8 dengan

tokohnya Arjunawiwaha, bukan saja merupakan cerita tentang Arjuna, tetapi di samping itu epos ini dalam bentuk yang tersembunyi menceritakan kehidupan raja Airlangga. Dengan penyamaan serupa itu, raja adalah lebih dari seorang penguasa dunia, dia adalah pusat sakral dari pergaulan hidup, wakil terkemuka dari seluruh masyarakat, dalam dirinya dan dengan perantaraan dialah masyarakat itu berhubungan dengan susunan kosmis, dialah pendukung kelanjutan hidup dan oleh karenanya mempertahankan hubungan dengan leluhur yang dianggap dewa-dewa itu. Dalam arti ini dia melindungi masyarakat, jadi dia lebih dari penguasa politik dalam pengertian modern. Dalam gilirannya raja yang bersifat dewa ini harus pula dilindungi, didukung, diperkuat dengan jalan ritus dan kultus, seperti jelas kelihatan dalam kebudayaan Jawa lama (kuil-kuil, prasasti-prasasti, dan lain-lain).

Penggunaan mitos oleh penguasa dalam historiografi tradisional pada umumnya atau pensejarahan Melayu khususnya itu bertujuan untuk mempertahankan atau menggunakaan kekuasaan mereka, dan sekaligus untuk mendapat pengakuan dari masyarakat banyak. Sehingga karya-karya ini menampilkan hal-hal yang bersifat magic, menakjubkan, supernatural dan ajaib. Cerita-cerita ini merupakan produk pikiran yang tidak logis, cerita-cerita itu menuntut keyakinan dan ditujukan untuk menjaga kepentingan kelas penguasa dengan mengorbankan orang banyak, hal seperti ini terlihat jelas dalam mitos Melayu feodal.

Mitos adalah hal yang sangat penting dalam peradaban klasik yang harus dihadapi oleh para ilmuwan. Mitos merupakan tradisi dari zaman prasejarah, yang biasanya berhubungan dengan salah satu dewa atau suatu kekuatan alam yang dipersonifikasikan, juga cerita yang tidak mengandung kebenaran, dan yang diperlakukan sebagai kebenaran. Van Baal9 menyebutkan mitos-mitos itu biasanya

(6)

a. Mitos-mitos itu merupakan alegori yang disusun oleh para penyair tentang perjuangan antara unsur-unsur atau lambang-lambang berbagai bakat dan watak manusia seperti rasio, kebodohan, cinta, dan lain-lain. Untuk alegori semacam ini ada topangannya dalam kenyataan, bahwa beberapa dewa tidak dapat dipungkiri lagi ada kaitannya dengan segi-segi tertentu dari alam atau sifat-sifat dan kegiatan manusia.

b. Mitos-mitos itu adalah cerita tentang raja-raja dengan kekuasaan besar dan kebijaksanaan tinggi, yang hidup di zaman kuno sekali, lalu didewakan oleh anak cucunya.

c. Mitos-mitos itu adalah hasil penipuan para imam atau raja-raja, yang dengan cara itu menciptakan suatu posisi kekuasaan bagi diri sendiri untuk mengekang massa atau untuk tetap melanggengkan kekuasaannya.

Penjelasan-penjelasan di atas memperlihatkan bagaimana peran mitos dalam masyarakat masa lampau, namun secara garis besar para sarjana menyimpulkan fungsi mitos dalam dua kategori, yaitu ; pertama, mitos yang berfungsi “menjelaskan” , kedua, mitos yang berfungsi memberikan pembenaran / pembuktian.10

Mitos yang berfungsi memberikan penjelasan yang juga dikenal sebagai mitos etiologi (yang mencari penyebab), memberikan penjelasan tentang alam atau dunia fisik. Biasanya, ia menjelaskan asal-usul adat istiadat, nama, sebuah benda, kejadian atau peristiwa. Dalam hal ini, dapat juga disebut sebagai mitos tentang asal-usul. Mitos yang berfungsi menjelaskan ini merupakan cikal bakal ilmu (proto science) yang di dalamnya tercermin rasa keingintahuan manusia primitif akan lingkungannya. Lang, menyebutkan mitos ini bertujuan untuk menaggapi rasa keingintahuan manusia tentang sebab terjadinya sesuatu, menjembatani kesenjangan dalam hal pengetahuan mereka dan menyampaikan informasi tentang segala sesuatu yang berada di luar pengalaman praktis mereka.11

(7)

tempat (Seperti asal-usul Kerajaan Siak, Kerajaan Pagar Ruyung), adat istiadat (Seperti assl-usul adat Melayu yang bersumber dari adat Ketemenggungan dan adat Perpatih) , objek atau pun kepercayaan. Walaupun demikian, maksud mitos-mitos ini tidak semata-mata memberikan penjelasan, tetapi juga memberikan pembuktian atau alasan untuk hal-hal tertentu.

Fungsi mitos yang menjelaskan ini sangat banyak ditemukan di dalam historiografi tradisional dan cerita-cerita rakyat. Namun fungsi mitos yang memainkan peran yang sangat penting dalam pensejarahan Melayu atau historiografi tradisional adalah fungsi mitos yang memberikan pembenaran (justifikasi). Pengamatan Malinowski tentang peranan mitos dalam suatu kelompok sosial sangat relevan dalam konteks ini. Kajiannya tentang orang-orang Tobriand memperlihatkan bagaimana mitos dapat digunakan untuk mewadahi hasrat orang akan kekuasaan atau untuk mengagung-agungkan sekelompok orang tertentu. Menurut pendapat Malinowski, mitos selalu digunakan untuk menjelaskan hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang luar biasa, kesenjangan sosial yang besar dan beban-beban yang berat untuk masing-masing kedudukan baik yang tinggi maupun yang rendah12.

Bronislaw Malinowski adalah penganut tangguh dari fungsi mitos seperti ini, ia menolak gagasan yang menyatakan bahwa fungsi mitos itu adalah untuk menjelaskan atau untuk menyalurkan rasa keingintahuan manusia, dan sebaliknya ia berpendapat bahwa mitos itu berfungsi sebagai piagam atau kesepakatan tentang kepercayaan, adat istiadat, lembaga, upacara, dan lain-lain13.

Mitos bukanlah semata-mata dongeng, akan tetapi memiliki kekuatan aktif sebagai hasil dari kerja keras. Ia bukanlah merupakan penjelasan yang rasional-intelektual dan bukan pula merupakan khayalan yang artistik, akan tetapi adalah piagam tentang kesetiaan orang-orang primitif dan kebijaksanaan dalam bidang moral.

(8)

kepangkatan dan kekuasaan., adanya hak-hak istimewa dan subordinasi, dan tentu saja pada situasi perubahan-perubahan penting yang bersifat historis yang telah terjadi.

Fungsi yang mengangung-agungkan kelompok orang tertentu dan memberikan justifikasi pada status istimewa, jelas kelihatan dalam mitos-mitos Melayu feodal. Mitos-mitos ini digunakan untuk mengkuduskan, mengesahkan dan mengabsahkan pemikiran kelas penguasa Melayu feodal.

Dalam penulisan historiografi tradisional, seperti dalam Hikayat, Babad, atau Kronik, nyatalah sekali bahwa penulisan itu bertujuan untuk membuat pembenaran dari kedudukan yang sedang berkuasa atau melegitimasikan eksistensinya.

Justru tujuan melegitimasikan kedudukan yang berkuasa (dalam hal tersebut adalah raja) struktur cerita tidak hanya berpusat pada raja (raja sentris), tetapi juga seluruh sintese yang “mendarahdagingi” struktur itu bernada “pengagungan” ataupun “pengkultusan” raja. Persepsi masa lampau berkisar sekitar raja sebagai pusat makrokosmos dan suasana religiomagis. Persepsi yang dikuasai pandangan itu akan mudah memasukkan unsur-unsur mitologis ke dalam historiografi14.

Mitologisasi akan memperkuat proses legitimasi itu karena mitos-mitos menambah sifat supernatural dan sanksi-sanksi yang sakral. Kontinuitas kekeramatan terwujud dengan perantaraan historiografi, pusaka-pusaka dan pelbagai tradisi. Mitos sering juga dipandang sebagai “sejarah teladan”, artinya berfungsi sebagai model-model tokoh kepahlawanan ataupun kepemimpinan, yang sedemikian besar atau luar biasa kekuasaannya, sehingga melampaui kemanusiaan dan menjadi supernatural sifatnya.

Maka dari itu, tokoh itu diliputi suasana keramat atau dalam istilah masyarakat tradisional disebut kesaktian. Pada hakikatnya sumber-sumber kekuasaan dikembalikan kepada kesaktian atas kekeramatan itu. Suasana

(9)

Melayu, yang turun di Bukit Siguntang dan mengakibatkan padinya berbuah emas, berdaun perak dan berbatang suasa15. Hal serupa juga terjadi pada calon

penguasa Pasai, Merah Silu yang telah menjadikan rimba yang dilaluinya menjadi emas dan orang pun menurut perkataannya.16 Suasana religiomagis juga amat

kelihatan dalam pensejarahan Melayu tatkala menjelaskan proses masuk Islam penguasa Melayu baik di Pasai maupun di Melaka, yang melalui tahapan yang peristiwa luar biasa, yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah sekalipun melalui mimpi.

Mitos sebagai lambang juga berfungsi untuk menciptakan atau mencerminkan kesadaran. Maka mitos tokoh-tokoh sejarah dapat mengukuhkan realitas masa lampau, sehingga tumbuhlah kepercayaan dan loyalitas kepada ideologinya serta establishment yang mendukungnya. Dipandang dari segi ini, jelaslah mitos-mitos yang tercakup dalam historiografi tradisional berfungsi untuk mendukung atau melegimasikan penguasa-penguasa.

Fungsi lain dari historiografi tradisional yang juga cukup menonjol adalah fungsi didaktis, yaitu menjadi suri teladan bagi generasi kemudian, dan juga bagi kelakuan para penguasa (raja-raja). Hal ini terlihat dengan jelas dalam historiografi Melayu Riau, yaitu Tuhfat-al Nafis karya Raja Ali Haji17.

Historiografi ini ditulis sebagai bimbingan bagi para penguasa tatkala terjadi dekadensi pemerintahan Sultan Mahmud, yang lebih cenderung kepada kehidupan modern dengan gaya yang menyimpang dari ajaran Islam.

III. Mitos Tentang Zaman Keemasan.

(10)

penyebaran Islam di kawasan ini, serta mampu menjadikan Bahasa Melayu sebagai lingua franca bagi masyarakat Asia Tenggara, sehingga banyak kalangan memandang Melaka merupakan lambang keagungan Bangsa Melayu18. Kejatuhan

Melaka berarti “hancurnya” keagungan Bangsa Melayu dan secara berangsur-angsur mengurangi wibawa Bangsa Melayu di kawasan ini. Keadaan ini tidak hanya berakibat secara politis maupun ekonomis, tetapi juga berdampak secara psikologis bagi orang-orang Melayu. Karena setelah kejatuhan Melaka, tidak ada lagi kerajaan Melayu yang besar, yang muncul hanyalah kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan kepingan-kepingan dari warisan kekuasaan Melaka dan pusatnya pun berpindah-pindah, serta menghadapi persoalan politik yang rumit sehingga sulit berkembang.

Motif serupa juga terjadi dalam penulisan Hikayat Siak, dan secara jelas hikayat ini lahir dari arahan raja-raja Siak. Buktinya amat jelas, ketika hikayat ini ditulis, berkemungkinan kedudukan politik raja-raja Siak telah merosot dan taat setia rakyat semakin berkurang. Untuk tujuan propaganda bagi memulihkan kepercayaan rakyat dan mengembalikan rasa kesetiaan rakyat serta kuasa politik raja-raja Siak yang diwarisi secara turun temurun itu, sebuah piagam yang lahir dalam bentuk tulisan dan dokumen perlu diciptakan. Ciptaan ini lahir dalam suatu bentuk penyusunan semula silsilah raja-raja Siak dari zaman-berzaman itu, disertai dengan peristiwa bersejarah dan yang bersifat “mitos sejarah” yang dialami oleh raja-raja Siak berkenaan. Yang penting ditonjolkan oleh Hikayat Siak

ialah tentang kegiatan politik dan sosial, kemampuan, semangat gigih dan keberanian raja-raja Siak menentang musuh-musuh mereka. Lantaran itu, keunggulan semangat suatu suku Bangsa Melayu perlu ditonjolkan. Sewajarnyalah pengagungan semula dilakukan dengan melahirkan sebuah piagam tertentu yang bertulis.19

(11)

umum yang melahirkan mitos adalah gejala patologis seperti dislokasi sosial, rasa tidak aman kelompok, ekonomi yang kacau, dan depresi psikologis. Mitos sering merupakan upaya untuk menyesuaikan diri pada ketegangan sosial yang luar biasa dan tekanan dari masa sulit. Mitos adalah penangkal dari status quo yang terancam. Unsur-unsur formula mitos yang biasa adalah rasionalisasi, eskapisme

(penghindaran diri dari masalah dengan berbagai jalan seperti berkhayal, dan lain-lain), dan legitimasi.20

Mitos dalam pensejarahan Melayu tidak hanya memberikan justifikasi

untuk tujuan-tujuan politis, tetapi juga untuk mengimbangi kemegahan dan kebanggaan yang sudah tiada, perasaan rendah diri dan perasaan tidak aman. Tambahan lagi, mitos itu dapat pula menutupi dua bentuk kebobrokan moral kelas penguasa, yaitu lemah dan dekadensi.

Salah satu cara untuk dapat mengatasi rasa tidak aman dan cemas adalah dengan jalan membayangkan dunia lain, alam lain, wujud lain di balik kenyataan yang dihadapi saat ini. Yang terjadi adalah membangkitkan zaman keemasan, yakni masa-masa yang penuh kesemarakan melebihi masa kini. Zaman keemasan ini bisa terjadi pada masa yang akan datang atau pun pada masa silam. Shafie Abu Bakar menyebutkan bahwa dengan menceritakan masa-masa kegemilangan yang pernah dicapai pada masa silam – yang tentu saja terdapat kegagalan-kegagalan – akan mempertajam persepsi tentang masa depan. Secara psikologis keagungan silam yang dibanggakan oleh generasi berikutnya, akan menyemaikan rasa keyakinan dan tidak akan merasa hina diri untuk disejajarkan dengan keagungan-keagungan yang pernah dicapai oleh bangsa-bangsa lain.21

(12)

demikian akan dapat mengimbangi rasa ketidakpuasan terhadap kenyataan yang sekarang dihadapi. Ciri-ciri mitos zaman keemasan secara umum adalah sebagai berikut22 :

1. Menganggap bahwa zaman keemasan itu memang pernah terjadi pada masa lalu.

2. Pelaku-pelakunya berupa makhluk-makhluk supernatural (ghaib) atau tokoh-tokoh sejarah yang terkenal.

3. Kejadian-kejadian yang bersifat supernatural (ghaib), magic atau luar biasa yang terjadi pada masa silam.

4. Segala sesuatu yang terjadi pada masa silam tersebut semuanya bersifat ideal.

5. Berkaitan dengan masa lalu yang diangap keramat didasarkan pada adanya makhluk-makhluk supernatural (ghaib) di dalamnya.

6. Mengembangkan keinginan untuk meniru.

7. Perkembangannya dapat ditelusuri pada kondisi-kondisi sosial historis pada masa itu dan biasanya mencerminkan konstelasi sosial-psikologis dari kelompok yang berada di belakangnya.

Dalam kasus dunia Melayu, mitos zaman keemasan itu merupakan upaya kelas penguasa untuk mengatasi perasaan kehilangan kejayaan yang disebabkan oleh runtuhnya Melaka pada awal abad ke XVI. Melaka pada abad ke XV berada pada puncak kejayaan dan kebesaran yang dipandang sebagai masa keemasan dalam perjalanan sejarah politik Melayu. Dan pada masa itu Melaka memainkan peranan yang cukup penting dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga kejayaan Melaka dipandang sebagai contoh yang baik untuk membangkitkan semangat Bangsa Melayu.

(13)

penguasa Melayu. Kisah-kisah yang diceritakan dalam pensejarahan Melayu itu tidak dibuat berdasarkan catatan sejarah yang valid, melainkan dengan menggunakan imajinasi dan fantasi yang bebas untuk menyalurkan ilusi seseorang. Apa yang terlihat dalam kisah-kisah itu bukanlah sejarah Melaka, melainkan sejarah semu dan mitos tentang Melaka yang kebesaran dan kejayaannya terletak pada kaitan atau identifikasinya dengan masa silam yang mitologis. Identifikasi ini diperoleh baik dari peniruan terhadap gambaran masa lalu yang mitologis, atau dengan jalan menyatakan adanya hubungan keturunan kelas penguasa Melayu dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam mitos itu.

Upaya kelas penguasa untuk mengatasi situasi-situasi sulit pada masanya memerlukan justifikasi yang tidak rasional tetapi bersifat mitologis. Masa lalu yang legendaris, ghaib dan mitologis dibangkit-bangkitkan dan masa kini dijelaskan atau dicari dalihnya dengan menggunakan masa lalu yang mitologis tersebut.

Mitos tentang zaman keemasan daspat dilihat sebagai reaksi yang berkonotasi kompensasi psikologis dan mencerminkan kelas penguasa Melayu tradisional. C.G. Jung menganggap khayalan tentang kemegahan sebagai akibat dari “berfikir khayal” sebagai lawan dari “berfikir terarah”. Menurutnya, berfikir terarah terwujud karena menggunakan unsur-unsur bahasa untuk maksud berkomunikasi dan ini sulit serta melelahkan, sedangkan berfikir khayal dilakukan tanpa susah payah, dilakukan secara spontan dengan materi yang siap setiap saat, dan yang diarahkan oleh motif alam bawah sadar. C.G. Jung mempertentangkan berfikir terarah dengan berfikir khayal ; yang satu melahirkan inovasi dan adaptasi, meniru kenyataan dan mencoba berbuat sesuatu terhadapnya, sedangkan yang lainnya mengelakkan diri dari kenyataan, menggunakan tendensi-tendensi subjekif secara bebas, dan menganggap adaptasi tidak produktif.23

(14)

penggambaran yang tidak realistis tentang tokoh-tokoh yang terlibat dan dari ilusi tentang kemegahan yang sama sekali tidak produktif. Mitos zaman keemasan sebagaimana yang disebarluaskan oleh kesusasteraan istana menyelipkan semangat tradisionalisme dan formalisme yang pengaruhnya terus terasa sampai saat ini. Alatas melihat keadaan ini sebagai kecenderungan orang-orang Melayu untuk menyembah masa lalu yang feodalistik itu.24

IV. Mitos Tentang Raja Sebagai Wakil Tuhan.

Penciptaan fiksi yang menonjolkan kehebatan penguasa Melayu dari segi moral merupakan salah satu fungsi utama dari mitos yang terdapat dalam kisah-kisah kesejarahan Melayu. Upaya seperti ini terkandung nuansa-nuansa ideologis tertentu, yaitu untuk memberikan legitimasi bagi posisi orang-orang yang berkuasa dan memberikan justifikasi bagi moralitas mereka.

Dalam kisah-kisah kesejarahan Melayu, penonjolan kehebatan, kekeramatan, dan kemampuan penguasa dalam hal magis dimaksudkan untuk memperdayakan pikiran rakyat agar mereka tetap “bermental budak”, dan kemudian kesetiaan dari rakyat dimanfaatkan oleh penguasa. Kesemua hal-hal tersebut berkenaan dengan gagasan moral dan etika, dan dengannya raja kelihatannya merupakan pemberi keadilan dan pemelihara rakyat, hal-hal tersebut masih tetap secara teoretis bersifat ideal yang hampir-hampir tidak akan pernah tersentuh oleh politik praktis.

Salah satu mitos yang paling berarti yang dikisahkan dalam kesejarahan Melayu adalah yang berkenaan dengan status ‘keilahian’(devinitas) raja. Sejak zaman purbakala, prinsip bahwa ‘keilahian itu memagari raja’ telah menjadi salah satu alat yang paling ampuh untuk memberikan legitimasi keberadaan raja, dengan catatan bahwa raja dilihat sebagai inkarnasi Tuhan atau wakil Tuhan.25

Dalam dunia Melayu ide bahwa raja memerintah melalui tugas keilahian

(15)

Iskandar – yang sebelumnya beliau menyebut nama Allah Ta’ala dan selamat atas nabi-nabi sebelumnya, dan kemudian berkata kepada Raja Kida Hindi bahwa : “Ketahuilah olehmu, hai Raja Kida Hindi, bahwa raja kami inilah yang diserahkan Allah Ta’ala kerajaan dunia ini kepadanya, dari timur (masyrik) sampai ke barat (maghrib), dari utara (daksina) sampai ke selatan (paksina). Telah didengarnya bahwa engkau memiliki seorang puteri yang sangat cantik parasnya, dan raja kami menyatakan harapannya agar engkau menerimanya sebagai menantu, sehingga hubungan antara anak cucu Raja Kida Hindi dengan anak cucu Raja Iskandar tiada putus sampai hari kiamat.26

Ungkapan Nabi Khaidir yang ditujukan kepada Raja Kida Hindi mengandung dua implikasi penting, yaitu ; pertama, kutipan itu tidak berlaku untuk semua raja, melainkan kepada raja tertentu – raja kami inilah – yang ditunjuk secara ‘keilahian’ (devinitas) – yang diserahkan Allah kerajaan dunia ini. Nuansa keagamaan dibangkitkan dalam rangka mengacu tidak saja kepada Tuhan, tetapi juga pada tokoh-tokoh keagamaan yang memiliki sifat-sifat ghaib. Kedua, adanya kesinambungan kekuasaan raja-raja – ikatan anak cucu Raja Kida Hindi dan anak cucu Raja Iskandar tidak akan putus sampai hari kiamat, karena anak keturunannya berasal dari nenek moyang yang hebat dan mewarisi sifat-sifat tersebut. Dengan landasan bahwa asal usul keturunan mereka dari Raja Iskandar, raja-raja Melaka mencoba memberikan legitimasi keberadaan mereka sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini.

Di samping mempertegas hak terhadap fungsi ‘keilahian’ (devinitas), prinsip kepusakaan juga memberikan keabsahan atas dimilikinya asal usul dan sifat-sifat yang penuh keghaiban. Sang Sapurba muncul dari laut dengan menunggang kuda putih dan kedatangannya di Bukit Siguntang telah membuat ladang padi menjadi emas27, dan kemampuan Sang Sapurba merubah air asin

menjadi tawar dengan mencelupkan kakinya di laut ketika berada di Kuala Kuantan.28 Kekuatan ghaib yang dimiliki raja dilihat tidak sebagai atribut pribadi,

(16)

penyakit ‘kedal’ Raja Cina29, ia memberikan legitimasi asal usul keghaiban dan

warisan kekuatan magis yang diperoleh dari nenek moyangnya.

Dalam Sejarah Melayu, Raja Iskandar dan Sang Sapurba berasal dari satu silsilah keturunan merupakan hal yang menarik. Pada suatu saat dalam alur ceritanya, Raja Iskandar – yang secara keilahian – telah ditunjuk menjadi penakluk dunia menganugerahkan kekuatan ghaib dan magis kepada tokoh Sang Sapurba, walaupun mereka mewakili bentuk legitimasi yang berbeda. Raja Iskandar digunakan untuk menampilkan tokoh raja agamis, sedangkan Sang Sapurba untuk menyatakan asal usul yang magis. Yang satu berkaitan dengan jabatan raja, sedangkan yang lain dengan raja pribadi. Legitimasi seperti ini tidak membuat pembedaan antara agama dan magic. Ini menjelaskan kenapa Raja Iskandar dan Sang Sapurba berasal dari satu silsilah keturunan. Sama halnya dengan prinsip kepusakaan yang menghendaki peleburan unsur-unsur keturunan (pertalian darah), silsilah keturunan mengaduk dan mengaburkan batas antara agama dan magic.

Tidak adanya perbedaan antara agama dan magic terjadi pada setiap mitos Melayu berkenaan dengan kerajaan keilahian. Mimpi Raja Kecil besar merupakan contoh perpaduan antara magic dan ide keagamaan dalam mitos Melayu sehubungan dengan kerajaan keilahian ini. Dalam mimpi tersebut Nabi Muhammad muncul untuk mengislamkannya, meludahi mulutnya dan memerintahkannya untuk membaca ayat-ayat suci. Setelah berjalan, sang raja menyadari bahwa dia telah disunat secara magic dan mampu membaca al-Qur’an dengan lancar tanpa diajar.30 Hal serupa juga terjadi daalam proses Islamnya

Merah Silu sebagai calon Raja Pasai.31 Faktor-faktor magic dan keagamaan

(17)

V. Kesimpulan.

Mitos merupakan hal yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia, baik mitos yang menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif bagi perjalanan kehidupan manusia. Banyaknya unsur mitos dalam pensejarahan (historiografi) Melayu membuat karya ini tidak dianggap penting dalam menyampaikan informasi yang absah tentang sejarah orang-orang Melayu. Pandangan seperti ini telah menempatkan historiografi tradisional Melayu menjadi tidak berarti dan cerita yang dikandungnya dianggap hanya sebagai mitos, fabel atau legenda belaka yang tidak mengandung kebenaran rasional. Namun, secara antropologis pengkajian mitos tidak memperbincangkan persoalan benar atau salah, rasional atau irrasional suatu cerita, yang terpenting adalah mitos merupakan produk nalar manusia yang mampu menggambarkan situasi suatu masyarakat tertentu pada waktu tertentu, dan juga menggambarkan world-view penulisnya. Pandangan ini belakangan banyak dianut oleh para sarjana, yang kembali menempatkan atau mempertimbangkan historiografi tradisional sebagai sumber yang sah tentang sejarah lokal suatu masyarakat dan kebudayaannya.

Mitos dalam pensejarahan Melayu – seperti Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Siak – ditulis karena adanya kepentingan-kepentingan atau motif-motif tertentu. Dan semua produk kesejarahan Melayu ditulis untuk kepentingan penguasa dan dilakukan pada saat terjadinya situasi yang tidak menguntungkan bagi para penguasa baik secara politis maupun ekonomis.

Mitos dalam pensejarahan Melayu paling tidak mengandung dua fungsi penting, yaitu, fungsi menjelaskan dan fungsi membenarkan atau justifikasi. Fungsi menjelaskan berkaitan dengan mitos tentang asal usul, dan fungsi pembenaran berkaitan dengan etika atau moral dan wibawa para penguasa. Fungsi

(18)

Catatan :

(19)

1 P.W. Goetz, et.al. (eds.), Encyclopedia Britannica, Vol II, (William Benton Publisher, Chicago, London :

1970) hlm. 529 – 544.

2 Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara,

(Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur : 1992) , hlm. 1

3 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Rosdakarya, Bandung :

1999), hlm. XI.

4 Sebagai contoh, penggunaan historiografi tradisional atau sumber sejarah lokal sebagai data atau rujukan

dalam suatu karya ilmiah telah dilakukan oleh Denys Lombard dalam karyanya Nusa Jawa Silang Budaya (3jilid) dan De Graaf & TH. Pigued, Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI.

5 J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Jilid I, (Gramedia,

Jakarta : 1987), hlm. 39 – 40.

6 Sharifah Maznah Syed Omar, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu, (UNRI Press, Pekanbaru : 1995), hlm. 2. 7 T.D. Situmorang & A. Teeuw (Penyelenggara), Sedjarah Melaju, (Djambatan, Djakarta : 1952), hlm. VIII. 8 Krishna Dwaipayana Vyasa, The Mahabharata (terj.), (Hanuman Sakti, Jakarta : 1995).

9 J. Van Baal, Ibid., hlm. 42 – 43.

10 Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 4 – 5.

11 Andrew Lang, Myth, Ritual and Religion, Vol. II, (Longmans, Green, London : 1913), hlm. 300 – 301. 12 Bronislow Malinowski, Magic, Science and Religion , (Garden City, New York : 1954), hlm. 64. 13 Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 5.

14 Anthony Reid & David Marr (eds.), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, (Grafiti, Jakarta : 1983), hlm. V. 15 T.D. Situmorang & A. Teeuw (Penyelenggara), Ibid., hlm. 22 – 24.

16 A. Samad Ahmad, Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur : 1986),

hlm. 54 – 55.

17 Raja Ali Haji, Tuhfat al-Nafis, (Malaysia Printers Limited, Singapura : t.th.).

18 Abd. Latiff Abu Bakar, Sejarah di Selat Melaka, (United Selangor Press, Kuala Lumpur : 1984), hlm. 1 –

46.

19 Muhammad Yusoff Hashim, Ibid., hlm. 344 – 345.

20 G.M. Cuthbertson, Political Myth and Epic, (Michigan State University Press, East Lansing : 1975), hlm.

160 –161.

21 Shafie Abu Bakar, “Melaka Sebagai Lambang Keagungan Bangsa Melayu”, dalam Abd. Latiff Abu Bakar, Ibid., hlm. 13.

22 Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 44 – 45.

23 C.G. Jung, “Symbol of Transformation”, dalam The Collected Work of C.G. Jung, (Routledge & Kegal Paul,

London : 1956), hlm. 18.

24 S.H. Alatas, Modernization and Social Change, (Angus & Robertson, Sydney : 1972), hlm. 100 – 101. 25 Sharifah Maznah Syed Omar, Ibid., hlm. 60.

Abu Bakar, Abd. Latiff, 1984. Sejarah di Selat Melaka, Kuala Lumpur : United sSelangor Press.

Ahmad, A. Samad, 1986. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Alatas, S.H., 1972. Modernization and Social Change, Sydney : Angus & Robertson.

Azra, Azyumardi, 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan kekuasaan, Bandung : Rosdakarya.

Baal, J. Van, 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), Jilid I, Jakarta : Gramedia.

(20)

Goetz, P.W. et.al. (eds.), 1970. Encyclopedia Britannica, Vol II, Chicago & London : William Benton Publisher.

Hashim, Muhammad Yusoff, 1992. Pensejarahan Melayu Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

--- (Penyelenggara), 1992. Hikayat Siak, Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka

Jung, C.G., 1956. The Collected Work of C.G. Jung, London : Routledge & Kegal Paul.

Lang, Andrew, 1913. Myth, Ritual and Religion, Vol. II, London : Longmans, Green.

Lombard, Denys, 2000. Nusa Jawa Silang Budaya, 3 Jilid, Jakarta : Gramedia.

Malinowski, Bronislaw, 1954. Magic, Science and Religion, New York : Garden City.

Raja Ali Haji, t.th., Tuhfat al-Nafis, Singapura : Malaysia Printers Limited.

Reid, Anthony & David Marr, 1983. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka, Jakarta : Grafiti.

Situmorang T.D. & A. Teeuw (penyelenggara), 1952. Sedjarah Melaju, Djakarta : Djambatan.

Syed Omar, Sharifah Maznah, 1995. Mitos dan Kelas Penguasa Melayu, Pekanbaru : UNRI Press.

Referensi

Dokumen terkait

Dari permasalahan di atas nantinya akan terjadi peningkatan volume pada persimpangan tersebut, sehingga perlu adanya analisa dan evaluasi baik kinerja pengaturan lalu

Sementara Lin dan Liu (2009) menemukan hasil empiris bahwa perusahaan dengan ukuran dewan pengawas yang lebih kecil cenderung kurang menyewa auditor besar.Dari uraian tersebut

Iz definicije marketinga smo vidjeli da je to zasebna funkcija u savremenoj kompaniji u kojoj se odvija više različitih aktivnosti. Te aktivnosti su se razvijale uporedo sa

Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan di depan Pengadilan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam Pasal 28

Rumah Sakit Kartika Cibadak harus menyiapkan ruang isolasi dalam memberi layanan kesehatan bagi pasien yang mengidap penyakit infeksi menular agar tidak terjadi

Jika dalam suatu ekspresi terdapat operand dengan tipe yang berbeda, C++ akan mengkonversikan salah satu tipe sehingga kedua tipe menjadi sama dengan aturan :.. Jika salah satu

Namun hasil penelitian Lut (2008) menunjukkan bahwa pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja karyawan pada PT Electronics Indonesia adalah stress kerja tidak

Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Daerah Kota Tanjungpinang Tahun Anggaran 2012 dan Jaminan Pelaksanaan ditujukan kepada Pengguna Anggaran Sekretariat Daerah