• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS MAKALAH LIBRARY RESEARCH TENTANG A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUGAS MAKALAH LIBRARY RESEARCH TENTANG A"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MAKALAH LIBRARY RESEARCH JUDUL MAKALAH:

“ASEAN HUMAN RIGHTS COMMISSSION (AHRC) DALAM PENYELESAIAN KASUS HAK ASASI MANUSIA Di ASIA TENGGARA”

Disusun Oleh: Nama :

1. Frieda Pratiwi Wijanarko 8111416246 2. Riska Anandya Putri Pratiwi 8111416298

Rombel: 02

Mata kuliah: HUKUM DAN HAM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2017

(2)

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayanh, Kami Panjantkan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami semua, sehingga kam dapat menyelesaikan makalah kami tenttang AHRC DALAM PENYELESAIAN KASUS HAK ASASI MANUSIA Di ASIA TENGGARA. Makalah ini kami susundengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari banyak pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan

makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangaan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata semoga makalah kami dapat memberikan isnpirasi dan manfaat kepada pembaca.

Semarang, Oktober 2017

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

Sampul……… 1

Kata

Pengantar………..2

Daftar

Isi……….3

Bab I Pendahuluan

Latar

Belakang………...4

Rumusan

Masalah……….7

Metode

Penulisan………..8

Bab II Pembahasan

Pembahasan Subjudul

1……….9

Pembahasan Subjudul

2………...12

Pembahasan Subjudul

3………...14

Bab III Penutup

Kesimpulan……… 18

Daftar Pustaka

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

The Association of the Southeast Asian Nations (ASEAN) adalah sebuah organisasi internasional regional di kawasan Asia Tenggara. Ia telah memenuhi kriteria hukum sebagai sebuah organisasi internasional regional ketika Piagam ASEAN diratifikasi oleh semua anggota sehingga berlaku pada tanggal 15 Desember 20 Agustus 1973.1Penandatanganan Piagam ASEAN tersebut disandarkan pada 2 (dua) dasar pemikiran, yaitu: (1). Adanya kepentingan bersama; dan (2). Adanya kenyataan salingketergantungan diantara rakyat dan Negara-Negara anggota ASEAN dalam kesatuan visi, identitas dan komunitas (one vision, one identity, and one community) yang saling peduli dan berbagi bagi terciptanya kemakmuran bersama. Dari dua dasar pemikiran inilah, ASEAN menjadi sebuah organisasi internasional regional yang menjadi institusi pembentuk hukum (law making institution) pertama kali terhadap regionalisasi hukum di kawasan Asia Tenggara, khususnya di bidang hak asasi manusia

(5)

(HAM) seturut dengan ketentuan hukum internasional.2 Secarah historis rumusan konseptual HAM telah muncul dari beberapa doktrin hukum alam, khususnya ajaran Thomas Aquinas, Hugo de Groot. Ajaran-ajaran mereka itu, kemudian disusul oleh lahirnya Magna Charta, petisi hak asasi manusia dan undang-undang HAM Inggris. Sejak ditandatanganinya Magna Charta di Inggris, perkembangan perjuangan hak asasi manusia selanjutnya dilakukan melalui berbagai petisi, deklarasi lainnya. PBB membentuk Komisi Hak-Hak Asasi Manusia. Komisi tersebut berhasil merumuskan naskah pengakuan hak-hak asasi manusia yang dikenal dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Melalui sidangnya, naskah ini diterima dan disetujui oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari hak asasi manusia. Indonesia sudah lama menjadi anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN (Association of South East Asian Nations). Lebih dari 40 tahun keberadaannya, ASEAN telah menandatangani banyak deklarasi dan pernyataan yang menyatukan tujuan-tujuan dan kesepakatan-kesepakatan perhimpunan ini. Namun ASEAN mendapat kritik tajam karena kemajuannya lambat dan kegagalannya menangani isu-isu kontroversial seperti hak asasi manusia (HAM). Cara-cara menghadapi masalah seperti ini membuat perhimpunan negara-negara Asia Tenggara tersebut mendapat julukan “Cara ASEAN” (Asean Way), atau diplomasi berdasar konsultasi dan konsensus tanpa campur tangan.3Mudahnya, rule of law dalam Piagam ASEAN memiliki fungsi yang kompleks dan menentukan dalam penguatan dan perlindungan HAM, yaitu:

(1). Sebagai salah satu elemen dasar perlindungan HAM yang menjadi landasan filosofis adopsi nilai-nilai universal HAM dan partikularisme nilai-nilai bersama Asia Tenggara dalam norma dan mekanismenya;

(2). Sebagai justifikasi pembenar atas dasar pembentukan hukum HAM dalam konteks norma dan prosedurnya; dan

2 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 52-54

(6)

(3). Pengembangan dan penguatan kelembagaan ASEAN dalam perlindungan HAM di Asia Tenggara dalam kaitannya dengan Konvensi-konvensi dasar HAM internasional yang diratifikasi oleh negara-negara anggota ASEAN.

Asian Human Rights Commission (AHRC) menyampaikan apresiasi mendalam kepada enam negara-negara Pasifik yang telah mengangkat dugaan pelanggaran HAM di Papua serta pengormatan terhadap hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.AHRC mengakui bahwa pelanggaran HAM sudah terjadi puluhan tahun di Papua, dan tidak ada upaya serius oleh pemerintah Indonesia untuk menanganinya4.AHRC bahkan mencatat, sejak Papua diintegrasikan ke wilayah Indonesia, banyak pelanggaran HAM sudah terjadi. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tetap tak terjawab karena pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM.AHRC mengakui bahwa ada beberapa inisiatif yang dilakukan pemerintah terkait Papua, seperti Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) di masa Presiden SBY, pembentukan tim KOMNAS HAM untuk persoalan HAM di Papua, kebijakan Presiden Joko Widodo terkait pembebasan beberapa tahanan politik.Namun upaya-upaya tersebut tidak menunjukkan hasil bagi Papua. Sebaliknya, pelanggaran HAM terus terjadi, pembunuh Theys jadi kepala KaBAIS, dan secara umum tidak ada keadilan dan pemulihan terhadap korban. AHRC menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk dengan serius menerima semua poin dan rekomendasi yang diberikan oleh enak negara Pasifik tersebut; pemerintah juga harus membuka akses bagi badan independen untuk memonitor perlindungan HAM di Papua.Pemerintah Indonesia juga diminta untuk membuka ruang dialog dengan rakyat Papua difasilitasi oleh pihak ketiga yang independen dan kredibel dibawah dukungan PBB.

Contoh kasus yang ada di Papua contohnya sebgai berikut:

Peristiwa Abepura, yang terjadi pada awal pekan bulan Desember tahun 2000 itu, adalah satu-satunya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang diakui oleh negara. Meski memakan waktu yang cukup panjang, akhirnya Kejaksaan Agung menyelesaikan penyidikannya hingga mengeluarkan dua tersangka pada akhir November 2002. Prestasi itu bukanlah hal yang

(7)

memuaskan, karena sebagaimana biasa, pelanggaran hak asasi manusia selalu saja hanya menyentuh pelaku-pelaku lokal tanpa mengusik ketenangan para petinggi di Jakarta, yang justru merupakan pemberi perintah dan pengambil kebijakan.Sebagaimana pemicu peristiwa Abepura, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua, sesungguhnya berakar pada usaha menuntut keadilan. Keadilan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang menjadi hak dasar (human rights) masyarakat Papua, yang hingga kini tak pernah dipenuhi oleh negara, yang mengaku menjadi daulat rakyat masyarakat Papua. Kewajiban dasar (generic obligation) dalam memenuhi setiap hak asasi warga adalah dalil kehadiran (raison de ‘etre) hadirnya sebuah negara. Karena itu, jika negara tidak mampu menjalankan kewajibannya maka negara telah kehilangan eksistensinya, dan secara serempak rakyat pun, sebagai pemilik sah negeri itu dihalalkan untuk protes. Respon pemerintah atas protes ketidakadilan itulah yang menjadikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia terus terjadi.

(8)

berbagai gejolak di Papua. Demikian disampaikan oleh Asian Human Rights Commision (AHRC), baru-baru ini.Laporan tersebut bertujuan mencatat kekerasan yang terjadi saat Indonesia meluncurkan beberapa operasi militer di sekitar daerah Wamena dalam rangka menyikapi usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.Dalam proses penyusunan laporan itu, AHRC melakukan kunjungan lapangan, mewawancarai sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah.Laporan ini juga mengandung gambaran-gambaran kejadian seperti pembakaran dan perebusan hidup-hidup para pendukung gerakan kemerdekaan. ini menyerukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana upaya pemenuhan rasa keadilan orang Papua? 2. Bagaimana proses menuju ke Pengadilan HAM?

3. Bagaimana Kelemahan Fundamental Pengadilan HAM ?

C. METODE PENULISAN

Dalam penelitian dan penulisan ini menggunakan pendekatan normatif yuridis menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan hukum primer yang dimaksudkan terdiri dari : Konvensikonvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia, Piagam ASEAN, sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : buku-buku, artikel-artikel, hasil seminar, karya ilmiah maupun hasil penelitian yang memiliki kaitannya dengan obyek penelitian dan penulisan ini.

(9)

HAM, teori adalah sekumpulan ide ataugagasan atau pemikiran mengenai apa itu HAM dan mengapa HAM itu ada dan perlu dipertahankan oleh masyarakat. Ia didasari oleh suatu pernyataan- pertanyaan umum tentang suatu kebenaran-kebenaran tertentu (konsep) dalam hubungan antara subyek hukum HAM dari berbagai sudut pandang pemahaman baik realistis, naturalis, positivis, maupun sosiologis. Dalam kaitanya dengan perlindungan HAM, fungsi aturan perlindungan HAM dapat dipahami kontekstualnya melalui pengertian dalam Teori Fungsi Sosial HAM yang dikemukakan oleh Phillip Allot (Social Function Of International Human Rights Law Theory). Teori ini memandang bawa hukum HAM internasional adalah sebuah system hukum yang terbentuk dan berkembang dari kedan untuk masyarakat internasional suatu masyarakat internasional yang terbentuk dari masyarakat nasional tanpa memandang agam suku dan ras untuk mewujudkan kepentingan Bersama umat manusia yang berdasarkan prinsip-prinsip HAM internasional. Sebagai anggota ASEAN fungsi perlindungan HAM di Indonesia menurut teori ini akan berkorelasi ditemukannya pola untuk permasalahannya tantangan sekaligus kesempatan dalam perlindungan HAM kedepan. Disamping teori tersebut diatas teori kedaulatan negara menjadi kerangka pemahaman yang dapat digunakan sebagai alasan-alasan hukum mengapa negara adalah pihak utama yang memiliki kewajiban perlindungan HAM dan supremasi negara terhadap kemajuan terhadap pelindungan HAM masyarakatnya.5 Teori ini menyatakan kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi yang merdeka dari suatu pengaruh kekuasaan yang lain , yang dimiliki oleh negara untuk mengakui,mengajukan, melindungi dan melaksanakan ketentuan Norma HAM di wilayah negara dan yurisdiksinya. Pertama, pandangan induktif yang menghubungkan antara teori dan riset. Dalam hal ini teori dihasilkan dari riset atau dengan kata lain riset yang dimulai dari penelitian kualitatif berasal dari data-data spesifik kemudian dapat membuat teori baru. Teori dapat dikatakan kuat jika peneliti telah membangun dasar riset yang komprehensif. Kedua, posisi epistimologis yang digambarkan sebagai interpretivis. Ketiga, posisi ontologis yang digambarkan sebagai konstruksionis. Sifat sosial merupakan hasil dari interaksi antara individu daripada fenomena “di luar” dan terpisah

(10)

dari yang terlibat dalam konstruksinya.Dalam metode penelitian kualitatif penulis menjadi instrumen utama dalam pengumpulan dan pengolahan data. Pendekatan kualitatif dikenal sebagai metode penelitian dengan tujuan untuk menyelidiki suatu proses fenomena sosial dengan tiga tahapan yaitu pengumpulan data, pengolahan data dan penulisan laporan penelitian. Pada tahap pengumpulan data, penulis mengandalkan studi literatur dari data primermaupun sekunder. Seperti halnya penelitian kualitatif pada umumnya, proses pengumpulan dan pengolahan data serta penulisan laporan penelitian dilakukan secara bersamaan sehingga memungkinkan adanya perubahan sampai penulis mampu menjawab pertanyaan penelitian.

BAB II

A. PEMBAHASAN

1. Upaya Pemenuhan Rasa Keadilan Orang Papua

a. Acuan Hukum Nasional Dasar perlindungan hak asasi manusia banyak sekali ditemukan dalam perundang – undangan Indonesia. Meski demikian, pelanggaran terhadap hak-hak itu masih nyata menjadi bagian dari praktek politik pemerintah Indonesia. Konstitusi Negara, UUD 1945 hasil Amandemen, telah melahirkan satu bab tersendiri tentang hak asasi manusia. Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal yang memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia.

(11)

Undang-undang Otonomi Khusus No. 21/2001 juga memberikan mandat pada Bab XII tentang Hak Asasi Manusia pasal 45 bahwa: 1. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. 2. Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Semua produk perundang-undangan itu, tidak hanya cacat secara politik, tapi juga gagal menangkap aspirasi populis masyarakat Papua. Karena pada tingkat implementasi sejumlah kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah otonomi tetap dikendalikan pusat. Yang paling mencolok adalah reduksi pasal tentang mandat otonomi khusus di atas, yang sebenarnya adalah masalah hak asasi manusia merupakan urusan pemerintahan otonomi, tetapi dipangkas menjadi tetap urusan pemerintah pusat.

b. Hak-hak Korban Sebagaimana diulas pada bagian pengantar, bahwa Koalisi sangat concern dengan pemenuhan hak korban. Karena itu, berikut ini adalah hak hukum korban yang harus dipenuhi oleh negara.

(12)

persidangan melalui eksplorasi peristiwa. Koalisi, mendesak agar JPU dan majelis hakim dapat memaksimalkan peranan konstitusionalnya dalam pemenuhan hak untuk tahu korban dan publik. Kegagalan pemenuhan hak ini juga telah menjadi catatan dunia internasional, bahwa Pengadilan HAM Timtim tidak imparsial.

2) Rights to Justice (hak atas keadilan) Keadilan bagi korban merupakan hak yang mutlak dipenuhi. Rasa keadilan adalan produk sebuah proses peradilan. Karena itu untuk menjamin hak keadilan ini Koalisi akan melakukan pemantauan dan monitoring agar sidang di pengadilan nanti. Hak atas fair trial (peradilan yang adil dan tidak memihak) adalah sebuah norma dalam hukum HAM internasional yang didesain untuk melindungi individu-individu dari pembatasan yang tidak sah dan sewenang-wenang atau perampasan atas hak-hak dasar dan kebebasan lainnya. Pasal 14 Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menjamin setiap orang berhak atas sebuah peradilan yang adil dan terbuka untuk umum, yangdilaksanakan oleh pengadilan yang kompeten, mandiri, dan tidak memihak serta ditetapkan berdasarkan hukum internasional tentang hak sipil dan politik.

(13)

“work with refugees underscored for me the importance of understanding why people were fleeing these conflicts and what could and should be done to address the root causes. That period exposed me for the first time to grass roots opposition to injustice framed in the language and practice of human rights. Both these experiences underscored for me the central role of human rights, both in discourse and practice, to advancing the interests of communities and peoples subjected to repression and abuse. It was not at all clear then—as it is now—that human rights would consolidate its position as the principal language of liberation from oppression and repression. So it was fascinating for me to have those experiences at a time when I was deciding what I should do with my life. And, yes, those experiences cemented for me that what I wanted to do was human rights and social justice work, full stop.”6

3) Rights to reparation (hak atas pemulihan) Right to reparation adalah hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi pra korban pelanggaran HAM. Esensi utama dari reparasi adalah memperbaiki masa lalu dan menetapkan norma-norma dan praksis yang lebih baik di masa yang akan datang. Reparation, terdiri dari pertama, kompensasi, kewajiban yang harus dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau diberikan dalam berbagai bentuk, perawatan kesehatan mental, fisik, pemberian pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan tanah.

Kedua, restitusi, merupakan kewajiban pengembalian harta milik atau pembayaran atas kerusakan, atau kerugian yang diderita, penggantian biaya-biaya yang timbul sebagai akibat jatuhnya korban atau penyedia jasa oleh pelakunyan sendiri. Dan ketiga, rehabilitasi, yakni kewajiban untuk memulihkan korban secara medis dan sosial. Prof. Theo Van Boven memasukkan pula aspek kepuasan (satisfaction) dan jaminan tak terulangnya kembali pelanggaran HAM (guarantees of non repetition), sebagai salah satu hak yang harus dipenuhi oleh negara dalam bagi korban. Hak atas reparasi merupakan suatu yang

(14)

harus ada dalam putusan pengadilan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Hak inilah yang gagal dipenuhi dalam pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur. Koalisi jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa, Jaksa Penuntut Umum harus memasukkan unsur reparasi ini dalam dakwaan dan tuntutan. Bersamaan dengan digelarnya Pengadilan HAM Timor Timur, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002, tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat. Meski demikian, kehadiran PP tersebut seolah hanya untuk memenuhi mandat UU 26/2000 Pasal 35 saja, tanpa implementasi yang serius. Karena itu koalisi melalui position paper ini mengingatkan agar masalah pemenuhan hak korban dijadikan perhatian bersama.

2. Proses Menuju Pengadilan HAM

Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) Papua untuk kasus pelanggaran HAM di Abepura, Papua, yang dibentuk atas mandat KOMNAS HAM tanggal 5 Februari 2001 Nomor 020/Komnas HAM/II/2001, telah berhasil mengumpulkan fakta dan bukti-bukti yang menunjukkan indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM berat, yang dilakukan secara sistematis pada peristiwa Abepura, 7 Desember 2000. KPPHAM Papua yang bekerja sejak tangal 5 Februari – Mei 2001 dan beberapa kali telah diperpanjang, lantaran permintaan perbaikan berkas dari Kejaksaan Agung telah menyelesaikan tugasnya dan menyusun suatu laporan, yang dihimpun dari 51 saksi korban dan menyerahkannya kepada Kejaksaan Agung. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan sistematis itu mewujud dalam bentuk penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiayaan, dan perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang. Selain itu, dari hasil penyelidikan, ditemukan pula adanya bentuk perbuatan dan pola kejahatan terhadap hak manusia berupa penganiayaan berbasis gender, ras, dan agama.

(15)
(16)

pengadilan koneksitas, yang sebenarnya merupakan lip servis praktek penegakan hukum di Indonesia. Produk yang biasa dihasilkan dari model pengadilan ini adalah terbebasnya terdakwa dari segala tuntutan. Hal inilah yang juga menjadi keprihatinan koalisi. Pengadilan yang akan digelar di Pengadilan HAM Makassarr juga, menjadi sorotan kemungkinan sulitnya akses informasi bagi korban dan masyarakat Papua. Terlebih lagi banyaknya saksi dan saksi korban yang akan memberikan kesaksian di pengadilan itu. Hal ini merupakan masalah tersendiri, mengingat jaminan perlindungan bagi korban dan saksi tidak sepenuhnya dijalankan oleh aparat hukum. Keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) No. 02/ 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, tidak cukup applicabel dan menjamin. Apalagi secara eksplisit tidak disebutkan dalam PP tersebut tentang perlindungan fisik. Ketertundaan Pengadilan HAM, terakhir disebabkan kegagalan Jaksa Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan HAM di Makassar. Alasan yang dikemukakan adalah kesulitan tersangka untuk ikut dalam pelimpahan berkas tersebut, dengan alasan tugas negara.Seharusnya, JPU segera melakukan penahanan terhadap para tersangka yang hingga kini masih berkeliaran bebas. Karena bagaimanapun, pembiaran tersangka untuk tidak ditahan adalah praktek penguatan psikopolitik para tersangka, untuk kemudian dianggap tidak terbukti melakukan kejahatan. Jika saja Negara Indonesia berhasil membuat kerangka pemerintahan (framework of governance) yang lebih beradab dan demokratis, Indonesia termasuk dalam jajaran negara yang tidak berhasil merumuskan kerangka pemerintahannya. Masyarakat Inuit (Kanada), Sami (ujung utara Norwegia-Swedia), dan pemerintahan lokal (home rule) di Greenland, Denmark, adalah contoh-contoh terbaik dari keberhasilan memadukan antara pembangunan dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Berlawanan dengan pola beradab dan demokratis, Negara Indonesia sepertinya tidak atau belum menemukan pola yang lebih humanis dalam membangun kehidupan di Papua. Kasus Abepura adalah “ujung gunung es” dari pola sistematis aparat keamanan dalam memojokkan dan memecah belah masyarakat Papua.

(17)

Bahwa keberadaan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM merupakan reaksi terhadap dunia internasional yang ingin mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur pasca jejak pendapat jelas tak dapat dipungkiri oleh siapapun. Sementara secara positif harus dikatakan bahwa keberadaan UU tersebut patut diapresiaasi sebagai bukti bahwa Bangsa Indonesia berkehendak baik (goog will) untuk menyelesaikan sendiri dugaan pelanggaran HAM melalui pengadilan HAM nasional. Secara substansial, UU Pengadilan HAM merupakan adaptasi parsial atas substansi Statuta Roma.7 Sebagaimana mafhum, yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional sesuai Statuta Roma meliputi empat kejahatan extraordinary, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusian, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi dari Pengadilan HAM hanya meliputi dua jenis kejahatan. Pertama, kejahatan Genosida. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,kelompok agama, dengan cara: a) membunuh anggota kelompok, b) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok, c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, d) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan e) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Secara umum pengertian dan penjelasan mengenai kejahatan

genosida dalam UU no. 26 Tahun 2000 tidak berbeda dengan pengertian kejahatan genosida menurut statuta Roma tahun 1998.

Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a) pembunuhan, b) pemusnahan, c) perbudakan, d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, e) perampasan

(18)

kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, f) penyiksaan, g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemanduan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk bentuk kekerasan seksual lain yang setara, h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, i) penghilangan orang secara paksa; atau j) x. kejahatan apartheid. Ketentuan kejahatan terhadap kemanusiaan, undang-undang no. 26 tahun 2000 mengacu “hampir sepenuhnya” pasal 7 Statuta Roma melalui penerjemahan.Selain itu, kelemahan lain dari UU Pengadilan HAM adalah pada aspek hukum acaranya. Secara garis besar, hukum acara Pengadilan HAM meliputi empat kewenangan utama, yakni penyelidikan, penyidikan (di dalamnya termasuk penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidikan), penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. 8Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM dengan cara membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisioner Komnas HAM dan unsure masyarakat (Pasal 18 UU No. 26 tahun 2000). Kewenangan

yang diberikan dalam rangka pelaksanaan penyelidikan meliputi: a) melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, b) menerima laporan atau pengaduan dan seseorang ataukelompok orang tentang teradinya pelanggaran HAM berat, serta mencari keterangan dan barangbukti, c) memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya, d) memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, e) meminjam dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu, f) memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan

(19)
(20)

Procedure and Evidence sebagai hukum acaranya, dan Element of Crimes sebagai penjelasan unsur-unsur kejahatannya. Dua aturan tersebut memberikan pemahaman yang sama mengenai substansi sekaligus tata caranya kepada hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam rangka pengadilan pelaku-pelaku kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Ketiadaan dua peraturan yang mestinya ada dalam Pengadilan HAM di Indonesia membuat terjadinya kebingungan bagi aparat penegak hukum yang terlibat dalam Pengadilan HAM, sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda-beda. Hal itu tidak terjadi antara penyelidik dengan penyidik dan penuntut atau penyidik dan penuntut dengan hakim, bahkan terjadi di antara hakim itu sendiri misalnya. Pada akhirnya setiap perbedaan perspektif mengenai substansi dan tata beracaranya, kemudian terjadi pelemahan signifikansi UU Pengadilan HAM, sebab semuanya kemudian dikembalikan kepada Pasal 10 yang berbunyi: “Dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang—undang ini, hukum acara atas perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.”

Kelemahan lain dari UU Pengadilan HAM adalah penelikungan transliteratif atas prinsip-prinsip dan ketentuan mengenai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Statuta Roma.

BAB III

KESIMPULAN

(21)
(22)

DAFTAR PUSTAKA

Cavallaro,James . 2011. “ An Interview With James Callvaro” London: International Law Journal, Vol 52, No. 21. 15-37.

Davidson, Scot .1994. Hak Asasi Manusia. Jakarta :Pustaka Utama Grafiti.

Hafiz,Muhammad. 2013. ” Humanitas Jurnal Dan Pendidikan HAM”,. Medan: Jurnal kajian Dan Pendidikan HAM, Vol. IV, No. 2. 45-112.

Jakatriyana,Herry Bertus . 2014. “ASEAN Dan Penguatan Rule Of Law Hukum Hak Asasi Manusia di Kawasan Asia Tenggara”, Jakarta: Journal Opinion Juris, Vol. 15. No. 2. 45-103

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.1997. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Muhtaj, El Majda. 2008 .Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.

Soetjipto, Ani W. 2015. Ham dan Politik Internasional : Sebuah Pengantar,.yayasan pustaka obor Indonesia, Jakarta .

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pelayanan keperawatan di rawat inap khususnya di Ruang perawatan Anak, standar sangat membantu perawat untuk mencapai asuhan yang berkualitas sehingga harus berfikir realistis

•Kedua sektor merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di suatu negara dan menggunakan sumber daya yang sama untuk mencapai tujuan organisasi.. •Keduanya menghadapi masalah

Dengan statistik menggunakan uji Chi- Square Test didapat p-value 0.178> (0.05) maka hasil dari penelitian dapat disimpulkan H 0 diterima dan H a ditolak yang

Komponen tersebut sangat dibutuhkan manakala seseorang akan memulai berwirausaha, namun demikian permasalahannya adalah tidak semua lembaga penyandang cacat baik dari

bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran

Secara parsial, faktor-faktor luas lahan, produksi, jumlah pembelian benih, secara signifikan mempengaruhi produktivitas padi, sedangkan penggunaan pupuk urea dan

Latar Belakang www.themegallery.com PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA METODE PENELITIAN PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan: (1) pengembangan modul pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing didesain dengan tahapan pembelajaran: merumuskan masalah,