• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kesesuaian Dosis Obat Antihipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode Januari - Juni 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kesesuaian Dosis Obat Antihipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode Januari - Juni 2015"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

Hipertensi adalah kondisi paling umum yang dapat menyebabkan infark miokard, stroke, gagal ginjal, dan kematian jika tidak segera diobati atau ditangani. Pasien juga diyakinkan bahwa pengobatan tekanan darah akan mengurangi beban dari penyakit tersebut, dan dokter akan memberikan pengobatan yang sesuai dengan managemen hipertensi (James, et al., 2013).

2.1.1 Epidemiologi

Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberikan gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke, penyakit jantung koroner. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan di Indonesia dan beberapa negara yang ada di dunia. Semakin bertambahnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi akan bertambah. Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 miliyar kasus di tahun 2025 (Armilawati, et al., 2007).

(2)

2.1.2 Etiologi

Hipertensi terjadi karena faktor keturunan, obesitas, jenis kelamin, usia, konsumsi garam dan tingkat stres serta kebiasaan buruk. Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial adalah hipertensi tanpa kelainan dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi esensial. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan. Hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), obat-obatan (Gunawan, 2007).

2.1.3 Patofisiologi

Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau esensial). Hipertensi sekunder bernilai kurang dari 10% kasus hipertensi, pada umumnya kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ginjal kronik. Beberapa obat yang dapat meningkatkan tekanan darah adalah kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non Steroid), amphetamine, siklosporin. Multifaktor yang dapat menimbulkan hipertensi primer adalah ketidaknormalan humoral meliputi sistem renin-angiotensin-aldosteron (Sukandar, et al., 2008).

2.1.4 Klasifikasi hipertensi

(3)

detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC), membuat klasifikasi yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu (Gunawan, 2007). Berdasarkan JNC VIII (2013), klasifikasi tekanan darah dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan JNC VIII, 2013

Klasifikasi Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)

Normal < 120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi

Tingkat 1 140-159 90-99

Tingkat 2 ≥160 ≥100

Sumber: (JNC VIII, 2013).

2.2 Gangguan Ginjal Kronik (GGK)

Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih atau sama dengan tiga bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomelurus (LFG) dengan persentasi berupa kelainan struktur ginjal. Pertanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin, atau uji pencitraan ginjal, serta LFG lebih kecil dari 60 ml/menit/1,73m2 dan lebih atau sama dengan tiga bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Sukandar, 2013).

2.2.1 Epidemiologi

(4)

tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur, NTB, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, dan Riau (Kemenkes, RI., 2013).

Beberapa penelitian telah dilakukan di kota Medan untuk mengetahui prevalensi penyakit GGK diantaranya penelitan yang telah dilakukan oleh Romauli (2009), menunjukkan bahwa penderita GGK yang di rawat inap di RSUD. Dr. H. Kumpulan Pane Tebing Tinggi pada tahun 2007 terdapat 80 orang (54,1%) dan tahun 2008 terdapat 68 orang (45,9%). Penelitan serupa juga telah dilakukan pada pasien GGK rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan, menunjukkan bahwa pada tahun 2004-2007 terus terjadi peningkatan jumlah pasien GGK, dimana pada tahun 2004 terdapat 116 orang (12,5%), tahun 2005 terdapat 189 orang (20,2%), tahun 2006 terdapat 275 orang (29,4%) dan tahun 2007 terdapat 354 orang (37,9%) (Ginting, 2008). Penelitan yang dilakukan Fransiska (2014) pada periode September 2013 - Maret 2014 pasien GGK yang di rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan sebanyak 123 orang dan terdiri dari pasien Jamkesmas dan BPJS, telah baik dan sesuai dengan yang direkomendasikan berdasarkan pedoman standar pengobatan di RSUP H. Adam Malik Medan dan menurut NKF/KDOQI (Fransiska, 2014).

2.2.2 Etiologi

(5)

Gangguan ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15-20% (Sukandar, 2013).

2.2.3 Klasifikasi GGK

Klasifikasi derajat penurunan LFG sangat penting untuk panduan terapi konservatif dan saat dimulai terapi pengganti faal ginjal. Derajat penyakit ginjal kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Iniciative (NKF-K/DOQI) (2004) dapat dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2. Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik

Derajat Penjelasan LFG

(ml/menit/1,73m2) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

meningkat

≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60-89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30-59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15-29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Sumber : NKF-KDOQI (2004)

Menurut Sukandar (2013), banyak hal yang dapat menyebabkan gangguan ginjal kronik. Berikut adalah hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik pada pasien gangguan ginjal yaitu:

a. Penurunan faal ginjal (LFG = 40-75%)

Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih dapat dipertahankan normal.

b. Insufiensi renal (LFG = 20-50%)

(6)

retensi azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia dan hiperurikemia.

c. Gagal ginjal (LFG = 5-25%)

Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata: anemia, hipertensi, dehidrasi, kelainan laboratorium seperti hiperurikemia, kenaikan ureum dan kreatinin serum, kalium K+ serum biasanya masih normal.

d. Sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5%)

Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik sangat komplek dan melibatkan banyak organ.

2.3 Farmakokinetik pada Pasien GGK

Ginjal termasuk organ eliminasi utama di samping hati. Dalam ginjal proses ekskresi, ginjal melakukan filtrasi, sekresi dan reabsorbsi, yang mana proses ini dipengaruhi oleh kecepatan dan aliran darah ginjal. Oleh sebab itu setiap kejadian yang mengubah aliran darah ginjal akan mengubah kecepatan dan jumlah obat yang diekskresi oleh ginjal. Disamping itu dalam proses filtrasi oleh glomeruli, karena yang lolos filtrasi adalah obat yang tak terikat protein (albumin). Seperti diketahui, karena biosintesis protein terjadi di hati, maka normalitas fungsi hati secara tidak langsung turut menentukan kapasitas ekskresi ginjal (Hakim, 2013).

2.3.1 Absorbsi dan Bioavailabitas

(7)

dilakukan berbagai upaya antara lain mengganti cara pemberian, memberikan obat yang merangsang motilitas lambung dengan menghindari pemakaian bersama obat yang mengganggu absorbsi dan motilitas (Nasution, et al,. 2003).

2.3.2 Volume Distribusi

Volume distribusi (Vd) merupakan rasio antara dosis obat yang diberikan dan konsentrasi obat dalam plasma. Obat dengan konsentrasi plasma rendah, seperti digoksin, volume distribusinya hampir sama dengan cairan tubuh total, sedangkan obat dengan ikatan protein yang kuat mempunyai volume distribusi lebih rendah. Akan tetapi untuk obat yang sangat kuat berikatan dengan albumin, oleh karena terjadi gangguan pengikatan albumin, menyebabkan peningkatan jumlah obat bebas sehingga terjadi perubahan volume distribusi (Nasution, et al,. 2003).

2.3.3 Metabolisme

Ginjal merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh, tetapi efek gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua kasus saja, yaitu ginjal bertanggung jawab terhadap kebutuhan insulin pada pasien diabetes yang mengalami gagal ginjal akut sering menjadi berkurang. Jadi pada keadaan ini bukan hanya obat-obat yang sebagian besar tereliminasi oleh ginjal saja yang terpengaruh, namun obat-obat yang sebagian besar termetabolisme juga mengalami perubahan klirens (Hakim, 2013).

2.3.4 Ekskresi Ginjal

(8)

glomeruler, sekresi tubulus atau reabsorpi. Ekskresi merupakan parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh gangguan ginjal. Apabila filtrasi glomerular terganggu oleh penyakit ginjal, maka klirens obat tereliminasi terutama melalui mekanisme ini menjadi lebih panjang (Hakim, 2013).

2.4 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal

Kreatinin merupakan metabolit endogen yang sangat berguna untuk menilai fungsi glomerulus. Semuanya diekskresikan melalui ginjal dengan proses filtrasi glomerulus bebas dengan ekskresi tubulus yang minimal. Beberapa jenis obat-obatan dapat mempengaruhi sekresi kreatinin melalui tubulus dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kreatinin dan penurunan bersihan kreatinin tanpa perubahan LFG. Konsentrasi plasma kreatinin dan konsentrasi kreatinin urin juga harus diperiksa. Nilai normal bersihan kreatinin berkisar 120 ml/menit dan dapat bervariasi sesuai dengan permukaan tubuh (Hakim, 2013).

2.4.1 Pemeriksaan Kreatinin Serum

Pemeriksaan konsentrasi kreatinin serum sangat mudah dan secara klinis sangat berguna untuk menilai LFG (fungsi ginjal). Kreatinin klirens menggambarkan kesetimbangan antara produksi kreatinin dengan pengeluarannya oleh ginjal (Hakim, 2013). Zat yang terutama berasal dari metabolisme organ ini hanya mengalami proses filtrasi glomerulus, sedangkan sekresi tubulus sangat minimal sehingga dapat diabaikan (Effendi dan Markum, 2006).

2.4.2 Pemeriksaan Perhitungan LFG

(9)

mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu. LFG dipengaruhi usia, jenis kelamin, luas permukaan badan, dan dapat dihitung dengan memakai:

a. Persamaan Cockcroft-Gault: Untuk pria:

Untuk perempuan:

LFG = nilai pada pria x 0,85

Namun demikian perhitungan yang terbaik untuk LFG adalah dengan menentukan bersihan kreatinin. Nilai normal untuk bersihan kreatinin adalah sebagai berikut: Laki-laki = 97-137 mL/menit/1,73m2 atau = 0,93-1,32 mL/detik/m2

Perempuan = 88-128 mL/menit/1,73m2 atau 0,85-1,23 mL/detik/m2 b. Persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD):

Untuk pria : GFR (mL/menit/1,73m2) = 175 x (Scr)-1,154 x (usia)-0,203 Untuk perempuan : GFR pada pria dikalikan 0,742

[Scr = kreatinin serum dalam mg/dL, usia dalam tahun. Jika pasien kelebihan berat badan atau kegemukan, kalikan GFR yang diperoleh dengan BSA/1,73 sehingga ditemukan GFR dalam mL/menit]

(10)

2.5 Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK

Pada gangguan ginjal riwayat penyakit dan penyakit lainnya (seperti: kelainan hati) yang mempengaruhi metabolisme obat perlu diketahui dengan jelas. Juga perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat dan kemungkinan alergi obat. Catatan medis harus diteliti dengan cermat terutama bila ada penambahan obat baru. Pemeriksaan fisik seperti: tinggi badan, berat badan, adanya edema atau dehidrasi perlu diidentifikasi untuk pengaturan dosis obat (Nasution, et al,. 2003).

2.5.1 Dosis Loading

Dosis loading yang ditubutuhkan guna tercapainya konsentrasi obat yang diinginkan di dalam darah. Dalam keadaan normal pencapaian dosis terapeutik memakan waktu 4-5 kali waktu paruh obat. Pada gangguan ginjal waktu paruh beberapa jenis obat akan memanjang sehingga dibutuhkan pemberian dosis loading. Umumnya dosis loading semua pasien hampir sama tanpa memperhatikan fungsi ginjal. Akan tetapi penyesuaiaan dosis tetap diperlukan sesuai dengan perhitungan berdasarkan berat badan (Nasution, et al,. 2003).

2.5.2 Dosis Pemeliharaan

(11)

2.6 Penyakit Hipertensi pada Pasien GGK

Berkembangnya penyakit GGK dapat diatasi dengan pengobatan hipertensi. Diuretik, ß-bloker, Angiotensin Converting Enzyme-Inhibitor (ACE-I), dan antagonis kalsium semuanya efektif pada pasien dengan gagal ginjal dini. ACE-I dan Calsium Channel blocker (CCB) tidak mengubah metabolisme glukosa atau lipid, memiliki efek yang diinginkan pada hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki efek nefroprotektif. ACE-I memiliki manfaat tambahan berupa berkurangnya proteinuria pada pasien baik dengan penyakit diabetik maupun nondiabetik (Rubenstein, et al., 2005).

Hipertensi dalam penyakit gangguan ginjal dapat dikelompokkan dalam: pada penyakit glomerulus akut, penyakit vascular, penyakit gagal ginjal kronik stage III-V dan penyakit glomerulus kronik. Hipertensi oleh karena hal-hal sebagi berikut: retensi natrium, peningkatan system RAA akibat iskemik relative karena kerusakan regional, aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal (Agus, 2006).

2.7 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien GGK

(12)

a. Golongan Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium (Gunawan, 2007). Golongan Diuretik terutama digunakan adalah zat-zat long-acting berhubung pentakarannya praktis sebagai single-dose, yang meningkatkan kesetiaan pasien pada obat (Tjay dan Rahardja, 2007).

b. Golongan ACE-I

Secara umum ACE-I dibedakan atas dua kelompok yaitu kelompok pertama yang bekerja langsung seperti captopril dan lisinopril dan kelompok kedua berperan sebagai Prodrug seperti enalapril, kuinapril, ramipril (Gunawan, 2007). Efek peniadaan pembentukan angiotensin II adalah vasodilatasi dan berkurangnya retensi garam dan air. Captopril digunakan pada hipertensi ringan sampai berat dan pada dekompensasi jantung. Diuretik memperkuat efeknya, sedangkan kombinasinya dengan ß-bloker hanya menghasilkan adisi. Efek samping dari kaptopril adalah batuk kering (Tjay dan Rahardja, 2007).

(13)

sekitar 75%. Ekskresi terutama terjadi melalui ginjal. Dosis captopril adalah 25-150 mg per hari dan enalapril 10-40 mg per hari. Zat penghambat sintesis prostaglandin (misalnya indometasin) akan memperlemah kerja inhibitor ACE (Mutschler, 2006).

c. Golongan ß-bloker

Golongan ß-bloker merupakan satu obat yang sering digunakan untuk mengatasi hipertensi. Dalam distribusinya sekitar 30% terikat oleh protein dan sebesar 50% diekskresikan tidak berubah dalam urin dengan waktu paruh selama 9-12 jam (Ashley dan Currie, 2009). Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian ß-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor ß1 antara lain: (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II; (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor (Gunawan, 2007).

d. Golongan CCB

(14)

pada pemberian dosis sekali sehari. Sebanyak 97,5% amlodipin dalam sirkulasi terikat dengan protein plasma (Ashley dan Currie, 2009).

Antagonis kalsium hanya sedikit sekali yang diekskresi dalam bentuk utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal. Antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan antihipertensi tahap pertama. Sebagai monoterapi sama dengan obat antihipertensi lain. Antagonis kalsium terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin yang rendah seperti pada usia lanjut (Gunawan, 2007).

e. Golongan Angiotensin Receptor Bloker (ARB)

Berlainan dengan penghambat ACE, zat ini tidak menghambat enzim ACE yang merombak angiotensin I menjadi angiotensin II, melainkan memblok reseptor angiotensin II dengan efek vasodilatasi. Efek maksimalnya baru nyata setelah beberapa minggu (Tjay dan Rahardja, 2007). ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah (Gunawan, 2007).

2.8 Obat Antihipertensi yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK

(15)

juga harus disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal (Sukandar, 2006).

Strategi untuk menyesuaikan dosis pada pasien gangguan ginjal dapat membantu dalam terapi obat individu dan membantu meningkatkan keamanan obat. Metode yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah dengan mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi keduanya (Munar dan Singh, 2007).

Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit maka perlu penyesuaian dosis obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat efek terapeutik maksimal tanpa efek samping. Berikut beberapa macam obat antihipertensi yang perlu penyesuaian dosis saat diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal, yaitu: golongan ACE-I (Captopril, Lisinopril, Ramipril, Benazepril, Enalapril), golongan ß-bloker (Bisoprolol dan Atenolol) dan golongan diuretik tidak perlu penyesuaian dosis (Munar dan Singh, 2007).

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah  berdasarkan JNC VIII, 2013

Referensi

Dokumen terkait

Pada hari ini, Rabu tanggal tujuh belas bulan Oktober tahun dua ribu dua belas, Panitia Pekerjaan Pembangunan Kanopi Kantor Dewan Pertimbangan Presiden Tahun

KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL TAHUN PELAJARAN 20… / 20… MATA PELAJARAN : Matematika.. KELAS / SEMESTER : II (Dua)

30 Desember 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian.. Keuangan Provinsi Sumatera Utara tanggal 30 Desember 2016 melalui Aplikasi

berkesimpulan bahwa pelelangan ini gagal karena tidak ada peserta yang lulus evaluasi penawaran,. dan membatalkan lelang atau mengulang lelang paket pelelangan ini dalam

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, negosiasi teknis dan harga serta verifikasi dokumen kualifikasi oleh Kelompok Kerja Khusus Pengadaan

tersendiri dal.am masalah pelaksanaan usaha-usaha kesejahteraan sosial sesuai dengan tugas dan fungsinya serta tata-kerja Fekerja Sosial Masyarakat (PSM),

dalam antenatal care akan meningkatkan tindakan pencegahan Tuberkulosis pada ibu.. hamil di Puskesmas Umbulharjo

Dalam penulisan ilmiah ini penulis mempunyai tujuan untuk menghitung besarnya break even point multi produk sebagai dasar perencanaan laba pada industri Maya Bakery. Setelah