A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang
sering dijumpai pada anak-anak dengan keadaan ringan hingga berat.
ISPA merupakan kelompok penyakit yang dapat menginfeksi pada
berbagai daerah lapisan masyarakat dan di berbagai daerah dengan letak
geografis yang berbeda. Menurut laporan WHO, angka kesakitan akibat
infeksi saluran pernapasan akut mencapai 8,2%. Kunjungan kesehatan
akibat infeksi saluran pernapasan akut dilaporkan sebanyak 20% di negara
berkembang. WHO memeperkirakan insidensi ISPA pada balita di atas 40
per 1000 kelahiran hidup atau 15-20% pertahun pada 13 juta anak di
dunia. Tahun 2013, 1,9 juta (95%) anak-anak diseluruh dunia meninggal
karena ISPA, 70% dari afrika dan Asia tenggara.
Di Indonesia, infeksi saluran pernapasan akut menempati urutan
pertama pada tahun 2008, 2009 dan 2010 dari 10 penyakit terbanyak pada
pasien rawat jalan di Indonesia. ISPA merupakan penyakit yang masih
tinggi persebarannya di Indonesia. Berdasarkan hasil laporan Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, prevalensi ISPA di
Indonesia sekitar 25,5% dengan prevalensi tertinggi pada bayi dua tahun
tahun atau sebanyak 12.500 balita perbulan atau 416 kasus sehari atau 17
balita per jam atau satu orang balita per lima menit. Sehingga dapat
disimpulkan prevalensi penderita ISPA di Indonesia sebanyak 9,4%.
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) tersebar di seluruh Provinsi
Jawa Tengah dengan rentang prevalensi yang sangat bervariasi (10,7,1 –
43,1%). Angka prevalensi ISPA dalam sebulan terakhir di Provinsi Jawa
Tengah adalah 29,1%. Prevalensi di atas angka provinsi ditemukan di 16
Kabupaten / Kota, dengan kasus terbanyak ditemukan di Kabupaten
Kudus.
Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan
meliputi pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan
kepadatan hunian rumah. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat
badan lahir, status nutrisi, vitamin A, ketahanan fisik dan status imunisasi.
Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan
penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah
praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu
ataupun anggota keluarga lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2010:19).
Menurut UU Nomor 23 tahun 1992, pembangunan kesehatan
adalah bagian dari kesehatan nasional yang bertujuan meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat tiap orang agar
sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan kesehatan.
(Adisasmito, 2007)
Pada umumnya orang tua menganggap remeh penyakit batuk pilek
tidak membahayakan karena biasanya penyakit ini dapat mengenai anak
berulang kali. Tetapi mereka tidak mengerti bahwa penyakit ini dapat
berkembang menjadi penyakit yang berat jika tidak diobati dan ditangani
dengan segera terutama pada saat daya tahan tubuh anak menurun. Salah
satu penyakit yang diderita oleh sebagian besar masyarakat adalah infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA). Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
adalah infeksi saluran pernafasan akut yang mengenai struktur pernafasan
bagian atas dan bawah. Infeksi saluran pernafasan akut sampai saat ini
masih menjadi permasalahan diberbagai negara terutama negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia. (Departemen Kesehatan RI, 2007)
Penyakit ini merupakan penyebab utama tingginya angka
mortalitas dan morbiditas pada anak di negara maju dan berkembang,
terutama pada usia dibawah lima tahun yaitu 1 dari 4 kematian yang
terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA
setiaptahunnya. Pada tahun 2007 sekitar 40-60% dari kunjungan di
puskesmas adalah penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan
oleh ISPA mencakup 20-30%, kematian yang terbesar umumnya adalah
karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari dua bulan.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas
1 Madukara didapatkan data bahwa jumlah kunjungan pasien ISPA pada
anak usia 0-5 tahun pada bulan Januari sampai Juni 2017 yaitu sebesar 85
kasus.
Hasil wawancara terhadap 5 orang tua pasien penyakit ISPA pada
anak usia 3-5 tahun yang telah dirawat di Puskesmas 1 Madukara
didapatkan gejala awal balita terkena ISPA seperti batuk selama beberapa
hari, pilek, panas (demam), lemas, sesak nafas, dan kurang nafsu makan.
Berdasarkan wawancara terhadap ketahanan fisik meliputi aspek jenis
kelamin, aktivitas fisik, tingkat kelelahan, intensitas bermain, dan status
imunisasi, dari ke 5 balita yang terkena ISPA 3 balita berumur 4 dan 5
tahun, ke 3 balita teresbut merupakan anak yang aktif bermain dan jenis
kelamin laki-laki semua. Sedangkan 2 balita yang lain jarang beraktifitas,
banyak diam, tidak mudah lelah, dan berumur 3 dan 4 tahun. Berdasarkan
wawancara tentang status imunisasi, ke 5 balita tersebut sudah di
imunisasi lengkap.
Dari latar belakang tersebut diatas merasa perlu untuk melakukan
penelitian berjudul “Hubungan Ketahanan Fisik terhadap Pegetahuan ibu
tentang Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di
B. Rumusan Masalah
Angka kesakitan akibat infeksi saluran pernapasan akut mencapai
8,2%. Kunjungan kesehatan akibat infeksi saluran pernapasan akut
dilaporkan sebanyak 20% di negara berkembang. Jumlah balita dengan
ISPA di Indonesia pada tahun 2011 adalah 5 per 1000 yang berarti
sebanyak 150.000 balita meninggal per tahun atau sebanyak 12.500 balita
perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 balita per jam atau satu orang balita
per lima menit. Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA
yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor
individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status nutrisi, vitamin
A, ketahanan fisik dan status imunisasi.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Puskesmas
1 Madukara didapatkan data bahwa jumlah kunjungan pasien ISPA pada
balita usia 0-5 tahun pada bulan Januari sampai Juni 2017 yaitu sebesar 85
kasus. Berdasarkan wawancara terhadap ketahanan fisik meliputi aspek
jenis kelamin, aktivitas fisik, tingkat kelelahan, intensitas bermain, dan
status imunisasi, dari ke 5 balita yang terkena ISPA 3 balita berumur 4 dan
5 tahun, ke 3 balita teresbut merupakan anak yang aktif bermain dan jenis
kelamin laki-laki semua. Sedangkan 2 balita yang lain jarang beraktifitas,
banyak diam, tidak mudah lelah, dan berumur 3 dan 4 tahun. Berdasarkan
wawancara tentang status imunisasi, ke 5 balita tersebut sudah di
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka rumusan
masalah yang dapat diambil adalah :
Apakah ada Hubungan Ketahanan Fisik terhadap Pegetahuan ibu tentang
ISPA pada Balita di Wilayah Puskesmas 1 Madukara?
C. Tujuan Penelitan
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan ketahanan fisik terhadap pegetahuan ibu tentang
ISPA pada balita di wilayah Puskesmas 1 Madukara
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik responden (jenis kelamin anak, usia anak,
pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua)
b. Mengetahui kriteria ketahanan fisik pada balita di wilayah
Puskesmas 1 Madukara
c. Mengetahui kriteria pegetahuan ibu tentang ISPA pada balita di
wilayah Puskesmas 1 Madukara
d. Mengetahui hubungan ketahanan fisik terhadap pegetahuan ibu
tentang ISPA pada balita.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Bidang Akademik
Hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan perpustakaan
tentang ISPA pada balita yang dapat dijadikan penyusunan karya tulis
ilmiah sebagai tugas akhir perkuliahan.
2. Bagi Profesi
Dapat dijadikan masukan bagi teman sejawat untuk mendapatkan
pengetahuan tentang hubungan ketahanan fisik terhadap pegetahuan
ibu tentang ISPA pada balita.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian digunakan sebagai informasi baik kepada masyarakat
luas hubungan ketahanan fisik terhadap pegetahuan ibu tentang ISPA
pada balita.
4. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan memperoleh pengalaman dalam
penelitian di bidang keperawatan khususnya sesuai dengan judul yang
diangkat yaitu Hubungan ketahanan fisik terhadap pegetahuan ibu
tentang ISPA pada balita.
E. Penelitian Terkait
1. FX. Suwarto (2015). Hubungan antara ketahanan fisik mental spiritual
dan kemampuan mengelola stres serta tingkat Kepercayaan diri dengan
motivasi kerja. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis,
verifikatif (kausalitas), maka metode yang dipakai dalam penelitian ini,
adalah metode survai, unit analisis adalah karyawan/para petugas front
office, sifat penelitian adalah cross sectional. Hubungan antara
dilakukan pengontrolan terhadap variabel (X2)., kadar hubungan adalah
signifikan, tetapi bila dilakukan pengontrolan terhadap (X3) korelasi
parsial signifikan. Dan jika dilakukan pengontrolan terhadap variabel
(X2) dan variabel (X3) secara bersama-sama diperoleh koefisien
korelasi parsial tidak signifikan, maka dapat disimpulkan hubungan
antara ketahanan fisik mental spiritual (X1) secara parsial dengan
motivasi kerja (Y) adalah signifikan.
2.
Sidratulmuntaha Jaihar (2013). Analisis status gizi dan aktivitas fisikdengan ketahanan fisik Siswa di Sekolah Polisi Negara (SPN) Batua
Makassar, Sulawesi Selatan. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian survei analitik dengan rancangan cross sectional study. Hasil
penelitian ini menunjukkan status gizi siswa sebanyak 0,5% kurus,
98,5% normal, dan 1,0% overweight. Aktivitas fisik keseluruhan siswa
tergolong ringan. Ketahanan fisik siswa sebanyak 0,5% cukup, 91,2%
baik, dan 8,3% istimewa. Ada hubungan yang tidak signifikan antara
status gizi menurut nilai IMT dengan ketahanan fisik menurut nilai
kesamaptaan jasmani siswa (p = 0,188; r = 0,095). Ada hubungan yang
tidak signifikan antara aktivitas fisik menurut nilai METs dengan
ketahanan fisik menurut nilai kesamaptaan jasmani siswa (p = 0,818; r
= -0,017).
3. Ayu Shalekha (2015). Perbedaan Status Gizi Dan Ketahanan Fisik
observasional yang bersifat analitik dengan menggunakan rancangan
penelitian cross sectional. Sampel pada penelitian ini di ambil di
Komunitas “A” yang sebanyak 34 responden. Hasil penelitian adalah
ada perbedaan status gizi antararesponden yang memiliki aktifitasfisik
rutin dengan responden yang memiliki aktifitas fisik tidak rutin (p-value
0,043 < 0,05). Ada perbedaan ketahanan fisik antara responden yang
memiliki aktifitas fisik rutin dengan responden yang memiliki aktifitas
fisik tidak rutin (p-value 0,016 < 0,05).
4. Suman (2012). Hubungan Status Nutrisi Terhadap Terjadinya Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas Pajang
Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional dan pemilihan sampel dengan teknik
purposive sampling. Dari uji Chi square diperoleh p value sebesar
0,000 dengan taraf signifikan (a) 0,05 maka dinyatakan Ho ditolak,
sehingga Ha diterima. Jadi penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara status nutrisi terhadap terjadinya ISPA
pada balita, selain itu didapatkan nilai RP (ratio prevalensi) = 27,5
dengan (interval kepercayaan 95%, 8,372-90,328), artinya bahwa anak
yang mengalami nutrisi kurang berisiko 27,5 kali untuk mengalami
ISPA dibanding balita yang mempunyai nutrisi baik.
5. Kurratun Ayun (2015). Hubungan status nutrisi dan vitamin a dengan
pegetahuan ibu tentang Pneumonia pada balita di puskesmas Piyungan
pendekatan retrospektif (case control). Populasi penelitian adalah balita
yang berobat di Puskesmas Piyungan Bantul tahun 2014. Total sampel
sebanyak 190 yaitu 95 kasus pneumonia dan 95 kontrol (anak balita
sehat). Pengambilan sampel menggunakan metode Simple random
sampling. Instrumen penelitian berupa lembar observasi dan data rekam
medis sebagai sumber data. Analisis data menggunakan analisis
univariat (deskriptif) dan analisis bivariat dengan uji Chisquare. Hasil
penelitian bahwa ada hubungan status nutrisi dengan pegetahuan ibu
tentang pneumonia pada balita di Puskesmas Piyungan Bantul dengan
nilai signifikan (p 0,000 < 0,05; OR 3,539). Tidak ada hubungan
Vitamin A dengan pegetahuan ibu tentang pneumonia pada balita di
Puskesmas Piyungan Bantul dengan nilai signifikan (p 0,060 > 0,05;