• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN NASIONAL, KEADILAN SOSIAL, DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBANGUNAN NASIONAL, KEADILAN SOSIAL, DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Aris Munandar

ebijakan pembangunan nasional Indonesia selama masa orde baru, yang dirumuskan dalam program Pembangunan Jangka Panjang (PJP), telah berhasil mengangkat angka pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan pada saat itu. Namun di sisi lain, keterlibatan masyarakat baik dalam proses maupun dalam pemanfaatan hasil, belum mencapai tingkatan yang merata (adil). Sebaliknya, proses dan hasil pembangunan tersebut masih sangat terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat, terutama para pemilik modal.

Kondisi tersebut sangat dimungkinkan, mengingat model pembangunan yang dilakukan lebih berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, dengan konsekuensi menjadikan uang atau capital sebagai yang paling pokok. Dengan demikian, kelompok masyarakat yang terlibat dalam proses maupun pemanfaatan hasil, terbatas pada mereka yang kuat secara ekonomi. Pada gilirannya, kondisi ini menyebabkan keresahan sosial yang berujung pada krisis multidimensi dan ancaman disintegrasi nasional.

Pengalaman tersebut mendorong berbagai ahli, untuk memikirkan perubahan model dan orientasi pembangunan nasional. Salah satu ide yang disarankan, sebagai alternatif dari model pembangunan orde baru yang lebih menitikberatkan peranan uang (capital centered development) adalah pembangunan sosial. Suatu model yang melihat bahwa pembangunan merupakan proses humanisasi (people centered development) dengan pemberdayaan masyarakat sebagai kuncinya, sehingga pertumbuhan ekonomi yang dicapai akan menjadi “pelayan” bagi pemenuhan berbagai aspek kebutuhan masyarakat secara berkeadilan.

(2)

Pembangunan dan Kesejahteraan Masyarakat: Antara Harapan dan Kenyataan

Pembangunan adalah sebuah istilah yang sangat populer dalam kehidupan bangsa Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Kata ini seakan-akan menjadi suatu kekuatan besar yang memberikan energi dan motivasi kepada bangsa Indonesia untuk meraih keberhasilan dan kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan.

Kebijakan dan program pembangunan yang disusun setiap lima tahun (Repelita) sekali dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai landasan operasionalnya telah “membius” dan menambah keyakinan masyarakat akan kehebatan pembangunan. Hal ini diperkuat dengan laporan-laporan, data statistik, dan dukungan dunia internasional yang menunjukkan kesuksesan pelaksanaan pembangunan -- menurunnya angka kemiskinan sampai 15% pada tahun 1990; angka pertumbuhan ekonomi (PNB) yang tinggi, mencapai 7,34% tahun 1993 dan pendapatan perkapita (PDB) mencapai 919 dolar per tahun; perkembangan teknologi dan industri (industri pesawat terbang dan mobil nasional); serta indikator-indikator sosial-ekonomi lainnya -- semakin menambah kepercayaan bangsa Indonesia akan keampuhan dan “kesaktian” kata pembangunan, meskipun dalam kenyataannya sebagian besar mereka hidup dalam kesulitan dan kebodohan karena kemiskinan.

Kita terjebak dengan laporan dan angka-angka statistik yang begitu meyakinkan, karena selama itu (Orde Baru) keberhasilan dalam pencapaian pembangunan sangat bias ekonomi. Sebagaimana dikatakan oleh Arief Budiman (1995):

Di Indonesia, kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat dalam bidang ekonomi.

(3)

Pembangunan dikatakan berhasil, manakala pertumbuhan ekonominya tinggi yang pada gilirannya akan memberikan efek tetesan ke bawah (trickle down effect) sehingga keberhasilan tersebut akan dirasakan oleh setiap anggota masyarakat. Kenyataan menunjukkan hal yang berbeda dari anggapan tersebut, karena keberhasilan pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok kecil orang, sementara sebagian besar masyarakat hidup dalam angan dan harapan yang sampai berakhirnya masa Orde Baru (setelah 32 tahun berkuasa) masih menampakkan kesenjangan yang lebar. Hal ini dapat dilihat dari angka pertumbuhan ekonomi, tahun 1993 mencapai 7,34% dengan PDB per kapita mencapai 919 dolar AS. Meskipun distribusi pendapatan sebagai indikator pemerataan untuk periode waktu yang sama belum ada angka pasti, tetapi jika melihat penguasaan ekonomi (omzet) 10 konglomerat yang menguasai sekitar 30% PDB atau 200 konglomerat yang menguasai 58% PDB, dapat dikatakan bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia sangat memprihatinkan (Edi Suharto, 1997).

Badai krisis (ekonomi dan politik) yang pada akhirnya mengantarkan penguasa Orde Baru untuk lengser keprabon dari percaturan kekuasaan, membuktikan kekhawatiran para pengamat sosial-ekonomi terhadap pelaksanaan pembangunan yang sangat memihak kepada para pemilik modal (konglomerat) dan mengabaikan kekuatan masyarakat bawah sebagai sumber daya manusia yang sangat potensial. Padahal, mereka (golongan masyarakat ekonomi bawah) merupakan bagian terbesar dari penduduk Indonesia.

Pemihakan tersebut sangat dimungkinkan karena paradigma pembangunan yang diterapkan lebih mengacu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang mengutamakan uang atau capital sebagai yang paling utama (capital centered development). Dengan demikian menjadi “wajar”, apabila para pemilik modal ditempatkan sebagai ujung tombak pembangunan sekaligus yang paling banyak menikmati hasilnya.

Pemihakan ini sebenarnya bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional yang menekankan pada pembangunan untuk seluruh masyarakat

(4)

(pemerataan) dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan bahwa asas pembangunan nasional adalah kekeluargaan dan pelaksanaan pembangunan diserahkan kepada tiga komponen bangsa, yakni Pemerintah dalam hal ini BUMN, Swasta, dan Koperasi. Tetapi dalam prakteknya, porsi yang terbesar diberikan kepada swasta (konglomerat) sementara BUMN terlebih lagi koperasi, hanya menjalankan peran yang marjinal. Ketidakkonsistenan pemerintah tersebut akhirnya menjadi “bumerang” yang mengantarkan kejatuhan mereka, akibat keberhasilan pembangunan yang semu.1

Kerumitan dan permasalahan yang dijumpai dalam praktek pembangunan di Indonesia sebagaimana digambarkan di atas, mengantarkan kita pada suatu pertanyaan apakah sebenarnya tujuan pembangunan itu? Tulisan ini mencoba memaparkan suatu paradigma “baru” pembangunan sebagai alternatif atas paradigma pembangunan “lama” yang lebih memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi, dengan kekuatan modal sebagai yang paling pokok (capital centered development). Paradigma alternatif ini adalah “pembangunan sosial” yang melihat pembangunan sebagai proses humanisasi (people centered development) dan memfokuskan pada pemberdayaan (empowering) sosial-ekonomi masyarakat secara berkelanjutan (sustainable). Dengan demikian, diharapkan dapat mewujudkan makna keadilan sosial secara nyata.

Konsep Keadilan Sosial dalam Pembangunan Nasional Indonesia Konsep keadilan sosial sebagai prinsip pokok pembangunan sosial merupakan masalah sentral dalam pemikiran-pemikiran kemasyarakatan.

1

Pembangunan di Indonesia sejak Pelita I memberi perhatian penting pada golongan ekonomi lemah dan bahkan, pada Pelita III memprioritaskan pemerataan. Tetapi pada tahun 80-an berubah orientasi pada pertumbuhan. Langkah mundur ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena tekanan hutang yang semakin besar, yang harus dibayar oleh sebagian negara sedang berkembang, juga karena angka kemiskinan yang semakin tinggi, serta runtuhnya negara-negara komunis. Selain itu, ada juga penyebab yang berlatar belakang politik yaitu adanya tekanan sayap kanan yang beraliran keras, berkuasa di Eropa (Tangdilintin, 1999).

(5)

Khususnya bagi masyarakat Indonesia, keadilan sosial adalah suatu konsep penting karena merupakan salah satu sila dari dasar negara Pancasila.

Keadilan sosial dalam teori dan sejarah selalu melibatkan peran negara dan struktur masyarakat. Indonesia, seperti negara-negara berkembang lainnya, berusaha melaksanakan keadilan sosial melalui program-programnya terutama sejak tahun 1968 atau PJPT I. Pada periode PJPT I (1968-1993), pemerintah berusaha meningkatkan keadilan sosial dengan berbagai program seperti SD Inpres, Pasar Inpres, Puskesmas, Perumahan murah, KIK, KUK, PIR, Keterkaitan industri, dan sebagainya.

Keadilan sosial pada dasarnya merupakan konsep yang multidimensi. Terdapat keadilan sosial yang menekankan aspek regional, ras, gender, dan antar golongan. Tulisan ini mencoba menggambarkan aspek keadilan sosial dalam pembangunan, khususnya keadilan sosial antar golongan sebagai suatu realitas sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia yang masih menunjukkan adanya kesenjangan (ekonomi), sekaligus perwujudan tujuan pembangunan sosial.

Kenyataan menunjukkan beberapa golongan masyarakat, sangat perlu ditingkatkan keadilannya. Golongan-golongan tersebut tercakup dalam GBHN 1993, yaitu buruh tani, petani penggarap yang tidak memiliki lahan, petani berlahan sempit, peternak kecil, nelayan, pengrajin, usaha kecil, informal dan tradisional maupun pekerja. Seperti yang dikemukakan dalam GBHN tersebut, masih banyak golongan lemah yang perlu ditingkatkan taraf hidupnya. Apalagi dengan moto “Pembangunan Manusia Seutuhnya dan Seluruh Masyarakat”, masalah ini menjadi lebih mendesak.

Konsep dan program keadilan sosial yang dijalankan pemerintah selama ini, sebagaimana tercermin dalam UUD 1945 Bab XIV (Kesejahteraan Sosal), pasal 33 (Perekonomian) dan pasal 34 (Fakir Miskin), serta keadilan sosial dalam pembahasan pasal 27 ayat 2, “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, cenderung lebih merupakan konsep kesejahteraan sosial ketimbang keadilan sosial itu sendiri. Dalam kesejahteraan sosial, aspek

(6)

penyediaan fasilitas sosial ekonomi ditingkatkan, tetapi tidak ada pengaturan hubungan mendasar antar golongan yang terlibat yang merupakan salah satu dimensi dari keadilan sosial.

Selain itu, sila Keadilan Sosial pada GBHN masih didefinisikan sebagai pemerataan ekonomi, “Pengamalan sila keadilan sosial,...upaya untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yang dikaitkan dengan pemerataan pembangunan....” (GBHN, 1993). Demikian pula Keadilan Sosial di dalam Tap. MPR No. II/MPR/1978 dibahas sebagai kesatuan yang terdiri dari 12 butir, lebih mencerminkan kesetiakawanan sosial yang mengatur hubungan antar individu saja. Sedangkan keadilan sosial lebih berkaitan dengan hubungan antar individu dalam kaitannya dengan aset-aset masyarakat dan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Studi filsafat mendefinisikan keadilan sosial sebagai “kehidupan ekonomi yang adil” dan “memberantas kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat” (Poespowardojo, 1991). Studi filsafat lainnya mengartikan keadilan sosial sebagai kesejahteraan umum, yakni “diakui dan dihormatinya hak-hak asasi semua warga negara penduduk lainnya” dan tersedianya barang-barang dan jasa-jasa keperluan hidup yang terjangkau oleh daya beli rakyat banyak” (Dipoyudo, 1990:56). Untuk lebih menjelaskan konsep keadilan sosial, kita harus mendefinisikan secara operasional sehingga dapat dengan mudah melakukan intervensi kebijakan untuk mencapainya.

Keterwakilan Sosial Sebagai Keadilan Sosial

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa keadilan sosial dibahas sebagai suatu hak (rights) yang bersifat normatif, sementara pencapaian hak-hak tersebut tidak dibahas secara rinci. Oleh karena itu, untuk lebih memudahkan pencapaian hak tersebut, maka konsep hak didefinisikan sebagai konsep “peluang” atau probability.2

2

Lihat Iwan Gardono dalam “Negara, Masyarakat, dan Keadilan Sosial (Sila Keadilan Sosial dalam PJPT II)”, Seminar Memperingati 25 tahun FISIP Universitas Indonesia, Jakarta 26-27 Januari 1993

(7)

Dalam pendekatan atau teori statistik konsep peluang terkait dengan ukuran proporsional yang mewakili suatu populasi (probability proportionate to size). Dalam suatu populasi yang heterogen, bagian stratifikasi dalam suatu populasi harus terwakili secara proporsional dalam sampel.

Dalam kaitannya dengan konsep keadilan sosial, golongan-golongan dalam masyarakat harus terwakili dalam segala sektor, terutama dalam pendidikan dan pekerjaan. Jika tidak ada pengaturan maka yang akan menang dan berhasil hanyalah golongan yang kuat. Dengan demikian, golongan lemah seperti yang tercantum dalam GBHN harus mendapat perlindungan, yang sebenarnya merupakan hak mereka. Adanya quota sosial yang mencerminkan teori peluang (keterwakilan sosial) memungkinkan terjadinya mobilitas sosial vertikal bagi golongan-golongan lemah tersebut. Pengaturan yang mengacu pada prinsip keterwakilan sosial ini disebut prinsip “diskriminasi protektif” (Kolenda, 1985:128).

Satu ilustrasi yang jelas dapat dipelajari dalam dunia olah raga. Untuk golongan yang lebih “lemah” secara fisik (wanita dan orang cacat) diadakan pertandingan tersendiri. Bahkan dalam beberapa cabang olah raga, misalnya karate, silat, tinju, dan olah raga bela diri lainnya, diadakan pembagian berdasarkan kelompok berat badan. Mereka bersaing di antara sesama mereka sendiri dan mendapat jatah medali/hadiah. Hal ini menunjukkan bahwa “keadilan olah raga” dicerminkan dengan adanya pemisahan pertandingan antara golongan yang berbeda kekuatannya secara fisik. Tanpa pemisahan dan pengaturan seperti ini semua medali/hadiah akan direbut oleh atlet laki-laki yang paling kuat.

Menurut Gardono (1993), meskipun kemakmuran ekonomi dapat dicapai, tetapi tanpa strategi quota atau keterwakilan sosial, keberhasilan program pembangunan tersebut tidak akan memperbaiki keadilan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh sila kelima dari Pancasila. Bahkan, peristiwa yang terjadi belakangan, secara tragis telah menghancurkan kemakmuran yang telah dicapai tersebut dan mengembalikan Indonesia pada “titik nol” dalam program pembangunan.

(8)

Pembangunan Sosial: Paradigma Pembangunan Alternatif yang Berkeadilan Sosial.

Pembangunan sosial sebagai suatu paradigma, muncul dan ramai diperdebatkan sejak awal tahun 1990-an. Topik perdebatan tidak hanya terbatas pada substansinya, tetapi juga menyangkut terminologi yang dianggap lebih tepat untuk mewakili gagasan baru itu. Ada beberapa terminologi yang ditawarkan, antara lain Pembangunan Alternatif, Pembangunan Berbasis Rakyat, Pembangunan Partisipatoris. Isu sentral dari gagasan tersebut adalah mencari alternatif bagi pembangunan yang berfokus pertumbuhan, yang menempatkan uang sebagai yang paling pokok (capital centered development), berubah menjadi pembangunan sebagai proses yang manusiawi (people centered development). Kenyataan bahwa pembangunan yang sangat berfokus pertumbuhan memang telah berhasil dengan gemilang mewujudkan kemakmuran, tetapi gagal mewujudkan kesejahteraan yang lebih merata, bahkan sebaliknya banyak membawa masalah yang sulit dicari pemecahannya (Tangdilintin, 1999).

Wawasan yang lebih luas mengenai pembangunan sosial, mulai berkembang dan diterima secara luas pula pada tahun 1970-an, dengan berbagai varian pemikiran yang dipelopori oleh berbagai disiplin ilmu yang bebeda. Secara garis besar muncul berbagai pemikiran yang memberi makna yang berbeda terhadap pembangunan sosial. Ada yang sangat menyederhanakan sebagai identik dengan pelayanan (services), ada yang memberi makna sebagai pemenuhan kebutuhan dasar (basic need), pembangunan mandiri, pembangunan berkelanjutan, dan bahkan pembangunan etnis (ethnodevelopment). Beberapa definisi formal mulai diperkenalkan, salah satunya yang cukup mewakili pemikiran dominan tentang pembangunan sosial dan banyak dirujuk adalah definisi dari JFX. Paiva (1977). Menurutnya pembangunan sosial adalah “development of the capacity of people to work continuosly for their own and society’s welfare.” Definisi ini mewakili pemikiran pemberdayaan individu yang akhirnya secara luas dikenal dengan people centered development.

(9)

Pembangunan sosial sebagai paradigma alternatif, menempatkan masyarakat sebagai pusat dari proses pembangunan dan ekonomi sebagai cara untuk melayani kebutuhan manusia. Setiap orang, pemerintah, atau lembaga apapun harus menghormati arti kehidupan manusia secara global yang bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya dan melindungi kelangsungan lingkungan hidup.

Menurut Hardiman dan Midgley (1982) model pembangunan sosial pada dasarnya menekankan pentingnya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok marjinal, yakni peningkatan taraf hidup masyarakat yang kurang memiliki kemampuan ekonomi secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dicapai melalui (1) upaya menumbuhkembangkan potensi diri (produktivitas masyarakat) yang lemah secara ekonomi sebagai suatu aset tenaga kerja, (2) menyediakan dan memberikan pelayanan sosial khususnya pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, perumahan, serta pelayanan yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan produktivitas dan partisipasi sosial dalam kehidupan masyarakatnya. Upaya pertama mengarah pada penciptaan peluang bagi kelompok yang lemah secara ekonomi. Upaya yang kedua mengarah pada peningkatan kemampuan mereka dalam merebut dan memanfaatkan peluang yang telah diciptakan tadi. Untuk mewujudkan kedua hal ini diperlukan adanya intervensi pemerintah, misalnya melalui perundang-undangan yang mengatur quota (keterwakilan sosial) dalam bidang pendidikan dan pekerjaan bagi golongan penduduk yang lemah sebagaimana dijelaskan di atas.

Selanjutnya, Conyer (1982) mengidentifikasi tiga kategori definisi pembangunan sosial:

1. Pembangunan sosial sebagai pemberian pelayanan sosial yang mencakup program nutrisi, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya, yang secara keseluruhan memberikan kontribusi kepada perbaikan standar hidup masyarakat. Indikator keberhasilan pembangunan sosial dalam konotasi ekonomi ini antara lain adalah

(10)

angka harapan hidup, angka kematian bayi, mortalitas, angka kemampuan membaca dan menulis. Dalam pengertian ini, pembangunan sosial berorientasi pada kesejahteraan (welfare oriented). 2. Pembangunan sosial sebagai upaya mewujudkan nilai-nilai

kemanusiaan, seperti keadilan sosial, keamanan dan ketenteraman hidup, kemandirian keluarga dan masyarakat (self-reliance), harga diri (self-esteem), kebebasan dari dominasi (liberation), hidup sederhana (plain living).

3. Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka. Dalam hal ini pembangunan sosial terkait dengan upaya pemberdayaan (empowering).

Dengan demikian menjadi jelas, fokus paradigma pembangunan sosial tidak semata-mata mengejar pertumbuhan atau kemakmuran ekonomi (welfare oriented), akan tetapi juga memusatkan perhatian pada pemerataan dan pemanfaatan ekonomi tersebut untuk memberdayakan potensi masyarakat dalam segala aspek, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat memberikan pelayanan yang paripurna bagi seluruh masyarakat yang memungkinkan mereka terlibat dalam proses pembangunan secara manusiawi dan berkeadilan sosial. Sebaliknya, pertumbuhan tersebut tidak hanya untuk kepentingan dan dinikmati oleh sekelompok orang “kuat”, sementara sebagian besar penduduk menunggu “tetesan embun” yang jatuh (trickle down effect) yang merupakan prinsip pembangunan yang berlaku selama ini.

Penutup

Memasuki era Indonesia baru, dimana negara Indonesia diharapkan oleh banyak kalangan mampu membentuk “masyarakat madani” atau civil society, perlu menata kembali konsep dan program pembangunan yang membela kepentingan seluruh masyarakat dan memperhatikan tujuan

(11)

pembangunan “manusia seutuhnya”, dengan cara melakukan pengaturan yang adil dalam berbagai aspek.

Misalnya dalam bidang pendidikan dan pekerjaan, perlu dibentuk undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur keseimbangan dan keadilan, dimana golongan lemah diberi jatah yang disesuaikan dengan jumlah masing-masing golongan. Karena tanpa intervensi dari negara (Presiden atau DPR), maka masyarakat akan tetap merupakan arena dimana golongan yang kuat akan selalu diuntungkan atau dimenangkan.

Dengan adanya sistem quota (jatah) bagi golongan lemah (misalnya dalam bidang pendidikan dan pekerjaan), negara dituntut bukan hanya sekedar menjadi wasit yang mengatur pertandingan antara pihak lemah dan kuat, tetapi negara dituntut untuk membuat sistem baru yakni pemisahan “pertandingan sosial” antara golongan lemah dan kuat.

Perubahan orientasi pembangunan dari paradigma pertumbuhan (growth oriented) yang memfokuskan pada modal (capital) kepada pembangunan sosial yang lebih menitikberatkan pada pemberdayaan manusiawi (keadilan sosial), maka tujuan pembangunan yang berkeadilan sosial relatif lebih mungkin diwujudkan. Karena dalam pembangunan sosial, pertumbuhan ekonomi yang tinggi diarahkan untuk melayani kebutuhan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat secara luas, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, “Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial, yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.”

Pembangunan sosial bersifat komprehensif dan universal, berusaha meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Oleh karena itu pembangunan sosial berusaha membuat mata rantai antara pembangunan manusia dan

(12)

ekonomi. Dengan demikian, dalam proses pembangunan nasional, pembangunan sosial dan ekonomi bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Pembangunan sosial tidak dapat mengambil tempat tanpa pembangunan ekonomi, begitu juga pembangunan ekonomi tidak akan berarti kecuali disertai dengan perbaikan kesejahteraan bagi populasi secara keseluruhan.

(13)

Daftar Pustaka

Budiman, Arief, 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Conyer, Diana, 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta : UGM Press Dipoyudo, Kirdi, 1990. Membangun Atas Dasar Pancasila. Jakarta : CSIS

Gardono S, Iwan, 1993. Negara, Masyarakat dan Keadilan Sosial (Sila Keadilan

Sosial dalam PJPT II), Makalah Seminar dalam Rangka Memperingati

25 Tahun FISIP UI, 26-27 Januari 1993 di Jakarta.

Kolenda, Pauline, 1991. Caste in Contemporary India: Beyond “State Versus Market”

in Economic Development, San Francisco: ICS Press

Margaret, Hardiman & James Midgley, 1982. The Social Dimensions o Development: Social Policy and Planning in the Third World. United States of America: John Wiley & Sons Ltd.

Poespowardojo, Soerjanto, 1991. Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan

Sosio-Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Suharto, Edi, 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial & Pekerjaan Sosial. Bandung: LPS-STKS

Tangdilintin, Paulus, 1999. Pembangunan Sosial: Respon Dinamis dan

Komprehensif Terhadap Situasi Krisis Suatu Catatan Bagi Sistem

Referensi

Dokumen terkait

Kompleks ini merupakan tumpuan utama pelancong bagi mendapatkan informasi dan maklumat berkaitan TNTP. Kompleks ini dilengkapi dengan bilik galeri, kaunter

[r]

kuncup pengecap

Kesesuaian ini dapat dilihat dari kesesuaian makna dan tujuan perkawinan, syarat- syarat perkawinan sudah terpenuhi, tata cara pernikahan ( ijab kabul ) sudah dilaksanakan,

PT.Ai dani PT.Gi sampaii sekarangi masihi melakukani aktivitasi sepertii biasa,i padahali dalami Pasali 53i Ayati (2)i hurufi ci Undang-Undangi Nomori 32i Tahuni

Penyebaran atau penularan penyakit ditentukan oleh berbagai faktor antara lain : vektor, lingkungan dan manusia (host). Kondisi lingkungan setiap daerah berbeda-beda, sehingga

Penentuan selang resiliensi berdasarkan besarnya nilai resiliensi yang dikemukakan oleh Ostrom (1990) dalam Carpenter and Brock (2004), Carpenter (2002) yaitu berkisar dari 0 sampai

Ini bisa dilihat dari berbagai indikator misalnya dimulainya dari Peraturan PerUndang-Undangan itu sendiri yang memberikan kelemahan-kelamahan terjadinya korupsi, itu baru dilihat