• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TERHADAP SISTEM PENYUSUNAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH YANG MELANGGAR TERHADAP UNDANG-UNDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS TERHADAP SISTEM PENYUSUNAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH YANG MELANGGAR TERHADAP UNDANG-UNDANG"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TERHADAP SISTEM PENYUSUNAN PAJAK DAERAH

DAN RETRIBUSI DAERAH YANG MELANGGAR TERHADAP

UNDANG-UNDANG

Weddie Andriyanto

Dosen FEB Universitas Lampung

ABSTRAK

Sejak reformasi tahun 1998 Indonesia menganut sistem desentralisasi termasuk dalam pengelolaan keuangan. Salah satu desentralisasi keuangan adalah dengan adanya UU No.32 tahun 2004. Pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah maka berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah sebesar-besarnya sehingga terdapat peraturan daerah tentang pajak dan retribusi daerah yang melanggar Undang-Undang dan juga menciptakan kondisi ekonomi yang kurang kondusif.

Banyaknya perda PDRD adalah karena dalam pembuatan perda tersebut lebih menekankan pada pertimbangan peningkatan PAD daripada penciptaan kondisi iklim usaha dan ekonomi yang kondusif. Selain itu prosedur penyusunan Peraturan PDRD juga lebih menitikberatkan pada prosedur formal penyusunan Peraturan dengan tidak melibatkan pihak yang mengelola kondisi perekonmian dan belum adanya sanksi pada pihak yang melanggar aturan.

Berdasarkan hal tersebut maka untuk lebih meningkatkan kualitas peraturan daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah maka Bank Indonesia dan Kantor Pajak perlu dilibatkan serta difungsikan sebagai lembaga untuk monitoring dan pengawasan. Sanksi atas setiap pelanggaran oleh daerah harus ditetapkan dengan tegas antara lain dengan penundaan, pengurangan atau pemotongan dana bagi hasil dan atau dana Alokasi umum (DAU).

Kata Kunci : Desentralisasi, Pajak daerah, Retribusi daerah, Pengawasan

I. PENDAHULUAN

Krisis ekonomi tahun 1997-1998 di Indonesia yang berlanjut dengan krisis politik sehingga membawa perubahan sistem pemerintahan di Indonesia. Sejak tahun 1965 sampai dengan tahun 1997 disebut era orde baru dengan sistem pemerintahan yang sentralistik dan sejak tahun 1998 sampai sekarang disebut dengan era orde reformasi. Krisis yang terjadi di Indonesia oleh beberapa pihak disimpulkan karena sistem pemerintahan yang sentralistik sehingga daerah tidak mandiri dan pada saat ekonomi pemerintah pusat terkena dampak krisis maka kondisi daerah juga ikut terkana. Untuk itu beberapa pihak tersebut merubah sistem pemerintahan menjadi sistem desentralisasi.

Sistem pemerintahan yang desentralisasi diikuti dengan sistem pengelolaan keuangan pemerintahan yang desentralisasi dimana daerah dapat mencari dan mengelola keuangannya sendiri dan mengalokasikan keuangan daerah sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Sistem pengelolaan keuangan sendiri maka membuat daerah berusaha memperoleh pendapatan semaksimal mungkin sehingga beberapa daerah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan atau Retribusi Daerah untuk mengejar peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Namun dalam realisasinya penerapan Pajak daerah dan Retribusi daerah yang oleh pemerintah daerah bersama legislative daerah (DPRD) yang menerbitkan pajak daerah dan atau retribusi daerah banyak yang hanya mempertimbangkan pendapatan bagi daerah saja, tanpa mempertimbangkan beban yang dipikul oleh masyarakat atau dunia usaha yang berakibat iklim usaha di daerah kurang menarik. Hal ini disadari oleh pemerintah pusat yang melihat setelah era reformasi ternyata pertumbuhan

(2)

ekonomi di Indonesia tetap lambat sementara negara lain yang ikut terkena krisis telah pulih seperti Korea, Thailand atau Malaysia dll. Dari hasil evaluasi salah satu yang ditemukan adalah biaya ekonomi yang tinggi di daerah di Indonesia yang disebabkan oleh berbagai pengutan pajak daerah dan retribusi daerah, bahkan beberapa peraturan pajak/retribusi daerah tersebut tumpang tindoh dengan pajak pusat. Untuk itu maka pemerintah bersama DPR menerbitkan Undang-Undang No.18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan kemudian disempurnakan dengan Undang Undang No.25 tahun 1999.

Namun dalam realisasinya banyak daerah baik daerah tingkat I yaitu provinsi atau daerah tingkat II (kabupaten/Kota) menggunakan Undang-Undang ini untuk membuat peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah untuk meningkatkan Pendapatan asli daerahyang bertentangan dengan aturan pada Undang Undang tersebut. Pelanggaran tersebut antara lain adalah objek pajak yang tidak tepat atau sudah dikenakan pajak pusat masih dikenakan pajak daerah lagi atau tarif pajak yang terlalu tinggi sehingga pajak/retribusi daerah tersebut menghambat dunia usaha dan investasi di daerah.

Departemen dalam negri dan departemen keuangan telah memeriksa dan menginvetarisir berbagai pajak/retribusi daerah dan menemukan ribuan peraturan daerah tentang pajak/retribusi daerah yang melanggar Undang-Undang tentang pajak dan retribusi Daerah. Bahkan beberapa peraturan daerah tentang pajak/retribusi daerah yang sudah dilarang oleh pemerintah pusat untuk dilakukan masih tetap dijalankan di daerah. Berdasarkan penelitian/kegiatan inventarisasi Rencana Legislasi Daerah, sampai Agustus 2001 saja Departemen Dalam Negeri (Depdagri) telah menerima sekitar 1979 Perda. Perda tersebut terdiri dari 1503 Perda tentang pajak daerah dan 926 Perda tentang Desa. Dari jumlah itu sebanyak 926 Perda memenuhi ketentuan perundang-undangan, 104 Perda dinyatakan bermasalah, dan 949 Perda ketika itu sedang dievaluasi lebih lanjut. Menurut penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dari sejumlah Perda tersebut terdapat 47 Perda harus dibatalkan dan 189 Perda harus direvisi. Jika data sampai Agustus 2001 saja telah begitu banyak ditemukan Perda bermasalah, menjadi pertanyaan adalah: berapa banyak Perda bermasalah hingga 2012 ?

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sistem dan prosedur pengendalian pajak dan retribusi daerah yang melanggar dan menganalisa sistem pengawasan atas pajak/retribusi darah yang melanggar Undang-undang. Dengan analisa ini maka juga akan direkomendasikan untuk sanksi atau tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi pelanggaran oleh daerah atas pajak/retribusi daerah.

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada kebijakan pemerintah untuk menyusun sistem dan prosedur Pajak/Retribusi daerah dan sanksi atas daerah yang melanggar. Dengan kontribusi ini diharapkan akan mencegah atau mengurangi daerah dalam membuatpajak/retribusi daerah yang melanggar Undang-Undang dan dapat meningkatkan iklim usaha dan investasi di daerah yang lebih baik. Dari uraian dalam latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:b agaimanakah prosedur pembuatan dan pengesahan pajak/retribusi daerah? Bagaimana prosedur pengawasan pajak/retribusi daerah tersebut ? Bagaimanakah sangsi terhadap daerah yang melanggar dengan aturan atau menerbitkan pajak/retribusi daerah yang melanggar aturan? Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini dijelaskan sebagai berikut mengkaji sistem dan prosedur pembuatan dan pengesahan Pajak daerah Retribusi daerah tingkat I yang dibuat oleh propinsi. Mengkaji sistem dan prosedur pembuatan dan pengesahan Pajak daerah Retribusi daerah tingkat II yang dibuat oleh Pemeringah Kota/Kabupaten. Mengkaji prosedur pengawasan dan monitoring atas pajak/retribusi daerah Mengkaji sanksi terhadap daerah yang melanggar atas penerbitan pajak/retribusi daerah.

II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pengertian Sistem

Sistem adalah sekelompk unsur yang erat berhubungan satu dngan lainnya yang berfungsi bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu (Mulyadi, 1993, 2). Dengan demikian maka sistem memiliki unsur sebagai berikut:

(3)

a. Setiap sistem terdiri dari unsur-unsur. Unsur-unsur suatu sistem terdiri dari subsistem yang lebih kecil, yang terdiri dari kelompok unsur yang membentuk subsistem tersebut.

b. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian terpadu sistem yang bersangkutan. Unsur-unsur sistem berhubungan erat satu dengan lainnya dan sifat serta kerjasama antar unsur sistem tersebut mempunyai bentuk tertentu.

c. Unsur sistem tersebut bekerjasama untuk mencapai tujuan sistem. Setiap sistem mempunyai tujuan

tertentu.

d. Suatu sistem merupakan bagian dari sistem lain yang lebih besar. Suatu sistem disusun dengan suatu tujuan tertentu.

Pada umumnya tujuan adanya suatu sistem adalah:

a. Untuk memberikan informasiyang dihasilkan yaitu mutu produk, ketepatan penyajian maupun struktur informasi/produk yang dihasilkan

b. Untuk memperbaiki pengendalian dan pengecekan internal sehingga akan memperbaiki keandalan

produk yang dihasilkan

c. Untuk meningkatkan efisiensi dalam memproduksi atau membuat produk tersebut

Dengan sistem yang baik maka suatu produk yang dihasilkan akan lebih baik, lebih efisien dan lebih bermanfaat atau sesuai dengan tujuannya. Untuk mengevaluasi suatu produk yang dihasilkan maka dapat dievaluasi dari sistem dalam pembuatan produk tersebut. Demikian pula dengan penyusunan Pajak daerah/retribusi daerah maka perlu dievaluasi atas sistem pembuatan dan penyusunan pajak/retribusi daerah tersebut untuk mengetahui kelemahan sehingga dapat menghindari kekurangan atau kelemahan atas etiap produk peraturan pajak/retribusi daerah yang dihasilkan oleh suatu daerah tingkat I atau daerah tingkat II sehingga terhindar dari pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perkembangan Perundang-undangan pajak/retribusi daerah

Untuk pertama kalinya Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah sekaligus, adalah dengan diberlakukanya Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang ini secara garis besar mengatur mengenai dua hal. Pertama, menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi. Kedua, menetapkan pengaturan yang cukup rinci untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi.

Sebelum UU No. 18 Tahun 1997, pengaturan mengenai Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD) diatur berdasarkan dua undang-undang yang berbeda. Pertama, UU No. 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah, dan kedua, UU No. 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah. Berdasarkan kedua undang-undang ini, sistem perpajakan daerah dan retribusi daerah tidak bersifat sederhana, tidak adil, tidak efektif, tidak efesien, dan tidak dapat menggerakkan peranserta masyarakat dalam membiayai pembangunan daerah. Karena itulah, maka perlu dibuat undang-undang yang dapat menciptakan pembaharuan sistem perpajakan daerah dan retribusi daerah tersebut.

Dalam perkembangannya UU No. 18 Tahun 1997 tidak berumur panjang, karena pada tahun 2000 undang-undang ini diperbaharui kembali seiring dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang berkaitan dengan diberlakukannya undang-undang tentang otonomi daerah. Pembaharuan terhadap UU No. 18 Tahun 1997 tersebut hanya diamanatkan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Meskipun demikian, hal itu sudah cukup menjadi alasan bagi Pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang itu. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1999 menyatakan sebagai berikut:

“Jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah disesuaikan dengan kewenangan yang diserahkan kepada Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/kota. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mengubah UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”.

(4)

Meskipun perubahan undang-undang PDRD secara eksplisit hanya diamanatkan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1999, tetapi semangat perubahan tersebut sebenarnya terlebih dahulu mengacu kepada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan kedua undang-undang otonomi daerah itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan penerimaan dana perimbangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

PAD tersebut antara lain bersumber dari PDRD, yang diharapkan dapat menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Pada gilirannya, daerah mampu melaksanakan otonomi yang dengan kata lain, mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai dengan pembentukan UU No. 34 Tahun 2000, maka undang-undang ini sebagaimana halnya UU No. 18 Tahun 1997 juga menetapkan dua tujuan. Pertama, menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijakan dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan pemungutan PDRD. Kedua, menetapkan pengaturan untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi daerah.

Pajak daerah dan pajak pusat merupakan suatu sistem perpajakan nasional, yang pada hakikatnya merupakan beban bagi masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijakan tersebut merupakan beban yang adil. Untuk itu, pembinaan perpajakan daerah dilakukan secara terpadu dengan perpajakan nasional. Pembinaan ini dilakukan secara sinergis, terutama mengenai obyek dan tarif pajak, agar pajak pusat dan pajak daerah dapat saling melengkapi dan tidak saling tumpang tindih.

UU No. 34 Tahun 2000 menganut sistem buka tutup dalam penetapan jenis PDRD kabupaten/kota. Meskipun beberapa jenis PDRD telah ditetapkan dalam undang-undang ini, namun daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi selain yang telah ditetapkan. Penetapan jenis PDRD tambahan tersebut harus memenuhi kreteria yang ditetapkan dalam undang-undang dan sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat.

Pasal 4 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa pajak daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Begitu pula menurut Pasal 24 ayat (1) bahwa retribusi daerah ditetapkan juga dengan Perda. Pembuatan Perda baik tentang pajak daerah maupun tentang retribusi daerah ini tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan-perundangan lain terutama dengan undang-undang tentang otonomi daerah.

Persoalan yang muncul dengan dibukanya peluang tersebut, di lapangan banyak Perda PDRD yang dibuat tetapi bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini terjadi antara lain juga karena baik dalam UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 34 Tahun 2000 tidak mengenal pengawasan preventif dalam bentuk evaluasi Rancangan Perda (Raperda) oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Persoalan ini menjadi semakin rumit ketika Perda tersebut dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) (baca: pemerintah pusat), tetapi pemerintah daerah tetap memberlakukannya alias tidak menghentikan pelaksanaan dan atau mencabutnya, karena tanpa sanksi yang jelas.

Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999) membawa implikasi positif seperti telah diaturnya tata cara pengawasan preventif dan kewenangan Gubernur dalam bentuk evaluasi Raperda kabupaten/kota. Diaturnya wewenang Menteri Keuangan (Menkeu) dalam proses pembuatan Perda, dan sanksi berupa pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Persoalannya adalah tidak jelas apakah Gubernur dan Menkeu juga memiliki kewenangan untuk membatalkan Perda PDRD kabupaten/kota yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tingi. Selain itu, sanksi yang diatur hanya berupa sanksi administratif yang bersifat represif setelah jadi Perda.

(5)

Selain persoalan di atas, berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 menimbulkan dualisme pengaturan hukum yang berkaitan dengan PDRD. UU No. 32 Tahun 2004 mengatur pengawasan preventif, sebaliknya dalam UU No. 34 Tahun 2000 tidak. UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur dengan jelas kewenangan Menkeu dalam pembatalan Perda PDRD, sebaliknya dalam UU No. 34 Tahun 2000, PP No. 65 Tahun 2001, dan PP No. 66 Tahun 2001 Menkeu memiliki kewenangan untuk memberi pertimbangan kepada Mendagri dalam hal pembatalan Perda. Dengan demikian berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 peran Menkeu telah ada dalam proses evaluasi dan pembatalan Perda. Persoalan lain adalah mengenai jangka waktu penyampaian Perda yang sudah disahkan daerah kepada pusat untuk dievaluasi, UU No. 34 Tahun 2000 memberikan waktu yang lebih lama yaitu 15 hari dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang hanya tujuh hari. Dualisme ketentuan hukum ini menjadi persoalan yang serius karena kedua undang-undang tersebut sama-sama berlaku efektif.

Perbedaan limitasi waktu penyampaian Perda kepada Pemerintah antara UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004 tidak menjadi persoalan, karena undang-undang yang disebut pertama tidak berlaku lagi. Akan tetapi, perbedaan antara ketentuan UU No. 34 Tahun 2000 dengan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi persoalan karena kedua undang-undang tersebut masih berlaku efektif. Meskipun demikian, jika ditinjau dari asas hukum, lex posteriori derogat legi priori (undang-undang yang baru mengesampingkan undang-undang yang lama), maka yang berlaku adalah ketentuan yang ada dalam undang-undang yang baru. Artinya, yang berlaku adalah ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004, yakni waktu penyampaian Perda yang telah ditetapkan kepada Pemerintah paling lama tujuh hari. Eksistensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Struktur Keuangan Daerah

Pasal 1 angka 6 UU No. 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Begitu pula Pasal 1 angka 26 menyatakan bahwa Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Pajak biasanya harus dibayar oleh anggota masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum tanpa pertimbangan secara pribadi mereka mendapat manfaat atau tidak dari pelayanan yang mereka biayai. Sebaliknya retribusi dibayar langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan yang biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruhnya atau sebagian dari biaya pelayanan tersebut. Meskipun demikian, dalam praktik perbedaan antara keduanya tidak selalu jelas. Pertama, retribusi dapat dikenakan lebih besar melebihi biaya jasa-jasa yang diberikan. Kedua, suatu jasa mungkin hanya sebagian dibiayai oleh retribusi, sisanya berasal dari subsidi khusus atau terselubung dari penerimaan pajak.

PDRD ini merupakan komponen penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD terkait dengan penganggaran, yakni suatu proses penyusunan rencana keuangan yang menyangkut pendapatan dan pembiayaan, yang kemudian mengalokasikan dana ke berbagai kegiatan sesuai dengan fungsi dan sasaran yang hendak dicapai. APBD merupakan suatu rencana tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan Perda, atau dengan kata lain, APBD adalah model penganggaran pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan Perda.

Dalam penganggaran daerah terdapat tiga analisis yang saling terkait, yakni analisis penerimaan, analisis pengeluaran, dan analisis anggaran. PDRD adalah berkaitan erat dengan analisis penerimaan. Analisis penerimaan adalah suatu kajian mengenai kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah yang potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Dalam konteks ini, keuangan daerah yang sehat adalah keuangan daerah yang mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan seiring dengan perkembangan perekonomian tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan

(6)

serta dengan sejumlah biaya administrasi tertentu. Kondisi ini dapat dilihat berdasarkan empat indikator, yakni: (1) daya pajak (tax effort); (2) efektivitas (efectivity); (3) efisiensi (eficiency); dan (4) elastisitas (elasticity). Keempat indikator ini dalam pelaksanaannya akan saling berhubungan satu dengan lainnya.

Pertama, daya pajak adalah rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas atau kemampuan membayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan membayar pajak masyarakat adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Hal itu dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Penerimaan Pajak (Penerimaan Pajak)

Daya Pajak = = x 100 % Kemampuan Bayar Pajak PDRB

Dengan demikian, jika PDRB suatu daerah meningkat, maka kemampuan daerah dalam membayar pajak (ability to pay) juga akan meningkat. Artinya, administrasi penerimaan daerah dapat meningkatkan daya pajaknya agar penerimaan pajak meningkat pula.

Kedua, efektivitas adalah mengukur hubungan antara hasil pungut suatu pajak dengan potensi pajak itu sendiri. Efektivitas ini dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Penerimaan Pajak (Penerimaan Pajak)

Efektivitas = = x 100 %

Potensi pajak PDRB

Adapun yang menjadi indikator dari efektivitas ini adalah rasio antara hasil pemungutan suatu pajak dengan potensi hasil pajak. Keadaan tersebut terjadi didasarkan pada asumsi bahwa semua wajib pajak membayar pajak terutangnya. Efektivitas tersebut menyangkut semua tahap administrasi penerimaan pajak, menentukan wajib pajak, menetapkan nilai kena pajak, memungut pajak, menegakkan sistem pajak, dan membukukan penerimaan.

Ketiga, efisiensi dilakukan dengan mengukur bagian dari hasil pajak yang digunakan untuk menutup biaya pemungutan pajak yang bersangkutan. Efisiensi ini dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Biaya Pemungutan

Efisiensi = x 100 %

Penerimaan Pajak yang dipungut

Adapun yang dimaksud biaya pemungutan adalah tidak semata-mata biaya langsung untuk operasional pemungutan di lapangan, melainkan termasuk biaya-biaya tidak langsung seperti waktu yang diperlukan, biaya rapat-rapat, dan biaya overhead.

Keempat, elastisitas adalah ukuran tingkat kepekaan perubahan suatu jenis penerimaan apabila terjadi perubahan pada jumlah PDRB dan jumlah penduduk. Dalam kaitan ini, semakin tinggi nilainya adalah semakin elastis, dan sebaliknya, semakin rendah nilainya maka menjadi semakin tidak elastis. Arti dari semakin elastis adalah tingkat daya bayar masyarakat tidak terganggu. Untuk mengetahui elastisitas dipergunakan dua buah rumus, yakni untuk mengetahui tingkat kepekaan perubahan pada PDRB dan tingkat kepekaan perubahan pada penduduk. Untuk mengetahui tingkat kepekaan perubahan pada PDRB dipergunakan rumus sebagai berikut:

% PAD % PAD Elastisitas PDRB = x 100 % dan Elastisitas Penduduk = x 100 %

% PDRB % Penduduk

Berdasarkan Pasal Pasal 5 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah terdiri dari PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain

(7)

pendapatan. Menurut Pasal 6 ayat (1), PAD bersumber dari: (a) pajak daerah; (b) retribusi daerah; (c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan (d) lain-lain PAD yang sah. Dengan demikian, berarti bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen dari PAD, dan PAD adalah komponen dari Pendapatan Daerah, dan Pendapatan Daerah merupakan bagian dari Penerimaan Daerah, dan Penerimaan Daerah merupakan sisi lain dari APBD.

PDRD ini dikelola oleh Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Pasal 2 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000 menyatakan jenis pajak daerah propinsi terdiri dari empat jenis. Pertama, pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. Kedua, bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. Ketiga, pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Keempat, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Pasal 2 ayat (2), jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari: (a) pajak hotel; (b) pajak restoran; (c) pajak hiburan; (d) pajak reklame; (e) pajak penerangan jalan; (f) pajak pengambilan bahan galian golongan C; dan (g) pajak parkir.

Pasal 18 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa retribusi dibagi atas tiga golongan, yakni: (a) retribusi jasa umum; (b) retribusi jasa usaha; dan (c) retribusi perizinan tertentu. Pasal 18 ayat (3), jenis-jenis rertribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP), yakni PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan (2) PP No. 66 Tahun 2001, jenis retribusi untuk daerah propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan kewenangan masing-masing daerah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 2 ayat (2) PP No. 66 Tahun 2001 menyatakan bahwa jenis-jenis retribusi jasa umum adalah: (a) retribusi pelayanan kesehatan; (b) retribusi pelayanan persampahan/kebersihan; (c) retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil; (d) retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat; (e) retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum; (f) retribusi pelayanan pasar; (g) retribusi pengujian kendaraan bermotor; (h) retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran; (i) retribusi penggantian biaya cetak peta; dan (j) retribusi pengujian kapal perikanan. Pasal 3 ayat (2), jenis-jenis retribusi jasa usaha adalah: (a) retribusi pemakaian kekayaan daerah; (b) retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan; (c) retribusi tempat pelelangan; (d) retribusi terminal; (e) retribusi tempat khusus parkir; (f) retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa; (g) retribusi penyedotan kakus; (h) retribusi rumah potong hewan; (i) retribusi pelayanan pelabuhan kapal; (j) retribusi tempat rekreasi dan olah raga; (k) retribusi penyeberangan di atas air; (l) retribusi pengolahan limbah cair; dan (m) retribusi penjualan produksi usaha daerah. Pasal 4 ayat (2), jenis-jenis retribusi perizinan tertentu adalah: (a) retribusi izin mendirikan bangunan; (b) retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol; (c) retribusi izin gangguan; dan (d) retribusi izin trayek.

Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pasal 4 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa pajak daerah ditetapkan dengan Perda. Pasal 4 ayat (3), Perda tentang pajak daerah sekurang-kurangnya mengatur mengenai: (a) nama, obyek, dan subyek pajak; (b) dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; (c) wilayah pemungutan; (d) masa pajak; (e) penetapan; (f) tata cara pembayaran dan penagihan; (g) kadaluwarsa; (h) sanksi administrasi; dan (i) tanggal mulai berlakunya. Pasal 4 ayat (4), Perda tentang pajak daerah dapat pula mengatur ketentuan mengenai tiga hal. Pertama, pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan atau sanksinya. Kedua, tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluwarsa. Ketiga, tentang asas timbal balik (resiprositas).

Pasal 24 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa retribusi daerah ditetapkan dengan Perda. Pasal 24 ayat (3), Perda tentang retribusi daerah sekurang-kurangnya mengatur mengenai: (a) nama, obyek, dan subyek retribusi; (b) golongan retribusi; (c) cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan; (d) prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif; (e) struktut dan besarnya tarif retribusi; (f) wilayah pemungutan; (g) tata cara pemungutan; (h) sanksi administrasi; (i) tata cara penagihan; (j) tanggal mulai berlakunya retribusi. Pasal 24 ayat (4), Perda tentang retribusi daerah dapat juga mengatur mengenai tiga hal. Pertama, masa retribusi. Kedua, pemberian keringanan,

(8)

pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok retribusi dan atau sanksinya. Ketiga, tata cara penghapusan piutang retribusi yang kadaluwarsa.

Berdasarkan penelitian/kegiatan inventarisasi Rencana Legislasi Daerah, sampai Agustus 2001 saja Departemen Dalam Negeri (Depdagri) telah menerima sekitar 1979 Perda. Perda tersebut terdiri dari 1503 Perda tentang pajak daerah dan 926 Perda tentang Desa. Dari jumlah itu sebanyak 926 Perda memenuhi ketentuan perundang-undangan, 104 Perda dinyatakan bermasalah, dan 949 Perda ketika itu sedang dievaluasi lebih lanjut. Menurut penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dari sejumlah Perda tersebut terdapat 47 Perda harus dibatalkan dan 189 Perda harus direvisi. Jika data sampai Agustus 2001 saja telah begitu banyak ditemukan Perda bermasalah, menjadi pertanyaan adalah: berapa banyak Perda bermasalah hingga Agustus 2005 ?

Penelitian yang dilakukan oleh KPPOD tentang “Pemeringkatan Daya Tarik Investasi (Studi Kasus di 90 Kabupaten/Kota di Indonesia)”, menentukan tolok ukur Perda bermasalah dengan penekanan pada aspek ekonomi. Artinya, banyaknya Perda yang tergolong bermasalah sehingga perlu dibatalkan dan direvisi tersebut umumnya disebabkan melanggar prinsip-prinsip ekonomi. Terdapat lima jenis kasus Perda yang melanggar prinsip-prinsip ekonomi tersebut disertai dengan berbagai contohnya. Pertama, adanya hambatan perdagangan terhadap keluar masuk barang dari dan ke daerah lain baik dengan mekanisme tarif maupun non tarif. Contohnya adalah Perda Propinsi Lampung No. 6 Tahun 2000, Perda Kabupaten Pasaman No. 2 Tahun 2001, Perda Kabupaten Bima No. 16 Tahun 2000, dan sebagainya.

Kedua, adanya monopoli dengan perlakuan diskriminatif terhadap pelaku usaha lainnya. Contohnya adalah Perda Kabupaten Cirebon No. 23 Tahun 2001, Perda Kabupaten Karawang No. 15 Tahun 2001, dan sebagainya. Ketiga, pungutan berganda dengan pajak pusat (PPN, PBB, dll). Contohnya adalah Perda Kabupaten Bengkulu Selatan No. 6 Tahun 2001, Perda Kabupaten Serang No. 7 Tahun 2001, dan sebagainya. Keempat, pungutan dalam bentuk sumbangan yang dipaksakan dengan penerapan sanksi. Contohnya adalah Perda Kabupaten Flores Timur No. 2 Tahun 2000, Perda Kabupaten Tapin No. 5 Tahun 2000, Perda Kabupaten Kampar No. 23 Tahun 2000, dan sebagainya. Kelima, retribusi yang tidak memberi manfaat langsung terhadap pembayar retrtibusi. Contohnya adalah Perda Kabupaten Bengkulu Selatan No. 22 Tahun 2001, Perda Kabupaten Blitar No. 24 Tahun 2000, Perda Kabupaten Bekasi No. 25 Tahun 2000, dan sebagainya.

Di samping itu, temuan IMF (Internastonal Monetary Found) mengenai Perda bermasalah dari perspektif ekonomi tidak kalah menariknya. IMF telah merekomendasikan kepada Pemerintah mengenai Perda bermasalah dari sisi investasi asing. Perda bermasalah tersebut dapat menghambat kegiatan dunia usaha dan sekaligus merupakan “counter productive” terhadap usaha Pemerintah maupun Daerah dalam menarik inevstasi.

Berbeda dengan hal di atas, Depdagri menentukan tolok ukur Perda bermasalah lebih ditekankan pada aspek hukumnya. Dalam konteks ini suatu Perda dikualifikasi bermasalah apabila dalam pembentukkannnya melanggar asas legalitas. Perda tersebut dibentuk melanggar prinsip-prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan, yakni bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, bertentangan dengan Perda lain, melanggar kepentingan umum, dan disharmonis dengan peraturan pelaksanannya.

Dalam perspektif hukum, Perda dikatakan bermasalah adalah jika bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal itu sesuai dengan Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004, Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Untuk menghindari Perda agar tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka dalam pembentukannya harus taat asas.

Ketaatan asas yang dimaksud atas pembentukan Perda setidak-tidaknya menyangkut dua kelompok. Pertama, Pasal 137 UU No. 32 Tahun 2004, Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang meliputi: (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; dan (g) keterbukaan.

(9)

Kedua, Pasal 138 ayat (1), materi muatan Perda mengandung asas: (a) pengayoman; (b) kemanusiaan; (c) kebangsaan; (d) kekeluargaan; (e) kenusantaraan; (f) bhineka tunggal ika; (g) keadilan; (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; (i) ketertiban dan kepastian hukum; dan (j) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Pasal 2 ayat (4) UU No. 34 Tahun 2000 menyatakan bahwa daerah kabupaten/kota dapat menetapkan jenis pajak daerah selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang ini dengan ketentuan memenuhi beberapa kreteria. Pertama, bersifat pajak dan bukan retribusi. Kedua, obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Ketiga, obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Keempat, obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau obyek pajak pusat. Kelima, potensinya memadai. Keenam, tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. Ketujuh, memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat. Kedelapan, menjaga kelestarian lingkungan.

Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah

Menurut Bagir Manan (2001: 39), sistem pengawasan menentukan kemandirian suatu otonomi. Untuk menghindarkan agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan harus ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun tata caranya. Hal itu karena, pada saat semakin banyak dan intensif pengawasan dilakukan maka semakin sempit pula kemandirian daerah, sehingga membuat semakin terbatas otonominya. Sebaliknya pula, tidak boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan. Dengan demikian, kebebasan berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak yang lain, merupakan lembaran dalam berotonomi untuk menjaga keseimbangan kecenderungan pendulum ke arah desentralisasi maupun sentralisasi.

Pengawasan dalam UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintah tidak mengutamakan sistem pengawasan represif, melainkan lebih menekankan pada pengawasan preventif. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan daerah dalam mengambil keputusan, di samping memberi peran lebih besar kepada DPRD untuk menjalankan fungsinya. Oleh sebab itu, Perda yang ditetapkan daerah tidak perlu pengesahan terlebih dahulu oleh Pemerintah atau oleh Daerah tingkat atasnya. Perda tersebut baru dilakukan pengawasan oleh Pemerintah setelah ditetapkan oleh daerah yang bersangkutan.

Dari sudut teori pengawasan, maka pengawasan yang dilakukan Pemerintah terhadap Perda adalah bersifat “a posteriori”, yakni pengawasan itu baru dilakukan setelah dikeluarkannya Perda tersebut oleh daerah. Dari sudut kelembagaan, pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap Perda adalah merupakan pengawasan ekstern. Pengawasan tersebut dilakukan oleh organ atau lembaga yang secara organisatoris berada di luar pemerintahan daerah. Oleh sebab itu, pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut mempunyai tiga ciri-ciri khusus. Pertama, bersifat ekstern karena dilakukan oleh suatu badan atau lembaga di luar pemerintahan daerah. Kedua, “a posteriori” karena selalu dilakukan sesudah Perda tersebut ditetapkan. Ketiga, segi hukum karena menilai dari segi hukumnya saja. Pengawasan dari segi hukum adalah dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukumnya saja (legalitas) dari perbuatan hukum pemerintah daerah melalui produk hukum yang bernama Perda.

Pasal 80 ayat (1) PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah menyatakan bahwa dalam rangka pengawasan, Perda tentang pajak daerah disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 15 hari setelah ditetapkan. Pasal 17 ayat (1) PP No. 66 Tahun 2001 mengatur hal dan cara yang sama mengenai pengawasan terhadap Perda tentang Retribusi Daerah. Pasal 80 ayat (2) PP No. 65 Tahun 2001 menyatakan apabila Perda tentang Pajak Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Mendagri dengan pertimbangan Menkeu membatalkan Perda tersebut. Hal yang sama diatur pula dalam Pasal 17 ayat (2) PP No. 66 Tahun 2001 mengenai retribusi daerah. Pembatalan tersebut dilakukan paling lama satu bulan sejak diterimanya Perda yang dimaksud.

(10)

Persoalannya sekarang setelah diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 adalah masa penyampaian Perda yang telah ditetapkan oleh daerah ke Pemerintah adalah selama tujuh hari saja. Timbul pertanyaan: dapatkah dalam waktu tujuh hari daerah menyampaikan Perda yang telah ditetapkan kepada Pemerintah ? Di samping itu, khusus mengenai Perda tentang PDRD, apakah kewenangan melakukan pengawasan dapat diberikan lebih besar kepada Menkeu? Jika kedua pertanyaan ini dapat dijawab, maka akan tercipta tata cara pengawasan yang baik mengenai keberlakuan Perda tentang PDRD ke depan.

Kerangka Pemikiran

Sistem yang baik maka didalamnya sudah terdapat pengendalian internal yang baik sehingga dapat mengecah atau mengurangi adanya penyimpangan atau pelanggaran terhadap peraturan. Dengan sistem yang baik juga akan tercapai efisiensi dan efektivitas terhadap pencapaian tujuan. Sistem penyusunan Pajak Daerah dan Retribusi daerah perlu dianalisis karena masih banyaknya produk pajak daerah dan retribusi daerah yang melanggar Undang-Undang atau peraturan pemerintah pusat. Hasil temuan Mendagri dan Menteri Keuangan terdapat ribuan peraturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dibuat oleh daerah tingkat I (provinsi) dan daerah tingkat II (Kabupaten/kota) di Indonesia pada era reformasi. Untuk itu penelitin ini meneliti dan mengevaluasi sistem pembuatan dan pengesahan Pajak daerah dan retribusi daerah serta pengusulan sistem yang baru dan hukuman yang tepat bagi daerah yang melanggar sistem tersebut.

Bagan 1. Alur Kerangka Pikir

III. METODE PENELITIAN Tipe Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya adalah penelitian kasus sehingga analisis yang digunakan deskriptif dan analisis referensi dengan menggunakan teknik diskusi, obserbvasi dan surve. Penelitian ini dibahas secara deskriptif untuk menguraikan sistem yang sudah ada dengan menggunakan flow chart dari dukumen kemudian dari hal tersebut dianalisis secara mendalam kelemahan, kelebihan, kekuatan dan peluang untuk terjadinya penyimpangan. Analisis SWOT dapat digunakan. Untuk kekuatan

(11)

analisis ini maka digunakan diskusi sehingga dihasilkan analisis yang leibh baik. Dari hasil analisis maka akan dihasilkan flow chart dokumen yang bau yang leibh baik dan didalamnya yang sudah mengandung sistem pengendalian dan pengawasan.

Jenis dan Sumber Data

Data pada penelitian ini adalah data dari peraturan yang sudah ada tentang pajak daerah dan retribusi daerah serta aturan dan undang-undang pnyusunan pajak dan retribusi darah tersebut. Selain itu adalah aturan tentang pangawasan dari Pajak daerah dan retribusi daerah.

Adapun aturan atau undang- undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah tersebut antara lain adalah;

1. UU No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

2. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

3. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

4. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah;

5. Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2000 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;

6. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah; 7. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;

8. Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Propinsi Lampung, Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Kota Depok, dan Kabupaten Indramayu;

9. Peraturan Perundang-Undangan Lainnya yang berkaitan dengan Pembentukan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Perda.

Data yang diperoleh langsung dari sumber data di lokasi penelitian, peristiwa hukum yang terjadi, dan narasumber yang memberikan informasi. Data primer dikumpulkan melalui wawancara , dan FGD.

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah deskriptif yaitu menguraikan atau menggambarkan sistem dan prosedur penyusunan PDRD yang selama ini dan menurut peraturan yang berlaku. Kemudian dari deskriptif ini dianalisis dengan SWOT tentang kelemahan, kekuatan peluang dan ancaman sehingga bisa terjadi pajak daerah dan retribusi daerah yang melanggar serta daerah yang tetap menjalankan pajak daerah dan retribusi daerah yang melanggar walaupun sudah dihapuskan oleh pemerintah pusat. Dari hasil analisis ini kemudian disusun sistem yang baru yang diharapkan leibh baik dari sistem yang lama dan dapat mencegah atau mengurangi pelanggaran. Kemudian juga disusun sanksi yang tepat atas setiap pelanggaran sehingga dapat mencegah terulangnya palanggaran tersebut.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Penyusunan Perda Pajak dan retribusi daerah Tingkat I

Peraturan daerah tentang pajak daerah dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat I atau propinsi dan daerah tingkat II yaitu Kabupaten atau Kotamadya. Adapun mekanisme penyusunan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah tingkat I adalah sbb:

(12)

Bagan 2 : Mekanisme Penyusunan Perda PDRD Propinsi (UU. 32.2004)

ANALISIS

Berdasarkan bagan tersebut maka dapat dianalisis sebagai berikut: Kekuatan:

1. Mendagri mengevaluasi berdasarkan permohonan dari Gubernur tentang Raperda Pajak dan

Retribusi Daerah.

2. Dalam mengalisis Menteri dalam negri berkonsultasi dengan Menteri Keuangan.

3. Peraturan Daerah yang ditetapkan sudah berdasarkan evaluasi oleh Kementrian. Kelemahan:

1. Perda PDRD selama ini lebih banyak sebagai alat untuk meningkatkan Pendapatan Asli daerah bukan sebagai alat atau kebijakan untuk mengelolan perekonomian dan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat.

2. Mendagri tidak memiliki perwakilan di daerah sehingga bila Raperda yang masih dalam proses pengajuan di Mendagri dan belum mendapat persetujuan namun oleh pemerintah daerah sudah diterapkan tidak ada pihak yang mengawasi.

3. Demikian pula dengan perda yang telah ditolak namun tetap dijalankan didaerah tidak ada pihak

yang melakukan monitoring dan mengawasi.

4. Mendagri dan Menteri Keuangan dalam mengevaluasi kurang dalam mempertimbangkan kondisi

perekonomian daerah sehingga evaluasi lebih banyak dan lebih menitikberatkan pada kesesuaian dengan peraturan bukan sebagai alat menjaga perekonomian daerah dan nasional.

5. Pajak sebagai bagian dan alat kebijakan fiscal untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi kurang mendapat perhatian dan lebih banyak dipergunakan sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan daerah saja.

6. Pihak yang melakukan monitoring dan pengawasan dalam pelaksanaan perda tidak ada pada mekanisme tersebut dan bila dilakukan oleh Menteri dalam negri terlalu jauh dan kurang efektif

7. Sanksi atas pelanggaran perda PRDD belum ada.

8. Pihak yang ikut dalam mengelola perekonomian darah dan nasional seperti Bank Indonesia dan Dinas Pajak belum dilibatkan dalam menyusun, memonitor dan megnawasi Perda PDRD. Padahal pihak pajak dan BI berkepentingan untuk menjaga stabilitas perekonomian daerah, nasional dan juga dalam mengelola kebijakan fiscal dan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi.

(13)

Usulan

Berdasarkan evaluasi tersebut maka usulan penyusunan perda PDRD adalah sebagai berikut: Bagan 3. Usulan Penyusunan Perda PDRD Propinsi (UU. 32.2004)

1. Raperda sebelum disampaikan ke Menteri Dalam Negri harus dievaluasi oleh Bank Indonesia dan

Kantor Pajak setempat untuk dievaluasi tentang kesesuaian aturan dan kepantasan untuk diterapkan didaerah tersebut dengan pertimbangan kondisi social dan perekonomian daerah. 2. Menteri Dalam negri menerima Raperda yang telah dievaluasi oleh Kantor Bank Indonesia dan

Kantor Pajak sehingga evaluasi Mendagri lebih kepada ketaatan pada Undang-undang dan peraturan yang leibh tinggi.

3. Hasil Evaluasi dari Mendagri selain disampaikan ke Gubernur juga ke Kantor Bank Indonesia Cabang setempat dan Kantor Pajak untuk dilakukan monitoring dan pengawasan.

4. Bank Indonesia dan Kantor Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan monitoring dan

pengawasan serta melakukan usulan sanksi bila daerah tersebut melanggar atau melakukan revisi atas perda di daerah tersebut.

Penyusunan Perda Pajak dan retribusi daerah Tingkat II

Peraturan daerah tentang pajak daerah dilakukan oleh pemerintah daerah tingkat I atau propinsi dan daerah tingkat II yaitu Kabupaten atau Kotamadya. Adapun mekanisme penyusunan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah tingkat II adalah sbb:

(14)

Bagan 4: Mekanisme Penyusunan Perda PDRD Kabupaten/Kotamadya (UU. 32.2004)

ANALISIS

Berdasarkan bagan tersebut maka dapat dianalisis sebagai berikut: Kekuatan:

a. Gubernur mengevaluasi berdasarkan permohonan dari Bupati/Walikota tentang Raperda Pajak dan

Retribusi Daerah.

b. Mendagri dalam mengevaluasi berdasarkan pertimbangan Gubernur.

c. Dalam mengalisis Menteri dalam negri berkonsultasi dengan Menteri Keuangan.

d. Peraturan Daerah yang ditetapkan sudah berdasarkan evaluasi oleh Kementrian. Kelemahan:

1. Perda PDRD selama ini lebih banyak sebagai alat untuk meningkatkan Pendapatan Asli daerah bukan sebagai alat atau kebijakan untuk mengelola perekonomian dan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat.

2. Mendagri tidak memiliki perwakilan di daerah sehingga bila Raperda yang masih dalam proses pengajuan di Mendagri dan belum mendapat persetujuan namun oleh pemerintah daerah sudah diterapkan tidak ada pihak yang mengawasi dan Gubernurpun dalam pemerintahan desentralisasi seperti saat ini tidak memiliki kewenangan terhadap Kabupaten/kotamadya.

3. Demikian pula dengan perda yang telah ditolak namun tetap dijalankan didaerah tidak ada pihak

yang melakukan monitoring dan mengawasi.

4. Gubernur, Mendagri dan Menteri Keuangan dalam mengevaluasi kurang dalam

mempertimbangkan kondisi perekonomian daerah sehingga evaluasi lebih banyak dan lebih menitikberatkan pada kesesuaian dengan peraturan bukan sebagai alat menjaga perekonomian daerah dan nasional.

5. Pajak sebagai bagian dan alat kebijakan fiscal untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi kurang mendapat perhatian dan lebih banyak dipergunakan sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan daerah saja.

6. Pihak yang melakukan monitoring dan pengawasan dalam pelaksanaan perda tidak ada pada mekanisme tersebut dan bila dilakukan oleh Menteri dalam negri terlalu jauh dan kurang efektif

(15)

7. Sanksi atas pelanggaran perda PRDD belum ada.

8. Pihak yang ikut dalam mengelola perekonomian darah dan nasional seperti Bank Indonesia dan Dinas Pajak belum dilibatkan dalam menyusun, memonitor dan megnawasi Perda PDRD. Padahal pihak pajak dan BI berkepentingan untuk menjaga stabilitas perekonomian daerah, nasional dan juga dalam mengelola kebijakan fiscal dan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Usulan

Berdasarkan evaluasi tersebut maka usulan penyusunan perda PDRD adalah sebagai berikut: Bagan 5. Usulan Penyusunan Perda PDRD Kabupaten/Kotamadya (UU. 32.2004)

a. Raperda sebelum disampaikan ke Gubernur harus dievaluasi oleh Bank Indonesia dan Kantor Pajak setempat untuk dievaluasi tentang kesesuaian aturan dan kepantasan untuk diterapkan didaerah tersebut dengan pertimbangan kondisi social dan perekonomian daerah.

b. Gubernur menerima Raperda yang telah dievaluasi oleh Kantor Bank Indonesia dan Kantor Pajak

sehingga evaluasi Gubernur lebih kepada ketaatan pada Undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi dan koordinasi dengan daerah lain diwilayah propinsi tersebut.

c. Hasil Evaluasi dari Mendagri disampaikan ke Gubernur oleh Gubernur disampaikan ke Bupati juga ke Kantor Bank Indonesia Cabang setempat dan Kantor Pajak untuk dilakukan monitoring dan pengawasan.

d. Bank Indonesia dan Kantor Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan monitoring dan

pengawasan serta melakukan usulan sanksi bila daerah tersebut melanggar atau melakukan revisi atas perda di daerah tersebut.

(16)

Sanksi

Sistem desentralisasi keuangan merupakan hal baru di Indonesia sehingga kejadian banyaknya perda PDRD yang melangar belum diantisipasi sehingga sanksi bagi daerah yang melanggar belum ada karena belum terpikirkan pada saat menyusun undang-undang.

Untuk mencegah dan mengurangi pelanggaran serta menindak atas pelanggaran perda PDRD terhadap Undang-Undang maka perlu diberikan sanksi antara lain sebagai berikut:

a. Penundaan pencairan dana bagi hasil bagi daerah Kabupaten/Kota yang melanggar.

b. Pemotongan dana bagi hasil bagi daerah Kabupaten/Kotamadya yang tetap membandel atas

pelanggaran.

c. Pemotongan dana alokasi umum (DAU) bagi daerah yang tetap melanggar walaupun sudah

mendapat tegoran.

d. Peringatan dan penundaan DAU bagi propinsi yang melanggar

e. Pemotongan DAU bagi propinsi yang tetap melanggar walaupun sudah mendapat tegoran.

V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari hal tersebut diatas maka dapat disimpulkan beberapa hasl sebagai berikut:

1. Semangat desentralisasi juga melanda dalam desentralisasi pengelolaan keuangan daerah.

2. Penyusunan Perda Pajak daerah dan Retribusi Daerah lebih banyak dalam rangka peningkatan Pendapatan Asli daerah sehingga kurang memperhatikan iklim usaha dan perekonomian daerah sehingga seringkali mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan ikli usaha kurang kondusif.

3. Timbulnya pelanggaran Perda Pajak daerah dan retribusi daerah belum diantisipasi sehingga monitoring, pengawasan dan tindakan atas pelanggaran belum disiapkan.

4. Sistem pengendalian intern atas penyusunan perda PDRD terlalu lemah. 5. Sanksi atas pelanggaran perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah belum ada Saran

Atas kesimpulan tersebut diatas maka diusulkan beberapa saran sebagai berikut:

a. Perlunya sistem pengendalian intern pada penyusunan Perda PDRD dengan melibatkan bank Indonesia dan Kantor Pajak sebagai pihak yang melakukan monitoring dan pengawasan.

b. Penyusunan Perda Pajak Daerah dan retribusi Daerah harus sesuai dengan tujuan yaitu sebagai alat kebijakan fiscal untuk menciptakan iklim ekonomi daerah yang kondusif untuk menunjang perekonomian daerah sehingga pelibatan Bank Indonesia serta masukan dari Asosiasi pengusaha. c. Perlunya ada aturan yang mengatur tugas Bank Indonesia dan Kantor Pajak sebagai pihak yang

bertanggungjawab untuk memonitor dan mengawasi pajak daerah dan retribusi daerah.

d. Perlunya dibuat aturan tentang sanksi bagi daerah yang menyusun perda PDRD yang melanggar Undang-undang

DAFTAR PUSTAKA

Alan J. Aurbach and Joel Slemrod . 1986. The Economic Effects of the Tax Reform Act of 1986 Source: Journal of Economic Literature, Vol. 35, No. 2 (Jun., 1997), pp. 589-632 Published by: American Economic Association

Alan J Auerbach. . 1987. The Tax Reform Act of 1986 and the Cost of Capital. Source: The Journal of Economic Perspectives, Vol. 1, No. 1 (Summer, 1987), pp. 73-86. Published by: American Economic Association Stable

Alan J. Auerbach . 1997. The Future of Fundamental Tax Reform. The American Economic Review, Vol. 87, No. 2, Papers and Proceedings of the Hundred and Fourth Annual Meeting of the

(17)

American Economic Association (May, 1997), pp. 143-146 Published by: American Economic Association

Asmy Asmuri. 2006. Pengaruh Reformasi Perpajakan Terhadap Penerimaan Pajak Daerah Propinsi DKI Jakarta. Skripsi. UII Yogyakarta

Bagchi, Amaresh. 1994. India’s Tax Reform: A Progress Report. Economic and Political Weekly. Vol 29 No 43, ( Oct,22, 1994). pp 2809-2815. Published by Economic and Political Weekly Bedia F. Aka and Jean-Christophe Dumont .2008. Health, Education and Economic Growth: Testing

for Long-Run Relationships and Causal Links in the United States. Applied Econometrics and International Development, Vol. 8, No. 2, 2008 .SSRN

Berndt.R. Ernst and Bengt Hansson . 1992. Measuring the Contribution of Public Infrastructure Capital in Sweden . The Scandinavian Journal of Economics, Vol. 94, Supplement. Proceedings of a Symposium on Productivity Concepts and Measurement Problems: Welfare, Quality and Productivity in the Service Industries (1992), pp. S151-S168 Published by: Blackwell Publishing on behalf of The Scandinavian Journal of Economics

Bird, Richard M.and Oliver Oldman .1968. Tax Research and Tax Reform in Latin America-A Survey and Commentary . Source: Latin American Research Review, Vol. 3, No. 3 (Summer, 1968), pp. 5-23 . Published by: The Latin American Studies Association

Bird, Richard M.( 1992). Tax Reform in Latin America: A Review of Some Recent Experiences . Source: Latin American Research Review, Vol. 27, No. 1 (1992), pp. 7-36 Published by: The Latin American Studies Association

Bird, Richard M.( 1994) Tax Reform in Latin America: A Review of Some Recent Experiences Author(s): Source: Latin American Research

Bokhari A.S.Farasat , Yunwei Gai and Pablo Gottret .2006. Government Health Expenditures and Health Outcomes.SSRN

Bräuninger Michael and Jean-Pierre Vidal . 2000. Private versus Public Financing of Education and Endogenous Growth . Source: Journal of Population Economics, Vol. 13, No. 3 (Sep., 2000), pp. 387-401 Published by: Springer

Caminada, Koen and Goudswaard, Kees. 1996. Progression and Revenue Effects of Income Tax Reform. International Tax and Public Finance, Vol. 3, No. 1, 199. SSRN

Courant N. Paul and Rubinfeld.L.Daniel. 1987. Tax Reform: Implications for the State-Local Public Sector. Source: The Journal of Economic Perspectives, Vol. 1, No. 1 (Summer, 1987), pp. 87-100 Published by: American Economic Association

David E. Bloom ,David Canning and Jaypee Sevilla . 2001. The Effect of Health on Economic Growth: Theory and Evidence .NBER Working Paper No. w8587 .SSRN

De Lon J. Bradford and Lawrence H. Summers . 1991. Equipment Investment and Economic Growth. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 106, No. 2 (May, 1991), pp. 445-502 Published by: The MIT Press

Dewa Putu Gede Chrisna Sanjaya. 2006. Pengaruh Penerapan Sistem Administrasi Pajak Modern Terhadap Kinerja Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua. Tesis. Program Pasca UGM. Yogyakarta.

Errol D'Souza. 1995. The Budget Tax Reforms and Public Policy. Economic and Political Weekly, Vol. 30, No. 18/19 (May 6-13, 1995), pp. 1079-1084 Published by: Economic and Political Weekly Stable

(18)

Evans Owen and Lloyd Kenward . 1987. The Macroeconomic Effects of TaxReform in the United States. IMF Working Paper No. 87/64

Feenberg Daniel R. and. Skinner S Jonathan 1990. The Impact of the 1986 Tax Reform Act on Personal Saving. NBER Working Paper No. W3257

Fuente de la Angel , Xavier Vives, Juan J. Dolado, Riccardo Faini . 1995. Infrastructure and Education as Instruments of Regional Policy: Evidence from Spain .Economic Policy, Vol. 10, No. 20 (Apr., 1995), pp. 13-51 Published by: Blackwell Publishing on behalf of the Centre for Economic Policy Research, Center for Economic Studies, and the Maison des Sciences de l'Homme

Goolsbee.Austan , and Robert E. Hall, Lawrence F. Katz . 1999. Evidence on the High-Income Laffer Curve from Six Decades of Tax Reform. Brookings Papers on Economic Activity, Vol. 1999, No. 2 (1999), pp. 1-64 Published by: The Brookings

Grady. Patric and Stpehenson R.Donald. 1977. Some Macroeconomics Effects of Tax Reform and Indexing. Vol 10 No 13, pp378-392. Published by Blackweel Publishing on behalf of The Canadian Economics Asociation.

Gupta.Indrani and Arup Mitra. 2004. Economic Growth, Health and Poverty: An Exploratory Study for India.Development Policy Review, Vol. 22, pp. 193-206, March 2004

Hallerberg, Mark and Basinger. Scott.1996. Why Did All but Two OECD Countries Initiate Tax Reform from 1986 to 1990? Emory University –Department of Political Science State University of New York - Department of Political Science. November 1996

Hendershott. H. Patric . 1988. The Tax Reform Act Of 1986 And Economic Growth . National Bureau of Economic Research (NBER). March 1988. NBER Working Paper No. W2553

Hildred.M. William and James V. Pinto. 1990. Impact of the 1986 Federal Tax Reform on the Passive Tax Expenditures of State.s Source: Journal of Economic Issues, Vol. 24, No. 1 (Mar., 1990), pp. 225-238 . Published by: Association for Evolutionary Economics

House L. Christopher and Shapiro.D. Mathew. 2006. Phased In Tax Cuts and Economic Activity. Vol 96 N0 5 (Dec 2006), pp 1835-1849. Published by Americasn Economics Asociation.

Jerry A. Hausman and James M. Poterba . 1987. Household Behavior and the Tax Reform Act of 1986 . The Journal of Economic Perspectives, Vol. 1, No. 1 (Summer, 1987), pp. 101-119 Published by: American Economic Association

Jorgenson.W.Dale and Kun-Young Yun.1990. Tax Reform and U.S. Economic Growth . Source: The Journal of Political Economy, Vol. 98, No. 5, Part 2: The Problem of Development: A Conference of the Institute for the Study of Free Enterprise Sistems (Oct., 1990), pp. S151 -S193. Published by: The University of Chicago Press

Jones Garett· W. Joel Schneider. 1993. Intelligence, human capital, and economic growth:A Bayesian Averaging of Classical Estimates (BACE) approach. J Econ Growth (2006) 11:71–93 DOI 10.1007/s10887-006-7407-2.

Jouvet, Pierre-André And Oueslati, Walid. 2002.Tax Reform And Public Spending Trade-Offs In An Endogenous Growth Model With

Environmental Externality. ETA – Economic Theory And Applications. Nota Di Lavoro 103.2002 Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi, Penerbit Ghalia

(19)

Justman . Moshe . 1995. Infrastructure, Growth and the Two Dimensions of Industrial Policy. The Review of Economic Studies, Vol. 62, No. 1 (Jan., 1995), pp. 131-157 Published by: The Review of Economic Studies Ltd.

Lamudi, Hurip.2009. Analisis Pengaruh Reformasi Perpajakan 1983 Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Di Indonesia. Skripsi. FEB UGM. Tidak Dipublikasikan

Laura Francia , Lara Gitto , Francesco Mennini and Barbara Polistena. 2007. An Econometric Analysis of OECD Countries Health Expenditure .iHEA 2007 6th World Congress: Explorations in Health Economics Paper .SSRN

Listokin, Yair. Tax Expenditure and Bussiness Cycle Fluctuations. SSRN. Association Profesor of Law, Yale law School.

Looney .E. Robert . 1994. The Impact of Infrastructure on Pakistan's Agricultural Sector. The Journal of Developing Areas, Vol. 28, No. 4 (Jul., 1994), pp. 469-486 Published by: College of Business, Tennessee State University

M. Ansari M. 1982. Determinants of Tax Ratio: A Cross-Country Analysis. Source: Economic and Political Weekly, Vol. 17, No. 25 (Jun. 19, 1982), pp. 1035-1042. Published by: Economic and Political Weekly

Mc.Guire,J. Therese. 1991. State and Local Tax Reform for 1990’s: Implications from Arizona. The Journal of Policy Analysis and Management, Vol 10. No 1 (Winter, 1991). pp 64-77. Published by Jhon Willey and Sons on Behalf of Association for Public Policy Analysis and Management.

Mulyadi, 1993. Sistem Akuntansi. Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN,

Yogyakarta.

Munnell .H. Alicia . 1992. Policy Watch: Infrastructure Investment and Economic Growth. The Journal of Economic Perspectives, Vol. 6, No. 4 (Autumn, 1992), pp. 189-198 Published by: American Economic Association

Paul N. Courant and Daniel L. Rubinfeld . 1987. Tax Reform: Implications for the State-Local Public Sector Author(s):: The Journal of Economic Perspectives, Vol. 1, No. 1 (Summer, 1987), pp. 87-100 Published by: American Economic Association

Pechman .A. Joseph . 1987. Tax Reform Prospects in Europe and Canada. Source: The Brookings Review, Vol. 5, No. 1 (Winter, 1987), pp. 11-19. Published by: The Brookings Institution Strulik. Holger . 2004. Economic Growth and Stagnation with Endogenous Health and Fertility.

Journal of Population Economics, Vol. 17, No. 3 (Aug., 2004), pp. 433-453 Published by: Springer

Suparyati . Agustina ( ). Analisis Dampak Reformasi Perpajakan Terhadap Kinerja Pajak Di Indonesia. Thesis . Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti, Jakarta.

Uppal, JS. 2000. Taxation In Indonesia. Edisi Ke 2 Cet ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Uppal, JS. 2003. Tax Reform in Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Wai-Hong Ho and Yong Wang . 2005. Public Capital, Asymmetric Information, and Economic Growth . The Canadian Journal of Economics / Revue canadienne d'Economique, Vol. 38, No. 1 (Feb., 2005), pp. 57-80 . Published by: Blackwell Publishing on behalf of the Canadian Economics Association

Walter.E. James. 1952. Tax Sensitivity. Southern Economic Journal. Vol 17.No 4, (April 1990). pp. 422-427. Published by Southern Economic Association.

(20)

Wylie.J. Peter J . 1996. Infrastructure and Canadian Economic Growth 1946-1991 . The Canadian Journal of Economics / Revue canadienne d'Economique, Vol. 29, Special Issue: Part 1 (Apr., 1996), pp. S350-S355 . Published by: Blackwell Publishing on behalf of the Canadian Economics Association

Yuswanto, dkk., 2006.”Eksistensi dan Posisi UU PDRD terhadap Otonomi Daerah” Lembaga Penelitian Universitas Lampung.

Perkiraan Biaya Penelitian

No Uraian Unit Faktor Pengali Harga/unit Jumlah

1 Alat Tulis dan Habis Pakai 1 3 bulan Rp 400.000 Rp 1.200.000

2 Fotocopy dan penjilidan

proposal

2 10 eksemplar Rp 100.000 Rp 1.000.000

3 Pengumpulan data dan

Analisa

1 1 paket Rp 3 juta Rp 3.000.000

4 Transport dan Komunikasi 1 3 Rp 600.000 Rp 1.800.000

5 Seminar Proposal dan Hasil

Penelitian

2 1 x Rp 3.000.000 Rp 3.000.000

Total 10.000.000

Referensi

Dokumen terkait

Rancangan Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Trayek di Kalimantan Barat secara umum mengatur struktur dan besaran tarif retribusi izin trayek dan izin operasi yang menjadi

a) Peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah berpedoman pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan

Hal ini dibuktikan dalam penelitian Rasab (2016: p.64) daun belimbing wuluh mempunyai daya hambat pertumbuhan bakteri dikarenakan terdapat komponen kimia aktif antimikroba

Bagi anda pengguna layanan shared hosting Qwords.com dengan system control panel cPanel, anda tidak akan perlu repot-repot membuat / menambahkan script htaccess untuk

kecil, meskipun komunikasi antara pengajar dan pelajar dalam ruang kelas itu termasuk komunikasi kelompok (group communication), sang pengajar sewaktu-waktu bisa mengubahnya

Hasil evaluasi yang diperoleh dari kuesioner User experience Evaluation pada TUXEL 2.0 memiliki median dan mean value yang bernilai positif pada ke-12 dimensi yaitu terdapat

Dan, ketiga pengawas sekolah utama memiliki tugas: (1) menyusun program pengawasan; (2) melaksanakan pembinaan guru dan kepala sekolah; (3) memantau pelaksanaan standar isi,

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian adalah apakah status gizi, body image dan