• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fungsi Maujana Nagori Dalam Mewujudkan Good Governance pada Nagori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fungsi Maujana Nagori Dalam Mewujudkan Good Governance pada Nagori"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar tentang Pelaksanaan Fungsi Maujana Nagori Dalam Mewujudkan Good Governance pada Nagori Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, maka terlebih dahulu diuraikan dan dijelaskan akan fungsi Maujana Nagori dan Good Governance.

2.1. Otonomi Desa

Sesuai dengan amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemda (Pemerintah Daerah) berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas desentralisasi dan tugas pembantuan.

Otonomi Desa adalah hak dan wewenang desa untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan desa yang telah ditetapkan bersama BPD. Pemerintahan desa terdiri atas kepala desa serta perangkat desa dan juga BPD. Desa mempunyai wewenang yang mencakup kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal usul desa, kewenangan tugas pembantuan dari pemerintah provinsi dan kabupaten. Tugas dan kewajiban kepala desa adalah memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian desa, memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat desa, mendamaikan perselisihan masyarakat desa, mewakili desa dalam dan luar pengadilan. Kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada bupati melalui camat.

(2)

2.2. Nagori

Menurut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari daerah. Berbeda dengan luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.

Para ahli sejarah memandang desa sebagai sumber kekuatan dan ketahanan dasar dalam mempertahankan kemerdekaan (community power). Menurut Ndraha (dalam Labolo,2006 : 133), Desa dianggap sebagai sumber nilai luhur yang memiliki karakteristik seperti gotong- royong, musyawarah mufakat, dan kekeluargaan sehingga menimbulkan berbagai semboyan.

Menurut Mutty (dalam Labolo, 2006 : 133), Desa sebagai suatu lembaga pemerintahan dengan hak otonomi yang dimilikinya telah mendapat pengakuan jauh sebelum dilaksanakannya pemerintahan dengan azas desentralisasi.

Sedangkan pada Kabupaten Simalungun Desa di sebut dengan istilah Nagori. Nagori itu sendiri mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 13 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Nagori. Pada Perda Kabupaten Simalungun No.13 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Nagori, menjelaskan bahwa Nagori adalah

(3)

Kesatuan Masyarakat Hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistim Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada Nagori yang menjadi Kepala Pemerintahan Nagori adalah Pangulu. Sedangkan Sekretaris dan Kepala Urusan disebut dengan Tungkat Nagori. Untuk pimpinan wilayah bagian Nagori dilingkungan kerja pelaksanaan Pemerintahan Nagori adalah Gamot. Untuk bagian wilayah Nagori disebut dengan Huta.

2.2.1. Kewenangan Nagori

Adapun kewenangan Nagori menurut Perda Kabupaten Simalungun No.13 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Nagori pada Pasal 156 mencakup:

1. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal- usul Nagori

2. Kewenangan yang oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah

3. Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan atau Pemerintah Daerah kepada Nagori disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia.

Kewenangan yang dimaksud pada Pasal 156, meliputi bidang- bidang: 1. Bidang Pertanian

2. Bidang Pertambangan dan Energi 3. Bidang Kehutanan dan Perkebunan 4. Bidang Perindustrian dan Perdagangan

(4)

5. Bidang Perkoperasian 6. Bidang Ketenagakerjaan 7. Bidang Kesehatan

8. Bidang Pendidikan dan Kebudayaan 9. Bidang Sosial

10. Bidang Pekerjaan Umum 11. Bidang Perhubungan 12. Bidang Lingkungan Hidup

13. Bidang Kesatuan Bangsa, Perlindungan Masyarakat dan Politik Dalam Negeri 14. Bidang Pengembangan Otonomi Desa

15. Bidang Perimbangan Keuangan 16. Bidang Tugas Pembantuan 17. Bidang Pariwisata

18. Bidang Pertanahanan 19. Bidang Kependudukan 20. Bidang Perencanaan

21. Bidang Penerangan/Informasi dan Komunikasi

Untuk melaksanakan kewenangannya, Nagori setiap Tahun mendapat bantuan dana dari Pemerintah Daerah.

2.2.2. Pembentukan, Pemekaran,Penggabungan Dan Penghapusan Nagori Berdasarkan Perda Kabupaten Simalungun No. 13 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Nagori, menjelaskan bahwa:

(5)

1. Nagori dibentuk, dimekarkan, digabung, dihapus dan atau ditata atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal- usul Nagori, kondisi geografis, sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat

2. Tujuan Pembentukan, Pemekaran, Penggabungan, Penghapusan Nagori adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna Penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan.

Pembentukan Nagori dapat berupa penggabungan beberapa Nagori atau bagian Nagori yang bersandingan, atau pemekaran dari satu Nagori menjadi dua Nagori atau lebih, atau pembentukan Nagori diluar Nagori yang telah ada. Pada pembentukan Nagori berdasarkan atas usul Pangulu dan kemudian ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.

Adapun syarat dari pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan Nagori adalah sebagai berukut:

1. Jumlah penduduk minimal 1000 jiwa atau 200 Kepala Keluarga

2. Luas wilayah terjangkau secara berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan

3. Mempunyai potensi sumber daya alam yang dapat dikelola untuk kepentingan masyarakat dengan memperhatikan pelestarian lingkungan

4. Minimal terdiri dari 3 (tiga) Huta (Gamot)

5. Tersedianya Sumber Daya Manusia yang akan dipilih menjadi Tungkat Nagori 6. Tersedianya Sarana dan Prasarana Pemerintahan Nagori

(6)

Mekanisme Pembentukan dan Pemekaran Nagori diantaranya:

1. Dengan memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat serta syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud, Nagori dapat dibentuk dan dimekarkan setelah dilakukan pendataan dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan 2. Pembentukan dan Pemekaran Nagori dilakukan atas prakarsa masyarakat dan

diusulkan Pangulu setelah mendapat persetujuan dari Maujana Nagori

3. Untuk melaksanankan Pembentukan dan Pemekaran Nagori, Bupati Simalungun membentuk Panitia yang terdiri dari Unsur Pemerintahan Daerah

4. Dalam pembentukan Nagori baru, Kepala Daerah dapat menetapkan Nagori Persiapan, dengan ketentuan setelah adanya pembinaan paling lama 2 (dua) tahun dan memenuhi syarat-syarat terbentuknya Nagori dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah

Penggabungan dan Penghapusan Nagori adalah sebagai berikut:

1. Suatu Nagori yang dalam perkembangan keadaan situasi dan kondisi tidak lagi memenuhi syarat, daaerah ini dapat digabungkan atau dihapuskan.

2. Penggabungan dan atau Penghapusan Nagori dapat dilakukan setelah sedikitnya 5 (lima) tahun penyelenggaraan Pemerintahan Nagori berdasrkan usul Pangulu dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah

Adapun Pembagian wilayah Nagori yaitu:

1. Dalam wilayah Nagori dapat dibentuk Huta yang merupakan bagian wilayah kerja pelaksana Pemerintahan Nagori yang dipimpin oleh Gamot.

(7)

a. Jumlah penduduk paling rendah 330 jiwa atau 70 KK

b. Luas wilayah terjangkau secara berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan

c. Kondisi sosial budaya masyarakat memungkinkan adanya kerukunan hidup, kerukunan beragama dan mendorong perubahan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat setempat

3. Pembentukan Huta ditetapkan dengan Peraturan Nagori

2.3. Badan Permusyawaratan Desa (Untuk Kabupaten Simalungun disebut MAUJANA NAGORI)

Sebagai wujud demokrasi, maka di desa dibentuk badan legislatif atau yang dikenal dengan sebutan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa. Anggota BPD dipilih dari dan oleh penduduk desa, sedangkan pimpinan BPD dipilih oleh anggota BPD itu sendiri. BPD dan bersama kepala desa menetapkan peraturan desa, menetapkan anggaran pendapatan desa, menetapkan atau membentuk lembaga-lembaga desa lainnya sesuai dengan kebutuhan desa, menetapkan badan usaha desa, pelaksanaan peraturan desa ditetapkan dengan keputusan kepala desa, dan peraturan desa tidak memerlukan pengesahan Bupati tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat- lambatnya 2 (dua) minggu setelah keputusan ditetapkan dengan tembusan melalui camat.

(8)

Keberadaan BPD bukan sekedar pelayan pada sebuah desa melainkan sebagai mitra bagi pemerintah desa dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan, selain itu BPD diharapkan dapat menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa dengan demikian peran BPD benar- benar dirasakan oleh masyarakat.

Berbeda dengan masa Orde Baru, pada periode reformasi, perubahan yang cukup substansial dalam tata Pemerintahan Desa, hal ini terjadi dengan diterbitkannya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan selanjutnya diganti lagi, dan menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Perubahan pengaturan tentang pemerintah daerah melalui Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa konsekuensi penting terhadap elemen dasar pemerintah, yaitu Pemerintahan Desa. Sekalipun tidak begitu signifikan, perubahan yang ditampilkan oleh Undang- Undang tersebut dibandingkan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun dapat dipahami bahwa pengaturan Pemerintahan Desa tampak mengalami perhatian serius oleh pemerintah pusat melalui perubahaan format badan-badan pelaksana dan pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintahan desa menurut perspektif Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan mempersoalkan kembali relativitas otonomi desa secara normatif dengan membandingkan dalam realitas penyelenggaraannya.

Pertama, adanya pemisahan antara kekuasaan eksekutif desa (Pemerintah Desa) dan legislatif desa (Badan Permusyawaratan Desa). Dengan adanya pemisahan tersebut maka kekuasaan mulai dibagi, dipisahkan serta dibatasi. Eksekutif desa (Pemerintah Desa) tidak lagi menjadi “pusat” dari proses pembuatan, pelaksanaan

(9)

dan pengawasan kebijakan desa, namun hanya sebagai pelaksana kebijakan. Proses pembuatan kebijakan desa dilakukan dengan melakukan pelibatan partisipasi masyarakat melalui saluran formal berupa lembaga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan sekaligus BPD dapat digunakan masyarakat untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan kebijakan desa yang dilakukan oleh eksekutif desa (Pemerintah Desa). Dengan adanya pemisahan kekuasaan antara eksekutif desa dengan legislatif desa maka telah terjadi perubahan struktur Pemerintahan Desa yang tidak lagi bersifat sentralistik yang kemudian berganti dengan pengaturan Pemerintahan Desa secara demokratis melalui pemberian tempat bagi adanya partisipasi oleh warga desa.

Kedua, pengurangan mengenai sistem hirarki birokrasi. Jika pada masa Orde Baru pemerintah desa hanya menjadi sub bagian dari kabupaten yang dapat dikontrol dan di intervensi melalui kecamatan. Dengan adanya struktur Pemerintahan Desa yang baru, kecamatan tidak lagi membawahi desa, dan desa langsung berhubungan dengan kabupaten. Hubungan antara desa dan kabupaten yang kemudian diatur lebih dalam hubungan- hubungan yang bersifat formalistik. Hal tersebut misalnya tercermin dalam mekanisme pertanggungjawaban kepala desa yang lebih ditekankan untuk diberikan kepada masyarakat melalui lembaga BPD dan ketingkat kabupaten lebih bersifat pelaporan. Dengan adanya struktur yang demikian, maka jalannya pemerintahan desa lebih dikontrol oleh masyarakat desa sendiri dan bukan oleh pemerintah yang lebih atas. Dengan kata lain proses yang terjadi di desa lebih ditekankan pada dinamika internal desa dibandingkan dengan instruksi dari hirarki pemerintah di atasnya.

(10)

Dalam melaksanakan kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, di desa dibentuk BPD sebagai lembaga legislasi (menetapkan kebijakan desa) dan menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat bersama kepala desa. Lembaga ini pada hakikatnya adalah mitra kerja pemerintah desa yang memiliki kedudukan sejajar dalam menyelenggarakan urusan Pemerintahan Desa, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Sebagai lembaga legislasi, BPD memiliki hak untuk menyetujui atau tidak terhadap kebijakan desa yang dibuat oleh pemerintah desa. Lembaga ini juga dapat membuat rancangan peraturan desa untuk secara bersama- sama pemerintah desa ditetapkan menjadi peraturan desa. Disini terjadi mekanisme chek and balance system dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang lebih demokratis. Sebagai lembaga pengawasan, BPD memiliki kewajiban untuk melakukan kontrol terhadap implementasi kebijakan desa, Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa (APBD) serta pelaksanaan keputusan pelaksanaan kepala desa. Selain itu, dapat juga dibentuk lembaga kemasyarakatan desa sesuai kebutuhan desa untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan.

2.3.1. Keanggotaan BPD

Keanggotaan BPD ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 210, yang berbunyi:

1. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat

(11)

3. Masa jabatan BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) masa jabatan berikutnya

4. Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan BPD diatur dalam peraturan Daerah (Perda) yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP)

2.3.2. Kewajiban BPD

BPD berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 29, menyebutkan BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan mempunyai kewajiban sebagai berikut:

1. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang- Undang Dasar 1945 dan mantaati segala peraturan perundang- undangan

2. Melakanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintah desa 3. Mempertahankan dan memelihara hukum Nasional serta keutuhan Negara

kesatuan Republik Indonesia

4. Menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat 5. Memproses pemilihan kepala desa

6. mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan

7. Menghormati nilai- nilai sosial budaya dan adat istiadat setempat 8. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan masyarakat

(12)

2.3.3. Wewenang BPD

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 35, menyatakan bahwa BPD mempunyai wewenang sebagai berikut:

1. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa

2. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa

3. Mengusulkan pengangkatan kepala desa dan pemberhentian kepala desa 4. Membentuk panitia pemilihan kepala desa

5. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat

6. Menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Anggota BPD juga mempunyai hak sebagai berikut: 1. Mengajukan rancangan peraturan desa

2. Mengajukan pertanyaan

3. Menyampaikan usul dan pendapat 4. Memilih dan dipilih

5. Memperoleh tunjangan

2.3.4. Fungsi BPD/Maujana Nagori

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2001, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 serta Peraturan daerah Kabupaten Simalungun Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Nagori ,disimpulkan bahwa tugas dan fungsi BPD (Maujana Nagori) terdiri atas tiga fungsi yaitu:

(13)

2.3.4.1. Fungsi Legislasi

Fungsi legislasi ini terlihat pada keterlibatan BPD dalam mengesahkan Peraturan Desa (Perdes). Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam peraturan pemerintah nomor 76 tahun 2001 pada pasal 30 ayat (1), kemudian direvisi kepada peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 dalam pasal 35 bahwa wewenang Badan Permusyawaratan Desa diantaranya adalah “Membahas Rancangan Peraturan Desa Bersama Kepala Desa. Di dalam pembuatan peraturan Desa (Perdes) tersebut tentunya dimulai dengan suatu perancangan”. Fungsi Badan Permusyawaratan Desa sebagai legislasi yakni adanya keterlibatan di dalam merumuskan rancangan Peraturan Desa (Perdes).

Secara normatif rancangan tersebut bersumber dari dua lembaga yakni: 1. Rancangan yang berasal dari Eksekutif Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa) 2. Rancangan yang berasal dari Legislatif Desa (Badan Permusyawaratan Desa)

yang disebut rancangan peraturan desa inisiatif.

Akan tetapi, kedua rancangan tersebut baru bisa dijadikan Peraturan Desa (Perdes) jika disetujui oleh kedua belah pihak yaitu legislatif dan eksekutif desa. 2.3.4.2. Fungsi Anggaran (Budgetting)

Anggaran dapat diartikan sebagai rencana sumber- sumber dan alokasi dana untuk mencapai tujuan yang akan dicapai dalam suatu periode waktu tertentu, biasanya satu tahun ke depan. Rencana sumber- sumber dana tentunya menggali potensi dana yang dapat diperoleh baik dari dalam maupun dari luar desa. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) juga mempunyai dimensi waktu yang menunjukkan proses dinamis sepanjang waktu.

(14)

Desa sebagai daerah yang otonom harus mampu mengembangkan dirinya sendiri dalam rangka mencapai kemandirian. Untuk itu Desa dituntut tidak hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah maupun pemerintah daerah, akan tetapi harus mampu mempunyai sumber keuangan sendiri. Sumber pendapatan Desa tersebut diatur dan disusun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes).

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, penyelenggaraan urusan Pemerintahan Desa didanai dari Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes), bantuan pemerintah dan pemerintah daerah. Di dalam pasal 68 dijelaskan bahwa sumber pendapatan desa terdiri dari :

1. Pendapatan asli desa meliputi hasil usaha desa , hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi waraga desa, hasil gotong royong dan lain- lain pendapatan asli desa yang sah

2. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/ Kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) untuk desa dari retribusi Kabupaten/ kota sebagian diperuntukkan bagi desa

3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/ Kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) yang pembagiannya setiap desa secara proposional yang merupakan alokasi dana desa. 4. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah

Kabupaten/ Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintah. 5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat

Pendapatan perangkat desa banyak tergantung pada kesuburan dan kekayaan desa yang bersangkutan mengingat keadaan ekonomi pedesaan yang kurang stabil akan berpengruh pada motivasi dan semangat kerja pada unsur penyelenggaraan

(15)

pemerintahan desa tersebut. Kemudian semua pendapatan desa disusun menjadi sebuah Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Desa (RAPBDes).

RAPBDes kemudian dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa oleh Kepala Desa besama BPD yang ditetapkan dengan peraturan desa. Fungsi ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 pada pasal 30 ayat (2), kemudian direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 73 ayat (3) bahwa Kepala Desa bersama BPD menetapkan APBDes setiap tahun dengan Peraturan Desa.

2.3.4.3. Fungsi Controlling (Pengawasan)

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi di dalam penyelenggaraan Pemerintah Desa, artinya institusi ini adalah wadah yang mengakomodir aspirasi masyarakat desa. Di dalam Undang- Undang nomor 32 tahun 2004 pada pasal 209 dikatakan bahwa “BPD berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.” Perwujudan Otonomi Desa adalah suatu peningkatan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi menuju kehidupan dan tradisi penyelenggaraaan pemerintahan yang didasari dan ditegakkan oleh masyarakat merasa dan turut bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama bagi sesama warga.

2.4. Good Governance

2.4.1. Pengertian Governance

Konsep Governance bukanlah konsep yang baru, konsep governance sama tuanya dengan peradaban manusia, salah satu pembahasan tentang good governance

(16)

dapat ditelusuri dari Endarlin (dalam Setyawan, 2004 : 223) governance merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk mengganti istilah goverment, yang menunjuk penggunaan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah- masalah kenegaraan.

Governance yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan- urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga- lembaga di mana warga dan kelompok- kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan- perbedaan di antara mereka.

Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non- pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat di mana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusi- institusi negara. Governance mengakui bahwa di dalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.

Governance sebagai proses pengambilan keputusan dan proses yang mana keputusan itu diimplementasikan, maka analisis governance difokuskan pada faktor- faktor formal dan informal yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan implementasinya serta struktur formal dan informal yang disusun untuk mendatangkan implementasi keputusan. Governance dapat digunakan dalam

(17)

beberapa konteks seperti corporate governance, international governance, national governance, dan local governance.

Menurut Kooiman (dalam Setyawan, 2004 : 224), mengatakan governance merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan- kepentingan tersebut. Governance merupakan mekanisme- mekanisme, proses- proses dan institusi- institusi melalui warga negara mengartikulasikan kepentingan- kepentingan mereka, memediasi perbedaan- perbedaan mereka serta menggunakan hak dan kewajiban legal mereka. Governance merupakan proses lembaga- lembaga pelayanan, mengelola sumber daya publik dan menjamin realita hak asasi manusia. Dalam konteks ini good governance memiliki hakikat yang sesuai yaitu bebas dari penyalahgunaan wewenang dan korupsi serta dengan pengakuan hak berlandaskan pada pemerintah hukum.

2.4.2. Pengertian Good Governance

Berkaitan dengan good governance, Mardianso (dalam Tangkilisan, 2005 : 114) mengemukakan bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance, di mana pengertian dasarnya adalah pemerintahan yang baik. Kondisi ini berupaya untuk menciptakan suatu penyelenggaraan pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip demokrasi, efisiensi, pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administrasi.

(18)

Menurut O’Brien (dalam Nugroho, 2005 : 142) mendefinisikan good governance penjumlahan dari cara- cara di mana individu- individu dan institusi- institusi baik privat maupun publik mengelola urusan- urusan bersamanya.

Tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur negara termasuk daerah adalah perlunya mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan perpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan menurut dipraktekkannya prinsip good governance.

Lebih lanjut disebutkan dalam konteks pembangunan, definisi governance adalah “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan pembangunan”, sehingga good governance, dengan demikian adalah “mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang substansial dan penerapannya untuk menunjang pembangunan yang stabil dengan syarat utama efisien dan merata”.

Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola urusan- urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga- lembaga di mana warga dan kelompok- kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan- perbedaan diantara mereka. Jelas bahwa good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat.

(19)

2.4.3. Prinsip- Prinsip Good Governance

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip- prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip- prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip- prinsip good governance . Menurut UNDP (dalam Suhady, 2005 : 59) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip- prinsip yang dikembangkan dalam pemerintahan yang baik (good governance) adalah sebagai berikut:

1. Partisipasi

Seiap orang atau setiap warga negara baik laki- laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing- masing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2. Aturan Hukum (Rule of Law)

Kerangka aturan hukum dan perundang- undangan haruslah berkeadilan ditegakkan dan dipatuhi secara utuh (impartially), terutama tentnag aturan hukum tentang hak asasi manusia.

3. Transparansi

Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses bebas oleh mereka yang

(20)

membutuhkannya, dan informasi harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebgai alat monitoring dan evaluasi. 4. Daya Tanggap (Responsiveness)

Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).

5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation)

Pemerintahan yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing- masing pihak, dan jika mungkin juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.

6. Berkeadilan (Equity)

Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik tehadap laki- laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya.

7. Efektifitas dan Efisiensi

Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar- benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik- baiknya dari berbagai sumber yang tersedia.

8. Akuntabilitas

Para pengambil keputusan (decision makers) dalam organisasi sektor pelayanan, dan warga negara madani memiliki pertanggung jawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum) sebagaimana halnya kepada para pemilik

(21)

(stakeholders). Pertanggung jawaban tersebut berbeda- beda, bergantung pada jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal.

9. Bervisi Strategis

Para pimpinan dan warga negara memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspek- aspek historis, kultur, dan kompleksitas sosial yang mendasari perspektif mereka.

10. Saling Keterkaitan

Bahwa keseluruhan ciri good governance tersebut di atas adalah saling memperkuat dan saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Misalnya, informasi semakin mudah diakses berarti transparansi semakin baik, tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi pada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan dan memperkuat keabsahan atau legitimasi atas berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektivitas pelaksanaannya. Kelembagaan yang responsip harus transparan dan berfungsi sesuai dengan aturan hukum dan perundang- undangan yang berlaku agar keberfungsiannya itu dapat bernilai dan berkeadilan.

Sepuluh karakteristik good governance yang dapat dianalogikan juga menjadi karakteristik setiap pemerintah daerah. Ini diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004. Semua ini

(22)

satu sama lain saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Dengan kata lain, dalam pelaksanaan otonomi daerah berdasrkan ketentuan terbaru tersebut diperlukan sumber daya aparatur pemerintah daerah yang memiliki karakteristik good governance.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, para pemerintah kabupaten kota yang harus bertanggung jawab kepada warga negara dalam konteks kerja lembaga aparat baik dibidang manajemen, organisasi maupun dibidang kebijakan publik.

Penerapan good governance kepada pemerintah adalah ibarat warga negara memastikan bahwa mandat, wewenang, hak dan kewajiban telah dipenuhi sebaik- baiknya. Dapat dilihat bahwa arah ke depan good governance adalah pemerintahan yang profesional, bukan dalam arti pemerintah yang dikelola oleh para teknokrat, oleh siapa saja yang mempunyai kualifikasi profesional, yaitu mereka yang mempunyai ilmu pengetahuan, yang mampu mentransfer ilmu dan pengetahuan menjadi skill dan dalam pelaksanaannya berdasarkan etika dan moralitas yang tinggi.

Good governance sebuah upaya baik untuk meningkatkan pemerintah disetiap tingkat. Namun demikian, harus disadari tujuan dari good governance adalah untuk menjalankan pekerjaan pemerintah yang baik yang bersih berdasarkan hukum yang berlaku agar tidak terjadi penyimpangan atau penyelewengan dalam pelaksanaan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

2.4.4. Tiga Elemen Good Governance

Tiga elemen atau pilar governance yang terkait dan tidak terpisahkan dalam satu sistem negara adalah elemen penyelenggara negara, elemen pelaku bisnis, dan

(23)

elemen masyarakat. Ketiga elemen tersebut dapat kita sebut sebagai suatu trilogi. Masing-masing memiliki karakter tersendiri tetapi ketiganya tidak akan mampu berdiri dan berkembang sendiri-sendiri. Mereka mengarah pada satu tujuan yaitu kehidupan yang lebih baik bagi setiap insan.

2.4.4.1. Elemen penyelenggara negara

Governance dari sudut penyelenggara negara diartikan sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan administratif untuk mengelola urusan-urusan bangsa, mengelola mekanisme, proses, dan hubungan yang kompleks antarwarga negara dan kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (yang menghendaki agar hak dan kewajibannya terlaksana) dan menengahi atau memfasilitasi perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Ada tiga pilar atau kaki dari good government governance (atau good governance) ini, yaitu:

1. Economic Governance

Adalah mencakup proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi langsung atau tidak langsung aktivitas ekonomi negara.

2. Political Governance

Adalah mengacu pada proses pembuatan keputusan dan implementasi kebijakan negara secara legitimate dan authoritative. Ini terdiri atas elemen legislatif, eksekutif, dan judikatif.

3. Administrative Governance

Adalah sistem implementasi kebijakan yang memungkinkan sektor publik berjalan secara efisien, tidak memihak, akuntabel, dan terbuka. Seringkali

(24)

orang mengutip kata good government governance (good governance) tetapi sebenarnya mengacu pada pengertian sempit administrative governance. 2.4.4.2. Elemen Pelaku Bisnis

Pelaku bisnis, yang berupa kumpulan perusahaan yang bergerak di berbagai bidang industri barang dan jasa, memiliki pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial, politik, dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi pasar dan perusahaan-perusahaan itu sendiri.

Sejalan dengan globalisasi, di mana setiap perusahaan tidak kebal lagi terhadap batasan-batasan tradisional geografis dan negara. Tuntutan tanggung jawab perusahaan tidak lagi pada penciptaan keuntungan bagi pemilik modal saja. Tetapi meluas pada bagaimana perusahaan secara seimbang memberikan nilai tambah berkesinambungan bagi pemegang saham dan juga bagi kepentingan para stakeholder-nya.

Governance dari sudut pihak pelaku bisnis atau sering disebut sebagai good corporate governance (GCG) diartikan secara lengkap sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan. Ini untuk memberikan nilai tambah perusahaan yang berkesinambungan dalam jangka panjang bagi pemegang saham. Namun, dengan tetap memperhatikan stakeholder lainnya berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.

Sebagai struktur, GCG mengatur hubungan antara dewan komisaris, direksi, pemegang saham, dan stakeholder lainnya. Sebagai sistem, GCG menjadi dasar mekanisme pengecekan dan perimbangan (check and balances) kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi peluang pengelolaan yang salah, dan

(25)

peluang penyalahgunaan aset perusahaan. Sebagai proses, GCG memastikan tranparansi dalam proses perusahaan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, dan pengukuran kinerjanya.

2.4.4.3. Elemen Masyarakat

Governance dari sudut masyarakat kadang disebut societal governance atau society saja. Masyarakat atau society terdiri atas individual maupun kelompok (baik teroganisir maupun tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal maupun informal. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan lain-lain.

Terwujudnya pembangunan manusia yang berkelanjutan bukan hanya tergantung pada negara yang mampu memerintah dengan baik dan komunitas bisnis yang mampu menyediakan pekerjaan dan penghasilan. Tetapi juga tergantung pada organisasi masyarakat sipil (civil society organizations) yang memfasilitasi interaksi sosial dan politik dan yang memobilisasi berbagai kelompok di dalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas sosial, ekonomi, dan politik.

Organisasi masyarakat sipil tidak hanya melakukan check and balances terhadap kewenangan kekuasaan pemerintah dan komunitas bisnis. Tetapi, mereka juga dapat memberikan kontribusi dan memperkuat kedua unsur utama yang lain tersebut.

2.4.5. Pilar-pilar Good Governance

Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut :

(26)

1. Negara

a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan

c. Menyediakan public service yang efektif dan accountable d. Menegakkan HAM

e. Melindungi lingkungan hidup

f. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik 2. Sektor Swasta

a. Menjalankan industri

b. Menciptakan lapangan kerja

c. Menyediakan insentif bagi karyawan d. Meningkatkan standar hidup masyarakat e. Memelihara lingkungan hidup

f. Menaati peraturan

g. Transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakat h. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

3. Masyarakat Madani

a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi b. Mempengaruhi kebijakan publik

c. Sebagai sarana cheks and balances pemerintah

d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah e. Mengembangkan SDM

Referensi

Dokumen terkait

sebenarnya kinerja BPD itu, apakah benar-benar membantu pemerintah desa dalam menampung aspirasi masyarakat desaatau hanya menjadi simbol demokrasi tanpa pelaksanaan, atau

Selain itu di Desa juga dibentuk suatu wadah untuk menampung berbagai aspirasi masyarakat dan juga sekaligus berfungsi untuk mengawasi penyelenggaraan Pemerintah

Hambatan yang dihadapi oleh BPD mengenai optimalisasi fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam mewujudkan prinsip good governance di Desa Bojong Kecamatan

bahwa dalam rangka menampung, menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat pada Pemerintahan Desa dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 209 Undang-undang Nomor

Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004, Badan Permusyawaratan Desa dikatakan melaksanakan peran nya apabila telah ikut dalam pembuatan kebijakan desa dan menampung aspirasi

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan

Sebagai tindak lanjut Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 khususnya dalam pengaturan alokasi dana desa Pemerintah Kabupaten

Dalam menjalankan tugasnya menggali, menampung dan mengelola serta menyalurkan aspirasi masyarakat, anggota BPD telah melaksanakan melalui kegiatan Musyawarah Desa yaitu forum