• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dan hal-hal yang menarik sehingga selalu saja menantang manusia untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dan hal-hal yang menarik sehingga selalu saja menantang manusia untuk"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Masalah dan Latar Belakang

Masalah kejiwaan itu begitu luas, kompleks, mengandung banyak misteri dan hal-hal yang menarik sehingga selalu saja menantang manusia untuk mengadakan study intensif terhadapnya. Luas dan kompleksitasnya tidak hanya disebabkan oleh tidak mampunya orang mengkuantifisir gejala-gejala kejiwaan yang misterius itu , akan tetapi oleh sebab faktor-faktor penyebabnya bersifat multifaktor sehingga gejala-gejalanya juga bisa didekati dari berbagai macam perspektif.

Berdasarkan hal tersebut berarti termasuk disiplin ilmu Antropologi juga bisa menyajikan wawasan yang khas mengenai gejala kejiwaan manusia yang dalam istilah Antropologinya adalah “Etnopsikiatri”. Etnopsikiatri meninjau penyakit jiwa berangkat dari hal tentang bagaimana masyarakat tradisional memandang dan menangani penyakit jiwa. (Foster & Anderson, 2005)

Penyakit gangguan jiwa menurut ilmu kedokteran pada intinya hampir tidak pernah disebabkan oleh satu kausa /penyebab yang tunggal; akan tetapi selalu disebabkan oleh satu rentetan kompleks faktor penyebab yang saling mempengaruhi dan terjalin satu sama lain. Penyebab gangguan kejiwaan pada seseorang tersebut bersifat multifaktor, yaitu disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu faktor organis atau somatic, faktor psikis dan struktur kepribadian dan faktor

(2)

secara stimultan bersamaan. Penyebab penyakit jiwa atau gangguan psikis (Gangguan Skizofrenia) bersifat multifaktor, maka penanganannya pun harus melewati diagnostic yang multikasual (Kartini Kartono ,2002:41).

Masalah gangguan jiwa menurut UU No.3-1996 adalah tugas pemerintah untuk melakukan upaya-upaya kuratif dan prefentif diantaranya pemerintah melalui Departemen Kesehatannya dengan mendirikan rumah-rumah sakit atau pusat-pusat rehabilitasi. Adapun fungsi rumah sakit jiwa itu meliputi hal-hal sebagai berikut.

1. melindungi para pasien terhadap segala kemungkinan yang merusakkan diri mereka sendiri, rumah tempat tinggal mereka, pekerjaan mereka dll nya.

2. memudahkan keberadaan para pasien dengan memberi mereka perlindungan terhadap faktor-faktor lingkungan yang memicu dan mempererat hubungan mereka.

3. menyediakan perhatian yang mendukung, hubungan perseorangan, dan kesempatan-kesempatan pengungkapan diri.

Dalam rangka mempermudah penyembuhan dan pemulihan kesakitan mental pasien yang mengalami gangguan jiwa, maka fungsi rumah sakit jiwa atau panti-panti Rehabilitasi disini harus bisa menjadi sebuah lingkungan yang berpengaruh yaitu aman, dapat melindungi, melayani, memberi perhatian, pemeliharaan dan pembinaan kepada pasien penderita sakit jiwa sampai mencapai tingkat pulih dan dapat melakukan kembali fungsi sosialnya dimasyarakat.

(3)

Secara sederhana pengertian rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan yang semula atau yang sebagaimana mestinya. Menurut Jenny Marlindawani Purba.dkk(2008:9), Rehabilitasi /pemulihan adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar para penderita (gangguan jiwa) dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya adalah pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan.

Banyak bagian masyarakat di Indonesia yang masih mengira bahwa penyakit “gila” ini selalu berkaitan dengan hal-hal gaib atau mistis, kerasukan setan, penyakit akibat ilmu sihir/santet, kutukan dan lain sebagainya. Gangguan-gangguan psikis (kejiwaan) bermacam-macam jenis dan tingkat kronisnya, dalam bahasa psikologisnya dikenal dengan nama “psikosis/ psikosa”, namun oleh masyarakat umumnya memandang penyakit gangguan jiwa mengacu hanya pada satu patokan yang disebut dengan istilah “gila” jika si penderita sudah berada pada tingkat yang kronis. Masyarakat biasanya beranggapan penderita yang sudah mengalami tingkat gangguan jiwa yang kronik mestinya dirawat di rumah sakit jiwa atau panti-panti rehabilitasi yang mengurus para penderita penyakit jiwa kronik. Karena jika penderita dibiarkan bebas hidup ditengah-tengah masyarakat dikhawatirkan akan mengganggu keamanan masyarakat sekitar.

Oleh karena hal itu, rumah sakit jiwa atau panti-panti rehabilitasi dibangun sebagai tempat yang mampu menampung dan memulihkan para penderita

(4)

membantu pemerintah menangani permasalahan ini serta membantu rumah sakit jiwa milik pemerintah yang over kapasitas. Panti-panti rehabilitasi ini terdiri dari bermacam-macam latar belakang, sebagian ada berdiri atas biaya dari pemerintah namun ada juga yang berdiri atas biaya swasta ataupun oleh yayasan sosial atau agama tertentu.. Salah satunya adalah “Panti Rehabilitasi Bukit Doa” yang berdiri atas nama sebuah Yayasan Bukit Doa / Taman Getsemany terletak di Jl.Tuntungan Golf, No:120, Desa Durin Jangak, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang.

Berdasarkan hasil wawancara awal penulis dengan beberapa para petugas panti serta melihat data arsip panti, Panti Rehabilitasi Bukit Doa berdiri sejak Januari tahun 1983. Panti Rehabilitasi Bukit Doa mengemban tugas untuk melayani dan membina orang-orang yang terkena penyakit jiwa (gila) dengan berbagai latar belakang mulai dari akibat ketergantungan narkoba, stress akibat berbagai masalah pribadi pasien, serta akibat yang dalam keyakinan masyarakat karena kutukan atau penyakit karena ilmu sihir/santet. Memiliki jumlah pasien 75 orang, Panti Rehabilitasi Bukit Doa berfungsi sebagai tempat untuk melindungi, memperhatikan, memelihara, mengobati dan sebagai tempat pembelajaran pasien penderita gangguan jiwa agar bisa diterima kembali dimasyarakat kelak jika si pasien sudah pulih.

Para pasien yang ada dipanti tersebut berasal dari berbagai daerah asal, yaitu dari Kota Medan, Siantar, Dairi, Tanah Karo, Jambi, Jakarta serta sedikit dari penduduk di sekitar tempat Panti tersebut berdomisili. Awalnya para pasien yang dirawat merupakan sanak saudara, kerabat atau anggota keluarga dari salah

(5)

satu anggota jemaat Gereja Bukit Doa, namun perkembangannya kini dari mulut kemulut sehingga kebanyakan pasien yang dirawat kini bukan hanya sanak saudara, kerabat atau anggota keluarga dari salah satu anggota jemaat Gereja Bukit Doa saja. Hari kunjungan keluarga untuk melihat perkembangan pasien , ditentukan setiap hari Jumat.

Beberapa dari pasien yang dirawat di Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebelumnya pernah masuk ke Rumah Sakit Jiwa di berbagai daerahnya masing-masing, beberapa diantaranya juga pernah dirawat dirumahnya masing-masing dengan penyembuhan tradisional . Namun pada akhirnya, pihak keluarga si pasien sendirilah dengan alasan lelah dengan pengobatan di Rumah Sakit Jiwa atau dengan penyembuhan tradisional yang tak kunjung sembuh, maka mereka memutuskan untuk memindahkan si pasien dari perawatan rumah sakit jiwa atau di rumah masing-masing dengan penyembuhan tradisional beralih ke Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Sebagian lagi para keluarga pasien memang langsung menjadikan sebagai pilihan utama tempat yang diyakini sebagai tempat penyembuhan yang paling bagus dalam merawat pasien penderita gangguan jiwa (Berdasarkan hasil wawancara awal dengan para petugas panti dan dengan beberapa anggota keluarga pasien).

Merujuk dari fakta tersebut, timbulah pertanyaan mengapa masyarakat (keluarga dari pasien) lebih memilih pengobatan alternatif (dalam penelitian ini yaitu Panti Rehabilitasi Bukit Doa) sebagai tempat untuk menyembuhkan si penderita penyakit gangguan jiwa ketimbang membawa si penderita ke Rumah

(6)

Sakit Jiwa dengan pengobatan secara medis; atau ke psikiater dengan pengobatan secara ilmu psikiatris; atau juga pengobatan-pengobatan tradisional lainnya

Berdasarkan hasil wawancara awal penulis dengan pihak panti, Panti Rehabilitasi Bukit Doa dalam proses penyembuhannya tidak menggunakan tenaga-tenaga dari disiplin ilmu psikiatri (kejiwaan) walaupun ada kerja sama dengan pihak Rumah Sakit Jiwa untuk memberikan resep dan obat penennag dan obat saraf kepada pasien tertentu. Beberapa staff petugas panti yang berjumlah 11 orang hanya memiliki latar belakang pendidikan teologi Kristen dan Sarjana Ekonomi dan lainnya ada yang tamatan SMU Sederajat dan SLTP sedangkan pimpinan utama panti tersebut adalah seorang pendeta senior Gereja Bukit Doa (Wawancara awal dengan pihak panti).

Berdasarkan hal tersebut, lalu timbullah pertanyaan bagaimana cara-cara penyembuhan pasien penderita penyakit gangguan jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Cara-cara penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa tentulah memilki arah/kecenderungan tersendiri dibandingkan dengan pengobatan-pengobatan penyakit gangguan jiwa lainnya seperti di Rumah Sakit Jiwa atau pengobatan tradisional lainnya.

Merujuk pada uraian diatas, penulis menyebut arah atau kecenderungan proses penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai “Orientasi Penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari orientasi adalah suatu pandangan yang mendasari pikiran, perhatian dan kecenderungan mengenai sesuatu hal dan mengarah pada suatu tujuan ; suatu peninjauan/dasar untuk

(7)

menentukan sikap (arah, tempat, kiblat dan sebagainya) yang tepat dan benar untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Kang Mas Juqi dalam Blog nya di Worldpress.com, mendefenisikan “orientasi” sebagai suatu “kompas” atau arah proses yang dijalani seseorang pada suatu aspek kehidupan tertentu dalam hidupnya. Definisinya hampir sama dengan definisi visi, namun sebagai sedikit penggambaran, bahwa orientasi adalah “visi mini” yang menjadi pedoman untuk menggapai sebuah visi yang sebenarnya. Visi biasanya dikaitkan dengan misi-misi. Suatu misi bersifat lebih real jika dibandingkan dengan sebuah orientasi. Ketika sebuah misi mendefinisikan langkah-langkah real yang dilakukan untuk mencapai sebuah visi ataupun berupa target-target kecil yang menjadi parameter tarcapainya visi, maka bisa dikatakan orientasi adalah aturan-aturan yang mengatur agar misi-misi yang dibuat tidak keluar dari visi yang juga telah dibuat (Kang Mas Juqi, 2008).

Pengertian “Orientasi” dalam penelitian ini berarti bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya.

1.2 Tinjauan Pustaka

Dari sudut pandang Antropologi, seperti menurut Foster & Anderson (2005: 99-100) Perhatian awal dari ahli antropologi terhadap penyakit mental mulanya sangatlah jauh dari bidang etnomedicine. Awal perhatiannya mulai dari pemahaman atas hubungan antara kepribadian (faktor psikis) dengan

(8)

kekuatan-kekuatan budaya yang berpengaruh dan membentuk kepribadian walaupun dalam perjalanan selanjutnya mengalami kemajuan.

Faktor keturunan (organis), faktor fisiologis (psikis), dan faktor psikososial-budaya, semua menjalankan peranan dalam menjelaskan timbulnya penyakit jiwa. Tujuan dari penelitian antropologi bukanlah untuk menegakkan dominasi dari satu kausa penyebab, tetapi untuk mempelajari hubungannya antara faktor-faktor tersebut yang saling berkaitan (Foster & Anderson, 2005 : 120). Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan dari sudut pandang psikologi dan kesehatan yang menurut Kartini Kartono (2002:27), gangguan-gangguan psikis (kejiwaan) pada intinya hampir tidak pernah disebabkan oleh satu kausa /penyebab yang tunggal; akan tetapi selalu disebabkan oleh satu rentetan kompleks faktor penyebab yang saling mempengaruhi dan terjalin satu sama lain. Sebab musabab gangguan kejiwaan pada seseorang tersebut bersifat multifaktor, yaitu disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu pertama faktor organis atau somatic; kedua, faktor psikis atau struktur kepribadian; dan terakhir yaitu faktor lingkungan sosial dan budaya. Oleh karena penyebab gangguan jiwa yang multifaktor, maka penanganannya dan penyembuhannya pun harus melewati diagnostik yang multikasual oleh ahli kesehatan sesuai dengan penyebabnya (2002:41).

Lebih lanjut, Kartini Kartono menjelaskan detailnya faktor-faktor organis atau somatic misalnya terdapat kerusakan pada otak yang disebabkan oleh faktor genetic, virus, dan luka-luka, gangguan nerotrasmitter di otak sehingga sulit mengontrol dirinya dan seterusnya yang bersifat organis. Faktor-faktor psikis atau

(9)

kepribadian misalnya perasaan sedih/duka, depresi/stress, perasaan harga diri yang rendah bisa mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan dersintegrasi kepribadian. Faktor-faktor sosio-cultural misalnya sebagai akibat arus modernisasi dan industrialisasi, ketidakmampuan diri dalam beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat membuat seseorang menderita bermacam-macam gangguan psikis (Kartono, 2002 : 31).

Defenisi penyakit jiwa menurut seorang ahli psikologi, (Abu Ahmadi dalam Jonathan 1997:41) mengatakan bahwa penyakit jiwa (Gangguan Skizofrenia) adalah penyakit yang dapat menyebabkan seseorang tidak dapat menyesuaikan diri terhadap setiap lingkungan dengan cukup baik, terhadap hal-hal yang baik, tidak dapat memperlihatkan emosi yang stabil, tidak mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri untuk melakukan perbuatan dan prestasi sesuai dengan tingkat perkembangan.

Helman 1984 : 41 (dalam Sembiring, 1999) mengungkapkan hal mengenai bidang kajian Antropologi dan lebih menekankan bahwa ahli Antropologi lebih tertarik pada bagaimana faktor-faktor kebudayaan mempengaruhi persepsi dan tingkah laku, isi dari halusinasinya atau delusinasinya atau pandangan-pandangan dari si pasien, Antropologi Psikiatri atau psikiatri cultural yang melihat dari segi sosial dan lingkungan memiliki beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi : kajian nilai-nilai, pandangan-pandangan, falsafah-falsafah, keyakinan, tahyul yang mendorong timbulnya gangguan jiwa dengan melihat tingkat berat budaya (tuntutan budaya apa yang tidak tertanggulangi sehingga seseorang bisa sakit

(10)

Menurut Foster & Anderson (2005:100) ada beberapa perhatian khusus yang ditangani oleh para ahli antropologi seperti berikut :

1. Defenisi budaya tentang “normal” dan “abnormal” serta bagaimana penyakit jiwa diakui dan didefenisikan dalam masyarakat lain diluar masyarakat modern.

2. Penjelasan non-modern tentang penyakit jiwa

3. Cara-cara dari segi budaya untuk menangani tingkah laku menyimpang yang didefenisikan sebagai abnormal.

4. Terjadinya penyakit jiwa dalam masyarakat-masyarakat dengan kompleksitas yang berbeda.

5. Demografi penyakit jiwa, yang meliputi : frekuensi, sebab-sebab, dan kondisi-kondisi pencetusnya.

Cara-cara budaya dalam menangani penyakit jiwa juga bervariasi, walaupun banyak bentuk tingkah laku menyimpang nampaknya bersifat universal, cara-cara untuk menanganinya, nilai-nilai sosial yang diberikan kepada tingkah laku menyimpang, dan cara-cara pengobatannya sangat bervariasi (Foster & Anderson, 2005 : 106).

Tindakan-tindakan penyembuhan berkaitan erat dengan ide-ide tentang sebab penyebab sakit dan bentuk-bentuk penggolongan penyakit (Kleinman, 1968 : 208-209). Setiap sistem kesehatan menggunakan suatu model penjelasan yang mungkin berbeda dari model yang digunakan oleh sistem-sistem yang lain (Kleinman, 1968:209).

(11)

G.M.Foster dan Anderson (2005 : 53) membagi sistem kesehatan berdasarkan kepercayaan dan penjelasan tentang sebab-sebab penyakit atas : 1). Sistem kesehatan personalistik; dan 2). Sistem kesehatan naturalistik.

Dalam sistem kesehatan personalistik, penyakit disebabkan akibat adanya campur tangan dari agen-agen tertentu yang memiliki pribadi : seperti roh-roh gaib, tukang tenun, kutukan dewa, dan lain-lain. Dalam sistem kesehatan Naturalistik Penyakit dianggap terjadi akibat dari adanya gangguan keseimbangan didalam tubuh manusia atau antara tubuh manusia dengan lingkungannya. seperti adanya penyakit panas dan dingin dalam sistem kesehatan Jawa (Kalangie, 1980 : 62-79). Sistem kesehatan personalistik menurut mereka cenderung dimiliki oleh masyarakat-masyarakat bersahaja : kelompok-kelompok manusia yang masih berburu dan meramu misalnya.

Sistem kesehatan Naturalistik cenderung dimiliki oleh masyarakat-masyarakat perkotaan dengan kebudayaan yang lebih maju. Dalam hal ini masyarakat pedesaan berada ditengah-tengah antara personalistik dan naturalistik. Proses penyembuhan pada sistem kesehatan personalistik cenderung dilakukan secara ritual yang bersifat ketuhanan atau gaib, sedangkan dalam sistem kesehatan naturalistik cenderung menggunakan ramuan obat-obatan.

Beberapa ahli antropologi tidak setuju dengan pembagian bentuk diatas (J.D Frank, 1964 : vii) misalnya, walaupun dia juga membagi kepercayaan tentang sebab penyebab penyakit atas dasar naturalistik (alamiah) dan supernalistik (supra alamiah), akan tetapi dia tidak membagi sistem kesehatan atas dasar tersebut.

(12)

Menurutnya kedua kepercayaan ini dapat berlaku sekaligus secara bervariasi didalam suatu sistem kesehatan tertentu.

Etiologi penyakit yang ada di masyarakat mendorong kesatuan hubungan antara keadaan fisik dengan keadaan emosional seseorang. Serupa halnya, bila penyakit fisik merupakan hasil dari hilangnya keseimbangan tubuh, maka dalam penyakit jiwa merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara tubuh, pikiran dan sifat, maka perlu ada pemulihan kembali antara unsur-unsur tersebut (Foster & Anderson, 2005 : 97).

Sebagian besar masyarakat di Indonesia, walaupun telah menerima masuknya sistem kesehatan modern yang telah tersedia dengan segala fasilitas yang lengkap, tetapi masih tetap mengkaitkan suatu penyakit dengan hal-hal ketuhanan atau gaib, Sehingga banyak masyarakat yang menyimpulkan bahwa penyembuhan yang baik adalah dengan penyembuhan yang juga berkaitan dengan hal-hal gaib dan ketuhanan (Job Purba, 1989 :11). Begitu jugalah sama halnya masyarakat di Indonesia memandang dan memahami penyakit gangguan jiwa yang biasanya disebut dengan istilah “gila” selalu berkaitan dengan hal-hal gaib dan ketuhanan. Banyak bagian masyarakat di Indonesia yang masih mengira bahwa penyakit “gila” ini selalu berkaitan dengan hal-hal gaib atau mistis, kerasukan setan, penyakit akibat ilmu sihir/santet, kutukan dan lain sebagainya. Sama hal nya kepercayaan terhadap penyakit-penyakit fisik, penyembuhan yang baik adalah yang penyembuhan yang berkaitan dengan hal-hal gaib dan ketuhanan.

(13)

Dalam penelitian Juara R. Ginting (1986) mengenai “ Pandangan tentang Gangguan Jiwa dan Penanggulangannya Secara Tradisional pada Masyarakat Karo”. Orang Karo menyebut semua jenis gangguan jiwa adalah “Mehado”. Mehado memperlihatkan berbagai gejala tingkah laku menyimpang seperti halnya orang-orang yang mengamuk dijalanan, berjalan tanpa pakaian dan lain sebagainya. Bagi masyarakat Karo penentuan seseorang sebagai penderita gangguan jiwa dilakukan setelah adanya pernyataan dari seorang penyembuh seperti seorang dukun atau dokter. Penyebab penyakit jiwa pada masyarakat ini adalah karena gangguan alamiah, gangguan roh-roh gaib, dan akibat tindakan masa lalu. Pada kepercayaan orang Karo, gangguan jiwa digolongkan sebagai bagian dari “Liah” (kesialan) yang dapat terjadi akibat tidak adanya “pasu-pasu” (berkat Tuhan).

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Frazer (Dalam Koentjaraningrat, 1980:275) , mengatakan bahwa kalau manusia dalam hidupnya tak dapat mencapai keinginannya, atau maksud dan tujuannya, karena ia sampai kepada batas kemampuan sistem pengetahuannya atau ilmu pengetahuannya itu tadi, maka ia sering akan mencari usaha lain untuk mencapai kehendaknya, ia sering akan lari ke religi atau agama, dan mendoa kepada ruh-ruh, dewa-dewa atau Tuhan untuk mendapat apa yang diingininya itu.

William A. Haviland (1988:193) mengatakan bahwa Agama atau Religi dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan

(14)

mengatasi keterbatasan itu orang berpaling kepada manipulasi makhluk dan kekuatan supranatural.

Dalam hal ini termasuk masalah-masalah kesehatan seperti kesehatan jiwa yang tidak dapat disembuhkan secara total oleh pengobatan modern dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti di rumah sakit jiwa sehingga banyak orang berpaling kepada pengobatan alternative yang berkaitan dengan religi atau agama. Dalam penelitian ini, penulis melihat banyak para kerabat atau keluarga yang membawa pasien penderita penyakit jiwa ini yang pada awalnya sudah lelah pengobatan dengan ilmu pengetahuan di rumah sakit jiwa, beralih ke panti rehabilitasi yang berdiri atas nama agama yaitu di Panti Rehabilitasi Bukit Doa. (berdasarkan hasil wawancara awal dengan keluarga salah satu pasien).

Penelitian ini mengambil tema tentang “Orientasi Penyembuhan yang dilakukan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa”, oleh sebabnya perlu diketahui defenisinya secara terperinci. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari orientasi adalah suatu pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan mengenai sesuatu hal dan mengarah pada suatu tujuan ; suatu peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, kiblat dan sebagainya) yang tepat dan benar untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Kang Mas Juqi (dalam Blog nya di Worldpress.com), mendefenisikan Orientasi sebagai suatu “kompas” proses yang dijalani seseorang pada suatu aspek kehidupan tertentu dalam hidupnya. Definisinya hampir sama dengan definisi visi yaitu niat, pandangan ke depan, ataupun suatu goal tertentu yang hendak dicapai seseorang, namun sebagai sedikit perbedaannya bahwa

(15)

Orientasi adalah “visi mini” yang menjadi pedoman untuk menggapai sebuah visi yang sebenarnya. Visi biasanya dikaitkan dengan misi-misi. Suatu misi bersifat lebih real jika dibandingkan dengan sebuah Orientasi. Ketika sebuah misi mendefinisikan langkah-langkah real yang dilakukan untuk mencapai sebuah visi ataupun berupa target-target kecil yang menjadi parameter tarcapainya visi, maka bisa dikatakan Orientasi adalah aturan-aturan yang mengatur agar misi-misi yang dibuat tidak keluar dari visi yang juga telah dibuat (Kang Mas Juqi, 2008).

Pengertian “orientasi” dalam penelitian ini berarti bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya yang dirawatnya.

1.3 Perumusan Masalah

Dari uraian yang dipaparkan dalam latar belakang , maka permasalahan yang ingin saya teliti dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses penyembuhan pada pasien penderita penyakit gangguan jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa?

2. Bagaimana “orientasi” penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, yaitu suatu kajian mengenai bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya?

(16)

3. Hal-hal apa saja yang memotivasi para keluarga dari pasien yang menderita penyakit gangguan jiwa lebih memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai tempat penyembuhan bagi pasien?

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat deskripsi secara keseluruhan mengenai orientasi penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Pengertian “Orientasi” dalam penelitian ini adalah bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya yang dirawatnya.

Untuk mengetahui bagaimana “orientasi” yang dimaksudkan, maka terlebih dahulu penulis akan mendeskripsikan bagaimana proses penyembuhan pada penderita penyakit gangguan jiwa (meliputi mulai dari proses diagnosa, etiologi dan pembagian jenis penyakit gangguan jiwa, cara-cara penyembuhannya, serta kategori sehat bagi pasien), selain itu juga akan dideskripsikan tentang visi dan misi panti serta prinsip-prinsip pengobatan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa.

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah Bagaimana gambaran menyeluruh proses penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, dimana dengan mengetahui gambaran proses penyembuhannya maka akan diketahui apa “Orientasi” dari penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Dalam hal ini peneliti akan memfokuskan pada para pembina yang sehari-hari merawat dan membina pasien penderita penyakit gangguan jiwa.

(17)

Selain itu, peneliti juga akan meneliti hal-hal apa saja yang memotivasi para keluarga dari pasien memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai tempat untuk menyembuhkan si penderita penyakit gangguan jiwa ketimbang membawa si penderita ke Rumah Sakit Jiwa dengan pengobatan secara medis; atau ke psikiater dengan pengobatan secara ilmu psikiatris; atau juga pengobatan-pengobatan tradisional lainnya. Dalam hal ini, peneliti akan meneliti para keluarga pasien untuk menggali apakah penah dan dimana pasien dibawa berobat sebelum di Panti Rehabilitasi Bukit Doa serta alasan memindahkan pasien ke Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Selain itu juga, peneliti akan meneliti bagaimana pemahaman para keluarga pasien mengenai penyakit gangguan jiwa untuk melihat apakah ada hubungannya dengan motivasi keluarga dari si pasien memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan proses penyembuhan pada pasien penderita penyakit gangguan jiwa di Panti Rehabilitasi Bukit Doa

2. Mendeskripsikan “orientasi” penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, yaitu suatu kajian mengenai bagaimana pandangan dasar, arah/tujuan atau kecenderungan dari segala usaha penyembuhan yang dilakukan oleh Panti Rehabilitasi Bukit Doa terhadap para pasiennya

(18)

3. Mendeskripsikan hal-hal apa saja yang memotivasi para keluarga dari pasien yang menderita penyakit gangguan jiwa lebih memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai tempat penyembuhan bagi pasien

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberi masukan bagi masyarakat umum, lembaga atau pihak-pihak terkait yang membutuhkan serta mahasiswa Antropologi khususnya untuk memberikan khasanah pengetahuan tentang bagaimana sesungguhnya masyarakat memandang dan memahami tentang penyakit gangguan jiwa serta tentang bagaimana orientasi penyembuhan yang diinginkan masyarakat terhadap pasien penderita gangguan jiwa.

2. Memberikan masukan kepada Pemerintah dan agar melakukan upaya-upaya kuratif dan prefentif melalui Departemen Kesehatannya serta lembaga atau badan yang terkait dengan penyakit gangguan jiwa.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1. Sifat Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif dengan mengumpulkan data-data kualitatif yang mencakup topik penelitian. Menurut Lexy.J.Moleong (2006:6), penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang terjadi dan dialami oleh subyek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain

(19)

secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode kualitatif yaitu berupa pengamatan, wawancara, dan studi kepustakaan. Hebert (dalam Koentjaraningrat, 1983:30-32), bahwa maksud dari penelitian dekriptif adalah semata-mata untuk memberikan gambaran yang tepat dari suatu gejala dan pokok perhatian adalah pengaturan yang cermat dari suatu atau lebih variable terikat dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Dengan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif, maka akan dapat menggambarkan secara mendalam orientasi penyembuhan Panti Rehabilitasi Bukit Doa serta motivasi keluarga pasien memilih tempat penyembuhan di Panti ini. Penulis awalnya memfokuskan penelitian dari sudut pandang Antropologi Kesehatan berkaitan dengan konsep gangguan jiwa. Namun dalam perkembangan selanjutnya setelah penulis melakukan observasi awal dan wawancara awal dengan para informan diawal penelitian ini serta setelah mengambil referensi-referensi tertulis dari berbagai sumber, penulis melihat ada hubungan atau korelasi antara penyakit gangguan jiwa dengan hal-hal yang bersifat magis atau kereligian. Oleh sebab itu maka penulis memutuskan untuk mengambil sudut pandang Antropologi Religi berkenaan dengan hal konsep orientasi penyembuhan tentang penyakit gangguan jiwa.

Data –data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua bagian yaitu :

(20)

1. Observasi (Pengamatan) : observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi yaitu dengan cara berada dalam setiap aktifitas, dan turut serta mengikuti dan mengamati segala kegiatan pelaksanaan pelayanan dan pembinaan yang dilakukan terhadap pasien sehari-hari. Objek penelitian disini adalah para staf atau petugas yang bekerja sehari-hari membina dan melayani pasien. Peran peneliti dalam observasi partisipasi disini adalah sebagai pengamat yang secara langsung berada dan mengamati dalam setiap aktifitas-aktifitas atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehari-hari terhadap si pasien penderita gangguan jiwa. Pasien penderita gangguan jiwa di Panti ini walau memiliki latar belakang gangguan yang berbeda namun mereka diperlakukan dan ditempatkan di tempat yang sama antara satu pasien dengan pasien yang lainnya yang belainan latar belakang gangguan jiwanya. Dengan cara tersebut peneliti dapat memperoleh informasi lengkap dan kongkrit. Dari hasil pengamatan dan observasi , peneliti lalu menulisnya kedalam sebuah catatan lapangan. 2. Wawancara : wawancara sambil lalu dan wawancara mendalam

dilakukan dalam penelitian ini dengan dibantu pedoman wawancara (Interview Guide). Dengan melakukan wawancara sambil lalu dan wawancara mendalam maka akan dapat memperoleh segala informasi dan data yang lengkap. Adapun informan yang digunakan dan diwawancarai dalam penelitian ini adalah :

• Informan Pangkal : informan pangkal dalam penelitian ini adalah para informan yang pertama sekali memberikan informasi awal

(21)

yang dibutuhkan, yaitu orang-orang yang mengetahui gambaran umum serta seluk beluk Panti Rehabilitasi Bukit Doa, adapun informan pangkal tersebut adalah beberapa Kerabat dari si pasien yang dirawat di Panti, Penduduk Setempat, Kepala Desa.

• Informan Pokok (Kunci) : informan pokok yang akan digunakan adalah orang-orang yang paham dan mengerti benar mengenai masalah yang akan diteliti yaitu bagaimanan orientasi penyembuhan dari Panti Rehabilitasi Bukit Doa,; apa motivasi para keluarga pasien memilih Panti Rehabilitasi Bukit Doa sebagai tempat pemulihan pasien penderita gangguan jiwa; serta bagaimana pelaksanaan penyembuhan yang dilakukan kepada pasien meliputi kegiatan-kegiatan sehari-hari pasien penderita gangguan jiwa. Adapun informan pokok tersebut adalah :Pimpinan Utama Panti yang bertugas memimpin panti dalam membuat kebijakan serta yang mengendalikan dan mengarahkan para stafnya. Para Penyembuh utama Panti yaitu para-para pendeta yang mengontrol kesehatan pasien setiap harinya. Para Petugas dan staf yang melayani dan membina para pasien setiap hari, serta Para anggota keluarga pasien yang rutin memantau perkembangan pasien yang dirawat.

• Informan Biasa : informan biasa yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah orang yang akan dimintai dan memberikan

(22)

diberikan hanya sebagai tambahan atau pelengkap dari informasi dari informan utama, antara lain, para penjaga keamanan dan yang mengurus kebutuhan sehari-hari pasien serta para mantan pasien yang pernah dibina sebelumnya.

b). Data Sekunder : data yang diperoleh secara tidak langsung dari lapangan, tetapi memiliki keterkaitan dan keabsahan dari penelitian ini. Data sekunder berupa sumber-sumber atau referensi tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian seperti arsip dan dokumentasi Panti Rehabilitasi Bukit Doa, daftar kepustakaan, artikel, internet, dan sumber-sumber lainnya yang mendukung dan digunakan sebagai pelengkap dan penyempurna hasil dari observasi dan wawancara.

1.6.2 Teknik Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif. Data yang diperoleh dari lapangan akan disusun secara sistematis dan diklasifikasikan pada beberapa bagian yang sesuai dengan letak dan nilai data itu. Kategori ini berfungsi untuk membantu memahami keberadaan nilai data (primer dan sekunder) dari keseluruhan data yang diperoleh dari observasi serta wawancara. Data kemudian disusun berdasarkan pemahaman akan fokus penelitian atau berdasarkan kategori-kategori yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga dapat dijelaskan seluruh rumusan masalah yang diteliti. Data primer yang telah disusun akan danalisis dengan referensi atau dengan analisa interpretasi

(23)

kualitatif. Terakhir, dilakukan kembali pendesainan penulisan sesuai dengan bagian-bagian yang telah ditentukan untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah (skripsi) yang saling berkaitan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya.

1.7 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, Panti tersebut berada di Desa Durin Jangak , Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Panti Rehabilitasi Bukit Doa berdiri atas nama sebuah Yayasan Bukit Doa / Taman Getsemany terletak di Jl.Tuntungan Golf, No:120, Desa Durin Jangak, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Lokasinya berada tepat di belakang kompleks Gereja Bukit Doa.

Alasan memilih lokasi penelitian di Panti Rehabilitasi Bukit Doa, sebab penulis banyak mendengar baik dari para kerabat dan keluarga pasien serta berdasarkan hasil wawancara awal penulis dengan petugas yang bekerja di Panti tersebut mengatakan bahwa di Panti ini sebagian besar pasien yang dirawat sebelumnya pernah dirawat di berbagai rumah sakit jiwa atau juga pernah menjalani pengobatan tradisional, namun tidak kunjung sembuh juga maka pihak keluarga memutuskan memindahkan pasien ke Panti Rehabilitasi Bukit Doa. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dilokasi ini untuk mengetahui bagaimana orientasi penyembuhan di Panti Rehabilitasi Bukit Doa sehingga memotivasi para keluarga pasien untuk beralih pengobatan dengan memasukkan pasien penderita penyakit jiwa untuk dirawat dan dibina di Panti Rehabilitasi

Referensi

Dokumen terkait

Selain menghadapi tantangan abad Asia, secara nasional kita masih menghadapi persoalan pendidikan nasional yang tidak mudah antara lain soal pemerataan pelayanan

Penilai umtuk menilai kenerja, tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja dengan uraian atau deskripsi pekerjan dalam suatu periode tertentu, biasanya akhir tahun.Kegiatan ini

Adapun cara untuk mendekati atau mengetahui ada tidaknya otokorelasi antara lain dengan uji Durbin-Watson (uji DW), yaitu dengan cara membandingkan antara nilai DW

Melihat secara langsung terhadap penerapan keterampilan guru dalam mengelola kelas dan faktor yang mempengaruhinya pada pembelajaran Al- Qur’an Hadits di Madrasah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil nilai korelasi hasil ρ : 0,652, dengan tingkat signifikasi 0,000 berarti terdapat hubungan antara minat masuk jurusan

Penelitian tugas akhir yang dilakukan penulis berjudul “Investigasi Bawah Permukaan Segmen Cibeber Zona Sesar Cimandiri, Jawa Barat dengan Metode Audio Magnetotelurik

Hasil kajian mendapati terdapat lima latihan yang diperlukan oleh sukarelawan bencana banjir iaitu latihan rawatan asas kecemasan, latihan psikologi, latihan fizikal,

Perjanjian GATT mengatur ketentuan mengenai pengikatan tarif bea masuk (tariff binding) yang diberlakukan negara-negara peserta. Di samping itu, GATT juga menetapkan