• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dengan teknologi yang sangat menonjol. Ada satu hal yang tidak kalah terkenal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dengan teknologi yang sangat menonjol. Ada satu hal yang tidak kalah terkenal"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang merupakan negara termaju di Asia. Jepang memang terkenal dengan teknologi yang sangat menonjol. Ada satu hal yang tidak kalah terkenal dari Jepang, yaitu kesusastraan Jepang seperti komik, cerpen, novel, dan legenda. Penelitian ini akan mengarah pada penelitian sastra. Sastra adalah sebuah karya seni yang bermediakan bahasa, maka aspek bahasa memegang peran penting di dalamnya (Nurgiyantoro, 2005: 42). Penelitian sastra merupakan kegiatan yang diperlukan untuk menghidupkan, mengembangkan, dan mempertajam suatu ilmu.

Kesusastraan Jepang bermula sejak abab ke VIII (Rosidi, 1989: 1). Kesusastraan Jepang dimulai sejak zaman Joodai, pada saat itu kesusastraan Jepang hanya mengandalkan media dari mulut ke mulut. zaman Nara pada tahun 710 – 794, kesusastraan pada zaman Nara ini sering juga disebut sebagai sastra kuno dan sastra pada zaman tersebut sangat kental dengan pengaruh-pengaruh dan tulisan-tulisan Cina. Karena pada zaman ini sastra Jepang sangat dipengaruhi oleh kontak budaya dengan Cina dan literatur Cina, maka tidak jarang pula karya-karya kasusastraan Jepang ditulis dalam bahasa Cina Klasik. Setelah zaman Nara, munculah zaman Heian. Sastra pada zaman Heian disebut sasta klasik. Setelah zaman Heian sejarah sastra Jepang beralih ke zaman pertengahan, zaman Azuci-mamoyama dan zaman Edo yang memunculkan sastra pramodern, kemudian munculah zaman Meiji. Seiring berjalannya waktu, Jepang memunculkan banyak

(2)

sastrawan-sastrawan yang tidak hanya dikenal di dalam negeri saja namun hingga ke mancanegara. Dalam perkembangannya, kesusastraan Jepang memunculkan sastrawan-sastrawan terkenal yang menghasilkan karya-karya besar seperti, Yasunari Kawabata, Niimi Nankichi, Matsuo Basho, Natsume Soseki, dan masih banyak sastrawan Jepang yang terkenal lainnya.

Niimi Nankichi merupakan salah satu dari beberapa sastrawan terkenal dari Jepang bahkan sampai ke luar negeri. Niimi lahir di Yanabe, Handa Aichi pada tanggal 30 Juli 1913. Dia kehilangan ibunya sejak berumur empat tahun. Ketrampilan sastra Niimi sudah terlihat sejak dini, hal ini tampak ketika dia mempresentasikan haiku pada saat upacara kelulusan sekolah dasar sehingga Niimi membuat banyak orang terkesan pada saat upacara tersebut. Pada saat usia Niimi menginjak pada umur ke delapan belas tahun, dia pindah ke Tokyo untuk masuk ke Tokyo University of Foreign Studies. Tidak lama kemudian setelah ia lulus, Niimi mengidap penyakit tuberkulosis dan ia pun kembali ke kampung halamannya. Di kampung halamannya, Niimi bekerja sebagai guru sekolah dasar dan kemudian menjadi guru di sekolah menegah pertama. Niimi meninggal pada usianya yang ke dua puluh sembilan tahun. Sampai kematiannya pun Niimi masih dikenang hingga dibangun sebuah museum di tempat kelahirannya, yaitu Niimi Nankichi Memorial Museum. Dia sering juga disebut sebagai Hans Christian Andersen dari Jepang. Karya-karyanya sangat kental dengan kehidupan keseharian masyarakat desa dan sangat berhubungan dengan cerita-cerita rakyat Jepang.

(3)

Pada mulanya Niimi sangat aktif dalam karya-karya terjemahan, menulis lagu, menulis novel, puisi, dan berbagai jenis karya sastra yang lainnya. Selain itu Niimi juga banyak menlis cerita anak yang telah diterbitkan dalam majalan Akai Tori. Selain di majalah cerpen-cerpennya juga dimuat dalam buku kumpulan cerpen, salah satunya yaitu cerpen yang berjudul Gongitsune yang akan menjadi objek dalam penelitian ini. Cerpen Gongitsune ini terbit tahun 1930. Selain cerpen Gongitsune, Niimi juga menghasilkan banyak karya yang berkualitas seperti Ojiisan no Ranpu, Uso, Ushi wo Tsunaida Tsubaki no Ki, dan masih banyak lagi karya-karya yang lainnya.

Hal unik yang terkandung dalam cerpen-cerpen karya Niimi adalah akhir cerita yang tidak bahagia. Pada saat membaca karya Niimi pada pertengahan cerita nampaknya akan terjadi akhir yang bahagia, namun yang terjadi adalah Niimi menulis akhir cerita yang sedih seperti yang terdapat pada cerpen Gongitsune. Hal ini bisa disebabkan oleh kematian ibunya pada saat ia berumur empat tahun. Salah satu karya Niimi yang terkenal hingga saat ini adalah Gongitsune.

Penulis memilih cerpen ini karena ceritanya menarik. Selain itu cerpen ini memiliki keterkaitan antar tiap-tiap unsur intrinsik yang menarik, banyak tersimpan misteri, ada pula nilai moral yang terkandung di dalamnya, dan juga misteri mengenai mitos rubah yang ada di tengah masyarakat Jepang. Kisah mengenai kedekatan antara manusia dan rubah serta penggambaran sifat-sifat rubah digambarkan dengan sangat jelas. Hal ini membantu pembaca dalam mengerti makna yang ingin disampaikan oleh pengarang. Selain menarik, cerita

(4)

Gongitsune ini juga memiliki unsur-unsur budaya yang akan terungkap melalui skripsi ini.

Cerpen Gongitsune ini bisa masuk ke dalam semua kalangan, baik kalangan orang dewasa dan kalangan anak-anak. Bagi penulis, cerpen ini sangat cocok bagi kalangan anak-anak sebab ceritanya banyak bersangkutan dengan dunia hewan. Seperti yang dikatakan oleh Nurgiyantoro (2005 : 7) bahwa sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran dewasa tidak masuk akal. Misalnya kisah binatang yang dapat berbicara, bertingkah laku, berpikir dan berperasaan layaknya manusia. Semua hal yang dikatakan oleh Nurgiyantoro ini sangat nyata di dalam cerpen Gongitsune ini. Contohnya adalah adegan ketika rubah yang bernama Gon ingin menebus kesalahan, memiliki rasa iba, dapat mengerti bahasa manusia, dan masih banyak lagi yang akan diungkap dalam penelitian ini.

Sekilas cerpen Gongitsune ini hanya menceritakan mengenai kisah seekor rubah nakal yang hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar desa. Namun apabila dilihat lebih lanjut lagi cerpen ini juga mengandung berbagai tema, yaitu penyesalan, penebusan kesalahan, dan juga dendam. Hal yang menjadi sorotan dalam cerita ini adalah keberadaan seekor rubah yang bernama Gon dan juga seorang pemuda yang bernama Hyoju. Dari awal cerita hingga akhir cerita keberadaan dua tokoh ini sangat mempengaruhi jalannya cerita.

Cerpen Gongitsune menyimpan banyak makna. Setiap makna yang

terdapat di dalam cerpen Gongitsune ini dapat terungkap dengan menggunakan teori Mitologi Roland Barthes. Seperti yang ada dalam konsep Barthes, yaitu

(5)

mitos merupakan tipe wicara yang mana mitos tersebut dapat tersampaikan melalui gambar, kata-kata, foto dan lain sebagainya. Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan (Barthes, 2006: 151). Kajian mitos sangat penting dan harus dikembangkan karena di dalam suatu cerita rakyat pasti tersimpan banyak makna yang sangat dalam. Sebab suatu dongeng atau mitos tidak hanya merupakan sebuah dongeng yang tanpa arti atau sekedar alat penghibur waktu senggang saja, tetapi lebih dari itu (Ahimsa-Putra, 2006: 181). Sebenarnya mitos terjadi karena adanya suatu pemikiran yang ada di dalam suatu budaya daerah yang kemudian dijadikan oleh masyarakat tersebut suatu kebenaran tanpa tahu makna apa yang ada di balik mitos tersebut. Karena seperti yang dikatakan oleh Carl Jung (dalam Dhavamoni, 1995: 152) bahwa masyarakat primitif tidaklah melakukan perekaan terhadap mitos melainkan menghayatinya. Sehingga penelitian mengenai mitos sendiri dimaksudkan untuk mengungkapkan awal mula terbentuknya mitos dan jalan pikiran yang terdapat di dalam cerita mitos tersebut, sehingga dapat mengetahui hubungan antara mitos dan masyarakat daerah yang mempercayai tentang adanya mitos tersebut.

Barthes juga mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologi untuk membangun mitos dan menciptakan ideologi tertentu. Dalam sistem semiologi ini terdapat bentuk (form) dan konsep (cencept) yang saling memadu. Melalui teori mitos Roland Barthes karya tulis ini akan mengungkap mitos yang ada di dalam cerpen Gongitsune.

(6)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, permasalahan yang telah ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah struktur cerpen Gongitsune serta keterkaitan antar unsur intrinsiknya dalam membangun totalitas makna?

b. Bagaimanakah makna dari mitos rubah serta keterkaitannya dengan cerpen Gongitsune?

c. Ideologi apakah yang tersimpan di dalam sosok rubah?

1.3 Tujuan Penulisan

Berikut tujuan dari penelitian ini:

a. Mengetahui dan menjelaskan struktur cerpen Gongitsune serta keterkaitan antar unsur intrinsiknya dalam membangun totalitas makna.

b. Mengetahui dan menjelaskan mitos rubah dan keterkaitannya dengan cerpen Gongitsune.

c. Mengetahui dan menjelaskan mengenai ideologi yang tersimpan di dalam sosok rubah.

1.4 Tinjauan Pustaka

Sejauh ini belum ditemukan tesis yang membahas mengenai cerpen Gongitsune, namun ada dua judul skripsi yang membahas cerpen Gongitsune. Skripsi yang pertama berjudul “Analisis Makna Akspektualitas Verba Bentuk

(7)

Teiru Pada Cerpen Gogitsune Karya Niimi Nankichi”, oleh Dyah Septanti Andriana dari Universitas Dian Nuswantoro Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Sastra Jepang. Skripsi yang ke dua adalah milik Anna Agustina dari Universitas Padjadjaran Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Sastra Jepang yang berjudul “Nilai Didaktis Dalam Cerita Anak Gongitsune Karya Niimi Nankichi” tahun 2012. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian cerpen Gongitsune yang dianalisis menggunakan teori mitos Roland Barthes belum pernah dilakukan sebelumnya.

Penulis menemukan tesis dan skripsi dengan menggunakan teori sama namun berbeda objeknya untuk dijadikan sebagai tambahan referensi bacaan serta berguna bagi kelancaran penelitian ini. Yang pertama yaitu tesis milik Alvi Puspita tahun 2013 yang berjudul “Mitos Tentang Petalangan dalam Bujang Tan Domang Susunan Tenas Effendy : Kajian Mitos Roland Barthes” dari Program Studi Ilmu Sastra Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Tesis ini lebih menekankan pada sistem semiologi dari buku Bujang Tan Domang untuk menemukan mitos dan ideologi dari buku tersebut. Melalui teori mitos Roland Barthes, penelitian ini telah mengungkap sistem semiologi dari buku Bujang Tan Domang yang terdiri dari sistem linguistik dan sistem mitis. Hasil dari penelitian ini adalah pemitosan Petalangan sebagai Riau berhubungan dengan dua ideologi dua ideologi utama yaitu nasionalisme Riau dan penjunjung tinggi nilai-nilai Melayu. Kedua ideologi tersebut bermuara pada kepentingan ekonomi. Nasionalisme Riau adalah semangat untuk menuntut negara agar melakukan pembagian hasil alam yang adil antara negara dan Riau sebagai

(8)

provinsi. Penjunjung nilai-nilai Melayu selain sebagai usaha untuk penguatan jati diri dalam era global, juga adalah sebuah strategi yang menjadikan budaya sebagai alat untuk memperoleh bantuan-bantuan yang bersifat ekonomi.

Selain tesis, adapun skripsi dari Eka Nurhatika Putri Septiana tahun 2014 yang berjudul ”Mitos Kunang-Kunang dalam Cerpen Requiem Kunang-Kunang karya Agus Noor : Analisis Semiotika” jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini menjelaskan bahwa cerpen ini terbagi menjadi tiga bagian untuk menceritakan kisah yang melatar belakangi mitos kunang-kunang sebagai jelmaan ruh dari sepasang mata yang mereka percaya secara turun-temurun. Ketiga kisah ini menggambarkan bentuk pemerintahan dari orang yang pernah memimpin Indonesia yaitu Soekarno dan Moh. Hatta, Habibie dan Megawati, dan yang terakir adalah mengenai pemerintahan Soeharto yang otoriter. Penjelasan kedua mengenai kunang-kunang yang menjelma sebagai sepasang mata adalah sebuah kepercayaan. Hal ini digambarkan dalam pemerintahan Soeharto yang mendominasi kepercayaan rakyat. Akan tetapi tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yang mengakibatkan krisis kepercayaan pada pemerintahan Soeharto yang mengakibatkan Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden yang memunculkan penanda lain, yaitu “Ambon, 2011”. Selanjutnya adalah makna penanda “Ambon, 2011” yang merupakan keterlibatan pemerintahan Orde Baru dalam pemicu konflik yang terjadi di Ambon. Kedua karya tulis ini sangat membantu dalam penyelesaian dalam setiap masalah penelitian karena disamping menggunakan bahasa yang

(9)

mudah dimengerti, karya tulis ini secara gamblang menjelaskan bagaimana langkah-langkah kerja menggunakan teori mitos Roland Barthes.

1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Teori Struktural

Sebagai tuntunan dalam penelitian terhadap cerpen Gongitsune ini akan dugunakan teori struktural. Hal ini dikarenakan cerpen merupakan penggabungan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik. Sehingga dengan digunakannya teori struktural akan membongkar, mamaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan dari berbagai aspek yang secara bersama-sama membentuk makna (Teeuw, 1984:135-136).

Di dalam penelitian ini memang menggunakan dua teori, yang pertama adalah teori struktural dan yang ke dua adalah teori mitologi Roland Barthes. Pada tahapan pertama digunakan teori struktural karena pemahaman unsur-unsur intrinsik dan keterkaitan antar unsur sangatlah penting untuk diteliti. Setelah mendapatkan hasil dari penelitian menggunakan teori struktural tersebut, peneliti dapat dengan lebih terbantu dalam menyelesaikan penelitian ini, yaitu melakukan penelitian menggunakan teori mitologi Roland Barthes. Dengan kata lain teori struktural ini sangat membantu dalam melakukan penelitian sastra agar tahapan-tahapan dalam penelitian lebih teratur dan lebih jelas.

Teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain (Sangidu, 2007: 16).

(10)

Analisis struktural karya sastra yang dalam hal ini fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1995:37). Berikut ini merupakan unsur-unsur intrinsik yang akan diulas di dalam penelitian ini:

a. Tema

Dalam karya sastra tidak mungkin langsung terungkap isi dari suatu karya sastra tersebut, perlu adanya pemahaman dan penafsiran melalui cerita dan unsur-unsur lain yang ada di dalam cerita tersebut. Tema merupakan hal yang paling mendasar dalam pembuatan setiap karya baik itu karya sastra, karya lukis, karya pahat, dan karya seni yang lainnya. Sebelum seseorang memulai membuat karyanya, pastilah ia menentukan tema yang merupakan suatu landasan, acuan, dan sebagai dasar untuk mengembangkan sebuah cerita.

Biasanya seorang pengarang mengangkat tema berdasarkan kehidupan di sekitarnya, baik yang dialami sendiri ataupun yang dia lihat dan dengar dari pihak

lain. Setelah pengarang mendapatkan ide dan tema, pengarang

mengaplikasikannya ke dalam sebuah karya dengan penuh imajinasi dan kreatifitas yang dimiliki oleh seorang pengarang.

Adanya tema menjadi dasar untuk pengembangan cerita dalam menjiwai seluruh bagian cerita (Nurgiyantoro, 2005: 68). Berawal dari tema maka dapat menemukan adanya nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema tersebut juga akan membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak (Stanton, 2012: 36-37).

(11)

b. Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan oleh tindakan (Abrams, 1981: 20 via Nurgiyantoro).

Tokoh muncul dari karakter yang merujuk pada individu-individu dalam cerita. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan tokoh utama yaitu tokoh yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan perubahan, baik dalam tokoh maupun dalam sikap pembaca terhadap tokoh (Stanton, 2012: 33).

Berbeda dengan tokoh, penokohan merupakan gambaran dari setiap tokoh yang diceritakan dalam suatu karya. Penggambaran dalam setiap tokoh cerita tidak lain adalah berupa watak dari tiap-tiap tokoh, yaitu seperti sifat-sifat, nalar, dan jiwa yang membedakan antara tokoh satu dan tokoh yang lainnya. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh inilah yang disebut dengan penokohan (Sudjiman, 1991: 58).

c. Latar

Dalam sebuah analisis strukturalisme, latar merupakan hal yang sangat penting untuk diteliti. Sebab perubahan-perubahan latar yang terjadi berdampak pada keseluruhan cerita (Stanton, 2012: 36). Latar tersebut meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Dalam cerpen Gongitsune latar tempat, latar waktu,

(12)

dan latar sosial sangat berpengaruh penting dalam menjelaskan makna yang akan disampaikan oleh pengarang.

1.5.2 Teori Mitos Roland Barthes

Penelitian ini menggunakan teori mitologi Roland Barthes karena dalam pembuatan cerpen ini memiliki unsur-unsur historis dan ada keterkaitan dengan masyarakat. Semua unsur yang terdapat di dalam cerpen ini sangat cocok diteliti dengan menggunakan teori Roland Barthes.

Barthes telah memaparkan beberapa konsep dari teori mitosnya. Berikut adalah konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini.

1.5.2.1 Mitos adalah Tipe Wicara

Mitos merupakan sarana komunikasi dan mitos digunakan untuk menyampaikan suatu pesan. Tetapi harus kita tekankan juga bahwa mitos bukanlah suatu objek, konsep, ataupun ide. Namun mitos adalah suatu penandaan dari sebuah bentuk (Barthes, 2006: 152).

Mitologi adalah studi tentang tipe wicara, maka sesungguhnya ia adalah satu bagian dari ilmu tanda (Barthes, 2006:155).

1.5.2.2 Mitos sebagai Sistem Semiologi

Mitos merupakan penggabungan antara bentuk atau forma dan konsep, sehingga hubungan antara bentuk dan konsep ini cukup jelas sekali. Oleh karena

(13)

itu kita tidak perlu lagi mencari-cari makna dari bentuk ataupun sebaliknya mencari-cari makna dari konsep (Sunardi, 2002: 104).

Dalam bahasa sehari-hari kita harus berhati-hati sebab biasanya penanda dianggap mengungkapkan petanda, namun dalam sistem semiologi kita tidak hanya berhadapan dengan dua istilah, melainkan tiga istilah yang berbeda-beda. Tiga istilah tersebut adalah penanda, petanda, dan tanda (Barthes, 2006: 158).

Berikut adalah bagan untuk mempermudah pemahaman:

1.1 Tabel Contoh Mitos

Bahasa 1. Penanda (signifer) 2. Petanda (signified) Bunga Cinta Mitos

2. Tanda (sign) => bunga yang

menandakan cinta II. Konsep

I. Bentuk (form)

Bunga sebagai ungkapan rasa cinta

Bunga diberikan oleh seorang pria pada seorang gadis

(14)

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/imajinasi/article/view/1441/1567

Penanda (signifer) merupakan suatu konsep bahasa. Pada tabel di atas yang menjadi konsep bahasa adalah bunga. Petanda (signified) merupakan suatu gambaran dari mental penanda (signifer), yaitu cinta. Setelah mengetahui pananda dan petanda, barulah kita mengetahui tanda yang merupakan kesatuan dua istilah pertama tersebut, yang menjadi tanda di dalam contoh di atas adalah bunga yang menandakan cinta. Setelah itu langkah selanjutnya adalah sebagai berikut:

1.5.2.2.1 Bentuk

Tidaklah sulit untuk mengidentifikasikan suatu bentuk karena mitos justru menggunakan bentuk-bentuk yang amat jelas. Bentuk sudah jelas karena bentuk justru menggunakan tanda yang sudah dikenal (Sunardi, 2004: 109).

Bentuk mendasar yang harus kita ketahui adalah bentuk sebenarnya tidak menyembunyikan makna namun makna tersebut tidak dapat muncul begitu saja, ia menempatkannya pada jarak tertentu dan membuat makna menjadi sesuatu yang dapat digunakan (Barthes, 2006: 167). Contoh sederhana bisa diambil melalui contoh tabel di atas, yaitu bunga sebagai ungkapan rasa cinta.

(15)

1.5.2.2.2 Konsep

Berbeda dengan bentuk, konsep dalam mitos kabur dan tidak stabil. Ia dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi (Sunardi, 2004: 109).

Konsep adalah sesuatu yang ditentukan, ia historis sekaligus intensional atau terjadi berdasarkan niat atau keinginan dan merupakan sebuah motivasi yang menyebabkan mitos diungkap dan dituturkan. Dengan demikian, konsep terkait erat dengan sebuah fungsi (Barthes, 2006: 168-170). Sebagai contoh, bunga diberikan oleh seorang pria pada seorang gadis.

1.5.2.2.3 Pemaknaan

Pemaknaan merupakan penggabungan dari penanda dan petanda. Namun untuk mencapai pemaknaan tersebut dibutuhkan adanya bentuk dan konsep. Sebagai contoh: pria tersebut jatuh cinta terhadap sang gadis, sehingga dapat diartikan bahwa ketika pria tersebut memberikan bunga pada seorang gadis, berarti dia jatuh cinta pada gadis tersebut.

1.5.2.3 Membaca dan Mengurangi Mitos

Barthes, dalam bukunya yang berjudul Mitologi (2006: 184-186) menguraikan cara membaca dan mengurangi Mitos ke dalam tiga hal, yaitu:

1.5.2.3.1 Memfokuskan Pembacaan pada Penandaan Kosong

Fokus pada penandaan kosong berarti menyampaikan dengan jelas maksud dari suatu mitos dan berhadapan dengan sebuah sistem yang sederhana, di mana

(16)

penandaan menjadi bersifat harfiah atau pengertian kata demi kata. Apabila dilihat dari contoh sebelumnya, maka pembaca mitos akan memusatkan pembacaannya pada bunga sebagai ungkapan rasa cinta. Tipe pemfokusan ini adalah tipe pembacaan produsen mitos.

1.5.2.3.2 Memfokuskan Pembacaan pada Penanda yang Penuh

Fokus ini jelas-jelas membedakan makna dari bentuk, yang berarti menjelaskan mitos pada arti yang sebenarnya, dan akibatnya terjadilah pemutar balikan fakta yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain sehingga pembaca membatalkan proses penandaan dalam sistem mitis dan kemudian menerima sistem mitis ini sebagai tipuan. Apabila kita lihat dari contoh pada tabel sebelumnya, maka pembaca mitos memusatkan perhatiannya pada kalimat bunga diberikan oleh seorang pria pada seorang gadis. Ini adalah model pemfokusan seorang mitolog yang menguraikan mitos dan memahaminya sebagai distorsi atau pemutarbalikan fakta.

1.5.2.3.3 Memfokuskan Pembacaan pada Penandaan Mitis

Fokus yang terakhir ini adalah penggabungan dari makna dan bentuk, yang berarti menerima penandaan yang ambigu. Dengan dilakukanya fokus pembacaan ini, pembaca bisa memaknai mitos sesuai dengan kemampuannya. Apabila fokus pembacaan ini diaplikasikan pada contoh tabel bunga cinta, maka penanda ini merupakan penanda mitis, sehingga pembaca memaknai apabila ada pria memberikan bunga pada seorang gadis, maka pembaca memaknai bahwa pria

(17)

tersebut jatuh cinta terhadap seorang gadis atau bisa juga dengan penafsiran yang berbeda lainnya.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan langkah-langkah kegiatan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Berikut ini merupakan langkah-langkah penelitian untuk menganalisis cerpen Gongitsune:

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer untuk menemukan mitos atau ideologi yang terkandung di dalamnya. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan cerpen berjudul Gongitsune yang ditulis oleh Niimi Nankichi. Selain itu digunakan pula referensi-referensi atau buku-buku lain yang berkaitan dengan mitos rubah. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan studi pustaka melalui buku, artikel, skripsi, tesis, dan internet yang berkaitan dengan penelitian.

1.6.2 Metode Analisis Data

Tahapan kedua setelah dilakukan pengumpulan data adalah analisis data. Metode analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Melakukan pembacaan pada data primer, yaitu cerpen Gongitsune itu sendiri. Selanjutnya dilakukan pembacaan pada data sekunder, yaitu data-data yang mendukung penelitian ini.

(18)

2. Menganalisis semua data yang nantinya akan diuraikan ke dalam karya tulis ini. Kemudian menganalisis cerpen Gongitsune karya Niimi Nankichi menggunakan analisis struktural, yang dilakukan dengan cara menganalisis tiap-tiap unsur intrinsik yang terdapat di dalam cerpen tersebut. Unsur-unsur intrinsik yang akan dianalisis dalam penelitian ini berupa tema, tokoh dan penokohan, latar, serta bagaimana keterkaitan antar unsur tersebut.

3. Mencari dan meneliti bentuk konsep dari data, kemudian

mengungkapkan hubungan antara keduanya. Setelah melakukan analisis pada bentuk yang tidak lain adalah unsur-unsur cerita pembangunnya, maka dilakukan penggabungan antara ciri-ciri mendasar, motivasi, dan latar belakang yang terkait dengan cerpen Gongitsune dan mitos rubah di dalam masyarakat Jepang. Latar belakang tersebut berupa latar keadaan sosial masyarakat Jepang tahun 1930-an.

4. Mencari dan meneliti makna denotasi serta makna konotasi dari data yang kemudian akan mengungkapkan hubungan antara keduanya. Aspek yang mendasar dari mitologi adalah makna denotasi dan makna konotasi itu sendiri. Makna denotasi adalah makna literal atau pemaknaan tingkat pertama dalam tataran linguistik, sedangkan makna konotasi lebih condong pada makna tataran ke dua yang merupakan sistem mitis tempat di mana mitos tersebut berada. Dalam sistem mitis ini ikut dilibatkan segala atribut motivasi yang bersangkutan dengan mitos tersebut.

(19)

1.7 Sistematika Penulisan

Pada Bab I berisi Pendahuluan yang di dalamnya berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II berisi analisis struktural cerpen berupa analisis tema, tokoh dan penokohan, latar, dan juga hubungan antar unsur-unsurnya. Bab III berisi analisis tentang sistem mitis yaitu mengenai konsep dan makna konotasi rubah serta ideologi yang terkandung di dalamnya. Bab IV adalah bab terakhir yang akan berisikan kesimpulan dari hasil penelitian. Selain itu, terdapat pula lampiran berupa gambar objek penelitian dan gambar-gambar tambahan yang terkait dengan penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM) Bidang Cipta Karya merupakan dokumen perencanaan dan pemrograman pembangunan

32 Studi Kasus Interferensi Bahasa Bugis Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Di Sekolah Dasar Tanjung Jabung Timur vokal [e] dalam bahasa Indonesia menajdi vokal [a] dalam

Dengan demikian, analisis terhadap kinerja propeller pada pengoperasian sebenarnya mengindikasikan bahwa efisiensi open water propeller hasil perancangan diprediksi 20% lebih

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan pada tabel 4.1, maka profil kemampuan dasar siswa di SMK Pembangunan Nasional Purwodadi yang muncul melalui

Dalam konteks regional, Cimahi kemudian dimasukkan sebagai bagian dari Bandung Metropolitan Area (BMA), dengan fungsinya sebagai daerah penyangga Kota Bandung.

Dari uji statistik diperoleh ada hubungan sanksi dengan kinerja bidan dalam pengisian partograf pada ibu bersalin di Puskesmas Jekulo (p=0,022 < α=0,05).Kebanyakan responden

Pada analisis ini akan disajikan dalam empat model hasil estimasi (model 1, model 2, model 3, dan model 4) karena peneliti ingin melihat dampak dari masing-masing

Gambar 3- Kromatogram Gas Eugenol pada Sampel Minyak Atsiri Bunga Cengkeh dari Daerah di Maluku. Gambar 4-Kromatogram Gas Eugenol pada Sampel Minyak Atsiri Bunga