• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peristiwa Gestapu meletus pada tanggal 30 September 1965 malam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peristiwa Gestapu meletus pada tanggal 30 September 1965 malam"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peristiwa Gestapu meletus pada tanggal 30 September 1965 malam dengan penculikan dan pembantaian terhadap enam orang anggota senior komando tinggi militer dan seorang ajudan Menteri Pertahanan. Namun, dalam waktu kurang dari 24 jam usaha merebut kekuasaan itu telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan militer yang dipimpin oleh Panglima Komando Strategi Angkatan Darat(Kostrad), Mayjen Soeharto (Langenberg dalam Cribb, 2004: 83).

John Hughes sebagaimana dikutip David McKay dalam Sulistyo (2001:2-3) menyebut gerakan itu sebagai Gestapu(Gerakan September Tiga Puluh) yang lebih populer dengan sebutan Gerakan Tiga Puluh September. Versi resmi pemerintah menyebutnya Gerakan Tiga Puluh September/Partai Komunis Indonesia(PKI) dan secara keseluruhan peristiwa disebut peristiwa G-30-S/PKI.

Peristiwa G-30-S ini menurut John Roosa (2008:4) memiliki dampak sejarah yang penting. Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan Soekarno, sekaligus bermulanya masa kekuasaan Soeharto. Sampai 1965, kedudukan Soekarno sebagai presiden tidak tergoyahkan. Sebagai bukti kepopularitasnya, baik G-30-S maupun Soeharto berdalih

(2)

2

bahwa segala tindakan yang mereka lakukan merupakan langkah untuk membela Soekarno.

Sementara itu, peristiwa Gerakan 30 September tersebut menjadi salah satu tragedi politik berdarah di Indonesia. Peristiwa tersebut berdampak pada pembantaian massal anggota PKI dan simpatisannya yang terjadi di seluruh daerah.

Pembantaian terjadi beberapa minggu setelah kudeta, meluas dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur kemudian Bali, dan menyebar ke pulau-pulau lainnya dalam skala lebih kecil. Pada sebagian besar wilayah, pembantaian dilakukan oleh unit-unit tentara dan kelompok-kelompok siaga sipil (Cribb, 2004: 4-5).

Berbagai fakta menunjukkan adanya keterlibatan tentara dalam peristiwa pembantaian massal tersebut. M.C Ricklefs (2008:564-565) dalam

Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 menjelaskan, pada 1 November,

Soeharto membentuk Kopkamtib(Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Kemudian, kekerasan terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan PKI terjadi di seluruh daerah, tetapi pembunuhan massal yang terburuk terjadi di Jawa dan Bali.

Penulis lainnya, Lambert J. Giebels (2005: 132-133) menjelaskan bahwa pada pertengahan bulan Oktober, Soeharto mengutus Sarwo Edhie dan para komandonya ke Jawa Tengah untuk mengadakan operasi pembersihan. Sarwo Edhie menyuruh pasukannya menyerang apa yang ia anggap

(3)

kubu-3

kubu perlawan komunis. Bagi rakyat yang tidak komunis, kedatangan para komando menjadi tanda bahwa mereka bisa membalas dendam untuk penderitaan mereka yang disebabkan oleh intimidasi para pengacau dari Pemuda Rakyat. Para tentara memberi segala macam fasilitas kepada para pemburu komunis. Para pemburu tersebut mencari orang-orang komunis atau yang disangka komunis, menyerahkan mereka kepada peleton api para komando atau membunuhnya dengan parang dan pisau

Sementara itu, kesatuan-kesatuan RPKAD mulai menyisir Jawa Tengah, dengan instruksi dari Jakarta untuk memulihkan ketertiban dan menghancurkan sisa-sisa Gerakan 30 September. Di Jawa, RPKAD mempersenjatai dan melatih kelompok-kelompok pemuda antikomunis dengan tujuan khusus untuk menghancurkan PKI. Kegiatan serupa juga bergerak di Sumatera Utara di mana kesatuan-kesatuan khusus Kostrad dan kesatuan-kesatuan lainnya dari komando militer regional mempromosikan dan mendukung pembantaian terhadap para simpatisan PKI oleh pemuda-pemuda antikomunis setempat (Langenberg dalam Cribb, 2004: 87-88).

Dalam beberapa kasus, tentara terlibat langsung dalam aksi pembantaian, tetapi seringkali hanya sebagai penyalur senjata, memberi sekadar pelatihan dan dorongan yang kuat kepada kelompok-kelompok sipil yang menjadi sangat penting dalam aksi pembantaian ini (Cribb, 2004: 5).

Selanjutnya, di daerah Jombang dan Kediri, peran tentara yang relatif pasif menyediakan arena pertarungan bagi kaum protagonis untuk

(4)

4

menyelesaikan konflik politik lama melalui kekerasan. PKI terlebih dahulu dihancurkan dan tanpa adanya pengawasan pembantaian berlangsung tanpa koordinasi dan acak, ketika kelompok-kelompok pemuda Muslim setempat, dengan persetujuan dari kiai tertentu, memperoleh kesempatan membunuh musuh mereka, kaum komunis (Sulistyo, 2001: 244). Kenneth R Young dalam Cribb (2004: 145-146) menjelaskan, serangan-serangan tidak akan dilakukan kecuali atas persetujuan dari dan diorganisasi oleh para pemimpin sipil yang umumnya NU, dan dipertegas oleh pihak militer.

Di bawah pengawasan dan dengan keterlibatan pihak Angkatan Darat, massacre pun terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara. Kepentingan-kepentingan kelas, semangat keagamaan, kebencian-kebencian komunal, perbedaan-perbedaan ideologis yang mendalam, semuanya digerakkan dalam kekerasan antikomunis. Dalam sebuah “semangat antikomunis yang nyaris histeris”, ribuan kelompok penjaga keamanan, yang didukung oleh kesatuan-kesatuan militer lokal dan seringkali diarahkan oleh para komandan militer, yang tersebar di seluruh daerah, membantai atau menangkap orang-orang yang diduga sebagai simpatisan PKI (Kroef; Crouch sebagaimana dikutip Langenberg dalam Cribb, 2004: 88).

Sebuah dokumen juga mengambarkan pembantaian-pembantaian yang terjadi di Jawa Timur pada tahun 1965-1966. Dokumen tersebut berisi penjelasan-penjelasan rinci tentang pembantaian yang terjadi di berbagai wilayah di Jawa Timur. Kabupaten Banyuwangi salah satunya. Pembantaian di Banyuwangi dipimpin oleh komandan Korem, komandan Kodim, ketua

(5)

5

PNI cabang Banyuwangi, ketua Nadhlatul Ulama cabang Banyuwangi, dan anggota-anggota angkatan bersenjata yang bertugas. Di tingkat kecamatan, pembantaian-pembantaian itu dilakukan oleh para komandan dan staf Koramil, dan juga para anggota partai (Cribb, 2004: 280-289).

Sementara itu, pembantaian-pembantaian di Bali baru bermula hingga relatif terlambat− minggu pertama bulan Desember 1965. Di sini pintu air aksi kekerasan pun terbuka setelah militer bertindak, dalam kasus ini adalah tindakan-tindakan balasan pihak tentara setelah seorang prajurit terbunuh dalam sebuah bentrokan dengan para pemuda komunis di Jembrana. Tetapi, sekali diawali oleh unit-unit tentara daerah, pembantaian terhadap orang-orang komunis langsung diambil alih secara besar-besaran oleh sipil (Young dalam Cribb, 2004:160-161). Angkatan darat memainkan peranan penting dalam pembantaian massal di Bali. Mereka mendukung awal terjadinya pembantaian, yakni dengan kesatuan-kesatuan RPKAD yang menyebarkan daftar hitam anggota PKI yang harus dibunuh dan dengan melatih gerombolan pemuda-pemuda sipil, yang biasanya disebut Tamin, untuk menguasai teknik-teknik dasar membantai (Cribb, 2004: 410).

Di Provinsi Sumatera Utara, terdapat fakta bahwa tentara ikut mendorong kelompok-kelompok pemuda lokal di ibukotanya( Medan) untuk membunuh pesaing-pesaing mereka dari kalangan komunis. Pasukan-pasukan pemuda di sini adalah kelompok Muslim, Katolik, dan Pemuda Pancasila (Crouch sebagaimana dikutip Young dalam Cribb, 2004: 165).

(6)

6

Asvi Warman Adam dalam Cribb (2004: v) menjelaskan peristiwa G-30-S secara faktual diikuti oleh pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia. Pembantaian ini nyaris tidak pernah disebut dalam buku pelajaran sejarah di sekolah semasa Orde Baru.

Padahal, sepanjang 1965-1966, telah terjadi pembantaian massal terhadap-paling tidak- 500 ribu lebih anggota dan simpatisan PKI. Bahkan, mereka yang dianggap sebagai pendukung Soekarno pun tak luput dari tindakan penangkapan dan pembunuhan. Ratusan ribu lebih keluarga kehilangan sanak famili mereka. Tragedi itu selama puluhan tahun tersimpan dalam benak terdalam korban dan diketahui oleh segelintir intelektual yang mencium bau tak sedap dari berbagai pelosok daerah di Indonesia (Triyana dalam Isnaeni, Tanpa Tahun:VII).

Peristiwa tersebut mendapat sorotan dari berbagai media baik lokal maupun internasional. Namun, akses terhadap informasi untuk pers lokal maupun internasional dibatasi. Seringkali, akses terhadap sumber dan cerita tergantung pada militer. Selain itu, transportasi untuk mencapai lokasi juga sulit dan kesempatan untuk mengumpulkan catatan mengenai pembantaian dari sumber terdekat sangat terbatas (Cribb, 2004: 5).

Angkatan Darat mengendalikan dengan ketat keberadaan wartawan asing, melarang sebagian besar masuk Indonesia sejak Oktober 1965 dan membatasi pergerakan mereka yang berhasil masuk Jakarta. Pengawasan mulai longgar pada Maret 1966. Stanley Karnow dari Washington Post melakukan penyelidikan selama dua pekan di seluruh Jawa dan Bali dan

(7)

7

memperkirakan setengah juta orang telah mati dibunuh. Seth King dari New

York Times mengajukan angka moderat, yaitu sebanyak 300.000 korban

tewas. Seymour Topping, rekan Seth King di koran yang sama juga menyimpulkan bahwa korban tewas lebih dari setengah juta orang. Ketiganya memberitakan bahwa personil militer dan milisi sipil antikomunis terlibat pembunuhan dan dilakukan dengan cara sistematis serta rahasia (Roosa, 2008: 30-31).

Bonnie Triyana menjelaskan, peristiwa pembantaian massal mendapat perhatian meluas dari berbagai media massa setelah Poncke Princen, seorang aktivis Hak Asasi Manusia mengadakan jumpa pers di Jakarta pada 26 Februari 1969. Princen menceritakan peristiwa pembantaian di Purwodadi di hadapan media nasional. Setelahnya, berbagai media massa berlomba-lomba menyiarkan kabar pembantaian massal seperti diceritakan Princen. Jurnalis yang turut melaporkan langsung peristiwa tersebut adalah Yopie Lasut, Sinar Harapan dan Maskun Iskandar dari Indonesia Raya. Tak hanya itu, Henk Kolb, jurnalis koran De Haagsche juga menurunkan liputan yang menyoroti soal tahanan politik di kamp Purwodadi yang memprihatinkan, berdesak-desakan dalam kamp dan diperlakukan tidak manusiawi. 1

Di samping itu, berbagai petunjuk mengenai sifat pembantaian bermunculan ke permukaan. Harian KAMI dan Indonesia Raya menuliskan dalam laporannya bahwa pembantaian-pembantaian tersebut lebih dari sekadar

1

www.historia.co.id “Dulu Soeharto, Sekarang Yudhoyono”

(8)

8

massacre yang dilakukan tentara biasa terhadap orang-orang yang diduga

sebagai pendukung PKI. Hal tersebut terbukti dari tertangkapnya beberapa guru agama di Pastoran Purwodadi. Menurut laporan medis yang dibocorkan kepada Harian KAMI, salah seorang korban, meninggal akibat pemukulan yang kejam (Cribb, 2004:331-332).

Pemberitaan berbagai media massa baik lokal maupun internasional menandakan bahwa peristiwa pembantaian massal ini memiliki nilai berita tinggi. Nilai berita menjadi ukuran berguna untuk menentukan layak berita( newsworthy). Peristiwa yang memiliki nilai berita mengandung konflik, bencana dan kemajuan, dampak, kemasyhuran, segar dan kedekatan, keganjilan, human interest, seks, dan aneka nilai lainnya (Ishwara, 2008: 53).

AS Haris Sumadiria (2006: 80) menuliskan 11 nilai berita sebagai berikut: keluarbiasaan (unusualness), kebaruan (newness), akibat (impact), aktual (timeliness), kedekatan (proximity), informasi (information), konflik

(conflict), orang penting (prominence), ketertarikan manusiawi (human

interest), kejutan (suprising), dan seks (sex).

Pembantaian massal ini memiliki nilai berita tinggi dari segi keluarbiasaan (unusualness), akibat (impact), kedekatan (proximity), konflik, dan orang penting (prominence). Nilai keluarbiasaan dalam pembantaian massal ini terletak pada kisaran jumlah korban terbunuh. Frank Palmos dalam artikelnya di The Economist 20 Agustus 1966, sebagaimana dikutip Cribb (2004:15) menuliskan laporan sepanjang sekitar 25 halaman yang memuat

(9)

9

keterangan bahwa 800.000 jiwa terbunuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan masing-masing 100.000 di Bali dan Sumatra. Laporan tersebut ditulis dari perkiraan hasil survei yang dipimpin oleh Kopkamtib dibantu oleh sekitar 150 sarjana yang dilakukan pada 1966.

Dari segi akibat (impact), peristiwa pembantaian massal ini berdampak luas kehidupan sosial-politik-ekonomi. Dampak terbesar terutama pada perkembangan politik di Indonesia. Kedekatan (proximity) secara geografis dan psikologis juga terlihat dalam peristiwa pembantaian massal ini. Secara geografis, peristiwa tersebut terjadi di sebagian besar daerah di seluruh Indonesia. berdasarkan psikologis, peristiwa tersebut mempunyai efek traumatik yang membekas pada diri saksi mata maupun korban.

Nilai lainnya adalah konflik. Peristiwa pembantaian massal tersebut terjadi salah satunya disebabkan konflik antara Partai Komunis Indonesia dengan para tokoh pemuka agama di daerah. Orang penting

(prominence) turut menjadi nilai berita dalam pembantaian massal ini. Sosok

Mayjen Soeharto yang membentuk Kopkamtib menjadi laporan utama dalam majalah Time pada Juli 1966. Dalam laporan tersebut, Time memberitakan bahwa militer bertanggung jawab atas pembantaian yang terjadi (Roosa, 2008: 33).

Sementara itu, peristiwa pembantaian massal juga mendapat perhatian khusus dari salah satu media di Indonesia pada era reformasi ini.

(10)

10

Media tersebut adalah majalah Tempo yang menurunkan liputan khusus berjudul “Pengakuan Algojo 1965” pada edisi 1-7 Oktober 2012.

Liputan Khusus majalah Tempo tersebut terkait langsung pada bagaimana media membingkai suatu peristiwa. Ada agenda yang ingin diangkat suatu media dan diperlihatkan kepada publik. Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya, di antaranya realitas politik. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkatnya dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya (Sobur, 2009: 88).

Oleh karena itu, peneliti tertarik menganalisis isi berita pada majalah Tempo dengan menggunakan metode analisis framing. Teknik analisis tersebut dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana media mengemas sebuah realitas.

Pemilihan majalah Tempo sebagai kajian analisis berdasarkan atas beberapa hal. Pertama, majalah Tempo memiliki sejarah panjang berkaitan dengan upaya mengungkapkan fakta yang seringkali bersinggungan pada kebijakan rezim penguasa yakni Orde Baru. Kedua, falsafah para pendiri

(11)

11

akurat dan berimbang. Ketiga, Tempo memiliki tradisi dalam jurnalistik investigasinya dan keberanian mengangkat isu kontroversial.

Dalam konteks penelitian ini terkait dengan berita tentang pembantaian massal, Tempo menurunkan liputan khusus tentang pengakuan algojo 1965. Dari sekian berita yang tertulis mulai dari halaman 50 sampai 125, peneliti memilih 12 berita yang terkait dengan peranan tentara di dalamnya. Pemilihan 12 berita tersebut berdasarkan atas adanya unsur keterlibatan tentara dalam pembantaian massal dan menjadi faktor penunjang peneliti dalam menjawab rumusan masalah.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai bagaimana majalah Tempo mengkonstruksi realitas peranan tentara dalam pembantaian massal pascagerakan 30 September 1965.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini berupaya untuk menjawab sebuah rumusan masalah penelitian, yaitu : Bagaimana majalah Tempo mengkonstruksi realitas peranan tentara dalam pembantaian massal pascagerakan 30 September 1965?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana majalah Tempo mengkonstruksi realitas peranan tentara dalam pembantaian massal pascagerakan 30 September 1965.

(12)

12 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Signifikansi Akademis

Penelitian ini dapat bermanfaat untuk penelitian sejenis dan memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu komunikasi, yang khususnya mengkaji mengenai analisis teks media, menggunakan analisis framing.

1.4.2 Signifikansi Praktis

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi media massa dan praktisi jurnalistik dalam melihat gambaran peristiwa yang berkaitan dengan isu-isu politik dan sosial serta konstruksi yang dilakukan oleh media.

Referensi

Dokumen terkait

F € riodontal Deliputi terapi awal dan terapi pemeliharaan. pen)esuaian oklusi. prenredilasi LLrr penrbcrian rcb,,ftr.ia Kebersihan mulut rnerupakan hal uranra yarg harus

(2012) dan Sowmya dan Panchanatham (2011) juga menemukan adanya hubungan yang kuat antara kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional, yang menyatakan bahwa

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan pola asuh authoritative dan permisive akan menciptakan lebih banyak anak yang memiliki harga diri

Borges (2008) mengatakan nilai rendahnya DIC dan TA pada musim hujan di ekosistem mangrove terkait dengan salinitas, yaitu pada musim kemarau tingginya temperatur

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah pengaruh partisipasi penyusunan anggaran terhadap kinerja manajerial dengan komitmen organisasi sebagai variabel moderasi

Selain itu, dalam rangka memenuhi persyaratan yang diminta oleh perusahaan pengguna jasa katering rekanan PT ELN, dan persyaratan pemerintah untuk menjadi perusahaan

untuk liabilitas keuangan non-derivatif dengan periode pembayaran yang disepakati Grup. Tabel telah dibuat berdasarkan arus kas yang didiskontokan dari liabilitas