• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Wacana Tentang Partai Komunis Indonesia Dalam Surat Kabar Kompas. 1. Wacana tentang Partai Komunis Indonesia dalam Berita Mengenai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "C. Wacana Tentang Partai Komunis Indonesia Dalam Surat Kabar Kompas. 1. Wacana tentang Partai Komunis Indonesia dalam Berita Mengenai"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

C. Wacana Tentang Partai Komunis Indonesia Dalam Surat Kabar Kompas dan Republika

1. Wacana tentang Partai Komunis Indonesia dalam Berita Mengenai Usulan Pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/1966

Pasca reformasi, wacana seputar masalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan komunisme lebih berpeluang untuk menjadi konsumsi publik sebab tidak ada lagi rezim yang mengahalangi perbincangan seputar masalah itu, dan yang lebih penting adalah munculnya harapan agar iklim reformasi bisa memunculkan wacana alternatif yang bisa memberi penjelasan dan gambaran lebih gamblang tentang Partai Komunis Indonesia, apa yang sebenarnya terjadi dalam Gerakan 30 September 1965 serta siapa yang sesungguhnya ada di balik peristiwa tersebut.

Pasca reformasi ada moment penting yang mengangkat masalah PKI menjadi perbincangan publik, yakni ketika Presiden Abdurrahman Wahid dalam sebuah acara dialog yang disiarkan langsung oleh TVRI pada pertengahan Maret tahun 2000 menyatakan minta maaf pada orang yang telah dituduh sebagai PKI dan telah dibatasi hak-haknya. Dalam kesempatan berikutnya Abdurrahman Wahid juga mengusulkan agar TAP MPRS Nomor XXV/1966 yang berisi pelarangan terhadap PKI dan Komunisme agar dicabut. Usulan Abdurrahman Wahid dinilai sebagai gebrakan luar biasa terhadap sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu. Usulan tersebut membuka wacana lain tentang kepedihan dan diskriminasi yang selama ini dialami oleh orang-orang yang dituduh sebagai PKI, keluarga dan keturunannya. Namun pada sisi lain usulan Abdurrrahman Wahid juga mengundang reaksi keras dari pihak-pihak yang mengangap usulan

(2)

Abdurrrahman Wahid bisa memberi peluang pada orang-orang komunis setiap saat bisa bangkit kembali. Pihak yang tidak setuju dengan usulan tersebut menganggap Abdurrahman Wahid tidak melihat sejarah masa lalu, dimana PKI telah memberobtak dan bersikap kejam pada rakyat. Bagaimana wacana tentang Partai Komunis Indonesia yang muncul dalam Kompas dan Republika ketika menurunkan berita tentang Usulan Pencabutan TAP dan Caleg Eks PKI? Untuk membongkar wacana yang ada di balik kedua media, penelitian ini menggunakan analisis wacana model van Dijk yang dibagi dalam beberapa elemen wacana dan masing-masing elemen saling mendukung. Berikut ini beberapa judul berita dari Kompas dan Republika:

Tabel 4

Daftar Judul Berita mengenai Usulan Pencabutan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dalam Kompas dan Republika

Berita mengenai Usulan Pencabutan Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966

Kompas Republika 1. PRO-KONTRA PENGHAPUSAN

TAP XXV/1966 (Kompas, 03 April 2000)

2. TNI SEDANG KAJI TAP MPRS XXV/1966 (Kompas, 05 April 2000) 3. Presiden Abdurrahman Wahid: UUD

1945 TIDAK MELARANG SUATU PAHAM (Kompas, 05 April 2000) 4. BENAHI DULU EKONOMI, BARU

BICARA TAP MPRS XXV/1966 (Kompas 07 April 2000)

5. Ketetapan Nomor

XXV/MPRS/Tahun 1966 DARI SECANGKIR KOPI KE HAWA NAFSU (Kompas, 14 April 2000) 6. Budiman Sudjatmiko: BONGKAR

SEMUA SEJARAH… (Kompas, 14 April 2000)

7. USUL PENCABUTAN TAP

1. ‘MPR tak akan Cabut Tap MPRS No XXV’ (Republika 5 April 2000) 2. MPR takkan Cabut Tap Komunisme

(Republika, 7 April 2000)

3. Demo Besar Tolak Pencabutan Tap tentang PKI (Republika, 8 April 2000)

4. Ide Pencabutan Tap tentang Komunisme tak Populer di MPR (Republika 9 April 2000)

5. Sesepuh NU Tolak Pencabutan Tap MPRS XXV (Republika, 10 April 2000)

6. PBNU Tetap tak Setuju Tap MPRS tentang Komunisme Dicabut (Republika, 15 April 2000) 7. Tokoh Politik Surakarta Bentuk

Front Anti Komunis. (Republika 18 April 2000)

(3)

XXV/MPRS/1966 AKAN

DIJELASKAN 20 MEI (Kompas, Sabtu 22 April 2000)

8. Muktamar I Partai Bulan Bintang, YUSRIL ANCAM MUNDUR DARI KABINET (Kompas, 27 April 2000)

8. ‘Komunisme Bertentangan dengan UUD ‘45’. (Republika, 29 April 2000)

Sumber: diolah dari berita-berita dalam Kompas dan Republika

1.1. Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar Kompas

Kompas dikenal sebagai surat kabar yang bersikap sangat hati-hati dalam pemberitaannya, terutama mengenai masalah yang bersifat kontroversial atau menyangkut isu-isu sensitif. Sikap tersebut juga tampak ketika menurunkan berita tentang usulan Pencabutan TAP MPRS/XXV/1966, Kompas tidak terjebak pada satu pandangan. Salah satu surat kabar terbesar di Indonesia ini mengakomodir pihak yang pro maupun kontra, meletakkan usulan Gus Dur sebagai masalah yang bersifat kontroversial. Sikapnya mengenai usulan pencabutan Tap tercermin dari bagaimana Kompas menggambarkan Partai Komunis Indonesia dalam berita-berita tersebut, baik tentang eksistensi PKI, komunisme maupun seputar sejarah 1965

1.0.0. Tematik

Tema atau topik adalah gagasan inti yang menggambarkan apa yang ingin diungkapkan wartawan dalam berita. Topik menunjukkan konsep dominan, sentral dan paling penting dari teks. Dalam berita tentang usulan pencabutan Tap MPRS/XXV/1966, Kompas melihat masalah tersebut masih bersifat pro-kontra. Ada dua tema utama tentang Partai Komunis Indonesia yang dimunculkan,

(4)

Pertama, boleh tidaknya ideologi komunis tumbuh kembali di Indonesia dan kedua, tentang keterlibatan Partai Komunis Indonesia dalam G30S.

PKI dan komunisme menjadi tema sentral dalam beberapa berita yang diturunkan dan menjadi cerminan bagaimana Kompas menilai peluang untuk mencabut Tap MPRS/XXV/1966 sebagaimana diusulkan oleh Gus Dur. Pada satu sisi, Kompas ingin menyatakan bahwa ideologi komunis masih berpeluang untuk kembali tumbuh di Indonesia. Ada beberapa sub tema yang dipakai untuk mendukung kemungkinan tumbuhnya komunis di Indonesia. Pertama, UUD 1945 tidak melarang suatu paham, termasuk ideologi komunis, dan kedua, pelarangan terhadap sekelompok warga negara untuk menganut sebuah paham adalah perbuatan diskriminatif. Ketiga, pelarangan terhadap suatu paham juga bertentangan dengan demokrasi. Pada sisi lain, Kompas juga mengatakan bahwa kemungkinan untuk menumbuhkan kembali PKI dan komunisme di Indonesia perlu dipikirkan kembali sebab komunisme adalah idelogi yang masih berbahaya dan bisa mengancam bangsa kita. Ada beberapa sub tema yang mendukung penolakan tersebut. Pertama, komunisme anti demokrasi sehingga tidak boleh tumbuh di Indonesia karena akan merusak tatanan demokrasi yang sedang dibangun dan kedua, komunisme bertentangan dengan ajaran Islam.

Mengenai eksistensi Partai Komunis Indonesia, Kompas juga tidak hanya terpaku pada satu pandangan. Kompas mengangkat tema tentang kesalahan yang telah dilakukan PKI terhadap bangsa Indonesia, sehingga PKI tidak boleh hidup lagi di bumi pertiwi. Namun pada sisi lain Kompas secara implisit juga berusaha memunculkan kemungkinan adanya pihak-pihak selain PKI yang terlibat dalam

(5)

G30S. Ada beberapa tema pendukung yang dipakai untuk meyakinkan bahwa PKI tidak boleh hidup lagi. Pertama, PKI telah berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan menggunakan cara kekerasan, kedua, PKI tidak pernah ikut membangun Indonesia dan ketiga, orang-orang PKI suka meneror.

Pada sisi lain, Kompas juga ingin menyampaikan bahwa belum tentu PKI yang memberontak. Ada dua sub tema yang diangkat untuk menggugat kembali keterlibatan PKI dalam G30S. Pertama, mengungkap kemungkinan tentang apa dan siapa yang ada di balik G30S. Kompas mengangkat kemungkinan peristiwa G30S terjadi karena konflik internal Angkatan Darat, bahkan ada kemungkinan yang menjadi dalang G30S adalah justru Soeharto sendiri. Karena itu dalam sub tema kedua Kompas mengusulkan agar sejarah Indonesia dibongkar kembali, agar permasalahannya bisa dilihat secara proporsional.

1.1.2. Skematik

Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur. Skema tersebut menunjukkan bagaimana bagian teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk satu kesatuan arti. Berita umumnya mempunyai dua skema besar, Summary (ringkasan) dan Story (isi berita). Summary ditandai judul dan Lead menunjukkan tema yang ingin ditampilkan dalam berita. Lead umumnya sebagai pengantar ringkasan dari apa yang ingin disampaikan sebelum masuk dalam isi berita secara keseluruhan. Story adalah isi berita secara keseluruhan yang secara hipotetik terbagi dua sub kategori. Pertama berupa gambaran situasi jalannya peristiwa dan yang kedua berupa komentar yang ditampilkan dalam teks.

(6)

Wacana yang muncul tentang Partai Komunis Indonesia dalam berita tentang Tap MPRS XXV/1966 juga terlihat dari skema yang dibuat. Masalah PKI maupun komunisme tidak pernah secara eksplisit diangkat dalam judul maupun lead berita, Kompas lebih menyoroti usulan pencabutan Tap sebagai masalah yang masih pro-kontra, hal ini ditunjukkan oleh skematik dua buah berita yang dimuat oleh Kompas. Memang sikap Kompas yang menganggap masalah Tap sebagai masalah yang kontroversial tidak tercermin dalam setiap berita. Namun jika dilihat secara keseluruhan sampel berita, kita bisa melihat bahwa pihak yang pro maupun kontra bisa dikatakan mendapat perhatian hampir yang sama dalam pemberitaan.

Dari judul berita yang dibuat, bisa ditebak ke mana Kompas mengarahkan publik pembacanya dan betapa koran ini terlihat hati-hati dalam pemberitaannya. Dalam dua beritanya, Kompas memasang judul “Pro-Kontra Penghapusan Tap XXV/1966” (Kompas, 03-03-2000) dan “Ketetapan Nomor XXV/MPRS/Tahun 1966 Dari Secangkir Kopi ke Hawa Nafsu” (Kompas, 14-04-2000). Judul pertama mengambarkan, Kompas melihat masalah usulan pencabutan Tap masih bersifat kontroversial dan menimbulkan pro kontra dalam masyarakat. Judul berita kedua lebih mengarah pada bagaimana asal mula kontroversi itu muncul, yakni dari pernyataan Gus Dur di sebuah acara televisi dan mendapat sambutan beragam dari masyarakat.

Dalam berita-berita lain, Kompas juga tidak menunjukkan keberpihakan mengenai masalah PKI dan komunisme, hal ini terlihat dari judul berita Kompas yang tidak secara eksplisit menunjukkan bagiamana sikapnya terhadap masalah

(7)

tersebut. Berita yang menggambarkan penolakan terhadap usulan pencabutan tap dapat dilihat dari judul berita, “Benahi Dulu Ekonomi, Baru Bicara Tap MPRS XXV/1966” (Kompas, 07-04-2004). Secara implisit Kompas ingin menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai masalah, termasuk masalah ekonomi, jika komunisme diijinkan tumbuh kembali di Indonesia, justru akan membahayakan kondisi bangsa. Pada berita lain, Kompas membuat judul “Muktamar I Partai Bulan Bintang Yusril Ancam Mundur dari Kabinet” (Kompas, 27-04-2004). Judul berita tersebut ingin menunjukkan bahwa usulan Gus Dur untuk mencabut Tap mendapat tentangan, bukan hanya dari masyarakat tapi juga dari dalam pemerintahan sendiri, menteri yang seharusnya mendukung kebijakan presiden justru menolak pendapat pemimpinnya. Pada sisi lain, Kompas juga memuat berita yang menggambarkan bagaimana seharusnya bangsa Indonesia menyikapi masalah komunisme. Misalnya Kompas menurunkan berita berjudul “Presiden Abdurrahman Wahid: UUD 1945 Tidak Melarang Suatu Paham” (Kompas, 05-04-2000). Kompas ingin menunjukkan bahwa kita tidak bisa melarang sebuah paham untuk hidup di Indonesia, karena dasar negara kita tidak pernah melarang sebuah paham.

Lead berita juga memperlihatkan kecenderungan yang sama, melihat masalah Tap masih kontroversial. Lead umumnya sebagai pengantar ringkasan dari apa yang ingin disampaikan sebelum masuk dalam isi berita secara keseluruhan. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari dua lead berita berikut:

“Bermula dari permintaan maaf atas pembunuhan orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah peristiwa berdarah Gerakan 30 September. Obrolan Gus Dur dalam Secangkir Kopi yang

(8)

disiarkan langsung TVRI tanggal 14 Maret lalu kemudian memicu pro-kontra pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966, yang resminya ditulis Tap MPRS No XXV/MPRS/1966. (Kompas, 14-04-2000)”

“Gagasan pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang pelarangan penyebaran ajaran Marxisme/Leninisme yang diusulkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), terus menimbulkan pro dan kontra di antara elite politik. (Kompas, 03-04-2000)”

Dari kedua lead berita di atas terlihat bagaimana sikap Kompas. Media ini melihat masalah Partai Komunis Indonesia dan usulan pencabutan Tap sebagai masalah yang kontroversial. Wacana yang dikemukakan oleh Gus Dur tersebut memicu pro-kontra, bukan hanya dalam masyarakat tapi juga di kalangan elite politik.

Sikap hati-hati Kompas dalam melihat masalah ini juga terlihat pada lead berita lain tentang bagaimana sikap Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebagai Institusi yang pada masa lampau terlibat secara langsung dalam konflik dengan PKI, TNI secara diplomatis mengelak untuk melakukan justifikasi atas usulan Gus Dur.

“Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI) sedang mengkaji Ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pelarangan penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme. Dari kajian tersebut, TNI baru akan memberikan masukan-masukan kepada DPR.” (Kompas, 05-04-2000b)

Lead di atas menggambarkan sikap Kompas dalam menanggapi masalah pencabutan Tap. Kompas seakan ingin mengatakan bahwa kita jangan buru-buru dalam menanggapi suatu masalah, seharusnya kita mempelajari dan mengkaji terlebih dulu semuanya sebelum mengambil sikap, termasuk dalam menanggapi usulan Gus Dur.

(9)

Namun Kompas juga tidak mengabaikan begitu saja pihak-pihak yang setuju maupun menolak usulan Gus Dur. Kompas memberikan tempat kepada kedua pihak dalam pemberitaannya, sebagaimana terlihat dalam lead berita berikut:

“Presiden Abdurrahman Wahid menunjukkan kesungguhannya untuk mengusulkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) agar mencabut Ketetapan MPRS XXV Tahun 1966 yang di antaranya berisi larangan terhadap penyebaran ajaran komunisme dan marxisme di Indonesia. Sekalipun menyadari gagasan itu tidak “populer”, namun presiden berkeyakinan bahwa larangan tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945, karena UUD 1945 tidak melarang suatu paham di Indonesia.” (Kompas, 05-04-2000a)

“Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, yang juga Menteri Hukum dan Perundang-undangan, mengancam akan mengundurkan diri dari Kabinet Persatuan Nasional kalau pemerintah tetap mengusulkan pencabutan Ketetapan (Tap) Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme, Marxisme dan Leninisme dalam Sidang Umum (SU) MPR pada bulan Agustus mendatang.” (Kompas, 27-04-2000)

Lead pertama mengambarkan bahwa komunisme boleh hidup di Indonesia karena pada dasarnya kekuatan hukum tertinggi Indonesia yakni UUD 1945 tidak melarang suatu paham, termasuk paham komunis. Meskipun Gus Dur tahu usulan tersebut tidak bisa diterima oleh semua pihak, Gus Dur tetap akan berupaya menggolkannya karena menurut penilaiannya, konstitusi tertinggi Indonesia tidak tidak pernah melarang suatu paham. Dalam lead kedua Kompas mengungkapkan ketidaksetujuan Menkumdang Yusril Ihza Mahendra terhadap usulan Gus Dur. Sebagai orang kepercayaan Gus Dur dalam menangani masalah hukum dan hak asasi manusia, Yusril justru mengancam akan keluar dari tim kabinet Gus Dur jika presiden tetap bersikeras mengusulkan kepada MPR untuk mencabut Tap tentang komunisme.

(10)

Bagaimana pro-kontra soal Partai Komunis Indonesia muncul dalam berita tentang usulan pencabutan Tap? Hal itu dapat dilihat dari bagaimana Kompas menyusun Story atau isi berita. Story adalah isi berita secara keseluruhan yang biasanya secara hipotetik terbagi dua sub kategori. Pertama berupa gambaran situasi jalannya peristiwa dan yang kedua berupa komentar yang ditampilkan dalam teks.

Dalam dua berita yang diturunkan Kompas, pro-kontra soal pencabutan Tap terjalin secara dialogis. Pernyataan dari pihak yang menyetujui maupun menolak usulan pencabutan Tap tentang komunisme disusun secara bergantian layaknya sebuah perdebatan. Dalam berita yang berjudul “Pro-Kontra Penghapusan Tap XXV/1966” (Kompas, 03-04-2000). Peristiwa utama berupa usulan pencabutan Tap oleh Gus Dur yang menjadi latar belakang perdebatan hanya disinggung sekilas dalam lead berita. Isi berita secara keseluruhan berisi tanggapan tentang usulan Gus Dur tersebut. Berita tersebut diawali dengan mengutip pernyataan Taufiqurrahman (PKB) yang setuju dengan usulan Gus Dur dan menyatakan usulan Gus Dur sebagai sebuah bentuk pencerahan politik yang perlu ditanggapi secara dingin dan pemberlakuan Tap tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi. Pendapat Taufiqurrahman lantas disambut oleh pendapat Amin Rais yang tidak setuju dengan usulan Gus Dur dan menyatakan bahwa PKI telah melakukan pemberontakan, jika komunisme dibiarkan bangkit kembali akan membahayakan negara Indonesia.

Kedua pendapat di atas disambung dengan pernyataan ketua PRD Budiman Sudjatmiko yang menyatakan bahwa pencabutan tersebut tidak mendesak untuk

(11)

dilakukan, karena Tap tersebut telah usang dan tidak efektif. Menurutnya, yang paling penting dilakukan sekarang adalah membongkar sejarah Indonesia, termasuk seputar peristiwa 1965 dan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Selanjutnya Kompas mengutip pendapat Frans Seda, sesepuh Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDI-P) tersebut menyatakan sependapat dengan Gus Dur, dalam negara demokratis tidak ada larangan untuk menganut suatu paham. Namun pada sisi lain Frans Seda menolak jika Partai Komunis Indonesia bangkit kembali karena partai tersebut pernah berusaha mengganti falsafah negara dengan menggunakan cara kekerasan.

Dalam berita lain yang berjudul “Ketetapan Nomor XXV/MPRS/Tahun 1966 Dari Secangkir Kopi ke Hawa Nafsu” (Kompas, 14-04-2000) Kompas juga menggunakan skema serupa. isi berita tersebut secara keseluruhan berasal dari ringkasan-ringkasan berita yang sudah diterbitkan pada edisi sebelumnya, berita yang pro maupun kontra disusun secara dialogis. Pada lead berita disinggung kapan pertama kali Gus Dur meminta maaf kepada orang-orang yang dituduh sebagai PKI dan mengusulkan pencabutan Tap. Kompas kemudian memaparkan peristiwa kedua, yakni acara dialog interaktif yang menghadirkan penyair Taufik Ismail dan Hartono Mardjono (Partai Bulan Bintang). Mereka menolak usulan Gus Dur dan menyatakan komunisme sampai saat sekarang masih terus disebarkan secara diam-diam di kalangan pemuda dan mahasiswa.

Pada paragraf berikutnya, Kompas mengutip pernyataan Gus Dur saat berkunjung ke Malang. Gus Dur kembali mengemukakan usulan untuk mencaut Tap dengan alasan Hak Asasi Manusia, bahwa banyak orang-orang yang bukan

(12)

komunis menjadi korban. Ketua Umum PBNU pun diikutsertakan dalam pro-kontra dengan menyatakan mendukung permintaan maaf Gus Dur namun menolak penghapusan Tap tersebut. Penolakan juga muncul dari ketua MPR Amin Rais dan mantan Menteri Pertahanan Edi Sudradjat. Kompas tidak lupa mengutip pendapat pengamat politik Mochtar Pabotinggi yang secara implisit juga menyatakan keberatan jika Tap tersebut dicabut saat sekarang. Lantas Kompas memuat pendapat Panglima TNI Widodo AS yang menyatakan bahwa TNI sedang mengkaji masalah tersebut. Dan sebagai penyeimbang koran ini lantas mengutip kembali pernyataan Taufiqurrahman dari PKB yang setuju dengan usulan Gus Dur.

Tidak cukup sampai di situ, bagian pertama berita tersebut diakhiri dengan kesimpulan bahwa masalah Tap telah menimbulkan pro-kontra dalam media massa, bahkan dalam masyarakat. Hal tersebut diperkuat dengan ilustrasi bahwa usulan tersebut memicu aksi massa yang turun ke jalan menolak pencabutan Tap tentang komunisme. Bagian kedua berita ini menegaskan kembali bahwa masalah Tap tersebut menimbulkan pro-kontra. Lalu Kompas memaparkan kemungkinan tentang siapa yang mungkin ada di balik G30S, peristiwa yang melahirkan Tap tentang larangan terhadap PKI dan komunisme dan kembali mengangkat usul Budiman Sudjatmiko agar meluruskan kembali sejarah seputar peristiwa tersebut.

1.1.3. Semantik

Dimensi semantik melihat bagaimana makna yang ditunjukkan suatu teks. Makna dalam level semantik ini dapat diamati dari hubungan antar kalimat,

(13)

proposisi yang membentuk makna tertentu dalam bangunan teks secara keseluruhan. Berita tentang Partai Komunis Indonesia juga menggunakan semantik untuk menekankan makna tertentu misalnya lewat latar, detail, maksud, praanggapan dan nominalisasi.

Latar adalah bagian yang dapat mempengaruhi arti yang ingin disampaikan. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak hendak dibawa. Dalam berita tentang usulan pencabutan Tap, Kompas menggunakan beberapa latar tentang Partai Komunis Indonesia maupun komunisme untuk mendukung sikap yang ingin disampaikan, baik yang pro maupun kontra, seperti telihat dalam beberapa kutipan berikut:

“UUD 1945 tidak mengenal istilah “eks tapol”, “orang-orang boleh berbeda pendirian. Apalagi di dalam UUD 1945, sama sekali tidak menyebut ada paham yang dilarang (di Indonesia).” (Kompas, 05-04-2000).

“Pembatasan atau diskriminasi terhadap sekelompok warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara, merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip demokrasi. ... Dalam negara demokratis tak ada larangan terhadap suatu ideologi untuk diajarkan.” (Kompas, 03-04-2000)

“Komunisme sudah tidak laku, di mana saja di dunia, komunisme itu sudah habis. Di negaranya saja sudah ditertawakan orang.” (Kompas, 22-04-2000)

“Walaupun Partai Komunis Indonesia (PKI) telah mencoba tiga kali hendak menghancurkan negara, tetapi sejarah membuktikan usaha itu senantiasa gagal. Karena itu, kita tidak perlu mbanyaki (panik)” (Kompas, 05-04-2000)

Kontroversi mengenai boleh tidaknya komunisme tumbuh kembali di Indonesia diimplementasikan oleh Kompas dalam latar berita yang diturunkan. Ada beberapa latar yang dipakai untuk mendukung maupun menolak gagasan

(14)

Gus Dur. Kompas memaparkan, Tap tentang larangan penyebaran komunisme bisa dicabut karena kekuatan hukum tertinggi Indonesia, yakni UUD 1945 tidak pernah melarang sebuah faham, termasuk komunisme, untuk hidup di Indonesia. Pembatasan terhadap warga negara untuk menganut sebuah faham juga dinilai bertentangan dengan demokrasi. Karena itu, sebagai negara yang sedang membangun demokrasi, Indonesia hendaknya memberi kebebasan terhadap semua idelogi untuk tumbuh serta memberi kebebasan kepada warga negara untuk menganutnya..

Pada sisi lain, Tap tersebut juga dinilai sebagai alat untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap sekelompok warga negara, yaitu orang-orang yang dituduh sebagai PKI. Seperti diketahui secara luas, selama masa Orde Baru orang-orang yang dituduh PKI dibatasi haknya, kartu penduduknya diberi label Organisasi Terlarang (OT) maupun Eks Tapol (ET), tidak bisa bekerja di instansi pemerintah dan sektor formal lainnya serta tidak mempunyai hak suara dalam pemilihan umum. Karena itu, pencabutan Tap dianggap sebagai salah satu jalan keluar agar warga negara yang selama masa Orde Baru diperlakukan secara diskriminatif bisa mendapatkan haknya kembali, sama dengan warga negara lainnya.

Mengenai bahaya komunisme, Kompas membantahnya dengan paparan bahwa ideologi komunis saat ini sudah tidak ada penganutnya, tidak laku, bahkan di negara asalnya pun sudah ditinggalkan. Karena itu tidak perlu takut, meskipun komunisme dibiarkan hidup di Indonesia, belum tentu rakyat Indonesia akan akan tertarik dan berbondong-bondong menganutnya.

(15)

Bagaimana dengan nasib Partai Komunis Indonesia? Penolakan terhadap partai kiri ini juga dipaparkan lewat latar berita seperti kutipan di bawah. Latar tersebut kembali menegaskan bahwa yang menjadi persoalan bukan masalah ideologi. PKI harus dilarang bukan karena partai tersebut menganut ideologi komunis tapi karena pada masa lalu partai berlambang palu arit tersebut telah melakukan pemberontakan dan berusaha mengganti Pancasila dengan ideologi komunis dengan cara kekerasan.

“PKI tak boleh lagi dibentuk di Indonesia. Bukan karena PKI menggunakan paham komunisme, namun karena partai itu telah terbukti dalam sejarah menggunakan kekerasan untuk mengganti falsafah negara.” (Kompas, 03-04-2000)

Penekanan terhadap makna yang ingin disampaikan juga dilakukan lewat detil. Detil berkaitan dengan kontrol informasi yang disampaikan, informasi yang menguntungkan pihaknya akan diuraikan dan sebaliknya akan menyembunyikan atau meminimalkan informasi yang merugikan.

“Adapun alasannya, mencabut ketetapan yang telah mendiskriminasikan anggota PKI dan keluarganya selama 34 tahun sebagai warga negara berkaitan degan hak asasi manusia. Alasannya, karena terlalu banyak orang-orang yang sebenarnya ndak masuk komunis, lalu masuk daftar. Alasan kedua, ya hak asasi manusia. Mereka tidak bisa lagi diperlakukan sebagai orang yang tidak punya hak sama sekali.” (Kompas, 14-04-2000)

Gambaran tentang bagaimana orang-orang yang dituduh komunis di perlakukan secara diskriminatrif merupakan informasi yang bisa melegitimasi usulan untuk mencabut Tap, karenanya informasi tersebut perlu disampaikan secara agak rinci. Perlakuan diskriminatif selama kurun waktu 34 tahun terhadap orang-orang PKI bukan waktu yang sebentar, mereka telah mendapat perlakuan

(16)

secara tidak adil sejak Tap tersebut lahir sampai dengan akhir masa kekuasaan Orde Baru, bahkan mungkin sampai sekarang. Lebih parah lagi, diskriminasi tersebut tidak hanya terjadi pada orang-orang PKI, orang yang sebenarnya tidak tahu-menahu soal PKI pun ikut kena getahnya karena dituduh sebagai PKI, padahal tuduhan itu tidak pernah dibuktikan melalui proses hukum. Perlakuan diskriminatif, apalagi berlangsung dalam kurun waktu lama adalah sebuah bentuk tindakan yang melanggar hak asasi manusia, sebab orang-orang tersebut telah dihilangkan hak-haknya untuk hidup secara layak sebagaimana warga negara lain

Untuk menolak kembalinya komunisme di Indonesia, detil yang diuraikan adalah komunisme sebagai kekuatan yang anti bahkan mengancam demokrasi, seperti dipaparkan dalam teks di bawah:

“Komunisme ditolak oleh PBB, lanjut Yusril, sebab paham itu anti demokrasi. Komunisme dalam teori maupun praktik merupakan golongan yang anti demokrasi. Pada awalnya mereka mungkin saja terkesan mendukung demokrasi. “namun jikalau mereka sudah kuat, golongan lain pasti akan dilindasnya”. (Kompas, 27-04-2000)

Komunisme digambarkan sebagai idelogi yang bermuka dua, mulanya komunisme akan bertindak seolah-olah mendukung demokrasi, mau bekerjasama dengan golongan lain agar bisa mencapai kekuasaan. Namun jika telah berkuasa, komunisme akan mengubur demokrasi dengan menyingkirkan para pesaingnya sehingga menjadi penguasa tunggal. Hal itu diyakini pasti akan terjadi karena baik dalam teori maupun praktek, komunisme sebenarnya anti demokrasi, jika komunis menggunakan slogan-slogan demokrasi, hal itu tidak lebih sebagai topeng untuk memuluskan jalan ke puncak kekuasaan.

(17)

Selain menggunakan detil, teks berita Kompas juga menggunakan elemen maksud, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas, sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit, dan tersembunyi. Ketika berbicara tentang peristiwa G30S, Kompas secara eksplisit mengungkapkan kemungkinan tentang siapa yang ada di balik peristiwa tersebut, seperti terlihat dalam kutipan berikut:

“paling tidak sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan dua ahli politik Indonesia dari Universitas Cornell setahun setelah tragedi berdarah itu, Benedict R Anderson dan Ruth Mc Vey, berkesimpulan bahwa peristiwa Gerakan 30 September merupakan puncak konflik internal di tubuh Angkatan Darat.

…..

Benedict R Anderson dalam artikelnnya di rubrik Iqra majalah Tempo edisi 16 April lalu menulis, “kesimpulan Latief cukup jelas dan sederhana: bukanlah G30S yang melakukan subordinasi berat terencana terhadap Presiden yang berakhir dengan penggulingannya, melainkan seorang anak manusia yang kemudian oleh anak-anak nakal sering dijuluki sang GPK (Gali Pelarian Kemusu) yang melakukan itu semua.”

(Kompas, 14-04-2000)

Kompas tidak mau terkungkung dalam hegemoni wacana Orde Baru yang menyatakan bahwa dalang G30S adalah PKI. Kompas ingin beranjak lebih jauh, dengan mengutip pendapat dari Bennedict Anderson, koran ini mengungkapkan secara eksplisit tentang apa sesungguhnya yang terjadi dalam G30S dan siapa saja yang kira-kira ada di balik peristiwa kelam itu. Pertama, ada kemungkinan bahwa peristiwa G30S bukan peberontakan yang dilakukan oleh PKI, seperti yang selama ini digembar-bemborkan oleh Orde Baru. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ben Anderson, peristiwa G30S terjadi karena konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat. Asumsi ini berdasarkan temuan yang didapat bahwa sebagian besar tentara yang terlibat dalam G30S berasal dari Angkatan Darat.

(18)

Tentang dalang G30S, Kompas juga punya asumsi lain. Peristiwa penculikan para jenderal tersebut belum tentu ulah PKI, bisa jadi, dalang di balik peritiwa itu justru Soeharto sendiri. Kompas mengutip label yang dibuat oleh Ben Anderson dengan menyebut Soeharto sebagai GPK (Gali Pelarian Kemusu) yang berarti penjahat yang kabur dari desa kelahirannya. Asumsi keterlibatan Soeharto berdasarkan pledoi Abdul Latief yang menyatakan, sebelum peristiwa G30S terjadi, Soeharto sudah mengetahui akan adanya gerakan tapi tidak mengambil tindakan apapun untuk mencegahnya.

Untuk mendukung pendapat yang disampaikan, kita dapat menggunakan praanggapan dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya sehingga tidak perlu dipertanyakana lagi. Kompas juga memakai praanggapan dalam teks berita, seperti terlihat dari beberapa kutipan di bawah:

“Bila Tap itu dicabut maka PKI akan bangkit kembali dan simbol palu arit akan muncul di mana-mana.” (Kompas, 03-04-2000)

“Kekhawatiran ajaran komunisme akan bersambut di Indonesia kalau larangan itu dicabut, didasarkannya kepada dua kenyataan yang belum tuntas diatasi pemerintahan Gus Dur: tidak tegaknya hukum dan rakyat yang tidak makmur. Dua hal ini merupakan lahan subur bagi pertumbuhan komunisme di Indonesia.” (Kompas, 14-04-2000)

“Seandainya perekonomian membaik, kesejahteraan warga negaranya pun membaik pula. Dengan sendirinya paham komunisme, Marxisme dan Leninisme nantinya akan hilang juga. (Kompas, 07-042000)

Salah satu alasan agar tidak mencabut Tap tentang komunisme adalah karena ada kekhawatiran jika PKI dan komunisme dilegalkan kembali, maka rakyat akan menganut paham tersebut. Kekhawatiran tersebut muncul

(19)

berdasarkan anggapan bahwa komunisme otomatis akan tumbuh subur dalam masyarakat yang masih miskin dan belum terdapat keadilan. Kemiskinan dan belum tegaknya hukum di Indonesia saat ini dilihat sebagai lahan subur bagi perkembangan komunisme. Jika PKI dilegalkan dalam kondisi demikian, maka masyarakat akan diiming-imingi kesejahteraan dan keadilan sehingga mereka bersedia menganut ajaran komunis. Pada sisi lain, ada anggapan bahwa komunis tidak akan tumbuh dalam masyarakat yang sudah makmur. Jika rakyat Indonesia sudah makmur, maka secara otomatis komunisme juga akan “sepi penggemar”.

Benarkah demikian? Kita tidak tahu karena komunisme belum bangkit kembali di Indonesia. Jika yang menjadi masalah adalah kemiskinan, Indonesia sebenarnya bukan satu-satunya negara miskin, banyak negara seperti di Afrika yang jauh lebih miskin dari kita, namun mereka tidak menjadi negara komunis, warga negara mereka juga tidak berbondong-bondong menganut komunis. Alasan lain penolakan terhadap komunisme adalah karena takut akan terjadi konflik sosial seperti yang terjadi pada masa lalu. Jika kita perhatikan, meskipun tanpa komunisme, sekarang ini sebagian bangsa kita sedang mengalami konflik, baik konflik agama maupun kesukuan. Ada sebuah tesis menarik yang disampaikan oleh Samuel P. Huntington tentang konflik yang terjadi pada abad XXI. Menurutnya, konflik-konflik yang paling mudah menyebar sangat penting sekaligus paling berbahaya bukan konflik antar kelas sosial, antara kaya dengan miskin atau pun kelompok-kelompok kekuatan ekonomi lainnya, tetapi antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda. Pertikaian antar suku, antar negara dan antar peradaban yang terjadi dalam masyarakat

(20)

non-barat diperkirakan akan terus terjadi karena semakin meningkatnya kekuatan dan keyakinan diri mereka. Masyarakat non barat akan semakin memantapkan nilai-nilai budaya mereka sendiri.184 Pertikaian di Somalia, Rwanda, Bosnia maupun Kashmir karena alasan itu, demikian juga konflik yang terjadi di Indonesia

1.1.4. Sintaktis

Strategi penggunaan kalimat dalam teks berita juga mempengaruhi makna yang ingin disampaikan. Politik penggunaan kalimat atau sintaktis dilakukan lewat koherensi, bentuk kalimat, pengingkaran dan kata ganti. Koherensi menyangkut bagaimana dua fakta digabung atau dipisah untuk menghasilkan makna tertentu.

“seseorang yang salah secara politik, hak hukumnya seharusnya tetap, tidak terganggu. Tetapi sekarang kita lihat, anaknya PKI tidak boleh apa-apa, padahal mereka tidak mengenal komunisme sama sekali.” (Kompas, 22-04-2000)

Proposisi di atas menjelaskan bahwa indvidu mempunyai beberapa hak, misalnya hak politik dan hak hukum. Jika seseorang melakukan kesalahan, hal itu tidak secara otomatis menghilangkan semua haknya, seseorang bersalah secara politik tidak secara otomatis kehilangan hak-hak lainnya. Proposisi kedua menuturkan bahwa keturunan orang-orang PKI kehilangan haknya, baik hak untuk mengikuti pemilu, hak untuk mendapat pekerjaan yang layak maupun hak untuk diperlakukan sama di depan hukum. Dengan menggabungkan dua proposisi dengan kata hubung “tetapi”, Kompas hendak menunjukkan sesuatu yang kontras atau terbalik, seharusnya orang yang bersalah secara politik masih berhak

184

Huntington Samuel P., Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: Qalam, 2003, hal: 9.

(21)

mendapatkan hak hukumnya. Orang-orang PKI mungkin telah melakukan kesalahan politik, namun seharusnya mereka tidak kehilangan hak lainnya. Tapi yang terjadi lebih parah, bukan hanya orang PKI, anak keturunannya pun kehilangan hak-haknya. Hal tersebut dipertegas dalam proposisi ketiga, “anak cucu PKI tidak tahu-menahu soal komunisme”. Makna yang ingin disampaikan adalah, kita telah melakukan kesalahan besar karena menghilangkan hak orang-orang PKI, bahkan lenbih parah, kita juga telah menghilangkan hak-hak anak cucunya, padahal anak mereka tidak ikut melakukan kesalahan dan tidak tahu-menahu kesalahan apa yang telah diperbuat oleh orang tua mereka.

Untuk menolak kehadiran PKI dan komunisme, Kompas juga menggunakan elemen koherensi pembeda, koherensi penjelas dan koherensi sebab-akibat. Lihat kutipan-kutipan berikut:

“NU memiliki hak untuk membendung komunisme di Indonesia, karena selama ini komunis tidak pernah turut membangun bangsa ini.”(Kompas, 07-04-2000)

“Penolakan terhadap komunisme itu tak melanggar prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), sebab Universal Declaration of Human Rights pun, sebagai imbauan moral tentang hak asasi, memberikan peluang kepada berbagai negara untuk membuat “penyimpangan” selaras dengan kepentingan negara itu.” (Kompas, 27-04-2000) “Taufik Ismail yang mendapat teror pada awal tahun 1960-an dari

kalangan sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) menolak pencabutan itu karena, menurut pengamatannya, ajaran komunisme sampai sekarang terutama pada tahun 1980-1998 masih disebarkan diam-diam kepada kalangan muda dan mahasiswa di berbagai kelompok diskusi.” (Kompas, 14-04-2000)

Salah satu alasan untuk menolak komunisme kembali di Indonesia adalah selama ini orang-orang komunis dianggap tidak pernah ikut membangun bangsa Indonesia. Proposisi pertama menjelaskan bahwa kaum Nahdliyin menolak

(22)

kehadiran kembali komunisme di Indonesia. Agar penolakannya terlihat legitimate, diperlukan fakta lain untuk memperkuat sikap tersebut, maka dipilihlah fakta tentang ketiadaan peran PKI dalam sejarah pembangunan Indonesia. Kata penghubung “karena” menunjukkan arti “sebab-akibat”, dengan menggunakan kata tersebut, penolakan terhadap PKI dinilai sebagai sesuatu yang sangat wajar sebab PKI tidak pernah berpartisipasi dalam membangun Indonesia. Strategi yang sama juga dipakai dalam kutipan kedua, penolakan terhadap komunisme tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi karena deklarasi HAM internasional pun memperbolehkan suatu negara untuk melakukan pengecualian.

Penolakan terhadap komunis juga terlihat ketika mengutip pendapat Taufik Ismail. Sebenarnya, tanpa penjelasan tentang teror PKI, pendapat Taufik Ismail tetap menggambarkan penolakannya terhadap komunisme. Namun dengan menggunaan koherensi penjelas, ditandai dengan penggunaan kata hubung “yang”, penolakannya lebih ditekankan lewat penggambaran perilaku orang-orang PKI dan organisasi underbow-nya, Lekra. Dengan pemakaian koherensi, Kompas hendak menekankan bahwa bahaya dan kekacauan akan timbul jika PKI dilegalkan kembali, sebab orang-orang PKI suka main teror. Penolakan tersebut diperkuat dengan alasan bahwa selama ini komunisme masih disebarkan secara diam-diam di kalangan pemuda dan mahasiswa, tentu dampaknya akan lebih besar lagi jika PKI dilegalkan.

Pengingkaran menjelaskan bagaimana komunikator menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara eksplisit. Pengingkaran menunjukkan seolah wartawan menyetujui sesuatu hal, padahal sebenarnya ia tidak setuju, maka

(23)

komunikator memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuan yang disampaikan sebelumnya. Strategi pengingkaran terdapat dalam berita-berita yang diturunkan Kompas, baik yang mendukung maupun menolak kehadiran kembali PKI dan komunisme.

“Kita boleh tidak setuju dengan suatu paham atau ajaran, tetapi kita tidak berhak melarang orang menganut faham atau ajaran tersebut.” (Kompas, 03-April-2000)

“Dalam negara demokrasi, semua golongan boleh hidup dan berkembang, kecuali golongan yang anti demokrasi itu sendiri.

…..

komunisme ditolak oleh PBB, lanjut Yusril sebab paham itu anti demokrasi. (Kompas, 27-April- 2000)

“UUD 1945 tidak pernah melarang komunisme. Tetapi PKI telah melakukan tiga kali pemberontakan.” (Kompas, 22-April-2000)

Dengan menggunakan dalil tentang kebebasan, Kompas menyatakan bahwa kita semua berhak mentukan sikap, setuju maupun tidak setuju terhadap suatu masalah, termasuk mengenai ideologi atau faham yang ada dalam negara kita. Namun demikian, jika kita tidak setuju terhadap suatu faham, bukan berarti kita lantas berhak melarangnya, sebab pihak yang setuju maupun tidak setuju mempunyai hak yang sama. Meskipun komunisme dianggap sebagai ideologi yang bertentangan dengan falsafah negara, kita tetap tidak berhak melarang warga negara untuk menganutnya, sebab kita tidak bisa membendung suatu pemikiran maupaun kepercayaan yang ada dalam kepala seseorang.

Strategi pengingkaran juga dipakai untuk menolak kembalinya PKI dan komunisme. Tentang komunisme, penolakan dilakukan dengan menggunakan dalil demokrasi, komunisme dilihat sebagai sebuah faham yang bertentangan dengan demokrasi. Pernyataan bahwa semua golongan bisa hidup dan

(24)

berkembang dalam alam demokrasi terkesan memberi angin segar, seakan-akan semua golongan, termasuk orang komunis bisa hidup bersama di Indonesia. Namun pernyataan tersebut tidak lebih hanya sebagai strategi untuk menolak kehadiran komunisme di Indonesia. Dalam negara demokrasi, semua golongan memang berhak hidup, namun tidak ada peluang bagi golongan yang tidak demokratis. Karena komunisme dinilai sebagai golongan yang anti demokrasi, maka komunisme tidak punya peluang untuk hidup kembali di Indonesia.

Demikian juga penolakannya terhadap PKI. Kompas mengutip pernyataan bahwa UUD 1945 memang tidak pernah melarang suatau faham. Proposisi tersebut seakan menyampaikan bahwa semua faham boleh hidup di Indonesia. Namun propsisi selanjutnya membuat pengecualian, memang semua faham boleh hidup, tapi golongan yang telah mencoba merongrong eksistensi negara kita tidak boleh hidup. Karena PKI telah tiga kali berusaha memberontak, maka PKI tidak boleh hidup kembali di Indonesia.

1.1.5. Stilistik

Stilistik menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atau leksikon atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pemilihan kata secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas. Kompas menggunakan kata-kata tertentu untuk menggambarkan tentang PKI, baik yang menedukung maupun memojokkan PKI, seperti terlihat pada kutipan berikut:

(25)

“adapun alasannya, mencabut ketetapan yang telah mendiskriminasikan anggota PKI dan keluarganya selama 34 tahun sebagai warga negara berkaitan dengan hak asasi manusia”

“Mengenai perlakuan terhadap keluarga atau anak-anak dari mereka yang terlibat dalam PKI dan gerakan pemberontakannya, Untung mengatakan bahwa pada dasarnya Islam tidak mengenal dosa warisan.” (Kompas, 07-04-2000)

“Musuh Islam paling berbahaya adalah Marxisme yang di Indonesia disebut PKI.” (Kompas, 07-04-2000)

“Taufik Ismail yang mendapat teror pada awal tahun 1960-an dari kalangan sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) menolak pencabutan itu.” (Kompas, 14-04-2000)

Pembelaan terhadap orang-orang PKI dilakukan dengan menggambarkan mereka sebagai kelompok yang selama ini diperlakukan secara diskriminatif oleh Orde Baru. Dengan menggambarkan mereka sebagai pihak yang teraniaya, hal tersebut diharapkan bisa mengundang simpati masyarakat terhadap PKI sehingga masyarakat bisa menerima orang-orang PKI dan memperbolehkan mereka untuk hidup seperti anggota masyarakat lainnya.

Sedangkan untuk menolak kembalinya PKI dan komunisme, Kompas menggunakan pilihan kata yang menggambarkan bagaimana karakter orang-orang PKI, misalnya menyebut mereka sebagai pemberontak. Dengan mengingatkan kembali label negatif PKI yang dilekatkan oleh Orde Baru, maka diharapkan masyarakat tidak mendukung upaya penghidupan kembali PKI di Indonesia. Label lain yang sering disematkan kepada orang-orang PKI adalah dengan menuduh mereka sebagai orang yang suka meneror, bahkan budayawan Taufik Ismail pun sering mendapat teror dari budayawan kelompok komunis. Penolakan terhadap PKI bahkan dilakukan dengan menggambarkan mereka secara lebih ekstrim lagi,

(26)

yakni menggambarkan PKI sebagai musuh Islam paling berbahaya. Dengan penggambaran seperti itu, diharapkan mayoritas umat Islam akan menolak kembalinya komunisme dan PKI ke bumi Indonesia.

1.1.6. Retoris

Dimensi Retoris berhubungan dengan pertanyaan bagaimana cara komunikator menyampaikan pendapat, terutama untuk memberikan tekanan tertentu terhadap isi teks. Dimensi retoris antara lain dapat dilihat dari penggunaan elemen metafora, yakni pemakaian ungkapan atau kiasan yang dipakai dalam teks. Kompas memakai ungkapan-ungkapan yang bernuansa agama dalam berita yang menggambarkan PKI dan komunisme.

“Mengenai perlakuan terhadap keluarga atau anak-anak dari mereka yang terlibat dalam PKI dan gerakan pemberontakannya, Untung mengatakan bahwa pada dasarnya Islam tidak mengenal dosa warisan.

………

Kalau larangan penyebaran komunisme dicabut, kata Taufik, “mari kita hadapi dengan semangat jihad seperti menghadapi narkoba dan seks bebas.” (Kompas, 07-04-2000)

Proses delegitimasi terhadap PKI dilakukan dengan menggambarkannya secara negatif, merujuk pada istilah-istilah yang biasa dipakai dalam agama. Untuk menggambarkan kesalahan yang dilakukan PKI pada masa lalu, Kompas menyebut pemberontakan yang dilakukan sebagai sebuah dosa. Dosa adalah perbuatan yang dilakukan oleh hamba tuhan yang melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh tuhan. Dengan memakai kata “dosa”, berarti PKI dinilai telah melanggar aturan yang sudah mutlak tetapkan, PKI bersalah karena dinilai

(27)

melakukan pemberontakan dan berusaha mengganti falsafah hidup bangsa Indonesia yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa ini.

Kutipan kedua juga sejalan dengan paparan sebelumnya, usaha membendung penyebaran komunisme diidentikkan sebagai perjuangan di jalan tuhan, membela agama. Dalam agama Islam, kata “Jihad” berkenaan dengan usaha atau perjuangan bahkan peperangan secara fisik yang dilakukan untuk membela agama, untuk menegakkan kebenaran sesuai dangan ajaran agama. Dengan memakai simbol atau kiasan yang bernuansa Islam, maka PKI diposisikan sebagai musuh Islam, dan dengan demikian diharapkan umat Islam bersatu menolak komunisme kembali ke Indonesia.

2.0. Partai Komunis Indonesia dalam Surat Kabar Republika

Sebagai surat kabar yang menyatakan diri sebagai representasi umat Islam, Republika mempunyai pandangan yang berbeda mengenai masalah PKI dan komunisme, sebagaimana tercermin dari berita-berita yang diturunkan dalam menyikapi usulan Gus Dur untuk mencabut Tap tentang komunisme.

1.2.1. Tematik

Dalam berita tentang Tap MPRS/XXV/1966, Republika menggunakan tema-tema yang menggambarkan PKI dan komunisme secara negatif untuk menolak usulan pencabutan Tap tersebut. Tema utama yang diangkat adalah sejarah masa lalu PKI yang dinilai bertentangan dengan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Dikatakan bertentangan dengan demokrasi karena komunisme yang

(28)

dianut PKI dinilai sebagai faham yang anti agama dan anti tuhan. Karena anti agama, berarti komunisme bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sebab bangsa Indonesia adalah bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa. UUD 1945 menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai penjabaran dari Pancasila, yang menjadi falsafah dan pegangan hidup bangsa serta telah disepakati bersama. Dengan demikian, PKI dan komunisme bertentangan dengan demokrasi karena tidak mengakui Pancasila yang telah disepakati oleh rakyat Indonesia sebagai landasan hidup bersama dalam berbangsa dan negara.

Tema kedua menggambarkan PKI sebagai kelompok yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Rujukan yang diambil juga sejarah masa lalu, sepak terjang PKI ketika hidup pada tahun 50-an. PKI pada masa lalu digambarkan sering bertindak kejam dan brutal kepada pihak-pihak yang dianggap menghalangi tujuannya. Kekejaman PKI sampai sekarang tidak bisa dilupakan oleh orang-orang yang menjadi korbannya dan masih hidup sampai sekarang, bahkan meninggalkan trauma mendalam. Dari tema-tema yang dikembangkan, Republika bermuara pada satu sikap tegas dalam menganggapi usulan pencabutan Tap yang diusulkan Gus Dur, menolak.

1.2.2. Skematik

Skema menyangkut bagaimana bagian-bagian berita seperti judul, lead, dan story atau isi berita disusun sedemikian rupa sehingga sejalan dengan tema yang ditetapkan. Beberapa judul berita Republika secara tegas menggambarkan bagaimana penolakannya terhadap PKI dan komunisme serta memetakan betapa

(29)

kecil peluang bagi PKI untuk kembali hidup di Indonesia. Misalnya Republika memasang judul “Komunisme Bertentangan dengan Demokrasi” (Republika, 07-04-2000) dan “Komunisme Bertentangan dengan UUD ‘45” (Republika, 29-04-2000). Judul tersebut hendak menyatakan bahwa komunisme tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan landasan hidup bangsa dan karena itu tidak layak hidup di Indonesia. Dari judul lain yang dipasang, surat kabar ini juga menegaskan bahwa PKI dan komunisme tidak akan punya kesempatan untuk kembali ke Indonesia sebab lembaga legislatif maupun organisasi massa sebesar NU juga menolak pencabutan Tap tentang komunisme, seperti terlihat pada judul “Sesepuh NU Tolak Pencabutan Tap MPRS XXV” (Republika, 10-04-2000) dan “MPR takkan Cabut Tap Komunisme” (Republika, 07-04-2000). Meski pihak pemerintah minta pencabutan Tap, tapi jika parlemen yang mempunyai hak pencabutan tidak menghendakinya, maka sulit sekali keinginan pemerintah akan terlaksana.

Sejalan dengan judul yang dipakai, Lead yang berfungsi sebagai ringkasan atau tema pokok yang diuraikan dalam berita juga menggambarkan bagaimana sikap Repubika dalam menyikapi soal PKI dan komunisme. Sikap tersebut tercermin dalam dua lead berikut:

“Penolakan atas pencabutan Tap MPRS No XXV tahun 1966, menurut Prof Yusril Ihza Mahendra, bukanlah pelanggaran hak asasi manusia. Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini menyatakan penolakan keinginan Presiden KH Abdurrrhaman Wahid untuk mencabut Tap tentang larangan partai komunis berkembang di Indonesia karena ideologi partai itu bertentangan dengan asas demokrasi” (Republika, 07-04-2000)

(30)

“Argumentasi Gus Dur bahwa faham Komunisme, Leninisme, dan Marxisme tak bertentangan dengan UUD 1945, dinilai keblinger. Pakar hukum politik UII Yogyakarta Prof Dr Moh Mahfud menilai, alasan yang dikemukakan Gus Dur berkaitan dengan usulannya mengenai pencabutan Tap MPRS No XXV/1966 sama sekali tidak benar.” (Republika, 29-04- 2000)

Lead pertama berisi penolakan terhadap komunisme. Republika menolak usulan Gus Dur untuk mencabut Tap tentang komunisme karena ideologi tersebut bertentangan dengan asas demokrasi. Agar terlihat legitimate, Republika menyatakan sikapnya berdasarkan pernyataan Yusril Ihza Mahendra. Dalam berita tersebut, Yusril berbicara sebagai ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) dan nama Yusril juga ditulis secara lengkap dengan gelarnya. Partai Bulan Bintang adalah parpol yang didirikan oleh Yusril dan mempunyai basis massa cukup kuat yang mayoritas berasal dari kelompok Islam kelas menengah, hal ini terbukti dalam pemilu 1999 di mana PBB masuk dalam lima parpol peraih suara terbesar. Selain itu, nama Yusril juga ditulis dengan gelar Profesor yang dimilikinya. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas keilmuan Yusril tak perlu dipertanyakan lagi. Implikasi dari pemberian predikat semacam itu adalah, Yusril bisa dianggap mewakili sebagian dari umat Islam, dan kapasitas keilmuan Yusril juga mumpuni, maka pendapat yang disampaikannya perlu mendapat perhatian dan layak dipercaya.

Strategi yang hampir sama juga dipakai dalam lead kedua. Republika menolak komunisme karena faham yang dianut oleh PKI tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sikap tersebut diperkuat oleh pernyataan pakar hukum politik dari UII, Prof Dr Moh. Mahfud. Dengan lead berita semacam itu, Republika seakan menyatakan bahwa penolakannya terhadap PKI dan komunisme tidak

(31)

sendirian, para pakar hukum dan politik pun tidak setuju jika komunisme kembali hidup di Indonesia. Ada satu hal yang menarik untuk dicermati, selain penggambaran terhadap PKI atau komunisme secara negatif, lead berita kedua Republika juga men-delegitimasi-kan Gus Dur dengan menyebutnya sebagai orang yang keblinger. Orang keblinger bisa berarti orang yang melakukan kesalahan, namun tidak menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Dengan menganggap Gus Dur sebagai orang yang keblinger, maka usulan Gus Dur juga berarti salah dan mungkin sekali Gus Dur tidak merasa bahwa usulan tersebut salah, karenanya usulan tersebut tidak perlu ditanggapi secara serius.

Story atau isi berita terdiri atas dua bagian, peristiwa utama dan peristiwa pendukung atau komentar atas peristiwa utama. Masalah komunisme muncul pertama kali saat Gus Dur menyatakan minta maaf kepada orang-orang yang dituduh sebagai PKI dan mengusulkan pencabutan Tap tentang komunisme. Dalam berita tentang usulan pencabutan Tap, Republika jarang menurunkan pernyataan Gus Dur sebagai peristiwa utama, koran ini malah lebih banyak memuat pihak yang mengomentari usulan Gus Dur sebagai peristiwa utama sedangkan pernyataan Gus Dur hanya disisipkan dalam ukuran kecil. Dengan menjadikan pernyataan Gus Dur hanya sebagai sisipan, maka alasan atau latar belakang usulan Gus Dur menjadi kurang tereksplorasi secara maskimal. Dari beberapa sampel berita yang didapat, hanya ada satu berita yang memuat pernyataan Gus Dur dengan agak panjang, yakni ketika berdialog dengan masyarakat Kedungombo (Republika, 05-04-2000). Namun pernyataan Gus Dur itu juga hanya menjadi latar pendukung, yang menjadi peristiwa utama justru

(32)

pernyataan Amin Rais yang menyatakan MPR tidak akan mencabut Tap tentang komunisme sebagaimana diusulkan Gus Dur. Pada berita lain, penggambaran terhadap usulan Gus Dur hanya sampaikan dalam satu paragraf, menjelaskan bahwa Gus Dur telah lima kali melontarkan usulan untuk mencabut Tap, dan selebihnya berisi tanggapan beberapa pihak terhadap usulan Gus Dur.

Mayoritas berita yang diturunkan Republika untuk menyikapi usulan pencabutan Tap berisi gambaran negatif tentang PKI dan komunisme. Sedangkan sumber berita yang dikutip kebanyakan dari kelompok Islam, terutama kelompok poros tengah seperti Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra.

Secara garis besar, skema atau alur pemberitaan Republika hanya berjalan satu arah, yakni berisi komentar-komentar tokoh yang tidak setuju dengan pencabutan Tap dan memberi gambaran negatif soal PKI dan komunisme. Bahkan tiga berita Republika hanya berisi satu narasumber, antara lain Prof Dr Moh Mahfud yang menyatakan komunisme bertentangan dengan UUD 1945 (Republika, 29-04-2000), Prof Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan komunisme bertentangan dengan demokrasi (Republika, 07-04-2000) dan KH Hasyim Muzadi yang menceritakan tentang kebrutalan PKI (Republika, 15-04-2000).

Dalam berita lain yang berjudul “Sesepuh NU Tolak Pencabutan Tap MPRS XXV” (Republika, 10-04-2000), koran ini memakai tiga sumber berita, dan tetap menggambarkan PKI dan komunisme secara negatif. Narasumber pertama yang dikutip adalah KH Cholil Bisri, sesepuh Nahdlatul Ulama, menyatakan bahwa belum saatnya mencabut Tap tentang komunisme karena

(33)

masih banyak korban kekejaman PKI yang masih hidup dan trauma dengan kejadian masa lalu tersebut. Namun, kiai asal Rembang ini setuju untuk tidak memperlakukan anak cucu orang PKI secara diskriminatif. Pernyataan sesepuh NU tersebut lantas diselingi uraian singkat -hanya dalam satu paragraf- yang menggambarkan bahwa Gus Dur dalam beberapa kesempatan mengusulkan pencabutan Tap tentang PKI, dan usulan tersebut menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Setelah itu Republika mengutip pendapat Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno yang menyatakan bahwa sangat riskan jika membiarkan ajaran komunis berkembang di Indonesia. Pernyataan Soetardjo lantas diperkuat dengan uraian Amin Rais yang menyatakan bahwa ditinjau dari segi falsafah maupun konstitusi Indonesia, komunisme adalah ajaran yang anti tuhan, karena itu tidak boleh hidup di Indonesia.

1.2.3. Semantik

Dimensi semantik beroperasi pada level makna, berusaha menggali makna yang ingin ditekankan dalam teks lewat penggunaan elemen-elemen wacana seperti Latar, Detail, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi. Pengorganisasian teks berita yang dilakukan Republika mengarah pada sebuah makna global, yakni penggambaran PKI dan komunisme secara negatif.

Lewat elemen latar, Republika menggambarkan PKI sebagai orang-orang yang brutal dan kejam, karena itu Republika menolak pencabutan Tap tentang komunisme. Contoh penggunaan elemen latar dapat dilihat pada beberapa kutipan berikut:

(34)

“…sejarah masa lalu kebrutalan PKI justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Itu tidak akan mudah dilupakan umat Islam, termasuk warga NU.” (Republika, 15-04-2000)

“Masih banyak korban kekejaman PKI yang masih hidup dan mereka masih trauma atas peristiwa masa lalu itu. Orang yang pernah ‘dikerjai’ PKI itu masih banyak yang hidup.” (Republika, 09-04-2000)

Alasan yang paling mudah untuk diterima adalah menggambarkan PKI sebagai orang-orang yang kejam dan brutal. Label tersebut mudah diterima masyarakat sebab Orde Baru berhasil meciptakan konstruksi tentang orang-orang komunis melalui berbagai wadah. Dalam wacana Orde Baru, PKI pada masa lalu digambarkan tidak segan menghabisi siapa saja yang dianggap menghalangi tujuannya. Peristiwa-peristiwa semacam ‘Aksi Sepihak’ mewakili gambaran bagaimana perilaku orang-orang komunis, di mana orang-orang PKI merampas tanah orang lain. Kaum Nahdliyin termasuk kelompok yang ikut merasakan akibat dari Aksi Sepihak yang dilakukan oleh orang-orang komunis. Kaum Nahdliyin menolak menyerahkan tanah yang menjadi miliknya, sementara PKI bersikeras merampas tanah rakyat sesuai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sikap masing-masing kelompok yang sama-sama kukuh menyebabkan konflik dan tindak kekerasan tak terhindarkan lagi.

Jika PKI dilegalkan lagi, tidak tertutup kemungkinan PKI akan melakukan tindak kekerasan bahkan kekejaman seperti yang terjadi pada masa lalu. Apalagi masih banyak orang-orang Islam, termasuk orang NU yang dahulu merasakan kebrutalan orang-orang PKI masih hidup sampai saat ini, mereka tentu akan ketakutan karena terbayang suasana traumatik yang terjadi pada masa lalu. Karena itu, lebih baik tidak usah melegalkan PKI kembali.

(35)

Penekanan terhadap makna yang ingin disampaikan juga dilakukan lewat detil. Detil berkaitan dengan kontrol informasi yang disampaikan, informasi yang menguntungkan pihaknya akan diuraikan dan sebaliknya akan menyembunyikan atau meminimalkan informasi yang merugikan. Dalam berita tentang usulan pencabutan Tap, informasi keburukan PKI disampaikan dalam detil yang panjang. Dalam berita “PBNU Tetap tak setuju Tap MPRS tentang Komunisme Dicabut” (15-04-2000), Republika menguraikan sepak terjang PKI pada masa lalu dalam empat paragraf. Pada paragraf pertama berisi pernyataan bahwa pada masa lalu kebrutalan PKI bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Paragraf kedua mengutip pernyataan Hasyim Muzadi yang menjelaskan bahwa perilaku PKI tersebut tidak akan mudah dilupakan oleh umat Islam, termasuk warga NU. Pada paragraf selanjutnya, Republika menegaskan kembali bahwa sebetulnya banyak sekali warga NU yang jadi korban, bahkan Hasyim Muzadi dan para kiai sepuh NU juga turut menjadi korban gerakan komunis.

Dalam berita lain yang berjudul “Sesepuh NU Tolak Pencabutan Tap MPRS XXV” (Republika, 10-04-2000), uraian negatif tentang PKI dan komunisme mendominasi sebagian besar teks berita tersebut. Paragraf kedua menjelaskan PKI sebagai pihak yang kejam, dan perbuatan PKI tersebut meninggalkan trauma bagi para korban yang sampai saat sekarang masih hidup. Sedangkan usulan Gus Dur untuk mencabut Tap hanya disampaikan secara singkat dalam satu paragraf. Isi berita dalam paragraf ketiga tidak menjelaskan apa alasan Gus Dur, yang diungkapkan justru dampak dari usulan Gus Dur yang melahirkan pro-kontra dalam masyarakat. Dua paragraf berikutnya menjelaskan

(36)

bagaimana kedudukan sikap PKb dalam menanggapi usulan Gus Dur. Penjelasan tentang anak keturunan PKI yang diperlakukan secara diskriminatif sebenarnya juga disinggung, namun dalam uraian yang singkat di sela-sela penggambaran negatif tentang PKI. Selebihnya teks berita menjelaskan bahwa membiarkan komunisme hidup di Indonesia sangat riskan, sebab masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius. Empat paragraf terakhir juga menguraikan bahwa, sebagai faham yang anti tuhan dan anti agama, komunisme bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana terlihat dalam kutipan di bawah:

“Paling tidak, ada empat alasan, pertama kita harus ingat bahwa komunisme ini memang tidak ada tempat di negeri Indonesia karena dasarnya adalah atheisme-anti-Tuhan, padahal falsafah kita Pancasila di mana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kedua, dalam salah satu pasal di UUD ’45, disebutkan bahwa negara Indonesia berdasarkan kepada ketuuhanan Yang Maha esa. Ketiga, di berbagai negara komunis, gerakan anti agama itu dilindungi oleh negara karena agama dianggap perusak rakyat sehingga harus dibasmi.

Keempat, komunisme tidak boleh lagi bangkit karena merupakan sebuah agama semu yang dari segi moral atau pegangan moralnya adalah “menghalalkan segala cara”. (Republika, 09-04-2000)

Selain lewat detil, Republika juga menggunakan elemen maksud untuk menjelaskan sikapnya terhadap PKI dan komunisme. Elemen Maksud melihat informasi yang menguntungkan akan diuraikan secara eksplisit, jelas dan dengan kata-kata yang tegas.

“Menkumdang yang mengaku banyak memperlajari mengenai komunisme baik dari segi filsafat, sejarah dan prakteknya mengakui komunisme itu jelas-jelas kekuatan anti demokrasi.

…..

Ideologi komunisme benar-benar anti tuhan, bahkan mereka pernah mengatakan bahwa agama itu candu bagi rakyat. “Ini kan bertentangan dengan akidah Islam.” (Republika, 07-04-2000)

(37)

Penolakan Republika terhadap PKI dan komunisme secara eksplisit terlihat dalam kutipan di atas. Dengan mengutp pendapat Yusrill Ihza Mahendra dan Husain Umar (DDII), Republika secara tegas menolak pencabutan tap tentang komunisme karena komunisme jelas-jelas faham yang anti demokrasi, jika komuisme dilegalkan, maka akan merusak tatanan demokrasi yang sedang di bangun. Bahkan mungkin sekali komunisme akan merusak ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, sebab komunisme juga merupakan ideologi yang anti tuhan. “Senjata” yang sering dipakai untuk menyerang komunisme adalah komunisme menganggap agama sebagai candu bagi rakyat. Slogan tersebut menimbulkan praanggapan bahwa, jika komunisme tumbuh subur di tanah air, maka ideologi tersebut akan merusak kehidupan beragama bangsa Indonesia. Dan yang lebih penting lagi, jika komunisme anti tuhan, maka hal itu bertentangan dengan agama Islam yang dianut mayoritas rakyat Indonesia, sebab agama Islam menganut prinsip monotheisme yang mengakui Ketuhananan Yang Maha Esa.

Salah satu strategi yang mudah diterima dalam menolak kmunisme adalah dengan menggunakan praanggapan. Praanggapan adalah suatu pernyataan yang dianggap benar, padahal belum terjadi.

“Jika partai komunis dilegalkan kembali dalam kondisi sekarang ini, peristiwa pengkomunisan masyarakat Indonesia bisa terulang” (Republika, 07-04-2000)

“Bila paham itu dibebaskan kembali -dengan alasan supaya falsafah hidup Pancasila yang sarat dengan muatan ajaran agama mempunyai saingan- maka terbuka kemungkinan komunisme yang akan berkembang subur karena banyak rakyat Indonesia yang masih miskin.” (Republika, 09-04-2000)

(38)

Salah satu strategi agar praanggapan terlihat sahih adalah dengan cara merujuk pada masa lalu. Sebagaimana terlihat pada kutipan pertama, jika PKI dihidupkan saat sekarang, maka mayoritas rakyat Indonesia akan menganut faham tersebut. Alasannya, kemiskinan adalah lahan subur bagi PKI untuk tumbuh, sebab rakyat yang miskin akan mudah diiming-imingi impian kemakmuran. Jika dilegalkan kembali pada masa krisis seperti sekarang, PKI akan menawarkan impian kemakmuran seperti yang dilakukannya pada masa lalu sehingga banyak rakyat kecil yang terperdaya dan ikut bergabung dengan PKI. Benarkah demikian? Kita tidak tahu sebab PKI belum dilegalkan sampai sekarang. Namun kita juga tahu bahwa kemiskinan yang terjadi pada masa lalu berbeda dengan yang terjadi saat ini, dan konteks persaingan antara ideologi komunis dengan non komunis juga tidak seperti yang terjadi pada masa lalu, sebab pasca perang dingin, komunisme menjadi ideologi yang tidak laku, semakin berkurang peminatnya. Dengan perbedaan konteks yang demikian, benarkah komunisme akan kembali tumbuh subur di Indonesia? namun hal itu tetap dipakai sebagai strategi untuk menolak PKI dan komunisme sebab hal itu akan merujuk pada memori traumatik yang terjadi pada masa lalu, dengan harapan agar PKI tidak diberi kesempatan untuk hidup lagi.

Strategi level semantik yang dilakukan untuk menggambarkan PKI juga menggunakan elemen nominalisasi. Nominalisasi dapat memberi sugesti akan adanya generalilasi, bagaiamana memandang sebuah fakta, apakah sebagai sesuatu yang berdiri sendiri atau sebagai komunitas.

(39)

“Karena sejarah masa lalu kebrutalan PKI justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM Itu tidak akan mudah dilupakan umat Islam,….. banyak sekali warga NU yang telah menjadi korban dalam tragedi tersebut” (Republika, 15-04-2000)

Label atau karakteristik negatif seperti “kebrutalan” kerap dilekatkan kepada orang-orang PKI. Namun yang perlu cermati di sini adalah, label tersebut dilekatkan kepada PKI secara komunal. Dengan hanya menyebut “PKI”, maka makna yang muncul adalah, semua anggota PKI tanpa terkecuali, mempunyai sikap brutal, semua anggota PKI yang pada tahun 60-an berjumlah jutaan, semuanya mempunyai karakter yang sama, yaitu brutal. Dengan menggunakan generalisasi semacam itu, maka pengucilan, diskriminasi dan perlakuan buruk lainnya terhadap seluruh anggotat PKI adalah sah, sebab seluruh anggota PKI adalah orang-orang yang buruk.

Strategi Generalisasi juga dipakai untuk menggambarkan para korban. Jika pada kalimat sebelumnya disebutkan bahwa PKI berlaku brutal, maka pada kalimat selanjutnya dinyatakan bahwa yang menjadi korban adalah umat Islam. Dalam kalimat tersebut tidak disebutkan, umat Islam mana yang menjadi korban? Sehingga makna yang muncul adalah seluruh umat Islam yang ada di Indonesia tanpa terkecuali, telah menjadi korban kekejaman PKI. Pada kalimat selanjutnya juga dinyatakan bahwa banyak sekali warga NU yang menjadi korban. Memang dengan menggunakan kata “banyak sekali” tidak membuat generalisasi, tapi kata tersebut juga menyiratkan makna bahwa sebagian besar warga NU telah menjadi korban kekejaman PKI. Makna yang tersirat dari teks semacam itu adalah,

(40)

Republika melihat sejarah tentang PKI yang terjadi pada masa lalu sebagai konflik besar antara orang-orang komunis dengan umat Islam secara keseluruhan.

1.2.4. Sintaktis

Struktur sintaktis berkaitan dengan bagaimana bentuk kalimat yang dipilih menghasilkan makna tertentu. Strategi sintaktis dapat diamati lewat penggunaan Koherensi, pengingkaran, Bentuk Kalimat, dan Kata ganti.

Koherensi menyangkut bagaimana dua fakta disusun dalam kalimat, penggabungan atau pemisahan fakta menghasilkan makna tertentu. Salah satu jenis koherensi yang dipakai adalah koherensi sebab-akibat, melihat bagaimana suatu fakta dilihat sebagai penyebab atau mengakibatkan timbulnya fakta lain. Republika menggunakan koherensi sebab-akibat untuk menggambarkan keadaan jika komunisme dilegalkan kembali di Indonesia.

“Bila paham itu dibebaskan kembali -dengan alasan supaya falsafah hidup Pancasila yang sarat dengan muatan ajaran agama mempunyai saingan- maka terbuka kemungkinan komunisme yang akan berkembang subur karena banyak rakyat Indonesia yang masih miskin” (Republika, 09-04-2000)

Kutipan di atas berkisah tentang kemiskinan yang masih diderita rakyat Indonesia, dan pada sisi lain membahas kemungkinan dilegalkannya kembali komunisme di Indonesia. Kedua fakta tersebut digabung dalam jalinan sebab-akibat, kemiskinan yang dialami rakyat akan menyebabkan komunisme tumbuh subur di Indonesia. Proposisi tersebut paralel dengan wacana lain yang sudah terbentuk tentang PKI, yakni komunisme menawarkan impian. Kemiskinan dilihat sebagai lahan subur bagi tumbuhnya komunisme sebab orang-orang komunis

(41)

menawarkan impian berupa kesejahteraan dan kehidupan yang mapan jika mereka tergabung dalam barisan komunis, membentuk masyarakat yang sama rata, sama rasa.

Jika kutipan di atas hanya menjelaskan kemungkinan berkembangnya komunisme di Indonesia, kutipan berikut menggunakan koherensi penjelas untuk memaparkan bagaimana dampaknya bila faham tersebut dilegalkan.

“Sangat riskan dan beresiko jika pemerintah membiarkan ajaran komunis –sebagai suatu filosofi dan ideologi- berkembang di Indonesia, yang sebagian besar masyarakatnya adalah masyarakat religius.” (Republika, 10-04-2000)

Republika memposisikan masalah komunisme berhadap-hadapan dengan agama. Komunisme dan agama adalah dua hal yang saling bertolak belakang dan tidak mungkin disandingkan dalam satu wadah. Kutipan di atas mengidentifikasi komunisme sebagai sumber masalah. Proposisi pertama menjelaskan bahwa komunisme tidak boleh hidup kembali di Indonesia sebab akan menimbulkan kekacauan bahkan konflik sosial maupun politik, karena itu menghidupkan kembali komunisme adalah pekerjaan yang beresiko. Jika pada proposisi pertama menjelaskan komunisme sebagai masalah, dalam proposisi selanjutnya lebih ditekankan lagi di mana letak masalahnya. Dalam proposisi kedua dijelaskan, bangsa kita akan mengalami masalah besar jika komunisme dilegalkan kembali, sebab bangsa kita adalah bangsa yang religius, taat beragama. Jika dikaitkan dengan wacana dominan yang telah dikembangkan oleh Orde Baru: komunisme dicirikan sebagai pihak yang selalu memusuhi orang-orang yang taat beragama, maka makna yang muncul dari teks di atas adalah: masyarakat kita yang religius

(42)

tidak akan bisa hidup tenang jika komunisme hidup di Indonesia sebab komunisme akan selalu memusuhi orang-orang yang beragama.

Strategi sintaktis lain yang dipakai dalam menolak PKI dan komunisme adalah dengan menggunakan elemen pengingkaran, yakni mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap PKI secara implisit.

“….. dalam alam demokrasi, semua partai boleh lahir dan berkembang, kecuali partai yang bertentangan dengan asas demokrasi itu sendiri, seperti partai komunis (Republika, 07-04-2000)

Strategi yang dipakai dalam elemen wacana ini adalah, Republika seakan setuju jika komunisme dihidupkan kembali di Indonesia, tapi karena pada dasarnya koran ini tidak setuju dengan komunisme, maka dicari alasan lain yang dinilai lebih kuat untuk bisa menghalangi kembalinya ideologi komunis ke Indonesia. Misalnya dalam kutipan pertama dijelaskan, di alam demokrasi semua partai dan ideologi bisa hidup bebas. Sebagai negara yang sedang membangun demokrasi, berarti semua partai bisa hidup di Indonesia tanpa terkecuali, termasuk PKI. Namun proposisi kedua memberikan pengecualian, memang semua partai boleh hidup di Indonesia asalkan partai tersebut berwatak demokrasi, jika suatu partai tidak menganut faham demokrasi, maka partai tersebut tidak boleh hidup. Karena PKI menganut faham komunis, maka PKI tidak boleh hidup di Indonesia, sebab komunisme bertentangan dengan sistem demokrasi.

Pengingkaran serupa juga dipakai dalam teks lain, tetapi menggunakan premis agama yakni masalah ketuhanan, ideologi komunis seakan-akan boleh hidup di Indonesia jika aturan tentang kehidupan beragama diubah. Lihat kutipan berikut: “jika TAP itu hendak dicabut, maka harus didahului pencabutan Sila

(43)

pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa” (Republika, 07-04-2000). Asumsi dasar yang dipakai dalam kutipan tersebut juga sama, komunisme bertentangan dengan agama, komunisme tidak bisa hidup di Indonesia karena rakyat Indonesia adalah masyarakat yang agamis, bangsa yang menganut Ketuhanan Yang Maha Esa. Kutipan di atas seakan menggambarkan, komunisme bisa hidup di Indonesia jika Tap yang berisi larangan terhadap komunisme dicabut, dan hal itu mungkin sekali terjadi jika MPR menyepakati. Namun teks tersebut juga menegaskan, permasalahan sebenarnya bukan terletak pada Tap, tapi pada Pancasila, komunisme adalah ideologi yang anti tuhan dan karena itu bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna yang muncul dari kutipan di atas adalah, komunisme tetap tidak bisa hidup di Indonesia. Meskipun Tap tentang komunisme bisa dicabut, susah sekali untuk mengubah Pancasila, komunisme tetap tidak bisa kembali ke Indonesia sebab ideologi tersebut bertentangan dengan Pancasila.

Produksi makna juga bisa dilakukan lewat penggunaan Bentuk Kalimat, susunan yang ada dalam kalimat menghasilkan makna tertentu, sepreti terlihat pada kutipan berikut; “…. jika PKI (Partai Komunis Indonesia) bangkit kembali akan membahayakan”(Republika, 05-04-2000). Kalimat singkat ini memberikan gambaran tentang betapa “penting” PKI di Indonesia. PKI ditempatkan sebagai subyek atau aktor dari predikat “membahayakan”. Kalimat tersebut memang tidak menyebutkan obyeknya, apa atau siapa yang dibahayakan oleh PKI tidak dicantumkan, tapi kita bisa asumsikan bahwa yang dibahayakan oleh komunisme adalah Indonesia, baik sebagai bangsa maupun negara. Yang perlu dikritisi adalah,

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi data merupakan suatu tekhnologi yang dapat membawa data atau informasi dari suatu tempat ke tempat lain dengan media kabel, maupun nirkabel,

Program PKW, PKK, dan Magang dilakukan berbasis pada SKL dan menggunakan acuan kurikulum berbasis kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI). Selanjutnya, SKL digunakan

Upaya menghambat penurunan jumlah energi tak-terbarukan dengan memanfaatkan energi terbarukan salahsatunya adalah energi air untuk PLTM, berdasarkan

Sebagaimana permasalahan pendidikan yang disebutkan diatas, maka tantangan pembangunan pendidikan ke depan menjadi sangat besar, terutama dalam hal : (1)

Seluruh staff pengajar Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, yang telah memberikan pengajaran kepada saya sehingga saya memiliki bekal untuk menyelesaikan

AMPAS TAHU DALAM UPAYA PEMANFAATAN LIMBAH TAHU SEBAGAI ALTERNATIF PANGAN DI DESA PASUNCEN KECAMATAN TRANGKIL KABUPATEN PATI. PKM Pengabdian

Total phenolicic content of the six seeded pummelo cultivars were 1.24 to 2.28 mg GAE ml -1 , Banyuwangi cultivar had the highest total phenolic content followed

McManama's career spans 47 years of scholarly productivity in teacher education and sport at every educational level.As a professional, he has written over 30 books/chapters in