• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri atas beribu pulau, yang didiami oleh berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai bahasa daerah dengan ciri khasnya masing-masing yang masih tetap digunakan sebagai alat komunikasi di antara penuturnya, baik di wilayah geografis bahasanya maupun di luar wilayahnya. Kebiasaan menggunakan bahasa daerah sendiri di luar wilayah bahasa itu menyebabkan terciptanya beberapa masyarakat yang dwibahasa (bilingual) bahkan dapat membentuk masyarakat yang multibahasa (multilingual). Menurut kamus linguistik (2011) bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh suatu masyarakat. Istilah ini disebut juga dengan kedwibahasaan. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan atau orang yang bilingual.

Pada masyarakat dwibahasa ataupun multibahasa, terdapat pola kedwibahasaan yang mampu menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa yang terdapat di dalam bahasa masyarakat, yaitu terdiri dari B1 atau disebut sebagai bahasa ibu dan B2. Dengan adanya dwibahasa atau multibahasa tersebut maka akan menuntut masyarakat penutur bahasa untuk menentukan sikap bahasa karena adanya pilihan bahasa. Seperti diutarakan oleh Ditmar (1976:181) bahwa sikap ditandai oleh sejumlah ciri-ciri, antara lain meliputi pilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan dialek dan

(2)

problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antar individu. Misalnya, ketika suatu bangsa yang memiliki cukup banyak bahasa daerah hendak menentukan bahasa nasionalnya. Pemilihan satu bahasa di antara sekian banyak bahasa yang dimiliki bangsa tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap positif masyarakat terhadap bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang demikian hampir tidak mungkin suatu masyarakat rela menyampingkan bahasa kelompok etniknya dan menyetujui dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa nasional. Hal ini mengingat bahwa sikap bahasa merupakan salah satu faktor yang menentukan kelangsungan hidup suatu bahasa sebab begeser atau punahnya suatu bahasa sangat ditentukan oleh keputusan berdasarkan sikap bahasa dari masyarakat itu sendiri.

Sikap bahasa itu dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu sikap terhadap bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju pada tanggung jawab dan penghargaannnya terhadap bahasa, sedangkan sikap berbahasa ditekankan kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib (Pateda, 1987:30). Begitu juga halnya dengan Anderson (1974:47) yang membagi sikap menjadi dua jenis, namun beliau mengelompokkannya menjadi sikap bahasa dan sikap nonbahasa. Menurutnya, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu, dengan cara yang disenanginya. Adapun reaksi yang ditimbulkan dapat berupa sikap positif dan sikap negatif. Sedangkan, sikap nonbahasa yang beliau maksud adalah seperti sikap politik, sikap sosial dan sikap estetis.

(3)

Garvin dan Mathiot (dalam Fishman, 1968) menyebutkan bahwa sikap bahasa itu setidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu (1) kesetiaan bahasa, (2) kebanggaan bahasa, dan (3) kesadaran norma bahasa. Ketiga ciri sikap bahasa tersebut berkaitan dengan dasar pemilihan seseorang terhadap suatu bahasa di antara sekian bahasa yang akan digunakan sebagai alat komunikasi, apakah bersikap positif atau bersikap negatif (Suwito, 1985:90). Apabila ketiga ciri bahasa ini dimiliki seseorang maka orang tersebut dikatakan memiliki sikap yang positif terhadap bahasanya. Sebaliknya, jika seseorang atau sekelompok anggota masyarakat tutur tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap bahasanya (Garvin dan Mathiot, 1968).

Sikap-sikap bahasa muncul sebagai bagian dari kajian sosiolinguistik karena memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam, setidak-tidaknya dalam hal penggunaan atau pilihan ragam bahasa mereka. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk meneliti mengenai sikap bahasa pada masyarakat Batak Toba. Adapun daerah yang menjadi objek penelitian ini adalah Kelurahan Hutabarangan yang merupakan salah satu dari empat kelurahan yang ada di Kecamatan Sibolga Utara yang menjadi bagian dari Kota Sibolga.

Kota Sibolga merupakan salah satu wilayah pantai Barat Sumatera Utara yang terletak di Teluk Tapian Nauli, ± 350 km Selatan Kota Medan. Secara geografis wilayah Sibolga terletak antara 1º 42' - 1º 46' Lintang Utara dan 98º 44' - 98º 48' Bujur Timur. Sibolga sudah sejak lama merupakan pintu gerbang kegiatan ekspor dan impor berbagai komoditas. Sejak dijadikan daerah otonom tahun 1956,

(4)

Kota Sibolga mengandalkan Pelabuhan Laut Sibolga dan potensi perairannya sebagai sumber kehidupan penduduk sehingga banyak etnik yang berdatangan dan tinggal di kota Sibolga. Etnik-etnik pendatang tersebut antara lain Mandailing, Melayu, Nias, Jawa, Minang, Bugis, Aceh, dan suku-suku lain dari Indonesia bagian timur. Selain itu, terdapat pula beberapa pendatang asing seperti etnis Tionghoa, India, dan Arab yang semua etnik itu hidup berdampingan dengan etnik asli Kota Sibolga, yakni etnik Batak Toba. Seiring waktu, hal ini lah yang menjadikan Kota Sibolga dikenal dengan julukannya Negeri Berbilang Kaum “Negeri Beragam Penduduk” yang artinya menggambarkan kondisi masyarakatnya yang majemuk.

Dengan latar keanekaragaman etnik tersebut, sehingga memunculkan masyarakat yang bilingual atau multilingual di Kota Sibolga, sehingga menuntut masyarakat penutur bahasa Batak Toba yang tinggal di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota sibolga untuk menentukan sikap bahasanya, apakah cenderung positif atau negatif terhadap bahasa Batak Toba. Oleh karena itu, kajian mengenai sikap bahasa ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam dari sudut pandang sosiolinguistik.

1.2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimanakah situasi kebahasaan di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara?

(5)

2. Bahasa apakah yang digunakan masyarakat Batak Toba pada masing-masing ranah penggunaan bahasa di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara? 3. Bagaimanakah sikap bahasa masyarakat Batak Toba terhadap bahasa

Batak Toba di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara, apakah cenderung positif atau negatif?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mendeskripsikan situasi kebahasaan masyarakat Batak Toba di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara.

2. Mengidentifikasi bahasa yang digunakan masyarakat Batak Toba pada masing-masing ranah penggunaan bahasa di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara. 3. Mendeskripsikan kecenderungan sikap bahasa masyarakat Batak Toba

terhadap bahasa Batak Toba di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara, yakni cenderung positif atau negatif.

(6)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun manfaat secara praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberi informasi mengenai kelestarian bahasa Batak Toba terhadap tekanan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang kuat diakibatkan oleh tingginya mobilitas para penuturnya. Sementara itu, manfaat bagi dunia akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang pengajaran bahasa sebagai bahan masukan dalam menentukan kebijakan pengajaran bahasa daerah, terutama dalam tingkat pendidikan dasar. Secara praktis, diharapkan hasil penelitian ini memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Batak Toba yang tinggal di Kota Sibolga untuk terciptanya kesadaran berbahasa Batak Toba yang positif, yakni setia, bangga, dan menjaga norma bahasa Batak Toba agar bahasa daerah itu tetap dapat memenuhi perannya sebagai penanda identitas etnis.

1.5. Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau ; pandangan ; pendapat sesudah menyelidiki, mempelajari, dsb (KBBI, 2003:18). Pustaka adalah kitab ; buku ; buku primbon (KBBI, 2003:912) maka peneliti dapat simpulkan bahwa tinjauan pustaka adalah hasil meninjau pendapat ataupun pandangan yang telah dituliskan dalam sebuah buku atau karya ilmiah lainnya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka peneliti berusaha meninjau sejumlah sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini karena jenis penelitian yang

(7)

berkaitan dengan sikap bahasa pada dasarnya pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Hal ini sangat bermanfaat sebagai bahan perbandingan untuk menentukan keaslian penelitian ini. Adapun penelitian yang pernah dilakukan tersebut adalah sebagai berikut:

Kamsiah (2000) dalam penelitian yang dikembangkan dari penelitian tesisnya meneliti tentang “Sikap, Penguasaan dan Penggunaan Bahasa Melayu di Singapura”. Latar belakang penelitiannya adalah disebabkan situasi bahasa di Singapura yang semakin kompleks akibat terdapatnya penggunaan empat bahasa resmi, yaitu Mandarin, Melayu, Tamil, dan Inggris. Bahasa Inggris yang digunakan sebagai bahasa asing untuk mengadakan hubungan sejak zaman penjajahan, dua dekade terakhir muncul sebagai bahasa resmi terpenting dalam segala segi kehidupan. Terkait dengan sikap responden terhadap bahasa Melayu dan Inggris, diperoleh data yang menunjukkan bahwa responden bersikap lebih positif terhadap bahasa Inggris daripada terhadap bahasa Melayu. Adapun alasan yang diberikan responden adalah disebabkan oleh kepentingan bahasa itu dalam komunikasi dalam bidang perdagangan, pendidikan, dan dalam mempelajari teknologi dan sains.

Suhardi (1996) meneliti sikap berbahasa pada sekelompok sarjana dan mahasiswa di Jakarta dalam disertasinya yang berjudul “Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta”. Penelitian ini lebih bersifat kuantitatif. Menurutnya, sikap mereka terhadap bahasa daerah, bahasa Indonesia dan bahasa asing itu berkaitan dengan fungsi bahasa yang bersangkutan. Sikap positif mereka terhadap bahasa daerah didasarkan pada

(8)

fungsi integratif bahasa itu dikalangan penuturnya; sikap mereka positif terhadap bahasa Indonesia mengingat fungsi integratif dan fungsi instrumentalnya sekaligus kaitannya dengan kemungkinannya berintegrasi sosial yang lebih luas; sedangkan sikap mereka positif terhadap bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, semata-mata karena fungsi instrumental bahasa yang bersangkutan.

Siregar, dkk. (1998) menyatakan bahwa pengkajian sikap bahasa telah muncul sebagai bagian penting dari kajian sosiolinguistik. Hasil penelitiannya mengenai Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Kasus Masyarakat Bilingual di Medan menunjukkan bahwa sikap bahasa masyarakat kotamadya Medan menggambarkan hubungan efektif tertentu antara penutur bahasa dengan bahasanya atau dengan bahasa lainnya dari kelompok etnik yang berbeda. Sikap bahasa cenderung tidak diikuti dengan perilaku yang cenderung pemertahanan bahasa. Sementara itu, dari segi sikap bahasa, penutur bahasa menunjukkan dukungannya terhadap kelangsungan bahasa daerah sebagai pemarkah kelompok etnik atau jati diri etnik seseorang. Namun, dari segi perilaku pemilihan bahasa, penutur ini tidak menunjukkan aturannya di dalam menggunakan bahasa daerah sebagai lambang kedaerahan.

Balai Bahasa Jawa Tengah juga pernah melakukan penelitian mengenai Sikap Siswa SMP di eks-karesidenan Semarang terhadap bahasa Jawa. Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan, yaitu sosiologi dan psikologi karena berkaitan dengan nilai-nilai budaya dalam suatu masyarakat dan kondisi kognitif individu. Data dalam penelitian ini berupa pernyataan responden tentang sikapnya terhadap bahasa Jawa yang dikumpulkan dengan teknik angket dan wawancara.

(9)

Alat ukur yang digunakan untuk meneliti sikap bahasa ini adalah model skala Likert dan model Trustone. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum siswa memiliki sikap positif terhadap bahasa Jawa.

Kemudian terdapat penelitian tentang kesetiaan berbahasa yang dilakukan oleh Deni Karsana mahasiswa S2 di Universitas Gadjah Mada (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Kesetiaan Berbahasa Etnik Sunda di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penelitiannya difokuskan pada ranah usaha dan ranah pendidikan karena menurut Karsana, alasan terbesar etnik sunda merantau ke Yogyakarta adalah dikarenakan ingin membuka usaha dan ingin menempuh pendidikan. Kemudian pada hasil akhir penelitiannya menunjukkan bahwa masih tingginya kesetiaan berbahasa pada etnik Sunda dan masih adanya pemertahanan bahasa Sunda. Namun, tingginya frekuensi pemakaian sebuah bahasa oleh seseorang atau masyarakat belum menjamin bahwa seseorang atau masyarakat tersebut mempunyai kesetiaan bahasa yang tinggi terhadap bahasa itu. Kesetiaan berbahasa yang tinggi pada etnik Sunda di D.I. Yogyakarta memperlihatkan adanya pemertahanan bahasa Sunda.

Penelitian selanjutnya berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap kebahasaan yang dilakukan oleh Elisten Parulian Sigiro (2009) yang memfokuskan pada penutur bahasa Simalungun yang tinggal di Kota Pematangsiantar. Penelitian ini juga mengguanakan teori ranah penggunaan bahasa dengan memfokuskan pada sembilan ranah, yakni ranah kekeluargaan, pergaulan, pekerjaan, pemerintahan, adat, transaksi, terminal, keagamaan, dan tetangga. Data dalam penelitian ini berupa pernyataan responden tentang situasi

(10)

diglosia dan sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasanya yang dikumpulkan dengan teknik angket. Alat ukur yang digunakan untuk meneliti sikap bahasa ini adalah model skala Likert. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa Simalungun oleh para responden pada dasarnya cukup tinggi. Namun, bila ditinjau berdasarkan pilihan bahasa terhadap bahasa yang paling sering digunakan dalam keseharian dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif.

Kajian lain yang diambil manfaatnya dalam penelitian ini adalah kajian Gal (1979) dan Fasold (1984). Dimana dua kajian ini dipilih karena mereka dalam menganalisis datanya, memakai model konfigurasi dominasi (dominance configuration). Konfigurasi ini digambarkan dalam bentuk tabel yang mengandung komponen penutur, interlokutor, dan ranah, serta pilihan bahasa yang dipakai, sesuai dengan data yang diperoleh dari kuisioner laporan-pribadi. Data deskriptif yang menyangkut subjek-subjek dari berbagai usia itu ternyata dapat menggambarkan hasil yang bersifat historis, yaitu perkembangan bahasa yang dipilih oleh penutur generasi tua dan penutur generasi muda. Dengan cara itu terlihat juga konfirugasi ranah-ranah mana yang menjadi wilayah pemertahanan sesuatu bahasa-ibu yang dikaji.

Berdasarkan hasil tinjauan pustaka di atas, maka dapat dipahami jelas bahwa sikap bahasa merupakan kajian yang diawali karena adanya kedwibahasaan atau multibahasa di dalam suatu masyarakat, sehingga para peneliti sebelumnya berusaha untuk melihat bagaimana sikap para penutur bahasa tersebut terhadap bahasa-bahasa yang hidup di wilayah bahasanya, apakah sikap bahasanya

(11)

cenderung masih positif atau negatif. Begitu juga halnya yang akan peneliti lakukan di dalam penelitian ini, berangkat dari latar belakang masyarakat Batak Toba yang dwibahasa atau multibahasa, peneliti mencoba untuk mengkaji situasi kebahasaan yang terjadi di Kelurahan Hutabarangan, Kelurahan hutabarangan, Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara dengan mengamati sikap bahasanya: positif atau negatif.

1.6. Landasan Teori

Sehubungan dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penulis berusaha mengkaji penelitian ini dengan berlandaskan pandangan para ahli yang ditinjau berdasarkan teori sosiolinguistik. Berikut adalah pandangan para ahli yang penulis kutip yang dapat dijadikan pedoman untuk mendukung penelitian ini.

1.6.1. Sosiolinguitik

Sesuai namanya sosiolinguistik, yang terdiri dari kata sosio dan linguistik sehingga dapat kita gambarkan secara langsung bahwa bidang ini mengarah pada hubungan bahasa dan masyarakat. Hubungan keduanya mengkaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (wardhaugh, 1984:4 ; holmes, 1993:1 ; Hudson, 1996:2).

Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dapat dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat

(12)

manusia (Chaer, 2010:3). Seperti halnya Fishman (1972:1) menyatakan bahwa sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa, perilaku terhadap bahasa saja, melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakai bahasa.

Sikap-sikap bahasa muncul sebagai bagian dari sosiolinguistik karena memandang masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam, setidak-tidaknya dalam hal penggunaan atau pilihan ragam bahasa mereka. Fasold (1984) menyatakan bahwa sosiolinguistik itu hanya ada sebagai bidang kajian karena ada pilihan-pilihan dalam penggunaan bahasa. Hal ini dibuktikan dengan munculnya istilah bilingualisme atau multilingualisme sosietal yang menunjukkan adanya kenyataan bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat beberapa bahasa.

1.6.2. Sikap

Langkah awal yang perlu diketahui adalah mengenai teori sikap itu sendiri. Sikap adalah perasaan seseorang tentang obyek, aktivitas, peristiwa, dan orang lain. Sikap bersifat kompleks, karena pembentukannya melibatkan semua aspek kepribadian, yaitu kognisi, afeksi, dan konasi. Seperti yang diutarakan oleh Lambert dalam Baker (1992) yang mengutip pendapat Plato menetapkan bahwa sikap terbagi atas tiga komponen, yaitu (1) komponen kognitif, (2) komponen afektif, dan (3) komponen konatif. Komponen kognitif menyangkut pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipakai dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut perasaan atau

(13)

emosi terhadap sesuatu. Biasanya menyangkut nilai rasa “baik atau tidak baik”, “senang atau tidak senang” yang membawa seseorang untuk memiliki sikap positif atau negatif terhadap sesuatu tersebut. Komponen konatif menyangkut perilaku yang menunjukkan kecenderungan seseorang untuk berbuat atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu keadaan. Dengan demikian sikap terhadap sesuatu menunjukkan besarnya nilai keyakinan dan hasil evaluasi tentang objek sikap, yang akhirnya melahirkan keputusan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, menerima atau menolak terhadap keberadaan objek sikap (Allport dalam Mar’at, 1984:13).

Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah berupa perasaan mendukung (arah positif) atau tidak mendukung (arah negatif) (Berkowizd dalam Azwar, 1983:3). Selanjutnya azwar (2001) mengemukakan faktor yang menentukan bentuk respon individu, yaitu suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung terhadap stimulus yang diterima yaitu objek sikap tergantung pada berbagai faktor, antara lain latar belakang pengetahuan dan motivasi.

Sikap juga merupakan suatu tingkat afek positif dan negatif yang berhubungan dengan objek psikologik (Trustone dalam Mar’at, 1984:147). Sikap dapat dikatakan suatu reaksi emosional terhadap suatu objek psikologis. Reaksi yang timbul bisa bersifat positif atau negatif. Sikap juga dapat berupa suasana batin seseorang. Seseorang yang menyetujui terhadap suatu objek akan menunjukkan sikap mendukung atau sebaliknya.

Sikap memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu 1) arah sikap, merupakan afek yang membekas dirasakan terhadap suatu objek, dapat bersifat negatif atau positif. ; 2)

(14)

derajat perasaan, merupakan derajat penilaian terhadap sesuatu objek tertentu dengan istilah baik dan buruk dengan kontinum berkisar dari arah negatif sampai positif (Newcomb et al, 1977:1981). Ciri-ciri sikap juga dikemukakan oleh Gordon (1960:293) yaitu: 1) sebagai suatu kesiapan untuk merespon, 2) bersifat individual, 3) membimbing perilaku, 4) bersifat bawaan dan merupakan hasil belajar. Selanjutnya Rochman (1984:230) mengemukakan ciri sikap adalah suatu kesiapan yang kompleks dari seorang individu untuk memperlakukan suatu objek. Kesiapan itu mempunyai aspek kognisi, afeksi, dan kecendrungan bertindak yang dapat disimpulkan dari prilaku individu itu sendiri. Kesiapan itu merupakan penilaian positif atau negatif dengan intensitas yang berbeda-beda, berlaku untuk kurun waktu tertentu dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu. Penilaian sebagai sikap kesiapan tersebut terarah kepada objek itu sendiri, terhadap kelanjutan dari suatu penilaian yang menyangkut objek itu atau akibat peristiwa yang menyangkut objek lain.

Berdasarkan beberapa teori sikap yang telah dipaparkan di atas, maka hal-hal yang menjadi perhatian peneliti mengenai teori sikap itu sendiri adalah

a. Sikap adalah perasaan atau suasana batin seseorang yang berhubungan dengan objek sikap. Objek sikap tersebut dapat berupa orang, benda, peristiwa, atau perilaku tertentu.

b. Sikap menunjukkan arah penilaian individu terhadap objek sikap yg merupakan reaksi sikap tersebut. Penilaian terhadap objek tersebut dapat menunjukkan arah yang positif (mendukung) atau arah yang negatif (tidak mendukung).

(15)

c. Sikap terdiri dari reaksi kognitif, afektif, dan konatif. 1.6.3. Sikap Bahasa (languages attitude)

Sikap bahasa (languages attitude) adalah peristiwa kejiwaan dan merupakan bagian dari sikap (attitude) pada umumnya. Sikap bahasa merupakan reaksi penilaian terhadap bahasa tertentu (Fishman, 1986). Menurut Kridalaksana (2001:197) sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain. Kedua pendapat tersebut menjelaskan bahwa sikap bahasa merupakan reaksi seseorang (pemakai bahasa) terhadap bahasanya maupun bahasa orang lain. Seperti dikatakan Richard, et al. dalam Longman Dictionary of Applied Linguistics (1985:155) bahwa sikap bahasa adalah sikap pemakai bahasa terhadap keanekaragaman bahasanya sendiri maupun bahasa orang lain.

Sikap bahasa timbul bila seseorang itu sebagai masyarakat yang dwibahasawan atau multibahasawan. Seperti pernyataan Ditmar (1976:181) bahwa sikap bahasa ditandai oleh sejumlah ciri-ciri yang antara lain: pemilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan-perbedaan dialektikal dan problem-problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara individu-individu. Misalnya, ketika suatu bangsa yang memiliki cukup banyak bahasa daerah hendak menentukan bahasa nasionalnya. Pemilihan satu bahasa diantara sekian banyak bahasa yang dimiliki bangsa tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap positif masyarakat terhadap bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang demikian hampir tidak mungkin

(16)

suatu masyarakat rela menyampingkan bahasa kelompok etniknya dan menyetujui dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa nasional.

Sikap bahasa itu dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu sikap terhadap bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju pada tanggung jawab dan penghargaannnya terhadap bahasa, sedangkan sikap berbahasa ditekankan kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib (Pateda, 1987:30). Begitu juga halnya dengan Anderson (1974:47) yang membagi sikap menjadi dua jenis, namun beliau mengelompokkannya menjadi sikap bahasa dan sikap nonbahasa. Menurutnya, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu, dengan cara yang disenanginya. Adapun reaksi yang ditimbulkan dapat berupa sikap positif dan sikap negatif. Sedangkan, sikap nonbahasa yang beliau maksud adalah seperti sikap politik, sikap sosial dan sikap estetis.

Garvin dan Mathiot (dalam Fishman, 1968) menyebutkan bahwa sikap bahasa itu setidaknya mengandung tiga ciri pokok, yaitu (1) kesetiaan bahasa, (2) kebanggaan bahasa, dan (3) kesadaran norma bahasa. Ketiga ciri sikap bahasa tersebut berkaitan dengan dasar pemilihan seseorang terhadap suatu bahasa diantara sekian bahasa yang akan digunakan sebagai alat komunikasi, apakah bersikap positif atau bersikap negatif (Suwito, 1987:90). Apabila ketiga ciri bahasa ini dimiliki seseorang maka orang tersebut dikatakan memiliki sikap yang positif terhadap bahasanya. Sebaliknya, jika seseorang atau sekelompok anggota masyarakat tutur tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan

(17)

kemandirian bahasanya, maka orang tersebut memiliki sikap negatif terhadap bahasanya (Garvin dan Mathiot, 1968). Adapun ketiga ciri sikap bahasa tersebut akan dipaparkan sebagai berikut :

1. Sikap Kesetiaan Bahasa (loyalty language)

Kesetiaan bahasa adalah keinginan masyarakat pendukung bahasa itu untuk memelihara dan mempertahankan bahasa. Hal ini didukung oleh rumusan Weinreich yang menunjukkan bahwa kesetiaan bahasa yang mengandung aspek mental dan emosi sangat menentukan bentuk tingkah laku berbahasa. Kesetiaan berbahasalah yang terutama mendorong usaha-usaha mempertahankan bahasa (Weinreich, 1974:99) karena kesetiaan bahasa mempunyai akar emosional yang kuat pada bahasa ibu (mother tongue) dan terinternalisasi sejak kecil. Selanjutnya Weinreich (1979:99) juga menyatakan bahwa kesetiaan bahasa adalah keinginan masyarakat pendukung bahasa itu untuk memelihara dan mempertahankan bahasa itu. Bahkan kalau perlu, mencegahnya dari pengaruh bahasa lain, mencegah adanya interferensi dari bahasa asing.

2. Sikap Kebanggaan Bahasa (language pride)

Weinreich (1970:99) menyatakan bahwa kebanggaan bahasa mendorong seseorang atau masyarakat pendukung bahasa untuk menjadikan bahasanya sebagai penanda jati diri identitas etniknya, dan sekaligus membedakannya dari etnik lain.

Kebanggaan bahasa yang disebut juga linguistic pride (lihat Wijana, 2006) mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.

(18)

Seseorang yang merasa bangga dengan bahasanya tidak akan mengalihkan bahasanya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Akan tetapi seseorang atau masyarakat tutur yang merasa tidak berkewajiban atau merasa malu menunjukkan identitasnya dengan bahasanya, dan cenderung mengalihkan kebanggaannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya, maka orang atau masyarakat tutur seperti itu disebut memiliki sikap negatif terhadap bahasanya.

3. Sikap Kesadaran Norma Bahasa (awarness of the norm)

Kesadaran akan norma bahasa mendorong masyarakat pemakai bahasa untuk memakai bahasanya secara baik, benar, dan santun sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Kesadaran berbahasa itu tercermin dalam tanggung jawab, sikap, perasaan memiliki bahasa yang pada gilirannya menimbulkan kemauan untuk membina dan mengembangkan bahasa. Weinreich (1970: 99) berpendapat bahwa dorongan dari diri masyarakat pemakai bahasa itu untuk memakai bahasanya secara baik, benar, santun, korek dengan kaidah-kaidah yang berlaku merupakan sikap kesadaran akan norma. Sikap kesadaran demikian merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku tutur dalam ujud pemakaian bahasa (language use).

Dengan demikian dari semua teori mengenai sikap bahasa itu dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa adalah sikap yang dimiliki oleh para pemakai bahasa, baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan terhadap suatu bahasa. Reaksi yang ditimbulkannya dapat berupa perasaan bangga, mengejek, menolak ataupun sekaligus menerima. Dengan kata lain sikap berbahasa itu

(19)

bersifat positif maupun negatif, serta memiliki ciri-ciri yaitu kebanggaan berbahasa, kesetiaan berbahasa dan kesadaran berbahasa.

1.6.4. Bilingualisme

Menurut Mackey (dalam Fishman, 1968) kedwibahasaan merupakan praktik pemakaian bahasa-bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Pergantian pemakaian bahasa ini ditentukan oleh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh si dwibahasawan. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Weinreich (1953). Kemudian dilanjutkan oleh pendapat Macnamara (1967) yang menyatakan bahwa kedwibahasaan itu mengacu kepada pemilikan kemampuan atas sekurang-kurangnya B1 (bahasa ibu) dan B2, meskipun kemampuannya atas B2 itu hanya sampai pada batas minimum. Rumusan ini sejalan dengan Haugen (1961 dalam Chaer,2004 :86) yang merumuskan kedwibahasaan sebagai ‘mengenal bahasa’, yang artinya bahwa seorang dwibahasawan tidak perlu menguasai B2 secara aktif-produktif, melainkan cukuplah kalau ia sudah mengerti atau memahami secara reseptatif apa yang dituturkan orang lain. Seperti misalnya kemampuan seseorang dalam B2 hanya sebatas mengerti atau memahami tutur B2 tetapi tidak mampu bertutur.

Sehubungan dengan tujuan mendeskripsikan situasi kebahasaan masyarakat Batak Toba yang tinggal di daerah Kota Sibolga, khususnya kelurahan Hutabarangan, merupakan masyarakat dwibahasa atau multibahasa, maka konsep bilingual yang penulis acu adalah konsep Haugen, yang telah disebutkan di atas,

(20)

mengerti akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan dua bahasa itu, tetapi cukup memahaminya saja.

1.6.5. Kode

Berkaitan dengan masalah kedwibahasaan, gejala kontak bahasa pada penutur masyarakat Batak Toba tak dapat dihindari. Dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa terdapat lebih dari satu kode bahasa yang hidup dan digunakan oleh masyarakat Batak Toba di dalam kehidupan sehari-harinya. Menurut Poejosoedarmo (1978:30), kode ialah suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Jadi dalam kode itu terdapat unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat, kata-kata, morfem dan fonem. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat.

1.6.6. Alih Kode

Dalam situasi kdwibahasaan akan sering terdapat orang mengganti bahasa atau ragam bahasanya, hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu. Misal saja, ketika kita berbahasa A dengan si B datang si C yang tidak dapat berbahasa A memasuki situasi berbahasa itu, maka kita beralih memakai bahasa D yang dimengerti si C. Peristiwa ini lah yang disebut sebagai alih kode. Hymes (1974:103) menyatakan bahwa alih kode dapat terjadi antarbahasa, ragam-ragam bahasa, atau bahkan pada style yang terdapat pada satu bahasa. Konsep alih kode

(21)

ini mencakup juga peristiwa pada seorang penutur beralih dari satu ragam fungsiolek (misal, ragam santai) ke ragam lain (misal, ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek lain (Nababan, 1993:31).

1.6.7. Campur kode

Suatu situasi berbahasa lain yang menggambarkan keadaan berbahasa bilamana seseorang mencampurkan dua buah bahasa atau lebih atau dua buah ragam (variasi) bahasa atau lebih dalam tindak berbahasa dengan jalan memasukkan unsur-unsur bahasa atau ragam (variasi) lain.

Menurut Chaer dan Agustina (2004:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur, dimana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang digunakan yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah serpihan-serpihan suatu bahsa yang digunakan oleh seorang penutur. Serpihan ini dapat berupa kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.

1.6.8. Ranah Penggunaan Bahasa

Salah satu cara untuk mengetahui bagaimana penggunaan bahasa di dalam masyarakat bilingual adalah dengan menggunakan teori ranah. Fishman (1964 ; 1972) mengajukan konsep ranah untuk menjelaskan perilaku penggunaan bahasa dalam masyarakat bilingual yang mantap. Beliau memerikan perilaku penggunaan bahasa dalam masyarakat tersebut melalui penempatan ranah bahasa.

(22)

Istilah ranah dijelaskan sebagai susunan situasi atau cakrawala interaksi yang pada umumnya didalamnya menggunakan satu bahasa. Ranah adalah lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, yang merupakan kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat. Misalnya, sebuah ranah disebut ranah keluarga kalau ada seorang penutur di rumah sedang berbincang dengan anggota keluarganya tentang topik kehidupan sehari-hari. Dibandingkan dengan situasi sosial, ranah adalah abstraksi dari persilangan antara status hubungan-peran, lingkungan dan bahasan tertentu. Selanjutnya, Fishman (1968) juga menyatakan bahwa ranah adalah konsepsi teoritis yang menandai satu interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya ranah keluarga, ketetanggaan, agama, pekerjaan, adat, pemerintahan, pergaulan, ranah terminal, pendidikan, dan sebagainya. Jumlah ranah dalam suatu masyarakat tidak dapat ditentukan secara pasti. Menurut Schmidth-Rohr (1932) ranah terdiri dari ranah keluarga, tempat bermain, sekolah, gereja, kerja, sastra, pers, militer, pengadilan, dan administrasi pemerintahan. Parasher (1980) dalam penelitiannya memakai ranah keluarga, kekariban, ketetanggaan, transaksi, pendidikan, pemerintah, dan kerja.

Dalam ranah (domain) kita juga harus memperhatikan peristiwa tutur, berbagai situasi tutur dan tindak tutur. Di dalam peristiwa tutur dapat ditemukan sejumlah komponen tutur. Menurut Hymes (1974) komponen itu terdiri dari 8 komponen (yang awalnya ada 16 komponen) yang dirumuskan dalam akronim kata Inggris SPEAKING, yakni

(23)

Setting : waktu dan tempat peristiwa bahasa terjadi.

Participants : mencakup pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan.

Ends : mengacu pada maksud dan tujuan pertuturan.

Act Sequences : mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.

Key : mengacu pada nada, cara dan semangat dimana suatu pesan disampaikan.

Instrumentalisties : merujuk pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tulis, telegraf atau telepon.

Norms : mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.

Genre : berkaitan dengan jenis bentuk penyampaian, seperti

narasi, puisi, pepatah, doa, pengajaran dan sebagainya. Berdasarkan pemaparan di atas maka pemilihan ranah dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat Fishman yang kemudian disesuaikan dengan situasi kebahasaan yang ada di Kelurahan Hutabarangan, yakni dengan membatasi pada tujuh ranah, antara lain : ranah kekeluargaan, ranah ketetanggan, ranah pemerintah, ranah pendidikan, ranah adat, ranah agama, dan ranah usaha. Kemudian pada penelitian ini hanya memperhatikan komponen waktu dan tempat atau setting dan participants dalam setiap peristiwa tutur yang terjadi.

1.6.9. Pemertahanan Bahasa

Masalah pemertahanan bahasa adalah masalah khas dalam masyarakat multilingual (Fasold, 1984 :213). Berpindah bahasa sebernarnya merupakan suatu indikator kematian bahasa. Karena orang itu mulai meninggalkan bahasanya.

(24)

Proses itu sudah barang tentu tidak secara total dan secara drastis. Gejala yang secara umum dijumpai adalah lapisan atau kelompok tua lebih bertahan pada bahasanya, sedang kelompok muda lebih mudah terangsang untuk memakai sesuatu yang baru, yang mencerminkan kedinamisan (Fasold, 1984:215).

Setiap dwibahasawan mempunyai resiko bahasa yang satu kadang-kadang hilang. Bahasa dalam guyup eka bahasa sebenarnya pasti dapat dipertahankan sepanjang keekabahasawan itu tetap jaya. Banyak juga guyup dwibahasa tetap dwibahasa selama beberapa puluh atau ratus tahun, sehingga keberadaan kedwibahasaan kemayarakatan tidak selalu berarti akan terjadi pergeseran (Sumarsono, 2002:236).

Siregar (1987) mengajukan dua jenis pemertahanan bahasa yang mungkin terjadi pada masyarakat bahasa, yaitu pemertahanan bahasa pasif dan pemertahanan bahasa aktif. Pemertahanan bahasa yang pasif adalah ciri masyarakat bahasa yang didalamnya terdapat nilai dan sikap yang bertumpang tindih. Artinya, meskipun anggota masyarakat menganggap bahwa bahasa daerahnya sebagai lambang jati diri etnik tetapi tidak sejalan dengan perilaku bahasanya di dalam kegiatan berbahasa. Dengan kata lain, anggota masyarakat tidak menggunakan bahasa daerahnya secara teratur sesuai dengan fungsinya sebagai lambang kedaerahan. Sedangkan, pemertahanan bahasa aktif adalah terdapat hubungan yang hampir satu lawan satu diantara bahasa dengan konteks sosial. Ciri masyarakat bahasa yang didalamnya terdapat dua atau lebih nilai, sikap dan perilaku bahasa yang tidak tumpang tindih (Siregar, 1998:14).

(25)

1.7. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (KBBI, 2002: 740). Adapun yang menjadi bagian-bagian dari metode penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.7.1. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Batak Toba yang berdomisili di wilayah Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Yang dimaksud dengan masyarakat Batak Toba adalah orang yang mengidentifikasikan diri sebagai orang Batak Toba dan menggunakan marga sebagai penanda etnik.

Sampel penelitian ini ditetapkan berjumlah empat puluh responden dari populasi dengan cara menstratifikasi populasi berdasarkan tingkat usia, yakni dua puluh responden golongan tua dan dua puluh responden golongan muda, yang masing-masing golongan terdiri atas sepuluh laki-laki dan sepuluh perempuan dengan pemilahan usia sebagai berikut :

a) Mewakili Golongan Muda ; usia 17-30 tahun b) Mewakili Golongan Tua ; usia 31-50 tahun

Pemilihan dan pemilahan sampel itu dilakukan atas dasar pertimbangan kemudahan pemerolehan responden. Selain itu tingkat usia responden merupakan faktor penting dalam melakukan interaksi sosial. Dalam masyarakat Batak Toba, faktor usia berkaitan dengan kedudukan dan status seseorang atau kelompok orang dalam struktur keluarga atau kelompok sosial. Dalam kegiatan agama misalnya, rentang usia yang disebutkan di atas merupakan kelompok pemilahan

(26)

usia dalam kegiatan ibadah. Selain itu, rentang usia pada golongan muda dianggap penulis masih usia produktif, yakni memiliki mobilitas sosial tinggi, baik masih menempuh pendidikan maupun bekerja, sehingga lebih sering melakukan interaksi di luar lingkungan tempat tinggal, yang kemudian dimungkinkan terjadi fenomena kebahasaan mengenai pemilihan, penggunaan dan sikap bahasa.

Sejalan dengan itu, pemilihan responden juga dilakukan dengan memperhatikan syarat-syarat penentuan responden. Adapun syarat-syarat pemilihan responden yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan kriteria sebagai berikut :

a) Masyarakat Batak Toba berusia 17 sampai dengan 50 tahun yang sekarang tinggal di Kelurahan hutabarangan, Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga.

b) Tidak pernah atau tidak lama meninggalkan daerah asal. c) Setidak-tidaknya berpendidikan SD,

d) Dapat berbahasa Indonesia,

e) Sehat dan tidak mempunyai cacat wicara, f) Bersedia menjadi responden,

g) Tidak mudah tersinggung, jujur, terbuka, sabar, dan ramah, h) Teliti, cermat, dan mempunyai daya ingat yang baik, dan

i) Tidak mempunyai kecurigaan apapun terhadap penelitian yang dilakukan.

(27)

1.7.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan, yakni penulis langsung terjun ke daerah penelitian untuk mengumpulkan data. Penelitian lapangan dapat juga dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian kualitatif atau sebagai metode untuk mengumpulkan data kualitatif (Moleong, 2006). Dengan metode itu penulis secara langsung memperhatikan, mendengar dan mencatat data yang terdapat di lapangan. Selain itu penulis juga mengumpulkan keterangan-keterangan lain yang tidak terdapat dalam daftar tanyaan (kuesioner) yang melengkapai bahan-bahan yang diperlukan. Demikian juga, hal-hal yang berkaitan dengan keadaan sosial dan lingkungan daerah penelitian dapat diamati dengan lebih baik.

Teknik yang dipakai adalah teknik wawancara, pengamatan, dan kuesioner yang disebarkan (Moleong, 2006: 174-232). Dengan teknik wawancara didapat data mengenai situasi kebahasaan secara umum, pemakaian bahasa, sikap bahasa dan kepedulian mereka terhadap bahasa-bahasa yang ada. Dengan teknik pengamatan diperoleh data secara langsung tentang situasi penggunaan dan pemilihan bahasa di dalam beberapa peristiwa komunikasi dan interaksi dalam masayarakat Batak Toba yang ada di Kelurahan Hutabarangan, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga, Provinsi Sumatera Utara. Kemudian dengan teknik kuesioner yang disebarkan (Subroto, 2007:49), penulis dapat melengkapi data yang sudah diperoleh melalui teknik wawancara dan pengamatan. Dengan teknik kuesioner itu diperoleh data yang tidak dapat diperoleh secara langsung. Misalnya, hal-hal yang bersifat psikologis ( tentang sikap) yang tidak

(28)

dimungkinkan dengan teknik wawancara. Dengan demikian, ketiga teknik tersebut dimaksudkan untuk saling mengisi kekurangan masing-masing dan memadukan seluruh data dalam satu kesatuan.

1.7.3. Metode dan Teknik Analisis Data

Pada tahap analisis data, data yang terkumpul melalui pengamatan, wawancara, maupun kuesioner dianalisis untuk mendukung tujuan penelitian. Data yang terkumpul itu merupakan satu kesatuan yang saling mendukung, walaupun diperoleh dengan menggunakan cara yang berbeda-beda. Artinya, data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara dideskripsikan dengan diikuti pertimbangan-pertimbangan lain yang didapatkan dari hasil kuisioner. Dengan demikian, sehubungan dengan teknik penganalisisan data, maka metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif (Moleong, 1993: 15-21). Metode kualitatif digunakan bersifat deskriptif yang bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan sifat (karakteristik) data yang sebenarnya yang mampu melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi sifat data yang diperoleh. Sementara itu, metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis data yang bersifat kuantitas yang didapat dari pengisian kuesioner. Baik pengamatan, wawancara, dan kuisioner saling mengisi kekurangan masing-masing dan memadukan seluruh data dalam satu kesatuan. Perbedaan antara data yang diperoleh dengan wawancara dan pengamatan di satu pihak dan hasil dari kuisioner di lain pihak adalah data yang dihasilkan dari kuisioner dianalisis dengan menggunakan pemersentasean hasil pengumpulan jawaban yang diperoleh dari kuesioner itu.

(29)

Data yang diperoleh melalui pengamatan dan wawancara berupa hasil tuturan-tuturan dianalisis secara kualitatif yang bersifat deskriptif. Data tersebut terjaring melalui perekaman tuturan bahasa Batak Toba dari berbagai situasi, kemudian rekaman didengarkan kembali, diputar berulang-ulang sampai didapatkan hasil transkrip yang jelas. Kemudian setelah selesai mentranskripsikan, tuturan-tuturan tersebut dipilah, diuraikan, dan dijelaskan berdasarkan ranah penggunaan bahasanya.

Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisis secara kuantitatif. Di dalam kuisioner penelitian ini terdapat tiga bagian yang dipisah agar memudahkan penganalisisan dan mencapai tujuan penelitian. Seperti halnya model kuisioner yang pernah dilakukan oleh Bahren (1998) yang memilah pertanyaan menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi tentang latar belakang responden, bagian kedua tentang kemampuan dan penggunaan bahasa responden, dan bagian ketiga mengenai sikap bahasa responden.

Untuk pernyataan berkaitan latar belakang responden dipilah berdasarkan usia kemudian hasil yang didapatkan dimasukkan berdasarkan golongan tua dan golongan muda. Hasil ini dibuat dalam bentuk tabel yang sangat berguna untuk analisis selanjutnya. Adapun daftarnya dilampirkan dalam daftar lampiran.

Untuk pertanyaan yang berkaitan dengan kemampuan dan penggunaan bahasa responden digunakan rumus :

n1 + n2 + …. n20 x 100% N

(30)

Dalam hal ini, n1 sampai n20 adalah responden yang memberikan jawaban yang diuraikan berdasarkan pemilihan bahasanya. Kemudian N adalah jumlah seluruh responden per golongan. Hasil yang didapatkan akan memperlihatkan kemampuan dan kecenderungan pemilihan atau penggunaan bahasa.

Untuk pertanyaan yang berkaitan dengan sikap bahasa responden digunakan skala sikap untuk mengukur apakah responden sangat setuju atau tidak setuju terhadap objek sikap. Salah satu skala yang lazim dipakai adalah Likert Scale (Alwasilah, 2005 : 38). Skala Likert adalah alat ukur yang paling popular digunakan untuk meneliti sikap bahasa hingga saat ini (Ferguson:1952, Edward:1957 dalam Karsono, 1986:84). Model skala likert ini dikenal dengan Method Of Summated Ratting yang dikembangkan pada tahun 1932. Untuk setiap ciri karakteristik yang berkaitan dengan sikap bahasa dihitung berdasarkan frekuensi, persentase, dan angka rata-rata nilai (mean). Angka nilai rata-rata tersebut dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert, yaitu dengan meminta responden menandai salah satu posisi pada skala penilaian (rating scale), yakni 1-5 sesuai dengan pilihan bahasa dan kesetujuan atau ketidaksetujuannya atas sebuah pertanyaan. Penskoran setiap jenis respon terhadap setiap pernyataan akan mendapat bobot nilai sesuai dengan arah pernyataannya. Sistem penskoran untuk pernyataan yang positif adalah nilai 5 untuk sangat setuju, 4 untuk setuju, 3 untuk kurang setuju, 2 untuk tidak setuju, dan 1 untuk sangat tidak setuju. Sedangkan penskoran untuk pernyataan negatif merupakan kebalikan dari penskoran pernyataan positif, yakni : nilai 1 untuk sangat setuju, 2 untuk setuju, 3 untuk kurang setuju, 4 untuk tidak setuju, dan 5

(31)

untuk sangat tidak setuju. Sebagai contoh, dalam pernyataan positif kuisioner : Bahasa Batak Toba diperlukan sebagai lambang atau identitas suku Batak Toba. Sedangkan contoh pernyataan negatif dalam kuisioner : Bahasa Batak Toba tidak memiliki tempat lagi di kehidupan modern sekarang.

Yang kemudian akan dilakukan pemersentasean terhadap jawaban-jawaban yang dipilih, yaitu untuk pernyataan positif a) sangat setuju (SS) diberi nilai 5 ; b) setuju (S) diberi nilai 4 ; c) kurang setuju (KS) diberi nilai 3 ; d) tidak setuju (TS) diberi nilai 2 ; dan (e) sangat tidak setuju (STS) diberi nilai 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif a) sangat setuju (SS) diberi nilai 1 ; b) setuju (S) diberi nilai 2 ; c) kurang setuju (KS) diberi nilai 3 ; d) tidak setuju (TS) diberi nilai 4 ; dan (e) sangat tidak setuju (STS) diberi nilai 5.

Berdasarkan jawaban yang diberikan responden inilah nantinya akan diketahui nilai rata-rata (mean) untuk setiap pertanyaan. Nilai rata-rata itu diperoleh dengan menggunakan Rumus :

(n1 x 1) + (n2 x 2) + …. (n5 x 5) n1 + n2 + ….n5

Dalam hal ini, n1 adalah jumlah responden yang memberikan nilai 1 untuk karakteristik yang bersangkutan dan begitu seterusnya sampai n5. n5 adalah jumlah responden yang memberikan nilai 5 untuk karakteristik yang bersangkutan. Kemudian nilai rata-rata ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok, misalnya nilai 1,00 - 3,00 dianggap atau ditafsirkan tidak pernah dan itu dikategorikan sikap negatif. Sementara itu, nilai 3,10 - 5,00 dianggap selalu dan dikategorikan sebagai sikap positif.

(32)

Instrumen pengumpul data sikap bahasa dalam penelitian ini dibagi tiga indikator, yaitu :

1) Kemampuan berbahasa Batak Toba, bahasa Indonesia, bahasa Pesisir Sibolga.

2) Penggunaan bahasa oleh masyarakat Batak Toba pada ranah penggunaan bahasa.

3) Sikap masyarakat Batak Toba terhadap bahasa Batak Toba.

Pernyataan ini disusun sebanyak 40 butir soal, yaitu terdiri dari 4 butir soal untuk instrument 1, 18 butir soal untuk instrument 2, dan 18 butir soal untuk instrument 3. Pada instrument 3 dibagi lagi menjadi : 13 butir pernyataan positif dan 5 butir pernyataan negatif.

(33)

Tabel 1.1 INSTRUMEN Indikator Sub Indikator

Nomor Soal

Jumlah Soal

Penggunaan bahasa Bahasa ibu 1 1

Kemampuan berbahasa Bahasa Indonesia Bahasa Batak Toba Bahasa Pesisir Sibolga

2 3 4

3

Penggunaan bahasa Ranah rumah Ranah ketetanggaan Ranah pendidikan Ranah adat Ranah agama Ranah usaha Ranah pemerintah 5,6,7, 8,9, 10,11, 12,13, 14,15, 16,17,18, 19,20, 21,22 18

Sikap bahasa terhadap bahasa Batak Toba

Pernyataan Positif Kepercayaan diri Keakraban Kesetiaan Menjamin komunikasi berjalan baik Diperlukan sebagai lambang/identitas Kemajuan

Berperan penting untuk kehidupan etnis

Sangat berharga untuk dipelajari Suka menggunakan Suka mendengarkan 23 24 25 26 27 29 33 34 38 39 10 Pernyataan Negatif : Tidak diperlukan sebagai lambang/identitas

Keterbelakangan

Tidak dipakai dilingkungan Menghabiskan waktu Tidak memiliki tempat pada kehidupan modern

Tidak perlu dipelajari anak-anak Rendah diri Sulit mempelajari 28 30 31 32 35 36 37 40 8

(34)

1.7.4. Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian data dilakukan dengan menggunakan dua metode, yakni metode penyajian informal dan formal. Metode penyajian informal digunakan pada pemaparan hasil analisis data berupa perumusan dengan kata-kata biasa, sedangkan penyajian formal adalah digunakan pada pemaparan hasil analisis data berupa perumusan dengan tanda dan lambang-lambang, seperti tabel, tanda kurung, tanda bintang, tanda diagram, dan sebagainya (Sudaryanto,1993:145).

Gambar

Tabel 1.1  INSTRUMEN  Indikator  Sub Indikator

Referensi

Dokumen terkait

Tipe ungkitan ini diterapkan pada desain GTSKL dukungan gigi, yaitu dengan penempatan rest di disto - oklusal sebagai fulkrum pada gigi penyangga sisi mesial daerah edentulus

IB: Dengan menjumlahkan semua panjang sisi bangun segitiga. Dari uraian diatas dapat diperoleh penjelasan bahwa cara yang digunakan IB dalam mengerjakan soal tidak perlu

Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs); berkaitan dengan proses pengembangan akan potensi yang sesungguhnya dari seseorang, kebutuhan untuk menunjukkan

Pada jenjang pendidikan SMP Negeri dan Swasta, jumlah sekolah pada Tahun 2010 masing-masing adalah 30 dan 3 sekolah dengan jumlah guru sebanyak 417 orang untuk SMP Negeri,

Berdasarkan dengan judul penulisan hukum, yaitu Kebijakan Penenggelaman Kapal Asing Pelaku Illegal Fishing Oleh Pemerintah Indonesia Dalam Konvensi Hukum Laut 1982,

Sedangkan, jika nilai probabilitas F- Statistik ≤ taraf signifikan (α) itu menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel terikat. Taraf

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi perbendaharaan kepustakaan IAIN Tulungagung dan dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya

Batu Sigadap merupakan bentuk persidangan dalam masyarakat Silalahi yang menekankan aspek kejujuran, jika ada pihak yang bertikai akan dibawa pada Batu Sigadapuntuk