• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran I

Peraturan Menteri

Negara Lingkungan Hidup Nomor : 20 Tahun 2008 Tanggal : 28 November 2008

PETUNJUK TEKNIS

STANDAR PELAYANAN MINIMAL

BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG.

Dengan meningkatnya berbagai usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan lahan dan/atau tanah, dan meningkatnya pengaduan masyarakat terkait adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup pada pemerintah provinsi, diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang optimal agar masyarakat mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karena itu, pemerintah provinsi perlu memberikan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup.

Dalam rangka pencapaian penerapan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah provinsi yang terkait dengan permasalahan lingkungan hidup di daerah kabupaten/kota terutama dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan teknis dan pengawasan, jenis pelayanan bidang lingkungan hidup daerah provinsi lebih ditekankan pada penyampaian informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dengan demikian, jenis pelayanan dasar bidang lingkungan hidup daerah provinsi diprioritaskan pada:

1. Informasi status mutu air.

2. Informasi status mutu udara ambien.

3. Tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

B. TUJUAN.

Petunjuk teknis ini bertujuan untuk memberikan panduan kepada pemerintah provinsi dalam penerapan pencapaian standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah provinsi secara bertahap.

(2)

C. RUANG LINGKUP.

Ruang lingkup standar pelayanan minimal daerah provinsi meliputi: 1. Pelayanan informasi status mutu air.

2. Pelayanan informasi status mutu udara ambien.

3. Pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Masing-masing jenis pelayanan tersebut dijabarkan secara rinci yang meliputi:

1. Gambaran umum. 2. Pengertian.

3. Indikator dan cara perhitungan. 4. Sumber data.

5. Batas waktu pencapaian. 6. Langkah kegiatan.

7. Rujukan/referensi.

II. PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU AIR A. GAMBARAN UMUM.

Penetapan status mutu air merupakan tahapan yang penting dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, karena akan menjadi titik tolak untuk pelaksanaan suatu program/kegiatan selanjutnya. Status mutu air juga merupakan hak masyarakat yang harus diakomodir, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran, bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air”. Penentuan status mutu air dan rencana tindak lanjutnya disajikan pada Gambar 1.

Dari Gambar 1, diilustrasikan secara sederhana, bahwa penentuan status mutu air pada suatu sumber air dilakukan dengan cara membandingkan hasil pemantauan kualitas air dengan baku mutu air (BMA) yang diterapkan pada sumber air tersebut. Baik atau buruknya kualitas air diindikasikan oleh parameter-parameter, antara lain parameter kadar polutan yang dikandungnya. Jika kadar polutan melebihi kadar maksimum yang dibakukan dalam BMA, air tersebut dinyatakan sebagai air yang cemar. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, bahwa air dinyatakan dalam kondisi cemar, jika mutu airnya tidak memenuhi BMA dan air dinyatakan dalam kondisi baik, jika mutu airnya memenuhi BMA.

Selanjutnya Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dinyatakan bahwa jika status mutu air dalam kondisi baik atau tidak tercemar, upaya

(3)

untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas air perlu dilakukan, dan jika status mutu air berada dalam kondisi cemar, dibutuhkan upaya penanggulangan dan pemulihan dengan menetapkan mutu air sasaran.

Penetapan status mutu air pada suatu sumber air dapat dilakukan jika tahapan-tahapan sebelumnya telah dilaksanakan yaitu penetapan kelas air dan BMA, penetapan titik pantau dan pemantauan kualitas air. Kegiatan pemantauan kualitas air di titik-titik pengambilan contoh merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Contoh hasil kegiatan pemantauan kualitas air disajikan pada Tabel 1.

Secara sederhana, penentuan status mutu air dilakukan dengan cara membandingkan hasil pemantauan kualitas air dengan BMA yang diterapkan pada sumber air tersebut, namun mengingat jumlah parameter dalam BMA tidak sedikit (lihat Tabel 1), sehingga dengan hanya membandingkan masing-masing hasil pemantauan dengan BMA akan menghasilkan status mutu yang berbeda-beda untuk tiap parameter kualitas air. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu metode yang dapat memberikan status mutu yang merupakan gabungan dari semua parameter yang dipantau sehingga menjadi satu nilai yang menggambarkan status mutu air secara keseluruhan. BAKU MUTU AIR Pemantauan Kualitas Air Baik Cemar Upaya Penanggulangan dan Pemulihan Upaya Mempertahankan dan Meningkatkan Kualitas Air

Mutu Air Sasaran STATUS

MUTU AIR

(4)

Dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air telah diatur 2 (dua) metode untuk menentukan status mutu air yaitu metode storet dan metode indeks pencemaran. Pada metode storet, status mutu air, dengan menggunakan sistem klasifikasi US-EPA, dinyatakan sebagai berikut:

1. Kelas A : baik sekali, skor = 0  memenuhi baku mutu).

2. Kelas B : baik, skor antara -1 sampai dengan -10  cemar ringan). 3. Kelas C : sedang, skor antara -11 sampai dengan -30  cemar sedang). 4. Kelas D : buruk, skor ≤ -31  cemar berat).

Sedangkan metode indeks pencemaran dinyatakan bahwa nilai : 1. 0 ≤ PIj ≤ 1,0 : memenuhi baku mutu.

2. 1,0 < PIj ≤ 5,0 : cemar ringan. 3. 5,0 < PIj ≤ 10 : cemar sedang. 4. PIj > 10 : cemar berat.

Contoh hasil penetapan status mutu air yang menggunakan kedua metode tersebut disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

STATUS PENCEMARAN SUNGAI CISADANE TAHUN 2007

-70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 0 Sebelum Intake PDAM Cihuni Jembatan Gading Serpong Jembatan Cikokol Jembatan Robinson Bendung Pasar Baru

Bayur Kali Baru

S K O R S T O R E T CEMAR RINGAN CEMAR SEDANG CEMAR BERAT

(5)

Kewenangan penetapan status mutu air ada pada pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, namun karena penetapan kelas air pada sumber air skala provinsi dan penetapan baku mutu air lebih ketat berada dalam kewenangan pemerintah provinsi serta penetapan status mutu air berkaitan erat dengan penetapan kelas air dan baku mutu air tersebut, sehingga dalam standar pelayanan minimal ini, penetapan status mutu air menjadi bagian dari standar pelayanan minimal provinsi.

0 5 10 15 20 25 Atta Aw un Cib uria l, C isam pai Cile mbe r Jem bata n G ado g Kat ulam pa Sem pur Ked ung Hal ang Pon dok Raj ek Jem bata n P anus Kel apa Dua Co ndet Man gga rai Kw itang Gun ung Sah ari PIK 25 Mar 2004 15 Jun 2004 7 Sep 2004 21 Des 2004 CEMAR SEDANG CEMAR BERAT CEMAR RINGAN

Gambar 3. Contoh status mutu air menggunakan metode indeks pencemaran

(6)

HASIL PEMANTAUAN KUALITAS AIR DAS ABC PERIODE BULAN SEPTEMBER 2008 Baku Mutu Berdasarkan PP No: 82 Tahun 2001 tangggal 14 desember 2001

Sungai ABC ABC ABC ABC ABC Baku

Lokasi 1 2 3 4 5 Mutu

Koordinat Lokasi Lintang (S) -6.35889 -6.35917 -6.35500 -6.34917 -6.25917 Bujur (T) 106.24306 106.2225 106.23083 106.24806 106.28417 Tanggal 9/1/2008 9/2/2008 9/3/2008 9/4/2008 9/5/2008 Kelas Jam 11.30 12.15 12.14 11.45 12.55 II Parameter Satuan 1 2 3 4 5 10 FISIKA 1. Temperatur 0C 27.50 27.50 27.40 27.40 27.50 deviasi 3 2 Zat Terlarut/TDS mg/l 53.00 55.00 37.00 50.00 53.00 1000 3 Zat Tersuspensi/TSS mg/l 99 28 70.5 197 77 50 1 pH - 5.68 5.60 5.72 5.67 5.71 6-9 2 BOD mg/l 1.007 0.402 0.604 1.007 0.806 3 3 COD mg/l 30.217 29.502 29.217 28.731 29.778 25 4 Oksigen Terlarut/DO mg/l 4.429 4.026 4.228 3.825 4.278 4 5 fosfat/PO4 mg/l 0.015 0.012 0.008 0.010 0.008 0.2 6 Nitrat/NO3 mg/l 8.050 3.280 2.627 6.392 1.827 10 7 Amonia mg/l 0.005 0.004 0.002 0.005 0.004 (-) 8 Arsen mg/l - - - 1 9 Cobalt/Co mg/l 0.0099 0.0096 0.0095 0.0097 0.0098 0.2 10 Barium mg/l - - - (-) 11 Boron mg/l - - - 1 12 Selenium mg/l - - - 0.05 13 Kadmium Total/Cd mg/l 0.0097 0.0097 0.0096 0.0098 0.0099 0.01 14 Khrom (VI) mg/l - - - 0.05 15 Tembaga Total/Cu mg/l 0.0122 0.0124 0.0116 0.0124 0.0126 0.02 16 Besi Total/Fe mg/l 0.8266 0.8371 0.6539 0.8927 0.8975 (-) 17 Timbal Total/Pb mg/l 0.0116 0.0119 0.0112 0.0119 0.0121 0.03 18 Mangan/Mn mg/l 0.0168 0.0174 0.0153 0.0179 0.0187 (-) 19 Air Raksa mg/l - - - 0.002 20 Seng Total/Zn mg/l 0.0165 0.0168 0.0148 0.0175 0.0183 0.05 21 Clorida/Cl mg/l 5.339 11.650 2.912 3.883 5.334 600 22 Sianida mg/l tt tt tt tt tt 1 23 Flourida mg/l - - - 1.5 24 Nitrit/NO2 mg/l 0.153 0.144 0.073 0.092 0.104 0.05 25 Sulfat/SO4 mg/l 4.370 3.450 0.588 1.785 1.620 400 26 Khlorin Bebas mg/l - - - 0.03 27 Belerang sbg H2S mg/l - - - 0.002 1 E Coli koloni/100 ml 3400 4400 3400 6000 2300 1000

2 Total Coli koloni/100 ml 28000 28000 24000 54000 22000 5000 RADIOAKTIVITAS

1 Gross-A Bq/L - - - 0.1

2 Gross-B Bq/L - - - 1

KIMIA ORGANIK

1 Minyak Dan Lemak ug/l 1000 1000 500 1000 500 1000

2 MBAS ug/l 200 200 200 200 200 200 3 Fenol ug/l 0.0302 0.0265 0.0235 0.0274 0.0259 1 1 Debit m3/detik 70.12 11.22 65.31 65.11 40.15 -2 Muka Air cm 45 10 20 20 20 -KIMIA ANORGANIK MIKROBIOLOGI

LAIN-LAIN (Tidak diatur PP 82/01)

(7)

B. PENGERTIAN.

Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:

1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil.

2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di bawah dan di atas permukaan air, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk dan muara.

3. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan.

4. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan.

5. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.

6. Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang direncanakan untuk dapat diwujudkan dalam jangka waktu tertentu melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengendalian pencemaran air dan pemulihan kualitas air.

C. INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN. 1. Indikator.

Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya.

2. Cara Perhitungan. 3. Contoh Perhitungan.

Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya kepada masyarakat sebanyak 1 (satu) sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5 (lima) sumber air, prosentasenya menjadi:

Jumlah sumber air yang

dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan

diinformasikan status mutu airnya.

Prosentase (%) jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya.

Jumlah sumber air yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi.

x 100%

(8)

Selanjutnya pada tahun berikutnya:

Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya kepada masyarakat bertambah sebanyak 1(satu) sumber air lagi sehingga menjadi 2 (dua) sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5 (lima) sumber air, prosentasenya menjadi 2/5 = 40%.

D. SUMBER DATA.

1. Laporan instansi teknis terkait antara lain: instansi lingkungan hidup, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan.

2. Hasil pemantauan (data primer). 3. Sumber lain yang relevan.

E. BATAS WAKTU PENCAPAIAN.

1. Sampai dengan tahun 2009 : 20 % 2. Sampai dengan tahun 2010 : 40 % 3. Sampai dengan tahun 2011 : 60 % 4. Sampai dengan tahun 2012 : 80 % 5. Sampai dengan tahun 2013 : 100 % F. LANGKAH KEGIATAN.

1. Perencanaan pemantauan kualitas air. a. Pengumpulan data sekunder.

Data sekunder berguna untuk mendukung interpretasi data primer yang telah dihasilkan. Data sekunder yang perlu dikumpulkan antara lain gambaran lokasi pemantauan (panjang, lebar, sumber air, peruntukan, batas administrasi sumber air, peta lokasi, data pemantauan sebelumnya (jika ada), kegiatan sekitar lokasi pemantauan, dan sumber pencemar.

b. Penyusunan tim pemantauan kualitas lingkungan.

Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di setiap daerah provinsi harus menyusun tim teknis pemantauan yang melibatkan berbagai personil seperti pada Tabel 2 di bawah ini yang meliputi:

Prosentase (%) jumlah sumber air yang

dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya. = x 100% = 1 5 20 %

(9)

Tabel 2. Susunan tim teknis pemantauan kualitas lingkungan.

No. Peranan Uraian Pekerjaan

1 Koordinator Bertanggungjawab terhadap keseluruhan proses pelaksanaan pemantauan kualitas air

2 Personil perencana

program pemantauan Merencanakan program pemantauan, dan menyusun proposal sesuai tujuan pemantauan

3 Personil pengambil

sample Mengambil sampel di badan air sesuai tujuan pemantauan dan standar yang ditetapkan

4 Personil pengujian

laboratorium Melaksanakan pengujian parameter kualitas air sesuai standar yang ditetapkan

5 Personil pengolah data dan pembuatan laporan

Melakukan pengumpulan data hasil analisis yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh penyelia laboratorium, memeriksa integritas data, melakukan analisis data (membandingkan dengan kriteria mutu air kelas I sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air,

melakukan penghitungan status mutu air berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman

Penentuan Status Mutu Air, dan menginterpretasikan data sesuai tujuan pemantauan, serta menyusun laporan sesuai format yang

ditentukan. c. Penetapan sumber air.

Lokasi pemantauan ditetapkan terutama untuk sumber air yang diperuntukkan untuk Air Baku Air Minum (ABAM) dengan parameter sesuai kelas 1 (satu) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

d. Penetapan tujuan pemantauan.

Pemantauan bertujuan untuk mendapatkan data kualitas air sungai yang bermanfaat bagi masing-masing daerah provinsi sebagai bahan untuk penyusunan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan air sungai.

(10)

e. Survei pendahuluan.

Digunakan sebagai pertimbangan untuk penyusunan perencanaan pemantauan kualitas sumber air yang dijadikan sebagai ABAM termasuk dalam hal penentuan titik pantau yang representatif, frekuensi pengambilan contoh air yang seharusnya diambil, sumber pencemar yang berpengaruh terhadap sumber air, kemudahan akses, dan kebutuhan biaya. Survei pendahuluan ini diperlukan untuk kegiatan pemantauan pada lokasi dan titik pemantauan yang baru. f. Disain pemantauan.

1). Identifikasi sumber air dan penetapan lokasi sumber air yang akan dipantau paling sedikit 5 (lima) lokasi sumber air.

2). Penetapan lokasi sumber air diprioritaskan pada sumber air untuk dijadikan sebagai ABAM.

3). Penetapan titik pantau paling sedikit 3 (tiga) titik yang mewakili daerah hulu, tengah dan hilir sesuai dengan SNI 6989.57:2008 Air dan Air limbah – Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air Permukaan, dan – Bagian 58: Metoda Pengambilan Contoh Air tanah.

4). Penetapan parameter pemantauan sesuai dengan kriteria mutu air kelas I berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

5). Penetapan waktu dan frekuensi pemantauan (waktu pengambilan contoh air dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, yaitu pada musim hujan dan musim kemarau disesuaikan dengan kondisi cuaca).

2. Pelaksanaan pemantauan.

a. Pelaksanaan pengambilan contoh air.

Setelah lokasi sumber air yang akan dipantau kualitasnya ditetapkan dilakukan penetapan titik pantau dengan mengacu pada Metode Pengambilan Contoh Air Permukaan, SNI 6989.57:2008 Air dan Air Limbah-Bagian 57 dan selanjutnya dilakukan pengambilan contoh air pada sumber air yang telah ditetapkan tersebut.

b. Analisis laboratorium.

Pelaksanaan analisis contoh air dapat dilakukan melalui laboratorium yang kompeten dan menerapkan sistem mutu.

c. Verifikasi dan validasi data.

Laboratorium harus melakukan verifikasi dan validasi data untuk menjamin mutu data hasil pengujian.

d. Analisis dan interpretasi data.

Analisis dan interpretasi data hasil pengujian merupakan suatu proses pengolahan data untuk menampilkan informasi yang sesuai dengan tujuan pemantauan yang mudah dipahami oleh pengguna dan pengambil kebijakan.

Data hasil pengujian yang telah dikeluarkan oleh laboratorium dan telah melalui proses verifikasi dan validasi data, harus ditabulasikan dalam bentuk tabel data.

(11)

Analisis dan interpretasi meliputi beberapa tahapan seperti yang tercantum dalam Gambar 4 di bawah ini:

Gambar 4. Alur kerja analisis dan interpretasi data e. Penyebaran Informasi.

Hasil analisis dan interpretasi data dari angka 2 huruf d diinformasikan kepada masyarakat melalui :

1). Papan pengumuman. 2). Media cetak.

3). Media elektronik. 3. Penetapan status mutu air.

Data hasil analisis laboratorium dilakukan verifikasi dan validasi kemudian diolah dalam bentuk perhitungan status mutu air dengan metode storet atau indeks pencemaran sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.

G. RUJUKAN/ REFERENSI.

Peraturan perundang-undangan, pedoman/standar teknis yang terkait dengan pelayanan informasi status mutu air antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.

4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.

Persiapan data

Pemeriksaan integritas data

Analisis dan interpretasi data

1. Membuat grafik garis atau batang yang menyatakan konsentrasi parameter dari hulu sampai ke hilir

2. Membandingkan dengan kriteria mutu air pada kelas air yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air.

3. Menghitung status mutu air dengan metode indek pencemar (IP) dan/atau metode storet sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.

(12)

5. Pedoman/Standar Teknis:

a. SNI 6989.57:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air Permukaan.

b. SNI 6989.58:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 58: Metoda Pengambilan Contoh Air Tanah.

III. PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU UDARA AMBIEN A. GAMBARAN UMUM.

Fakta empirik menunjukkan bahwa udara merupakan komponen kehidupan yang sangat penting bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (seperti tumbuhan dan hewan). Tanpa makan dan minum manusia bisa hidup untuk beberapa hari, tetapi tanpa udara manusia hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja. Tidak seperti air yang bisa dipilih untuk diminum, sekali udara tercemar susah untuk membersihkannya. Karena manusia tidak dapat memilih udara yang dihirup.

Kualitas udara (ambien) sangat berhubungan dengan tingkat kesehatan masyarakat dan kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tentunya akan meningkatkan penggunaan energi. Semakin banyak energi yang dibakar pada akhirnya akan meningkatkan pencemaran udara. Udara yang tercemar (tidak memenuhi baku mutu udara ambien) dapat meningkatkan berbagai jenis penyakit seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) atau bahkan dapat menyebabkan kematian apabila kadarnya di udara tidak sehat atau berbahaya untuk jangka waktu yang panjang.

Penduduk Indonesia diproyeksikan akan meningkat antara tahun 2000 dan 2025 dari sekitar 206 juta menjadi sekitar 274 juta. Pada tahun 2000 kebanyakan penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan, namun lambat laun jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan semakin menurun, yang disebabkan oleh perkembangan pedesaan menjadi kota-kota baru serta urbanisasi. Apabila pada tahun 2000 jumlah penduduk perkotaan hanya berjumlah sekitar 47 juta jiwa, pada tahun 2025 jumlah penduduk perkotaan akan meningkat menjadi sekitar 187 juta jiwa atau sekitar 68% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2025. Oleh karena itu, tingkat pencemaran udara pada masa yang akan datang akan semakin meningkat khususnya di wilayah perkotaan dan industri serta wilayah permukiman.

(13)

Gambar. 5 Dampak polusi udara ambien pada kesehatan Penjelasan gambar pencemaran udara dari sumber :

1. Pembakaran terbuka (Open Burning), contoh: pembakaran sampah, TPA (tempat pengelolaan sampah ).

2. Tranportasi, contoh: sepeda motor, mobil penumpang , bus dan truk. 3. Permukiman, contoh: pemakaian gas LPG, kompor minyak tanah, briket

batu bara dan tungku bakar.

4. Industri, contoh: pencemaran udara dari cerobong pabrik industri agro, manufaktur dan industri minyak dan gas bumi.

B. PENGERTIAN.

Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan:

a. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.

b. Status mutu udara ambien adalah tingkat kondisi mutu udara yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu udara yang ditetapkan.

c. Kawasan padat lalu lintas adalah daerah di wilayah perkotaan yang memiliki tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi terutama pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari.

d. Kawasan permukiman adalah daerah di wilayah perkotaan yang memiliki tingkat perumahan untuk tempat tinggal yang tinggi.

e. Kawasan Industri adalah kawasan yang merupakan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan

(14)

sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Contoh: kawasan industri Pulo Gadung di Jakarta, KIM di Medan, Rungkut di Surabaya, KIMA di Makassar. Apabila di daerah tidak mempunyai kawasan industri, pengukuran bisa dilakukan pada daerah sekitar industri yang berpotensi mencemari udara di sekitarnya.

f. Kualitas udara ambien yang dipantau adalah partikulat atau total suspended particulate (TSP) dan CO untuk lokasi padat lalu lintas , PM10 (partikel dengan diameter di bawah 10 mikron) dan SO2 untuk kawasan industri dan O3 dan PM untuk lokasi permukiman.

g. Kualitas udara ambien yang diinformasikan adalah kualitas udara ambien pada saat dilakukan pengukuran parameter kunci di setiap lokasi pemantauan (permukiman, padat lalu lintas dan industri) dan diinformasikan mutu udara ambiennya dalam satu tahun.

C. INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN. a. Indikator:

Jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu udara ambiennya.

b. Cara Perhitungan:

c. Contoh Perhitungan:

Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambien dan diinformasikan mutu udara ambiennya di lokasi/kawasan padat lalulintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga prosentasenya:

Jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya di lokasi/kawasan padat lalu lintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri dalam 1 (satu) tahun dan diinformasikan mutu udara ambiennya

Jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi Prosentase (%) jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu udara ambiennya = X 100 % Prosentase (%) jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan

= X 100%

25 5

(15)

Selanjutnya pada tahun berikutnya:

jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu udara ambiennya di lokasi/kawasan padat lalulintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri bertambah sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota sehingga menjadi 10 (sepuluh) kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga prosentasenya menjadi 10/25 = 40%.

D. SUMBER DATA.

1. Hasil pemantauan kualitas udara ambien yang dipantau oleh pemerintah provinsi

2. Laporan tahunan hasil pemantauan kualitas udara ambien dari pemerintah kabupaten/kota (instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan).

Tabel 3. Contoh pelaporan udara ambien sekitar industri .

Kualitas Udara Ambien

Parameter Satuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5

SO2 µg/Nm3 28.19 12.01 0.69 ttd 0.21

Partikulat µg/Nm3 57.26 5.21 ttd ttd ttd

Tanggal 19 januari 2008

Penjelasan:

Lokasi 1 : lingkungan pabrik utara. Lokasi 2 : lingkungan pabrik selatan. Lokasi 3 : lingkungan pabrik barat. Lokasi 4 : lingkungan pabrik timur.

Lokasi 5 : lingkungan dalam pabrik (dekat cerobong).

Tabel 4. Contoh pelaporan udara ambien sekitar permukiman.

Kualitas Udara Ambien

Parameter Satuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5

O3 (Ozon) µg/Nm3 28.19 12.01 0.69 ttd 0.21

Partikulat µg/Nm3 57.26 5.21 ttd ttd ttd

Tanggal 19 januari 2008

Penjelasan:

Lokasi 1 : lingkungan permukiman utara. Lokasi 2 : lingkungan permukiman selatan. Lokasi 3 : lingkungan permukiman barat. Lokasi 4 : lingkungan permukiman timur.

(16)

Tabel 5. Contoh pelaporan udara ambien daerah transportasi : Kualitas Udara Ambien

Parameter Satuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5

CO ppm ttd ttd ttd ttd 1.25

Partikulat µg/Nm3 57.26 5.21 ttd ttd ttd

Tanggal 19 januari 2008

Penjelasan:

Lokasi 1 : daerah padat lalu lintas utara. Lokasi 2 : daerah padat lalu lintas selatan. Lokasi 3 : daerah padat lalu lintas barat. Lokasi 4 : daerah padat lalu lintas timur. Lokasi 5 : daerah padat lalu lintas tengah.

3. Data statistik kabupaten/kota atau data dari status lingkungan hidup daerah (SLHD).

4. Hasil pemantauan kualitas udara ambien dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup

5. Sumber lain yang relevan . E. BATAS WAKTU PENCAPAIAN.

1. Sampai dengan tahun 2009 : 20 % 2. Sampai dengan tahun 2010 : 40%. 3. Sampai dengan tahun 2011 : 60 % 4. Sampai dengan tahun 2012 : 80% 5. Sampai dengan tahun 2013 : 100% F. LANGKAH KEGIATAN.

1. Melakukan inventarisasi hasil laporan kualitas udara ambien dari kabupaten/kota dari berbagai sumber.

2. Melakukan inventarisasi laboratorium pengukuran udara yang ada di wilayahnya. Apabila daerah belum memiliki laboratorium yang bisa melakukan pengukuran udara ambien, daerah bisa melakukan kerjasama dengan laboratorium daerah lain atau dengan pihak ketiga.

3. Melakukan survei pendahuluan atau mengumpulkan data pada kawasan padat lalu lintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri di setiap kabupaten/kota.

4. Menetapkan 3 (tiga) lokasi pemantauan pada setiap kabupaten/kota. 5. Menetapkan kabupaten/kota yang akan dipantau berdasarkan skala

prioritas sesuai dengan kemampuan daerah dalam rangka memenuhi pencapaian standar pelayanan minimal.

6. Melakukan pengumpulan data melalui pengambilan dan pemeriksaan contoh udara pada setiap lokasi pemantauan tersebut. Ditetapkan minimal 1 (satu) titik pantau pada setiap lokasi pemantauan yang diambil 2 (dua) kali dalam setahun. Adapun parameter kunci yang diperiksa TSP atau PM10, CO, SO2, dan O3 (kawasan padat lalu lintas: TSP dan CO,

(17)

kawasan permukiman: PM10, dan O3 dan kawasan industri: PM10 dan SO2). Khusus untuk pemantauan parameter SO2 dan NO2 di udara ambien dapat menggunakan metoda pasif sampler yang sederhana, murah dan mudah. Pelaksanaan pemantauan mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-205/BAPEDAL/07/1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. Alat ukur udara ambien pada Gambar 6.

G.

Gambar 6 . Peralatan pengukur udara ambien (TSP, O3, dan SOx). 7. Hasil pemantauan kualitas udara dari masing-masing lokasi dianalisis

untuk menetapkan status mutu udara ambien dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

8. Penyusunan laporan dan penyampaian informasi dilakukan dengan melibatkan pihak laboratorium dan unit/instansi terkait di daerah.

G. RUJUKAN/REFERENSI.

Peraturan perundang-undangan dan pedoman yang terkait dengan pelayanan informasi status mutu udara ambien antara lain:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1999 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara.

3. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak.

4. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 107/BAPEDAL/ II/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara.

5. Pedoman Pemantauan Kualitas Udara Jalan Raya Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tahun 2007.

(18)

IV. PELAYANAN TINDAK LANJUT PENGADUAN MASYARAKAT AKIBAT ADANYA DUGAAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP.

A. GAMBARAN UMUM

Meningkatnya pembangunan di berbagai sektor telah mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi tersebut dan didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mendapatkan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, menyebabkan makin meningkatnya pengaduan masyarakat akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah pengaduan masyarakat yang masuk ke instansi lingkungan hidup provinsi meningkat setiap tahunnya rata-rata 10% (Tahun 2005-2008).

Salah satu upaya pemerintah untuk menyikapi kondisi tersebut dengan peningkatan efektivitas pengelolaan pengaduan masyarakat. Berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan telah mengatur dasar hukum upaya pemerintah tersebut. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan hak kepada setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut juga mengatur, bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaan peran tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan cara menyampaikan informasi dan/atau laporan. Hak setiap orang untuk melaporkan adanya potensi maupun keadaan telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan juga diatur dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melipui:

1. Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun.

2. Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.

3. Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.

4. Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Dalam rangka menjamin hak dan peran setiap orang, instansi lingkungan hidup provinsi wajib mengelola pengaduan masyarakat. Tanggung jawab pengelolaan ini sebagai bentuk pelayanan tindak lanjut terhadap pengaduan tersebut. Tanggung jawab pemerintah provinsi untuk menerima laporan telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan kewajiban untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut dimandatkan oleh berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang meliputi:

1. Pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun.

(19)

2. Pasal 17 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.

3. Pasal 39 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. 4. Pasal 27 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82

Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Berdasarkan peraturan ini setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan kepada gubernur atau kepala instansi lingkungan hidup provinsi.

Untuk meningkatkan efektivitas waktu pengelolaan pengaduan masyarakat, instansi lingkungan hidup provinsi melalui gubernur atau kepala instansi yang bersangkutan dapat membentuk pos pengaduan lingkungan. Pos pengaduan ini berfungsi sebagai unit kerja yang mengkoordinir pengelolaan pengaduan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, bagi instansi yang belum memiliki unit kerja struktural yang bertanggung jawab untuk mengelola pengaduan. Sedangkan bagi instansi yang telah memiliki unit kerja struktural dimaksud akan berperan untuk meningkatkan koordinasi kerja antar unit kerja yang terlibat dalam pengelolaan pengaduan masyarakat.

Pengaduan masyarakat tentang kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang wajib dikelola oleh instansi lingkungan hidup provinsi meliputi:

1. Usaha dan/atau kegiatan yang lokasi dan/atau dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota.

2. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terjadi di wilayah 4-12 mil laut.

3. Usaha dan/atau kegiatan yang penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup provinsi.

4. Usaha dan/atau kegiatan yang izin usaha dan/atau izin lingkungannya diberikan oleh pejabat provinsi.

B. PENGERTIAN.

(20)

1. Pengaduan adalah pemberitahuan secara tertulis dan/atau lisan mengenai dugaan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup kepada instansi lingkungan hidup provinsi.

2. Pengelolaan pengaduan adalah upaya terpadu untuk menerima, menelaah, mengklasifikasi, memverifikasi dan mengajukan usulan tindak lanjut hasil verifikasi serta menginformasikan proses dan hasil pengelolaan kepada pengadu.

3. Mengklasifikasi pengaduan adalah mengelompokkan pengaduan berdasarkan aspek pencemaran dan/atau perusakan lingkungan serta aspek kewenangan dari instansi penerima pengaduan.

4. Verifikasi pengaduan adalah kegiatan untuk memeriksa kebenaran pengaduan.

5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

Pencemaran lingkungan hidup mencakup pencemaran air, laut, tanah, dan udara termasuk dalam hal ini yang berbentuk debu, kebauan, getaran dan kebisingan.

6. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Perusakan lingkungan hidup mencakup perusakan tanah, lahan dan hutan.

C. INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN.

1. Indikator

Jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti.

2. Cara Perhitungan Prosentase (%) jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti.

Jumlah pengaduan

masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti.

Jumlah pengaduan yang diterima instansi

lingkungan hidup provinsi dalam 1 (satu) tahun.

(21)

3. Contoh Perhitungan:

Misalkan : Pada tahun 2009 instansi lingkungan hidup provinsi menerima 50 (lima puluh) pengaduan. Dari 50 (lima puluh) pengaduan, 30 (tiga puluh) pengaduan telah ditindaklanjuti, sehingga prosentase pengaduan yang ditindaklanjuti sebesar 60 %.

D. SUMBER DATA.

Data didapat dari berbagai sumber, baik secara lisan maupun tertulis antara lain:

1. Masyarakat.

2. Lembaga swadaya masyarakat.

3. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 4. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.

5. Instansi terkait di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota. 6. Media cetak dan elektronik.

E. BATAS WAKTU PENCAPAIAN.

1. Sampai dengan tahun 2009 : 60% 2. Sampai dengan tahun 2010 : 70% 3. Sampai dengan tahun 2011 : 80% 4. Sampai dengan tahun 2012 : 90% 5. Sampai dengan tahun 2013 : 100% F. LANGKAH KEGIATAN.

Instansi lingkungan hidup provinsi paling lama jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pengaduan dari masyarakat melakukan pengelolaan pengaduan dengan tahapan:

1. Mencatat pengaduan dalam buku pengaduan. 2. Menelaah dan mengklasifikasikan pengaduan.

Telaahan dan kalsifikasi pengaduan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya pengaduan. Dalam rangka telaahan dan klasifikasi dapat dilakukan koordinasi dengan instansi/pihak terkait. Berdasarkan hasil telaahan dan klasifikasi pengaduan dapat dikategorikan:

Prosentase (%) jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti

=

30

50

(22)

a. Tidak termasuk pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, segera diteruskan kepada instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan dengan tembusan kepada pihak yang mengadukan.

b. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, namun bukan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup provinsi segera diserahkan kepada Kementerian Negara Lingkungan Hidup atau kepada instansi lingkungan hidup kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

c. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup provinsi, segera dilakukan verifikasi lapangan paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak selesainya telaahan dan klasifikasi.

3. Melakukan verifikasi pengaduan.

Pelaksanaan verifikasi harus diselesaikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila dalam jangka waktu tersebut pelaksanaan kegiatan verifikasi belum selesai dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Verifikasi dilakukan dengan berpedoman pada: a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004

tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan.

b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas.

c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota.

d. Pedoman Verifikasi Pengaduan.

Berdasarkan hasil verifikasi, tim/petugas verifikasi wajib membuat laporan verifikasi, termasuk mengajukan usulan penanganan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya verifikasi kepada pejabat yang menugaskan verifikasi.

4. Usulan tindak lanjut.

Pejabat yang berwenang di instansi lingkungan hidup provinsi harus memberikan keputusan menolak atau menerima usulan tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan. Usulan tindak lanjut penanganan dapat berupa pembinaan teknis atau penegakan hukum (administrasi, perdata dan pidana) sesuai dengan hasil verifikasi. Apabila menyetujui usulan tindak lanjut penanganan tim/petugas verifikasi, selanjutnya ditindaklanjuti atau diajukan atau diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Usulan

(23)

tindak lanjut penanganan merupakan akhir dari tahapan tindak lanjut (pengelolaan) pengaduan masyarakat yang perlu dilakukan verifikasi. Jenis usulan tindak lanjut penanganan berdasarkan hasil verifikasi meliputi:

a. Diteruskan kepada instansi teknis yang berwenang apabila bukan merupakan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

b. Dilakukan pembinaan teknis dan pemantauan, apabila tidak terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

c. Dikenakan sanksi administrasi (oleh pejabat yang berwenang), apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, tetapi tidak mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

d. Dikenakan sanksi administrasi dan/atau penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan atau di luar pengadilan, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan telah menimbulkan kerugian bagi orang atau lingkungan hidup.

e. Dilakukan sanksi administrasi dan/atau penegakan hukum pidana, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau ada indikasi tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Direkomendasikan kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan atau meninjau kembali kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup karena belum adanya atau kesalahan kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah.

Mekanisme pengelolaan pengaduan sebagaimana dijelaskan di atas tertuang dalam bagan alir Gambar 7.

(24)

Gambar 7. Mekanisme pengelolaan pengaduan kasus lingkungan hidup G. RUJUKAN/REFERENSI.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan antara lain:

1. Undang-Undang:

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

2. Peraturan Pemerintah:

a. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

3. Peraturan/Keputusan Menteri:

a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah.

7 hr 7 hr

14 hr

7 hr

Pengaduan secara

tertulis atau lisan Instansi lingkungan hidup provinsi.

Telaahan dan klasifikasi pengaduan Pengaduan kasus lingkungan hidup, bukan kewenangan provinsi Kementerian Negara Lingkungan Hidup Usulan penanganan kepada pejabat yang berwenang Arah tindak lanjut

Menerima Atasan pengawas/

pemberi perintah

Usulan penanganan oleh tim Pengaduan kasus lingkungan hidup

Menolak Instansi terkait di provinsi 14 hr 30hr +30 hr Verifikasi 7 hr Bukan pengaduan kasus lingkungan hidup. Instansi teknis yang berwenang 30 hr + 30 hr Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota 7 hr 14 hr

(25)

b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas.

c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota.

d. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.

4. Peraturan/Keputusan Kepala Daerah.

Peraturan daerah provinsi atau keputusan gubernur yang mengatur tentang pengelolaan pengaduan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

RACHMAT WITOELAR

Salinan sesuai dengan aslinya Deputi V MENLH Bidang

Penaatan Lingkungan,

Gambar

Gambar 1. Status mutu air dan tindak lanjutnya
Gambar 2. Contoh status mutu air menggunakan metode soret
Gambar 3. Contoh status mutu air menggunakan metode indeks  pencemaran
Tabel 1. Contoh hasil pemantauan kualitas air
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam strategi pengajaran dan pembelajaran seni bahasa guru harus menetapkan objektif yang perlu dicapai oleh murid dengan merujuk Standard Kandungan dan

Pengujian kadar gula pereduksi pada pulp limbah kayu adalah untuk mengetahui kandungan monomer glukosa yang dihasilkan setelah proses sakarifikasi dan setelah fermentasi

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 MODEL BE-1..

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah - Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS TERHADAP

di Kabupaten Temanggung maka untuk melakukan langkah antisipasi dan penanganan penularan Corona Vidus Disease 2019 { Covid - 19) , perlu pedoman penyediaan dan pengelola ruang

Teknik pengambilan sampel menggunakan salah satu metode Non Probabilty Sampling yaitu Purposive Sampling di mana anggota populasi dipilih sesuai dengan masalah dan tujuan

Sebagai komponen penting dalam pendidikan tinggi kesehatan, tata kelola laboratorium juga mencerminkan mutu pendidikan yang dapat mempengaruhi penilaian dalam kegiatan

i.OV dan PliRDON (1984) menyatakan bahwa pada teknik ginogenesis se-baiknya kejutan panas diiakukan pada waktu yang tepat setelah pembuahan, yang bertujuan untuk