• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUMI YANG BARU: KONTINUITAS ATAU DISKONTINUITAS? Meitha Sartika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUMI YANG BARU: KONTINUITAS ATAU DISKONTINUITAS? Meitha Sartika"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BUMI YANG BARU:

KONTINUITAS ATAU DISKONTINUITAS? Meitha Sartika

ABSTRAK: Krisis ekologi digambarkan begitu dahsyat. Namun, masih banyak orang Kristen maupun gereja yang tidak punya kepedulian untuk memelihara Bumi. Gaya hidup kita sehari-hari mencerminkan prioritas kita. Penggunaan plastik, ketiadaan teknologi untuk mengolah sampah, penggunaan sumber daya alam yang tidak memerhatikan kesehatan lingkungan dan masa depan planet ini menunjukkan semuanya. Manusia belum mampu mengubah pola hidup dalam menghadapi krisis ekologis yang mengerikan untuk berusaha menyelamatkan Bumi. Apa yang menyebabkan orang Kristen enggan menumbuhkan kebiasaan pola hidup yang mengasihi alam? Tulisan ini berupaya untuk mencari dan mengidentifikasi pemahaman eko-eskatologi yang relevan tentang ajaran Bumi baru dalam konteks mengatasi krisis ekologis, mempunyai sikap yang benar terhadap Bumi, dan mempunyai kepedulian untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi seluruh ciptaan.

KATA KUNCI: krisis ekologis, eko-eskatologi, kontinuitas, diskontinuitas, akhir zaman

ABSTRACT: The ecological crisis is often described as something really terrible. However, there are still many Christians and churches that do not have a concern to care for the Earth. Our daily lifestyle reflects our priorities. The use of plastics, the absence of green technology to recycle waste, the use of natural resources that do not pay attention to environmental health and the future of the planet show it all. Humans have not been able to change lifestyles in the face of a terrible ecological crisis tto save the Earth. What causes Christians to be reluctant to foster lifestyle habits that love nature? This paper seeks to find and identify relevant eco-eschatological understanding of the teachings of the new Earth in the context of overcoming the ecological crisis, having the right attitude towards the Earth, and having a concern to build a better life for all creation.

(2)

KEYWORDS: ecological crisis, eco-eschatology, continuity, discontinuity, end of the world

Pentingnya Eko-eskatologi Dalam Konteks Krisis Ekologis Bumi dan seluruh penghuninya menghadapi krisis ekologis yang belum pernah terjadi, yang membawa kita pada jurang penderitaan massal dan kehancuran bagi banyak orang1 merupakan pernyataan yang menyedihkan sekaligus mengerikan. Krisis ekologis, seperti fenomena global warming, kerusakan lingkungan hidup, terancamnya keanekaragaman hayati (biodiversity), dan punahnya satwa, berkaitan dengan praktek kapitalisme global yang dengan serakah mengeduk sumber daya alam untuk kepentingan kesejahteraan segelintir orang dan pertumbuhan ekonomi yang juga tidak merata. Akibatnya, dari lima sampai sepuluh juta spesies yang tinggal di planet Bumi, seribu spesies dilaporkan menghilang atau punah setiap tahunnya. Manusia adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas krisis ekologis ini, mengingat manusia adalah makhluk yang paling banyak menimbulkan dan mendorong terjadinya krisis ekologis dalam pelbagai cara dan tataran.2 Tentu ada berbagai faktor yang menyebabkan manusia enggan menyelamatkan Bumi dari krisisnya. Yohanes A.B. Sethiawan dalam skripsinya yang berjudul Masa Depan Dunia 3 menghubungkan keengganan manusia membangun dunia dengan isu akhir zaman.

Ketidak-terlibatan manusia di dalam mengusahakan harapan bagi masa depan dunia makin dikaburkan oleh pemberitaan-pemberitaan mengenai isu akhir zaman. Isu akhir zaman

1 Rogate R. Mshana dan Athena Peralta (ed.), Mengaitkan Kemiskinan, Kesejahteraan & Ekologi: Proses AGAPE dari Porto Alegre hingga ke Busan (Jakarta: PMK-HKBP & Pokja Oikotree, 2016), 68.

2Zygmunt Bauman, Collateral Damage: Social Inequality in A Global Age (Cambridge: Polity, 2011), 381.

3Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), beberapa arti dunia: (1) “bumi dengan segala sesuatu yang terdapat di atasnya; planet tempat kita hidup,” (2) alam kehidupan,” (3) “semua manusia yang ada di muka bumi,” (4) “lingkungan atau lapangan kehidupan.” Dalam Perjanjian Baru, kata “kosmos” yang biasanya diterjemahkan “dunia” atau “bumi,” kadang-kadang berarti seluruh ciptaan Allah (Brownlee 2004, 5). Dalam makalah ini digunakan kata “dunia,” “alam,” “bumi,” dan “kosmos” untuk menunjukkan tempat hidup atau tempat kediaman manusia dan makhluk hidup lainnya.

(3)

mengendurkan semangat dan optimisme dari komunitas iman untuk mengupayakan tindakan preventif dan reformatif bagi dunianya… Isu akhir zaman membuat orang bersikap tidak logis, makin individualistis, dan apatis terhadap komunitas dan realitas dunianya.4

Apakah Bumi baru akan berbeda secara total dari Bumi atau merupakan pembaruan dari Bumi sekarang ini? “Will the present universe be totally annihilated, so that the new universe will be completely other than the present cosmos, or will the new universe be essentially the same cosmos as the present, only renewed and purified?”5 Dengan perkataan lain, apakah Bumi yang baru itu merupakan kontinuitas (berkesinambungan) atau diskontinuitas (tidak berkesinambungan) dengan Bumi sekarang ini?

Pandangan bahwa Bumi akan dihancurkan atau dimusnahkan seringkali didasarkan pada 2 Petrus 3:10: “Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan Bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap.” Ayat ini, sering dianggap menjadi penyebab orang-orang Kristen lebih mementingkan hidup sesudah kematian dan karenanya berakibat tidak adanya kepedulian terhadap Bumi. Bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap, maka orang-orang Kristen hanya menantikan Bumi baru dan tidak peduli dengan Bumi yang sekarang ini. “It is argued that Christian eschatology negates any rationale for preserving the earth since the second coming of Jesus will usher in a completely new form of existence.”6 Pandangan Bumi akan dihancurkan membuat orang Kristen tidak peduli dengan keadaan dunia ini dan hanya mengarahkan pandangan ke surga dan kehidupan setelah kematian.

Pemahaman eskatologi seperti ini membuat eskatologi sering dituduh sebagai ajaran yang tidak membumi (unearthly) karena

4Yohanes A. B Setiawan, Masa Depan Dunia (Tidak diterbitkan, skripsi STT Jakarta, 2016), 4.

5 Anthony A. Hoekema, The Bible and the Future (Grand Rapids: Eerdmans, 1991), 279.

6 Steven Bouma-Prediger, The Greening of Theology (Atlanta: Scholars Press, 1995), 3.

(4)

mengajarkan umat untuk terarah kepada “rumah” di surga. Sebuah novel yang kemudian difilmkan berjudul Left Behind: A Novel of the Earth's Last Days menceritakan eskatologi dari sudut pandang kaum Dispensasionalis. Keinginan “lari” menghindarkan diri dari permasalahan dunia ini tampak dalam ajaran-ajaran aliran Dispensasionalisme yang keliru tentang pengangkatan orang percaya.

Catherine Keller berpendapat bahwa, eskatologi semacam ini membenarkan pemahaman Marxisme yang menyatakan bahwa, agama adalah candu. Ia juga mempertanyakan mengapa manusia cenderung mempunyai “the hope for an after life rather than for life itself.”7 Eskatologi hanya berfungsi sebagai magnet yang besar untuk mendapatkan imbalan pada masa yang akan datang dan membuat manusia meninggalkan tanggung jawabnya di dunia ini.

Dalam artikelnya yang berjudul “Eschatology, Ecology, and A Green Ecumenacy,” Keller dengan tegas menyatakan bahwa, “a responsible Christian eschatology is an ecological eschatology.”8 Ia menunjukkan pentingnya menghubungkan eskatologi dengan krisis ekologis yang dihadapi Bumi saat ini. Kita membutuhkan pemahaman eskatologi untuk menyelamatkan Bumi kita. Keller menyatakan, “unless it can meaningfully and effectively address the green apocalypse, Christian theology becomes a trivial pursuit of the

century.”9 Dibutuhkan “pertobatan teologis” dalam arti “its return to the Earth.”10

Eko-eskatologi berupaya mengidentifikasi adanya kontinuitas (kesinambungan) antara Bumi yang sekarang ini dengan Bumi baru, sehingga manusia ketika hidup di Bumi sekarang dipanggil untuk menyiapkan kehidupan dalam Bumi baru Allah .11 Itu berarti manusia perlu menyadari panggilan untuk memelihara Bumi dan berjuang mengatasi krisis ekologis dengan sungguh-sungguh mempunyai pola hidup yang mengasihi Bumi. Pembuktian ini dilakukan dengan

7Catherine Keller. Eschatology, Ecology, and A Green Ecumenacy. dalam Reconstructing Christian Theology, Ed. Rebecca S. Chopp & Mark Lewis Taylor (Minneapolis: Fortress, 1994), 331.

8Keller, Reconstructing Christian Theology, 328. 9Ibid, 328.

10Ibid, 341.

(5)

meneliti konsep kontinuitas dalam eskatologi Reformed sebagai “budaya” asal GKI, memeriksa unsur kontinuitas dalam usulan konsep pegangan ajaran GKI tentang akhir zaman, dan menyoroti kontinuitas Bumi yang baru dalam Wahyu 21:1-8.

Kontinuitas dalam Eskatologi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menurut ajaran Reformed12

Paham akhir zaman dalam Perjanjian Lama (PL) berakar dalam pengharapan umat Israel pada keselamatan yang akan datang, yang dimaklumkan baik oleh para nabi maupun para pelihat. Hoekema mendaftarkan pengharapan Eskatologi orang-orang percaya dalam PL meliputi hal-hal berikut: (1) Pengharapan datangnya Pembebas/Penebus (Kej. 3:15; 22:18; 2Sam. 7:12-13; Dan. 7:13-14); (2) Pengharapan akan Kerajaan Allah (Dan. 2:44, 45; PL lebih sering berbicara mengenai pemerintahan Allah atau Allah sebagai Raja, misalnya Ul. 33:5; Maz. 84:3; Yer. 46:18); (3) Pengharapan akan Perjanjian baru (Yer. 31:31-34); (4) Pengharapan akan pemulihan Israel (Yeh. 36:24-28; Yes. 24-27); (5) Pengharapan akan Pencurahan Roh Kudus (Yl. 2:30-31); (6) Pengharapan akan Hari Tuhan (Yes. 13:9-11; Am. 5:18; Zef.1:14-15; Mal. 4:2,5); (7) Pengharapan akan langit baru dan Bumi baru (Yes. 65:17; 32:15; 11:9).13

Orang-orang beriman pada zaman PL tidak mempunyai bayangan kapan pengharapan ini akan dipenuhi. Nabi-nabi PL rupanya membicarakan secara bercampur hal-hal yang berhubungan dengan kedatangan Yesus yang pertama dan kedua kali. Kita tahu kemudian bahwa, apa yang belum jelas bagi nabi-nabi PL telah diperjelas pada masa PB.14

Perjanjian Baru (PB) menunjukkan bahwa, beberapa kejadian eskatologis yang besar yang dinubuatkan oleh nabi-nabi PL telah terjadi, namun sekaligus mereka menyadari bahwa pemenuhan sejarah secara final masih akan datang. Dalam PB, dapat ditemukan bahwa pemenuhan nubuat PL di dalam kedatangan Yesus Kristus (Mat. 1:20-

12Eskatologi menurut ajaran Reformed yang disajikan di sini menurut Anthony A. Hoekema, seorang teolog Reformed dari Calvin Theological Seminary dan Christian Reformed Church (CRC), dalam bukunya The Bible and the Future (1991).

13Hoekema, 4-12. 14Ibid., 12.

(6)

23 dan Yes. 7:14; Mat. 2:5-6 band. Mi. 5:2; Mat. 2:14-15 band. Hos. 11:1; Yoh. 1:11 band. Yes. 53:3; Mat. 21:4-5 band. Zak. 9:9; Mat. 26:15 band. Zak. 11:12; Kis. 2:24-32 band. Maz. 16:10, dll). Dengan kedatangan Yesus, baik Yohanes Pembaptis maupun Yesus sendiri memproklamasikan bahwa, kedatangan Kerajaan Allah sudah dekat (Mat. 3:2; Mar. 1:15). Bahkan, dengan kedatangan Yesus, janji kedatangan kerajaan Allah telah diwujudkan sekalipun kepenuhan kerajaan itu masih pada masa mendatang. Para penulis PB sadar bahwa, mereka sedang hidup pada masa-masa terakhir (Kis. 2:16,17).

Berarti eskatologi itu telah dimulai (the “already”), tetapi belum final (the “not yet”).

Dalam PB juga terdapat kenyataan bahwa, apa yang oleh para penulis PL diharapkan terjadi dalam satu gerakan ternyata terjadi dalam dua tahapan: masa Mesianis “saat ini” dan masa “yang akan datang” (Luk. 20:35; 18:30; Mat. 12:32). Jadi, “hari-hari terakhir” menunjuk pada masa kita sekarang, sedangkan “hari terakhir” menunjuk pada hari penghakiman atau kebangkitan (Yoh. 6:39). Hubungan antara dua tahapan Eskatologi ini adalah bahwa berkat-berkat pada masa kini merupakan materai dan jaminan dari berkat-berkat yang lebih besar pada masa mendatang (Tit. 2:11-13)15.

Hoekema menjelaskan hal ini dengan merujuk pada gambaran Oscar Cullmann yang terkenal mengenai “D-day” (singkatan dari “Definitive-day” dan “V-day” (singkatan dari “Victory-day”) . Ia mengatakan bahwa, “the Christian believer lives between D-day and V-day. D- day was the first coming of Christ when the enemy was decisively defeated. V- day is the second coming of Christ, when the enemy shall totally and finally surrender.”16

Maka, karakteristik eskatologi PB adalah adanya ketegangan antara “yang sudah” (the “already”) dan “yang belum” (the “not yet”), antara apa yang telah dinikmati oleh orang percaya dan apa yang belum dimilikinya – hal ini juga dikenal dengan sebutan “realized/inaugurated eschatology” (eskatologi yang sudah mulai dialami sekarang ini) dan “future eschatology” (eskatologi yang dinantikan akan terjadi pada masa mendatang).

15Ibid., 13-22.

16Oscar Cullman, Christ and time the primitive Christian conception of time and history (London: The Westminster, 1950), 87.

(7)

Melalui uraian Hoekema mengenai eskatologi PL dan PB, tampak selalu ada kontinuitas. Ada kontinuitas antara eskatologi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, juga ada kontinuitas antara apa yang sudah terjadi pada kedatangan Yesus pertama dengan apa yang masih kita nantikan pada kedatangan Yesus yang kedua.

Kontinuitas dalam Pegangan Ajaran GKI tentang Akhir Zaman17 Pengajaran Eskatologi GKI dapat dibaca pada buku yang diterbitkan

KPT GKI SW Jabar yang berjudul Paham Akhir Zaman. Ringkasan Bahan Rumusan Pegangan Ajaran GKI tentang Akhir Zaman dapat kita baca sebagai berikut:

(1) Dasar pengajaran

a. Dasar pengajaran Gereja tentang akhir zaman (eskatologi) adalah wahyu ilahi yang nyata di dalam kehadiran Sang Firman yang menjadi manusia, yakni di dalam hidup dan karya Yesus Kristus, Tuhan kita.

b. Oleh karena kesaksian tentang Yesus Kristus itu terdapat di dalam Alkitab, maka mau tidak mau, Alkitab menjadi titik tolak untuk memulai pengajaran tentang akhir zaman. Sekalipun begitu, kita mesti menyadari bahwa setiap orang yang menggunakan Alkitab sebagai titik tolak pengajaran tentang akhir zaman akan menghadapi masalah penafsiran Alkitab. Dalam hal ini, “kita pun tidak boleh mengabaikan keutuhan Alkitab yang tersedia bagi kita dan mengabaikan Pusat yang menyatukannya, yaitu Kristus.”18

c. Berkaitan dengan penggunaan Alkitab untuk pengajaran tentang akhir zaman, maka kita mengajukan keberatan terhadap metode penafsiran Alkitab secara harfiah. Gereja menolak bentuk tafsiran seperti itu, karena:

Alkitab bukanlah suatu ‘buku keterangan’ tentang apa yang akan terjadi pada masa depan, tentang cara bagaimana segala sesuatu itu akan berlangsung, tentang urutan serta saat-saatnya. Mengenai

17 Hendri Mulyana Senjaya, Paham Akhir Zaman: Pengantar Menuju Pegangan Ajaran GKI tentang Akhir Zaman (Jakarta: Komisi Pengkajian Teologi GKI Sinode Wilayah Jawa Barat, 2009).

(8)

‘kejadian- kejadian’ terakhir, Alkitab mempergunakan gambaran-gambaran yang sudah barang tentu bersifat kiasan.19 (2) Kita dan Masa Depan

a. Pengajaran tentang akhir zaman berkaitan erat dengan penghayatan kita akan masa depan sejarah kehidupan. Hal-hal akhir pada masa depan adalah perkara yang gelap dan kabur bagi kita. Namun, dalam terang kesaksian Yesus Kristus, akhirnya kita dapat menghayati masa depan kita sebagai orang beriman... Kita percaya dan yakin bahwa Ia berkuasa juga di masa depan.

b. Penghayatan akan masa depan pada gilirannya menunjukkan pengharapan kita.

c. Berkenaan dengan pengharapan akan masa depan, kita mesti mewaspadai dua bahaya berikut ini: (1) sikap mengutamakan dan mengejar pengetahuan tentang apa yang akan terjadi pada masa depan, dan melupakan Injil Yesus Kristus; (2) sikap menutup diri terhadap pembicaraan tentang masa depan oleh karena anggapan bahwa hal-hal akhir itu sama sekali gelap dan kabur.

(3) Yesus Kristus sebagai Pemenuhan Janji Keselamatan Allah a. Pengenalan dan penghayatan kita akan hidup dan

pekerjaan-pekerjaan Yesus Kristus mendorong kita untuk mengakui bahwa kehadiran Yesus Kristus di dunia merupakan pemenuhan janji keselamatan Allah bagi umat-Nya seperti yang telah disampaikan dalam nubuat-nubuat para nabi dan para pelihat dalam Perjanjian Lama.

b. Sekalipun demikian, dalam kehadiran Yesus Kristus di dunia, pemenuhan janji keselamatan Allah itu belum terlaksana sepenuhnya. Kerajaan Allah yangYesus sudah mulai di dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya itu, baru akan digenapi pada saat kedatangan-Nya kembali.

(4) Kedatangan Yesus Kristus Kembali dan Kesudahan Zaman a. Kehadiran Yesus Kristus di dunia menandakan suatu perjanjian

baru bahwa, keselamatan dari Allah sudah dinyatakan kepada dunia di dalam pekerjaan-pekerjaan Yesus (Luk. 22:20; Ibr. 8:6; 9:15), dan bahwa keselamatan itu sepenuhnya akan diberikan jika

19G. C. van Niftrik dan B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 318-319.

(9)

kita tinggal di dalam-Nya (Yoh. 15:1-8) dan menantikan kedatangan-Nya kembali (Ibr. 9:28).

b. Kedatangan Yesus Kristus kembali menandakan suatu pemenuhan janji keselamatan Allah secara sempurna bagi dunia. Itu berarti, sejarah kehidupan mencapai puncaknya, zaman sampai kepada kesudahannya, berganti zaman yang baru (Mrk. 13:8, 13; Why. 21-22).

c. Pergantian zaman yang dinyatakan melalui kedatangan Kristus kembali menunjukkan adanya pemisahan antara yang baik dan yang jahat, sehingga zaman baru itu dipenuhi dengan yang baik saja (Why. 21:1-8). Pemisahan inilah yang disebut sebagai penghakiman yang terakhir (Mat. 25:31-46; 2Pet. 2:4-22). Yesus Kristus yang datang kembali itu adalah Hakim dalam penghakiman terakhir itu (Kis. 10:42). Ini tentu merupakan berita sukacita bagi kita yang percaya akan pekerjaan-pekerjaan-Nya dan yang tinggal di dalam-Nya.

(5) Tanda-tanda Zaman

a. Bilamana Yesus Kristus datang kembali dan kesudahan zaman terjadi, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya. Perjanjian Baru menyatakan bahwa, kedatangan Kristus itu adalah seperti pencuri (Mat. 24:43; Luk. 12:39-40; 1Tes. 5:2, 4; 2Pet. 3:10; Why. 3:3; 16:15). Ini dinyatakan secara tegas, supaya kita senantiasa berjaga-jaga.

b. Dalam kaitan dengan sikap berjaga-jaga, Alkitab pun menyatakan hal-hal yang terjadi menjelang kesudahan zaman. Hal-hal yang terjadi menjelang kesudahan zaman itu disebut “tanda-tanda zaman.” Paling tidak, empat hal berikut ini, patut kita ingat sehubungan dengan tanda-tanda zaman: (1) tanda-tanda zaman tidak saja dipahami sebagai peristiwa-peristiwa eksklusif yang hanya akan terjadi pada masa depan, seolah-olah tanda-tanda itu tidak bersangkut paut dengan masa kini; (2) tanda-tanda zaman tidak dipandang melulu dalam peristiwa-peristiwa spektakuler dan abnormal; (3) tanda-tanda zaman tidak dipandang sebagai alat bantu untuk menghitung waktu kedatangan Tuhan Yesus kembali; dan (4) tanda-tanda zaman tidak diyakini sebagai skema periode waktu tertentu yang menunjukkan urutan-urutan sampai kesudahan zaman.20

(10)

c. Membaca tanda-tanda zaman merupakan salah satu upaya dalam rangka kita berjaga-jaga menjelang kedatangan Kristus kembali. Kita hidup dalam ketegangan antara harapan dan realisme. Dalam keadaan seperti itu, kita perlu terus-menerus membaca tanda-tanda zaman, menganalisis kekuatan-kekuatan merusak yang mengasingkan dunia dan umat manusia dari kekuatan kasih Allah sambil menawarkan pemikiran, tindakan, dan cara hidup alternatif sebagai representasi harapan. Harapan ini memberi motivasi yang kuat dan landasan yang kokoh untuk berjuang dengan penuh semangat mengarungi kehidupan masa kini dan terlibat dalam perjuangan menegakkan Kerajaan Allah.21

Kontinuitas dalam paham akhir zaman GKI tertera paling jelas dalam pernyataan, “Yesus Kristus sebagai Pemenuhan Janji Keselamatan Allah,” yang menyatakan “kehadiran Yesus Kristus di dunia merupakan pemenuhan janji keselamatan Allah bagi umat- Nya seperti yang telah disampaikan dalam nubuat-nubuat para nabi dan para pelihat dalam Perjanjian Lama.” Juga kontinuitas tampak dalam pernyataan “Kerajaan Allah yangYesus sudah mulai di dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya itu baru akan digenapi pada saat kedatangan-Nya kembali. Yang sudah dimulai, itulah yang akan digenapi. Kontinuitas ini harusnya membawa dampak umat berjuang dengan penuh semangat mengarungi kehidupan masa kini dan terlibat dalam perjuangan menegakkan Kerajaan Allah.

Kontinuitas Bumi yang Baru dalam Wahyu 21:1-8

Pengharapan pembebasan seluruh ciptaan yang Paulus

ekspresikan dalam Roma 8, sesungguhnya, telah mengimplikasikan bahwa masa depan dunia ini bukan penghancuran (destruction, annihilation), tetapi pembaruan (transformation, renewal). Namun, pengharapan dunia yang ditransformasi masih memiliki “ketegangan” dengan bagian PB yang menyatakan bahwa Bumi yang baru adalah Bumi yang sama sekali baru. Surat 2Petrus 3:10- 12 berbicara tentang Bumi yang akan dihancurkan, juga Wahyu 21:1 menyatakan bahwa, “langit dan Bumi yang sekarang ini telah berlalu.” Langit yang baru dan Bumi yang baru adalah sebuah ungkapan yang menunjuk alam

(11)

semesta ini secara keseluruhan sehingga kita dapat menyebut sebagai dunia yang baru atau pun Bumi yang baru.22

Bagaimana kita mengatasi ketegangan antara pengharapan bahwa dunia ini akan ditransformasi dan pengharapan bahwa dunia ini akan dihancurkan serta digantikan yang baru? Penafsiran kedua bagian ini menjadi rumit karena gaya apokaliptis yang sarat dengan bahasa simbol yang sulit ditafsirkan. Hal ini tampak dalam surat Petrus ketika ia menubuatkan “langit akan binasa dalam api” (ay. 12) atau “langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan Bumi dan segala yang di atasnya akan hilang lenyap” (ay.10) atau bahwa “unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya” (ay.12). Apakah kita memahami bahasa ini langsung sebagai deskripsi mengenai realitas fisik yang akan datang? Apakah Yohanes dan Petrus menggunakan bahasa simbolis untuk menggambarkan kuasa Allah untuk menciptakan kembali dunia?

Simbol “langit yang baru” dan “Bumi yang baru” tidak hanya terdapat di dalam kitab Wahyu saja. Beberapa penafsir melihat dan menduga bahwa simbolisasi itu berkaitan erat dengan Yesaya 65:17- 25. Dugaan ini muncul karena bagian akhir dari kitab Yesaya tersebut termasuk sebuah sastra apokaliptik.23 Ada perdebatan mengenai Yesaya 65:17, yang berbunyi “Sebab sesungguhnya, Aku

22Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 499-504.

23Dalam Alkitab, kita dapat menemukan baik eskatologi profetik maupun eskatologi apokaliptik. Kita dapat mengenal cirinya secara singkat. “Eskatologi profetik menyampaikan seruan tegas untuk situasi historis yang berlangsung. Seruan itu tidak lain merupakan suatu ajakan agar umat Allah hidup sesuai dengan perjanjian Allah, yakni setia dan taat kepada Allah, sehingga mereka dapat menikmati berkat keselamatan dari Allah” (Sendjaja 2009, 12). Sedangkan “eskatologi apokaliptik menyampaikan berita pengharapan bahwa menjelang akhir zaman, yakni pada waktu kesesakan besar tiba, orang-orang yang hidup di dalam Allah akan terluput dari kesesakan; dan bahwa Allah akan memenangkan peperangan melawan kerajaan si jahat” (Sendjaja 2009, 18). Juga “Eskatologi apokaliptik menyampaikan seruan yang meneguhkan umat Allah untuk menjalani situasi historis yang sulit” dan merupakan “suatu ajakan agar umat Allah tetap teguh beriman kepada Allah dalam situasi apapun… Orang yang mati karena keteguhan dan kesalehan imannya, orang itu akan mendapatkan kebangkitan dan kemenangan”

(12)

menciptakan langit yang baru dan Bumi yang baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati.”

Perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan “hal-hal yang dahulu”? Apakah menunjuk kepada masalah-masalah dahulu (ay. 16 “kesesakan-kesesakan”) atau langit dan Bumi yang dahulu? Para penafsir kitab Yesaya umumnya, setuju bahwa nubuat-nubuat ini mempunyai pandangan pemenuhan akhir dari janji-janji Allah kepada umat Israel. Apakah nabi menggambarkan kondisi dunia yang baru, sebagaimana akan ada dalam millennium atau dalam kekekalan? Atau apakah Yesaya menggunakan bahasa metafora yang tidak ada analoginya dengan pengalaman kita dalam dunia ini?

Sethiawan merujuk pada Chilton yang berpendapat bahwa, Yesaya 65:17-25 “tidak berbicara mengenai surga atau kehidupan setelah akhir zaman, melainkan berbicara tentang kehidupan riil pada masa itu.”24 Ia juga menyatakan:

Penulis kitab Yesaya menunjukkan apa yang perlu dilakukan oleh orang-orang sebelum dunia berakhir, yang menjadi harapan bagi generasi yang akan datang. Harapan itu adalah pewartaan Injil ke seluruh dunia, penghadiran surga di Bumi, dan perwujudan tujuan-tujuan Kerajaan Allah di dunia. Dengan kata lain, Yesaya menggambarkan pernyataan berkat yang terdapat di dalam Ulangan 28 di dalam pemenuhan duniawinya.25 Penglihatannya pun bersifat kontinu, dengan melibatkan orang-orang pada saat itu.26

Simbolisasi “langit yang baru” dan “Bumi yang baru” di dalam Yesaya 65 dan Wahyu 21, secara jelas dan tegas tidak berbicara mengenai kehidupan setelah akhir dunia. Simbolisasi itu justru menekankan gagasan mengenai pembenahan dunia yang dilakukan di dunia ini dan tidak di dunia lain. Pembenahan itu dilakukan dengan adanya pembaruan dari Allah yang kini tinggal bersama-sama dengan umat-Nya, sehingga kualitas kehidupan menjadi lebih baik.27

24Sethiawan, 59.

25David Chilton, The Days of Vengeance: An Exposition of The Book of Revelation (Texas: Dominion, 1987), 539.

26Sethiawan, 59. 27Ibid, 59.

(13)

Yohanes melihat langit yang baru dan Bumi yang baru, berarti ia melihat keseluruhan kosmos atau alam semesta itu menjadi baru, setelah langit dan Bumi yang lama telah berlalu. “Tatanan dunia baru terbentuk ketika Allah tinggal bersama dengan umat-Nya. Di dalam tatanan dunia yang baru itu, segala bentuk kesedihan, kekerasan, maut, kuasa jahat, serta kutukan tidak akan ada lagi.”28 Inilah juga yang mau dinyatakan oleh Yohanes melalui pernyataan “laut pun tidak ada lagi.” Laut seringkali menjadi simbol kuasa-kuasa jahat dan kekacauan yang mengganggu.29 “Laut pun tidak ada lagi” menjadi simbol “God removing sin and chaos.”30

Pada Wahyu 21:1-2, 5, kata “baru” menjadi kata kunci memahami kontinuitas. Kita harus memperhatikan dua kata dalam bahasa Yunani yang sama-sama berarti “baru,” yaitu καινός (kainos) dan νεος (neos). Καινός berarti “baru” (dalam hal kualitas), “baru dibuat.” “tidak terpakai,” “tidak diketahui,” “asing,” dan “luar

sementara νεος berarti “baru dilahirkan,” “muda,” dan “benar-benar baru.”32 Jadi, biasanya kata νεος digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baru secara kronologis atau benar-benar baru,33 sementara kata καινός digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baru dalam hal bentuk atau kualitas ketimbang sesuatu yang baru dalam kronologis waktu.34

Wahyu 21 dalam menggambarkan langit baru dan Bumi baru menggunakan kata καινός dan bukan νεος. Maka, dalam konteks Wahyu 21:1-2, 5, kata “baru” yang dimaksud itu menunjukkan “baru” secara kualitatif. Langit yang baru, Bumi yang baru, dan Yerusalem yang baru, tidak dipahami sebagai penghilangan langit dan Bumi atau Yerusalem yang lama dan digantikan dengan yang benar-benar baru. Sethiawan menyimpulkan bahwa, makna kata “yang baru” di sini

28Sethiawan, 57-58. Pablo Richard. Apocalypse: A people’s commentary on the book of Revelation. (Maryknoll: Orbis, 1995), 160.

29Celia Deane-Drummond, Eco-Theology (London: Longman and Todd, 2008), 238.

30Deane-Drummond, Eco-Theology, 238.

31 Warren C. Trenchard, Warren C, A Concise Dictionary of New Testament Greek (Cambridge: University, 2003), 80.

32Trenchard, Warren C, A Concise Dictionary of New Testament Greek, 105.

33Chilton, 537.

34Stefanović, 2009, 547

28 b

(14)

ialah “perbaikan dan pembaruan dari yang lama tersebut, dan kemudian menghasilkan langit dan Bumi serta Yerusalem yang baru dengan kualitas yang secara substansial lebih baik.”35 Oleh sebab itu, “langit yang baru dan Bumi yang baru” menunjuk kepada pembaruan kualitas keseluruhan kosmos dan alam semesta untuk menjadi lebih baik.

Memang kata-kata Wahyu 20:1 mengenai “langit yang pertama dan Bumi yang pertama, telah berlalu” (bandingkan juga dengan Wahyu 20:11) mengandaikan langit baru dan Bumi baru menggantikan yang lama, karena kata “telah berlalu” dapat mengandaikan penghancuran alam semesta. Namun, Moo menyatakan bahwa kata “telah berlalu” juga dapat menunjuk segala bentuk keberdosaan dalam dunia ini yang berlalu. Ada petunjuk lain dalam konteks ini mengenai kontinuitas Bumi yang baru dengan Bumi yang lama. Dalam Wahyu 21:5, Yohanes menuliskan bahwa Allah memproklamirkan “Lihatlah, Aku menjadikan segala sesuatu baru!” (“I am making everything new”), dan bukan memproklamirkan “Aku membuat hal- hal baru” (“I am making new things”). Bahasa ini mengandaikan pembaruan, bukan penghancuran dan penciptaan kembali. Hal yang sama untuk penafsiran 2Petrus 3. Kata “menghanguskan” maupun “menghancurkan” dalam ayat 10 dan 12 harus dibaca sebagai simbol tentang pengadilan dan penghukuman Allah. “Destruction does not necessarily mean total physical annihilation, but a dissolution or radical change in nature.”36

Seperti halnya para nabi PL yang ketika berbicara tentang Bumi yang baru juga berbicara tentang Yerusalem yang baru (Yes. 65:17,18), Yohanes dalam Wahyu 21:2 juga menceritakan penglihatan tentang kota yang kudus, yaitu Yerusalem yang baru turun dari surga. Yohanes menggunakan simbol “Yerusalem yang baru” sehubungan dengan orang-orang Kristen penerima kitab Wahyu adalah orang-orang Yahudi yang telah menjadi Kristen, dimana bagi mereka kata “Yerusalem” merujuk pada kota yang penting baik dalam sejarah maupun ingatan mereka. “Yerusalem baru” juga merupakan s imbol adanya tatanan realitas yang baru. Simbol “Yerusalem yang baru turun

35Sethiawan, 58.

36 Douglas J. Moo, Nature in the New Creation: New Testament Eschatology and the Environment. Journal of the Evangelical Theological Society 49, (2006), 455.

(15)

dari surga” menunjuk kepada puncak dan kesempurnaan penyelamatan Allah.37

Kata “turun dari Sorga” mau menegaskan bahwa, Yerusalem itu berada di dunia ini. Kota Allah yang digambarkan secara transendental itu, kini hadir di dunia ini.38 Maka, dunia merupakan tempat bertemu dan tempat tinggal Allah bersama dengan umat-Nya. Sesungguhnya dari sekarang pun kita dapat mengalami bertemu dengan Allah dalam kehidupan di dunia ini, seperti yang dikatakan Sallie McFague, “the world is our meeting place with God….”39 Sethiawan menyimpulkan bahwa kata-kata “Yerusalem yang baru turun dar i surga” mau memperlihatkan bahwa, “proses kehadiran Allah di dalam dunia adalah peristiwa yang kontinu atau berkelanjutan, bukan peristiwa yang terjadi satu kali dan telah selesai.”40

Kontinuitas pembaruan Allah juga dapat dilihat pada Wahyu 21:7-8. Kedua ayat tersebut diawali dengan kalimat, “Barangsiapa menang, ia akan memperoleh semuanya ini.” Mereka yang menang berarti mereka yang dapat bertahan. Bertahan dari segala penderitaan dan penindasan, tetapi sekaligus bertahan untuk tetap percaya dengan janji Allah. Dalam konteks Yohanes, “barangsiapa yang menang” menunjuk ketika mereka mengalami terwujudnya pemenuhan janji-janji Allah dalam Perjanjian Lama.41 Bertahan adalah bentuk partisipasi yang dilakukan umat untuk pembaruan Allah.42 Demikianlah Wahyu 21:1-8 menunjukkan bahwa, Bumi yang baru adalah kontinuitas dari Bumi yang sekarang ini. “Transformation within continuity” adalah gambaran yang tepat untuk Bumi yang baru.43

37J. A. Du Rand, J.A, The new Jerusalem as pinnacle of salvation: Text (Rev 21:1-22:5) and intertext. Neotestamentica, 38 no. 2. (2004), 277.

38 Allan J. McNicol, All Things New. Christian Studies Journal, 21. (2005), 45.

39 Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Augsburg Fortress, 1993), vii.

40Sethiawan, 62.

41J. J. De Heer, Tafsiran Kitab Wahyu Yohanes (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 309.

42Sethiawan, 65.

43Colin E. Gunton, Christ and Creation (Grand Rapids: Eerdmans, 1992), 31.

(16)

Selain Wahyu 21, paling tidak masih ada dua alasan yang dapat memperkuat pandangan bahwa ada kontinuitas antara dunia ini dan dunia yang akan datang. Pertama, argumentasi Paulus dalam Roma 8. Ketika ia mengatakan bahwa ciptaan menunggu saat anak-anak Allah dibebaskan dari perbudakan (Rm. 8:20-21), berarti ia berkata bahwa ciptaan yang sekarang yang akan dibebaskan, bukan ciptaan yang sama sekali berbeda.44 Penebusan Kristus adalah penebusan kosmik. Alasan kedua adalah analogi antara Bumi baru dan kebangkitan tubuh orang- orang percaya. Ada kontinuitas dan diskontinuitas antara tubuh yang sekarang dan tubuh kebangkitan. Mereka yang dibangkitkan bukan manusia yang total baru, tetapi umat Allah yang hidup di Bumi ini. Dengan jalan analogi kita juga mengharapkan Bumi baru yang berbeda dengan Bumi yang sekarang ini, tetapi dalam arti Bumi sekarang yang diperbarui dengan sangat indah dan mengagumkan.

Penutup: Usulan Rekonstruksi Eko-eskatologi bagi eskatologi GKI

Kita perlu menggarisbawahi pernyataan Catherine Keller tentang “a responsible Christian eschatology is an ecological eschatology” 45 untuk menyelamatkan Bumi dalam krisis ekologis yang parah. Dibutuhkan eko-eskatologi yang memandang adanya kontinuitas antara Bumi sekarang ini dengan Bumi yang akan datang untuk lebih memotivasi umat memelihara Bumi. Eskatologi Reformed, maupun konsep Pegangan Ajaran GKI tentang akhir zaman, dan ajaran Alkitab (seperti Wahyu 21 dan Yesaya 65) menyediakan dasar-dasar untuk GKI dapat mengembangkan rekonstruksi eko-eskatologi yang mengajarkan kontinuitas antara Bumi sekarang ini dengan Bumi yang baru. Hoekema mengingatkan “as we live on this earth, we are preparing for life on God’s new earth.”46 Inilah juga yang harus gereja ajarkan kepada umat, agar umat tidak bertindak dengan sembarangan atau semena-mena terhadap Bumi ciptaan Tuhan.

Wahyu 21:1-8 menunjukkan bahwa, Bumi yang baru adalah kontinuitas dari Bumi yang sekarang ini. Kata Yunani yang digunakan

44Hoekema, 282. 45Keller, 328. 46Hoekema, 287.

(17)

untuk menunjukkan kebaruan bukanlah νεος (neos) tetapi καινός (kainos). Maka, langit baru dan Bumi baru bukanlah berarti kosmos yang sama sekali beda dari kosmos yang sekarang ini, tetapi penciptaan alam semesta yang, meskipun diperbarui begitu mulia, tetapi tetap ada kontinuitas dengan kosmos yang sekarang.

Konsep Pegangan Ajaran GKI tentang akhir zaman telah memperlihatkan kontinuitas dalam pernyataan “Yesus Kristus sebagai Pemenuhan Janji Keselamatan Allah,” namun belum memuat tentang pembaruan kosmik tentang Bumi yang baru yang kontinu dengan Bumi yang sekarang ini. Juga konsep Pegangan Ajaran GKI tentang akhir zaman belum menunjukkan perhatian kepada seluruh makhluk, sehingga belum menampakkan perhatian terhadap krisis ekologis yang dialami Bumi ini. Akibatnya, masih banyak umat GKI yang tidak peduli terhadap kerusakan alam dan tidak atau belum mau mengubah pola hidupnya. Penulis berharap konsep Pegangan Ajaran GKI tentang akhir zaman lebih banyak hal-hal yang dapat menunjukkan kontinuitas antara dunia sekarang ini dengan dunia yang akan datang, agar umat lebih menyadari panggilannya untuk ikut serta menyelamatkan Bumi atau dunia ini. “It is this world that becomes the basis for the new

creation.”47

Kepustakaan

Bauman, Zygmunt. Collateral damage: Social inequality in a global age. Cambridge: Polity, 2011.

Bouma-Prediger, Steven. The Greening of Theology. Atlanta: Scholars, 1995.

Brownlee, Malcolm. Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004.

Chilton, David. The days of vengeance: An exposition of the book of Revelation. Texas: Dominion, 1987.

Cullman, Oscar. Christ and time the primitive Christian conception of time and history. London: The Westminster, 1950.

Deane-Drummond, Celia. Eco-Theology. London: Longman and Todd, 2008.

47Duncan Reid. Setting Aside the Ladder to Heaven: Revelation 21.1-22.5 from the Perspective of the Earth. Dalam Readings From the Perspective of the Earth, 232-245 ed. Norman C. Habel. (Glasgow: Sheffield Academic, 2000), 242.

(18)

De Heer, J.J. Tafsiran Kitab Wahyu Yohanes. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Du Rand, J.A. The new Jerusalem as pinnacle of salvation: Text (Rev 21:1 -22:5) and intertext. Neotestamentica, 38 no. 2 (2004): 275– 302, 2004.

Gunton, Colin E. Christ and Creation. Grand Rapids: Eerdmans, 1992. Hadiwijono, H. Iman Kristen . Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979.

Hoekema, Anthony A. The Bible and the Future. Grand Rapids: Eerdmans, 1991.

Keller, Catherine. Eschatology, Ecology, and A Green Ecumenacy. Dalam Reconstructing Christian Theology, Ed. Rebecca S. Chopp & Mark Lewis Taylor. 326-345. Fortress: Minneapolis, 1994. McFague, Sallie. The Body of God: An Ecological Theology.

Minneapolis: Augsburg Fortress, 1993.

McNicol, Allan J. All Things New. Christian Studies Journal, 21 (2005): 39–55, 2005.

Moo, Douglas J. Nature in the New Creation: New Testament Eschatology and the Environment. Journal of the Evangelical Theological Society 49, 449-88, 2006.

Mshana, Rogate R. dan Athena Peralta (ed.). Mengaitkan Kemiskinan, Kesejahteraan & Ekologi: Proses AGAPE dari Porto Alegre hingga ke Busan, (terj.). Jakarta: PMK-HKBP Jakarta Pokja Oikotree, 2016.

van Niftrik, G. C dan B. J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.

Reid, Duncan. Setting Aside the Ladder to Heaven: Revelation 21.1-22.5 from the Perspective of the Earth. Dalam Readings From the Perspective of the Earth, 232-245 ed. Norman C. Habel. Glasgow: Sheffield Academic, 2000.

Richard, Pablo. Apocalypse: A people’s commentary on the book of

Revelation. Maryknoll: Orbis, 1995.

Sendjaja, Hendry M. Paham Akhir Zaman: Pengantar menuju Pegangan Ajaran GKI tentang Akhir Zaman. Jakarta: Komisi Pengkajian Teologi GKI Sinode Wilayah Jawa Barat, 2009. Sethiawan, Yohanes A.B. Masa Depan Dunia. Tidak diterbitkan,

skripsi STT Jakarta, 2016.

Trenchard, Warren C. A concise dictionary of New Testament Greek. Cambridge, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam proses desain ulang parapodium dinamik dilakukan penyesuaian beberapa ukuran produk agar ergonomis dengan ukuran dan bentuk tubuh orang dewasa Indonesia dengan mengacu

Bukti dari hubungan yang baik antara sekolah dengan masyarakat adalah diakuinya keberadaan SMK Yaditama sebagai salah satu tujuan melanjutkan pendidikan,

Perawatan dan/atau pengobatan yang berkaitan dengan kosmetik, termasuk bedah plastik kecuali untuk bedah plastik rekonstruksi fungsional akibat Kecelakaan atau Penyakit yang

Uraian tersebut jelas, bahwa pada hakikatnya komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah

Jumlah dan Luas Kawasan Hutan Konservasi (Darat) di Jawa Barat sampai dengan Tahun 2016I. Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit Luas (ha) Unit

Pada tingkat analitik, analisis jender akan menghasilkan informasi yang diperlukan untuk mengarahkan PRSP mencapai sasarannya mengurangi jumlah perempuan miskin, seperti: •

Penulisan skripsi mengenai bagaimana pemenuhan hak-hak tunanetra sebagai pemilih dalam pemilihan umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kota Medan ini

Paham tentang Kerajaan Allah bukan baru muncul pada zaman Yesus, tetapi sudah lama diimpikan oleh bangsa Israel, terlebih pada saat-saat mereka sangat ditindas.. Dalam