• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Remaja dan Keluarga 2.1.1 Defenisi Remaja

Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Al-Mighwar, 2011). Remaja (Adolescence) adalah masa transisi/ peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut Adolescence, berasal dari bahasa Latin Adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Bangsa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan.

Anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Golongan remaja muda adalah para gadis berusia 13 sampai 17 tahun, inipun sangat tergantung pada kematangan secara seksual, sehingga penyimpangan-penyimpangan secara kasuistik pasti ada. Laki-laki yang disebut remaja muda berusia 14 tahun sampai 17 tahun. Remaja muda sudah menginjak 17 sampai dengan 18 tahun mereka lajim disebut golongan muda/anak muda. Sebab sikap mereka sudah mendekati pola sikap tindak orang dewasa, walaupun dari sudut perkembangan mental belum matang sepenuhnya (Naibaho, 2013).

(2)

2.1.2 Batasan Usia Masa Remaja

Masa pubertas berada dalam usia antara 15 – 18 tahun, dan masa adolescence (masa remaja) dalam usia antara 15 - 21 tahun, namun demikian ada petunjuk bahwa usia antara 15 – 21 tahun disebut pula sebagai masa pubertas. Hal ini berarti bahwa menurutnya, rentang usia 15 – 21 tahun adalah usia remaja (Al-Mighwar, 2011). Dariyo (2004) menyebutkan bahwa penggolongan remaja menurut Thornburg terbagi menjadi 3 tahap, yaitu : remaja awal (usia 13-14 tahun), remaja tengah (usia 15-17 tahun), dan remaja akhir (usia 18-21tahun). Masa remaja awal, umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah tingkat pertama (SLTP),sedangkan masa remaja tengah, individu sudah duduk di sekolah menengah atas (SMU). Kemudian, mereka yang tergolong remaja akhir, umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMU dan mungkin saja sudah bekerja.

Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri. Masa mecari jati diri ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa, ini ditunjukkan oleh sejumlah sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja. Sifat remaja yang pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga seringkali ingin mencoba-coba, menghayal dan merasa gelisah, serta berani melakukan pertentangan jika dirinya disepelekan atau tidak dianggap. Untuk itu, mereka sangat memerlukan keteladanan konsistensi, serta komunikasi yang tulus dan empatik dari orang dewasa.

Remaja sering kali melakukan perbuatan-perbuatan menurut normanya sendiri karena terlalu banyak menyaksikan ketidakkonsistenan di masyarakat yang

(3)

dilakukan oleh orang dewasa/orang tua; antara apa-apa yang sering dikatakan dalam berbagai forum dengan kenyataan nyata di lapangan. Kata-kata moral ini didengungkan dimana-mana, tetapi kemaksiatan juga disaksikan dimana-mana oleh ramaja. Proses perkembangan yang dialami remaja akan menimbulkan permasalahan bagi mereka sendiri dan mereka yang berada dekat dengan lingkungan hidupnya (Al Gifari,2002).

Sejak di dalam kandungan hingga lahir, seorang individu tumbuh menjadi anak, remaja, atau dewasa. Hal ini berarti terjadi proses perubahan pada diri setiap individu. Aspek-aspek perubahan yang dialami oleh setiap individu meliputi fisik, kognitif maupun psikososialnya(Dariyo, 2004). Lebih lanjut Dariyo (2004) dalam bukunya menyebutkan bahwa menurut pandangan Gunarsa dan Gunarsa bahwa secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan individu (bersifat

dichotomi), yakni :

a. Faktor Endogen (Nature). Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan - perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat

herediter yaitu yang diturunkan oleh orang taunya, misalkanpostur

tubuh(tinggi badan), bakat minat, kecerdasan, kepribadian, dan sebagainya. b. Faktor Exogen (Nurture). Pandangan faktor exogen menyatakan bahwa

perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu itu sendiri. Faktor ini diantaranya berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

c. Interaksi antra endogen dan exogen. Dalam kenyataannya, masingmasing faktor tersebut tidak dapat dipisahkan. Kedua faktor itu saling berpengaruh, sehingga terjadi interaksi antara faktor internal maupun eksternal, yang kemudian membentuk dan mempengaruhi perkembangan individu.

(4)

2.2 Peran Orang Tua

Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari pengertian keluarga,karena orang tua merupakan bagian besar yang sebagian besar telah tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Secara tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang yang dihubungkan dengan pertalian darah, perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama (Suparyanto, 2011).

Pengertian emosional yang sangat mendalam mengenai hubungan keluarga bagi hampir semua anggota masyarakat telah diobservasi sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Para ahli filsafat dan analis sosial sosial telah melihat bahwa masyarakat adalah struktur yang terdiri dari keluarga, dan bahwa keanehan-keanehan suatu masyarakat tertentu dapat digambarkan dengan menjelaskan hubungan kekeluargaan yang berlangsung didalamnya (Goode, 2007).

Ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperanan sebagai pencari nafkah,pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Ayah juga berperan sebagai pengambil kepu tusan dalam keluarga. Demikian juga halnya peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya

(5)

serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya (Effendy, 2004). Orang tua ikut berperan dalam menentukan arah pemilihan karier pada anak remajanya; walaupun pada akhirnya keberhasilan dalam menjalankan karier selanjutnya sangat tergantung pada kecakapan dan keprofesional-an pada orang (anak) yang menjalaninya. Karena hal ini berkaitan dengan masalah pembiayaan pendidikan, masa depan anaknyaagar terarah dengan baik, maka seringkali orang tua turut campur tanganagar anaknya memilih program studi yang mampu menjamin kehidupan kariernya. Biasanya orang tua yang berkecukupan secara ekonomi, menghendaki anaknya untuk memilih program studi yang cepat menghasilkan nilai materi, misalnya fakultas ekonomi, teknik, farmasi, kedokteran. Anggapan orang tua, anak yang mampu memasuki program ini, tentu akan terjamin masa depannya. Dalam kenyataannya, tak selamanya apa yang menjadi pilihan orang tua akan berhasil dijalankan oleh anaknya, kalau tidak disertai oleh minat bakat, kemampuan, kecerdasan, motivasi internal dari anak yang bersangkutan (Dariyo,2004).

2.2.1 Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh dapat diartikan sebagai gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Naibaho, 2011). Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan memberikan perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap keinginan anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan diresapi, kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya (Naibaho, 2011). Dalam mengasuh anak, orang tua tidak hanya mampu untuk

(6)

mengkomunikasikan fakta, gagasan, dan pengetahuan saja, melainkan membantu untuk menumbuhkembangkan kepribadian pada anak (Naibaho, 2011).

Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anaknya disebut sebagai pola pengasuhan. Dalam interaksinya dengan orang tua anak cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh. Di suatu sisi orang tua harus bisa menentukan pola asuh apa yang tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan disuatua sisi anak, disisi sebagai orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak menjadi seseorang yang dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya. Individu dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua dan lingkungan lainnya. Peranan orang tua tersebut akan memberikan lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya.

Dariyo (2004) dalam bukunya menyebutkan bahwa pola asuh orang tua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. Baumrind, ahli psikologi perkembangan membagi pola asuh orang tua menjadi 3 yakni otoriter, permisif, dan permisif.

a. Pola Asuh Otoriter

Dalam pola asuh ini orang tua berperan sebagai arsitek,cenderung menggunakan pendekatan yang bersifat diktator, menonjolkan wibawa, menghendaki ketaatan mutlak. Anak harus tunduk dan patuh terhadap kemauan orang tua. Apapun yang dilakukan oleh kegiatan yang ia inginkan, karena semua sudah ditentukan oleh orang tua (Aisyah, 2010). Ciri-ciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak.

(7)

Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua (Dariyo, 2004). Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri antara lain: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak. Orang tua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi pujian. Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa. Orang tua yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik (Aisyah, 2010).

b. Pola Asuh Permisif

Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan oleh orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung menjadi semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Dari sisi negatif lain, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku (Dariyo, 2004).Tipe orang tua yang mempunyai pola asuh permisif cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali. Anak sedikit sekali dituntut untuk suatu tangung jawab, tetapi mempunyai hak yang sama seperti orang dewasa. Anak diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri dan orang tua tidak banyak mengatur anaknya. Orang tua permisif memberikan kepada anak untuk berbuat sekehendaknya dan lemah sekali dalam melaksanakan

(8)

disiplin pada anak. Hurlock mengatakan bahwa pola asuhan permisif bercirikan adanya kontrol yang kurang, orang tua bersikap longgar atau bebas, bimbingan terhadap anak kurang. Ciri pola asuh ini adalah semua keputusan lebih banyak dibuat oleh anak daripada orang tuanya(Aisyah, 2010).

Pola asuh seperti ini tentu akan menimbulkan serangkaian dampak buruk. Di antaranya anak akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus. Secara teroritik hubungan pola asuh permisif dengan agresifitas mestinya lebih rendah dibandingkan dengan hubungan pola asuh otoriter dengan agresifitas. Namun, kenyataan di lapangan mengatakan lain, yakni pola permisif justru mempunyai hubungan yang lebih besar bagi munculnya agresifitas. Mengapa demikian? Beberapa kemungkinan dapat kita tampilkan; salah satu di antaranya adalah bahwa manusia semakin direndahkan martabatnya dengan tidak menggubris seluruh perbuatannya maka ia akan mencari perhatian dengan cara menampilkan perbuatan yang negatif yang langsung dapat mencemarkan nama baik keluarganya. Jika cara yang ditempuh individu itu mendapat reinforcement maka ia akan lebih sering melakukan tindakan yang negatif, dalam konteks ini adalah perilaku agresif (Aisyah, 2010).

(9)

c. Pola Asuh Demokratis

Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersma dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kekebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral (Dariyo, 2004). Stewart dan Koch (1983) menyatakan bahwa orang tua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. Secara bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka menjadi dewasa. Mereka selalu berdialog dengan anakanaknya,saling memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya. Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak, mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas tetapi hangat dan penuh pengertian (Aisyah, 2010).

d. Pola Asuh Situasional

Pola asuh dalam kenyataannya tidak diterapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menerapkan salah satu tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan secara fleksibel, luwes, dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Sehingga seringkali muncullah, tipe pola asuh situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak berdasarkan pada pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut diterapkan secara luwes (Dariyo, 2004).

(10)

2.3 Konsep Pernikahan 2.3.1 Defenisi Pernikahan

Pernikahan adalah awal dari pembentukan keluarga. Dari sudut pandang psikologis, keluarga dapat dilihat dari individu-individu yang ada dalam satu keluarga, dan bagaimana relasi antar individu-individu tersebut. Dengan demikian, persiapan psikologis individu/tokoh utama yang di soroti adalah muda-mudi calon pengantin, sedang dalam pasca nikah yang di soroti adalah pasangan suami isteri. Adapun individu-individu lain di pandang sebagai lingkungan sosial yang berkaitan dengan fase pra nikah maupun pasca nikah. Pada fase pra nikah lingkungan sosial terdekat adalah orang tua, sanak saudara, teman sejenis maupun lawan jenis. Pada fase pasca nikah lingkungan terdekat adalah orang tua/mertua, sanak saudara dari kedua belah pihak, teman sebaya sejenis maupun lawan jenis (Setiono, 2011).

Pasal 1 Undang - Undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, mendefinisikan pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No 1 Tahun 1974). Pernikahan adalah pintu bagi bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Pernikahan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan manusia di bumi (Bachtiar, 2004).

(11)

2.3.2 Tujuan Pernikahan

Penduduk Indonesia, kebanyakan sebelum memutuskan untuk menikah biasanya harus melalui tahap-tahapan yang menjadi prasyarat bagi pasangan tersebut. Tahapan tersebut diataranya adalah masa perkenalan atau datang kemudian setelah masa ini dirasa cocok, maka mereka akan melalui tahapan berikut yaitu meminang. Peminangan (courtship) adalah kelanjutan dari masa perkenalan dan masa berkencan(dating). Selanjutnya, setelah perkenalan secara formal melalui peminangan tadi, maka dilanjutkan dengan melaksanakan pertunangan

(mate-selection) sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk melaksanakan pernikahan

(Narwoko, dalam Kertamuda, 2009). Pernikahan merupakan aktivitas sepasang laki-laki dan perempuan yang terkait pada suatu tujuan bersama yang hendak dicapai. Dalam pasal 1 Undang - undang Pernikahan tahun 1974 tersebut diatas dengan jelas disebutkan, bahwa tujuan pernikahan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.3.3 Landasan Hukum Perkawinan

Adapun yang menjadi dasar hukum perkawinan adalah :

a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 - Pasal 1 : Perkawinan adalah ikatan suami istri lahir-bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa). Sebuah perkawinan diijinkan apabila seorang pria telah mencapai umur 19 tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 16 tahun. - Pasal 2 : (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

(12)

kepercayaannya. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Selain Undang-Undang diatas, Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, dapat juga dijadikan acuan dalam membentuk keluarga yang berketahanan dan berkualitas.

c. Untuk menindak lanjuti pasal (1) UU No. 1 Tahun 1974, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Pusat yang telah bekerjasama dengan MOU bahwa Usia Pertama Perkawinan adalah apabila seorang pria telah mencapai umur 25 tahun dan seorang wanita telah mencapai umur 20 tahun.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP Perdata) sebelum adanya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menggariskan batas umur perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 29 menyatakan bahwa laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak dapat mengadakan perkawinan. Sedangan batas kedewasaan seseorang berdasarkan KUHP Perdata pasal 330 adalah umur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah kawin.

Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 66 bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan tidak berlaku. Salah satunya adalah tidak berlakunya ketentuan batas umur perkawinan karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

(13)

tentang Perkawinan juga mengatur tentang batas umur perkawinan. Salah satu prinsip yang dianut oleh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah prinsip kematangan calon mempelai. Kematangan calon mempelai ini diimplementasikan dengan batasan umur perkawinan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pada usia tersebut, baik pria maupun wanita diasumsikan telah mencapai usia minimal untuk melangsungkan perkawinan dengan segala permasalahannya. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan juga menentukan batas umur selain ketentuan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria. Undang-undang perkawinan pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk melangsungkan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Instruksi Mendagri Nomor 27 Tahun 1983 tentang Usia Perkawinan dalam Rangka Mendukung Program Kependudukan dan Keluarga Berencana menyebutkan bahwa perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 20 tahun bagi wanita dan di bawah 25 tahun bagi pria.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 Ayat (1) dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan umur perkawinan baik bagi pria maupun wanita diharapkan laju angka kelahiran dapat ditekan seminimal mungkin.

(14)

Dengan demikian, program Keluarga Berencana Nasional dapat berjalan seiring dan sejalan dengan Undang-undang ini. Pada dasarnya penetapan batas usia perkawinan memang bertujuan demi kemaslahatan dan kebaikan terutama bagi calon mempelai.

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Nomor 4 Huruf (d) dijelaskan bahwa prinsip calon mempelai harus masak jiwa raganya dimaksudkan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu, perkawinan di bawah umur harus dicegah. Dengan ketentuan ini, maka penetapan batas usia perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan bersifat kaku. Artinya, tidakmemberikan peluang bagi siapapun untuk melakukannya. Meskipun telah ditetapkan batasan umur namun masih terdapat penyimpangan dengan melakukan perkawinan di bawah umur. Terhadap penyimpangan ini, Undang-Undang Perkawinan memberikan jalan keluar berupandispensasi kawin kepada pengadilan. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 bahwa Dispensasi Pengadilan Agama ialah penetapan yang berupa dispensasi untuk calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan atau calon istri yang belum berumur 16 tahun yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama.

Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta memutuskan/menetapkan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Perangkat Pengadilan Agama yang berwenang menetapkan dispensasi kawin adalah hakim. Permohonan dispensasi kawin ditujukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempatkediaman pemohon. Dan dalam surat permohonan itu harus dijelaskan alasan-alasan serta keperluan/maksud permohonan itu serta dengan siapa rencana perkawinan termaksud. Untuk mengetahui kelayakan calon mempelai yang akan

(15)

melangsungkan perkawinan di bawah umur, maka dilakukanlah persidangan dengan acara singkat. Penetapan dispensasi kawin, hakim mempertimbangkan antara lain kemampuan, kesiapan, kematangan pihak-pihak calon mempelai sudah cukup baik mental dan fisik. Hakim menetapkan dispensasi kawin harus didasarkan atas pertimbangan yang rasional dan memungkinkan untuk memberikan dispensasi kawin kepada calon mempelai. Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi kawin dengan suatu penetapan.

2.4 Pernikahan Usia Muda

2.4.1 Defenisi Pernikahan Usia Muda

Pernikahan usia muda yaitu suatu ikatan yang dilakukan oleh seseorang yang masih dalam usia muda atau pubertas disebut juga dengan pernikahan dini (Sarwono, 2007). Sedangkan Al Ghifari (2008) berpendapat bahwa pernikahan muda adalah pernikahan yang dilaksanakan diusia remaja. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan remaja adalah antara usia 10 – 19 tahun dan belum kawin. Pernikahan usia muda dapat didefenisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri di usiayang masih muda atau remaja. Sehubungan dengan pernikahan usia muda, maka ada baiknya kita terlebih dahulu melihat pengertian daripada remaja (dalam hal ini yang dimaksud rentangan usianya).

Pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan pada usia yang melanggar aturan undang-undang perkawinan yaitu perempuan kurang dari 16 tahun dan laki-laki kurang dari 19 tahun. Pernikahan pada usia dini merupakan bentuk kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat, dipengaruhi oleh banyak faktor

(16)

dan melibatkan berbagai faktor perilaku Pernikahan usia dini sebagai bentuk perilaku yang sudah dapat dikatakan membudaya dalam masyarakat. Maksudnya bahwa batasan individu dengan meninjau kesiapan dan kematarrgan usia individu bukan menjadi penghalang seseorang untuk tetap melangsungkan pernikahan(Landung, 2009).

2.4.2 Risiko Pernikahan Usia Muda

Masalah yang timbul dari pernikahan usia muda bagi pasangan suami istri pada umumnya adanya percekcokan kecil dalam rumahtangganya. Karena satu sama lainnya belum begitu memahami sifat keduanya maka perselisihan akan muncul kapan saja. Karena diantara keduanya belum bisa menyelami perasaan satu sama lain dengan sifat keegoisannya yang tinggi dan belum matangnya fisik maupun mental mereka dalam membina rumah tangga memungkinkan banyaknya pertengkaran atau bentrokan yang bisa mengakibatkan perceraian. Emosi yang tidak stabil, memungkinkan banyaknya pertengkaran jika menikah diusia muda. Kedewasaan seseorang tidak dapat diukurdengan usia saja, banyak faktor seseorang mencapai taraf dewasa secara mental yaitu keluarga, pergaulan, dan pendidikan. Semakin dewasa seseorang semakin mampu mengimbangi emosionalitasnya dengan rasio. Mereka yang senang bertengkar cenderung masih kekanak-kanakan dan belum mampu mengekang emosi.

Kesusahan dan penderitaan dalam kehidupan rumah tangga seperti; kekurangan ekonomi, pertengkaran-pertengkaran dan tekanan batin yang dialami oleh pasangan suami istri itu dapat mengakibatkan kesehatan khususnya anak anaknya menjadi terganggu. Pernikahan usia muda bukan hanya dari masalah kesehatan saja, dimana pernikahan diusia muda pada anak perempuan mempunyai

(17)

penyumbang terbesar terhadap kanker serviks. Masalah juga akan muncul terhadap kelangsungan pernikahan. Pernikahan yang tidak didasari persiapan yang matang akan menimbulkan masalah dalam rumah tangga seperti pertengkaran, percekcokan, bentrok antara suami isteri yang menyebabkan terjadinya perceraian(Naibaho, 2013). Tidak hanya itu saja, pernikahan diusia muda mendatangkan banyak resiko seperti :

a. Kematian Ibu (Maternal Mortality)

Resiko kesehatan pada ibu yang usiamuda juga tidak kalah besarnya dibanding bayi yang dikandung. Ibu kecil yang berusia antara 10-14 tahun berisiko meninggal dalam proses persalinan 5 kali lebih besar dari wanita dewasa. Persalinan yang berujung pada kematian merupakan faktor paling dominan dalam kematian gadis yang menikah di usia muda.

b. Kekerasan Rumah Tangga (Abuse and violence)

Ketidak setaraan jender merupakan konsekuensi dalam pernikahan anak. Mempelai anak memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyuarakan pendapat, menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan mengandung anak. Demikian pula dengan aspek domestik lainnya. Dominasi pasangan seringkali menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung tidak melakukan perlawanan, sebagai akibatnya merekapun tidak mendapat pemenuhan rasa aman baik di bidang sosial maupun finansial. Selain itu, pernikahan dengan pasangan terpaut jauh usianya meningkatkan risiko keluarga menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau menjanda karena pasangan meninggal dunia Banyak sekali pernikahan-pernikahan ini harus berakhir kembali ke pengadilan dalam waktu

(18)

yang tidak lama setelah pernikahan, untuk perkara yang berbeda yaitu perceraian.

c. Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini. Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini didukung oleh suatu penelitian yang menunjukkan bahwa keluaran negatif sosial jangka panjang yang tak terhindarkan, ibu yang mengandung di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, selainjuga mengalami krisis percaya diri. Anak juga secara psikologis belum siap untuk bertanggung jawab dan berperan sebagai istri, partner seks, ibu, sehingga jelas bahwa pernikahan anak menyebabkan imbas negatif terhadap kesejahteraan psikologis serta perkembangan kepribadian mereka. Masalah yang ditimbulkan dari pernikahanan usia muda tidak hanya dirasakan oleh pasangan pada usia muda, namun berpengaruh pula pada anak-anak yang dilahirkannya. Bagi wanita yang melangsungkan pernikahan di bawah usia 20 tahun, akan mengalami gangguan-gangguan pada kandungannya yang dapat membahayakan kesehatan si anak, sehingga anak mengalami gangguan perkembangan fisik dan rendahnya tingkat kecerdasan.

2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Muda

BKKBN tahun 2011 menemukan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi median usia pernikahan pertama perempuan adalah faktor sosial, ekonomi, budaya dan tempat tinggal (desa/kota). Di antara faktor-faktor tersebut, faktor ekonomi merupakan faktor yang paling dominan terhadap median usia nikah/kawin pertama perempuan. Hal ini ditengarai disebabkan oleh kemiskinan yang membelenggu perempuan dan orang tuanya. Karena tidak mampu membiayai anaknya, maka orang

(19)

tua menginginkan anaknya tersebut segera menikah sehingga mereka terlepas dari tanggung jawab dan berharap setelah anaknya menikah mereka akan mendapatkan bantuan ekonomi (Naibaho, 2011).

Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dalam usia muda yakni menurut RT. Akhmad Jayadiningrat (dalam Naibaho, 2011), sebab-sebab utama dari pernikahan usia muda adalah:

a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga.

b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk pernikahan terlalu muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.

c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat. Orang desa kebanyakan mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat saja.

Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pernikahan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu faktor ekonomi, pendidikan, keluarga, kemauan sendiri, media masa dan hamil diluar nikah (Naibaho, 2011).

a. Faktor Ekonomi

Mencher (dalam Naibaho, 2011) mengemukakan kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau sekelompok orang, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka tidak mampu mencapai kehidupan yang layak. Sehingga dapat kita katakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda adalah tingkat ekonomi keluarga. Rendahnya tingkat ekonomi keluarga mendorong si anak untuk menikah diusia yang tergolong muda untuk meringankan beban orang

(20)

tuanya. Dengan si anak menikah sehingga bukan lagi menjadi tanggungan orang tuanya (terutama untuk anak perempuan), belum lagi suami anaknya akan bekerja atau membantu perekonomian keluarga maka anak wanitanya dinikahkan dengan orang yang dianggap mampu.

b. Faktor Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan cenderung melakukan aktivatas sosial ekonomi yang turun temurun tanpa kreasi dan inovasi. Akibat lanjutnya produktivitas kerjanyapun sangat rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara memadai. Karena terkadang seorang anak perempuan memutuskan untuk menikah diusia yang tergolong muda. Pendidikan dapat mempengaruhi seorang wanita untuk menunda usia untuk menikah. Makin lama seorang wanita mengikuti pendidikan sekolah, maka secara teoritis makin tinggi pula usia kawin pertamanya. Seorang wanita yang tamat sekolah lanjutan tingkat pertamanya berarti sekurang-kurangnya ia menikah pada usia di atas 16 tahun ke atas, bila menikah diusia lanjutan tingkat atas berarti sekurang-kurangnya berusia 19 tahun dan selanjutnya bila menikah setelah mengikuti pendidikan di perguruan tinggiberarti sekurang-kurangnya berusia di atas 22 tahun(Naibaho,2011).

c. Faktor Keluarga/Orang tua

Orang tua bahkan keluarga menyuruh anaknya untuk menikah secepatnya padahal umur mereka belum matang untuk melangsungkan pernikahan, karena orang tua dan keluarga khawatir anaknya melakukan hal-hal yang tidak di inginkan karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera menikahkan anaknya. Hal ini merupakan

(21)

hal yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah keluarga yang mempunyai anak gadis tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya menikah.

d. Faktor kemauan sendiri

Kemauan individu yang sangat kuat ini disebabkan karena keduanya merasa sudah saling mencintai dan adanya pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau media-media yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih terpengaruh untuk melakukan pernikahan di usia muda (Naibaho, 2011).

e. Faktor Media massa

Media cetak maupun elektronik merupakan media massa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat kota maupun desa. Oleh karena itu, media masa sering digunakan sebagai alat menstransformasikan informasi dari dua arah, yaitu dari media massa ke arah masyarakat atau menstransformasi diantara masyarakat itu sendiri. Cepatnya arus informasi dan semakin majunya tehnologi sekarang ini yang dikenal dengan era globalisasi memberikan bermacam-macam dampak bagi setiap kalangan masyarakat di Indonesia, tidak terkecuali remaja. Teknologi seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, disatu sisi berdampak positif tetapi di sisi lain juga berdampak negatif. Dampak positifnya, yaitu munculnya imajinasi dan kreatifitas yang tinggi. Sementara pengaruh negatifnya, masuknya pengaruh budaya asing seperti pergaualan bebas dan pornografi. Masuknya pengaruh budaya asing mengakibatkan adanya pergaulan bebas dan seks bebas (Naibaho, 2011). Menurut Rohmahwati, dkk (2008) paparan media massa, baik cetak koran, majalah, buku-buku porno) maupun elektronik (TV, VCD,

(22)

Internet), mempunyai pengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah.

f. Faktor MBA (Married By Accident)

Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Pernikahan pada usia remaja pada akhirnya menimbulkan masalah tidak kalah peliknya. Jadi dalam situasi apapun tingkah laku seksual pada remaja tidak pernah menguntungkan, pada hal masa remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa. Selain itu, pasangan yang menikah karena “kecelakaan” atau hamil sebelum menikah mempunyai motivasi untuk melakukan pernikahan usia muda karena ada suatu paksaan yaitu untuk menutupi aib yang terlanjur terjadi bukan atas dasar pentingnya pernikahan (Naibaho, 2011).

2.4.4 Dampak Pernikahan Usia Muda

Pernikahan usia muda memiliki dampak yang begitu besar, ada yang berdampak bagi kesehatan, adapula yang berdampak bagi psikis dan kehidupan keluarga remaja (Al Ghifari, 2002).

a. Kanker Leher Rahim

Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Kalau terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker Leher rahim ada dua lapisan epitel, epitel skuamosa san epiter kolumner, pada sambungan kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif,

(23)

terutama pada usia muda. Epitel koluner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut metaplasia, kalau ada HPV menempel, perubahan penyimpangan menjadi diplasia yang merupakan awal dari kangker. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah matang, sehingga resiko makin kecil (Lutfiyati, 2008).

b. Kesehatan Maternal dan Bayi

Kehamilan remaja memiliki dampak signifikan pada kesehatan anak dan meternal. Anak yag lahir dari ibu remaja cenderung untuk memiliki berat badan lahir rendah, cedera saat lahir, dan dihubungkan dengan komplikasi persalinan yang berdampak pada tingginya mortalitas. Peningkatan resiko kematian bayi pada ibu remaja juga dihubungkan dengan imaturitas kehamilan dan pengalaman minimal. Penelitian menunjukkan kehamilan remaja kurang dari 20 tahun beresiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan kehamilan pada berusia 20-35 tahun (Azwar, 2001). Fisik dan biologis remaja itu belum kuat, tulangpanggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan prosespersalinan, selain itu remaja banyak menderita enemi selagi hamil dan melahirkan, mengalami masa reproduksi lebih panjang, sehingga memungkinkan banyak peluang besar untuk melahirkan dan mempunyai anak, oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20-30 tahun. Idealnya menikah itu pada saat dewasa awal yaitu sekira 20 sebelum 30 tahun untuk wanitanya, sementara untuk pria 25 tahun. Karena secara biologis dan psikis sudah matang untuk memiliki keturunan, artinya resiko melahirkan anak cacat atau meninggal tidak besar (Al Ghifari,2002).

(24)

c. Neoritis Depresi

Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi yang tertutup akan membuat pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizopremia atau dalam bahasa awam yang dikenal dengan sebutan orang gila, sedang depresi berat pada pribadi terbuka sejak masih kecil si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya. Pernikahan usia muda sulit membedakan apakah remaja laki-laki atau remaja perempuan yang biasanya mudah mengendalikan emosi. Situasi emosi mereka jelas labil, sulit kembali pada saat situasi normal. Sebaiknya, sebelum ada masalah lebih baik diberi prevensi dari pada mereka diberi arahan setelah menemukan masalah. Biasanya orang baru menemukan masalah kalau dia punya anak. Begitu punya anak berubah 100%. Kalau berdua tanpa anak masih bisa enjoy apalagi kalau kedua keluarganya berasal dari keluarga yang cukup mampu keduanya masih bisa menikmati masa remaja dengan bersenang-senang meski terikat dalam tali pernikahan. Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang harus diambil berdasarkan emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka dalam bertindak. Meski tak terjadi merried by incident (MBA) atau menikah karena kecelakaan kehidupan pernikahanakan berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut juga tidak boleh dilepas begitu saja (Al Ghifari, 2002).

(25)

d. Konflik yang Berujung Perceraian

Sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan dini sering berujung keperceraian. Pernikahan yang umumnya dilandasi rasa cinta berdampak buruk bila dilakukan oleh remaja, kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa.

Masa remaja boleh dibilang baru berhenti pada usia 19 tahun. Pada usia 20-24 tahun dalam psikologi dikatakan sebagai usia dewasa muda. Pada masa ini, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke remaja yang lebih stabil. Maka jika pernikahan dilakukan di bawah 20 tahun. Secara emosi si remaja masih ingin berpetualang menemukan jati dirinya seperti remaja setelah menikah dan mempunyai anak, sebagai seorang istri harus melayani suami dan suami tidak bisa kemana-mana karena harus bekerja untuk belajar bertanggung jawab terhadap masa depan keluarga. Ini yang menyebabkan gejolak dalam rumah tangga sehingga terjadi perceraian dan pisah rumah.

2.5 Kerangka Pemikiran

UU No. 1 tahun 1974, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pria sudah mencapai umur 19 dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pernikahan adalah penyatuan jiwa dan raga dua manusia yang berlawanan jenis dalam satu ikatan yang suci dan mulia di bawah lindungan hukum Tuhan Yang Maha Esa. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah melakukan kerjasama dengan MOU yang menyatakan bahwa usia perkawinan

(26)

pertama diijinkan apabila pihak pria mencapai umur 25 tahun dan wanita mencapai umur 20 tahun. Realita dalam kenyataannya masih banyak kita jumpai perkawinan pada usia muda atau dibawah umur.

Pernikahan usia muda merupakan suatu pernikahan formal atau tidak formal yang dilakukan dibawah usia 18 tahun (UNICEF, 2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi pernikahan usia muda menurut BKKBN tahun 2011 yaitu: faktor sosial, faktor ekonomi, faktor budaya, dan faktor lingkungan. Dampak dari pernikahan usia muda ada yang berdampak bagi kesehatan, ada juga yang berdampak bagi psikis dan kehidupan keluarga remaja (Al Ghifari, 2002). Diantaranya kanker leher rahim, kesehatan maternal dan bayi, neoritis depresi dan konflik yang berujung perceraian.

(27)

2.5.1 Bagan Alur Fikir

Gambar 2.1

Bagan Alur Pikir

Remaja Penyebab : a. Faktor ekonomi b. Faktor pendidikan c. Faktor keluarga/ Orangtua d. Faktor media massa e. Faktor MBA (married by accident) Resiko: a. Kanker Leher Rahim b. Kesehatan Maternal dan Bayi c. Neoritis Depresi d. Konflik yang berujung perceraian Menikah

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan sesi keempat ini diisi dengan diskusi kelompok dan workshop identifikasi keterampilan kognitif yang terdiri dari keterampilan matematika, keterampilan sains dan

Dengan kandungan pati yang tinggi ini maka jagung berondong dapat lebih banyak memerangkap udara sehingga membuat snack food mengembang.. Perbandingan bahan juga

Pada tahap pertama keterampilan tata rias adalah rias wajah atau make up. Difabel yang memiliki keterampilan dasar dalam merias wajah diperdalam dalam pelatihan

perangkat gkat keras komputer keras komputer yang yang berfu berfungsi ngsi untuk memasukkan data ke dalam memori untuk memasukkan data ke dalam memori

Menjelaskan bahan- bahan kimia alami dan bahan-bahan kimia buatan yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna, pemanis, pengawet, dan penyedap yang terdapat dalam bahan

Prototyping smart parking berbasis arduino uno dapat diambil kesimpulan yaitu sistem parking ini dapat terkendali dengan sensor ultrasonik yang dapat memdeteksi

Pengertian pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Momerandum DPR-GR 9 juni 1966 yang

Pada proses perencanaan Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Pembangunan Fisik di Desa Sukomulyo Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara yaitu kepala desa sukomulyo