• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Kondisi Umum Lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Kondisi Umum Lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan dapat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lahan Hutan Tanaman Industri (HTI)

Pembangunan hutan tanaman industri memerlukan tanah yang subur agar hasil tanaman dapat optimum. Produktivitas suatu ekosistem dapat dipertahankan jika tanah dapat melakukan fungsinya secara optimal. Tanah merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan dapat

dimanipulasi melalui teknik silvikultur dalam rangka perbaikan kesuburan tanah (Fisher dan Binkley 2000).

Secara umum kondisi kesuburan kimia tanah lahan di bawah tegakan Eucalyptus termasuk rendah dilihat dari pH tanah, ketersediaan P-tanah, ketersediaan N-tanah, dan ketersediaan mineral-mineral basa tanah (Ca, Mg, K), sehingga memerlukan manajemen lahan yang lebih baik dengan masukan hara berupa pupuk dari luar (Mindawati dkk, 2010).

Pupuk yang diberikan tidak akan diserap seluruhnya oleh tumbuh-tumbuhan. Suatu bagian (persentase) tertentu akan hilang melalui pencucian tanah, penguapan atau imobilisasi. Proporsi pupuk yang diserap oleh tumbuhan menunjukkan tingkat efisiensi pemupukan. Tingkat efisiensi ini tergantung terutama pada jenis pupuk, kondisi tanah dan iklim, serta bentuk pengelolaan yang diterapkan (Mackensen, 2000). Melihat kondisi ini maka diperlukan mikroba pelarut fosfat untuk membantu meningkatkan efisiesi pemupukan.

Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroba pelarut fosfat hidup di sekitar perakaran tanaman, mulai permukaan tanah sampai kedalaman 25cm. Keberadaannya berkaitan dengan

(2)

jumlah bahan organik yang akan mempengaruhi populasi serta aktivitasnya dalam tanah. Mikroba yang hidup dekat daerah perakaran secara fisiologis lebih aktif dibanding mikroba yang hidup jauh dari daerah perakaran. Keberadaan mikroba pelarut fosfat beragam dari satu tempat ke tempat lainnya karena perbedaan sifat biologis mikroba itu sendiri. Terdapat mikroba yang hidup pada kondisi masam dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik, mesofilik dan termofilik ada yang hidup aerob maupun anaerob dan beberapa sifat lain yang bervariasi. Masing-masing mikroorganisme memiliki sifat-sifat khusus dan kondisi lingkungan optimal yang berbeda-beda yang mempengaruhi efektivitasnya melarutkan fosfat (Ginting dkk, 2006).

Mikroorganisme pelarut fosfat terdiri atas bakteri, fungi dan sedikit aktinomisetes (Chen et al., 2002). Mikroorganisme yang termasuk dalam kelompok bakteri pelarut fosfat antara lain Pseudomonas striata, P. diminuta, P. fluorescens, P. cerevisia, P. aeruginosa, P. putida, P. denitrificans, P. rathonis, Bacillus polymyxa, B. laevolacticus, B. megatherium, Thiobacillus sp., Mycobacterium, Micrococcus, Flavobacterium, Escherichia freundii, Cunninghamella, Brevibacterium spp., Serratia spp., Alcaligenes spp., Achromobacter spp., dan Thiobacillus sp. Kelompok bakteri pelarut fosfat yang banyak terdapat pada lahan pertanian di Indonesia berasal dari genus Enterobacter dan Mycobacterium (Gunarto dan Nurhayati, 1994). Mikroorganisme yang termasuk dalam kelompok jamur antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Zerowilia lipolitika, Pseudomonas sp. Mikroba pelarut fosfat akan melepaskan ikatan P dari mineral liat tanah dan menyediakannya bagi tanaman.

(3)

Umumnya mikroorganisme pelarut fosfat secara alami berada di tanah berkisar 0,1-0,5% dari total populasi mikroorganisme. Populasi mikroorganisme pelarut fosfat dari kelompok bakteri jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok fungi. Jumlah populasi bakteri pelarut fosfat dapat mencapai 12 juta organisme per gram tanah sedangkan fungi pelarut fosfat hanya berkisar dua puluh ribu sampai dengan satu juta per gram tanah (Alexander, 1977).

Jamur pelarut fosfat merupakan salah satu anggota mikroba tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan P oleh tumbuhan. Bentuk ikatan P yang umum ditemui pada kondisi masam adalah AlPO4 dan FePO4.

Jamur pelarut fosfat mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4

Peranan Mikroba Pelarut Fosfat

lebih baik dibanding BPF pada kondisi masam (Premono, 1998)

Secara umum kondisi kesuburan kimia tanah lahan di bawah tegakan termasuk rendah hingga sangat rendah dilihat dari pH tanah, ketersediaan P-tanah, ketersediaan N-tanah, dan ketersediaan mineral-mineral basa tanah (Ca, Mg, K), sehingga memerlukan manajemen lahan yang lebih baik dengan masukan hara berupa pupuk dari luar (Mindawati dkk, 2010).

Pada tanah-tanah yang kandungan P tinggi akibat akumulasi atau residu pemberian pupuk P yang menumpuk, maka mikroorganisme ini dapat digunakan sebagai penambat fosfat dari tanah-tanah tersebut. Dengan pemberian mikroorganisme pelarut fosfat tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kelarutan P dari pupuk P yang diberikan maupun senyawa P yang berasal dari residu pemupukan sebelumnya di dalam tanah (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006).

(4)

Mekanisme Pelarutan Fosfat

Mekanisme kimia pelarutan fosfat dimulai saat mikroba pelarut fosfat mengekresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah hasil metabolisme seperti asetat, propionat, glutamat, formiat, glikolat, fumarat, oksalat,

suksinat, tartarat, sitrat, laktat, malat, fumarat dan α-ketoglutarat (Beauchamp dan Hume, 1997). Meningkatnya asam-asam organik tersebut diikuti

dengan penurunan pH. Penurunan pH dapat pula disebabkan oleh pembebasan asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium. Perubahan pH berperan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat. Asam-asam organik tersebut akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+ atau Mg2+

Jamur pelarut fosfat memiliki 3 mekanisme dalam meningkatkan penyerapan P yaitu: (1) secara fisik dimana infeksi jamur pada akar tanaman dapat membantu pengambilan fosfor dengan memperluas permukaan sampai akar; (2) secara kimia jamur diduga mendorong perubahan pH perakaran. Jamur juga menghasilkan asam sitrat dan asam oksalat yang menggantikan posisi ion fosfat yang terfikasasi; (3) secara fisiologi, jamur menghasilkan hormon auksin, sitokinin dan giberelin yang mampu memperlambat proses penuaan akar sehingga memperpanjang masa penyerapan unsur hara (Premono, 1998).

membentuk khelat organik yang stabil yang mampu membebaskan ion fosfat terikat sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Setiawati, 1998).

Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase dan enzim fitase. Fosfatase merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah.

(5)

tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Joner et al., 2000).

Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase. Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia (Paul dan Clark, 1989).

Asam-asam organik melarutkan P pada media dan dalam tanah melalui mekanisme antara lain: kompetisi anion ortofosfat pada tapak jerapan, perubahan pH media, pengikatan logam membentuk logam organik dan khelat oleh ligan organik. Terdapatnya asam-asam organik ini dalam tanah sangat penting artinya dalam mengurangi ikatan P oleh unsur penjerapannya dan mengurangi daya racun logam seperti aluminium pada tanah masam. Kecepatan pelarut P dari mineral P oleh asam organik ditentukan oleh: (1) kecepatan difusi asam organik dari larutan tanah, (2) waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral, (3) tingkat dissosiasi asam organik, (4) tipe dan letak gugus fungsi asam organik, (5) affinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan (6) kadar asam organik dalam larutan tanah Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat adalah asam sitrat > asam oksalat = asam tartarat = asam malat > asam laktat = asam fumarat = asam asetat. Asam organik yang mampu membentuk komplek yang lebih mantap dengan kation logam lebih efektif dalam melepas Al dan Fe mineral tanah sehingga akan melepas P yang lebih besar. Urutan kemudahan fosfat terlepas mengikuti ukuran Ca3(PO4)2 > AlPO4 > FePO4 (Premono, 1994).

(6)

Potensi Mikroba Melarutkan Fosfat

Kemampuan pelarutan fosfat terikat secara kuantitatif dapat pula diukur dengan menumbuhkan biakan murni mikroba pelarut fosfat pada media cair Pikovskaya. Kandungan P terlarut media cair tersebut diukur setelah masa inkubasi. Sebagai contoh, cendawan Aspergillus sp. mampu melarutkan P terikat dari media tersebut sebesar 11,32 mg P2O5

Penelitian Lestari dan Saraswati (1997) melaporkan bahwa jamur pelarut P mampu meningkatkan kadar fosfat terlarut sebesar 27-47% di tanah masam. Penelitian Goenadi dan Saraswati (1994), menunjukkan JPF mampu melarutkan fosfat 12-162 ppm di media Pikovskaya dengan sumber P dari AlPO

/50 ml media (Dewi, 2007).

4

Penelitian dengan jamur sebagai mikroba pelarut P juga telah banyak dilakukan, jenis jamur yang paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Penicillium sp. Kelompok Penicillium sp mampu melarutkan 26-40% Ca

.

3(PO4)2,

sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18%. Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperanan dalam pelarutan Ca-P. Aspergillus fumigatus dan Aspergillus candidus yang diteliti oleh Banik (1982) menunjukkan kemampuan yang jauh melebihi fosfobakterin dalam melarutkan Ca3(PO4)2, AlPO4 dan

FePO4, sedangkan Aspergillus niger yang diteliti olah Anas et al. (1993) dan

Lestari (1994) sangat baik dalam meningkatkan P larut dari media batuan fosfat, yakni lebih dari 10 kali lipat. Aspergillus ficum yang diteliti oleh Premono (1994) mampu meningkatkan ketersediaan P pada tanah sebesar 25%, dan mampu melarutkan bentuk-bentuk Ca-P dan Fe-P. Hasil penelitian Maningsih dan Anas (1996) menunjukkan jamur Aspergillus niger dapat meningkatkan kelarutan P dari

(7)

AlPO4 sebesar 135% dan dapat meningkatkan P larut pada tanah Ultisol sebesar 30.4% dibandingkan kontrol.

Penelitian Telaumbanua (2011) pada lahan gambut menunjukkan isolat dapat melarutkan P dengan sumber media AlPO4 sebesar 8,348 - 19,668 ppm atau sekitar 16 – 38 kali lebih besar dibandingkan dengan control atau tanpa inokulan yang sebesar 0,516 ppm. Penelitian Sitorus (2013) menunjukkan jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber Ca3(PO4)2 hampir sama untuk semua isolat yaitu

sekitar 68,549 - 72,601 ppm tergolong dalam kriteria sangat tinggi, sedangkan jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber AlPO4, FePO4 dan RP memiliki

jumlah dan kriteria yang berbeda untuk semua isolat. Jumlah P yang dapat dilarutkan dari sumber AlPO4 sebesar 25,876 - 45,138 ppm. Jumlah P yang dapat

dilarutkan dari sumber FePO4 sebesar 7,875 - 46,424 ppm. Jumlah P yang dapat

dilarutkan dari sumber RP untuk isolat 1 sebesar 10,883 ppm, isolat 2 sebesar 18,574 ppm dan isolat 6 sebesar 13,018 ppm.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan metode RULA dapat disimpulkan bahwa postur kerja yang memiliki level resiko tertinggi pada operator gass cutting adalah

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis telah berhasil menyelesaikan penelitian yang berjudul “Hubungan Lama

Seorang karyawan yang memiliki kinerja (hasil kerja atau karya yang dihasilkan) yang tinggi dan baik dapat menunjang tercapainya tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan

Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui adanyan hubungan antara obesitas sebagai faktor risiko osteoarthritis lutut dengan aktivitas

Jika 10 lelaki atau 15 wanita atau 20 anak- anak mempunyai kemampuan yang sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan selama 8 jam per hari dalam 10 hari, maka

Dengan demikian dapat diketahui bahwa dari 100 responden dengan gagasan karyawan yang disampaikan melalui web menjadi masukan bagi perusahaan dalam memaksimalkan

Seminar Nasional Membangun Karakter Enterpreneur berbasis Konservasi dalam Bidang Boga, Busana dan Kecantikan,. Manager Spa, Peluang dan Tantangan FT UNNES

Nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0,591, menunjukkan bahwa keterkaitan antara Religiusitas yang terdiri dari dimensi Ritual, dimensi Ideologis, dimensi