• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEDOMAN PROSES PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN PRINSIP HAK ASASI MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEDOMAN PROSES PELAKSANAAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN PRINSIP HAK ASASI MANUSIA"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

Mempertemukan dan Menerapkan Prinsip Hak Asasi

Manusia (HAM) dalam Proses Pelaksanaan dan

Pencapaian Agenda Tujuan Pembangunan

Berkelanjutan (TPB/SDGs) di Indonesia

INFID 2019

PEDOMAN PROSES PELAKSANAAN

TUJUAN PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN BERDASARKAN

PRINSIP HAK ASASI MANUSIA

(2)
(3)

%JTVTVOPMFI  *OUFSOBUJPOBM/(0'PSVNPO*OEPOFTJBO%FWFMPQNFOU*/'*%  1FSIJNQVOBO#BOUVBO)VLVNEBO)".*OEPOFTJB 1#)*  *OEPOFTJB6OUVL,FNBOVTJBBO *,B 5JN1FOVMJT  5PUPL:VMJZBOUP  +VMJVT*CSBOJ  0LUJ1;BLBSJB  #POB5VB11 Supported by :

Dokumen ini diterbitkan oleh INFID bekerjasama dengan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa), melalui Program Peduli, dengan dukungan dari The Asia Foundation.

Isi dari dokumen ini sepenuhnya menjadi tanggung-jawab dari penulis, dan tidak mencerminkan pendapat baik dari The Asia Foundation maupun Indonesia untuk Kemanusiaan

Mempertemukan dan Menerapkan Prinsip Hak

Asasi Manusia (HAM) dalam Proses

Pelaksanaan dan Pencapaian Agenda Tujuan

Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) di

Indonesia

PEDOMAN PROSES PELAKSANAAN

TUJUAN PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN BERDASARKAN

PRINSIP HAK ASASI MANUSIA

(4)
(5)

DAFTAR ISI

Daftar Singkatan vi

Kata Pengantar vii

BAB I PENDAHULUAN 1

Gambaran Umum Kondisi HAM dan SDGS di Indonesia 1

Ruang Lingkup Buku Pedoman 4

Bab II INTER-RELASI HAM DAN SDGs 7

A. Gambaran Umum HAM dan SDGS 7

Konsepsi Umum Tentang Hak Asasi Manusia 7

Konsepsi Atas Sustainable Development Goals (SDGs)/Tujuan Pembangunan

Berkelanjutan (TPB) 9

B. Inter-relasi HAM dan SDGS 10

Persamaan Prinsip Antara HAM dan SDGs/TPB 10

Posisi Negara Sebagai Pemangku Kewajiban Pelaksanaan HAM dan SDGs/TPB 11 Sasaran SDGs/TPB Merupakan Perwujudan atas Nilai-nilai HAM 12 Mendekati TPB/SDGs dengan Pemantauan/Monitoring Berbasis Prinsip HAM 14

Bab III PRAKTIK BAIK ADVOKASI HAM 19

Kabupaten Ramah HAM Wonosobo 19

Isbath Nikah di Kabupaten Aceh Utara 20

“Angin Segar” dan “Memulihkan Martabat” Minoritas Kepercayaan Melalui Pengajuan

Konstitusional di Mahkamah Konstitusi 22

Membangun Kesadaran Advokasi Korban Pelanggaran HAM (Talangsari) 23 Mendorong Peran Aktif Negara Atas Akses Bantuan Hukum (Koalisi Advokasi Masyarakat Sipil

untuk UU Bantuan Hukum/KUBAH) 24

Menghancurkan Hambatan Regulasi Melalui Mahkamah Konstitusi (Putusan MK Terhadap

Masyarakat Adat) 26

Praktek Monitoring Agenda SDGs Terkait HAM Pada Tujuan 16 di Uruguay (Studi Monitoring

Tujuan 16 Pada Tingkat Negara) 28

BAB IV TAWARAN UPAYA YANG BISA DILAKUKAN ORGANISASI MASYARKAT SIPIL 31

Mendorong Integrasi Program HAM dan SDGs/TPB 31

Pemantauan/Monitoring Program HAM dan SDGs 34

Upaya yang Bisa Dilakukan 36

Konsolidasi Jaringan Masyarakat Sipil 36

Pemetaan Kebutuhan: Prioritas Isu HAM 37

Forum Bersama Multipihak 39

Usulan Regulasi 39

(6)

DAFTAR PUSTAKA 42

LAMPIRAN 46

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1. Diagram Alur Negara, HAM dan SDGs 12

Diagram 2. Pemetaan Kebutuhan Prioritas HAM 51 38

DAFTAR TABEL

Tabel 1. HAM dan UUD 1945 8

Tabel 2. Sampel Uruguay Kartu Skor Monitoring Agenda HAM dalam SDGs Tujuan 16 29 Tabel 3. Tabel Sinkronisasi RPJMN dengan Indikator Pelaksanaan Tujuan 16 SDGs/TPB dan

Instrumen Hak Asasi Manusia (dalam lampiran) 46

Tabel 4. Tabel Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat (Putusan MK Nomor: 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 67)

51 Tabel 5. Beberapa Peristiwa Terkait Penegakan HAM di Indonesia 54 Tabel 7. Ratifikasi Indonesia Terhadap Mekanisme dan Instrumen HAM Internasional 55 Tabel 8. Status Laporan Indonesia dalam UPR (Universal Periodic Report) 55

(7)

DAFTAR SINGKATAN

Adminduk : Administrasi dan Kependudukan BPHN : Badan Pembinaan Hukum Nasional

CAT : Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia)

CBD : Convention on Biological Diversity (Konvensi Biologi/Hayati)

CEDAW : Internationl Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan)

CIESU : Central Information Evaluation and Study Uruguay (Pusat Informasi dan Studi Uruguay) CRC : Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak)

CPPCG : Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Konvensi tentang Perlindungan dan Hukuman Terhadap Kejahatan Genosida)

CRPD : Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas)

CSO : Civil Society Organization

CTOC : United Nation Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Organisasi Kejahatan Transnasional)

DEVAW : Declaration on the Elimination of Violence Against Women (Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan)

DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

HPLF : High Level Panel Forum 2017 (Forum Politik Tingkat Tinggi 2017)

ICCPR : International Covenant on Civil and Politic Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik}

ICERD : International Convention on The Elimination of All Forms on Racial Discrimination (Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial)

ICESCR : International Covenant on Economic, Social and Cultural Rigts (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)

ICPPED : International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (Konvensi Internasional tentang Perlindungan Kepada Semua Orang dari Penghilangan Paksa) ICMW : International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members

of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh Pekerja

Migran dan Anggota Keluarganya)

INFID : International NGO Forum on Indonesia Development IKa : Indonesia untuk Kemanusiaan

IKOHI : Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang Indonesia IPAK : Indeks Perilaku Anti Korupsi

KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KOMNAS

HAM

: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

KUA : Kantor Urusan Agama

KUBAH : Koalisi Advokasi Masyarakat Sipil untuk UU Bantuan Hukum MDGs : Millenium Development Goals Menteri PPN/Kepala

Bappenas : Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(8)

OMS : Organisasi Masyarakat Sipil

OP-CRC-AC : Optional protocol to the Convention on the Rights of the Child on the involvement of children

in armed conflict (Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak dalam Konflik Bersenjata

OP-CRC-SC : Optional protocol to the Convention on the Rights of the Child on The sale of children, child

prostitution and child pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai

Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) Perda : Peraturan Daerah

PINTAR : Pandu Inklusi Nusantara

PPID : Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumenasi P2KTL : Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung RAN : Rencana Aksi Nasional

RAD : Rencana Aksi Daerah

RANHAM : Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia

RAN SDG’s : Rencana Aksi Nasional Sustainable Development Goals RANTPB : Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan RKP : Rencana Kerja Pemerintah

RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJPN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPuK : Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan SAKIP : Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah SDG’s : Sustainable Development Goals

SKPD : Satuan Kerja Pelaksana Dinas TPB : Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

UNCAC : United Nation Convention Against Corruption (Konvensi PBB Tentang Anti Korupsi) UDHR : Universal Declaration of Human Right

UNDRIP : United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi PBB Tentang Hak Asasi Indigenous Peoples)

UUD 1945 : Undang-Undang Dasar 1945

UU HAM : Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia UN : United Nation Organzation

UNESCO : United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change (Framework Konvensi Perubahan Iklim)

UPR : Universal Periodic Review (Laporan Periodik Universal

VNR : Voluntary National Review

VNR : (Uruguay) Voluntary National Review 2017 WTP : Wajar Tanpa Pengecualian

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena limpahan rahmat-Nya, kami berhasil menerbitkan sebuah dokumen yang berjudul, “Pedoman Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Hak Asasi Manusia, Menghubungkan Prinsip Hak Asasi Manusia Terhadap Target Pencapaian Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”.

Dokumen pedoman, yang kini berada di tangan anda ini, kami terbitkan sebagai salah satu referensi, maupun sumber informasi, bagi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi Hak Asasi Manusia (HAM), melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs). Dengan kata lain, pelaksanaan dan pencapaian SDGs di Indonesia hendaknya disertai dengan penerapan prinsip-prinsip HAM, khususnya pada Tujuan 16. Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh. Selain aitu, dokumen ini juga diharapkan dapat menjadi pedoman praktis bagi kelompok rentan (korban pelanggaran HAM, masyarakat adat dan minoritas agama). mengenai hal-hal yang dapat dilakukan untuk berpartisipasi dalam upaya memaksimalkan penerapan HAM dan SDGs.

Mengkaitkan HAM dan SDGs tentulah sangat penting. Hal ini sejalan dengan kepentingan menghubungkan antara advokasi pelaksanaan SDGs dengan advokasi pemenuhan HAM. Selain itu juga untuk menjadi jalan atau langkah yang efektif dalam mendorong perkembangan pelaksanaan SDGs, baik di tingkat nasional maupun daerah. Hal ini layak disadari, bahwa komitmen SDGs merupakan konsensus atau komitmen yang bersifat politik, sementara nilai, prinsip dan norma-norma HAM merupakan instrumen yang melekat dan mengikat bagi negara yang telah meratifikasinya. Artinya, pelaksanan Tujuan (Goals) dan Target (Targets) SDGs akan lebih mudah tercapai, jikalau dengan standar yang jelas, dan mengkaitkannya secara langsung dengan kewajiban negara atas pemenuhan HAM.

Kami berharap, bahwa pedoman –yang disusun melalui kajian literatur, serta dialog bersama dengan jaringan masyarakat sipil dan expert review ini– setidaknya mampu memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kesalingterhubungan antara HAM dan SDGs, yang dalam dokumen ini disebut sebagai “relasi” antara HAM dan SDGs. Harapannya, inter-relasi ini kemudian dapat menjawab tantangan penyusunan pedoman ini, yaitu memberikan informasi secara jelas dan mudah dipahami tentang relasi HAM dan SDGs, urgensi terkait hubungan yang konkrit antara SDGs dan HAM, dan kenapa implementasi atau advokasi SDGs perlu sejalan dengan HAM.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada penyusun, yaitu Totok Yulianto dan kawan-kawan, yang telah bekerja keras menyusun pedoman ini, serta semua pihak yang telah berkontribusi dalam proses penyusunan. Dokumen pedoman ini merupakan salah satu produk dari kerja-sama INFID dengan Indonesia untuk Kemanusiaan melalui Program Peduli, dengan dukungan dari The Asia Foundation, sebagai upaya untuk



ŵĞǁƵũƵĚŬĂŶ ŝŶŬůƵƐŝ ƐŽƐŝĂů ĚĂŶ ĂŬƐĞƐ LJĂŶŐ ƐĂŵĂ ƐĞďĂŐĂŝ ǁĂƌŐĂ ŶĞŐĂƌĂ͕ ƚĞƌůĞƉĂƐ ĚĂƌŝ

ƉĞƌďĞĚĂĂŶĂƉĂƉƵŶ͘

(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

Gambaran Umum Kondisi HAM dan

SDGS di Indonesia

Kondisi perkembangan pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia mengalami pasang - surut. Jaminan atas HAM di Indonesia menguat pasca reformasi, hal tersebut ditandai dengan dimasukannya ketentuan HAM dalam Amandemen kedua UUD 1945. Guna melaksanakan kewajibannya menjalankan HAM, pemerintah giat membentuk berbagai institusi, yang mendukung pemajuan HAM. Berbagai institusi yang dibentuk tersebut, seperti: Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Ombudsman dan Komisi Informasi Publik. Secara khusus, pemerintah juga membentuk Direktorat Jenderal HAM, di bawah Kementerian Hukum dan HAM, serta merancang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Pemerintah Indonesia juga meratifikasi berbagai kovenan dan konvensi internasional terkait Hak Asasi Manusia.

Walaupun pemerintah sudah meratifikasi berbagai kovenan dan konvensi –yang berkaitan dengan pemajuan HAM, dan memasukan jaminan HAM dalam konstitusi, namun dalam hal praktek penerapan HAM di Indonesia bisa dikatakan belum sempurna. Masih banyak pelanggaran-pelanggaran HAM, yang terjadi sampai saat ini, dan belum menemukan titik terang dalam proses penangannya, khususnya terhadap Kasus Pelanggaran HAM Berat.

(12)

Sebagai lembaga yang diberikan mandat –melalui UU NO 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia1 (selanjutnya disebut UU HAM), untuk melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian,

penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang HAM, Komnas HAM juga menerima berbagai pengaduan dari masyarakat atas pengabaian kewajiban negara dalam perlindungan,

pemenuhan dan pemajuan HAM. Berdasarkan Laporan Tahunan Komnas HAM2 selama

tahun 2017, tercatat terdapat pengaduan sebanyak 5.387 berkas, dengan klasifikasi laporan terkait Hak atas Kesejahteraan; Hak Memperoleh Keadilan; Dugaan Pelanggaran HAM oleh Korporasi; Penggusuran Terkait Pembangunan Infrastruktur; Dugaan Pelanggaran atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Terdapat 3 institusi yang paling banyak diadukan, yakni: Kepolisian (1652 berkas), korporasi (866 berkas) dan Pemerintah Daerah (597 berkas)3.

Sepanjang 2018, Komnas HAM fokus pada penanganan permasalahan: agrarian, intoleransi, diskriminasi serta ekstrimisme.

Persoalan utama konflik kawasan kehutanan di Indonesia bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK, yang secara sepihak telah menunjuk kawasan hutan dan kemudian melakukan proses pengukuhan untuk menetapkan suatu wilayah menjadi kawasan hutan negara. Konflik agraria umumnya juga terjadi pada sektor penggunaan lahan untuk kepentingan infrastruktur, perkebunan, pertambangan dan lainya. Minimnya pilihan-pilihan penyelesaiaan konflik agraria, antara masyarakat dengan pihak yang membutuhkan-memanfaatkan lahan, menimbulkan terjadinya konflik antara masyarakat – khususnya masyarakat adat, dengan negara ataupun korporasi4.

Persoalan intoleransi, diskriminasi dan ekstrimisme, yang dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir marak terjadi di Indonesia, khususnya terkait dengan persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bentuk-bentuk lain, seperti: diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan, intimidasi dan tindakan pembiaran oleh negara atas terjadinya kasus semacam ini juga tinggi5.

Berbagai konflik yang terjadi di masyarakat menunjukan tidak bekerjanya akses masyarakat dalam mendapatkan keadilan, dan, atau bisa dibaca juga sebagai tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap intitusi pemerintahan. Konflik yang terjadi di masyarakat dapat menciptakan kondisi yang menghambat proses pembangunan, mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan sering kali menimbulkan rasa dendam di antara komunitas, yang bisa berlangsung hingga beberapa generasi.6 Kekerasan seksual, tindak

kejahatan, eksploitasi dan penyiksaan juga sering terjadi dalam kondisi konflik. Negara harus mengambil tindakan untuk melindungi mereka yang berada dalam risiko.7 Hal ini menjadi

pekerjaan rumah kita bersama, untuk dapat berkontribusi dalam upaya pemenuhan HAM di Indonesia.

1 Pasal 76 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

2 Laporan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Komnas HAM), 2017, hlm 35. 3 Ibid

4 Ibid 5 Ibid

6 16, Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh”, diakses dari http://sdgs.bappenas.go.id/perdamaian-keadilan-dan-kelembagaan-yang-tangguh/#sasaran-global949b-715ce0be-414f , diakses pada 1 April 2019, pukul 20.00 WIB.

(13)

Harapannya, dengan dilaksanakannya penghormatan, pemenuhan, perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM, akan mampu menciptakan kesejahteraan, kedamaiaan, ketentraman dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Guna mencapai tujuan itu, pemerintah melalui Peraturan Presiden No 75 Tahun 2015 mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (yang kemudian dikenal dengan istilah RANHAM) Tahun 2015-2019. RANHAM 2015-2019 diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan dan inklusivitas kelompok rentan ke dalam satu Rencana Aksi Nasional yang inklusif. Sasaran Khusus dalam RANHAM 2015-2019 adalah meningkatnya pemahaman HAM aparatur negara dan masyarakat; terlaksananya instrumen HAM dalam kebijakan pemerintah; meningkatnya partisipasi Indonesia dalam forum kerja-sama penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan HAM; meningkatnya penanganan pelanggaran HAM; meningkatnya aksesibilitas penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainya untuk berpartisipasi di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya8.

Seperti yang terjadi pada rencana aksi umumnya, RANHAM 2015-2019 juga mengalami berbagai permasalahan dan kendala. Pada tahun 2017, Badan Pembinaan Hukum Nasional melakukan Evaluasi atas Implementasi RANHAM 2015-20199, dan menemukan faktor

penghambat pelaksanaan RANHAM, yakni karena belum optimalnya koordinasi antar stakeholder, khususnya di daerah. Pemahaman tentang HAM dan RANHAM di kalangan aparat pemerintah dan masyarakat juga belum optimal; masih adanya anggapan, bahwa HAM serta pelaksanaan RANHAM hanya merupakan urusan Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu, juga terdapat kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, yakni masih minimnya keterlibatan masyarakat dalam implementasi RANHAM 2015 -2019.

Berbagai upaya advokasi Hak Asasi Manusia, yang banyak dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil, seringkali mengalami hambatan. Hambatan itu kerap kali muncul dikarenakan minimnya komitmen pemerintah terhadap HAM dan politik pemerintah yang lebih menekankan pada 0aspek pembangunan10. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya yang lebih komprehensif

untuk mengemas advokasi pemajuan HAM dalam kaitannya dengan program pembangunan, sehingga akan lebih diperhatikan oleh pemerintah.

Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (“TPB”)

merupakan topik yang hangat dibicarakan, dalam beberapa tahun belakangan ini, baik dalam forum internasional, regional, nasional maupun daerah. Salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam pelaksanaan pencapaian Tujuan SDGs/TPB yakni melakukan penyelarasan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yang di dalamnya ditetapkan sasaran nasional yang akan digunakan oleh Kementerian/Lembaga dalam penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi RAN TPB, dan Pemerintah Daerah dalam

8 Penjelasan Umum Perpres No 75 Tahun 2009 .

9 BPHN, Evaluasi implementasi RANHAM 2015-2019 Dalam Rangka Mewujudkan Penghormatan, Pemenuhan, Perlindungan, Penegakan dan Pemajuan HAM di Indonesia, Pohon Cahaya, Jakarta, 2017.

(14)

penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi RAD SDGs/TPB serta sebagai acuan bagi ormas, filantropi, pelaku usaha, akademisi dan pemangku kepentingan lainya yang akan menyusun perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi SDGs/TPB11.

Guna mewujudkan pelaksanaan SDGs/TPB di Indonesia, setidaknya dimandatkan untuk dibentuk Peta Jalan SDGs/TPB, Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah. Dukungan dan pemahaman yang baik dari Perangkat-perangkat –yang melaksanakan, memantau dan mengevaluasi SDGs/TPB, termasuk di dalamnya organisasi masyarakat sipil, filatropi, pelaku usaha, akademisi dan pihak terkait, sangat diperlukan. Sampai saat buku pedoman ini dibuat, pemerintah belum menetapkan Peta Jalan SDGs/TPB. Selain itu, juga belum ada sosialisasi yang baik mengenai Rancangan Aksi Nasional SDGs/TPB dan beberapa daerah belum menyusun Rancangan Aksi Daerah. Oleh karena itu, menjadi tuntutan penting bagi organisasi masyarakat sipil, filatropi, pelaku usaha, akademisi dan pihak terkait, untuk menyusun perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi SDGs/TPB, sebagai upaya pemajuan Hak Asasi Manusia.

Ruang Lingkup Buku Pedoman

Sebagian pihak memandang, bahwasanya SDGs/TPB ini merupakan program yang terpisah dengan upaya pemajuan Hak Asasi Manusia, sehingga seringkali pihak-pihak yang melakukan advokasi atas pemajuan Hak Asasi Manusia enggan menggunakan sarana yang tersedia dalam pelaksanaan program SDGs/TPB. Begitu pun sebaliknya, pihak-pihak yang menjalankan program SDGs/TPB mungkin tidak memandang, bahwasanya upaya untuk mencapai target dari SDGs/TPB merupakan bagian dari upaya pemajuan Hak Asasi Manusia.

Buku pedoman ini bertujuan memberikan gambaran mengenai Hak Asasi Manusia, SDGS dan Hubungan interelasi di antaranya, praktek terbaik serta tawaran rekomendasi yang dapat dilakukan untuk melakukan upaya pemajuan HAM melalui program SDGs/TPB. Pembahasan dalam pedoman ini secara khusus menyoroti SDGs “Goal 16: Peace, Justice, and Strong

Institution” (“Tujuan 16 Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh”), yang erat

sekali kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (“HAM”).

SDGs sebagai kelanjutan dari MDGs yang disepakati pada tahun 2015 lalu, dapat dikatakan sebagai bentuk penyempurnaan dari MDGs. Salah satu bentuk penyempurnaan yang dilakukan adalah dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (multistakeholders), di antaranya:12

11 Pasal 3 PERPRES NO 59 Tahun 2017.

12 “Tantangan dan Strategi Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs)”, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kuliah Umum TPB/SDGs, Universitas Padjajaran Bandung, 4 April 2018, hlm 5.

(15)

1. Pemerintah

2. Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society Organisation) dan Media Massa 3. Filantropi dan Pelaku Bisnis

4. Ahli/Pakar dan Akademisi

Partisipasi secara aktif dari masyakarat sipil sangatlah diperlukan, mengingat posisi masyarakat sipil sebagai salah satu unsur yang berperan penting dalam tercapainya SDGs/ TPB. Secara umum, pedoman ini disusun untuk masyarakat sipil, agar dapat berpartisipasi secara maksimal dalam mendukung penerapan HAM dan SDGs/TPB di Indonesia, khususnya masyarakat yang secara aktif terlibat dalam melakukan advokasi terkait HAM dan SDGs/TPB.

Pedoman ini dimaksudkan agar menjadi salah satu pijakan dalam melakukan advokasi HAM dan SDGs di Indonesia. Perlu disadari, bahwa persoalan mengenai Hak Asasi Manusia dan SDGs itu sendiri memiliki banyak aspek dalam implementasinya. Pedoman ini berusaha menyajikan paparan dan memberikan contoh, agar dapat memberikan manfaat secara maksimal, khususnya bagi organisasi masyarakat sipil dalam mewujudkan pelaksanaan HAM melalui SDGs/TPB. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi salah satu opsi untuk melakukan upaya advokasi di masyarakat, yang tentunya akan terus berkembang seiring berjalannya waktu dan dinamika di masyarakat.

Pedoman ini disusun melalui serangkaian diskusi terfokus dan telah mendapatkan review dari para pakar di bidang Hak Asasi Manusia dan organisasi masyarakat sipil, yang seringkali melakukan advokasi pemajuan HAM, khususnya bagi kelompok rentan.

(16)
(17)

BAB II

INTER-RELASI

HAM DAN SDGS

(Tujuan 16 : Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh)

A. Gambaran Umum HAM dan SDGS

Konsepsi Umum Tentang Hak Asasi Manusia

Pada dasarnya HAM merupakan hak yang dimiliki oleh manusia, karena statusnya sebagai manusia, dan tugas negara ialah menjaga hak-hak tersebut, memastikan setiap warga negaranya terlindungi dan terpenuhi hak-haknya. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan Hak Asasi Manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa serta merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Pelaksanaan HAM oleh negara dijalankan dengan memperhatikan prinsip-prinsip HAM. Prinsip HAM pada umumnya terdapat di hampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip-prinsip tersebut antara lain1

1 PUSHAM UII, Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dikutip pada 30 Mei 2019 dari https://pusham.uii.ac.id/ham/8_ Chapter2.pdf

(18)

1. Prinsip Kesetaraan

Hal yang sangat fundamental dari HAM adalah ide yang meletakan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam Hak Asasi Manusia. Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasi sama harus diperlakukan dengan sama dan di mana pada situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula. Tindakan afirmatif mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada grup tertentu.

2. Prinsip Non-Diskriminasi

Pelarangan terhadap diskriminasi adalah satu bagian dari prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan beberapa alasan diksriminasi antara lain ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasional atau kebangsaan, kepemilikan atas suatu benda, kelahiran atau status lainya. Saat ini, semakin banyak instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.

3. Kewajiban Positif Melindungi Hak Tertentu

Menurut hukum HAM, suatu negara tidak boleh secara sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya, negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan.

Pasca Refomasi, negara Indonesia memasukan berbagai ketentuan Hak Asasi Manusia ke dalam UUD 1945, sehingga HAM secara tidak langsung menjadi hak konstitusional, yang antara lain meliputi:

(19)

Selain memasukan ketentuan HAM dalam konstitusi dan pembentukan institusi yang bergerak di bidang pelaksanaan HAM, pemerintah Indonesia juga meratifikasi berbagai kovenan/konvensi dan ikut dalam berbagai deklarasi yang berkaitan dengan HAM (Instrumen HAM). Sebagai pihak yang terikat dalam konvensi dan ikut dalam deklarasi, pemerintah memiliki kewajiban untuk tunduk terhadap ketentuan di dalam konvensi atau deklarasi. Kewajiban tersebut ditandai dengan mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses kontitusinya, untuk menuangkan atau menyesuaikan konvensi internasional ke dalam peraturan perundang-undangan, menjamin setiap orang yang hak atau kebebasan yang diakui dalam suatu konvensi dilanggar akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif melalui sarana yang tersedia dan menyampaikan laporan secara berkala pelaksanaan konvensi.

Konsepsi Atas Sustainable Development Goals (SDGs)/Tujuan

Pembangunan Berkelanjutan (TPB)

Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (the 2030 Agenda for Sustainable

Development Goals atau “SDGs”) adalah kesepakatan pembangunan baru, yang mendorong

perubahan-perubahan agar bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan berdasarkan Hak Asasi Manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup2. Secara historis, SDGs disepakati dalam Sidang Umum Perserikatan

Bangsa-bangsa (“PBB”), pada bulan September 2015. Secara keseluruhan SDGs isinya mencakup 17 Tujuan, 169 Target, dan 241 Indikator. Patut diketahui, SDGs adalah kelanjutan dari MDGs, yang mencakup 8 Tujuan, 18 Target dan 67 Indikator. SDGs dapat disebut sebagai penyempurnaan yang dilakukan terhadap MDGs. Penyempurnaan tersebut di antaranya adalah:3

1. Lebih komprehensif, dengan melibatkan seluruh negara, dengan tujuan universal; 2. Memperluas sumber pendanaan (pemerintah, swasta, dan sumber lain);

3. Menekankan pada Hak Asasi Manusia dalam penanggulangan kemiskinan; 4. Prinsip inklusif dan “No one Left Behind” (tak seorang pun boleh terlewatkan);

5. Melibatkan seluruh pemangku kepentingan: pemerintah; organisasi masyarakat sipil & media; filantropi & pelaku usaha/bisnis; serta pakar & akademisi;

6. Zero Goals, menargetkan untuk menuntaskan seluruh indikator;

7. Cara pelaksanaan (Means of Implementation).

Pada hakekatnya, SDGs memiliki prinsip universal, integrasi dan inklusif. Hal ini perlu dikemukakan sebagai jaminan, bahwa tidak akan ada seorang pun yang boleh terlewatkan dalam pembangunan ini, atau yang lebih dikenal dengan prinsip “No one Left Behind”. HAM dan SDGs memiliki prinsip dan nilai yang sama dalam mencapai tujuannya. Keduanya berjalan beriringan demi menciptakan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan yang lebih baik secara global. SDGs sebagai kesepakatan pembangunan baru, yang mendorong

perubahan-2 “Tujuan 16, Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh”, diakses dari http://sdgs.bappenas.go.id/perdamaian-keadilan-dan-kelembagaan-yang-tangguh/#sasaran-global949b-715ce0be-414f , diakses pada 1 April 2019, pukul 20.00 WIB,

(20)

perubahan bergeser ke arah pembangunan sosial ekonomi dan lingkungan hidup yang berkelanjutan, yang dalam implementasinya lebih berdasar pada Hak Asasi Manusia dan kesetaraan.

Semangat “No one Left Behind” dimaksudkan bukan hanya agar semua lapisan masyarakat tidak tertinggal dalam proses model pembangunan baru ini, melainkan –lebih dari itu– juga seluruh warga masyarakat wajib dilibatkan secara aktif dalam mewujudkan Goals, yang telah disepakati bersama secara global tersebut. Partisipasi masyarakat sipil diharapkan dapat dilakukan secara aktif dan nyata, bukan hanya sekadar formalitas untuk memenuhi target global yang telah disepakati bersama. “No one Left Behind”, prinsip yang dibawa oleh semangat SDGs, terdengar sangat positif dalam memproyeksikan kesuksesan SGDs, sebagai tujuan yang disepakati secara global, sejak tahun 2015 lalu, yang ditargetkan akan tercapai di tahun 2030.

Salah satu tujuan SDGs/TPB adalah untuk menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua dan membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan. Tujuan SDGs ini terdapat di Goal 16 yang terkait pada Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh”. Pada tingkat globat terdapat 8 sasaran, yang kemudian dalam Perpres No 59 Tahun 2017 dikembangkan menjadi 20 sasaran nasional, karena disesuaikan dengan RPJMN 2015 – 2019.

B. Inter-relasi HAM dan SDGS

Persamaan Prinsip Antara HAM dan SDGs/TPB

Salah satu prinsip yang dijunjung dalam pelaksanaan HAM adalah prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi. Konsep kesetaraan dalam HAM menekankan penghargaan terhadap martabat seluruh insan manusia. Sebagaimana dinyatakan secara khusus dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, bahwasanya semua insan manusia dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak-haknya. Sedangkan prinsip non-diskriminasi menekankan, bahwa tidak seorang pun dapat diingkari hak-haknya sebagai manusia karena alasan faktor eksternal, seperti: ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik dan pandangan lain, asal kebangsaan, status sosial, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya.

Sementara itu, pada SDGs/TPB terdapat prinsip-prinsip universal, integrasi dan inklusif sebagai jaminan, bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan dalam pembangunan ini, atau dikenal dengan prinsip “No one Left Behind”. HAM dan SDGs/TPB memiliki prinsip dan nilai yang sama dalam mencapai tujuannya. Keduanya berjalan beriringan demi menciptakan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan yang lebih baik secara global.

(21)

Posisi Negara Sebagai Pemangku Kewajiban Pelaksanaan HAM dan

SDGs/TPB

Konstitusi bangsa ini secara jelas menyatakan, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu element terpenting dalam negara hukum adalah adanya jaminan Hak Asasi Manusia berbasis konstitusi (Undang-Undang Dasar), yang dijalankan berdasarkan hukum (Undang-Undang). Indonesia, dengan Undang-undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 45”) sebagai konstitusinya, telah meletakkan dasar pengakuan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia pada Bab XA, Pasal 28 A sampai dengan 28J. Di dalam Bab ini ditegaskan, bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung-jawab negara, dalam hal ini terutama pemerintah.

Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia, serta tanggung=jawab negara atas perlindungan, pemajuan dan pemenuhannya, menjadi entry point sekaligus trigger dalam pelaksanaan Tujuan (Goals) dan Target (Targets) Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Agenda pembangunan global yang dikonstruksikan ke dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) ini, sebagai bentuk komitmen politik antar bangsa, yang didasarkan  pada Hak  Asasi  Manusia  (HAM)  dan kesetaraan. Agenda global SDGs ini, sebagaimana yang telah disepakati dalam Sidang Pleno keempat Majelis Umum PBB –pada 25 September 2015– menyatakan, bahwa “They seek to realize the human rights of

all and to achieve gender equality and the empowerment of all women and girls. They are integrated and indivisible and balance the three dimensions of sustainable development: the economic, social, and environmental” (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini mencoba

untuk mewujudkan pemenuhan seluruh Hak Asasi Manusia dari semua umat manusia, guna mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan seluruh perempuan –termasuk juga gadis remaja dan anak perempuan. Semuanya itu terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan, serta seimbang di dalam tiga dimensi pembangunan berkelanjutan: ekonomi, sosial dan lingkungan hidup).4 Di mana sebagian besar target SDGs, yakni 92% dari 169 Target (Goals),

jelas merupakan wujud implementasi dari berbagai instrumen internasional tentang Hak Asasi Manusia.5 Dengan demikian, implementasi SDGs merupakan bentuk dari pelaksanaan

pengakuan Hak Asasi Manusia itu sendiri, yang menjadi tanggung-jawab negara atas perlindungan, pemajuan dan pemenuhannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, menjadi penting untuk menguatkan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam mendorong implementasi hukum atas Hak Asasi Manusia, serta pelaksanaan SDGs itu sendiri. Pemahaman semacam ini perlu ditekankan, dengan tujuan utama, agar tetap berbasis pada kebutuhan dan/atau kepentingan masyarakat. Hal ini sebagaimana dijamin oleh UU HAM, Pasal 43 ayat (2) UU HAM, yang menyatakan:

4 United Nations General Assembly, “a Resolution adopted by the General Assembly on 25 September 2015 Number A/ Res/70/1 (Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development), (United Nation: 2015), halaman 1.

5 UN General Assembly, Transforming our world: the 2030 Agenda for Sustainable Development, 21 October 2015, Preamble, paragraf 3. Lihat juga, The Danish Institute for Human Rights, “Human Rights and The 2030 Agenda for Sustainable Development, Lesson Learned and Next Steps”, 2018, hal. 3, 9. Lebih jauh, lihat http://sdg.humanrights.dk/

(22)

“Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.”

Diagram 1. Diagram Alur Negara, HAM dan SDGs

Sasaran SDGs/TPB Merupakan Perwujudan atas Nilai-nilai HAM

Sasaran dalam SDGs sudah diselaraskan dengan Rencana Pembangun Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pengarusutamaan pencapaian SDGs dalam RPJMN 2015-2019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dilakukan dalam bentuk rumusan kebijakan, program, kegiatan, indikator yang terukur serta sumber pembiayaannya.

Masuknya nilai-nilai SDGs dalam RPJMN 2015-2019 merupakan titik terang bagi implementasi SDGs di Indonesia. SDGs diharapkan dapat menjadi pendorong bagi terpenuhinya HAM di Indonesia. Keduanya harus dijalankan dengan serius oleh semua pemangku kepentingan, agar pencapaian target dan indikator dapat terpenuhi, dengan lebih maksimal dan efisien. Hal ini tetap perlu menjadi agenda prioritas, mengingat karena masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, untuk mencapai semua target SDGs di tahun 2030 mendatang.

Masyarakat/warga negara sebagai subjek –yang menjadi penerima manfaat utama dari upaya-upaya yang dilakukan oleh negara dalam melakukan pemajuan HAM dan pembangunan yang berkelanjutan– memiliki peranan yang besar dalam usaha mencapai target SDGs di tahun 2030. Pelibatan masyarakat pada berbagai tingkatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan program-program pemajuan HAM dan SDGs menjadi sangat penting. Menjadi sangat penting karena untuk memastikan, bahwasanya pelaksanaan kewajiban negara atas HAM dan pencapaiaan tujuan SDGS, akan membawa dampak positif terhadap seluruh masyarakat.

(23)

Berbagai kebijakan di bidang HAM dan SDGs membuka ruang masyarakat dalam berpartisipasi dan terlibat dalam upaya pemenuhan HAM dan SDGs. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 memberikan ruang bagi setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga kemasyarakatan lainnya untuk berhak berpatisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM; menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM; mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan HAM; melakukan penelitian, pendidikan dan penyebaran informasi mengenai HAM6.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang P. S. Brodjonegoro menegaskan, bahwa pelibatan peran masyarakat sipil –yang tercakup ke dalam platform Sustainable Development Goals

(SDGs), untuk pencapaian Goals SDGs adalah sangat penting. Peran Platform Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan media adalah untuk mendiseminasikan dan melakukan advokasi terhadap SDGs, membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat, memfasilitasi program dan pelaksanaannya serta monitoring dan evaluasi7. Partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan SDGS. Ruang-ruang partisipasi masyarakat dalam upaya pembangunan yang berkelanjutan atas dasar HAM harus dioptimalkan, dengan jalan meningkatkan kesadaran masyarakat agar mau ambil bagian secara aktif dalam proses penyusunan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program-program pemerintah terkait HAM dan SDGs.

Mengacu pada target yang ingin dicapai dalam SDGs/TPB, di situ akan tergambar betapa

Sustainable Development Goals (SDGs) terkait erat dengan realisasi Hak Asasi Manusia. Dari

169 Target dalam SDGs, 156 di antaranya merefleksikan prinsip dan norma HAM, sebagaimana dijamin dalam Deklarasi Universal HAM dan instrumen HAM yang lainnya8. Secara khusus,

Tujuan 16 SDGs/TPB mencakup sebagian besar dimensi sipil dan politik Hak Asasi Manusia. Tujuan ini mencakup hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perbudakan, hak atas kebebasan informasi, hak atas partisipasi politik, hak atas kepribadian umum (legal

personality), serta hak atas keadilan. Semua hak tersebut dinyatakan dalam berbagai kovenan/

konvensi, yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, dan dinyatakan dalam UUD 19459.

Kesesuaian antara target SDGs/TPB dan nilai-nilai HAM dapat dilihat dari tabel Sinkronisasi RPJMN dengan Indikator Pelaksanaan Tujuan 16 SDGs/TPB dan Instrumen Hak Asasi Manusia (dalam lampiran).

6 Partisipasi masyarkat dalam bidang HAM tercantum dalam BAB VII Pasal 100 – 103 UU NO 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 7 Bappenas, https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/peran-masyarakat-sipil-untuk-kesuksesan-tpbsdgs/ diunduh pada 21

April 2019.

8 Mimin Dwi Hartono, “Pendekatan HAM untuk Mencapai SDGs”, 30 Maret 2019, diakses dari https://www.Komnas HAM.go.id/index.php/ news/2018/3/30/511/pendekatan-ham-untuk-mencapai-sdgs.html, pada 1 April 2019 pukul 20.32 WIB.

(24)

Mendekati TPB/SDGs dengan Pemantauan/Monitoring Berbasis Prinsip

HAM

Tingkat konvergensi antara HAM dan SDGs –yang telah dijelaskan di atas– dapat menunjukkan potensi, bahwa pelaksanaan pemantauan SDGs dapat menggunakan mekanisme pemantauan HAM –baik berdasarkan mekanisme internasional, regional maupun nasional, untuk menilai dan memandu pelaksanaan SDGs.

Pada mekanisme internasional, ratifikasi Pemerintah Indonsia atas deklarasi internasional yang berkaitan dengan HAM (instrument HAM), dapat menghasilkan kewajiban untuk tunduk terhadap ketentuan di dalam konvensi atau deklarasi tersebut. Mekanisme internasional yang dapat digunakan antara lain: mekanisme Dewan HAM, Badan Perjanjian Internasional, Organisasi Internasional Pemerintah, maupun konvensi internasional.

Salah satu mekanisme internasional yang menghasilkan kewajiban adalah Universal Periodic

Review (UPR). UPR merupakan mekanisme yang berisi peninjauan terhadap catatan HAM dari

semua negara anggota PBB. Guna melihat implementasi HAM secara global dapat dilakukan dengan cara melihat UPR.

Universal Periodic Review adalah proses yang digerakkan oleh negara, di bawah naungan Human Rights Council, yang memberikan kesempatan bagi setiap negara untuk menyatakan

tindakan apa yang telah diambil untuk memperbaiki situasi HAM di negaranya dan memenuhi kewajiban mereka dalam perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Tujuan akhir dari mekanisme ini adalah untuk memperbaiki situasi Hak Asasi Manusia di semua negara dan menangani pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di mana pun.10

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantauan Rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) telah melakukan pemantauan pada tahun 2017-2018, dengan menyusun dan mempublikasikan indeks pelaksanaan HAM Indonesia berdasarkan rekomendasi UPR.   Dalam kesempatan ini patut dikemukakan, bahwa indeks pelaksanaan HAM Indonesia dengan skor  0,42.  Angka tersebut diperoleh berdasarkan gabungan beberapa rekomendasi UPR, yang dikelompokkan dalam beberapa kluster. Dari kluster tersebut, kemudian dirumuskan menjadi variabel, yang diturunkan dalam beberapa indikator penilaian, seperti: regulasi, indikator proses pelaksanaan, dan indikator dampak pelaksanaan regulasi.11

Indeks ini dibuat dengan angka maksimal 4 untuk setiap indikator, jika tindak- lanjut atas rekomendasi UPR sesuai dengan standar HAM. Skor 0.42 menandakan tidak adanya kemauan politik dan kurangnya kapasitas penyelenggara negara dalam memenuhi kewajiban HAM

10 “Universal Periodic Review”, diakses dari https://www.ohchr.org/en/hrbodies/upr/pages/uprmain.aspx, diakses pada pada 18 April 2019 pukul 18.17 WIB.

11 HRWG, “Indeks HAM Indonesia 2018 Sebesar 0,42”, 18 Januari 2019, diakses dari https://hrwg.org/2019/01/18/indeks-ham-indonesia-2018-sebesar-042/, diakses pada 18 April 2019 pukul 18.17 WIB.

(25)

internasional, yang diturunkan dalam program aksi di tingkat nasional12. Pada peninjauan

terakhir UPR pada Mei 2017, Indonesia mendapatkan 457 rekomendasi dari 104 negara. Sebanyak 340 rekomendasi sudah diterima, sisanya masih sebagai catatan.

Lima teratas, rekomendasi terbanyak yang diterima Indonesia dalam UPR adalah: International

Instrument, Rights of the Child, Women’s Rights, Freedom of Religion and Belief dan Justice.

Dari daftar rekomendasi UPR tersebut dapat dilihat, bahwa masih banyak permasalahan terkait kelompok rentan (dalam hal ini perempuan dan anak), yang masih menjadi catatan bagi penegakan HAM di Indonesia. Jumlah rekomendasi terbanyak yaitu mengenai International

instrument, yang tentu saja menjadi perhatian penting, bahwa masih ada konvensi-konvensi

yang belum diratifikasi oleh Indonesia.

Untuk SDGs. sebagai bagian dari mekanisme tindak lanjut dan peninjauannya, SDGs juga memiliki suatu mekanisme peninjauan sendiri secara global yaitu Voluntary National Review (VNR). VNR bertujuan untuk mendorong negara untuk “melakukan tinjauan kemajuan secara teratur dan inklusif di tingkat nasional dan daerah, yang dipimpin oleh negara dan digerakkan oleh negara” (paragraf 79). 

Tinjauan VNR ini diharapkan dapat berfungsi sebagai dasar untuk pemantauan pelaksanaan SDGs di suatu Negara melalui peninjauan secara reguler oleh forum politik tingkat tinggi (HLPF) di bawah naungan ECOSOC PBB.  Sebagaimana diatur dalam paragraf 84 Agenda 2030, tinjauan berkala oleh HLPF dilakukan secara sukarela, dipimpin oleh negara, dilakukan oleh negara maju dan berkembang, dan melibatkan banyak pemangku kepentingan

VNR bertujuan untuk memfasilitasi berbagi pengalaman, termasuk keberhasilan, tantangan, dan pelajaran yang diperoleh dari pelaksanaan SDGs, dengan tujuan untuk mempercepat implementasi Agenda 2030.  VNR juga berupaya memperkuat kebijakan  dan lembaga-lembaga pemerintah dan untuk memobilisasi dukungan dan kemitraan multi pihak untuk implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Terkait pemantauan SDGs dengan mengedepankan nilai HAM dan SDGs, maka dapat dilakukan melalui mekanisme pemantauan pada proses mekanisme pelaksanaan yang inklusif serta upaya pencapaian tujuan 16 yang secara spesifik membahas agenda HAM dalam pencapaian Agenda 2030 SDGs.

Pada tujuan 16, terdapat tiga aspek utama yang membentuk nya dan berkaitan dengan HAM yaitu; (1) mengurangi segala bentuk kekerasan dan angka kematian terkait pembunuhan dan mewujudkan perdamaian; (2) menggalakkan negara berdasarkan hukum dan menjamin akses yang sama terhadap keadilan; serta (3) mengembangkan lembaga efektif, akuntabel dan transparan di semua tingkatan. Ketiga aspek utama tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi arah pencapaian dari pembangunan dengan mengedepankan nilai dan prinsip HAM.

(26)

Selain hal diatas, upaya monitoring tujuan 16 juga memungkinkan memantau keseimbangan dimensi hak ekonomi sosial budaya dengan hak sipil politik (Menguatkan Masyarakat yang Inklusif dan Damai untuk Pembangunan Berkelanjutan, Menyediakan Akses Keadilan untuk Semua, dan Membangun Kelembagaan yang Efektif, Akuntabel, dan Inklusif di Semua Tingkatan). Secara khusus, Tujuan No. 16 memungkinkan pengukuran akses terhadap keadilan, kebebasan berpendapat, dan hak atas pembangunan dengan mengedepankan kesetaraan dan non-diskriminasi dalam pembangunan. Prinsip dan pendekatan yang dikandung dalam Tujuan No. 16 memberi peluang perwujudan inklusi sosial, yang dengan kata lain, hal ini berarti mengambil tindakan untuk mencapai ke–17 TPB dengan terlebih dahulu mengedepankan mereka yang jauh tertinggal.

Selanjutnya, sistem pemantauan dan pelaporan Hak Asasi Manusia regional dan internasional dapat berkontribusi pada tindak-lanjut pelaksanaan dan pencapaian SDGs dengan memberikan:

% Data kualitatif dan kuantitatif yang sistematis melalui laporan PBB, negara, dan masyarakat sipil

% Rekomendasi untuk merujuk pada tantangan pelaksanaan dan pedoman untuk mengatasinya

% Metodologi untuk pengumpulan dan produksi data yang inovatif, inklusif dan partisipatif % Praktik baik tentang pelibatan para pemangku kepentingan dalam pemantauan dan

agenda tindak lanjut, termasuk transparansi dan akses informasi.

Pada tingkat nasional, institusionalisasi lembaga HAM yang dibentuk sebagai badan negara independen, dengan mandat konstitusi maupun regulasi, juga dapat bermanfaat dalam melakukan promosi pemantauan pembangunan berbasis pendekatan HAM. Seperti mandat yang diterima Komisi Nasional HAM misalnya, adalah menyangkut berbagai isu (seperti: perempuan, pelaksanaan HAM, dan lainnya), yang biasanya mencakup promosi, penelitian, pendidikan, pemulihan, penyelidikan serta pemantauan dan pelaporan, baik yang dilakukan dengan cara bekerjasama dengan organisasi setingkat subnasional, maupun dengan organisasi nasional dan internasional.

(27)
(28)
(29)

BAB III

PRAKTIK BAIK

ADVOKASI

HAM

(Mewujudkan Perdamaiaan, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh)

Kabupaten Ramah HAM Wonosobo

Sebagai bagian dari negara Republik Indonesia, Kabupaten Wonosobo turut mengemban dan memajukan HAM. Melalui asas otonomi daerah, Kabupaten Wonosobo berkomitmen untuk menghormati, melindungi, memajukan, serta menjamin pemenuhan HAM dalam menyelenggarakan urusan Pemerintah Daerah. Inisiatif baik ini dijalankan untuk menjadikan Wonosobo sebagai Kabupaten Ramah HAM. Usaha untuk mewujudkan Wonosobo menjadi Kabupaten Ramah HAM itu dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kabupaten Wonosobo Ramah Hak Asasi Manusia (Perda Ramah HAM Wonosobo).

Peraturan Daerah (Perda) Ramah HAM Wonosobo memprioritaskan pada bidang-bidang yang menjadi urusan wajib Pemerintah Daerah, yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah, serta urusan yang menyangkut perlindungan terhadap perempuan dan anak, kelompok-kelompok rentan lainya dan perlindungan kebebasan beragama. Pelayanan dasar yang menjadi urusan wajib tersebut terkait

(30)

dengan pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat: program sosial. Pelaksanaan Kabupaten Ramah HAM diseleraskan dan diharmoniskan dalam Rencana Pembangunan Daerah satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Pembiayaan atas penyelenggaraan Kabupaten Wonosobo Ramah HAM dibebankan kepada APBD.

Berbeda dengan daerah lain yang juga memiliki kebijakan terkait pemajuan HAM, secara khusus Perda Ramah HAM Wonosobo memberikan kewenangan kepada Kabupaten Wonosobo, untuk mendirikan lembaga atau badan HAM –yang bersifat independent atau semi independent, yang tugas utamanya antara lain: melakukan mediasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pemantauan. Lembaga/badan HAM tersebut diharapkan dapat menjadi pengontrol pelaksanaan Kabupaten Wonosobo Ramah HAM, serta membantu Pemerintah Daerah dalam penguatan kapasitas. maupun sosialisasi HAM, sehingga tercipta budaya HAM.

Sebagai bentuk implementasi dari Perda Ramah HAM Wonosobo, Bupati Wonosobo kemudian mengeluarkan Keputusan Bupati Nomor 050/450/2018 tentang pembentukan Komisi Kabupaten Wonosobo Ramah HAM, yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh masyarakat, perwakilan penyandang disabilitas dan tokoh agama. Komnas HAM menyambut baik inisiatif pembentukan kebijakan Perda Ramah HAM dan Komisi HAM di tingkat daerah sebagai inisatif pertama di Indonesia dan diharapkan mampu memberi motivasi Pemerintah Daerah lainya, agar lebih peduli terhadap pemajuan HAM1

Isbath Nikah di Kabupaten Aceh Utara

2

Konflik Aceh yang panjang, yakni sejak tahun 1980 hingga berakhir dengan perjanjian damai 15 Agustus 2005, sudah meninggalkan jejak kepedihan dan sejumlah persoalan. Tidak hanya sejumlah nyawa yang menjadi korban, namun juga menyebabkan munculnya rentetan trauma. Saat darurat militer dijalankan, nyaris seluruh kegiatan ekonomi warga menjadi lumpuh, karena banyak yang terpaksa mengungsi ke desa lain.

Akibat dari mengungsi ini, kemudian banyak pasangan yang sudah menikah selama puluhan tahun, tetapi tidak memiliki Surat Nikah. Hal ini bermuara dari pengungsi yang mengungsi ke wilayah lain dan tidak mendapatkan kejelasan kartu identitas, karena berpindah lokasi demi alasan mencari keamanan.

1 https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2018/11/6/664/pertama-di-indonesia-komisi-ham-kabupaten-wonosobo-diresmikan.html diunduh pada 8 April 2019.

(31)

Tanpa adanya dokumen kependudukan, khususnya akte nikah dan akte kelahiran. Warga menjadi tak bisa mengakses segala bentuk layanan sosial dan bantuan pemerintah. Bagi para perempuan, tiadanya catatan pernikahan dalam sebuah akta resmi juga seringkali membuat mereka merasa, bahwa posisinya sebagai istri tidak sepenuhnya diakui. Hampir seluruh warga Desa Seumirah dan Darussalam, Kecamatan Nisam Antara, dan Kabupaten Aceh Utara, yang terletak tepat di kaki Gunung Salak mengalami kasus semacam ini.

Ada berbagai kendala yang menyebabkan puluhan pasangan suami-istri tidak bisa mendapatkan akte nikah. Selain akses yang sulit, kurangnya sosialisasi, warga pun kurang peduli untuk mendaftarkan pernikahan. Di luar itu, masa konflik panjang juga menjadi pangkal soal. Pada masa itu, warga harus menunggu beberapa waktu untuk pemrosesan buku nikah. Sementara itu, situasi keamanan pada saat konflik begitu mencekam, di setiap pintu-pintu keluar gampong (desa) ada pos-pos keamanan. Banyak warga yang dapat dicurigai sebagai anggota dan simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga warga masyarakat tidak leluasa keluar desa, apalagi pergi mengurus ke Kantor Urusan Agama (KUA), yang jaraknya hingga puluhan kilometer untuk mengambil buku nikah. Selain itu, dalam situasi konflik, KUA pun banyak yang hangus terbakar dan mengakibatkan banyak dokumen dan data-data hilang.

Alhasil, hingga bertahun-tahun kemudian, banyak warga yang hidup berumahtanga dengan tanpa ada surat nikah di tangan. Akibatnya, warga terhambat dalam urusan administrasi dan kependudukan (adminduk) dan akses pada berbagai layanan publik lainnya. Dalam hal tertentu, misalnya, Geuchik (Kepala Desa) dapat memberikan surat keterangan untuk mengurusanak-anak mereka mendaftar sekolah. Akan tetapi, tiadanya dokumen resmi pernikahan tetap saja membuat mereka terganjal dalam banyak hal, bahkan salah satunya, tidak bisa mengurus paspor dan pergi haji.

Tiadanya buku nikah, berdampak secara sosial hingga personal. Bagi warga pernikahan adalah sebuah ritual sosial. Secara personal, dampak terbesar adalah bagi para perempuan. Tiadanya buku nikah juga membuat perempuan merasa posisinya sebagai istri tidak sepenuhnya diakui.

Melalui program Peduli, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) bekerjasama dengan Dinas terkait menggagas program Isbath Nikah (pencatatan pernikahan), yang akhirnya dilakukan pada Mei 2016. Acara yang berlangsung di Kecamatan Nisam Antara, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh merupakan Isbath Nikah pertama kali di Aceh Utara. Pasangan yang bisa mendaftar di Isbath Nikah ini adalah mereka yang menikah di masa konflik hingga tahun yang berdekatan dengan akhir konflik tahun 2005. Total pasangan yang telah mendapat pelayanan fasilitas Isbath Nikah: 309 pasangan, dengan rincian 66 pasangan untuk Pelayanan Terpadu (Yandu) pertama (Mei 2016), 192 pasangan pada Pelayanan Terpadu kedua (Oktober 2016) dan 51 pasangan untuk Pelayanan Terpadu ketiga.3

(32)

“Angin Segar” dan “Memulihkan Martabat” Minoritas

Kepercayaan Melalui Pengajuan Konstitusional di Mahkamah

Konstitusi

Putusan atas Permohonan No 97/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi RI (MK) mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dkk. terkait uji materi UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (selanjutnya disebut UU Adminduk).

Beberapa pasal dalam undang-undang ini mengatur mengenai pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Melalui Program Peduli, upaya ini didorong oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Pembela Kewarganegaraan.

Ketentuan ini memicu banyak tindakan diskriminatif terhadap penghayat kepercayaan, khususnya dalam pelayanan publik. MK memutuskan dengan menerima seluruh permohonan uji materi dengan menegaskan 2 hal: Pertama, menyatakan bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai pula sebagai sebagai kepercayaan. Kedua, menyatakan bahwa Pasal 61 ayat (4) dan Pasal 64 ayat (5) yang mengatur mengenai pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Putusan MK 97 dan perjuangan panjang penghayat kepercayaan dalam mencapai pengakuan patut diapresiasi. Pengakuan kepercayaan sebagai bagian dari identitas dan bentuk ekspresi spiritual menjadi penting. Selama beberapa dekade penghayat kepercayaan telah menjadi

muted group, yang ekspresi spiritualitasnya sangat dibatasi, berbeda dengan penganut

enam agama yang dianut mayoritas penduduk.

Pengakuan diatas menegaskan posisi dan relasi setara antara penghayat kepercayaan dan penganut agama, setidaknya dalam pelayanan publik khususnya administrasi kependudukan. Pengakuan ini juga membawa perintah tegas kepada penyelenggara pemerintahan di lapangan (street level bureaucrat) dalam memberikan pelayanan kepada penghayat kepercayaan dalam tingkat yang setara dengan pelayanan terhadap warga negara lainnya.

(33)

Membangun Kesadaran Advokasi Korban Pelanggaran HAM

(Talangsari)

Demi mewujudkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan yang berkelanjutan, dengan mengedepankan prinsip “No one Left Behind”, maka perlu dilakukan dukungan khusus terhadap kelompok rentan, terutama mereka yang mengalami atau menjadi korban Pelanggaran HAM Berat. Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat melalui mekanisme peradilan tidak mudah dan seringkali dihadang oleh berbagai kendala, hal tersebut membuat para pihak atau kelompok yang mengalami dan atau menjadi korban Pelanggaran HAM Berat4 mendapatkan stigma dan perlakuan yang tidak adil, khususnya

ketika mengakses pelayanan publik.

Hal ini seperti yang pernah dialami oleh warga Dusun Talangsari III, yang diberikan cap sebagai “orang-orang lokasi”. Selain trauma dan diskriminasi terhadap “orang-orang lokasi”, perlakuan yang tidak adil itu juga berujung pada eksklusi sosial. Mereka tidak diterima masyarakat dan membuat mereka tidak dapat menikmati fasilitas dan layanan publik seperti warga masyarakat pada umumnya. Supiah, sebagai warga yang pernah menjadi korban Pelanggaran HAM Berat, menceritakan: “Pada tahun 2005, saya punya anak laki-laki masih kecil. Ketika itu ada imunisasi polio. Lantas ada teman yang cerita, kenapa semuanya diminta ke sana kok saya enggak? Katanya “orang lokasi” tidak boleh diajak, sudah seperti anak tiri.” Kenang Supiah 5.

Yayasan Indonesia untuk kemanusiaan –yang peduli terhadap upaya inklusi bagi korban pelanggaran HAM– bekerjasama dengan IKOHI Jakarta dan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (P2KTL), menjalankan aktivitas untuk melakukan pengkaderan bagi keluarga korban, agar terjadi perubahan dari korban menjadi penyintas dan perlunya persamaan persepsi, bahwa program akses layanan publik tidak sama dengan Islah di masa lalu. Korban dan PK2TL bekerjasama dengan tokoh: pemerintahan, masyarakat dan agama yang sudah menunjukan komitmen awal untuk memperlakukan Dusun Talangsari sama dengan 9 Dusun lainnya, yang ada di Desa tersebut. Organisasi masyarakat di wilayah Lampung berperan dalam melakukan advokasi pengambil kebijakan dan memberikan penguatan pada masyarakat. Kelompok korban dan organisasi masyarakat mendorong SKPD (Satuan Kerja Pelaksana Dinas) terkait untuk memberikan layanan publik yang layak di Talangsari, seperti: Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pertanian, Badan Pertanahan Provinsi Lampung, PLN, Dinas Pembangunan Umum, Sementara itu, untuk peningkatan ekonomi dilakukan kerjasama dengan badan amal Dompet Dhuafa6.

4 Dalam konteks pelanggaran HAM, konsep tentang korban sangat luas pengertiannya. Tidak hanya seseorang yang mengalami langsung akibat dari suatu kejahatan pelanggaran HAM, tetapi juga keluarga dekat atau tanggungan langsung korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu mengatasi penderitaan para korban atau mencegah viktimisasi.

5 https://programpeduli.org/blog/supiah-perempuan-dibalik-dusun-talangsari-yang-tersenyum-kembali/

(34)

Supiah, salah satu korban berhasil dikader menjadi penyintas dan menjadi Pandu Inklusi Nusantara (PINTAR). Dia secara aktif mengumpulkan kelompok ibu-ibu dan membentuk kelompok untuk pemberdayaan ekonomi mereka. Supiah juga aktif mengajak “orang lokasi” untuk datang di kegiatan pengajian, hingga kegiatan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), agar mendapat ruang interaksi dan bersosialisasi dengan masyarakat. Melalui ruang dan forum-forum seperti itu, stigma dan diskriminasi yang melekat pada mereka perlahan-lahan dihapus dan relasi sosial kembali dijalin. Kondisi Dusun Talangsari lambat laun mulai diperhatikan dan berkembang seperti Dusun lainnya. “Sekarang sudah ada acara sendiri. Anak-anak bisa ramai, bahagia, tertawa ikut lomba-lomba. Ibu-ibunya juga ikut bergabung. Tarik tambang, tanding masak antar RT, dan macam-macam lagi. Tahun-tahun belakangan ini, saya ‘merasa merdeka’.” Cerita Supiah7

Mendorong Peran Aktif Negara Atas Akses Bantuan Hukum

(Koalisi Advokasi Masyarakat Sipil untuk UU Bantuan

Hukum/KUBAH)

Guna mewujudkan sasaran Global SDGS, terkait upaya menggalakan kedaulatan hukum di tingkat nasional dan internasional serta menjamin akses yang sama terhadap keadilan bagi semua, Pemerintah Indonesia menargetkan sejumlah orang atau kelompok masyarakat miskin untuk memperoleh bantuan hukum litigasi dan non litigasi. Bantuan hukum menjadi program yang didorong oleh Pemerintah guna menciptakan akses keadilan yang merata untuk semua orang. Selain itu, pemerintah juga berharap inisiatif ini bisa menjadi program yang dapat diusulkan dalam sasaran global, terkait akses terhadap keadilan dan penegakan hukum.

Sedikit berbeda dengan negara lainnya, pemberian bantuan hukum di Indonesia bukan dilakukan oleh negara, melainkan diberikan langsung oleh organisasi masyarakat sipil. Sementara itu, negara –dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional, di bawah Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, bertindak sebagai penyelenggara, yang bertugas menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum, seperti: standar bantuan hukum, rencana anggaran, tata cara mengelola anggaran dan menyampaikan laporan bantuan hukum8.

Sebelum disahkannya UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum dilakukan oleh Advokat/Pengacara, dengan konsep probono sebagai implementasi dari pelaksanaan profesi Advokat. Negara hanya menghormati hak setiap orang dalam memilih bantuan hukum dan menunjuk Advokat/Pengacara dalam memberikan bantuan hukum9, bagi tersangka tidak mampu dan yang dikenakan ancaman hukuman di atas 5 tahun

penjara.

7 Op. Cit. Hal. 21.

8 Pasal 16 ayat (3) UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

9 Pasal 56 KUHAP menyatakan: “Dalam hal Tersangka atau Terdakwa disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.”

(35)

Minimnya dukungan negara terhadap pemberian bantuan hukum, mendorong organisasi-organisasi bantuan hukum dan lembaga yang fokus di bidang reformasi peradilan membentuk Koalisi Advokasi Masyarakat Sipil untuk UU Bantuan Hukum (KUBAH). Organisasi koalisi ini berperan dalam melakukan advokasi bersama, untuk mendorong peran aktif negara dalam mewujudkan akses keadilan melalui bantuan hukum.

Demi tujuan untuk memperkuat gerakan masyarakat sipil, KUBAH yang digawangi oleh YLBHI membangun jaringan dengan kelompok akademisi, dengan cara membuat Pertemuan Bantuan Hukum untuk mencari dan menggali gagasan konsep bantuan hukum yang tepat di Indonesia. Pertemuan Bantuan Hukum tersebut juga dijalankan dengan cara mengundang berbagai perwakilan negara lain, untuk sharing sistem bantuan hukum di negara mereka tersebut serta para pakar dari akademisi dan perwakilan negara-negara yang disasar akan menjadi implementasi pelaksanaan sistem bantuan hukum. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono –yang hadir dan membuka acara pertemuaan tersebut, mendukung dikembangkannya konsep bantuan hukum, guna membantu menjawab permasalahan akses keadilan di waktu yang akan datang10.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato Pertemuan Bantuan Hukum itu menyatakan: “Apa yang dilakukan oleh YLBHI sekarang ini, dalam forum ini, beserta output yang dihasilkan harus kita pandang dari dua sisi, solving the problems and upholding the law and lay down foundation, untuk bantuan hukum, untuk akses terhadap keadilan dan lain-lain yang berkaitan dengan itu di waktu yang akan datang”.

Selain melakukan advokasi, Koalisi Masyarakat sipil yang tergabung dalam KUBAH juga menyusun dan menawarkan Naskah Akademis dan RUU Bantuan Hukum versi masyarakat sipil11. Walaupun tidak seluruh konsep masyarakat sipil diakomodir oleh UU Bantuan

Hukum, namun point pelibatan pemberian bantuan hukum yang langsung dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil, melalui organisasi bantuan hukum dan adanya dukungan negara dalam bentuk operasional pemberian bantuan hukum dapat menjadi pintu masuk dalam mewujudkan akses keadilan melalui bantuan hukum.

Sampai pada tahun 2013, setidaknya terdapat 310 organisasi bantuan hukum dan pada tahun 2016 terdapat 405 organisasi bantuan hukum, yang memberikan bantuan hukum dan terus meningkat pada hasil verifikasi tahun 2019 menjadi sebanyak 524 organisasi bantuan hukum, yang tersebar di seluruh Indonesia. Meningkatnya jumlah organisasi bantuan hukum selaras dengan peningkatan para penerima bantuan hukum. Pada tahun 2013 terdapat 1040 orang yang menerima bantuan hukum dan meningkat drastis pada 2017 sebanyak kurang lebih 50.000 orang penerima bantuan hukum12.

10 http://www.rifaihadi.com/2018/08/17/sejarah-singkat-munculnya-uu-bantuan-hukum-di-indonesia/ di unduh pada 29 Mei 2019. 11 Naskah Akademik RUU Bantuan Hukum Versi Masyarakat Sipil dapat dilihat di

https://anggara.files.wordpress.com/2009/06/naskah-akademik-ruu-bh-final.pdf diunduh pada 29 Mei 2019.

(36)

Meningkatnya jumlah organisasi bantuan hukum yang mengikuti proses verifikasi menjadi organisasi pemberi bantuan hukum menunjukan tingginya ketertarikan masyarakat untuk terlibat dalam program bantuan hukum yang diselenggarakan oleh pemerintah. Selain menyediakan anggaran operasional pemberian bantuan hukum, pemerintah menjamin kebebasan dan independensi organisasi bantuan hukum dalam menentukan strategi pembelaan kasus. Penyelenggara bantuan hukum juga memberikan ruang bagi organisasi bantuan hukum untuk melakukan kegiatan diluar litigasi terkait penyuluhan hukum, penelitian hukum, peningkatan kapasitas pemberi bantuan hukum.

UU Bantuan Hukum juga mengamanatkan kepada Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan anggaran untuk program bantuan hukum. Sampai dengan tahun 2018 terdapat 16 Peraturan Daerah setingkat Propinsi dan 61 Peraturan Daerah setingkat Kabupaten yang mengatur mengenai bantuan hukum.

Menghancurkan Hambatan Regulasi Melalui Mahkamah

Konstitusi (Putusan MK Terhadap Masyarakat Adat)

Salah satu hambatan dalam mewujudkan Hak Asasi Manusia adalah peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Walaupun UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia secara tegas menjamin Hak Asasi Manusia dan tanggung-jawab negara dalam menghormati, melindungi, memenuhi dan memajukan Hak Asasi Manusia, namun seringkali pembuat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan masih kerap mengabaikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

Sebagai sarana para pihak yang dilanggar hak konstitusionalnya memperjuangkan hak dan kepetingannya, khususnya terhadap pelaksanaan HAM, pemerintah membentuk Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi ini memiliki wewenang mengadili tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar. Melalui kewenangan yang dimilikinya, Mahkamah Konstitusi dapat menguji: apakah ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan melanggar Hak Asasi Manusia yang telah diatur dalam UUD 1945 atau tidak?

Melalui Putusannya, Mahkamah Konstitusi memberikan pengakuan terhadap masyarakat

adat13, memberikan pengakuan terhadap orang yang memeluk kepercayaan untuk

dicantumkan dalam kolom agama di KTP14 dan mendorong agar dinaikan usia perempuan

dalam syarat diperbolehkan menempuh pernikahan15. Ketiga putusan tersebut membawa

dampak yang signifikan terhadap upaya mencapai pemenuhan HAM dan mencapai target SDGs/TPB, khususnya bagi Masyarakat Adat, kelompok minoritas dan perempuan.

13 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 67.

14 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang Pengujian UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 61 dan Pasal 64

15 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tentang Pengujian UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD RI 1945, Pasal 7 ayat (1)

Gambar

Tabel 1. HAM dan UUD 1945
Diagram 1. Diagram Alur Negara, HAM dan SDGs
Tabel 2. Sampel Uruguay Kartu Skor Monitoring Agenda HAM dalam SDGs Tujuan 16
Diagram 2. Pemetaan Kebutuhan Prioritas HAM 8
+6

Referensi

Dokumen terkait

“Bisa dikatakan, adaptasi dengan teknologi melalui layanan digital oleh perusahaan pembiayaan salah satu faktor yang akan mendorong PP (perusahaan pembiayaan) dapat memberikan

Kurikulum Satuan pendidikan (KTSP) yang berlaku saat ini dikembangkan berdasarkan pada Standar Isi (SI), Standar Kompetensi (SK), Standar Kompetensi Kelulusan (SKL)

Sesuai perumusan masalah sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana mekanisme penyusunan perencanaan dan

Ibu hamil yang mengalami stres ringan karena terjadinya peningkatan hormon estrogen yang menyebabkan morning sickness, frekuensi buang air kecil yang meningkat dan perubahan

Jumlah site yang dibutuhkan dalam perencanaan jaringan LTE-Unlicensed di wilayah Jakarta Pusat sebesar 36 site dengan planning by capacity menggunakan metode

Elemen Packet Switched adalah Serving GPRS Support Node (SGSN) merupakan interface yang berfungsi sama dengan MSC tetapi digunakan untuk layanan packet switched dan

Selanjutnya, pasien yang menerima terapi tetrasiklin (kecuali bentuk sintetis) harus diberikan konseling untuk tidak meminum obat dengan makanan atau obat-obatan yang mengandung

Harga Perkiraan Sendiri (HPS) harus dibuat dengan terperinci, sesuai dengan gambar rencana dan item-item yang terdapat di dalam spesifikasi. Pada tahapan penyusunan