• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli PADA PERIODE KERING KANDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli PADA PERIODE KERING KANDANG"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN

FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH

YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli

PADA PERIODE KERING KANDANG

AN NISAA’ NOFITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Temperatur Tubuh, Frekuensi Jantung dan Frekuensi Nafas Induk Sapi Perah yang Divaksin dengan Vaksin

Escherichia coli Pada Periode Kering Kandang” adalah karya sendiri dan belum

diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 11 November 2008

An Nisaa’ Nofita

(3)

ABSTRAK

AN NISAA’ NOFITA. Temperatur Tubuh, Frekuensi Jantung dan Frekuensi Nafas Induk Sapi Perah yang Divaksin dengan Vaksin Escherichia coli Pada Periode Kering Kandang. Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan RETNO WULANSARI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati status kesehatan induk sapi

Friesian Holstein (FH) bunting yang divaksin dengan vaksin Escherichia coli

polivalen melalui pengamatan terhadap temperatur tubuh, frekuensi jantung dan frekuensi nafas. Penelitian ini menggunakan 2 ekor sapi FH betina periode kering kandang yang diberi vaksin E. coli secara intra muskular sebanyak 3 kali pada 8, 6, dan 4 minggu sebelum perkiraan partus. Pengamatan dilakukan selama 3 hari sebelum dan 3 hari sesudah vaksinasi pertama, kedua, dan ketiga. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan nilai pada hari ke-0 vaksinasi, temperatur tubuh sapi 1 dan sapi 2 sehari setelah vaksinasi pertama meningkat 1.8% dan 0.5%. Frekuensi jantung sapi 1 dan sapi 2 mengalami peningkatan 26.3% dan 21.7%. Frekuensi nafas sapi 1 dan sapi 2 mengalami peningkatan 44.4% dan 23.1%. Setelah vaksinasi kedua temperatur sapi 1 mengalami penurunan 2.1% dan temperatur sapi 2 menurun 0.3%. Frekuensi jantung sapi 1 dan sapi 2 sama seperti hari ke-0 vaksinasi kedua. Frekuensi nafas sapi 1 mengalami penurunan 20% dan sapi 2 mengalami peningkatan 14.3%. Sementara setelah vaksinasi ketiga temperatur sapi 1 sama seperti hari ke-0 vaksinasi ketiga dan sapi 2 menurun 2.1%. Frekuensi jantung sapi 1 dan sapi 2 menurun 5.6% dan 11.5%. Frekuensi nafas sapi 1 dan sapi 2 mengalami penurunan 11.1% dan 10%. Dari hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa pemberian vaksin E. coli pada induk sapi FH pada periode kering kandang tidak mempengaruhi status kesehatan induk sapi bunting. Vaksinasi meningkatkan temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas sapi 1 dan sapi 2 sehari setelah vaksinasi pertama, namun demikian peningkatan yang terjadi masih dalam kisaran normal. Sementara temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas setelah vaksinasi kedua dan ketiga relatif stabil.

(4)

ABSTRACT

AN NISAA’ NOFITA. Body Temperature, Heart and Respiratory Rate of Dairy Cow After Escherichia coli Vaccination During Dry Period. Guidanced by ANITA ESFANDIARI and RETNO WULANSARI.

The objective of this experiment was to study the health performance of pregnant holstein cow after administration of Escherichia coli inactive vaccine. Two holstein cow in dry period were used in this experiment. Vaccinations through intramuscular route were given 3 times at 8, 6, and 4 weeks before parturition. Status health were monitored during 3 days before and after the first, second, and third vaccination, respectively. The result showed that one day after the first vaccination, temperature of cow no. 1 and cow no.2 increased 1.8% and 0.5%, respectively. The heart rate increased 26.3% and 21.7% in cow no. 1 and cow no.2, respectively. While, respiration rate of cow no. 1 increased 44.4% and cow no. 2 increased 23.1%. After second vaccination, temperature of cow no. 1 and cow no.2 decreased 2.1% and 0.3%, respectively. Heart rate was the same wether 0 day vaccination in cow no. 1 and cow no. 2. While, respiration rate of cow no. 1 decreased 20% and cow no. 2 increased 14.3%. After third vaccination, temperature of cow no.1 was the same wether 0 day vaccination, and cow no.2 decreased 2.1%. Heart rate decreased 5.6% and 11.5% in cow no.1 and cow no.2, respectively. Respiration rate of cow no. 1 decreased 11.1% and cow no. 2 decreased 10%. In conclusion, the administration of E.coli vaccine during dry period did not effect the health status. The administration of E.coli vaccine increased the body temperature, heart and respiration rate a day after vaccination, however were still in the normal range. On the other hand, body temperature, heart rate, and respiration rate in second and third vaccination remain stabile.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(6)

TEMPERATUR TUBUH, FREKUENSI JANTUNG DAN

FREKUENSI NAFAS INDUK SAPI PERAH

YANG DIVAKSIN DENGAN VAKSIN Escherichia coli

PADA PERIODE KERING KANDANG

AN NISAA’ NOFITA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(7)

Judul Skripsi : Temperatur Tubuh, Frekuensi Jantung dan Frekuensi Nafas Induk Sapi Perah yang Divaksin dengan Vaksin Escherichia coli Pada Periode Kering Kandang

Nama : An Nisaa’ Nofita

NRP : B04104139

Disetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi drh. Retno Wulansari, MSi, Ph. D

NIP : 131 841 741 NIP : 131 760 845

Diketahui,

Wakil Dekan

Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 131 669 942

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT, atas limpahan rahmat, taufik hidayah serta kasih sayang-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurah hanya kepada Nabi akhirul zaman Muhammad SAW, yang senantiasa memberikan contoh kepada umatnya untuk melakukan yang terbaik dalam hidup ini.

Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

Ayah dan Bunda yang senantiasa menanti kehadiran kembali buah hati mereka diantara kehangatan cinta dan kasih sayang yang selalu tercurah selama ini lewat perhatian dan doa yang tiada henti.

Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk memperoleh pendidikan dan ilmu yang berlimpah di Institut Pertanian Bogor.

Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi dan drh. Retno Wulansari, MSi, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah sangat sabar mendampingi dan membimbing penulis.

Dr. drh. Chusnul Choliq, MSi, MM atas masukan dan saran-saran yang membangun untuk penulis.

Prof. Dr. Drh. Fachriyan H. Pasaribu dan Drh. Eko Sugeng Pribadi, MS atas motivasinya untuk penulis.

Achmad Hasan Mauladi untuk semua bantuan, perhatian, kasih sayang, semangat, serta kesediaanya menjadi tempat berbagi dan belajar bagi penulis untuk senantiasa menjadi lebih baik.

Teman-teman seperjuangan dalam kelompok penelitian ini (Hasan, Aki, Ophing, Nini, Ita, dan Faisal) atas kerjasama dan kebersamaannya, serta kepada Pak Ngkos dan Pak Dahlan atas bantuannya dalam melaksanakan penelitian ini.

(9)

Para sahabat Sessamoidea & Al Kahfia (Eva, Ajeng, Ridla, Mbak Ria, Bu Ning) sebagai tempat menumpahkan lelah dan berbagi penulis.

Para sahabat “Asteroidea 41” untuk semua kebersamaannya dalam angkatan yang terbaik dan teristimewa.

Dan, terima kasih untuk semua elemen-elemen penyusun desain holistik kehidupan penulis sehingga menciptakan berbagai keindahan dan keajaiban dalam hidup penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan keterbatasan ilmu yang dimiliki. Semoga hasil penelitian yang dipaparkan dalam skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat luas.

Bogor, 11 November 2008

(10)

RIWAYAT HIDUP

An Nisaa’ Nofita lahir pada 17 November 1986 di Samarinda, Kalimantan Timur dari pasangan Bapak M. Hanafi Abidarda, BSc dan Ibu Isnaniah Djuhri. Penulis merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara.

Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, pada tahun 2004 dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD).

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam organisasi intra dan ekstra kampus. Penulis pernah menjadi sekretaris Departemen Olahraga Seni & Budaya BEM KM FKH IPB pada tahun 2006-2007, sekretaris Forum Mahasiswa BUD Kutai Kartanegara IPB pada tahun 2006-2007, sekretaris Himpro SATLI FKH IPB pada tahun 2007-2008, dan Ketua KOHATI HMI Komisariat FKH IPB pada tahun 2007-2008. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kampus. Penulis pernah menjadi sekretaris dalam kegiatan Peringatan Hari Bumi Kota Bogor melalui Pembuatan Lubang Biopori se-Kota Bogor pada tahun 2007 dan sekretaris dalam kegiatan Pengabdian Masyarakat Veteriner di Kawasan Sulawesi Selatan pada tahun 2007.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Friesian Holstein ... 3

2.2. Escherichia coli ... 4

2.2.1 Serotipe dan Biokimia Escherichia coli ... 4

2.2.2. Faktor Virulensi Escherichia coli ... 6

2.2.3. Diare Akibat Escherichia coli ... 7

2.2.4. Vaksin Escherichia coli ... 8

2.3. Pemeriksaan Fisik ... 10

2.3.1 Temperatur Tubuh ... 10

2.3.2. Sistem Sirkulasi ... 13

2.3.3. Sistem Respirasi... 15

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat ... 18

3.2. Alat dan Bahan... 18

3.2.1. Hewan Coba ... 18

3.2.2. Alat dan Bahan ... 18

3.3. Desain penelitian ... 18

3.3.1. Pemberian Vaksin Escherichia coli... 18

3.3.2. Pemeriksaan Status Present ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1. Temperatur Tubuh... 20

4.2. Frekuensi Jantung ... 24

4.3. Frekuensi Nafas ... 27

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli ... 20 2. Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin

E. coli ... 24 3. Frekuensi nafas induk sapi yang diberi vaksin E. coli ... 27

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Sapi perah jenis Friesian Holstein (FH) ... 4 2. Escherichia coli ... 5 3. Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli

pertama... 22 4. Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli

kedua ... 22 5. Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli

ketiga ... 22 6. Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli

pertama... 25 7. Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli

kedua ... 25 8. Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli

ketiga ... 25 9. Frekuensi nafas induk sapi yang diberi vaksin E. coli

pertama... 29 10.Frekuensi nafas sapi induk yang diberi vaksin E. coli

kedua ... 29 11.Frekuensi nafas induk sapi yang diberi vaksin E. coli

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diare menjadi salah satu masalah utama yang mengancam peternak karena sering menyerang pedet berumur kurang dari 14 hari. Diare pada umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, dan protozoa. Bakteri yang paling banyak menyebabkan diare adalah Escherichia coli (E. coli) (Anonim 2008a).

Diare profus yang disebabkan oleh E. coli pada anak sapi disebut kolibasilosis, terjadi karena infeksi enterotoksigenik E. coli (ETEC) yang mempunyai antigen perlekatan K99 atau F41 yang mampu memproduksi

enterotoksin tahan panas (heat stable toxin). Anak sapi yang terinfeksi akan menderita diare terus-menerus sehingga tubuh akan mengalami dehidrasi dan kehilangan cairan serta elektrolit tubuh secara berlebihan sehingga menimbulkan kematian secara cepat (Supar et al. 1997).

Infeksi pada umumnya terjadi pada 1-3 hari setelah lahir dengan tingkat kematian mencapai 50% (Supar et al. 1997). Selama dua dekade terakhir, antibiotika banyak digunakan untuk pengobatan diare akibat kolibasilosis pada anak sapi. Namun hasilnya kurang baik, karena kasus diare dan mortalitas tetap tinggi. Selain itu, uji sensitifitas isolat ETEC dari berbagai daerah menunjukkan adanya multipel resistensi terhadap 2-9 macam obat-obatan atau antibiotika yang sering digunakan di lapangan. Penggunaan antibiotika sebagai pengobatan atau sebagai feed additive juga akan menaikkan residu antibiotika dalam daging. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika tidak efektif, mahal, perlu pengawasan dan harus dikendalikan (Supar 2001).

Semakin meluasnya multipel resistensi ETEC terhadap antibiotika yang sering digunakan di peternakan membuat vaksin ETEC menjadi alternatif penting untuk pencegahan kolibasilosis, terlebih dengan diketahuinya berbagai macam antigen perlekatan E. coli yang berkaitan dengan sifat imunogenitas dan imunoproteksinya (Supar 2001).

Salah satu alternatif untuk pengendalian kolibasilosis pada pedet yang baru lahir adalah melalui pemberian vaksin pada induk sapi pada periode kering kandang agar didapatkan imunoglobulin spesifik terhadap ETEC yang terkandung

(15)

di dalam kolostrum. Namun demikian, perlu diperhatikan efek vaksinasi tersebut terhadap kinerja kesehatan induk sapi. Menurut Tizard (2000), vaksinasi dapat menyebabkan demam, hipersensitifitas, shock, stress, dan mampu menyebabkan abortus pada hewan bunting. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui status kesehatan induk sapi bunting yang divaksin dengan vaksin E. coli.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati status kesehatan induk sapi perah bunting yang divaksin dengan vaksin E. coli melalui pengamatan temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas.

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang status kesehatan induk sapi perah bunting yang diberi vaksin E. coli pada periode kering kandang.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sapi Perah

Sapi adalah hewan ternak penting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi berasal dari famili Bovidae dengan klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos

Spesies : Bos taurus (Anonim 2008b)

Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak digunakan adalah sapi

Shorthorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari Selat

Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red

Danish (dari Denmark), dan Droughtmaster (dari Australia). Berdasarkan kondisi

dan keadaan alam Indonesia, maka jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan adalah Friesian Holstein (FH). Selain sebagai penghasil susu, sapi perah juga dapat menjadi penghasil daging dan kulit (Prihatman 2000).

Ciri fisik sapi FH adalah memiliki berat badan rata-rata untuk sapi jantan 900 kg dengan tinggi rata-rata 140 cm dan berat badan rata-rata sapi betina 700 kg dengan tinggi rata-rata 135 cm. Sapi FH berwarna hitam dan putih serta memiliki dua tanduk pada jantan dan 0-2 tanduk pada betina dengan bentuk tanduk kecil dan nyaris tertutup (Anonim 2008b).

Sapi FH banyak diandalkan oleh banyak peternak dan pabrik susu. Sapi FH mempunyai adaptasi lingkungan yang baik di dataran tinggi di atas 700 meter

(17)

di atas permukaan laut (dpl), pada temperatur antara 16-24 °C dan curah hujan

sekitar 2000 mm/ tahun (Anonim 2008b).

Gambar 1 Sapi perah jenis Friesian Holstein (FH). (Sumber: Anonim 2008b).

Umumnya sapi FH dipelihara secara semi intensif hingga intensif. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan yang diberikan dapat berupa jerami padi, daun lamtoro, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja. Hijauan diberikan pada siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan 10% dari bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot badan. Sementara untuk induk sapi yang sedang laktasi, diperlukan tambahan 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Pemberian konsentrat diberikan pada pagi dan sore hari sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain pakan, sapi harus diberi minum sebanyak 10% dari berat badan per hari (Prihatman 2000).

2.2. Escherichia coli

2.2.1. Serotipe dan Biokimia Escherichia coli

Escherichia coli (E. coli) pertama kali diidentifikasi oleh seorang

berkebangsaan Jerman, Theobald Escherich (1885) dalam studinya mengenai sistem pencernaan (Sojka 1981). Klasifikasi E. coli menurut Anonim (2008a) adalah:

(18)

Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

Escherichia coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, bersifat

anaerobik fakultatif dan tidak berspora dengan ukuran panjang sel 2.0–6.0 µm dan lebar 1.1–1.5 µm. Escherichia coli dapat tumbuh dengan mudah pada media umum atau media khusus pada suhu 37 °C di bawah kondisi anaerob. Escherichia coli dari feses biasanya dikultur pada media yang hanya akan menumbuhkan

bakteri dari famili Enterobacteriaceae dan membuatnya berdiferensiasi sesuai morfologinya. Sekitar 90% dari galur E. coli dapat memfermentasi laktosa. Pada uji indol, 99% E. coli menunjukkan hasil positif. Hal ini dapat dipakai untuk membedakan E. coli dari anggota Enterobacteriaceae lainnya. Escherichia coli juga memberikan hasil uji Voger Proskaver (VP) negatif, motil positif dan tidak menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon. Pada media selektif EMB koloni bakteri berwarna hijau metalik (Sojka 1981).

Gambar 2 Escherichia coli. (Sumber: Anonim 2008a).

(19)

2.2.2. Faktor Virulensi Escherichia coli

Mikroba dapat menginfeksi inang karena faktor virulensi yang dimilikinya. Faktor virulensi tersebut merupakan komponen dari mikroba patogen yang dapat menyebabkan kerusakan pada inang. Bila komponen tersebut dihilangkan akan menyebabkan mikroba kehilangan viabilitas atau kemampuan untuk hidup. Faktor virulensi tersebut dapat berupa faktor yang memperantarai kolonisasi mikroba pada inang seperti dinding sel, kapsul, vili, fimbrae, adhesin, protein pengikat maupun faktor yang merupakan produk dari mikroba yang dapat merusak sel inang berupa toksin dan enzim hidrolitik seperti enterotoksin, sitotoksin, hemolisin, dan aerobaktin (Gyles & Charles 1993).

Berdasarkan karakteristik dan materi virulensinya, E. coli diklasifikasikan menjadi:

- Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC)

Enterotoksigenik Escherichia coli menggunakan fimbrae adhesi untuk mengikat sel-sel enterosit di usus halus. ETEC dapat memproduksi dua jenis protein enterotoksin yaitu heat labile toxin (LT) yang merangsang adenilat siklase sel epitel sehingga terjadi hipersekresi cairan dan elektrolit tubuh, dan

heat stabile toxin (ST) yang merangsang guanilat siklase sehingga

menyebabkan terjadinya akumulasi cGMP pada sel target dan menyebabkan terjadinya sekresi cairan dan elektrolit yang terus menerus ke lumen usus. - Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC)

Enteropatogenik Escherichia coli menggunakan intimin sebagai adhesin untuk berikatan dengan sel usus inangnya dan bersifat invasif sehingga mampu menimbulkan respon inflamasi.

- Enterohemoragik Escherichia coli (EHEC)

Enterohemoragik Escherichia coli menggunakan fimbrae adhesi untuk berikatan dengan sel-sel inang. EHEC mampu menyebabkan diare berdarah tanpa disertai demam. EHEC dapat menyebabkan hemolitik uremia sindrom, gagal ginjal akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan trombositopenia (Anonim 2008c).

Seperti kebanyakan bakteri patogen pada permukaan mukosa, E. coli mengembangkan strategi infeksi berupa: (1) membentuk koloni pada suatu tempat

(20)

di permukaan mukosa, (2) menghindar dari sistem pertahanan tubuh inang, (3) multiplikasi dan (4) merusak sel inang. Salah satu karakter E. coli terpenting adalah kemampuannya untuk berkolonisasi pada permukaan mukosa usus walaupun terdapat gerakan peristaltik usus dan kompetisi dengan flora lokal untuk mendapatkan nutrisi (Sojka 1981).

Seluruh galur E. coli memiliki fimbrae spesifik yang meningkatkan kemampuannya untuk membentuk koloni dan memudahkannya untuk mengadakan perlekatan pada daerah yang tidak biasa digunakan untuk kolonisasi. Jika koloni telah terbentuk, maka E. coli akan mengembangkan strategi patogeniknya, yaitu: (1) produksi enterotoksin, (2) invasi, dan (3) perlekatan intimin dengan mengadakan persinyalan membran (Sojka 1981).

Escherichia coli strain K99 mempunyai struktur vili yang mampu

menghasilkan perangkat mannose resisten yang adhesive pada bakteri. Komponen utama K99 merupakan adhesin dan melekat pada reseptornya, yaitu glikolipid

gangliosida Neu5Gc-α(2-3)-Gal-β(1-4)Glc-β(1,1) ceramide. Strain ini mampu menempel pada mukosa usus pedet yang baru lahir, kemudian akan mencapai populasi yang sangat tinggi di dalam usus. Sintesis antigen K99 tertekan oleh

beberapa komponen (alanin dan glukosa) pada media kompleks. Media yang biasanya digunakan untuk mendeteksi K99 adalah minca medium yang

mengandung asam casamino, KH2PO4, Na2HPO4, glukosa, agar, dan air destilata.

Strain 101 dari grup O menghasilkan K99 yang paling banyak dibandingkan

dengan yang diproduksi oleh strain yang lain dari grup O (Gyles & Charles 1993). Patogenitas E. coli tidak hanya tergantung pada kemampuannya untuk menghasilkan endotoksin, akan tetapi juga tergantung pada daya tahan tubuh anak sapi, jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit, dan keadaan lingkungan usus yang memungkinkan mikroba untuk berkembang (Setiawan et al. 1983).

2.2.3. Diare Akibat Escherichia coli

Pada pedet, kejadian diare akibat E. coli atau lebih sering dikenal dengan kolibasilosis merupakan penyakit yang bersifat akut dan menular dengan gejala yang khas yaitu diare dengan feses berwarna kuning keputihan. Escherichia coli dikenal sebagai penyebab diare pada anak sapi sejak pertama kali berhasil

(21)

diisolasi Jansen pada tahun 1897 dari feses anak sapi yang menderita diare (Setiawan et al. 1983).

Diare pada anak sapi neonatal disebabkan oleh infeksi ETEC strain K99

dan F41 berasosiasi dengan somatik antigen serogroup O-9, 20, atau 101. Prevalensi

kasus diare pada anak sapi di daerah sentra pengembangan sapi perah (Jawa Barat) berkisar antara 19-40%, dengan kematian pedet di bawah umur 1 bulan berkisar antara 8-19% dan dapat terjadi sepanjang tahun (Supar 2001).

Mekanisme infeksi ETEC pada anak sapi dan anak babi memiliki mekanisme serupa. Enterotoksigenik E. coli akan menempel pada permukaan mukosa usus halus dengan perantaraan antigen perlekatan atau fimbrae K88, K99,

F41 atau 987P. Setelah menempel, ETEC kemudian berkembang biak dan

memproduksi toksin heat labile toxin (LT) atau heat stable toxin (ST). Aktifitas LT atau ST seperti halnya toksin kolera bekerja dengan menstimulasi sekresi cairan tubuh dan elektrolit secara berlebihan. Oleh karena itu, sekresi yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan absorpsi, sehingga terjadilah diare profus dan dehidrasi. Hal ini menyebabkan hewan yang terinfeksi cepat mati (Supar 2001).

Pedet yang diare terus-menerus, akan memperlihatkan gejala klinis lemah, lesu, tidak mau menyusu, bulu di daerah perineal kotor oleh feses, mukosa mulut kering pucat kebiruan, turgor kulit jelek dan akhirnya pedet mati. Kematian akibat kolibasilosis dapat mencapai 20-50%, tergantung pada hebatnya serangan. Apabila disertai septikemia dan tidak mendapatkan perawatan dengan baik maka kematian dapat mencapai 90-100%. Menurunnya daya tahan tubuh pedet dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti stres karena kedinginan, higiene pakan, sanitasi kandang kurang baik, populasi terlalu padat, kurang intake pakan, atau tidak diberi kolostrum dan diberi susu berkualitas rendah (Setiawan et al. 1983).

2.2.4. Vaksin Escherichia coli

Selama dua dekade terakhir antibiotika banyak digunakan untuk pengobatan diare akibat kolibasilosis pada anak babi atau anak sapi. Namun hasilnya kurang baik, karena kasus diare dan mortalitas tetap tinggi. Selain itu, uji sensitifitas isolat ETEC dari berbagai daerah menunjukkan adanya multipel resistensi terhadap 2-9 macam obat-obatan atau antibiotika yang sering dipakai di

(22)

lapangan. Disamping itu penggunaan antibiotika sebagai pengobatan atau sebagai

feed additive juga akan meningkatkan residu antibiotika dalam daging. Hal ini

menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika tidak efektif, mahal, perlu pengawasan dan harus dikendalikan (Supar 2001).

Bakteri yang resisten dapat mengancam kehidupan manusia maupun hewan karena dapat meningkatkan morbiditas penyakit dan mortalitas akibat kegagalan pengobatan. Selain itu, biaya pengobatan juga meningkat karena harus menggunakan antibiotika dosis tinggi atau lebih dari satu macam antibiotika, atau diganti dengan menggunakan antibiotika baru dengan harga yang lebih mahal (Soeripto 2002).

Vaksinasi merupakan salah satu upaya untuk mencegah penyakit dan upaya yang efektif untuk pencegahan terhadap residu antibiotika dan resistensi bakteri (Soeripto 2002). Vaksinasi merupakan tindakan memasukkan antigen yang telah dilemahkan ke dalam tubuh, untuk merangsang kekebalan yang diharapkan dapat melindungi individu tersebut terhadap infeksi penyakit di alam (Tizard 2000).

Vaksin dibagi menjadi vaksin aktif dan vaksin inaktif. Vaksin aktif adalah vaksin yang mengandung antigen yang sudah dilemahkan untuk menghilangkan sifat-sifat virulensinya. Vaksin inaktif adalah vaksin yang berisi antigen yang sudah diinaktifkan (dimatikan) tetapi masih memiliki sifat imunogenitas. Vaksin dapat berisi satu jenis antigen yang disebut vaksin monovalen atau dapat pula berisi beberapa jenis antigen atau disebut vaksin polivalen. Pemberian imunisasi kepada hewan rentan dengan memberikan antibodi yang diperoleh dari hewan lain (hewan donor) yang telah diberi imunisasi secara aktif disebut dengan imunisasi pasif. Salah satu contohnya adalah melalui pemberian kolostrum induk kepada anaknya (Tizard 2000).

Pencegahan kolibasilosis dengan vaksin ETEC menjadi sangat penting artinya dengan semakin meluasnya multipel resistensi ETEC terhadap antibiotika yang sering dipakai pada peternakan dan tingginya residu dalam produk hasil ternak. Selain itu, pemberian vaksin dapat memberikan daya lindung optimal, dan merupakan cara yang lebih aman, layak, dan efisien (Supar 2001).

(23)

Komposisi vaksin ETEC untuk pengendalian kolibasilosis pada anak sapi terdiri dari ETEC K99, F41, K99F41 tergolong dalam serogroup O-9, 20, 101. Galur

antigen vaksin enteropatogenik E. coli (EPEC) untuk pengendalian disentri dapat disatukan dengan antigen ETEC. Pemakaian vaksin tidak aktif mengandung beberapa jenis antigen yang tidak bersifat negatif diantara individu komponen antigen sehingga tidak saling menghambat dalam pembentukan antibodi (Supar 2001).

Aplikasi pemberian vaksin kepada induk sapi yang sedang bunting periode kering kandang secara intramuskular atau subkutan. Vaksin serupa diinjeksikan kembali pada saat 2 minggu sebelum induk sapi diperkirakan partus. Anak sapi kemudian diberi kolostrum induk segera setelah dilahirkan karena antibodi terhadap antigen fimbrae (IgG) sangat tinggi di dalam kolostrum sampai hari ke-5 post partus. Sesudah itu konsentrasi IgG mengalami penurunan, sedangkan konsentrasi IgA meningkat (Supar 2001).

2.3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik atau physical examination (PE) merupakan suatu tindakan memeriksa keadaan hewan untuk menemukan tanda-tanda klinis suatu penyakit. Hasil pemeriksaan ini akan dicatat dalam catatan medis (rekam medis) yang akan membantu dalam penegakan diagnosa dan perencanaan perawatan. Umumnya, pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi tindakan pemeriksaan status kesehatan umum seperti penghitungan frekuensi nadi dan denyut jantung, penghitungan frekuensi nafas, pengukuran temperatur tubuh, pengamatan terhadap mukosa, turgor kulit, dan keadaan penting lain kondisi hewan misalnya frekuensi rumen pada ruminansia (Kelly 1984; Anonimus 2007).

2.3.1. Temperatur Tubuh

Temperatur tubuh merupakan temperatur tubuh bagian dalam atau sering disebut dengan temperatur inti (Guyton & Hall 1997). Temperatur tubuh bagian dalam hewan dapat diukur dengan menggunakan termometer yang dapat mengindikasikan keseimbangan antara produksi panas dan pengeluaran panas (Kelly 1984).

(24)

Pusat pengaturan temperatur tubuh (termoregulasi) terletak di hipotalamus. Fungsi dari pusat pengatur temperatur tubuh adalah mempertahankan agar temperatur tubuh selalu dalam keadaan normal dan konstan. Temperatur tubuh normal merupakan kondisi optimal untuk berlangsungnya semua proses fisiologis atau metabolisme di dalam tubuh seperti berdenyutnya jantung, proses pernafasan, pencernaan dan lain-lain (SchÖnbaum & Peter 1991).

Temperatur rektum dianggap dapat mewakili temperatur tubuh dan paling sedikit dipengaruhi oleh perubahan temperatur lingkungan sehingga lebih stabil dibandingkan dengan tempat lain. Temperatur tubuh hewan diukur dengan cara memasukkan termometer ke dalam rektum. Menurut Kelly (1984),temperatur rektal normal sapi perah dewasa berkisar antara 37.8-39.2 °C.

Menurut Rosenberger (1979), temperatur tubuh normal sapi perah dipengaruhi oleh umur hewan, dimana temperatur hewan muda akan lebih tinggi dibandingkan dengan hewan dewasa. Temperatur dan kondisi lingkungan juga mempengaruhi temperatur tubuh, dimana temperatur lingkungan yang meningkat pada siang hari dapat meningkatkan temperatur tubuh 0.5-1 °C. Aktifitas tubuh hewan seperti banyak bergerak atau setelah makan, dapat meningkatkan temperatur tubuh akibat metabolisme yang meningkat. Fungsi dan status reproduksi hewan seperti estrus, kebuntingan, dan partus juga mempengaruhi temperatur tubuh hewan.

Panas tubuh dihasilkan dari hasil metabolisme yang berasal dari dalam tubuh. Energi dari pakan akan diubah dalam bentuk panas yang akan disebarkan ke lingkungan dan ke seluruh permukaan tubuh. Apabila temperatur lingkungan melebihi temperatur tubuh hewan dan hewan terpapar oleh radiasi panas, maka hewan akan berusaha melawan panas tersebut. Begitu juga jika hewan terpapar oleh sinar matahari langsung atau berada di dekat dengan benda padat yang lebih hangat dibandingkan dengan temperatur tubuhnya. Panas tubuh akan hilang menuju lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju objek yang lebih dingin (Cunningham 2002).

Apabila temperatur tubuh terlalu panas, maka sistem regulasi temperatur akan mengaktifkan tiga mekanisme untuk menurunkan temperatur tersebut,

(25)

• Vasodilatasi. Pada hampir semua area tubuh akan terjadi vasodilatasi dengan kuat. Hal tersebut disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi pembuluh darah tersebut akan meningkatkan perpindahan panas ke kulit, sehingga panas akan dilepaskan.

• Berkeringat. Peningkatan temperatur akan menyebabkan tubuh mengaktifkan mekanisme berkeringat, sehingga panas tubuh akan dilepaskan melalui evaporasi.

• Penurunan pembentukan panas. Apabila terjadi peningkatan temperatur maka mekanisme pembentukan panas dalam tubuh seperti menggigil dan termogenesis kimia akan dihambat.

Apabila temperatur tubuh terlalu dingin, maka sistem termoregulasi akan mengaktifkan reaksi :

• Vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Hal tersebut terjadi karena adanya rangsangan pada pusat simpatis hipotalamus posterior. Vasokonstriksi akan menyebabkan terjadinya perpindahan panas ke kulit berkurang sehingga kehilangan panas dapat dicegah.

• Piloereksi. Rangsangan simpatis akan menyebabkan otot erektor pili pada folikel rambut akan berkontraksi sehingga akan membentuk lapisan tebal “isolator udara” yang akan mencegah pelepasan panas dari tubuh.

• Peningkatan pembentukan panas. Mekanisme tubuh yang akan meningkatkan pembentukan panas adalah menggigil, rangsangan simpatis pembentuk panas dan sekresi tiroksin. Ketiga hal tersebut akan meningkatkan metabolisme basal tubuh sehingga panas akan terbentuk (SchÖnbaum & Peter 1991; Guyton & Hall 1997).

Pemancaran panas terjadi melalui pergerakan udara atau air yang menjadi lebih hangat oleh tubuh, penguapan sekresi respirasi, keringat atau saliva dan penghantaran pada permukaan yang lebih dingin karena tubuh hewan bersentuhan. Panas juga bisa hilang melalui urin dan feses. Pemindahan panas di dalam tubuh dilakukan oleh pergerakan di dalam sistem sirkulasi, jantung dan pembuluh darah (Cunningham 2002).

(26)

Hipertermia terjadi apabila temperatur tubuh berada di atas titik kritis temperatur tubuh hewan yang menunjukkan terjadinya kelebihan penyerapan panas atau peningkatan produksi panas dan pengurangan pengeluaran panas. Pada saat hewan mengalami hipertermia, terjadi pula peningkatan frekuensi jantung, frekuensi nafas, pulsus yang melemah, salivasi dan berkeringat. Apabila temperatur mencapai lebih dari 41 °C maka dapat terjadi dyspnea, kolaps, konvulsi, dan koma (Rosenberger 1979; Kelly 1984).

Demam terjadi apabila temperatur tubuh berada di atas kisaran normal (Rosenberger 1979; Kelly 1984). Demam merupakan pertanda terangsangnya sistem pertahanan tubuh akibat adanya infeksi atau benda asing yang dapat membahayakan tubuh seperti bakteri, virus, jamur, parasit, dan protein/ substansi asing. Di dalam tubuh senyawa-senyawa tersebut akan bertindak sebagai pirogen eksogen yang kemudian akan merangsang sel-sel petahanan tubuh seperti granulosit, monosit dan makrofag untuk mengeluarkan senyawa yang disebut sebagai pirogen endogen. Pusat termoregulasi di hipotalamus sangat peka terhadap senyawa pirogen endogen ini, sehingga senyawa pirogen endogen mampu mempengaruhi hipotalamus untuk meningkatkan set point yang akan disesuaikan tubuh (Lorenz & Larry 1987; Hellon et al. 1991).

2.3.2. Sistem Sirkulasi

Sistem kardiovaskular merupakan suatu sistem sirkulasi atau alat transpor darah yang terdapat di dalam tubuh yang terdiri dari jantung dan sistem pembuluh yang berperan dalam peredaran darah. Jantung merupakan suatu struktur muskular berongga yang bentuknya kerucut. Dasarnya mengarah ke dorsal atau kraniodorsal dan melekat pada struktur-struktur torasik lainnya dengan perantaraan arteri-arteri besar, vena dan kantung perikardial. Puncak atau apeks jantung mengarah ke ventral dan sepenuhnya bebas tak terikat di dalam perikardium (Frandson 1992).

Jantung berfungsi sebagai pompa yang akan memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh dengan tekanan tertentu. Sedangkan pembuluh darah merupakan saluran yang mendistribusikan dan mengarahkan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikannya ke jantung. Kualitas sistem

(27)

kardiovaskular dapat digambarkan berdasarkan banyaknya jantung berdenyut dalam satu menit yang disebut dengan frekuensi jantung (Cunningham 2002).

Beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung normal adalah jenis hewan, karena tiap hewan memiliki frekuensi jantung normal yang berbeda-beda. Ukuran tubuh hewan juga mempengaruhi frekuensi jantung. Hewan yang berbadan kecil memiliki pulsus lebih frekuen dibandingkan dengan individu dalam satu spesies namun berbadan lebih besar. Faktor berikutnya yaitu umur, dimana hewan umur muda akan memiliki pulsus yang lebih frekuen. Kondisi tubuh juga sangat mempengaruhi frekuensi pulsus. Pada hewan yang diberi

exercise atau aktifitas yang banyak akan menaikkan frekuensi jantung melebihi

normal (Kelly 1984).

Jenis kelamin juga turut menjadi faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung normal. Hewan betina akan memiliki pulsus yang lebih frekuen dibandingkan dengan hewan jantan. Hewan yang sedang bunting tua akan memiliki pulsus yang frekuen, dan akan semakin meningkat pada saat partus. Beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung adalah laktasi, gerak atau aktifitas tubuh, posisi hewan, terkejut, pada saat mencerna pakan atau pada saat suhu lingkungan menjadi terlalu panas atau terlalu dingin (Kelly 1984).

Pengamatan terhadap frekuensi jantung dihitung secara auskultasi dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung pada dinding dada sebelah kiri, atau dengan merasakan pulsus hewan pada pembuluh darah arteri coxygea di bagian sisi rektal atau di bawah ekor pada ruminansia besar seperti sapi. Frekuensi denyut jantung normal pada sapi dewasa adalah 55–80 kali per menit, sedangkan frekuensi denyut jantung anak sapi dapat mencapai 100–120 kali per menit. Frekuensi denyut jantung sapi betina yang sedang bunting dapat meningkat hingga 15-40%, dan untuk sapi laktasi akan meningkat hingga 10% (Kelly 1984).

Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi dikendalikan oleh impuls dari sistem saraf otonom. Serabut-serabut saraf simpatis mencapai jantung dari dua saraf vagus, dan serabut-serabut simpatis ke jantung datang dari daerah yang disebut dua stellate ganglia dari sistem saraf simpatis. Stimulasi saraf vagus

(28)

cenderung untuk menghambat kerja jantung dengan menurunkan daya kontraksi dari otot jantung, kecepatan kontraksi, dan kecepatan konduksi impuls di dalam jantung. Setelah perubahan-perubahan itu, arus darah melalui arteri koroner berkurang. Rangsangan simpatis meningkatkan aktivitas jantung, kecepatan konduksi impuls, dan arus darah koroner (Frandson 1992).

Rangsangan parasimpatis memungkinkan jantung beristirahat lebih lama pada saat tubuh secara relatif tidak aktif. Namun stimulasi simpatis meningkatkan aktifitas jantung untuk mensuplai banyak darah untuk otot-otot bergaris lintang, hati, dan otak karena peningkatan aktifitas fisik atau ketika seekor hewan sedang mengalami stres (Frandson 1992).

2.3.3. Sistem Respirasi

Pernafasan bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi O2, CO2 dan ion

hidrogen dalam cairan tubuh, sehingga fungsi jaringan dapat terus berlangsung. Pengaturan fungsi pernafasan diperlukan untuk mempertahankan keadaan tersebut. Fungsi pernafasan diatur oleh medulla oblongata dan pons yang merupakan pusat pernafasan. Di dalam substansi retikularis medulla oblongata terdapat pengaturan inspirasi dan ekspirasi yang mengatur irama dasar pernafasan. Sedangkan pusat pneumotaksik dan pusat apneumotaksik yang mempengaruhi kecepatan dan irama pernafasan terdapat di dalam pons (Frandson 1992).

Pernafasan terjadi melalui dua proses, yakni pernafasan luar (eksterna) dan pernafasan dalam (interna). Pernafasan luar merupakan absorbsi O2 dan

pembuangan CO2 dari tubuh secara keseluruhan, sedangkan pernafasan dalam

merupakan pertukaran gas antara sel-sel dan medium cair (Frandson 1992).

Udara atau gas yang masuk (inspirasi) dan udara yang keluar (ekspirasi) pada saluran pernafaan disebut juga volume tidal. Respiratory rate adalah jumlah inspirasi dan ekspirasi yang dilakukan dalam setiap menitnya. Volume tidal dan

respiratory rate (frekuensi pernafasan) akan menghasilkan volume pernafasan per

menit (minute volume). Pernafasan yang lebih dangkal akan menurunkan volume tidal dan pernafasan yang dalam akan meningkatkan volume tidal (Frandson 1992; Ganong 2002).

(29)

Masuk dan keluarnya udara dari atmosfer ke dalam paru-paru dimungkinkan oleh peristiwa mekanik pernafasan inspirasi dan ekspirasi. Pada masa inspirasi paru akan mengembang, sedangkan pada masa ekspirasi paru-paru akan menguncup. Pernafasan dapat dilakukan dengan sengaja dan reflektoris (spontan). Pernafasan spontan ditimbulkan oleh rangsangan yang ritmis neuromotoris yang menginervasi otot-otot pernafasan. Rangsangan ini secara keseluruhan tergantung kepada impuls-impuls syaraf otak. Pernafasan berhenti bila medulla spinalis dipotong melintang di atas nervus phrenicus (Frandson 1992; Ganong 2002).

Pernafasan yang dalam dan cepat disebabkan oleh stimulasi pusat respirasi untuk meningkatkan ventilasi pulmoner dan pertukaran gas melintasi membran respirasi. Hal ini diatur secara neurogenik dan humorokimia yang melibatkan input saraf kolateral dari korteks motor otak, umpan balik dari otot dan proprioreseptor persendian seperti pada waktu latihan fisik, dan faktor humorokimia dari CO2 darah, dan konsentrasi ion H+ (Frandson 1992; Ganong

2002).

Pernafasan terjadi secara pendek dan cepat bila hewan terkejut, takut atau kepanasan. Frekuensi pernafasan merupakan salah satu indikator yang tepat bagi status kesehatan hewan ternak. Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran tubuh, umur hewan, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan pada saluran pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly 1984).

Pernafasan akan dipercepat bila hewan terkejut, setelah banyak bergerak atau dalam keadaan demam. Penyakit pada paru-paru, penyakit jantung, obstruksi pada jalan hawa sebelah atas dan keadaan dimana pernafasan menyebabkan kesakitan (misalnya pleuritis, peritonitis) dan pada anemia juga menyebabkan percepatan pernafasan. Sedangkan pernafasan yang diperlambat jarang terjadi. Pada beberapa penyakit otak, stenosis jalan hawa sebelah atas dan pada uremia kadang-kadang menyebabkan perlambatan pernafasan.

Frekuensi nafas sapi dewasa normal adalah 10–30 kali per menit, sedangkan anak sapi dalam masa pertumbuhan memiliki frekuensi nafas normal 15–40 kali per menit (Kelly 1984). Parameter yang perlu diperhatikan dalam

(30)

pemeriksaan sistem pernafasan adalah kecepatan pernafasan (inspirasi/menit), tipe pernafasan, ritme atau irama dan dalamnya pernafasan (intensitas) (Ganong 2002).

(31)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Hewan Percobaan yang dikelola Unit Pelayanan Teknis Hewan Laboratorium (UPT Helab) Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Juni hingga Oktober 2007.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Hewan Coba

Hewan percobaan yang digunakan untuk penelitian ini adalah dua ekor induk sapi betina jenis Friesian Holstein (FH) pada periode awal kering kandang dan berada pada laktasi 2-3. Selama penelitian, induk sapi dipelihara dan dijaga status kesehatannya. Pakan diberikan dua kali sehari berupa hijauan, konsentrat, dan ampas tahu pada pagi dan sore hari serta pemberian air minum secara ad

libitum. Sebelum diberi perlakuan, induk sapi diberi obat cacing dan multivitamin.

3.2.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan untuk penelitian ini adalah kapas, syringe, termometer, pengukur waktu, dan stetoskop. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah vaksin E. coli polivalen, immunomodulator, obat cacing, multivitamin, dan alkohol 70%.

3.3. Desain Penelitian

3.3.1. Pemberian Vaksin Escherichia coli

Pemberian vaksin dilakukan pada kedua ekor sapi. Vaksin yang diberikan adalah vaksin E. coli polivalen dengan kandungan sel bakteri enterotoksigenik E.

coli K99, F41 dan K99, F41 (serogroup O9, 101), verotoksigenik E. coli (serogroup

O157), formalin 0.02% dan alhidrogel 1.5%. Pemberian vaksin dilakukan sebanyak

tiga kali yaitu pada 8, 6 dan 4 minggu sebelum induk sapi diperkirakan partus. Vaksinasi diberikan secara injeksi intra muskular dengan dosis 5 ml/ekor.

(32)

Sebelum pemberian vaksin, induk sapi diberi imunomodulator (Inmun Air®) selama tiga hari berturut-turut dengan dosis 1 mg/kg bobot badan per oral.

3.3.2. Pemeriksaan Status Present

Pemeriksaan status present dilakukan pada 3 hari sebelum hingga sesudah vaksinasi pertama, kedua, dan ketiga. Parameter yang diamati meliputi temperatur tubuh (rektal), frekuensi jantung, dan frekuensi nafas. Data yang diperoleh pada hari ketiga hingga 1 hari sebelum vaksinasi kemudian dirata-ratakan untuk digunakan sebagai data normal individu.

Pengukuran temperatur tubuh (rektal) dilakukan dengan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam rektum selama sekitar 2-3 menit. Frekuensi respirasi diamati dengan cara menghitung nafas selama 15 detik yang dilihat melalui gerakan abdomen. Hasil yang didapat kemudian dikalikan empat untuk mendapatkan frekuensi nafas per menit. Penghitungan frekuensi jantung dihitung menggunakan stetoskop yang diletakkan pada dinding dada bagian sebelah kiri selama 15 detik kemudian hasil yang diperoleh dikalikan empat.

(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Temperatur Tubuh

Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi dewasa berkisar antara 37.8-39.2°C. Gambaran temperatur tubuh induk sapi yang divaksinasi E. coli disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 3, 4, dan 5.

Tabel 1 Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli Temperatur (°C)

Vaksinasi I Vaksinasi II Vaksinasi III Waktu Pengamatan

Sapi 1 Sapi 2 Sapi 1 Sapi 2 Sapi 1 Sapi 2

Pra vaksinasi 38.2 38.3 38.2 38.1 38.7 38.4

Hari ke-0 vaksinasi 38.4 38.5 38.6 38.3 37.8 38.6

1 hari post vaksinasi 39.1 38.7 37.8 38.2 37.8 37.8

2 hari post vaksinasi 39.1 38.3 38.2 38.3 38.4 38.3

3 hari post vaksinasi 38.6 38.1 38.3 38.6 38.5 38.5

Temperatur tubuh sapi 1 sebelum vaksinasi pertama adalah 38.2 °C dan temperatur tubuh sapi 2 adalah 38.3 °C. Temperatur tubuh sapi 1 mengalami peningkatan 1.8% dari 38.4 °C pada hari ke-0 sebelum vaksinasi pertama menjadi 39.1 °C pada hari pertama dan kedua setelah vaksinasi pertama. Peningkatan ini mendekati batas atas nilai normal temperatur tubuh menurut Kelly (1984) yaitu 39.2 °C.

Menurut Hellon et al. (1991), pirogen eksogen seperti bakteri, jamur atau virus yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya peningkatan suhu tubuh. Pirogen eksogen akan bekerja sebagai antigen yang mempengaruhi sistem imun sehingga tubuh akan memproduksi sel darah putih lebih banyak untuk meningkatkan kekebalan tubuh melawan antigen. Menurut Lorenz & Larry (1987), pirogen eksogen akan merangsang neutrofil, monosit, dan eosinofil untuk melepaskan zat yang disebut pirogen endogen yang akan mempengaruhi

(34)

termoregulatori set point dalam hipotalamus melalui kerja monoamin, prostaglandin, dan siklik AMP.

Untuk mencapai set point temperatur baru yang meningkat di dalam hipotalamus, tubuh akan merespon dengan melakukan peningkatan produksi panas melalui peningkatan metabolisme pada hati dan sel-sel tubuh dan penghematan panas melalui vasokontriksi pembuluh darah. Seperti peningkatan temperatur tubuh yang terjadi pada sapi 1, sapi 2 juga mengalami peningkatan temperatur tubuh sebesar 0.5% dari 38.5 °C pada hari ke-0 vaksinasi menjadi 38.7 °C pada hari pertama setelah vaksinasi.

Temperatur tubuh sapi 1 kemudian menurun setelah hari kedua vaksinasi menjadi 38.6 °C pada hari ketiga setelah vaksinasi pertama. Sementara pada sapi 2, temperatur tubuh sudah menurun pada hari kedua setelah vaksinasi pertama menjadi 38.3 °C dan menjadi 38.1 °C pada hari ketiga setelah vaksinasi. Menurut Tizard (2000), antigen akan dieliminasi dan difagosit oleh sel-sel pertahanan tubuh. Hal ini mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya pirogen eksogen sehingga terjadi penurunan pelepasan pirogen endogen pula. Menurut Lorenz & Larry (1987), bila pirogen eksogen telah mampu dihilangkan, maka termostat hipotalamus akan diatur kembali menjadi temperatur normal dan temperatur tubuh akan diturunkan melalui vasodilatasi pembuluh darah, penurunan metabolisme dan peningkatan pengeluaran panas.

Temperatur tubuh sapi 1 sebelum vaksinasi kedua adalah 38.2 °C, kemudian menurun 1.3% dari 38.6 °C pada hari ke-0 sebelum vaksinasi kedua menjadi 37.8 °C pada hari pertama setelah vaksinasi kedua. Temperatur tubuh sapi 1 kemudian meningkat menjadi 38.2 °C pada hari kedua setelah vaksinasi kedua dan menjadi 38.3 °C pada hari ketiga setelah vaksinasi kedua. Temperatur tubuh sapi 2 sebelum vaksinasi kedua adalah 38.1 °C dan menurun 0.3% dari 38.3 °C pada hari ke-0 sebelum vaksinasi kedua menjadi 38.2 °C pada hari pertama setelah vaksinasi kedua. Temperatur tubuh sapi 2 kemudian meningkat pada hari kedua setelah vaksinasi kedua menjadi 38.3 °C dan menjadi 38.6 °C pada hari ketiga setelah vaksinasi kedua. Perubahan temperatur tubuh yang terjadi pada

(35)

vaksinasi kedua ini relatif stabil dan masih berada dalam kisaran normal menurut Kelly (1984).

Gambar 3 Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli pertama

Gambar 4 Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli kedua

(36)

Menurut Guyton & Hall (1997), tubuh memiliki kemampuan khusus untuk mengenali antigen atau bahan asing tertentu. Sistem imun akan memproduksi antibodi untuk melawan antigen seperti bakteri. Antibodi ini kemudian melekat pada membran bakteri sehingga membuat bakteri akan rentan terhadap fagositosis, dan dengan bantuan komplemen C3b akan terjadi proses opsonisasi terhadap antigen. Hal ini menyebabkan pada saat tubuh terpapar antigen yang sama akan menimbulkan respon antibodi yang jauh lebih cepat dan lebih kuat. Ini menjelaskan mengapa pada vaksinasi kedua tidak terjadi peningkatan temperatur yang tinggi setelah vaksinasi seperti pada vaksinasi pertama, karena antigen yang muncul telah dikenali oleh tubuh melalui molekul Major Histocompability

Complex (MHC) yang terletak dipermukaan makrofag sehingga antigen dapat

direspon oleh tubuh dengan lebih cepat.

Demikian pula pada vaksinasi ketiga, temperatur tubuh sapi 1 dan sapi 2 relatif stabil dan tidak mengalami peningkatan seperti pada saat setelah vaksinasi pertama. Temperatur tubuh sapi 1 sebelum vaksinasi ketiga adalah 38.7 °C dan temperatur tubuh sapi 1 pada hari pertama setelah vaksinasi ketiga tidak mengalami perubahan dari hari ke-0 sebelum vaksinasi ketiga yaitu 37.8 °C. Temperatur tubuh sapi 1 kemudian meningkat pada hari kedua setelah vaksinasi ketiga menjadi 38.4 °C dan menjadi 38.5 °C pada hari ketiga setelah vaksinasi ketiga.

Temperatur tubuh sapi 2 sebelum pemberian vaksinasi ketiga adalah 38.4 °C dan mengalami penurunan 2.1% dari 38.6 °C pada hari ke-0 sebelum vaksinasi menjadi 37.8 °C pada hari pertama setelah vaksinasi ketiga. Temperatur tubuh sapi 2 kemudian meningkat menjadi 38.3 °C pada hari kedua setelah vaksinasi ketiga dan menjadi 38.5 °C pada hari ketiga setelah vaksinasi ketiga. Perubahan yang terjadi pada vaksinasi ketiga ini masih berada dalam kisaran normal temperatur tubuh menurut Kelly (1984), dan tidak terjadi peningkatan atau penurunan temperatur tubuh yang signifikan.

Menurut Kelly (1984), beberapa faktor yang dapat meningkatkan temperatur tubuh secara fisiologis antara lain pada saat setelah makan, aktifitas (latihan/exercise) berlebih, partus (melahirkan), dan pada saat suhu lingkungan sekitar tinggi. Sedangkan menurut Rossenberger (1987), faktor-faktor yang

(37)

mempengaruhi temperatur tubuh antara lain umur hewan, waktu pengukuran temperatur tubuh, kondisi lingkungan, aktifitas hewan serta fungsi reproduksi mampu memberikan pengaruh terhadap temperatur tubuh.

4.2. Frekuensi Jantung

Frekuensi jantung normal pada sapi betina dewasa pada masa akhir kebuntingan menurut Kelly (1984) adalah 63-112 kali/menit. Nilai ini lebih tinggi 15-40% dari frekuensi jantung normal pada sapi dewasa yang tidak sedang bunting yaitu 55-80 kali/menit. Nilai ini akan terus meningkat pada saat partus. Gambaran perubahan frekuensi jantung induk sapi yang divaksinasi selama percobaan disajikan dalam Tabel 2 dan Gambar 6, 7, dan 8.

Tabel 2 Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli

Frekuensi Jantung (kali/menit)

Vaksinasi I Vaksinasi II Vaksinasi III Waktu Pengamatan

Sapi 1 Sapi 2 Sapi 1 Sapi 2 Sapi 1 Sapi 2

Pra vaksinasi 71 72 79 96 83 97

Hari ke-0 vaksinasi 76 92 88 92 72 104

1 hari post vaksinasi 96 112 88 92 68 92

2 hari post vaksinasi 84 108 76 104 80 96

3 hari post vaksinasi 80 92 76 68 80 100

Frekuensi jantung sapi 1 sebelum vaksinasi pertama adalah 71 kali/menit. Frekuensi jantung sapi 1 kemudian mengalami peningkatan 26.3% dari 76 kali/menit pada hari ke-0 sebelum vaksinasi pertama menjadi 96 kali/menit pada hari pertama setelah vaksinasi pertama. Sedangkan frekuensi jantung sapi 2 sebelum vaksinasi pertama adalah 72 kali/menit, frekuensi jantung sapi 2 kemudian mengalami peningkatan 21.7% dari 92 kali/menit pada hari ke-0 sebelum vaksinasi pertama menjadi 112 kali/menit pada hari pertama setelah vaksinasi pertama. Peningkatan yang terjadi pada sapi 2 di hari pertama setelah vaksinasi pertama ini mencapai batas atas kisaran normal frekuensi jantung menurut Kelly (1984) yaitu 63-112 kali/menit. Peningkatan frekuensi jantung

(38)

Menurut laporan Pamujo (1997), proses metabolisme memiliki hubungan positif dengan panas tubuh dimana saat produksi panas akibat proses metabolisme meningkat maka temperatur tubuh juga akan ikut meningkat. Peningkatan temperatur tubuh yang tinggi ini kemudian akan merangsang neuron-neuron khusus dalam hipotalamus anterior dan impuls kemudian dikirimkan melalui sistem syaraf simpatis. Impuls syaraf simpatis ini memberikan efek peningkatan frekuensi kontraksi jantung. Menurut Frandson (1992), saraf-saraf simpatis akan merangsang kerja jantung dengan melepaskan transmiter norepinefrin.

Gambar 6 Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli pertama

(39)

Gambar 8 Frekuensi jantung induk sapi yang diberi vaksin E. coli ketiga

Menurut Chiyanga (1991), peningkatan temperatur tubuh disebabkan karena terjadinya peningkatan kecepatan metabolisme basal sebagai proses reaksi kimia di dalam sel. Peningkatan kecepatan metabolisme ini menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan oksigen sehingga tubuh akan merespon melalui peningkatan denyut jantung agar mampu menyediakan oksigen lebih banyak.

Frekuensi jantung sapi 1 sebelum vaksinasi kedua adalah 79 kali/menit dan frekuensi jantung sapi 1 pada hari pertama setelah vaksinasi kedua tidak mengalami perubahan dari hari ke-0 sebelum vaksinasi kedua yaitu sebesar 88 kali/menit. Pada hari kedua dan ketiga setelah pemberian vaksinasi, frekuensi jantung sapi 1 turun menjadi 76 kali/menit. Sedangkan frekuensi jantung sapi 2 sebelum vaksinasi kedua adalah 92 kali/menit dan frekuensi jantung sapi 2 di hari pertama setelah vaksinasi kedua tidak mengalami perubahan dari hari ke-0 sebelum vaksinasi kedua, yaitu sebesar 92 kali/menit. Frekuensi jantung sapi 2 kemudian meningkat menjadi 104 kali/menit pada hari kedua setelah vaksinasi kedua dan turun menjadi 68 kali/menit pada hari ketiga setelah vaksinasi. Semua perubahan yang terjadi ini masih berada dalam kisaran frekuensi jantung normal menurut Kelly (1984).

Menurut Kelly (1984), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi denyut jantung hewan adalah spesies, ukuran tubuh hewan, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, kebuntingan, kelahiran (partus), laktasi, dan aktifitas fisik. Menurut Frandson (1992), kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi dikendalikan oleh impuls dari sistem saraf otonom. Stimulasi saraf-saraf vagus cenderung akan menghambat kerja jantung dengan menurunkan daya kontraksi

(40)

dari otot jantung, kecepatan kontraksi, dan kecepatan konduksi impuls di dalam jantung. Sementara rangsangan simpatis akan meningkatkan aktivitas jantung, kecepatan konduksi impuls dan arus darah guna mensuplai lebih banyak darah. Menurut Rosenberger (1979), frekuensi jantung sapi sangat dipengaruhi oleh aktifitas atau penggunaan energi oleh tubuh, rangsangan fisik serta kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban setempat).

Pemberian vaksinasi ketiga tidak memberikan perubahan besar pada frekuensi jantung, baik pada sapi 1 maupun sapi 2. Frekuensi jantung sapi 1 sebelum vaksinasi ketiga adalah 83 kali/menit. Frekuensi jantung sapi 1 kemudian mengalami penurunan 5.6% dari 72 kali/menit pada hari ke-0 sebelum vaksinasi ketiga menjadi 68 kali/menit pada hari pertama setelah vaksinasi ketiga. Frekuensi jantung sapi 1 kemudian meningkat menjadi 80 kali/menit di hari kedua dan ketiga setelah vaksinasi ketiga. Sedangkan pada sapi 2, frekuensi jantung sebelum vaksinasi ketiga adalah 97 kali/menit. Frekuensi jantung sapi 2 kemudian menurun 11.5% dari 104 kali/menit pada hari ke-0 sebelum vaksinasi ketiga menjadi 92 kali/menit pada hari pertama setelah vaksinasi ketiga. Frekuensi jantung sapi 2 kemudian meningkat menjadi 96 kali/menit pada hari kedua setelah vaksinasi ketiga dan menjadi 100 kali/menit pada hari ketiga setelah vaksinasi ketiga. Perubahan-perubahan ini masih berada dalam kisaran normal frekuensi jantung.

4.3. Frekuensi Nafas

Frekuensi pernafasan merupakan salah satu indikator bagi status kesehatan hewan ternak. Frekuensi nafas normal untuk sapi dewasa menurut Kelly (1984) berkisar antara 15-30 kali/menit, dan nilai ini akan semakin meningkat pada masa akhir kebuntingan terutama pada saat partus. Gambaran perubahan frekuensi nafas induk sapi yang divaksinasi selama percobaan disajikan dalam Tabel 3 dan Gambar 9, 10, dan 11.

(41)

Tabel 3 Frekuensi nafas induk sapi yang diberi vaksin E. coli

Frekuensi Nafas (kali/menit)

Vaksinasi I Vaksinasi II Vaksinasi III

Waktu Pengamatan

Sapi 1 Sapi 2 Sapi 1 Sapi 2 Sapi 1 Sapi 2

Pra vaksinasi 32 31 35 32 32 40

Hari ke-0 vaksinasi 36 52 40 28 36 40

1 hari post vaksinasi 52 64 32 32 32 36

2 hari post vaksinasi 48 48 32 40 44 36

3 hari post vaksinasi 40 28 28 40 44 40

Berdasarkan hasil yang disajikan dalam Gambar 9 terlihat bahwa, frekuensi nafas pada sapi 1 dan sapi 2, mengalami peningkatan yang cukup tinggi dan berada di atas kisaran normal setelah pemberian vaksin pertama. Frekuensi nafas sapi 1 sebelum vaksinasi pertama adalah 33 kali/menit. Frekuensi nafas sapi 1 mengalami peningkatan sebesar 44.4% dari 36 kali/menit pada hari ke-0 sebelum vaksinasi pertama menjadi 52 kali/menit sehari setelah vaksinasi pertama. Frekuensi nafas sapi 1 kemudian turun menjadi 48 kali/menit di hari kedua setelah vaksinasi pertama dan menjadi 40 kali/menit di hari ketiga setelah vaksinasi pertama. Sedangkan frekuensi nafas sapi 2 sebelum vaksinasi adalah 31 kali/menit dan frekuensi nafas sapi 2 mengalami peningkatan sebesar 23.1% dari 52 kali/menit pada hari ke-0 sebelum vaksinasi pertama menjadi 64 kali/menit sehari setelah vaksinasi pertama. Frekuensi nafas sapi 2 kemudian menurun menjadi 48 kali/menit di hari kedua setelah vaksinasi pertama dan menurun menjadi 28 kali/menit dihari ketiga setelah vaksinasi pertama. Perubahan frekuensi nafas ini hampir sejalan dengan perubahan temperatur tubuh dan perubahan frekuensi jantung yang terjadi.

Menurut Rosenberger (1979), saat terjadi peningkatan temperatur tubuh sapi 1kan disertai pula dengan terjadinya peningkatan frekuensi jantung dan frekuensi nafas. Menurut Kelly (1984), peningkatan frekuensi nafas akan terjadi bersamaan dengan peningkatan temperatur tubuh karena terjadinya peningkatan kebutuhan oksigen. Hal ini didukung pula oleh Frandson (1992) yang melaporkan bahwa suhu yang lebih tinggi akan merangsang pelepasan O2 dari HbO2, karena

(42)

dan kebutuhan terhadap oksigen dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan sel-sel yang tidak aktif.

Fungsi utama pernafasan menurut Frandson (1992) adalah menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbondioksida dari darah. Pernafasan juga berfungsi untuk mengatur temperatur tubuh dan keasaman cairan ekstraseluler. Pernafasan yang cepat dapat terjadi akibat stimulasi pusat respirasi untuk meningkatkan ventilasi pulmoner dan pertukaran gas. Sedangkan menurut Lorenz & Lary (1987), peningkatan frekuensi nafas dapat terjadi secara fisiologis akibat aktifitas/latihan, panas, atau kegelisahan hewan dan dapat terjadi secara patologis seperti akibat kerusakan sistem saraf pusat atau kerusakan pada otak bagian pons dan medula oblongata. Kelly (1984) menambahkan bahwa keadaan patologis yang mengakibatkan terjadinya peningkatan frekuensi nafas adalah penyakit jantung, obstruksi saluran pernafasan, peradangan pada saluran nafas seperti pleuritis, peritonitis dan dalam keadaan anemia.

(43)

Gambar 11 Frekuensi nafas sapi yang diberi vaksinasi E. coli ketiga

Frekuensi nafas pada vaksinasi kedua dan ketiga, baik pada sapi 1 maupun sapi 2 relatif stabil. Frekuensi nafas sapi 1 sebelum vaksinasi kedua adalah 35 kali/menit. Frekuensi nafas sapi 1 mengalami penurunan 20% dari 40 kali/menit pada hari ke-0 sebelum vaksinasi kedua menjadi 32 kali /menit pada hari pertama dan kedua setelah vaksinasi kedua. Frekuensi nafas sapi 1 kemudian menurun menjadi 28 kali di hari ketiga setelah vaksinasi kedua. Frekuensi nafas sapi 2 sebelum vaksinasi adalah 32 kali/menit. Frekuensi nafas pada sapi 2 mengalami peningkatan 14.3% dari 28 kali/menit pada hari ke-0 sebelum vaksinasi kedua menjadi 32 kali/menit sehari setelah vaksinasi kedua. Frekuensi nafas sapi 2 kemudian meningkat menjadi 40 kali/menit dihari kedua dan ketiga setelah vaksinasi kedua.

Sementara pada vaksinasi ketiga, frekuensi nafas sapi 1 sebelum vaksinasi ketiga adalah 32 kali/menit. Frekuensi nafas sapi 1 mengalami penurunan 11.1% dari 36 kali/menit di hari ke-0 sebelum vaksinasi ketiga menjadi 32 kali/menit sehari setelah vaksinasi ketiga. Frekuensi nafas sapi 1 kemudian meningkat menjadi 44 kali/menit pada hari kedua dan ketiga setelah vaksinasi ketiga. Untuk sapi 2, frekuensi nafas sebelum vaksinasi ketiga adalah 40 kali/menit. Frekuensi nafas sapi 2 kemudian mengalami penurunan 10% dari 40 kali/menit pada hari ke-0 sebelum vaksinasi ketiga menjadi 36 kali/menit pada hari pertama dan kedua setelah vaksinasi ketiga. Frekuensi nafas sapi 2 kemudian meningkat menjadi 40 kali/menit dihari ketiga setelah vaksinasi ketiga.

(44)

Menurut Kelly (1984), beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi nafas adalah ukuran tubuh, umur hewan, aktifitas fisik, kegelisahan, suhu lingkungan, kondisi kesehatan hewan, dan kebuntingan. Sedangkan menurut Rosenberger (1979), faktor yang paling mempengaruhi frekuensi nafas suatu individu adalah kegelisahan dan aktifitas tubuh hewan, kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara, serta status kesehatan hewan.

(45)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, secara umum terjadi peningkatan temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas sehari setelah pemberian vaksinasi pertama. Temperatur tubuh, frekuensi jantung, dan frekuensi nafas sebelum dan sesudah pemberian vaksinasi kedua dan ketiga relatif stabil.

Pemberian vaksin Escherichia coli polivalen pada induk sapi Friesian

Holstein pada periode kering kandang tidak mempengaruhi status kesehatan induk

sapi bunting.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian serupa dengan menambah jumlah hewan coba untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Perlu dilakukan pula penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas pemberian vaksinasi Escherichia coli polivalen pada induk bunting trisemester akhir dengan mendeteksi kandungan antibodi spesifik di dalam kolostrum dan melakukan uji tantang pada pedet.

Gambar

Gambar 1    Sapi perah jenis Friesian Holstein (FH).
Gambar 2  Escherichia coli.
Tabel 1  Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli
Gambar 4  Temperatur tubuh induk sapi yang diberi vaksin E. coli kedua
+6

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

dengan TG-DTA tersebut, dapat diketahui pengaruh konsentrasi NaCl terhadap perubahan berat total, titik lebur dan fenomena yang terjadi selama proses pemanasan / peleburan garam

Perlakuan hidrolisis asam pada fraksi air daun mengkudu dan batang brotowali dapat meningkatkan aktivitas penangkapan radikal DPPH yang ditunjukkan pada nilai

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka akan muncul pertanyaan penelitian, yaitu apakah corporate governance yang dalam penelitian ini

x Laju pertumbuhan ekonomi dunia dan volume perdagangan dunia yang diprakirakan melambat dan harga komoditi primer yang diprakirakan menurun pada 2007 akan memberi dampak

Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi

Lambung kapal adalah untuk menyediakan daya apung ( bouyancy ) yang mencegah kapal tenggelam dan menyediakan displacement. Bentuk lambung kapal juga akan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui,dan membuktikan seberapa besar pengaruh brand awareness , brand association , dan p erceived quality terhadap loyalitas pelanggan Dettol