• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh stress

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh stress"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Murtiningrum (2006) dalam penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh

Stress pekerjaan dan Konflik Kerja terhadap Kinerja Karyawan Bank BCA Cabang Semarang”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh stress

pekerjaan dan konflik kerja terhadap kinerja karyawan, dan untuk mengetahui faktor mana yang paling besar pengaruhnya terhadap kinerja karyawan Bank BCA Cabang Semarang. Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stress pekerjaan dan konflik kerja memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap kinerja karyawan Bank BCA Cabang Semarang dengan

job stressor memiliki pengaruh terbesar terhadap kinerja karyawan Bank BCA Cabang Semarang.

Diansyah (2010) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Job stressor dan Konflik Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kota Surakarta”. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1). Untuk menganalisis ada tidaknya pengaruh job stressor terhadap kinerja karyawan. 2). Untuk menganalisis ada tidaknya pengaruh konflik kerja terhadap

(2)

kinerja karyawan. 3). Untuk menganalisis ada tidaknya pengaruh secara bersama-sama antara job stressor dan konflik kerja terhadap kinerja karyawan. Data penelitian diolah dengan menggunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan 1). Terdapat pengaruh yang signifikan negatif dari job stressor terhadap kinerja karyawan. 2). Terdapat pengaruh yang signifikan negatif dari konflik kerja terhadap kinerja karyawan. 3) job stressor dan konflik kerja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Teori tentang Kinerja Pegawai 2.2.1.1. Pengertian Kinerja

Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika, (Sentono, 2001).

Kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan. Sejauhmana keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas pekerjaannya disebut

level of performance. Pada umumnya kinerja atau performance diberi batasan sebagai kesuksesan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Jadi kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan (Nurhayati, 2003).

(3)

Kinerja merupakan tingkat keberhasilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya, dimana ukuran kesuksesan yang dicapainya tidak disamakan dengan kesuksesan orang lain Ghiselli dan Brown dalam Tobing (2007).

Sedangkan menurut Malthis dan Jackson dalam Tobing (2007) kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi.

Selanjutnya definisi kinerja karyawan menurut Mangkunegara (2002) bahwa ”Kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Adapun aspek-aspek standar kinerja menurut Mangkunegara (2002) terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi:

1. Proses kerja dan kondisi pekerjaan

2. Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan 3. Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan

4. Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja. Sedangkan aspek kualitatif meliputi:

1. Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan 2. Tingkat kemampuan dalam bekerja,

3. Kemampuan menganalisis data/informasi, kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan, dan

(4)

2.2.1.2. Evaluasi Kinerja

Menurut Glueck dalam Tobing (2007) evaluasi kinerja adalah kegiatan penentu sampai pada tingkat mana seorang karyawan melakukan tugasnya secara efektif. Sedang menurut Beach dalam Tobing (2007) tujuan dan kegunaan evaluasi kinerja karyawan adalah sebagai berikut :

1. Hasil evaluasi kinerja karyawan dapat menjadi sarana untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kinerja karyawan.

2. Hasil evaluasi kinerja dapat menunjukkan kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan.

3. Evaluasi formal dan berkala akan mendorong penyelia untuk selalu mengobservasi perilaku bawahan.

4. Evaluasi kinerja dapat membantu pihak manajemen dalam pengambilan keputusan tentang promosi, pengalihan tugas, dan PHK untuk pegawai yang senantiasa menampilkan kinerja yang buruk.

5. Banyak organisasi yang menghubungkan besar dan kenaikan imbalan dengan hasil penilaian dan evaluasi kinerja.

2.2.1.3. Sistem Pengukuran Kinerja

Sistem pengukuran kinerja suatu organisasi/perusahaan adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu pimpinan menilai pencapaian suatu strategi, bisa

(5)

melalui alat ukur finansial maupun non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi/perusahaan karena pegukuran kinerja dapat diperkuat dengan menetapkan sistem reward dan punishment.

Pengukuran kinerja dimaksudkan untuk memenuhi 3 hal. Pertama pengukuran kinerja dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja dimana ukuran kinerja ini nantinya dapat digunakan untuk membantu organisasi/perusahaan fokus pada tujuan dan sasaran program kerja, hal ini nantinya dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Kedua, ukuran kinerja suatu perusahaan digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuat keputusan. Ketiga, ukuran kinerja suatu perusahaan dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggung jawaban kepada atasan dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Secara umum tujuan pengukuran kinerja adalah:

1. Menetapkan target target yang dapat diterima oleh mereka yang kinerjanya akan diukur, dan dilaksanakan dalam suasana yang dikarakteristikkan oleh komunikasi terbuka antara atasan dan bawahan dan mengusahakan kebersamaan tindakan 2. Menggunakan ukuran ukuran prestasi yang dapat diandalakan, terbuka dan

objektif, membandingkan prestasi yang sesungguhnya dengan yang direncanakan, dan menyediakan umpan balik bagi orang yang menilai.

3. Bila prestasi kurang optimal, setelah melalui berbagai langkah sebelumnya, timbul kebutuhan untuk menspesifikasikan dan setuju dengan rencana pengembangan pribadi orang yang dinilai yang dapat didasarkan pada penilaian kepada kebutuhan pelatihan dan pengembangan pribadi.

(6)

4. Membuat ketentuan untuk alokasi baik reward ekstrinsik (misalnya kesempatan untuk meningkatkan ketrampilan) yang mengikuti proses penilaian

5. Menjanjikan hasil hasil yang diinginkan dalam bentuk pemenuhan karyawan, pemanfaatan penuh kapasitas individu, perubahan budaya organisasi, dan pencapaian sasaranorganisasi dalam kondisi dimana keharmonisan anstara sasaran individu dan organisasi. (Tobing, 2007)

2.2.1.3.1. Dasar Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja

Terdapat tujuh kriteria yang sebaiknya dipenuhi oleh organisasi dalam merancang sistem pengukuran kinerja yang baru agar dapat menjadi organisasi yang bagus, yaitu:

1. Sistem Pengukuran kinerja yang dirancang hendaknya berkaitan langsung dengan strategi yang diterapkan perusahaan.

2. Variabel-variabel sebaiknya diukur menggunakan ukuran ukuran non finansial 3. Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus fleksibel dan bervariasi

tergantung dari lokasi organisasi.

4. Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus bersifat dinamis, selalu diperbaharui seing dengan perubahan waktu

5. Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus sederhana dan mudah dioperasikan

6. Pengukuran harus memungkinkan adanya umpan balik (feedback) yang cepat bagi operator dan manajer yang bertanggung jawab, agar dapat diambil tindakan sesegara mungkin dalam melaksanakan proses perbaikan

(7)

7. Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus ditujukan pada proses perbaikan bukan sekedar pemantauan. (Maskell, 2001)

Globerson dalam Stoop (2004) memberikan beberapa kriteria yang hampir sama dan menambahkan kriteria lain yang lebih lengkap, yaitu:

1. Kriteria kinerja yang akan diukur dalam setiap level organisasi harus berasal dari tujuan perusahaan.

2. Sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus memungkinkan untuk digunakan sebagai alat membandingkan anatar perusahaan sejenis (benchmarking)

3. Tujuan perancangan sistem pengukuran kinerja harus didefinisikan dengan jelas sejak awal

4. Metode pengumpulan dan pengolahan data yang akan digunakan dalam sistem pengukuran kinerja harus didefinisikan dengan jelas.

5. Dalam penentuan besaran variabel, penggunaan rasio variabel lebih disukai dibandingkan dengan penggunaan angka absolut

6. Kriteria kinerja yang dirancang harus di bawah kendali unit organisasi yang berhak mengevaluasi

7. Kriteria kinerja kuantitatif lebih disukai daripada kualitatif

Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa sistem pengukuran kinerja yang dirancang harus dapat mengakomodasikan sistem operasi dari sebuah perusahaan. Dengan mengetahui sistem operasi perusahaan tersebut diharapkan perancangan sistem pengukuran kinerja dapat selalu mutakhir terhadap perkembangan zaman.

(8)

2.2.1.3.2. Tahap Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja

Perancangan sistem pengukuran kinerja dapat dibagi menjadi lima tahap, yaitu:

1. Tahap fondasi, yaitu pemahaman atas pedoman prinsip yang harus dijadikan sebagai fondasi bagi rancangan sistem pengukuran kinerja, tahap fondasi ini terbagi atas: 1) mudah dimengerti 2) berorientasi jangka panjang 3) berdasarkan atas basis waktu 4) fokus pada perbaikan berkelanjutan 5) menggunakan pendekatan kuantitatif

2. Tahap Informasi Dasar, yaitu informasi dasar yang diperlukan sebagai masukan dalam perancangan pengukuran kinerja menyangkut lingkungan usaha yang saat ini sedang digeluti, yang terdiri dari informasi tentang industri, pemerintah dan masyarakat, pasar, produk, dan pesaing.

3. Tahap Perancangan, yaitu langkah perancangan sistem pengukuran kinerja yang terdiri atas penentuan visi, misi, strategi, dan kerangka kerja yang digunakan sebagai dasar penentuan variabel kinerj, keterkaitan antar variabel, dan kaji banding (benchmarking) yang akan diambil

4. Tahap penerapan, pada tahap ini merupakan tahap penerapan rancangan yang meliputi display yang akan didukung, laporan yang akan dirancang, sosialisasi sistem pengukuran kinerja kepada seluruh karyawan, analisis manfaat / biaya bagi penerapan sistem pengukuran kinerja, modifikasi proses jika diperlukan, pelatihan

(9)

yang harus disertakan, sumber daya yang akan terlibat dalam penerapan, dan kedudukan sistem pengkuran kinerja saat ini terhadap sistem pengukuran kinerja yang baru. Pada saat penerapan, harus diuji apakah sistem pengukuran kinerja tersebut telah dapat mengakomodasikan empat hal utama, yaitu: 1) pengukuran 2) evaluasi 3) diagnosis 4) dan tindak lanjut yang diperlukan jika kinerja perusahaan menyimpang dari standar yang ditetapkan.

5. Tahap penyegaran. Tahap ini merupakan langkah evaluasi terhadap kemutakhiran sistem pengukuran kinerja yang dirancang dengan mempertimbangkan informasi dan perkembangan pengetahuan terkini. (Wibisono, 2006)

2.2.2. Teori tentang Job Stressor 2.2.2.1. Pengertian Job Stressor

Stres adalah tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang. Ada beberapa alasan mengapa masalah stress yang berkaitan dengan organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini, yaitu: 1. Masalah stress adalah masalah yang akhir akhir ini hangat dibicarakan dan

posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan produktivitas karyawan

2. Selain dipengaruhi oleh faktor faktor yang bersumber dari luar organisasi, stress juga banyak dipengaruhi oleh faktor faktor yang berasal dari dalam organisasi. 3. Pemahaman akan sumber sumber stres yang disertai dengan pemahaman terhadap

cara cara mengatasinya adalah penting sekali bagi karyawan dan siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif.

(10)

4. Banyak diantara kita hampir pasti merupakan bagian dari satu atau beberapa organisasi, baik sebagai atasan maupun sebagai bawahan, pernah mengalami stress meskipun dalam taraf yang rendah

5. Kemajuan zaman disegala bidang memberikan beban kerja yang lebih besar bagi karyawan atau pegawai, dan ini menuntut pegawai agar lebih banyak mengeluarkan energinya dari sebelumnya, sebagai akibatnya timbul stress di kalangan pegawai/karyawan. (Nimran, 2000)

Stressor adalah faktor faktor yang menyebabkan terjadinya stress, sementara

job stressor adalah faktor faktor yang sering menimbulkan stres di tempat kerja (Newstroom dan Davis, 2001), yaitu:

1. Beban kerja yang berlebihan (work overload)

2. Tekanan atau desakan waktu (time pressure)

3. Kualitas supervisi yang jelek (poorquality of supervision) 4. Iklim politis yang tidak aman (insecure political climate)

5. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai (lack of recognition/reward)

6. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab (inadequate authority to match responsibilities)

7. Kemenduaan peranan (role ambiguity and conflict) 8. Frustasi (frustation)

(11)

10. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan (differences between company and employee value)

11. Berbagai bentuk perubahan (change of anytipe).

Di lain pihak, stres karyawan juga dapat disebabkan masalah masalah di luar tempat kerja. Stressor dari kategori off the job ini antara lain (Newstroom dan Davis, 2001):

1. Kekuatiran finansial

2. Masalah-masalah yang berkaitan dengan anak 3. Masalah-masalah fisik

4. Masalah-masalah perkawinan

5. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal 6. Masalah-masalah pribadi lainnya

Dari beberapa pengertian yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa stressor merupakan faktor yang menimbulkan stres pada karyawan, yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan pekerjaan maupun lingkungannya. Hal ini dapat terjadi pada tiap orang atau karyawan pada sebuah perusahaan dalam semua kondisi pekerjaan.

(12)

2.2.2.2. Kategori-Kategori Job Stressor

Faktor-faktor di pekerjaan yang bisa menimbulkan stres (job stressor) dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori (Newstroom dan Davis, 2001), yaitu:

1) Stressor Lingkungan Fisik

Kondisi kerja tertentu dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal. Disamping dampaknya terhadap prestasi kerja, kondisi kerja fisik memiliki dampak juga terhadap kesehatan mental dan keselematan kerja seorang tenaga kerja. Menurut Munandar (2001) kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi psikologis diri seorang tenaga kerja. Ruangan kerja yang tidak nyaman, panas, sirkulasi udara yang kurang memadai, berisik, tentu besar pengaruhnya terhadap kenyamanan karyawan dalam bekerja.

2) Stressor Individu

a) Konflik peran (role conflict) : konflik peran dirasakan seseorang/individu ketika memenuhi kepada satu deretan harapan tentang konflik pekerjaan dengan memenuhi kepada satu deretan harapan lainnya (Gibson, 2002). Konflik peran dapat timbul jika seeorang atau individu mengalami adanya pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dengan tanggung jawab yang ia miliki, tugas-tugas yang harus ia lakukan menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya, tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahan, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya, dan pertentangan nilai-nilai dengan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas atau pekerjaannya (Munandar, 2001). Menurut

(13)

Miles dan Perreault dalam Tobing (2007) membedakan empat jenis konflik peran, yaitu:

1) Konflik peran pribadi : tenaga kerja ingin melakukan tugas berbeda yang disarankan dalam uraian pekerjannya.

2) Konflik intrasender : tenaga kerja menerima penugasan tanpa memiliki sumber daya yang cukup untuk dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil.

3) Konflik intersender : tenaga kerja diminta berperilaku sedemikian rupa sehingga ada orang merasa puas dengan hasilnya, sedangkan orang lain tidak.

4) Peran dengan beban berlebih : tenaga kerja mendapat penugasan kerja yang terlalu banyak dan tidak dapat ditangani dengan efektif.

b) Ambiguitas peran (role ambiguity), adalah tidak adanya pengertian dari seseorang tentang hak-hak khusus dan kewajiban-kewajiban mereka dalam mengerjakan suatu pekerjaan (Gibson, 2002). Ambiguitas peran merupakan kondisi ketidakpastian akibat dari seorang individu karena kurang mengerti dan memahami mengenai prioritas harapan dan kriteria evaluasi yang diterapkan organisasi kerjanya (Fakhrudin dan Asri, 2003). Menurut Everly dan Girdano dalam Tobing (2007) faktor-faktor yang dapat menimbulkan ambiguitas peran adalah:

1) Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran atau tujuan kerja 2) Kesamaran tentang tanggung jawab

(14)

3) Ketidakjelasan tentang prosedur kerja

4) Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain / perusahaan 5) Kurang adanya informasi tentang balikan atau ketidakpastian tentang

penilaian pekerjaan.

Ambiguitas peran (role ambiguity) berpengaruh terhadap menurunnya penggunaan keterampilan intelektual, pengetahuan, dan kepemimpinan (Gibson, 2002).

c) Beban kerja berlebih (work overload), situasi yang menunjukkan tingkat dimana tuntutan peran dan pekerjaan melebihi sumber daya individu dan organisasi kerjanya, dan akibatnya karyawan tidak dapat menyelesaikan tugas pekerjaan sesuai yang diharapkan (Fakhrudin dan Asri, 2003). Beban kerja berlebih memiliki dua tipe yang berbeda, yaitu beban berlebih kualitatif terjadi jika pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan dan beban kerja kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan. Beban berlebih secara tidak langsung bertanggung jawab terhadap menurunya kualitas pengambilan keputusan, merusak hubungan antar pribadi dan meningkatnya angka kecelakaan. Beban kerja berlebih berakibat pada lebih rendahnya kepercayaan diri, menurunnya motivasi kerja, dan meningkatnya absensi (Gibson, 2002).

(15)

d) Tidak ada control, stressor besar yang dialami oleh banyak karyawan adalah tidak adanya pengendalian atas suatu situasi, langkah kerja, urutan kerja, pengambilan keputusan, waktu yang tepat, penetapan standar kualitas sendiri, dan kendali jadwal adalah penting (Gibson, 2002).

e) Tanggung jawab, dibedakan dengan menggunakan istilah tanggung jawab bagi orang vs tanggung jawab bagi sesuatu. Perawat bagian UGD, ahli bedah syaraf, dan pengatur lalu lintas udara memiliki tanggung jawab yang tinggi bagi orang. Suatu studi mendapatkan dukungan bagi hipotesa bahwa tanggung jawab bagi orang menyumbang stres yang berhubungan dengan kerja (Gibson, 2002).

3) Stressor Kelompok

Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. Hubungan kerja yang tidak baik (antar sesama rekan, atasan, dan bawahan) terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan rendah, taraf pemberian dukungan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah organisasi (Munandar, 2001).

4) Stressor Organisasional

Faktor stres yang ditemukan dalam kategori ini terpusat pada sejauh mana para karyawan dapat terlibat atau berperan serta dalam mengambil keputusan. Partisipasi menunjuk pada luasnya pengetahuan, opini, dan ide seseorang termasuk didalam proses keputusan. Kurangnya partisipasi para karyawan dalam mengambil keputusan dapat memberi sumbangan pada stres. Peningkatan peluang untuk berperan

(16)

serta menghasilkan peningkatan unjuk kerja dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik (Munandar, 2001).

2.2.3. Teori tentang Konflik Kerja 2.2.3.1. Pengertian Konflik

Dalam setiap organisasi, agar setiap organisasi berfungsi secara efektif, maka individu dan kelompok yang saling bergantungan harus membentuk hubungan kerja dalam lingkungan batas organisasi. Untuk memperoleh informasi, bantuan, atau tindakan yang terkoordinasi, ketergantungan, semacam dapat membantu perkembangan kerjasama dan konflik.

Menurut Robbins (2002) mendefenisikan konflik sebagai situasi yang mana individu (seseorang) dihadapkan dengan harapan-harapan peran yang berlainan. Jadi, konflik peran timbul bila individu dalam peran tertentu dibingungkan oleh tuntutan kerja atau keharusan melakukan sesuatu yang berbeda dari yang diinginkannya atau yang tid ak merupakan bagian dari bidang kerjanya. Greenberg dan Baron (2003) mengutarakan bahwa konflik terjadi sebagai suatu proses bahwa satu pihak atau satu kelompok merasakan ada pihak atau kelompok lain yang telah mengambil atau akan mengambil tindakan negatif yang akan berpengaruh pada tujuan utama kelompoknya. Menurut Mangkunegara (2001) Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seorang terhadap dirinya, orang lain, orang dengan kenyataan apa yang diharapkan.

(17)

Konflik merupakan sebuah situasi, dimana dua orang atau lebih menginginkan tujuan-tujuan yang menurut persepsi mereka dapat dicapai oleh salah seorang diantara mereka, tetapi hal itu tidak mungkin dicapai oleh kedua belah pihak (Winardi, 2004).

Kemungkinan timbulnya konflik besar sekali dalam kerangka-kerangka keorganisasian. Dalam kehidupan organisasi, pendapat tentang konflik dapat dilihat dari 3 sudut, pandang, yaitu :

1. Pandangan Tradisional, berpendapat bahwa konflik merupakan sesuatu yang diinginkan dan berbahaya bagi kehidupan organisasi.

2. Pandangan Perilaku, berpendapat konflik merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang biasa terjadi dalam kehidupan organisasi, yang biasa bermanfaat (konflik fungsional) dan bisa pula merugikan organisasi (konflik disfugsional). 3. Pandangan Interaksi, berpendapat bahwa konflik merupakan suatu peristiwa yang

tidak dapat terhindarkan dan sangat diperlukan bagi pemimpin organisasi.

Berdasarkan ketiga pandangan tentang konflik tersebut, pihak pemimpin organisasi perlu menganalisis dengan nyata konflik yang terjadi diorganisasi, apakah konflik itu fungsional atau disfungsional dan bagaimana manajemen konflik agar berpengaruh positif bagi kemajuan organisasi.

1. Pandangan Tradisional, berpendapat bahwa konflik merupakan sesuatu yang diinginkan dan berbahaya bagi kehidupan organisasi.

(18)

2. Pandangan Perilaku, berpendapat konflik merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang biasa terjadi dalam kehidupan organisasi, yang biasa bermanfaat (konflik fungsional) dan bisa pula merugikan organisasi (konflik disfugsional). 3. Pandangan Interaksi, berpendapat bahwa konflik merupakan suatu peristiwa yang

tidak dapat terhindarkan dan sangat diperlukan bagi pemimpin organisasi.

Berdasarkan ketiga pandangan tentang konflik tersebut, pihak pemimpin organisasi perlu menganalisis dengan nyata konflik yang terjadi diorganisasi, apakah konflik itu fungsional atau disfungsional dan bagaimana manajemen konflik agar berpengaruh positif bagi kemajuan organisasi (Munandar, 2001).

Kreitner dan Kinicki (2001) membedakan empat tipe konflik, yaitu :

1. Personality conflict yaitu konflik antar personal yang didorong oleh ketidak senangan atau ketidak cocokan pribadi.

2. Value conflict adalah konflik karena perbedaan pandangan atas tata nilai tertentu. 3. Intergroup conflict merupakan pertentangan antar kelompok kerja, team dan

departemen.

4. Cross-Cultural conflict merupakan pertentangan yang terjadi antar budaya yang berbeda.

2.2.3.2. Tingkatan Konflik

Ada 5 macam tingkatan konflik, yaitu : 1. Konflik Antarpribadi

Konflik antarpribadi ini penting karena konflik semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan

(19)

memenuhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut. Konflik antarpribadi terjadi jika dua orang atau lebih berinteraksi satu sama lain dalam melaksanakan pekerjaan. Konflik tujuan terdapat bagi seorang individu, apabila perilaku individu tersebut akan menyebabkan timbulnya hasil-hasil yang:

a) Bersifat eksklusif satu sama lain

b) Memiliki elemen-elemen yang tidak sesuai satu sama lain (yang menunjukkan hasil-hasil positif dan negatif).

2. Konflik Antar Perorangan

Konflik antar perorangan meliputi 2 pihak. Salah satu sifat dari konflik antar perorangan adalah perlu diperhatikannya hasil-hasil bersama kedua belah pihak maupun hasil-hasil individual masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik yang bersangkutan.

3. Konflik Intra Kelompok

Konflik intrakelompok dianggap sebagai sesuatu hal yang melebihi jumlah dari konflik intrapersonal dan interpersonal. Konflik didalam sebuah kelompok tertentu dapat melibatkan kelompok tersebut secara keseluruhan, maupun para anggota individunya.

4. Konflik Interkelompok

Konflik interkelompok menunjukkan bahwa persaingan interkelompok dapat merangsang kelompok-kelompok untuk menunjukkan performa lebih baik.

(20)

5. Konflik Intra Keorganisasian

Konflik organisasi ini sebenarnya adalah konflik antarpribadi dan konflik dalam pribadi yang mengambil tempat dalam suatu organisasi tertentu. Secara konsepsial, ada empat sumber dari konflik organisasi itu, yakni:

a) Suatu situasi yang tidak menunjukkan keseimbangan tujuan-tujuan yang ingin dicapai

b) Terdapatnya sarana-sarana yang tidak seimbang, atau timbulnya proses alokasi sumber-sumber yang tidak seimbang

c) Terdapatnya suatu persoalan status yang tidak selaras d) Timbulnya persepsi yang berbeda.

Konflik dalam suatu organisasi seharusnya dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang sehat. Dengan kata lain, timbulnya konflik dalam organisasi haruslah dipandang sebagai suatu gejala organisasi yang sehat. Dengan demikian, setiap konflik yang timbul akan dapat diatasi dengan semangat kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. (Winardi, 2004).

2.2.3.3. Faktor-faktor Penyebab Konflik

Faktor penyebab konflik dapat dikelompokkan dalam tiga kategori (Winardi, 2004), yaitu :

1. Karakteristik Individual

Berikut ini merupakan perbedaan individual antar orang-orang yang mungkin dapat melibatkan seseorang dalam konflik.

(21)

a. Nilai, Sikap, dan Kepercayaan (Values, Attitude, and Baliefs). Nilai-nilai yang dipegang dapat menciptakan ketegangan-ketegangan diantara individual dan

group dalam suatu organisasi.

b. Kebutuhan dan Kepribadian (Needs and Personality). Konflik muncul karena adanya perbedaan yang sangat besar antara kebutuhan dan kepribadian setiap orang, yang bahkan dapat berlanjut kepada perseteruan antar pribadi.

c. Perbedaan Persepsi (Perseptual Differences). Persepsi dan penilaian dapat menjadi penyebab terjadinya konflik. Konflik juga dapat timbul jika orang memiliki persepsi yang salah, misalnya dengan menstereotype orang lain atau mengajukan tuduhan fundamental yang salah. Perbedaan perstual sering di dalam situasi yang samar. Kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai suatu situasi mendorong persepsi untuk mengambil alih dalam memberikan penilaian terhadap situasi tersebut.

2. Faktor Situasi

Kondisi umum yang memungkinkan memicu konflik pada suatu organisasi diantaranya:

a. Kesempatan dan Kebutuhan berinteraksi (Opportunity and Need to Interact). Kemungkinan terjadinya konflik akan sangat kecil jika orang-orang terpisah secara fisik dan jarang berinteraksi. Sejalan dengan meningkatnya assosiasi di antara pihak-pihak yang terlibat, semakin mengikat pula terjadinya konflik. Dalam bentuk interaksi yang aktif dan kompleks seperti pengambilan keputusan

(22)

bersama (joint decision-making), potensi terjadinya koflik bahkan semakin meningkat.

b. Kebutuhan untuk Berkonsensus (Need for Consensus). Ada banyak hal di mana para manager dari departemen yang berbeda harus memiliki persetujuan bersama, hal ini menolong menekan konflik tingkat minimum. Tetapi banyak pula hal dimana tiap-tiap departemen harus melakukan consensus bersama. Karena demikian banyak pihak yang terlibat dalam masalah-masalah seperti ini, proses menuju tercapainya konsensus seringkali didahului dengan munculnya konflik. Sampai setiap manager departemen yang terlibat setuju, banyak kesulitan yang akan muncul.

c. Ketergantungan satu pihak kepada Pihak lain (Dependency of One Party to Another). Dalam kasus seperti ini, jika satu pihak gagal melaksanakan tugasnya, pihak yang lain juga terkena akibatnya, sehingga konflik lebih sering muncul. d. Perbedaan Status (Status Differences). Apabila seseorang bertindak dalam

cara-cara yang kongruen dengan statusnya, konflik dapat muncul. Sebagai contoh dalam bisnis konstruksi, para insinyur secara tipikal sering menolak ide-ide inovatif yang diajukan oleh diajukan oleh juru gambar (Draftsmen) karena meraka menganggap juru gambar memiliki status yang lebih rendah, sehingga tidak sepantasnya juru gambar menjadi sejajar dalam proses desain suatu konstruksi.

(23)

e. Rintangan Komunikasi (Communication Barriers). Komunikasi sebagai media interaksi diantara orang-orang dapat dengan mudah menjadi basis terjadinya konflik. Bisa dikatakan komunikasi oleh pedang bermata dua: tidak adanya komunikasi dapat menyebabkan terjadinya konflik, tetapi disisi lain, komunikasi yang terjadi itu sendiri dapat menjadi potensi terjadinya konflik. Sebagai contoh, informasi yang diterima mengenai pihak lain akan menyebabkan orang dapat mengindentifikasi situasi perbedaan dalam hal nilai dan kebutuhan. Hal ini dapat memulai konflik, sebenarnya dapat dihindari dengan komunikasi yang lebih sedikit.

f. Batas-batas tanggung jawab dan Jurisdiksi yang tidak jelas (Ambiguous responsibilites and Jurisdictions). Orang-orang dengan jabatan dan tanggung jawab yang jelas dapat mengetahui apa yang dituntut dari dirinya masing-masing. Ketika terjadi ketidakjelasan tanggung jawab dan jurisdiksi, kemungkinan terjadinya konflik jadi semakin besar. Sebagai contoh, departemen penjualan terkadang menemukan dan memesan material di saat departemen produksi mengklaim bahwa hal tersebut tidak diperlukan. Bagian produksi kemudian akan menuduh departemen penjualan melangkahi jurisdiksi mereka, sehingga konflik pun muncul tak henti-hentinya. Hal ini dapat menyebabkan terlambatnya dipenuhi permintaan pasar, hilangnya pelanggan, bahkan mogok kerja.

Penyebab terjadinya konflik dalam organisasi, yaitu : 1. Koordinasi kerja yang tidak dilakukan

(24)

3. Tugas yang tidak jelas (tidak ada deskripsi jabatan) 4. Perbedaan dalam otorisasi pekerjaan

5. Perbedaan dalam memahami tujuan organisasi 6. Perbedaan persepsi

7. Sistem kompetensi insentif (reward)

8. Strategi pemotivasian tidak tepat (Mangkunegara, 2001). 2.2.3.4. Metode Penyelesaian Konflik

Adapun tiga macam metode penyelesaian konflik yang paling banyak dimanfaatkan, yaitu :

1. Dominasi dan Penekanan. Metode-metode dominasi dan penekanan biasanya mempunyai persamaan sebagai berikut:

a. Mereka menekan konflik, dan bukan menyelesaikannya, karena konflik yang muncul ke permukaan kembali ditekan ”kebawah”.

b. Mereka menciptakan suatu situasi ”menang-kalah” dimana pihak yang kalah terpaksa mengalah terhadap pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi, atau memiliki kekuasaan lebih besar, yang biasanya menyebabkan timbulnya sikap tidak puas dan bermusuhan.

2. Meratakan (Smoothing). Meratakan merupakan suatu cara lebih diplomatik untuk menyelesaikan konflik dimana sang manajer meminimasi tingkat dan pentingnya ketidaksepakatan dan ia mencoba membujuk salah satu pihak untuk ”mengalah”. Andaikata sang manajer tersebut mempunyai lebih banyak informasi di bandingkan dengan pihak-pihak yang berkonflik, dan ia mengajukan suatu saran

(25)

yang dapat diterima, maka metode tersebut dapat menjadi efektif. Tetapi, apabila sang manajer terkesan ”memihak” pada salah satu kelompok, atau ia tidak memahami persoalan yang ada, maka pihak yang kalah kiranya akan menentangnya.

3. Menghindari (Avoidance). Pura-pura tidak mengetahui adanya suatu konflik merupakan suatu bentuk menghindari yang sering kali terlihat dalam praktik. Bentuk lain adalah keengganan untuk menghadapi konflik dengan jalan mengulur-ulur waktu dan memberikan alasan ”tunggu” dibandingkan dengan situasi sesungguhnya.

4. Suara Terbanyak (Majority Rule). Berupaya untuk menyelesaikan konflik kelompok dengan suara terbanyak dapat merupakan cara efektif, andaikata para anggota-anggota kelompok-kelompok yang ada menganggapnya sebagai cara yang layak. Tetapi, apabila kelompok tertentu terus menerus menang dengan suara terbanyak, maka pihak yang terus menerus kalah akan merasa frustasi dan tak berdaya.

5. Kompromis. Melalui tindakan kompromis, para manajer berupaya menyelesaikan konflik dengan meyakinkan masing-masing pihak dalam perundingan bahwa mereka perlu mengorbankan sasaran-sasaran lain. Keputusan-keputusan yang dicapai melalui kompromis, agaknya tidak akan menyebabkan pihak-pihak yang berkonflik merasa frustasi atau bermusuhan. Tetapi, dipandang dari sudut pandangan organisatoris, kompromis merupakan sebuah metode penyelesaiaan konflik yang lemah, karena ia biasanya tidak menyebabkan timbulnya suatu

(26)

pemecahan yang paling baik membentu organisasi yang bersangkutan mencapai tujuan-tujuannya. (Winardi, 2004).

Sedangkan Kreitner dan Kinicki (2001) mengemukakan bahwa menstimulasi functional conflict dapat dilakukan dengan menggunakan “Programmed Conflict”, yaitu proses penyelesaian konflik dengan cara mengangkat perbedaan-perbedaan pendapat atau pandangan dengan mengabaikan perasaan pribadi, melalui keikut sertaan dan masukan-masukan baik dari pihak yang mempertahankan gagasan maupun yang mengkritik gagasan berdasarkan fakta-fakta yang relevan dan mengesampingkan pandangan pribadi atau kepentingan politis.

Dua teknik Programmed Conflict yang banyak dimanfaatkan adalah :

1. Devil’s Advocacy, di mana seseorang ditunjuk untuk “menelanjangi” kelemahan-kelemahan dari sebuah gagasan tertentu sehingga dapat disempurnakan bersama.

Devil’s Advocacy yang dilakukan secara periodik merupakan latihan yang bagus untuk mengembangkan kemampuan analitis dan komunikasi.

2. Dialectic method dilaksanakan dengan cara membuka forum perdebatan di antara pandangan-pandangan yang berbeda untuk memahami issue tertentu secara lebih baik.

(27)

2.3. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual digunakan untuk menunjukkan arah bagi suatu penelitian agar penelitian dapat berjalan pada lingkup yang telah ditetapkan. Pada penelitian yang menjadi variabel-variabel adalah job stressor, konflik kerja, dan kinerja.

Job stressor merupakan faktor yang menimbulkan stres pada pegawai, yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian pegawai dengan pekerjaan maupun lingkungannya. Hal ini dapat terjadi pada tiap orang atau pegawai (Newstroom dan Davis, 2001). Konflik kerja adalah situasi yang mana pegawai dihadapkan dengan harapan-harapan peran yang berlainan (Robbins, 2002). Kinerja merupakan tingkat keberhasilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya, di mana ukuran kesuksesan yang dicapainya tidak disamakan dengan kesuksesan orang lain Ghiselli dan Brown dalam Tobing (2007).

Apabila dilihat hubungan antar variabel bahwa job stressor yang tinggi dalam suatu instansi akan mudah mengakibatkan timbulnya konflik di instansi tersebut, dan apabila konflik ini terus berlangsung maka akan mengganggu kinerja intansi tersebut. Sehingga secara sederhana dapat dibuat menjadi kerangka konseptual penelitian ini menjadi sebagai berikut:

(28)

Variabel independen dalam penelitian ini adalah Job stressor dan Konflik Menurut Gilboa et al. (2008) bahwa semakin tinggi tingkat job stressor dan konflik kerja, maka akan berdampak pada kinerja karyawan yang semakin rendah.

2.4. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konseptual yang telah dikemukakan, maka hipotesis penelitian adalah: job stressor dan konflik kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Batu Bara.

Sumber: Gilboa et al. (2008)

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual JOB STRESSOR KONFLIK KERJA KINERJA KARYAWAN

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual  JOB  STRESSOR KONFLIK KERJA  KINERJA  KARYAWAN

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian diketahui bahwa (1) bentuk gotong royong di masyarakat Kampung Naga terdiri dari pertanian, perbaikan atau renovasi rumah, acara ritual, dan upacara

Hanya peserta yang dinyatakan lulus seleksi administrasi dan membawa Kartu Ujian serta bukti identitas diri asli berupa KTP (sesuai dengan data saat registrasi online) yang

Diagram Alir Program Pembangkit Kunci Tanda Tangan Digital.. Universitas Kristen Maranatha

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) Internalisasi nilai-nilai agama islam, 2) Pembentukan sikap, 3) Perilaku siswa, dan 4) kegiatan ekstrakurikuler

Emulator 1 Form Tampilan Awal Berjalan Baik 2 Form Kriptografi DES Berjalan Baik 3 Form Enkripsi dan Dekripsi Kriptografi DES Berjalan Baik 4 Form Contoh Kriptografi DES

Untuk keuntungan dalam trading forex, Anda harus mengenali pasar dengan baik setelah Anda mengenali diri Anda sendiri.. Langkah pertama untuk mendapatkan kesadaran diri

Tetapi di samping itu juga ada aliran kas ke luar (cash outflow ) yang bersifat tidak kontinyu atau bersifat “ intermittent ”, misalnya pengeluaran untuk pembayaran bunga,

Pelaksanaan kebijakan pengendalian penyakit demam berdarah dengue di kota Semarang dilakukan secara menyeluruh di setiap tingatan pemerintah dan lapisan