• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM. Munculnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di negara-negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM. Munculnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di negara-negara"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM

A. Sejarah Lembaga Bantuan Hukum

Munculnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di negara-negara berkembang pada dekade terakhir sedikit banyaknya memberi gambaran mengenai pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut. Gambaran yang segera nampak bahwa hukum dalam batas tertentu belum memihak kepada kepentingan rakyat dan situasi ini telah berkembang sedemikian rupa, sehingga rakyat tidak mampu menjadi subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Karena streotip hukum yang demikian di mana hukum belum memihak kepentingan rakyat, maka selalu ada konflik antara pembuat hukum di satu pihak dengan lapisan masyarakat yang menjadi korban pelaksanaan hukum di lain pihak. Ketegangan antara pembuat hukum dan lapisan masyarakat yang menjadi korban pelaksanaan hukum itu telah melahirkan kelompok-kelompok atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum.35

Karena Indonesia termasuk salah satu dari negara berkembang yang kondisinya kurang lebih sama dengan negara-negara berkembang lainnya di Asia, maka munculnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah bantuan hukum di Indonesia. Seperti diketahui, di Indonesia selain memberlakukan hukum adat dari masing-masing daerah yang oleh Van Vollen Hoven dibagi ke dalam 19 lingkungan hukum adat, juga memberlakukan

35

Paul S. Baut, (ed), Bantuan Hukum di Negara Berkembang, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1980), Hal. VII.

(2)

hukum import, yaitu hukum penjajahan Belanda atas negeri jajahannya. Dalam hukum adat tidak di kenal apa yang disebut “Lembaga Bantuan Hukum”. Hal itu dapat dimengerti karena dalam hukum adat tidak dikenal lembaga peradilan seperti dalam hukum modern. Penyelesaian perkara dalam hukum adat kebanyakan diselesaikan lewat pemimpin-pemimpin informal yang mempunyai kharisma khusus.36 Indonesia baru mulai mengenal “bantuan hukum” sebagai pranata hukum tatkala Indonesia mulai memberlakukan hukum barat yang bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terdapat perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja, tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1 perundangan baru di negeri Belanda juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Peradilan (Reglement op de rechterlijke Organisatie et het beleid der justitie) yang lazim dikenal dengan singkatan R.O (Stb, 1847-23 jo 1848-58).37

a) Golongan Eropah

Pranata Advokat dapat diperkirakan baru dimulai pada tahun-tahun sekitar itu. Dan pada sekitar tahun 1923, kantor Advokat pertama di buka di Tegal dan Semarang.

Tetapi patut pula diketahui bahwa politik hukum jaman pemerintahan Hindia Belanda sebelum perang dunia II, dimana Indonesia diberlakukan IS (Indische Straatsregeling) terutama dalam pasal 163 ayat (1), membedakan penduduk Indonesia atas 3 golongan, yaitu :

36

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 40.

37

(3)

Yang termasuk golongan Eropah adalah orang Belanda, dan semua orang bukan Belanda, yang asalnya dari Eropah, orang-orang Jepang, orang-orang yang tidak berasal dari Belanda tetapi dinegaranya menganut hukum kekeluargaan yang sifat dan coraknya sama dengan Nederland.

b) Golongan Bumi Putera

Yang termasuk golongan Bumi Putera adalah semua orang Indonesia asli dari Indonesia.

c) Golongan Timur Asing

Yang termasuk golongan Timur Asing adalah semua orang yang bukan orang Eropah dan/atau bukan orang Bumi Putera (Tionghoa, Arab, India, Pakistan dan sebagainya).

Pembedaan golongan penduduk seperti yang diatur dalam pasal 163 ayat (1) IS tersebut membawa konsekuensi di bidang hukum, sebab masing-masing golongan ternyata mempunyai hukumnya sendiri. Karena hukum acara yang dipakai adalah HIR, maka kesulitan-kesulitan yang muncul adalah banyaknya ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum tidak ikut diwarisi dalam ketentuan HIR (lihat pasal 250 HIR) yang justru sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.

Tentu saja ini dirasa tidak adil oleh golongan Bumi Putera. Kesulitan-kesulitan lain yang muncul adalah masih langkanya Advokat atau dengan kata lain jumlah Advokat yang praktek relatif sedikit, sehingga akhirnya yang lebih banyak

(4)

berperan adalah para Pokrol.38

Pemilihan tata cara peradilan yang seperti ini membawa konsekuensi terhadap hukum acara yang dipakai. Peradilan Raad van Justitie menggunakan Rechtsvordering sebagai hukum acara yang banyak mengatur ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum, sedangkan Peradilan Landraad yang

Pada tahun 1927 Pokrol-pokrol membuat organisasi bernama Persatuan Pengacara Indonesia (PERPI). Yang menggembirakan adalah meskipun jumlah Advokat orang Indonesia relatif sedikit, namun sebagian besar mereka adalah orang-orang pergerakan. Dilihat dari sudut ini tentu saja sangat menguntungkan karena kualitas pembelaan mereka. Pada saat inilah dapat dikatakan awal lahirnya bantuan hukum bagi golongan yang tidak mampu. Hal ini mudah dipahami oleh karena pada waktu itu bangsa Indonesia tidak mampu membayar Advokat-Advokat Belanda yang mahal. Pada jaman Jepang tidak ada perubahan yang berarti, meskipun peraturan tentang bantuan hukum peninggalan penjajah Belanda masih tetap diberlakukan. Perhatian terhadap bantuan hukum boleh dikatakan kurang sekali. Memang hal ini dapat dipahami, karena seluruh perhatian masih tercurah pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan secara fisik dan politis. Walaupun pluralisme dalam bidang peradilan sudah dihapuskan (hanya ada satu sistem peradilan untuk seluruh penduduk dan satu hukum acara bagi seluruh penduduk). Dalam tata cara peradilan yang diambil bukanlah yang berdasarkan pada Raad van Justitie yang sarat dengan pengaturan bantuan hukum tetapi justru yang diambil adalah tata cara peradilan berdasarkan Landraad.

38

Frans J. Rengka, TesisPeranan Lembaga Bantuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana Sebuah Studi Kasus Di LBH Jakarta, (Jakarta: Fakultas PascaSarjana Universitas Indonesia, 1992), hal. 27.

(5)

menggunakan hukum acara HIR justru sangat miskin ketentuan-ketentuan tentang bantuan hukum. Pada era Orde Lama kualitas bantuan hukum dapat dikatakan lebih jelek dibanding dengan jaman penjajahan, akan tetapi dari segi politik terdapat suatu kemajuan besar. Hal ini karena pada waktu itu dukungan politis dalam perkembangan dan pertumbuhan bantuan hukum sangat dirasakan. Hanya saja pada masa ini lembaga peradilan tak bisa mandiri lagi karena sudah dipengaruhi oleh badan eksekutif. Akibatnya adalah keadilan dikorbankan. Sebagai puncaknya, lahirlah Undang-undang No. 19 Tahun 1964 yang mencerminkan campur tangan pihak eksekutif dalam bidang peradilan. Prof. Satjipto Rahardjo memberi ilustrasi dengan membuat perbandingan antara Undang-undang No. 19 Tahun 1964 dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 – sebuah Undang-undang yang menjamin kemandirian pengadilan dalam menjalankan tugasnya. Ada dua aspek yang ingin dibandingkan antara kedua Undang-undang tersebut. Pertama, dilihat dari fungsinya, Undang-undang No. 19 tahun 1964 berfungsi sebagai pengayom dan alat revolusi, sedangkan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 berfungsi menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Kedua, dilihat dari tujuan, Undang-undang No. 19 tahun 1964 bertujuan masyarakat sosialis Indonesia, sedangkan tujuan dari Undang-undang No. 14 tahun 1970 adalah untuk terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.39

Pada masa ini boleh dikatakan boleh dikatakan bahwa kekuasaan berada di atas hukum, dan bukan sebaliknya. Dan pada saat ini pula banyak Advokat

39

(6)

meninggalkan profesinya, karena para pencari keadilan lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa atau hakim untuk menyelesaikan perkaranya.40

Setelah gagalnya peristiwa kudeta PKI, yang disusul dengan jatuhnya rezim Soekarno, maka lahirlah era Orde Baru (ORBA) yang ingin membuat citra baru dengan membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah berantakan. Disamping program rehabilitasi ekonomi, juga ditumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan mimbar pada universitas.

Meskipun begitu periode ini juga harus dicatat sebagai suatu langkah yang cukup menentukan, karena dengan diundangkannya Undang-undang Pokok kekuasaan kehakiman (Undang-undang No. 19 tahun 1964), maka untuk pertama kalinya diatur secara jelas tentang hak seseorang untuk mendapatkan bantuan hukum. Dan pada periode yang sama Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) diresmikan di Solo pada tanggal 30 agustus 1964.

41

40

Adnan Buyung Nasution, Op. cit., hal 23.

41

Mochtar Buchori, Kebebasan Akademik Dalam Konteks Pengembangan IPTEK Dan Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Basis, 1989), hal. 425.

Pada tingkat universitas mulai ada kesadaran untuk memberi bantuan hukum kepada orang-orang yang tidak mampu yang terlibat dalam kasus-kasus pidana. Dapat kita lihat disini sebagai pionir adalah Fakultas Hukum UNPAD, Bandung dengan mendirikan “Biro Bantuan Hukum Mahasiswa”. Hal yang sama juga diikuti oleh Fakutas Hukum UGM dan Fakultas Hukum Airlangga Surabaya. Kerja sama ini dilaksanakan antara Hakim Pengadilan Negeri setempat dan mahasiswa hukum tahun kelima. Atas dasar kerja sama ini maka mahasiswa tersebut diizinkan untuk mewakili klien yang tidak mampu untuk beracara di pengadilan dengan pengawasan oleh dosen yunior dari fakultas hukum

(7)

masing-masing universitas. Bahkan kasus-kasus bantuan hukum ini dapat dijadikan “studi kasus” bagi penulisan skripsi para mahasiswa yang berpraktek di pengadilan tadi.

Tahun 1970 merupakan sebagai tahun yang penting dalam sejarah peradilan di Indonesia, karena pada tahun itu diundangkan Undang-undang tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru yaitu Undang-undang No. 14 tahun 1970. Dengan adanya Undang-undang yang baru ini dijamin kembali kebebasan peradilan dan segala campur tangan ke dalam urusan pengadilan oleh pihak-pihak luar, diluar kekuasaan kehakiman dilarang. Bahkan di bidang bantuan hukum, dalam Undang-undang ini terdapat bab khusus mengenai bantuan hukum (lihat bab VII pasal 35-38). Dengan dikeluarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 merupakan momentum baru dalam sejarah peradilan, karena pada saat itu bantuan hukum sudah dapat diberikan sejak tersangka ditangkap dan/atau ditahan. Karenanya Todung mulya Lubis menganggap Undang-undang ini sebagai

“milestone” sejarah bantuan hukum dalam pemerintahan orde baru.42

Pada tahun yang sama juga didirikanlah Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta sebagai pilot proyek dari PERADIN dan dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Peradin tanggal 26 oktober 1970 No. 001/kep/dpp/10/1970. lembaga ini diakui secara resmi oleh Gubernur Jakarta yang sekaligus memberikan subsidi setiap bulan Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah). Dan yang dipilih sebagai direktur pertama adalah Adnan Buyung Nasution dengan meletakkan tiga tujuan pokok konsep pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yaitu, pertama memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat

42

T. Mulya lubis, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal. 5.

(8)

miskin dan buta hukum, kedua, mengembangkan kesadaran hukum masyarakat khususnya kesadaran akan hak-hak sebagai subjek hukum, dan yang ketiga adalah mengembangkan hukum dan prakteknya menurut kebutuhan zaman modern. Selanjutnya pada tahun 1976 diadakan kongres Nasional V Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) di Hotel Ambarukmo, Yogyakarta yang mencetuskan gagasan bahwa PERADIN merupakan organisasi perjuangan untuk menegakkan hukum dan keadilan serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Dengan semangat tinggi serta didorong oleh keinginan luhur memperjuangkan kebenaran, keadilan dan dukungan sejumlah Advokat dan Pengacara yang ingin menyumbangkan tenaga, maka pada tanggal 28 Januari 1978 diresmikanlah LBH Medan di bawah pimpinan Mahjoedanil, SH. Pelantikannya sendiri dihadiri oleh Pengurus DPP PERADIN, Abdurrahman Saleh, SH, dan Direktur LBH Jakarta, Adnan Buyung Nasution, SH.

Pimpinan LBH Medan sejak berdiri hingga sekarang, adalah : 1. 1978 – 1982 : Mahjoedanil, SH 2. 1982 – 1988 : HM. Kamaluddin Lubis, SH 3. 1988 – 1990 : Hasanuddin, SH 4. 1990 – 1991 : Alamsyah Hamdani, SH 5. 1991 – 1994 : Alamsyah Hamdani, SH 6. 1994 – 1997 : Alamsyah Hamdani, SH

(9)

7. 1997 – 2000 : Kusbianto, SH

8. 2000 – 2003 : Irham Buana Nasution, SH

9. 2003 – 2006 : Irham Buana Nasution, SH

10.2006 – 2009 : Ikwaluddin Simatupang, SH., M.Hum

11.2009 – 2012 : Nuriyono, SH

Dari uraian diatas, tergambar sangat jelas bahwa lahirnya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia bukan berasal dari inisiatif negara melainkan berasal dari kesadaran kolektif atas sesuatu yang timpang di masyarakat. Namun demikian pemerintah juga turut mendukung lahirnya Lembaga-lembaga Bantuan Hukum di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah mencapai puluhan bahkan ratusan. Tentu saja hal ini sangat menggembirakan karena hal itu berarti ada perkembangan yang meningkat dalam bantuan hukum di negara kita.

B. Perkembangan Lembaga Bantuan Hukum

Tatkala Lembaga Bantuan Hukum membukakan pintunya bagi klien-klien miskin yang berjubel, kecil alasan untuk berharap banyak kepadanya.43

43

Hasil wawancara dengan Bapak Sugianto, staff LBH Medan, Medan, Pada Tanggal 22 Oktober 2009.

Bahkan banyak orang menduga bahwa Lembaga Bantuan Hukum hanya akan bertahan paling lama lima tahun. Bantuan hukum bagi orang miskin cukup masuk akal, tetapi impian Lembaga Bantuan Hukum tentang perombakan hukum, politik dan sosial tampaknya melebihi kemampuan terbaiknya, tidak lebih meyakinkan

(10)

daripada retorika perubahan pemerintah. Di luar partai politik, dan boleh jadi selain yayasan sosial dan pendidikan Islam Muhammadiyah, tidak banyak organisasi mandiri yang bertujuan mengadakan perubahan yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam sejarah modern Indonesia. Lapisan menengah sektor swasta juga terlalu kecil untuk mengadakan perubahan, perekonomian swasta pribumi terlalu lemah untuk menopangnya dan pemerintah tidak tunduk sama sekali kepada organisasi swasta yang melontarkan kritik kepada kekuasaan pemerintah.

Sejak lahirnya Lembaga Bantuan Hukum, telah berhasil tidak saja dalam mendorong dan mempopulerkan gagasan dan konsep bantuan hukum kepada masyarakat, akan tetapi juga melalui aktivitasnya dan keberhasilannya ia telah menjadi terkenal dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Lembaga Bantuan Hukum telah berkembang tidak saja dalam jumlah perkara yang ditanganinya, tetapi juga dalam mengusahakan berbagai program aksi yang sesuai dengan sifat dan ruang lingkup Lembaga Bantuan Hukum yang luas.44

Selama pertumbuhan dan perkembangannya yang cepat, Lembaga Bantuan Hukum sering harus berhadapan dengan penguasa, yang merasa dipermalukan karena Lembaga Bantuan Hukum bersedia menangani perkara-perkara yang kontroversial. Secara sengaja ataupun tidak, kepentingan pembelaan perkara menempatkan Lembaga Bantuan Hukum kedudukan yang konfrontatif dengan penguasa. Dalam dekade awal pembentukannya, dikarenakan bertambah populernya gagasan dan konsep bantuan hukum serta tanggapan masyarakat

44

Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Bantuan Hukum: Akses Masyarakat Marginal Terhadap Keadilan, (Jakarta, LBH Jakarta, 2007) hal. 16.

(11)

terutama di daerah, maka berdirilah lembaga-lembaga lain yang memberi pelayanan bantuan hukum yang sama. Lembaga Bantuan Hukum yang bernaung dibawah LBH/YLBHI sendiri setelah awal pertama kalinya didirikan di Jakarta kemudian berkembang hampir di seluruh Indonesia. Sampai saat ini ada 15 kantor Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia mulai dari Aceh, Medan, Padang, Pakanbaru, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogya, Surabaya, Bali, Ujung Pandang, Manado dan Bali.

Menginjak usia ke-25, Daniel S Lev, sempat menyatakan, pada saat berdiri tahun 1970, banyak orang menduga bahwa Lembaga Bantuan Hukum hanya akan bertahan paling lama lima tahun. Menurut Lev, kemampuan Lembaga Bantuan Hukum tetap tegar berdiri selama 25 tahun sungguh diluar dugaan. Kini Lembaga Bantuan Hukum sudah memasuki 36 tahun, per 28 Oktober 2006. Akronim atau singkatan Lembaga Bantuan Hukum dapat dikatakan sudah menjadi singkatan yang diketahui masyarakat luas. Nomor telepon Lembaga Bantuan Hukum diberbagai provinsi, menjadi salah satu nomor telepon penting dalam Yellow Pages, buku petunjuk penggunaan telepon terbitan Telkom. Kantor Lembaga Bantuan Hukum dipersamakan dengan kantor polisi atau kantor pemadam kebakaran, penting bagi masyarakat untuk menyimpan atau mengetahui nomor teleponnya, untuk sewaktu-waktu bisa menghubungi.

Demikian juga, akronim Lembaga Bantuan Hukum telah dimuat dalam Kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Inggris. Menunjukkan singkatan Lembaga Bantuan Hukum telah menjadi akronim sehari-hari. Bahkan dalam fora regional

(12)

dan internasional, pelafalan be-ha (LBH) telah dikenal luas, selain pelafalan el-bie-eic (LBH), dalam abjad bahasa Inggris. Tidak hanya ditingkat domestik, Lembaga Bantuan Hukum juga dirujuk oleh publikasi regional dan internasional, sebagai salah satu lembaga penting yang memberikan pelayanan bantuan hukum, dan kerja hak asasi manusia.

Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan Lembaga Bantuan Hukum hingga hari ini terus kokoh berdiri, diantaranya:45

1. Lembaga Bantuan Hukum Memiliki Karakter dan Ciri Khas

Ketika konsep pendirian Lembaga Bantuan Hukum dipresentasikan pada tahun 1970, kehadirannya tidak semata-mata menjalankan profesinya sebagai mata pencaharian belaka atau kemuliaan semata-mata, melainkan berbarengan dengan itu sadar dan berperan dalam perjuangan memerdekakan bangsanya dari penjajahan dan penindasan kekuasaan kolonial. Jika diselami, semangat kepeloporan dan kerja keras tanpa memikirkan upah inilah yang terus menular hingga sekarang ini dan menjadi karakter dan ciri khas Lembaga Bantuan Hukum. Karakter dan ciri khas Lembaga Bantuan Hukum banyak dipengaruhi oleh para pendiri dan tokoh masyarakat yang terpandang pada awal-awal pendiriannya seperti: Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hiem, Suardi Tasrif, Iskak, Suyudi, dan Sastro Mulyono.

2. Dukungan Intelektual organik di masanya

Ada banyak akademisi yang berpengaruh dalam membentuk aktivis Lembaga Bantuan Hukum dalam mengembangkan sekaligus menafsirkan bantuan

45

html.

(13)

hukum struktural. Diantaranya: Paul Moedigdo, Soetandyo Wignjosoebroto, Satjipto Rahardjo dan juga Daniel S. Lev. Para aktivis dan akademisi itulah yang banyak menopang secara teoritik dan memberikan landasan pengetahuan bagi aktivis Lembaga Bantuan Hukum. Jika diamati, masing-masing Lembaga Bantuan Hukum mempunyai akademisi penopang intelektual dan pengetahuan para Advokat dan aktivisnya. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya dengan Soetandyo Wignjosoebroto dan Suwoto Mulyosudarmo. Lembaga Bantuan Hukum Semarang dengan Satjipto Rahardjo. Lembaga Bantuan Hukum Bandung dengan Goenawan Wiradi. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta dengan Ichlasul Amal. Sementara untuk Lembaga Bantuan Hukum Medan tercatat akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Mariam Darus dan M. Solly Lubis yang banyak mendukung kegiatan Lembaga Bantuan Hukum di era 1980-an dan awal 1990-an.

3. Kepercayaan dan legitimasi dari Masyarakat

Kepercayaan dan legitimasi yang datang dari masyarakat memperkokoh keberadaan dan kelembagaan Lembaga Bantuan Hukum sebagai sebuah lembaga. Perhatian dari semua pihak serta dukungannya membuat Lembaga Bantuan Hukum mampu bertahan dan diharapkan terus berkiprah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin, kelompok marginal dan dimarginalkan. Prinsip membela tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku, etnis, asal-usul, agama, keyakinan politik adalah prinsip yang harus dipertahankan agar kepercayaan dan legitimasi masyarakat terus

(14)

diperoleh. Di awal berdirinya Lembaga Bantuan Hukum, sejumlah kasus yang dapat mewakili keyakinan pembelaan semacam itu antara lain ditunjukkan oleh para Advokat publik Lembaga Bantuan Hukum: pembelaan para terdakwa yang dituduh terlibat G-30-S/PKI, kasus sengketa tanah Halim Perdana Kusumah antara sekitar 500 kepala keluarga dengan Angkatan Udara Republik Indonesia seluas 1000 ha, pembelaan terhadap Jenderal H.R Dharsono dan Hariman Siregar dalam kasus Malari 1974. Di era Orde Baru, sejumlah kasus besar yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum antara lain: pembelaan terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi, termasuk wartawan/jurnalis yang dituduh subversif di berbagai kota besar di Indonesia. Di Era Millennium kasus yang mengemuka yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum antara lain: kasus Abu Bakar Ba’asyir dan para aktivis muslim yang ditangkap sewenang-wenang disejumlah tempat pada tahun 2004. Pembelaan terhadap kasus kebebasan beragama terhadap Ahmaddiyah dan Lia Eden.

4. Transparansi dan Akuntabilitas

Sejak awal berdirinya Lembaga Bantuan Hukum, tradisi penerbitan laporan keuangan sudah dilakukan. Pada tahun 2003 Lembaga Bantuan Hukum YLBHI menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat pertama yang mempublikasikan laporan keuangannya di 5 surat kabar nasional termasuk harian berbahasa Inggris.

(15)

Hingga saat ini, keberadaan dan keberlanjutan Lembaga Bantuan Hukum tidak lain karena dukungan pendanaan yang di dapat dari 4 sumber utama: dana dari internal lembaga berupa sumbangan dari dewan Pembina dan badan-badan pengurus Lembaga Bantuan Hukum, dana sumbangan masyarakat, alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pendanaan dari lembaga dana internasional.

C. Data Penanganan dan Penyelesaian Perkara Pidana Oleh LBH Medan Selama Tahun 2007-2010

Berdasarkan hasil penelitian, data penanganan dan penyelesaian perkara oleh LBH Medan adalah sebagai berikut :

Tabel 1

Jumlah Kasus Per Tahun Yang Ditangani LBH Medan

No Tahun Jumlah Kasus

1. 2007 119

2. 2008 257

3. 2009 158

4. 2010 249

Sumber : Data Primer, 2011

Dari data tersebut diatas tidak ditemukan rincian kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Medan, hanya pada tahun 2009 ada rinciannya yaitu dari 158 kasus yang ditangani oleh LBH Medan ada sekitar 85 kasus pidana dan 73 kasus perdata yang ditangani oleh LBH Medan. Namun rincian ini tidak dapat ditentukan berapa yang terselesaikan pada tingkat Konsultasi, berapa pada tingkat Kepolisian dan berapa yang sampai ke Pengadilan. Namun pada tahun 2010

(16)

terdapat rinciannya secara jelas yaitu dari total 249 kasus yang diterima oleh LBH Medan, ada sekitar 163 perkara pidana yang terbagi menjadi 3 tingkatan yakni pada tingkat Konsultasi terdapat 109 kasus dan pada tingkat Kepolisian terdapat 23 kasus serta di tingkat Pengadilan sebanyak 11 kasus. Sedangkan sisanya ada sekitar 86 perkara perdata yang juga dibagai dalam 3 tingkatan yaitu pada tingkat Konsultasi ada sebanyak 67 kasus, pada tingkat surat menyurat sebanyak 7 kasus dan pada tingkat Pengadilan sebanyak 11 kasus. Dari rinciannya ini dapat digambarkan bahwa penanganan dan penyelesaian kasus pidana lebih banyak bertumpu pada tingkat Konsultasi. Dari 163 kasus yang masuk lebih dari setengah diselesaikan pada tingkat konsultasi sedangkan yang masuk ke pengadilan hanya sekitar 11 kasus.

Referensi

Dokumen terkait

Pengalokasian kebutuhan dilakukan setelah permintaan disetujui oleh kepala bagian divisi maupuun manajer HSE, alokasi kebutuhan dapat segera dilakukan jika barang yang

Pada penambahan cobalt didapatkan sifat kekuatan tarik dari polimer data tertinggi diperoleh pada komposisi 4% cobalt dengan nilai 22,04 MPa dengan nilai modulus young

Tetapi persepsi Crew dan Manajemen Dalam Penerapan ISM Code Bagi Keselamatan Pelayaran dan Perlindungan Lingkungan Laut bisa berbeda kalau tidak ada pelatihan dan penerapan

Generally, her unconventional characterization makes Caesar does not have any romantically interest towards Cleopatra and so does Mark Anthony, who has met Cleopatra when she

"Understanding and Treating Marital Infidelity: A Multidimensional Model." American Journal Of Family Therapy 36, no.. “Critical Self Reflection Necessary But Not

Adapun rekomendasi yang diajukan dalam penelitian ini, sebagai upaya mewujudkan hakim yang profesional, berwibawa dan berintegritas, diantaranya: (1) program peningkatan

(1) Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat

Albertus Malang dan diharapkan nantinya hasil penelitian ini dapat menjadi satu acuan atau bahan studi terdahulu bagi rekan-rekan mahasiswa untuk