• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Asas Subsidiaritas Yang Diubah Menjadi Asas Ultimum Remedium Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tinjauan Yuridis Asas Subsidiaritas Yang Diubah Menjadi Asas Ultimum Remedium Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Yuridis Asas Subsidiaritas Yang Diubah Menjadi Asas Ultimum

Remedium Dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan

Joejoen Tjahyani *) *)

Dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Lamongan

ABSTRAK

. Dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Penelitian ini bertujuan memahami dan menganalisis secara yuridis asas subsidiaritas yang di ubah menjadi asas ultimum remedium dalam penegakan hokum pidana lingkungan.. Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersumber pada data sekunder dan metode pengumpulan serta pengolahan data dengan studi kepustakaan.

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Di pengadilan melalui hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Di luar pengadilan melalui mediasi, litigasi dan arbitrasi.

Asas subsidiaritas yang diatur dalam UU no 23 Tahun1997 (UUPLH) telah diubah menjadi asas ultimum remedium seperti yang ditegaskan dalam UU No 32 Tahun 2009. Pada dasarnya kedua asas tersebut sama yaitu tidak langsung menerapkan sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan. Perbedaannya asas subsidiaritas merupakan preventif dalam penegakan hukum pidana lingkungan, tetapi asas ultimum remedium dapat langsung diterapkan apabila pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali terhadap baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan.

Asas ultimum remedium mempunyai kelemahan yaitu dalam penafsiran penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil karena sanksi administrasi terdiri dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan.

Akhirnya penegakan hukum lingkungan hendaknya dilakukan secara optimal baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan ,sehingga kasus penecenaran dan atau perusakan lingkungan dapat ditekan. Disamping itu asas subsidiaritas dan asas ultimum remedium diperjelas pengertiannya sehingga tidak salah tafsir.

Kata Kunci : Asas Subsidiaritas, Asas Ultimum Remedium, Penegakan Hukum Pidana Lingkungan

1.PENDAHULUAN

Hakikat pembangunan nasional sesungguhnya tertuju pada manusia, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya yang bercirikan keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, keselarasan hubungan individu dengan masyarakat dan keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Bertolak dari pemikiran tersebut di atas, maka pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia tidak memisahkan antara pembangunan material dengan pengembangan lingkungan hidup. Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan wawasan nusantara.

Dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, maka perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa mendatang. Untuk itu dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang sedemikian rupa sehingga perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

Beberapa dekade terakhir ini, masalah lingkungan hidup semakin marak menjadi isu sosial ekonomi dan bahkan juga politik. Masalah lingkungan hidup apabila dikaitkan dengan masalah hak-hak asasi manusia tidak saja

(2)

merupakan persoalan negara per negara tetapi juga menjadi persoalan dunia internasional. Hal tersebut tidaklah berlebihan, sebab hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat merupakan salah satu hal asasi yang diatur di dalam Universal Declaration of Human Right 1948.

Atas dasar hal tersebut di atas, Pemerintah Indonesia memandang perlu untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup. Pada tahun 1982 Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang berlaku kurang lebih selama 15 tahun, kemudian disempurnakan melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Selanjutnya pada 3 Oktober 2009 UUPLH telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). UUPPLH tersebut berlaku sebagai paying atau

umbrella act atau umbrella provision atau dalam ilmu hukum disebut kaderwet atau raamwet, sebab hanya diatur

ketentuan pokoknya saja.Lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Sesuai dengan hakikat Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, maka pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia haruslah diberi dasar hukum yang jelas, tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi usaha pengelolaan tersebut. Dasar hukum tersebut dilandasi oleh prinsip hukum lingkungan dan pentaatan setiap orang akan prinsip tersebut yang keseluruhannya berlandaskan wawasan nusantara. Dengan demikian, dalam rangka pelestarian lingkungan hidup, pemerintah menyediakan sarana-sarana hukum yang bertujuan untuk mengatur dan mengelola lingkungan hidup tersebut yang selanjutnya disebut hukum lingkungan. Hukum lingkungan perlu ditegakkan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggarnya. Penegakan hukum lingkungan dapat dilaksanakan dengan 3 (tiga) cara, yaitu melalui hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana dimana masing-masing dengan sanksi berupa sanksi adminitratif, sanksi perdata dan

sanksi pidana.

Dalam hal penegakan hukum lingkungan dengan sarana hukum pidana atau pertanggungjawaban hukum pidana, patut kiranya dikemukakan bahwa penggunaan sanksi hukum pidana sebagai sarana penanggulangan delik-delik lingkungan lebih bersifat subsidiar, bukan sebagai sarana yang primair.

Dengan perkataan lain, sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif, atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat, atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Keberadaan asas subsidiaritas pidana dalam penegakan tindak pidana lingkungan sejak awal telah mengandung kelemahan dalam penerapannya. Sistem perumusan pada penjelasan tidak jelas sehingga menyulitkan dalam praktik. Untuk memperbaikinya maka berdasarkan UUPPLH asas subsidiaritas diubah menjadi asas ultimum remedium. Berdasarkan hal tersebut, penulis berkeinginan untuk melakukan pengkajian secara mendalam baik mengenai asas subsidiaritas maupun asas ultimum remedium dan pengaruhnya terhadap penegakan hukum pidana lingkungan.

2. LANDASAN TEORI

A. Asas-asas hukum Lingkungan

Dalam hukum lingkungan dikenal beberapa asas yaitu asas subsidiaritas, asas ultimum remedium, asas

precautionary, asas subsosialitas dan asas in dubio pro reo. 1. Asas Subsidiaritas

Kata subsidiaritas dalam kamus Inggris Indonesia Jhohn Echols dan Hassan Shadily ditemukan kata “subsidiary” yang mengandung makna cabang, tambahan. Demikian pula dalam kamus hukum di dapatkan kata

subsidair yang bermakna sebagai pengganti, tambahan, jika hal pokok tidak terjadi atau dapat dilakukan, maka

sebagai penggantinya. Dalam kamus umum Belanda Indonesia ditemukan kata subsidiair mengandung arti sebagai ganti, atau. Sedangkan pada Black’s Law Dictionary subsidiary berarti subordínate, under another’s control.

Asas subsidiaritas tercantum dalam penjelasan umum pada angka 7 dari Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup :

“bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, maka berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup sudah dinyatakan tidak efektif, dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat, dan/atau perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat”.

Penegakan hukum pidana bersifat subsidiaritas berarti penegakan hukum pidana semata-mata guna menunjang penegakan hukum administrasi dan/atau penegakan hukum perdata baik yang diselesaikan di Pengadilan maupun melalui mediasi atau konsiliasi. Manakala penegakan hukum administrasi maupun hukum perdata tadi sudah tidak efektif pelaksanaannya barulah dioperasionalkan penegakan hukum pidana.

(3)

Inilah yang dimaksudkan dengan penerapan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas karena dalam hal-hal yang telah disebutkan di atas, fungsi hukum pidana hanya sebagai penunjang hukum administrasi, hukum perdata di Pengadilan dan di luar Pengadilan melalui Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS). Dengan asas subsidiaritas pendayagunaan instrumen pidana adalah sebagai cabang (bukan pokok) atau berupa tambahan atau pengganti apabila pendayagunaan instrumen hukum administrasi dan hukum perdata serta penyelesaian sengketa tidak efektif.

2. Asas Precautionary (Precautionary Principle)

Dari asas subsidiaritas ini dalam penerapannya terkandung asas precautionary (Precautionary Principle). Precautionary dalam kamus Inggris Indonesia tersebut bermakna, yang berhubungan dengan pencegahan atau tindakan pencegahan. Dengan demikian pencegahan lebih didahulukan dan diutamakan dari penindakan. Sedangkan apabila akan dilakukan penindakan harus dilakukan secara bertahap dari tindakan yang teringan, tindakan sedang dan terakhir dengan tindakan berat.

Prinsip precautionary ini dapat kita jumpai pada prinsip nomor 15 deklarasi rio (Rio Declaration on Environment and Development, 1992), yang memuat 21 prinsip untuk membangun kerjasama global yang baru dan seimbang melalui kerjasama antar negara. Deklarasi rio ini telah mengadopsi beberapa prinsip yang sebelumnya terdapat dalam deklarasi Stockholm 1972 (Stockholm Declaration on The Human Environment) yang mengamanatkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) sebagai basis aksi global, regional dan lokal.

Asas atau prinsip ini mengandung pengertian bahwa tindakan pencegahan atau perlindungan lebih baik daripada tindakan pemulihan, serta kekurangan ilmu pengetahuan bukanlah suatu alasan untuk melakukan pencegahan terhadap perbuatan-perbuatan yang potensial merugikan lingkungan. Prinsip ini mendorong untuk bertindak cepat dan tepat (tidak menunda) sebagai upaya pencegahan walaupun terdapat kelangkaan dan kurangnya pembuktian atau ketersediaan data ilmiah yang memadai. Asas atau prinsip 15 dari Deklarasi Rio ini lebih tepat digunakan dalam hukum perdata, karena pertanggung jawaban tanpa pembuktian adanya unsur kesalahan.

Sedangkan untuk hukum pidana maka asas precautionary ini mengandung makna bahwa pencegahan lebih didahulukan dan diutamakan dari penindakan. Kalau penindakan yang dilakukan, maka penerapannya dilakukan secara bertahap, tidak langsung dikenakan penindakan yang terberat, yaitu dilakukan secara bertahap dan berjenjang, dari penindakan yang teringan, dan bila pelanggaran tetap dilakukan maka akan dikenakan sanksi yang lebih berat, demikian selanjutnya. Prinsip precautionary menghendaki tindakan pencegahan atau pengawasan dari instansi terkait harus lebih dikedepankan (hukum administrasi) dibandingkan dengan penindakan hukum pidana. Akan tetapi menurut Daud Silalahi prinsip ini tidak jelas posisinya dalam Undang-undang No 23 tahun 1997.

3. Asas Ultimum Remedium

Kesulitan atau hambatan asas subsidiaritas pada praktik penegakan hukum pada UUPLH telah diperbaiki pada UUPPLH dengan mengubah asas subsidiaritas menjadi asas ultimum remedium yang dinyatakan pada penjelasan umum UUPPLH angka 6 sebagai berikut : “Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan”.

Ultimum mengandung makna paling akhir atau terakhir, sedangkan kata remedium ditemukan berasal dari kata remedy yang mengandung makna obat atau memperbaiki. Apabila ultimum remedium dikaitkan dengan penegakan hukum pidana lingkungan, maka harus dimaknai bahwa hukum administrasi dinyatakan tidak berhasil barulah hukum pidana didayagunakan sebagai upaya terakhir dalam memperbaiki lingkungan. Dengan demikian dalam kerangka operasionalisasi hukum pidana dikaitkan dengan asas ultimum remedium jauh lebih tegas dibandingkan operasionalisasi asas subsidiaritas pada UUPLH. Hanya saja UUPPLH sangat membatasi dengan delik formil (yang berkaitan dengan hukum administrasi) tertentu saja, padahal masih banyak delik formil yang lain namun justru hukum pidana didayagunakan secara primum remedium.

4. Asas Subsosialitas

Makna asas subsosialitas (subsocialiteit) adalah hakim dapat tidak menjatuhkan pidana walaupun terdakwa telah terbukti dan dinyatakan bersalah, jika delik itu terlalu ringan atau melihat keadaan pada waktu perbuatan dilakukan atau sesudah perbuatan dilakukan. Asas subsosialitas ini berkaitan langsung dengan asas ultimum remedium.

Menurut Syahrul Machmud dalam hukum pidana modern, terhadap terdakwa tidak selalu dijatuhi pidana penjara, karena banyak hukuman alternatif lain yang dapat diterapkan pada terdakwa, hal ini telah tercantum dalam RUU-KUHP. Meski demikian di Indonesi belum diterapka hukum pidana modern, terbukti dari UUPPLH yang baru, selalu menerapka pidana penjara pada terdakwa, bahkan kepada pejabat yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dapat dipidana penjara pula. Sehingga akibatnya seluruh lembaga pemasyarakatan kelebihan penghuni (over capacity). Keadaan semacam ini sesungguhnya kurang menguntungkan bagi perkembangan hukum pidana itu sendiri.

(4)

5. Asas In Dubio Pro Reo

Sejak UUPPLH diundangkan pada 3 oktober 2009, maka telah terjadi perubahan undang-undang pada hukum lingkungan. Apakah penggantian asas subsidiaritas oleh asas ultimum remedium dapat mempengaruhi penerapan delik formal pada penegakan hukum pidana lingkungan. Bagaimana perlakuan hukum pidana terhadap perubahan undang-undang tersebut.

Sanksi pidana pada UUPPLH lebih berat bila dibandingkan dengan UUPLH, karena pada UUPPLH dikenal sanksi minimal dan denda minimal serta sanksi pidana yang jauh lebih berat bila dibandingkan dengan UUPLH. Demikian pula perlakuan terhadap delik formal kecuali pada pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi, dan baku mutu gangguan, semuanya diterapkan langsung hukum pidana atau hukum pidana difungsikan primum remedium. Sedangkan pada UUPLH pada delik formal hukum pidana difungsikan secara ultimum remedium.

Dengan demikian bila pelanggaran hukum lingkungan dilakukan sebelum UUPPLH diundangkan, maka pelanggarnya tetap dikenakan UUPLH karena lebih ringan, hal ini dikenal dengan asas in dubio pro reo atau dikenakan hal yang menguntungkan/meringankan terdakwa.

B.Penegakan Hukum Pidana Lingkungan (environmental enforcement)

Makna penegakan hukum atau law enforcement atau rechthandhaving khususnya terhadap penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam Seminar Hukum Nasional 1980 dinyatakan : “Penegakan hukum pidana diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/ negara, korban dan pelaku”.

Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembentuk UU yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu. Dengan kata lain penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan hukum menjadi kenyataan.

Pengertian penegakan hukum lingkungan menurut Tim Penyusun Kebijaksanaan Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Lingkungan Hidup Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, bahwa penegakan hukum lingkungan hidup adalah tindakan untuk menerapkan perangkat hukum melalui upaya pemaksaan sanksi hukum guna menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan lingkungan hidup.

Menurut Soerjono Soekanto agar upaya penegakan hukum berjalan dengan baik dan sempurna, maka paling sedikit harus ada empat faktor yang harus dipenuhi :

1. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri. 2. Petugas yang menerapkan atau menegakkan.

3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaedah hukum. 4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.

Agar penegakan hukum dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan, maka keempat elemen tersebut harus berjalan seiring dan serasi. Karena masing-masing elemen saling menunjang dan melengkapi, sehingga bila salah satu elemen kurang serasi maka akan sangat mempengaruhi elemen lainnya, dan terjadilah ketimpangan dalam upaya penegakan hukum tersebut.

Terhadap elemen ketiga tentang fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kaedah hukum, ternyata pemerintah pusat maupun pemerintah daerah belum mengganggarkan dana khusus untuk melakukan uji klinis atas limbah yang dibuang oleh pihak industri secara teratur. Karena penanggulangan masalah lingkungan memerlukan dana yang cukup besar, selain penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi lingkungan serta managemen lingkungan, dan oleh karenanya diperlukan sarana dan prasarana yang cukup memadai. Perlu disadari bahwa penegakan hukum lingkungan lebih spesifik dan rumit, maka agar penegakan hukum lingkungan ini dapat berdaya guna dan berhasil guna perlu didukung oleh laboratorium yang memadai dengan tenaga yang profesional, serta dukungan dana yang tidak kecil. Dengan demikian aparat penegak hukum administrasi dapat melakukan tugas dan fungsinya secara teratur sehingga dapat dicegah kerusakan lingkungan sebelum semakin menjadi rusak/parah. Kenyataan yang terjadi selama ini adalah, manakala masyarakat telah resah akibat alam tercemar, barulah aparat pemerintah tururn tangan.

Kelemahan dari keempat faktor tersebut terhadap masalah lingkungan jelas sangat besar pengaruhnya, kelemahan tersebut menjadikan penegakan hukum lingkungan kita semakin tidak berdaya.

Sedangkan Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa penegakan hukum mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karenanya dihadapkan pada masalah yang kompleks, baik pada tahap aplikasinya maupun pada tahap formulasi. Karena kondisinya tidak steril maka dalam proses penegakannya juga dapat dihinggapi berbagai permasalahan baik yang positif maupun negatif, dipengaruhi oleh berbagai kepentingan baik kepentingan pembuat Undang-undang, kepentingan pelaksana Undang-undang, dan kepentingan dari unsur-unsur yang terdapat di dalam proses penegakan hukum tampaknya memegang peran dominan.

(5)

Istilah pidana dalam tulisan ini terfokus pada penegakan hukum pidana berkaitan dengan asas susidiaritas atau asas ultimum remedium yang berkaitan dengan asas precautionary yang memiliki sifat khas, berbeda dengan penerapan hukum pidana biasa.

Penegakan hukum pidana lingkungan merupakan serangkaian kegiatan dalam upaya tetap mempertahankan lingkungan hidup dalam keadaan lestari yang memberi manfaat bagi generasi masa kini dan juga generasi masa depan. Upaya tersebut sangat komplek dan banyak sekali kendala dalam tataran aplikatif.

Penerapan hukum pidana dikaitkan dengan asas subsidiaritas yang diganti asas ultimum remedium dengan delik formil, maka hukum administrasi harus didayagunakan terlebih dahulu. Apabila penegakan hukum administrasi tidak efektif barulah penegakan hukum pidana didayagunakan.

Khusus untuk UUPPLH pengaturan tentang penyidik lingkungan diatur dalam pasal 94 dan pasal 95. Pasal 94 UUPPLH menyebutkan :

Ayat (1) :Selain Penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyelidikan tindak pidana lingkungan hidup.

Ayat (4) : Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup sudah dinyatakan tidak efektif, dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat, dan/atau perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat”. penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan.

Ayat (5) : Penyidik pejabat pegawai negeri sipil meberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia

Ayat (6) : Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.

Pasal 95 UUPPLH menyebutkan :

Ayat (1) : Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.

Oleh karena itu penegakan hukum pidana lingkungan pada dasarnya dapat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu tahapan pre-emtive, tahapan preventif dan tahapan represif. Tahapan pre-emtive adalah suatu proses antisipatif di mana upaya deteksi lebih awal berbagai faktor pencetus pencemarandan/atau perusak lingkungan. Tahapan preventif adalah serangkaian tindakan nyata dengan tujuan pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Tahapan represif adalah penindakan dari aparat penegak hukum pidana terhadap pelaku atas pelanggaran hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan

.

3. METODOLOGI

Penelitian hukum ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif. "Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum kepustakaan, yaitu dengan meneliti bahan pustaka sebagai data sekunder. Tipe penelitian hukum normatif didasari oleh kerangka konsepsional dan kerangka teoritis, juga terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematik hukum dan taraf sinkronisasi vertikal maupun horisontal."

4. PEMBAHASAN

Asas subsidiaritas dalam UU No. 23 Tahun 1997 yang lalu telah dihapus pada UU No. 32 Tahun 2009, diganti dengan asas ultimum remedium.

Asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi hukum lain, seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup sudah dinyatakan tidak efektif, dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat, dan/atau perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat”.

Dalam pasal 30 UU No 23 Tahun 1997 di sebutkan bahwa :

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undangundang ini.

3. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

(6)

Sedangkan dalam pasal 84 UU No. 32 Tahun 2009 dinyatakan bahwa :

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa. (3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang

dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Asas ultimum remedium mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan”.

Asas ini lebih dipertegas pemaknaannya dalam pasal 100 ayat (2) UUPPLH yaitu, setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan baru dapat dipidana, jika sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali mengapa tidak dilakukan tindakan penegakan hukum administrasi sebagai upaya preventif, tetapi langsung diterapkan hukum pidana. Kelemahan mendasar ini dapat dipastikan pada penegakan hukum pidana pada UUPPLH akan mengalami hambatan seperti pada UUPLH yang lalu.

Namun bila dicermati penjelasan umum UUPPLH pada angka 6 tentang asas ultimum remedium tetap mengandung kelemahan mendasar. Karena penjelasan umum dalam UUPPLH sangat tidak memadai untuk dijadikan pedoman dalam tataran aplikatif. Karena dalam tataran aplikatif sangat diperlukan aturan pelaksana yang sangat jelas dan detail dan harus dihindarkan multi tafsir atau debattable dalam memaknai suatu ketentuan. Kelemahan dalam tataran formulatif tersebut jelas akan menimbulkan banyak masalah pada tataran aplikatif, seperti tidak adanya kepastian hukum dan akan banyak menimbulkan masalah pada bidang koordinasi antar institusi terkait dalam penanganan masalah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.

UUPPLH mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana terhadap delik formil tertentu sebagai upaya terakhir, setelah hukum administrasi dianggap gagal atau pelanggaran telah dilakukan lebih dari satu kali. Konsekuensi yuridis dari kata wajib ini adalah batal demi hukum bila tidak ditaati. Konkritisasi dari hukum administrasi dianggap gagal tersebut, tidak ada penjelasan lebih lanjut.

5. PENUTUP Kesimpulan

1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Di pengadilan melalui hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Di luar pengadilan melalui mediasi, litigasi dan arbitrasi.

2. Asas subsidiaritas yang diatur dalam UU no 23 Tahun1997 (UUPLH) telah diubah menjadi asas ultimum remedium seperti yang ditegaskan dalam UU No 32 Tahun 2009. Pada dasarnya kedua asas tersebut sama yaitu tidak langsung menerapkan sanksi pidana dalam penegakan hukum lingkungan. Perbedaannya asas subsidiaritas merupakan preventif dalam penegakan hukum pidana lingkungan, tetapi asas ultimum remedium dapat langsung diterapkan apabila pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali terhadap baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan.

3. Asas ultimum remedium mempunyai kelemahan yaitu dalam penafsiran penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil karena sanksi administrasi terdiri dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan.

Saran

1. Penegakan hukum lingkungan hendaknya dilakukan secara optimal baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan,sehingga kasus penecenaran dan atau perusakan lingkungan dapat ditekan.

2. Asas subsidiaritas dan asas ultimum remedium masih perlu disosialisasikan agar lebih dapat di pahami penerapannya

3. Harus ada kejelasan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum administrasi sehingga ada kepastian berapa kali dan berapa lama tindakan administrasi baru dapat dikatakan tidak berhasil. Apakah setelah mendapat teguran tertulis sebagai sanksi administrasi yang paling rendah dan tidak dipatuhi sudah dinyatakan dianggap tidak berhasil ? Bagaimana pula makna pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali, apakah cukup dua kali saja ataukah tiga kali atau lebih.

(7)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, 2005 Mardiasmo, Perpajakan, ANDI, Yogyakarta, 2000

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, 2005

Philipus M. Hadjon, (Koordinator Tim), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005

Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, PT. Eresco, Bandung, 1974

, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, PT. Eresco, Bandung, 1977 , Asas dan Dasar Perpajakan I, PT. Eresco, Bandung, 1992

, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT. Eresco, Bandung, 1992

R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung, 2003 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi

Indonesia, Alumni, Cetakan Ketiga, Bandung, 1997

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, CV. Rajawali, Jakarta, 1985

Syofrin Syofyan, Asykur Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Refika Aditama, Bandung, 2004 Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, ANDI, Yogyakarta, 2002

Victor Situmorang, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1989

B. PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 60, Tambahan Lembaran Negara No 3839.

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah,

Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 73, Tambahan Lembar Negara No. 3848.

Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Kantor Bersama Samsat Bojonegoro, Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No. 13 Tahun 2001 tentang Pajak

Kendaraan Bermotor

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur No. 14 Tahun 2001 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 38 Tahun 2007 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2007

Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Timur No. 237 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Gubernur Jawa Timur No. 38 Tahun 2007

Keputusan Kepala Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Timur No. 344 Tahun 2007 tentang Penambahan dan

Penegasan Pedoman Nilai Jual Kendaraan Bermotor untuk Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Surat Keputusan Bersama Kepala Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Timur Bojonegoro, Kepala Kepolisian (Kasat Lantas) Resort Bojonegoro dan Kepala PT. Jasa Raharja (Persero) Perwakilan Bojonegoro, No. 065/95/101.331/2008, No. Skep/06/II/2008 dan No. P/R/03/II/2008 tentang Standar Pelayanan Publik

Kantor Bersama Samsat Bojonegoro C. MAKALAH DAN ARTIKEL

Akhmad Sukardi, “Sambutan Tertulis” Selaku Kepala Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Timur, disampaikan dalam Rapat pembahasan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, dengan tema Peningkatan PAD Ditekankan Pada

Perbaikan Sistem Pemungutan, Surabaya, September 2004

Bagir Manan, “Peranan Hukum Administrasi Negara Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”, Makalah disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara , Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang,1996

Laica Marzuki, “Peraturan Kebijaksanaan (Bleidsregel) Hakikat serta Fungsinya Suatu Sarana Hukum

Pemerintahan”, makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara di

Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 1996

Maria Emilia Retno K, Budaya Kepastian Hukum dan Pengaruhnya terhadap

Perubahan Perundang-undangan Pajak, Buletin Pro Justisia, Andira Bandung, Tahun XVIII Nomor 2

April 2000

Sjachran Basah,“Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara”, Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke XXIX di Universitas Pajajaran, Bandung, 1986

(8)

PELAYANANAN PUBLIK DI DAERAH OTONOM BARU

(Studi Pelayanan Bidang Pendidikan dan Kesehatan)

Muhammad Chusnul Khitam

Abstract

Creating of new local government area seems to be an indispensable part in the implementation of Indonesian local government. As real as, the mentioned have to bring positive impact in the field of socio-cultural, public service, development of economics, defense, security and national integration. Based on some earlier research results, it appears that in principle, besides triggered by effect of administrative problem, area economics and politics, slack weaknesses of public servic in new local government area also often emerge because service infrastructure, peripheral of area (human resource) and service budget. Consequently , the essence of decentralizing as an attempt to close government to people and increase efficiency and effectiveness public service inclined neglected. This Research discuss two main problems: 1) Condition of a health and education service in Tana Tidung and also peoples opinion about the service which have exist in this time. 2) What should be done by government for improving service.

Keyword : government, public service, education and healthy

A. Pendahuluan

Salah satu poin penting yang sangat terkait dengan pelaksanaan desentralisasi pemerintahan dihampir semua negara adalah kecenderungan terjadinya pembentukan daerah otonom baru (pemekaran daerah). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nordholt dan Klinken (2009 : 25) Pemekaran daerah adalah salah satu aspek yang paling mencolok dalam proses desentralisasi. Mengapa pembentukan daerah otonom baru? Lalu apa kaitannya dengan aspek pelayanan publik?

Tana Tidung sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran dari Kabupaten Bulungan tentu tidak lepas dari berbagai permasalahan pelayanan publik (khususnya). Apalagi dalam pandangan banyak orang termasuk peneliti, pembentukan daerah ini cenderung kuat muatan politisnya, mulai dari gonjang-ganjing pembentukan Propinsi Kalimantan Utara yang “terancam” pasca batalnya Kabupaten Berau sebagai “peserta”, hingga besarnya potensi sumber daya alam wilayah tersebut (Kabupaten Tana Tidung) terutama sejak masuknya beberapa perusahaan batu bara dibeberapa wilayah. Oleh karena itu, wajar saja banyak yang meragukan eksistensi pemerintah daerah setempat dalam memberikan pelayanan publik bila melihat kondisi obyektif disana khususnya terkait kesiapan daerah baik dari segi sumber daya aparatur, hingga kondisi wilayah. Menurut Fitrani, Hofman dan Kaiser sebagaimana dikutip oleh Ratnawati (2009 : 15), dari hasil survey Bank Dunia menunjukkan setidaknya ada empat (4) faktor utama yang mendorong pemekaran wilayah dimasa reformasi, yaitu :

1. Motif untuk efektivitas/efisiensi administrasi pemerintahan mengingat wilayah/daerah yang begitu luas, penduduk yang menyebar dan ketertinggalan pembangunan;

2. Kecenderungan untuk homogenitas (etnis, bahasa, agama, urban-rural, tingkat pendapatan dan lain-lain); 3. Adanya kemanjaan fiscal yang dijamin oleh undang-undang (disediakannya Dana Alokasi Umum / DAU,

bagi hasil Sumber Daya Alam dan disediakannya sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah/PAD); 4. Motif pemburu rente (Bureaucratic and Political Rent-seeking) para elit

Kebijakan pembentukan daerah otonom baru (pemekaran daerah) yang seolah-olah menjadi bagian tak terpisahkan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejatinya harus membawa dampak positif dalam bidang sosio kultural, pelayanan publik, pembangunan ekonomi, pertahanan, keamanan, dan integrasi nasional. Namun seiring waktu, perjalanan pelaksanaan otonomi daerah sebagai representasi desentralisasi pemerintahan di Indonesia justru ternyata terbukti secara empiris membawa cukup banyak permasalahan terutama bila kita menelaahnya dalam perspektif pelayanan publik. Hal ini bisa dilihat berdasarkan evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang secara umum bisa disimpulkan bahwa aspek pelayanan publik selalu menjadi bagian yang cenderung terabaikan.

Hal ini juga bisa dilihat dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Tanje dalam Retnaningsih et al (2008 : 272 – 275) tentang Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Lemahnya Pelayanan Publik Sektor Pendidikan di Kabupaten

Manggarai Barat. Fakta menunjukkan bahwa Pelayanan Publik khususnya sektor pendidikan disana cenderung

tidak mengalami perbaikan karena masih tetap lemahnya Sumber Daya Manusia (terutama tenaga pengajar/guru) serta rendahnya alokasi dana yang ada. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia (2003 : 21) sebagaimana dikutip oleh Ramdani et al (2003 : 100) menunjukkan bahwa dibeberapa daerah terjadi penurunan

(9)

kualitas pelayanan publik yang cukup parah, seperti yang terjadi di Lombok Timur terkait fasilitas jalan antar kabupaten yang rusak berat, sementara pihak propinsi mengatakan bahwa tidak cukup dana untuk memperbaikinya. Sementara didaerah lain juga terjadi penurunan kualitas pelayanan kesehatan khususnya terkait ketersediaan vaksin untuk mengatasi wabah penyakit.

Beberapa fakta empirik (dari hasil penelitian-penelitian sejenis) seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah terutama terkait tingginya tuntutan pemekaran daerah (pembentukan daerah otonom) baru. Tanpa mengecilkan alasan/dasar tuntutan mereka, harus diakui bahwa kecenderungan tuntutan pemekaran lebih banyak terjadi atas kehendak beberapa aktor saja dengan mengabaikan kepentingan masyarakat yang lebih besar terutama dari aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat didaerah dan tentu saja aspek pelayanan publiknya juga.

Berdasarkan beberapa fakta empiris diatas juga bisa disimpulkan bahwa pada prinsipnya, selain dipicu oleh akibat lemahnya perangkat daerah (Sumber Daya Manusia), anggaran daerah (APBD red) dan infrastruktur, kegagalan daerah otonom baru juga sering muncul karena masalah administratif, politik dan ekonomi daerah. Akibatnya, esensi desentralisasi sebagai upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada publik/masyarakatnya cenderung terabaikan. padahal sebenarnya faktor pelayanan publik ini secara tidak langsung sebenarnya menjadi salah satu kunci penilaian kelayakan kebijakan pemekaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Wilayah.

Ironisnya, meski sudah sangat banyak kajian akademis maupun normatif yang dilakukan didaerah-daerah otonom baru, namun hasilnya sebagian besar tidak memberi nilai tambah yang nyata bagi peningkatan pelayanan publik didaerah, dan kebijakan pembentukan daerah otonom baru nyaris terus saja terjadi. Pemekaran daerah seperti sebuah keniscayaan yang ditutupi oleh topeng kesejahteraan rakyat dan peningkatan kapasitas pemerintahan didaerah. Lalu dimana letak manfaat reformasi pelaksanaan pemerintahan yang semula dipandang sentralis dan dianggap gagal meningkatkan kapasitas daerah jika dibandingkan dengan masa reformasi yang membuka jalan untuk dilaksanakannya pemerintahan yang lebih demokratis jika pada prakteknya kegagalan dalam menjalankan fungsi pembangunan dan pelayanan publik masih terus saja terjadi?

Meski dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 aspek pelayanan publik tidak disebutkan secara eksplisit, namun dari indikator penilaian kelayakan pembentukan daerah otonom baru sebenarnya perhatian atas aspek pelayanan publik bisa dibaca. Namun terlepas dari itu, dengan atau tanpa aturan yang tertulis secara terperinci, pentingnya pelayanan publik yang baik harus diakui sudah menjadi bagian dari tugas pemerintah disemua level. Hal itu bisa dilihat melalui diterbitkannya undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik dan aturan-aturan lain yang menjelaskan tentang itu. Sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah daerah (khususnya) untuk mengabaikan hal itu dengan alasan apapun juga.

Berbagai penelitian dibanyak daerah yang sudah disebutkan diatas sebenarnya menjadi peringatan bagi semua kalangan bahwa pemekaran daerah tidaklah sepenuhnya mampu menjawab tantangan pelayanan publik yang lebih baik. Meski mungkin masih ada faktor lain yang menjadi dasar dilakukannya pemekaran daerah seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan daerah sendiri serta peningkatan rentang kendali atau bahkan tuntutan masyarakat, namun tidak bisa dipungkiri apalagi dihindari bahwa aspek pelayanan publik adalah bagian dari tugas utama pemerintah bersama dengan swasta dengan berbagai mekanisme yang diamanatkan undang-undang. Sehingga secara lebih spesifik, bisa dikatakan bahwa aspek pelayanan publik adalah roh pemerintahan yang menyertai hampir seluruh aktivitas pemerintahan dan harus selalu menjadi perhatian dalam mengambil kebijakan yang terkait kepentingan publik.

B. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Desentralisasi

Desentralisasi berasal dari bahasa latin, yakni de yang berarti lepas dan centrum yang berarti pusat. Sehingga desentralisasi bisa diartikan melepaskan dari pusat. Desentralisasi dalam prakteknya dinegara-negara berkembang menurut Cheema dan Rondinelli (1983 : 14) dapat menjadi sarana untuk mengatasi keterbatasan perencanaan nasional yang dikontrol oleh pusat dengan mendelegasikan kewenangan yang lebih besar untuk perencanaan pembangunan dan manajemen kepada para pejabat yang bekerja di lapangan, dan lebih dekat dengan permasalahan. Sehingga Desentralisasi dalam konteks regional atau lokal memungkinkan petugas / pegawai untuk membuat sendiri rencana pembangunan secara terpisah dan melaksanakan dan program-program sesuai kebutuhan yang berbeda-beda ditiap kelompok. Sehingga secara umum, Cheema dan Rondinelli (1983 : 18) mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi di tingkat lapangan, pemerintah daerah atau organisasi non-pemerintah.

Sedangkan menurut Muttalib dan Ali Khan dalam bukunya “Theory of Local Government”, konsep desentralisasi dalam perspektif pemerintahan lokal adalah bagian dari jenis pendelegasian kewenangan. Yang pada prinsipnya mencakup dimensi politik, legal dan atau administratif (1982:13), yang diwujudkan dalam bentuk delegasi, dekonsentrasi, desentralisasi dan devolusi. Dalam perspektif yang lebih general, Khac Hung dalam

Ichimura dan Bahl (2009 : 228 – 229) , ada lima (5) jenis/tipe desentralisasi yang biasa ditemukan dinegara

(10)

1. Desentralisasi,

Negara memegang kekuasaan yang tidak terkonsentrasi di pusat, tapi para pejabat bertempat tingkat lokal dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

2. Delegasi,

Memberi kewenangan unit pejabat atau bawahan untuk menggunakan kekuatan, atas nama pelaksanaan beberapa tugas-tugas spesifik

3. Devolusi

Memberikan kekuatan kepada unit otonom untuk melaksanakan fungsi 4. Deregulasi

Menurangi aturan praktis dan membuat peraturan baru yang mudah dan berlaku bagi publik untuk diikuti/dilaksanakan

5. Privatisasi

Menempatkan aset dan tugas Negara untuk sementara kepada sektor lain (swasta) agar Negara menjadi lebih bebas untuk fokus pada isu-isu tingkat makro.

Layaknya organisasi swasta, konsep pemerintahan daerah (lokal) adalah bentuk nyata dari penerapan desentralisasi dalam sektor publik. Sebuah organisasi yang melaksanakan desentralisasi diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler (2005 : 283 – 284) memiliki beberapa keunggulan, yaitu :

1. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel daripada yang tersentralisasi; lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah

2. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih efektif daripada yang tersentralisasi 3. Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang tersentralisasi

4. Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih banyak komitmen dan lebih besar produktivitasnya.

2. Pemerintahan Daerah di Indonesia

Menurut Morphet (2008 : 1), pada dasarnya konsep dan pelaksanaan pemerintahan lokal (pemerintahan daerah) mengalami perubahan yang signifikan sejak tahun 1990an. Dalam pandangannya, sebelum tahun 1990an pemerintah lokal dianggap seperti "makhluk" dari undang-undang yang tidak mampu untuk melakukan suatu kegiatan khusus (bertindak kreatif) kecuali atas dasar perintah atau aturan. Namun sekarang perbedaan spesifiknya adalah walaupun mereka tidak memiliki kompetensi, tugas pemerintah daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan wilayahnya, bersama-sama dengan semua kekuatan/potensi yang ada didaerahnya.

Pelaksanaan pemerintahan ditingkat lokal atau daerah di Indonesia pada prinsipnya didasari oleh kebijakan otonomi daerah yang sejak Orde Reformasi menjadi perhatian lebih bagi banyak kalangan, mulai dari birokrat, politisi hingga akademisi. Otonomi daerah pada prinsipnya menurut Wayong (1975 : 74 – 87), Thoha (1985 : 27) dan Fernandez (1992 : 27) sebagaimana dikutip oleh Salam (2007 : 88 – 89) yaitu :

1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri

2. Pendewasaan politik rakyat lokal dan proses mensejahterakan rakyat

3. Adanya pemerintahan lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahannya. Sebaliknya pemerintah bawahan yang meneriman sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut

4. Pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan

Sedangkan Mas’ud Said (2008 : 6) mendefinisikan otonomi daerah sebagai sebuah proses devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintahan propinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata lain, otonomi menurut beliau bisa diartikan sebagai sebuah proses pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

Sementara itu secara normatif menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait pelaksanaan otonomi daerah, dikenal istilah daerah otonom atau daerah yang melaksanakan otonomi daerah. Daerah otonom dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 1 (satu) ayat 6 (enam) dijelaskan selanjutnya yang disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam mengkaji tentang otonomi daerah, menurut Mas’ud Said (2008 : 22) setidaknya ada empat (4) perspektif yang mendasari segi positif otonomi daerah, yakni :

(11)

1. Bahwa otonomi daerah adalah saranan untuk demokratisasi

2. Bahwa otonomi daerah membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemerintahan 3. Bahwa otonomi daerah dapat mendorong stabilitas dan kesatuan nasional

4. Bahwa otonomi daerah memajukan pembangunan daerah.

Secara umum, menurut Mas’ud Said (2008 : 57 – 59) ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan otonomi daerah, yakni pertama, adanya kerangka legal yang memadai, kedua, harus ada dukungan politik, administratif dan keuangan dari level pemerintah pusat, dan ketiga, pemerintah daerah harus memiliki kapasitas dan kesiapan untuk menjalankan kewenangan yang dialihkan kepada mereka. Pentingnya kapasitas pemerintah daerah ini juga diungkapkan oleh Cheema dan Rondinelli (1983 : 299), bahwa pada pokoknya otonomi daerah bisa efektif hanya ketika badan-badan dan pelaku pada level propinsi dan lokal telah mengembangkan kemampuannya untuk melaksanakan secara efektif perencanaan, pengambilan kebijakan dan fungsi-fungsi manajemen yang diserahkan kepada mereka.

3. Hubungan antara Desentralisasi dan Pelayanan Publik

Sebagaimana disebutkan oleh Nordholt dan Klinken (2009 : 25), Pembentukan Daerah Otonom Baru adalah salah satu aspek yang paling mencolok dalam pelaksanaan desentralisasi dalam sebuah negara. Akibatnya, ketika kita berbicara tentang desentralisasi hampir menjadi keniscayaan jika kemudian selalu bersinggungan dengan adanya Pembentukan Daerah Otonom Baru (pemekaran daerah).

Pentingnya aspek pelayanan publik dalam kerangka implementasi otonomi daerah juga disebutkan oleh Syakrani dan Syahriani (2009:17) sebagai bagian dari isu strategis yang harus diperhatikan selain isu-isu lainnya seperti kesejahteraan penduduk, pemberdayaan, peran serta, daya saing daerah, demokrasi serta pemerataan dan keadilan. Senada dengan itu, Kumorotomo dalam Pramusinto dan Purwanto (2009:290) mengatakan bahwa sebenarnya salah satu tujuan dari pelaksanaan desentralisasi adalah untuk mendekatkan pelayan publik pada rakyatnya.

Keterkaitan itu menjadi penting untuk disampaikan karena pada prinsipnya Good Governance yang selama ini menjadi dasar bagi pemerintah dalam upaya meningkatkan kapasitasnya bukan hanya bicara tentang pemerintah saja. Menurut Grindle (2007 : 3), Konsep Good Governance pada dasarnya bukan hanya fungsi dari struktur hubungan antar pemerintah. Sebaliknya, itu merupakan konsekuensi dari peluang baru dan sumber daya, dampak dari kepemimpinan dan motivasi pilihan, pengaruh sejarah sipil dan pengaruh institusi yang membatasi dan memfasilitasi inovasi. Sehingga bila bicara tentang pelaksanaan Good Governance dalam konteks pemerintahan lokal (daerah) maka sudah tentu kita tidak bisa hanya berbicara tentang hubungan internal antar pemerintah saja, tapi juga sangat terkait erat dengan fungsi pemerintahan dalam masyarakat.

Dalam konteks Good Governance ini kedekatan hubungan antara pemerintah dengan pilar lain (Swasta dan termasuk Masyarakat Sipil) berusaha dibangun (terutama dalam konteks ruang publik) dengan berbagai cara seperti salah satunya melalui pelaksanaan desentralisasi (Goran Hyden sebagaimana dikutip oleh Tiihonen, 2004 : 89). Melalui desentralisasi ini diharapkan ada kedekatan yang lebih nyata antara pemerintah dengan masyarakat sehingga diharapkan pemerintah bisa lebih mudah dalam mengetahui, menganalisis dan mengatasi berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat sehingga bisa terwujud pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Menurut Cheema (2007 : 37 – 38), desentralisasi akan meningkatkan efektivitas administrasi publik dan good governance dengan beberapa cara, yakni :

1. Memberikan peluang bagi jaringan kerangka institusional melalui kelompok-kelompok atau individu-individu diberbagai tingkatan sehingga bisa mengelola dirinya sendiri dan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan

2. Desentralisasi dianggap lebih efektif, artinya akuntabilitas pemerintah lebih jelas, begitu juga denga konsekuensinya, bisa meningkatkan akses warga negara terhadap pemerintah terkait pelayanan dan fasilitas publik

3. Desentralisasi mengurangi prosedur dari pemerintah pusat yang cenderung tidak seragam dan terlalu rigid. Sehingga mengandalkan pengetahuan, keahlian dan pengalaman masyarakat lokal

4. Desentralisasi meningkatkan mekanisme check and balance antara pemerintah pusat dan daerah

5. Transfer kewenangan dan sumber daya untuk model dan implementasi program pembangunan ke tingkat lokal akan memberi peluang kepada warga negara untuk berpartisipasi langsung dalam proses pembangunan Pendapat sebada juga diungkapkan oleh Smith (1985:4-5), bahwa desentralisasi secara politik akan membuat pemerintah menjadi lebih dekat pada rakyat sehingga bisa memberikan pelayanan yang lebih baik (Maas, 1959;

D.M.Hill, 1974). Namun penting untuk diketahui bahwa menurut Grindle (2007 : 9), pada dasarnya dalam perspektif

manajemen publik, kualitas pelayanan yang didesentralisasikan sangat bervariasi ditiap daerah. Selain itu, pendanaan dalam struktur (organisasi pelayan publik yang didesentralisasikan) tidak selalu selaras dengan tekanan untuk meningkatkan kinerjanya.

(12)

Tugas pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik memiliki spektrum yang sangat luas. Menurut

Kotler dan Andreasson sebagaimana yang dikutip oleh Dwiyanto (2008 : 179), pada level yang sangat dasar atau

pelayanan dasar, sebagian besar pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat lebih mengarah pada pelayanan berupa jasa daripada produk yang terlihat secara fisik berupa benda (barang-barang yang diproduksi oleh pemerintah). Meski pelayanan publik dari beberapa penjelasan diatas cenderung bersifat satu arah (dari pemerintah), namun menurut Denhardt dan Denhardt ada satu penekanan yang berbeda terkait pelayanan publik. Dalam bukunya yang terkenal New Public Service, Denhardt dan Denhardt (2003 : 81) mengatakan bahwa “In the New Public Service,

the public administration is not the lone arbiter of the public interest. Rather, the public administrator is seen as a key actor within a larger system of governance including citizens, groups, elected representatives, as well as other institutions”. Dari penjelasan tersebut secara sederhana bisa dilihat bahwa peran pemerintah/administrator publik

dalam pelayanan publik adalah sebagai aktor kunci yang dalam sebuah sistem pelayanan publik yang besar, yang didalamnya ada institusi lain, kelompok tertentu, pemimpin terpilih dan tentu saja warga negara.

menurut Bovaird (2003) sebagaimana dikutip oleh Tjiptoherijanto dan Manurung (2010 : 60 – 62) dalam upaya memahami pelayanan publik, ada tiga sudut pandang, yakni :

1. Economics (Ilmu ekonomi)

Dari sudut pandang ilmu ekonomi, pelayanan publik dipahami sebagai pengelolaan pasokan barang/jasa secara langsung atau tidak langsung oleh pemerintah untuk mencapai kesejahteraan sosial dalam kondisi optimal

2. Politician (Politisi)

Dari sudut pandang ini, yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa (partai politik yang berkuasa) agar tetap mendapatkan kepercayaan rakyat, sehingga terus berkuasa.

3. Obligation (Keharusan)

Dari sudut pandang kewajiban, pelayanan publik adalah apa yang diamanatkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sektor publik melakukan pelayanan publik berdasarkan apa yang dirasakan perlu dan diputuskan

Menurut Chris Skelcher (1992) sebagaimana dikutip oleh Nurmandi (2010 : 29), Ide awal pelayanan publik sebenarnya berasal dari sektor swasta yang kemudian ditransformasikan kedalam sektor publik. Namun sebelumnya Old Public Administration (OPA) adalah konsep awal yang mendasari hingga kemudian ada upaya transformasi dari pelayanan sektor swasta yang dikenal dengan New Public Management (NPM) yang dikemukakan oleh Osborn dan

Gaebler dan dikenal dengan Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi). Lalu dalam perkembangannya

pada tahun 2003 muncul gagasan baru tentang pelayanan publik yang sangat menekankan nilai-nilai demokrasi dan keadilan karena sebelumnya (dalam paradigma NPM) hal ini cenderung terabaikan. Paradigma ini dikemukakan oleh Robert dan Janet Denhardt dalam bukunya The New Public Service.

Sebagaimana disebutkan diatas, munculnya paradigma baru dalam pelayanan publik yang dikenal dengan New

Public Service (NPS) yang dikemukakan oleh Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt pada tahun 2003 adalah

upaya untuk memenuhi hak-hak warga negara yang cenderung lemah dan tak terfasilitasi dengan lebih adil dalam paradigma pelayanan publik sebelumnya (New Public Management). Menurut Denhardt dan Denhardt (2003) konsep New Public Service sebenarnya dibangun oleh beberapa prinsip, yakni:

1) Teori-teori Kewarganegaraan Demokratis, 2) Model-model Komunitas dan Masyarakat Sipil, 3) Organisasi yang humanis dan Administrasi Publik Baru, 4) Administrasi Publik Post-modern.

Meski dianggap sebagai salah satu hal yang kompleks, pelayanan publik dalam kerangka pemerintahan lokal menurut Carlson dan Schwarz sebagaimana dikutip oleh Denhardt dan Denhardt (2003 : 61) dilihat kualitasnya berdasarkan prinsip-prinsip :

a. Convenience, atau kenyamanan, yakni untuk mengukur seberapa mudah pelayanan pemerintah itu bisa diakses

dan tersedia bagi warga negara

b. Security, atau keamanan, yakni untuk mengukur bagaimana pelayanan itu tersedia dimanapun sehingga warga

negara merasa aman dan percaya ketika menggunakannya

c. Reliability, atau keandalan, yakni untuk mengukur apakah pelayanan pemerintah tersebut tersedia dengan benar

dan tepat waktu

d. Personal Attention, atau perhatian pribadi, yakni untuk mengukur sejauh mana pegawai memberikan informasi

pada warga negara

e. Problem-solving Approach, atau pendekatan pemecahan masalah, yakni untuk mengukur sejauh mana pegawai

telah bekerja dengan mereka untuk memenuhi kebutuhannya (masyarakat).

f. Fairness, atau keadilan, yakni untuk mengukur apakah warga negara percaya bahwa pelayanan pemerintah

tersedia secara adil bagi semua warga.

g. Fiscal Responsibility, atau tanggung jawab keuangan, yakni untuk mengukur apakah warga negara percaya

(13)

h. Citizen Influence, atau pengaruh warga negara, yakni untuk mengukur apakah warga negara merasa bahwa

mereka bisa mempengaruhi kualitas pelayanan yang mereka terima dari pemerintah lokal.

Dari poin-poin diatas, yang menarik adalah, bahwa secara khusus ini bukanlah sekedar upaya untuk memenuhi harapan warga negara atas pelaksanaan pelayanan publik sesuai standar, seperti ketepatan waktu dan reliabilitas, tetapi pemerintah juga diharapkan bisa memberikan pelayanan secara adil dengan tetap memperhatikan tanggung jawab keuangan yang baik. Warga negara tentunya berharap mereka memiliki peluang/kesempatan untuk bisa mempengaruhi pelayanan yang mereka terima dan kualitas atas pelayanan tersebut.

C. Seting Sosial Penelitian

1. Sejarah Singkat Kabupaten Tana Tidung

Kabupaten Tana Tidung adalah kabupaten termuda di Kalimantan Timur yang pemekarannya diatur dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2007, tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung. Kabupaten Tana Tidung terdiri atas tiga kecamatan yakni Kecamatan Sesayap, Kecamatan Sesayap Hilir dan Kecamatan Tanah Merah. Daerah Otonom Baru ini kemudian disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 10 Juli 2007 dan menjadi Kabupaten ke - 10 atau Daerah Otonom ke -14 di Provinsi Kalimantan Timur dengan dilantiknya Penjabat Bupati Tana Tidung Ir. Zaini Anwar, MM pada tanggal 18 Desember 2007. Setelah dipimpin oleh Pejabat sementara dalam kurun waktu 2 tahun, dilaksanakanlah Pemilihan Kepala Daerah pertama kali yang diikuti oleh delapan pasang calon pada akhir tahun 2009. Bupati terpilih adalah Drs. Undunsyah, M.Si dan Markus Yungking sebagai Wakil Bupati yang dilantik pada tanggal 18 Januari 2010.

Penduduk mayoritasnya adalah Suku Tidung yang mata pencaharian andalannya adalah sebagai nelayan, disamping itu juga bertani dan memanfaatkan hasil hutan. Berdasarkan dokumen dan informasi tertulis maupun lisan yang ada bahwa, tempo dulu dikawasan Kalimantan Timur belahan utara terdapat dua bentuk pemerintahan, yakni : Kerajaan dari Suku Tidung dan Kesultanan dari Suku Bulungan. Kerajaan dari Suku Tidung berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu, Sedangkan Kesultanan Bulungan berkedudukan di Tanjung Palas.

2. Gambaran Umum Kabupaten Tana Tidung

Secara geografis, Kabupaten Tana Tidung memiliki luas wilayah 4.828,58 km2, atau hanya 35,63% dari wilayah Kabupaten Induknya yaitu Kabupaten Bulungan. Secara geografis, Kabupaten ini terletak pada posisi : 3º12 ´02” -3 º 46´ 41” Lintang Utara dan 116º 42 ´ 50” – 117º 49’ 50″ Bujur Timur dan berbatasan langsung dengan :

 Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Nunukan.

 Di sebelah timur berbatasan dengan Laut Sulawesi, Kabupaten Bulungan, dan Kota Tarakan

 Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bulungan dan

 Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Malinau

Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tana Tidung, jumlah penduduk Kabupaten Tana Tidung pada tahun 2010 adalah 20.756 jiwa atau mengalami kenaikan sekitar 25% dari tahun sebelumnya. Sebagaimana dijelaskan diatas, Kabupaten Tana Tidung terdiri atas 3 kecamatan dengan pusat pemerintahan berada di Kecamatan Sesayap. Wilayah kecamatan yang terjauh jaraknya dari pusat pemerintahan (kabupaten) adalah Kecamatan Tanah Merah (biasa dikenal juga dengan sebutan dalam Bahasa Indonesia Kecamatan Tanah Merah).

3. Kondisi Masyarakat dan Potensi Wilayah

Kawasan Kalimantan Timur bagian utara secara umum penduduk aslinya terdiri dari tiga jenis suku bangsa yakni : Tidung, Bulungan dan Dayak yang mewakili tiga kebudayaan yaitu Kebudayaan Pesisir, Kebudayaan Kesultanan dan Kebudayaan Pedalaman. Warga Suku Tidung umumnya terlihat banyak mendiami kawasan pantai dan pulau-pulau, ada juga sedikit ditepian sungi-sungai dipedalaman, umumnya dalam radius muaranya. Warga Suku Bulungan kebanyakan berada di kawasan antara pedalaman dan pantai, terutama dikawasan Tanjung Palas dan Tanjung Selor. Sedangkan suku Dayak kebanyakan mendiami kawasan pedalaman.

Potensi pertambangan batubara dan migas di Kabupaten Tana Tidung sangat besar. Sampai saat ini terdapat 15 perusahaan pertambangan batubara yang telah berinvestasi di Kabupaten Tana Tidung. 8 perusahaan beroperasi di Kecamatan Sesayap Hilir, dan 3 perusahaan beroperasi di Kecamatan Tanah Merah. Dari ke 15 perusahaan tersebut 1 diantaranya sudah melakukan ekspolitasi. Sampai tahun 2009, total luas areal pertambangan batubara yang ada di Kabupaten Tana Tidung saat ini luasnya telah mencapai. 37.708 hektar. Sedangkan hutan di Kabupaten Tana Tidung tahun 2008 mempunyai luas 246.505 hektar yang terbagi kedalam empat kelompok jenis hutan yaitu : hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan lainnya/kawasan budidaya non kehutanan

(14)

D. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dengan lokasi penelitian di Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Timur.

E. Pelayanan Publik, Tantangan dan Harapan Bagi Daerah Otonom Baru 1. Pelayanan bidang Pendidikan di Tana Tidung

Jumlah penduduk usia sekolah (yakni usia 5 – 19 tahun) di Kabupaten Tana Tidung mencapai 5.682 orang, jumlah ini hampir tersebar merata di 3 kecamatan dan 23 desa yang ada di Tana Tidung. Sementara itu jumlah penduduk usia sekolah yang saat ini sedang mengenyam pendidikan (SD, SMP dan SMA) adalah 4.021 orang atau baru menyentuh angka 70,77% dari keseluruhan data penduduk usia sekolah di sana.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga masyarakat, terlihat bahwa tingkat kepuasan terhadap layanan pendidikan masih bersifat variatif, namun dirasa masih kurang. Beberapa masalah utama yang menyebabkan hal ini adalah masih rendahnya kemampuan penerimaan masyarakat terhadap layanan yang sudah disediakan karena faktor jarak dan transportasi.

Sebagaimana diketahui, pelayanan pendidikan adalah urusan wajib pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Maka menjadi sesuatu yang wajar apabila kemudian upaya untuk memaksimalkan peran tersebut dilakukan dengan banyak cara. Mulai dari ketersediaan fasilitas, sumber daya aparatur hingga anggaran. Namun tidak hanya hal tersebut yang mestinya jadi perhatian kita semua yang peduli pada pendidikan. Bagaimanapun tidak bisa ditentang bahwa pendidikan masyarakat adalah komponen utama yang mendukung aspek-aspek kemajuan sebuah daerah. Oleh karena itu, dalam prakteknya aspek-aspek hukum dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan selalu menjadi perhatian terutama sejak lahirnya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yang kemudian diikuti oleh beberapa peraturan pelaksana lainnya.

a. Infrastruktur Pendidikan

Upaya peningkatan pelayanan bidang pendidikan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur pendidikan. Bagaimanapun, sekolah butuh tempat yang representatif dengan kebutuhan agar pelaksanaan belajar bisa lebih maksimal. Namun terkait itu, ketersediaan infrastruktur harus dikaitkan juga dengan kondisi wilayah dan jumlah penduduk usia sekolah yang ada.

Berdasarkan data hasil penelitian, diketahui bahwa ditiap kecamatan hanya ada satu Sekolah Menengah Atas (SMA), sementara itu Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dapat dihitung dengan jari. Hal ini menjadi salah satu alasan bagi pemerintah untuk memprioritaskan pembangunan gedung sekolah baru, rehab gedung sekolah yang sudah ada dan penyediaan sarana belajar lainnya. Untuk itu, mulai tahun 2010 hingga 2014 ditargetkan akan terbangun 20 (dua puluh) unit gedung SD, 10 (sepuluh) unit gedung SMP dan 5 (lima) unit gedung SMA baru.

Berdasarkan data dan hasil pengamatan, bisa dikatakan bahwa sebenarnya infrastruktur pelayanan pendidikan di Tana Tidung adalah salah satu pendukung pelaksanaan pendidikan yang sudah cukup baik saat ini jika dilihat dari rasio jumlah sekolah terhadap jumlah penduduk usia sekolah, termasuk bila dilihat dari kondisi bangunan yang rata-rata sudah baik. Namun bila ditelaah lebih jauh, infrastruktur yang ada pun juga menghambat pelayanan pendidikan yang merata karena masalah akses penduduk terhadap layanan yang masih rendah karena faktor geografis. Maka bila ditinjau dari fokus-fokus yang berkenaan dengan kualitas layanan publik, seperti kehandalan layanan, perhatian pribadi terhadap pengguna layanan dan keadilan layanan, masalah infrastruktur ini menjadi sebuah masalah besar yang sangat tergantung pada ciri khas daerah, termasuk geografis wilayah dan tentunya juga pola hidup masyarakatnya.

b. Sumber Daya Aparatur Layanan

Tenaga pengajar atau guru adalah komponen utama dalam pelayanan pendidikan ditingkat apapun, baik secara formal, informal maupun non formal. Peran dan fungsi guru bahkan lebih penting daripada fisik bangunan sekolah (meski keduanya saat ini tidak bisa serta merta dipisahkan karena saling melengkapi). Maka tidaklah dapat dipungkiri bila kemudian peran guru menjadi salah satu faktor penentu dan sekaligus tolak ukur keberhasilan pembangunan pendidikan disuatu daerah.

Saat ini berdasarkan data dari Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga tahun 2010, diketahui bahwa total jumlah tenaga guru di Kabupaten Tana Tidung adalah 541 (lima ratus empat puluh satu) orang, yang terdiri atas 384 (tiga ratus delapan puluh empat) guru SD, 87 (delapan puluh tujuh) guru SMP dan 70 (tujuh puluh) guru SMA. Oleh karena itu secara sederhana jika guru SD yang berjumlah 384 (tiga ratus delapan puluh empat) dihadapkan pada jumlah murid SD sebanyak 2.624 (dua ribu enam ratus dua puluh empat) orang. Artinya, rasio antara guru dan murid pada tahun 2010/2011 ditingkat SD hingga SMA sudah bisa dikatakan baik, karena rata-rata 1 orang guru mengajar 7 – 10 (tujuh hingga sepuluh) orang siswa.

Sehingga, penting untuk diketahui bahwa pada dasarnya sumber daya aparatur dibidang pelayanan pendidikan di Tana Tidung merupakan pendukung yang sangat signifikan bagi pelayanan pendidikan di sana. Apalagi berdasarkan data yang telah disebutkan, rasio jumlah guru dan murid sudah sangat ideal. Namun karena faktor lain,

Gambar

Gambar 1 : Model Kerangka Pemikiran  Hipotesis
Tabel 9  Descriptive Statistics53,5000 5,52222 10097,680011,17345100VAR00001VAR00002MeanStd

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data menunjukkan bahwa varietas berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun, umur berbunga jantan, umur berbunga betina, umur panen, jumlah biji per

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan pelatihan perawatan lansia dengan sakit kronis di rumah bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan caregiver

Bangunan ini berdasarkan pada struktur tata ruang tidak berbeda dengan struktur ruang tradisional Kudus, yaitu dalem sebagai pusat, jogosatru berada di depan dan

[r]

Dina Pasanggiri Aprésiasi Basa, Sastra, jeung Seni Daérah tingkat Jawa Barat nu diayakeun ku Balai Pengembangan Bahasa Daerah dan Kesenian(BPBDK) Dinas Pendidikan Jawa Barat

Tema pertama pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan

Bahwa, puncak perselisihan tersebut terjadi pada bulan Desember tahun 2010 disebabkan Pengugat dan Tergugat bertengkar, penyebanya Penggugat menemukan barang NARKOBA di

BP3A&KB Kabupaten Lamandau mempunyai tugas pokok yaitu membantu Bupati dalam Penyelenggaraan Pemerintah dibidang Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan