• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB)."

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR

YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

(Studi Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb)

SKRIPSI

OLEH:

MOH. LATHIF MUZAKKI NIM. C03212020

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM

SURABAYA

(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR

YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

(Studi Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb)

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah dan Hukum

Oleh:

Moh. Lathif Muzakki NIM. C03212020

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari

ah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam perkara No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb dan bagaimana analisis pertimbangan Hakim terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam perkara No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam putusan Nomor. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb adalah tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang berjenis sepeda motor beroda dua dengan digerakkan oleh sebuah mesin. Pencurian dilakukan pada waktu malam di sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama. Dalam tindak pidana tersebut, terdakwa anak dikenakan Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 dengan ancaman hukuman selama-lamanya 9 (sembilan) tahun. Sedangkan dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 81 ayat (2) memuat ketentuan bahwa pidana penjara yang dikenakan kepada terdakwa anak maksimum ½ (satu per dua) dari ancaman pidana penjara orang dewasa. Namun dalam pertimbangan hukum Hakim menetapkan bahwa terdakwa anak SY dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dikarenakan dalam persidangan tidak diketemukan adanya alasan-alasan pemaaf serta mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Dengan kata lain, Hakim dalam menjatuhkan vonis hukuman pidana penjara terhadap terdakwa anak selama-lamanya 1 (satu) tahun mencerminkan bahwa Hakim lebih mengedepankan aspek psikologis anak dengan mengesampingkan aspek kriminologis tindak pidana yang dilakukan. Dalam

hukum Islam terdakwa anak dikenakan hukuman ta’zi>r dikarenakan tidak

memenuhi syarat hukuman ha>d, yakni pencuri tersebut mencuri sebatas nisab

yang nilainya telah mencapai seperempat dinar (4,25 gram emas) dari tempat penyimpanan harta yang rahasia.

(8)

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II KONSEP YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK PADA PUTUSAN NO. 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB ... 20

A. Pertimbangan Hukum Hakim ... 20

(9)

xi

1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak ... 26

2. Asas-asas Sistem Peradilan Pidana Anak ... 29

3. Substansi Sistem Peradilan Pidana Anak ... 29

C. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak ... 36

D. Tindak Pidana Pencurian ... 39

1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian ... 39

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan ... 41

BAB III DESKRIPSI KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NO. 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB ... 45

A. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Bale Bandung ... 45

B. Wewenang Pengadilan Negeri Bale Bandung ... 46

C. Deskripsi Kasus Putusan No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb .. 47

1. Kasus Posisi ... 48

2. Tuntutan Penuntut Umum ... 50

3. Dakwaan Penuntut Umum ... 51

D. Pertimbangan Hukum Hakim... 56

1. Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) ... 56

2. Pertimbangan Hakim ... 58

3. Amar Putusan ... 61

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB ... 63

A. Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor yang Dilakukan Oleh Anak ... 63

(10)

xii

BAB V PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak sebagai bagian warga negara yang harus dilindungi, karena mereka

merupakan generasi bangsa dimasa yang akan datang dan akan melanjutkan

kepemimpinan bangsa Indonesia. Dalam Pasal 28 (B) ayat (2)

Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan dalam pandangan hukum Islam

perlindungan anak sangat diwajibkan, sebagaimana setiap anak Adam

dipandang suci dan mulia. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isra’ ayat 70:

اَنْقَلَخ ْنٍَِِِْْثَك ىَلَع ْمُهَ نْلَضَفَو ِتَبِيَطلا َنِم مُهَ نْ قَزَرَو ِرْحَبْلاَو ِرَ بْلا ِِ ْمُهَ نْلََََو َمَداَء َِِْب اَنْمَرَك ْدَقَلَو

ً ْيِضْ َ

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,

Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna

atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (al-Isra’ : 70).1

Oleh karena itu anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan

negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang

secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas

1 Kementrian Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Pustaka agung Harapan,

(12)

2

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.2

Perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak walaupun kadangkala sama

dengan kejahatan yang dilakukan orang dewasa, tidak berarti sanksi yang

diberikan juga sama. Anak tetaplah anak yang tentu saja masih mengalami

proses perkembangan fisik, mental, psikis dan sosial menuju kesempurnaan

seperti yang dimiliki orang dewasa.

Kenakalan remaja merupakan perilaku jahat/dursila, atau

kejahatan/kenakalan anak-anak muda, yakni gejala sakit (patalogi) secara

sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk

pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian

tingkah laku yang menyimpang.3 Sedangkan perbuatan pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

sanksi beruapa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut.4

Sebagaimana kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari

waktu ke waktu, hal ini menunjukkan bahwa kejahatan terjadi dan

berkembang dalam lingkungan kehidupan manusia. Dalam kenyataan

sekarang, setiap warga negara di dunia tidak terlepas dari tindakan kriminal,

khususnya Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya pemberitaan di

berbagai media massa dan yang hebohnya lagi kejahatan itu dilakukan oleh

2 Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum (Catatan Pembahasan Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak ), (Sinar Grafika: Jakarta Timur, 2013), 236.

3 Kartini Kartono, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, (Rajawali Pers: Jakarta, 1992), 7.

(13)

pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status

hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi dewasa atau menjadi

seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri

terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan

oleh anak itu.5

Dipaparkan dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 1 ayat (3) anak yang berkonflik

dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah

berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun

yang diduga melakukan tindak pidana.6

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak, yang disebut anak adalah orang yang

dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.7

Lain halnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mengenai

pertanggungjawaban pidana anak hanya dikenakan kepada anak yang

umurnya belum berusia 16 (enam belas) tahun, hakim boleh memerintahkan

5 Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya,

(Yogyakarta: Kanisius, 1984), 26.

6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(14)

4

supaya terdakwa anak dikembalikan kepada kedua orang tuanya,

walinya/pemeliharanya dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.8

Pencurian yang dilakukan oleh terdakwa anak dengan inisal “SY” masih

berusia 17 Tahun, yang terjadi di daerah Bale Bandung kabupaten Bandung.

Dikategorikan sebagai pencurian dengan pemberatan karena telah melanggar

pasal 363 KUHP ayat (1) ke-3 dan ke-4, yaitu pencurian kendaraan bermotor

pada malam hari di pekarangan tertutup yang dilakukan oleh dua orang

secara bersama-sama.

Istilah pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang

dikualifikasikan, menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan

cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat

dan karenanya dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa.

Dalam putusan No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb yang dikaji dalam skripsi

adalah pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak di bawah

umur yang dikenakan pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 KUHP, yakni

pencurian pada malam hari di pekarangan tertutup yang dilakukan oleh dua

orang secara bersama-sama.

Oleh karena itu, pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang

dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan

cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka

pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan

(15)

5

pemberatan harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk

pokoknya.

Agama Islam melindungi harta, karena harta adalah bahan pokok untuk

hidup. Islam juga melindungi hak milik individu manusia, sehingga hak milik

tersebut benar-benar merupakan hak milik yang aman. Dengan demikian,

Islam tidak menghalalkan seorang merampas hak milik orang lain dengan

dalih apapun.9

Dalam hukum Islam, tindak pidana pencurian hukumnya adalah ha>d,

perbuatan pidana tertentu, jenis, dan bentuk hukumannya telah ditentukan

dan ditetapkanoleh syara’ dan tidak dapat ditambah atau dikurangi, serta

telah memenuhi syarat-syaratnya. Sanksi lainya adalah ta’zi>r yang berlaku

bagi pencurian yang tidak memenuhi atau kurang persyaratannya.

Anak tetaplah anak, dengan segala ketidakmandiriannya yang ada

mereka sangatlah membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang

dewasa dan di sekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak yang harus

diimplementasikan dalam kehidupan dan penghidupan mereka.10

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah

berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus

bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai

subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali

masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak

9 Sayyid sabiq, Fikih Sunah 9, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1984), 213.

10 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),

(16)

6

Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun

manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur

materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.11

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak sekaligus memberikan

perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, pemerintah telah

menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, yang selanjutnya disingkat UU SPPA. Dalam

substansinya memuat semangat mengedepankan upaya pemulihan secara

berkeadilan dan menghindarkan anak dari proses peradilan dengan cara

diversi yang melalui pendekatan keadilan restoratif pada sistem peradilan

pidana anak.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem

yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara, yang salah satunya adalah

dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice)

melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah

Undang-Undang semata, tetapi juga memodifikasi sistem peradilan pidana yang ada.

Sehingga semua tujuan yang dikehendaki oleh hukumpun tercapai, salah satu

bentuk mekanisme restorative justice tersebut adalah dialog di kalangan

masyarakat Indonesia yang lebih dikenal dengan sebutan "musyawarah

untuk mufakat”. Sehingga diversi khususnya melalui konsep restorative

(17)

7

justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam

menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.12

Perdamaian dengan melakukan musyawarah untuk mufakat sebagai

salah satu cara untuk menjaga hak seorang anak yang berhadapan dengan

hukum. Mereka adalah amanah Tuhan Yang Maha Esa yang patut dijaga dan

dirawat, agar keberlangsungan hidup, tumbuh dan kembang mereka tetap

terjaga sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, harkat dan martabat

yang melekat pada dirinya harus dijaga tanpa anak tersebut meminta.

Belakangan ini, kasus anak yang berhadapan dengan hukum sudah

melekat di kalangan masyarakat umum, lebih-lebih pada kasus pencurian

kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Seperti halnya

yang terjadi di daerah Cisauk, Tangerang, dimana dua anak dibawah umur

menjadi geng spesialis pencurian sepeda motor. Seorang di antaranya

ditembak polisi karena melawan saat hendak ditangkap.13

Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para

pelaku tindak pidana, Over Capacity rutan dan lapas malah berimbas pada

banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas.

Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masivnya jumlah tahanan

narapidana, lapas seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam

memasyarakatkan kembali para narapidana tersebut, malahan fungsi lapas

12 Ridwan Mansyur, “Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem

Peradilan Pidana Anak”, dalam https://www.mahkamahagung.go.id, ”diakses pada” 21 April

2016.

13 Davit Setyawan, KPAI: Anak Terlibat Kriminalitas karena Terinspirasi Lingkungan tak

Ramah Anak”,

(18)

8

bergeser sebagai Academy of Crime, tempat dimana para narapidana lebih

diasah kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.14

Dalam paragraf ketiga pada penjelasan bagian umum UU SPPA,

mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan

terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib

disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan umum.

Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili

pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah

anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak umum,

keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar

jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan

restoratif.15

Oleh karena itu keadilan restoratif sebagai tujuan pelaksanaan diversi

pada sistem peradilan pidana anak harus diterapkan secara komprehensif,

yang mana lebih menekankan musyawarah untuk mufakat khususnya dalam

menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum.

Dalam putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung dengan Nomor Perkara

1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb. Hakim tunggal T.M.Limbong menetapkan

bahwa penjatuhan vonis kepada terdakwa anak dengan hukuman pidana

penjara selama 1 tahun tanpa masa percobaan. Dalam hal ini sudah adanya

unsur pemaaf antara pihak pelaku dan korban dalam proses penyidikan, akan

14 Jecky Tengens, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana di Indonesia, dalam

http://www.hukumonline.com, ”diakses pada” 21 April 2016.

(19)

9

tetapi belum terikat secara tertulis dan pihak korban meminta kepada hakim

untuk melanjutkan proses hukum yang berlaku, dengan alasan agar

menimbulkan efek jera terhadap terdakwa anak untuk tidak mengulangi

perbuatannya lagi.16

Adanya unsur pemaaf bukan berarti terdakwa secara langsung terbebas

dari tuntutan pidana yang berlaku. Dalam pertimbangan hukum Hakim pada

putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb, Hakim memandang bahwa

terdakwa anak mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatannya dan

menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa anak dengan hukuman

pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan mempertimbangkan pada Pasal

363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 KUHP Jo. Pasal 193, 197 KUHAP Jo.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Oleh karena itu, dalam hal ini penulis sangat tertarik untuk mengkaji

lebih dalam mengenai kasus tersebut di atas dengan menggunakan “Analisis

Yuridis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor yang

Dilakukan oleh Anak pada Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor

1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb”.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berdasarkan dari pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapat

dipahami bahwa identifikasi masalah yang akan diteliti adalah sebagai

berikut :

16 Penetapan Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung dengan Nomor Perkara

(20)

10

1. Hak anak dalam kesejahteraan keberlangsungan hidup.

2. Batas usia pertanggungjawaban Pidana Anak.

3. Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan

hukum

4. Unsur-unsur tindak pidana pencurian

5. Dasar pertimbangan hukum Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri

Bale Bandung Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan dikaji

dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi

permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak

dalam perkara No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

2. Analisis yuridis pertimbangan Hakim terhadap tindak pidana pencurian

kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam perkara No.

1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

C. Rumusan Masalah

Terkait pemaparan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis

dapat menyimpulkan bahwa inti dari pembahasan masalah sudah dirumuskan

dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan

(21)

11

2. Bagaimana analisis yuridis pertimbangan Hakim terhadap tindak pidana

pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam perkara

No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka dimaksudkan untuk mengkaji hasil penelitian yang

relevan dengan penulis. Sejauh penelusuran, penulis menemukan tiga skripsi

yang variabelnya hampir sama dengan yang penulis teliti. Berikut verifikasi

skripsinya :

Suwandi17, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Sepeda

Motor yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Nomor.

09/Pid.Sus/2014/PN.Jnp), bahwa pada skripsi tersebut penulis hanya

menguraikan tentang tindak pidana pencurian biasa yang dilakukan oleh

anak di bawah umur karena melanggar Pasal 363 ayat (2) KUHP, yaitu

pencurian pada ada kebakaran letusan banjir, gempa bumi, atau gempa laut,

gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api,

huru-hara, pemberontakan atau kesengsaraan di masa perang.

Selvia Renida18, Praktik Penyidikan Tindak Pidana Pencurian

Kendaraan Bermotor (CURANMOR) Oleh Anak Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi

17 Suwandi, Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Pencurian Sepeda Motor yang Dilakukan

Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Nomor:09/Pid.Sus/2014/PN.Jnp), (Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2015)

18 Selvia Renida, Praktik Penyidikan Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor

(22)

12

Kasus di Polsek Tanjung Karang Barat), bahwa pada skripsi tersebut penulis

hanya menguraikan pada proses penyidikan terhadap tindak pidana

pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak.

Dari pemaparan terkait pemabahasan skripsi di atas yang mana

variabelnya hampir sama dengan penulis, dalam hal ini penulis belum

menemukan pembahasan pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan

hukuman pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Oleh

karena itu, dalam pembahasan ini penulis lebih menekankan pada analisis

yuridis terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang

dilakukan oleh anak pada putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor

1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb, yang mana pencurian kendaraan bermotor

dalam KUHP dikategorikan dalam pencurian dengan pemberatan atau

pencurian yang dikualifikasikan karena melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3

dan ke-4 KUH Pidana.

E. Tujuan Penelitian

Sebagaimana tujuan penelitian ini untuk menjawab pokok penelitian

yang sudah diajukan dalam rumusan masalah, maka tujuan penelitian dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang

(23)

13

2. Untuk mengetahui analisis yuridis pertimbangan Hakim terhadap tindak

pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam

perkara No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

F. Kegunaan Hasil Penilitian

Berkaitan dengan judul di atas, maka inti pembahasan penelitian

mempunyai dua jenis aspek kegunaan, diantaranya:

1. Kegunaan keilmuan (teoritis)

Sebagai upaya bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan,

khususnya di bidang hukum positif yang berkaitan dengan

pertanggungjawaban tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang

dilakukan oleh anak, sehingga dapat memperluas wawasan dan wacana

dalam pengembangan ilmu khususnya di bidang ilmu hukum.

2. Kegunaan terapan (praktis)

Sebagai argumentasi hukum yang diperlukan agar mendapat daya

guna yang diharapkan bagi penegak hukum demi terwujudnya keadilan

yang kondusif, terutama dalam menangani anak yang berhadapan

dengan hukum dalam pandangan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional ini memberikan batasan-batasan tentang pengertian

(24)

14

1. Yuridis: menurut hukum, secara hukum, dan dari segi hukum.19 Dalam

penelitian ini adalah terkait analisis dengan menggunakan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

KUHP dan KUHAP serta Hukum Islam.

2. Pencurian kendaraan bermotor, yakni tindakan mengambil suatu barang

milik orang lain dengan maksud untuk dimilikinya tanpa sspengetahuan

orang lain. Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 362 KUHP yang

dimaksud pencurian adalah barang siapa yang mengambil barang sesuatu

yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk

dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan

pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak

enam puluh rupiah.20 Sedangkan kendaraan bermotor adalah sesuatu

yang merupakan kendaraan yang menggunakan mesin atau motor untuk

menjalankannya.21 Kendaraan bermotor di sini, berjenis sepeda motor

yang beroda dua dengan digerakkan oleh sebuah mesin.

3. Anak adalah seseorang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak

pidana.22 Sebagaimana yang termuat dalam putusan Pengadilan Negeri

Bale Bandung Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb, bahwa terdakwa

masih berusia 17 tahun. Dalam hal ini, batas usia terdakwa masih

19 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (Jakarta: Wipress, 2007), 516.

20 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 128.

21 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 478.

22 Lihat di Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 212 tentang Sistem Peradilan Pidana

(25)

15

dikategorikan anak di bawah umur, yang mana sesuai dengan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif

dengan jenis penelitian deskriptif analitis dan pengumpulan data melalui

metode penelitian pustaka (library research).

1. Data yang dikumpulkan

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka data

yang diperlukan dalam penelitian ini adalah terkait data yang perlu

dihimpun untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah,

meliputi:

a) Pertimbangan hukum Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Bale

Bandung Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

b) Pertanggungjawaban pidana pencurian kendaraan bermotor yang

dilakukan oleh anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan, yakni KUHP, KUHAP dan

Hukum Islam.

2. Sumber data

Dalam hal ini, sumber data yang diperlukan terdiri dari dua data

(26)

16

a. Sumber primer

Sumber primer yang digunakan oleh peneliti dalam skripsi ini

adalah:

1) Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor

1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder yang diperoleh sebagai pelengkap atau

penunjang dari sumber primer, yakni:

1) Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja

dan Penanggulangannya.

2) Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana.

3) Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di

Indonesia.

4) Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di

Indonesia.

5) Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum (Catatan

Pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak).

(27)

17

3. Teknik pengumpulan data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini,

maka dipergunakan teknik sebagai berikut:

a. Studi dokumentasi, yakni teknik pengumpulan data yang tidak

lansung ditunjukkan pada subjek penelitian, dengan melalui

dokumen, atau melalui berkas yang ada. Dokumen yang akan diteliti

adalah putusan Pengadilan Negeri Nomor Bale Bandung Nomor

1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

b. Studi Kepustakaan, yakni teknik pengumpulan data yang bersumber

dari buku, perundang-undangan, dan jurnal berdasarkan topik

permasalahan yang telah dirumuskan dan kemudian dilakukan

penulisan secara sistematis dan komprehensif.

4. Teknik pengolahan data

Penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan semua data yang

penulis dapatkan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu pemerikasaan kembali terhadap semua data yang

telah diperoleh teruatama dari segi kelengakapan, kevalidan,

kejelasan makna, keselarasan, dan kesesuaian antara data primer

maupun data sekunder.23

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data yang telah

diperoleh.24 Dalam hal ini berkaitan dengan analisis yuridis terhadap

23 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 1996), 50

(28)

18

tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh

anak.

c. Analyzing, yaitu menganalisis data-data yang telah diperoleh.25

Sebagaimana dapat ditarik kesimpulannya dengan menggunakan

analisis konsep yuridis.

5. Teknis analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analisis, yakni dengan cara memaparkan mengenai sanksi

hukuman yang diputuskan dalam kasus pencurian oleh Pengadilan

Negeri Bale Bandung secara keseluruhan, mulai dari deskripsi kasus,

sampai dengan isi putusan.

Adapun pola pikir yang digunakan dalam mengolah data yang telah

dikumpulkan adalah dengan cara deduktif, yakni menarik kesimpulan

dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan

konkret yang bersifat khusus.26 Dalam hal ini, penulis akan

mengemukakan teori konsep yuridis yang bersifat umum kemudian

ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus dari hasil penelitian yang

dilakukannya.

I. Sistematika Pembahasan

Agar dapat dipahami permasalahan dalam skripsi ini secara sistematis

dan lebih terarah, maka pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang

25 Ibid.,.50.

(29)

19

masing-masing bab mengandung sub bab, sehingga tergambar keterkaitan

yang sistematis. Untuk itu sistematika pembahasannya dibagi sebagai

berikut:

Bab I penulis mengemukakan dengan pendahuluan yang meliputi latar

belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,

kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi

operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II terkait dengan teori konsep yuridis pertimbangan Hakim dalam

tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak.

Bab III lebih menekankan pada pembahasan pertimbangan hukum

Hakim pada putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor

1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

Bab IV penulis akan menguraikan tentang analisis yuridis terhadap

tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak pada

putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor

1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.

Bab V menguraikan tentang kesimpulan dan saran terkait pembahasan

(30)

BAB II

KONSEP YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN

OLEH ANAK PADA PUTUSAN NO 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB

A. Pertimbangan Hukum Hakim

Masalah anak melakukan tindak pidana dapat mudah dipahami, yakni

melanggar ketentuan dalam Peraturan Hukum Pidana yang ada, misalnya

melanggar Pasal-pasal yang diatur dalam KUHP atau peraturan hukum

pidana lainnya yang tersebar di luar KUHP, seperti tindak pidana narkotika,

tindak pidana ekonomi, dan sebagainya.1

Pada penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa kebebasan dalam melaksanakan

wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas Hakim adalah untuk

menegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, sehingga putusanya

mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Pada prinsipnya, tugas Hakim

adalah menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain.

Namun, Hakim tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila

perkaranya sudah dimulai atau diperiksa.2

Oleh karena itu, Hakim memiliki kebebasan mandiri dalam menjatuhkan

sanksi pidana penjara terhadap anak yang melakukan perbuatan melawan

1 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 1997), 36.

2 Sudarto. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum

(31)

21

hukum. Kebebasan tersebut adalah mutlak dan tidak ada suatu pihak

manapun yang dapat mengintervensi dalam menjatuhkan putusan. Hal ini

bertujuan untuk menjamin agar putusan pengadilan benar-benar obyektif.

Kebebasan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap anak

sebagai pelaku tindak pidana pencurian juga harus berpedoman terhadap

batasan maksimum dan juga minimum serta kebebasan yang dimiliki harus

senantiasa berdasarkan atas rasa keadilan baik terhadap terdakwa, korban,

serta masyarakat luas. Selain itu putusan pengadilan oleh Hakim harus dapat

dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.3

Secara tertulis dalam hukum pidana kita tidak pernah dijumpai aturan

yang menggariskan suatu pedoman yang dipakai landasan oleh Hakim

sebagai dasar pertimbangan dalam penjatuhan hukuman pidana penjara

sehingga cenderung membawa konsekuensi karena tidak adanya landasan

hukum berpijak bagi Hakim sebagai pedoman di dalam memberikan dasar

pertimbangan tersebut. Oleh karena itu yang menjadi dasar pertimbangan

Hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap anak yang terpenting

adalah pertimbangan yuridis yakni menarik fakta-fakta dalam persidangan

yang timbul yang merupakan konklusi dari keterangan para saksi dan

keterangan terdakwa anak dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di

sidang pengadilan. Setelah itu barulah pertimbangan subjektif Hakim atau

keyakinannya dengan dasar Moral Justice dan Social Justice, serta asas

3 Rara Kristi Aditya Mutiaramadani, Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi

Pidana Penjara terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Teori

Pemidanaan (Studi di Pengadilan Negeri Mojokerto)” (Skripsi, Tesis atau Disertasi [--]

(32)

22

keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum atau pertimbangan

non yuridis.4

Moral Justice berarti Hakim mendasari pertimbangan dalam mengadili

dan memutus perkara tindak pidana anak selain memperhatikan hukum

positif, harus juga memperhatikan faktor kriminologi, sosiologi dan

psikologi. Dari sisi sosiologis perkembangan anak, dasar yang

melatarbelakangi seorang anak untuk melakukan tindak pidana adalah

kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Sedangkan dari

aspek psikologis, anak bisa dikategorikan sebagai manusia yang belum

cakap, dalam artian dalam memutuskan untuk melakukan perbuatan, pikiran,

kejiwaan dan alam sadarnya lebih didorong oleh faktor emosionalnya, bukan

logika berpikirnya yang sempurna selayaknya orang dewasa. Oleh karena itu

anak nakal cenderung berasal dari keluarga yang tidak harmonis dimana sang

anak mencontoh perbuatan dari orang-orang terdekatnya yaitu keluarga.5

Aspek berikutnya adalah Social Justice, dimana Hakim tidak hidup di

singgasana melainkan hidup bersosialisasi dengan masyarakat lingkungannya

yang bersifat heterogen. Dengan demikian Hakim dalam menegakan hukum

positif (law in book) dapat mewujudkan keadilan sosial (law in action),

sehingga putusan Hakim dalam perkara tindak pidana anak berdimensi

memberikan keadilan yang bermanfaat demi kepentingan anak tersebut juga

kepada lingkungan sosialnya termasuk orang tua serta masyarakat

sekitarnya. Fakta-fakta dalam persidangan dan asas-asas tersebutlah yang

4 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (PT. Alumni: Bandung, 2009), 93.

(33)

23

menjadi dasar apakah cukup adil hukuman pidana yang dijatuhkan dengan

perbuatan yang dilakukan.6

Oleh karena itu, sebelum menjatuhkan putusan pidana bagi anak yang

terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sesuai dengan Pasal

362, 363, 364, dan 367 KUHP, Hakim anak terlebih dahulu

mempertimbangakan hal-hal yang meringankan maupun yang memberatkan

sebagai dasar pertimbangan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim anak di

Pengadilan Negeri Bale Bandung, antara lain:7

1. Hal yang meringankan

a) Latar belakang pendidikan terdakwa

Apabila seorang anak sedang menempuh pendidikan sekolah,

maka Hakim akan mempertimbangkan berapa lama terdakwa

dipidana. Tentu saja jumlah pidananya lebih ringan karena terdakwa

harus menyelesaikan pendidikannya.

b) Latar belakang keluarga

Seorang anak yang latar belakang keluarganya berpendidikan

serta keluarga baik-baik tentu saja putusan pidana penjaranya lebh

ringan dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga broken

home.

6 Ibid.,94.

7 Rara Kristi Aditya Mutiaramadani, Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi

(34)

24

c) Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan

Hakim akan meringankan sanksi nai terdakwa apabila sopan

selama persidangan berlangsung.

d) Latar belakang perbuatan terdakwa

Ditinjau dari apakah terdakwa mencuri kaena desakan ekonomi

atau karena iseng.

e) Terdakwa belum pernah dihukum

Tentu saja sanksi yang dijatuhkan jauh lebih ringan dibandingkan

dengan terdakwa yang pernah berhadapan dengan hukum.

f) Riwayat hidup terdakwa baik

Apabila berdasarkan hasil penelitian dari sumber terpercaya

sekitar tempat tinggal maupun pergaulan terdakwa menyatakan

bahwa terdakwa memiliki kebiasaan yang baik dalam kehidupan

sehari-hari, maka hal tersebut dapat dijadikan oleh Hakim sebagai

pertimbangan dalam memperingan sanksi pidana bagi terdakwa.

g) Terdakwa mengakui perbuatannya

Hakim akan meringankan sanksi bagi terdakwa yang mengakui

perbuatannya.

2. Hal yang memberatkan

a) Perbuatan tersebut dilakukan berulang kali

Apabila terdakwa residivis maka sanksi pidana penjara yang

diberikan jauh lebih berat supaya terdakwa anak menjadi jera dan

(35)

25

b) Latar belakang pendidikan terdakwa

Berdasarkan pernyataan Purnama, terhadap terdakwa yang tidak

menempuh pendidikan, sanksi pidana penjara lebih lama karena

terdakwa sedang tidak memiliki tanggung jawab dalam

menyelesaikan pendidikannya.

c) Latar belakang keluarga

Hakim memiliki pertimbangan bahwa baik anak dari latar

belakang keluarga yang kurang memberikan perhatian lebih maupun

anak broken home memiliki keterbatasan kasih sayang sehingga

terbentuk karakter sebagai anak nakal dan rentan untuk melakukan

perbuatan melawan hokum dengan harapan sanksi yang diberikan

mampu mengubah karakter anak menjadi lebih baik.

d) Terdakwa sempat menikmati hasil curian

Apabila terdakwa sempat menikmati hasil curian barang milik

korban yang dimiliki secara melawan hukum maka hal tersebut

menjadi pertimbangan bagi Hakim untuk memperberat sanksi pidana.

e) Riwayat hidup terdakwa buruk

Apabila terdakwa memiliki kebiasaan buruk dalam kehidupan

sehari-hari baik di lingkungan sekolah, tempat tinggal, maupun

pergaulannya yang memberi pengaruh buruk bagi tumbuh kembang

anak dalam bertingkah laku dan tidak ada harapan bahwa perilaku

serta kepribadian anak dapat diperbaiki lagi, maka hal tersebut dapat

(36)

26

f) Terdakwa tidak sopan dalam persidangan

Apabila sikap dan emosional terdakwa anak selama persidangan

berlangsung terpuji, maka hl tersebut dpat eringankan sanksi

terdakwa. Sebab dari sikap danemosiaona terdakwa dapat dilihat

apakah kepribadian terdakwa baik atau buruk.

g) Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian materil bagi korban

Apabila korban mengalami kerugian materil akibat pencurian

yang dilakukan oleh terdakwa anak, hal tersebut berarti bahwa

terdakwa telah menikmati hasil cuian.

h) Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat

Hakim memperberat sanksi pidana bagi terdakwa agar

masyarakat menjadi tenang dan damai.

i) Orang tua tidak sanggup mendidik

Apabila berdasarkan pengakuan dari orang tua terdakwa

menyatakan bahwa sudah tidak sanggup mendidik terdakwa maka

sanksi pidana penjara lebih berat dengan harapan bahwa di dalam

Lembaga Pemayarakatan Anak di Mojokerto, terdakwa anak

mendapatkan pembinaan yang terbaik.

B. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum sangatlah

(37)

27

Anak sudah tidak memadai lagi dalam memberikan solusi terhadap anak

yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan hal tersebut maka DPR RI

bersama Pemerintah Republik Indonesia telah membahas RUU Sistem

Peradilan Pidana Anak pada tahun 2011 sampai dengan 2012. RUU

Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPPA) disampaikan Presiden

kepada Pimpinan DPR-RI dengan Surat No. R-12/Pres/02/2011 tanggal

16 Februari 2011. Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM,

Menteri Sosial, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili Presiden dalam

pembahasan RUU SPPA tersebut. Sementara itu, DPR RI menunjuk

Komisi III untuk melakukan pembahasan RUU SPPA tersebut lebih

lanjut melalui Surat Wakil Ketua DPR RI No. TU.04/1895/DPR

RI/II/2011.8

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari

istilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan

sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan,

yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum,

lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas

pembinaan anak.9

8 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan Undang-undang Sistem

Peradilan Pidana Anak), (Sinar Grafika: Jakarta Timur, 2013), 51.

9 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di

(38)

28

Dalam Pasal 1 Angka (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak

memberikan definisi tentang sistem peradilan pidana anak berupa

keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan

hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan

setelah menjalani pidana.

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan

(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana

utamanya, baik hukum pidana materiil, dan hukum pidana formil

maupun hukum pelaksanaan pidana.10 Sementara Romli Atmasasmita,

membedakan pengertian antara “criminal justice process” dan “criminal

justice system”. Pengertian criminal justice process adalah setiap tahap

dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam

proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya, sedangkan

pengertian criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan

dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.11

Jadi sistem peradilan anak merupakan sistem peradilan pidana,

maka dalam memberikan pengertian sistem peradilan pidana anak,

terlebih dahulu dijelaskan mengenai sistem peradilan pidana. Sistem

peradilan pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme

10 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, 2002), 4.

11 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abosiliosnime,

(39)

29

kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar

“pendekatan sistem”.12

2. Asas-asas Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 2 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak atau lebih dikenal dengan UU SPPA

menyebutkan asas-asas dalam sistem peradilan pidana anak, antara

lain:13

a) Asas perlindungan

b) Asas keadilan

c) Asas nondiskriminasi

d) Asas kepentingan terbaik bagi anak

e) Asas penghargaan terhadap pendapat anak

f) Asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak

g) Asas pembinaan dan pembimbingan anak

h) Asas proporsional

i) Asas perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya

terakhir

j) Asas penghindaran pembalasan

3. Substansi Sistem Peradilan Pidana Anak

Disebutkan dalam bagian penjelasan umum Undang-undang Sistem

Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), memaparkan bahwa penempatan

anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga

Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Sementara subtansi yang paling

mendasar dalam UU SPPA ini adalah pengaturan secara tegas mengenai

keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan

12 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum...,44.

(40)

30

menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari

stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan

diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan yang wajar. Oleh

karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka

mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya

Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan

Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang

terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi

masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala

sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan

masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan

menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.14 Adapun

subtansi sistem peradilan pidana anak dapat dirangkum sebagai

berikut:15

a) Keadilan Restoratif (Pasal 1 Angka (6))

Keadilan restoratif (restorative justice) adalah suatu proses

penyelesaian yang melibatkan pelaku, korban, keluarga

pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama

mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan

kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

14 Penjelasan bagian umum UU SPPA

(41)

31

Termuat dalam Pasal 5 Ayat (1) UU SPPA, bahwa sistem

peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan

restoratif, sebagaimana yang termuat dalam Ayat (2), meliputi:

a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan

peradilan umum.

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan

selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

Dan ditegaskan dalam Ayat (3) bahwa pada huruf a dan b wajib

diupayakan diversi.

b) Diversi (Pasal 1 Angka (7))

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Sebagaimana yang termuat dalam Naskah Akademik RUU

SPPA, bahwa diversi merupakan suatu pengalihan penyelesaian

kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari

proses pidana formal ke penyelesaian damai antara

tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang

difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, pembimbing

kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau Hakim.16

Oleh karena itu tidak semua perkara anak berkonflik dengan

hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan

(42)

32

memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan

restoratif, maka atas perkara anak yang berkonflik dengan hukum

dapat dilakukan diversi demi kepentingan terbaik bagi anak dan

dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban.17

Pada Pasal 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan

tujuan diversi, yakni:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak

b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan

c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan

d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan

e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak

Sebagaimana dalam Pasal 7 Ayat (1) UU SPPA, bahwa pada

tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di

pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.

c) Penjatuhan Sanksi

Menurut UU SPPA Pasal 69 Ayat (2), seorang pelaku tindak

pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yakni berupa hukuman

tindakan bagi pelaku tindak pidana anak yang berumur di bawah 14

tahun, dan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana yang berumur

15 tahun ke atas.

1. Sanksi Tindakan (Pasal 82 UU SPPA)

2. Sanksi Pidana (Pasal 71 UU SPPA)

Sanksi pidana yang dapat dikenakan pelaku tindak pidana

terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan, antara lain:

(43)

Pasal 81 UU SPPA yang berbunyi bahwa:

(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila

keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.

(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada

Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak

berumur 18 (delapan belas) tahun.

(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari

lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

(5) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan

sebagai upaya terakhir.

(6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak

merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

2.2. Pidana Tambahan, meliputi:

- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak

pidana, atau

(44)

34

Dalam hal anak yang belum berumur 12 tahun

melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik,

pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial

profesional mengambil keputusan untuk (Pasal 21 UU

SPPA):

a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali, atau

b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan,

pembinaan, dan pembimbingan di instansi yang menangani bidan kesejahteraan sosial, baik ditingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

d) Hak-hak Anak (Pasal 3 UU SPPA)

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak untuk:

- Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan

kebutuhan sesuai dengan umurnya

- Dipisahkan dari orang dewasa

- Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif

- Melakukan kegiatan rekreasional

- Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang

kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya

- Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup

- Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya

terakhir dan dalam waktu yang paling singkat

- Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif,

tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum

- Tidak dipublikasikan identitasnya

- Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang

dipercaya oleh anak

- Memperoleh advokasi sosial

- Memperoleh kehidupan pribadi

- Memperoleh aksebilitas, terutama bagi anak cacat

- Memperoleh pendidikan

- Memperoleh pelayanan kesehatan, dan

- Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan

(45)

35

e) Penahanan

Dipaparkan dalam Pasal 32 Ayat (2) UU SPPA menyatakan

bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan

syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga

melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun

atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas

telah berakhir, anak wajib dikelurakan dari tahanan demi hukum.

f) Pemeriksaan Terhadap Anak sebagai Saksi atau Anak Korban

Dalam Pasal 58 Ayat (3) UU SPPA memberikan kemudahan bagi

anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di

pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan

keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat

memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman

elektronik yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan

setempat, dengan dihadiri oleh penyidik atau penuntut umum, dan

advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam

perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan

keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat

komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan

cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/wali, pembimbing

(46)

36

g) Hak Mendapatkan Bantuan Hukum

Pasal 23 UU SPPA, anak berhak mendapatkan bantuan hukum

disetiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan.

Sementara dalam Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA, anak saksi/anak

korban wajib didampingi oleh orang tua/wali, orang yang dipercaya

oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan.

Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak

pidana, maka orang tua/walinya tidak wajib mendampingi.

h) Lembaga Pemasyarakatan

Dalam Pasal 86 Ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai

menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan

telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke

lembaga pemasyarakatan pemuda.

C. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak

Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk

kemudian dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud batas usia

adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampanan anak

dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia

(47)

37

secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum

yang dilakukan oleh anak itu.18

Berdasarkan The Beijing Rules, batas usia pertanggungjawaban anak

(the minimum age of criminal responsibility) tidak menetapkan batas usia

minimum untuk dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan pidana yang

dilakukan oleh anak. Untuk dapat dipertanggungjawabkan seorang anak di

negara-negara dunia sangat berbeda-beda bergantung pada latar belakang

sejarah dan kebudayaan masing-masing. Dalam aturan No. 41 The Beijing

Rules, hanya me negaskan bahwa permulaan batas usia pertanggungjawaban

anak janganlah ditetapkan terlalu rendah dengan mengingat faktor

kematangan emosional, mental dan intelektual anak. Lebih lanjut dalam

penjelasannya bahwa berdasarkan pendekatan modern seorang anak

dipertanggungjawabkan atas dasar perbuatannya harus berdasarkan tingkat

kecerdasan dan pemahaman individual anak itu.19

Sebagaimana dalam menentukan batas usia dalam definisi anak maka

kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia anak mengingat

beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang

misalnya: UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

bahwa anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya

dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua

belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan

18 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta:

Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), 24.

19 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Proses Peradilan, dalam

(48)

38

dan pidana, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum usia 18 tahun dan

belum pernah kawin. 20

Sedangkan dalam KUH Pidana Pasal 45, menyatakan bahwa:

Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, Hakim boleh: memerintahkan, supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman atau memerintahkan, supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 417-519, 526, 531, 532, 536 dan 54 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu.

Anak yang berusia 7 (tujuh) tahun tidak dikenakan hukuman ataupun

pengajaran. Namun jika anak berusia 7-15 tahun tidak dikenakan hukum

tetapi dikenakan pengajaran. Jika anak berumur 15 (lima belas) tahun ke atas

maka dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, dalam

syariat Islam diakui bahwa terhadap anak harus dikenakan pidana, tetapi

dapat dikenakan penagajaran (pembinaan).21

Pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan

berpikir dan pilihan. Oleh karena itu perbuatan jarimah yang dilakukan anak

di bawah usia 7 (tujuh) tahun tidak dijatuhi hukuman, baik sebagai hukuman

pidana atau sebagai pengajaran. Akan tetapi dikenakan pertanggungjawaban

20 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum...,9.

(49)

39

perdata, yang dibebankan atas harta milik pribadi, yakni ganti rugi terhadap

harta atau lain.22

Disparitas batas usia pertanggungjawaban pidana anak menjadikan

masalah tersendiri bagi penegak hukum dalam menangani kasus anak yang

berkonflik dengan hukum khususnya di Indonesia. Oleh karena itu,

penetapan batas usia pertanggungjawaban pidana anak yang baru dalam UU

SPPA, sudah seyogyanya mencerminkan kepentingan terbaik bagi anak.

D. Tindak Pidana Pencurian

1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian

Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Buku II KUHP adalah

tindak pidana dalam bentuk pokok-pokok yang memuat semua unsur

dari tindak pidana pencurian (Pasal 362 s.d. Pasal 367, meliputi

beberapa jenis tindak pidana pencurian) sebagai berikut:23

a) Pencurian biasa (Pasal 362)

b) Pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi

(Pasal 363)

c) Pencurian ringan (Pasal 364)

d) Pencurian dengan pemberatan (Pasal 365)

e) Pencurian dalam keluarga (Pasal 367)

22 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 142.

23 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Serta Komentar-komentarnya Lengkap

(50)

40

Disebutkan dalam Pasal 362 KUH Pidana, bahwa yang dimaksud

dengan pencurian adalah barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang

sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan

maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena

pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau

denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah.

Mahmud Saltut berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

pencurian adalah mengambil harta orang lain dengan

sembunyi-sembunyi dan dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga

barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya, definisi tersebut secara

jelas mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang lain yang

dipercayakan kepadanya dari kategori pencurian.24

Sebagaimana pencurian dalam syariat Islam ada dua macam, yaitu

pencurian yang hukumannya ha>d dan pencurian yang hukumannya

ta’zi>r.25 Pencurian yang diancam dengan hukuman ha>d dibagi menjadi

dua, yakni sariqah sug\hra (pencurian kecil/biasa), dan sariqah kubra

(pencurian besar/pembegalan). Yang dimaksud dengan pencurian kecil

adalah pengambilan harta orang lain secara diam-diam, sedangkan

pencurian besar adalah pengambilan harta orang lain secara

terang-terangan atau dengan kekerasan. Pencurian besar disebut pula hirabah.26

24 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000), 83.

25 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 81.

(51)

41

Sedangkan pencurian yang diancam dengan ta~’zi>r ada dua macam,

yakni pertama, pencurian yang diancam dengan h{a>d, namun tidak

memenuhi syarat untuk dapat dilaksanakan ha>d lantaran ada syu}bha>t

(seperti mengambil harta milik sendiri atau harta bersama). Kedua,

mengambil harta dengan sepengetahuan pemiliknya dan membawanya

lari atau menggelapkan uang titipan).27

Sejalan dengan pemaparan di atas bahwa pencurian merupakan

tindakan mengambil suatu barang milik orang lain tanpa sepengetahuan

pemiliknya dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan

Tindak pidana pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan

atau di dalam doktrin juga sering disebut gewualificeerde distal atau

pencurian berkualifikasi, yaitu pencurian dalam bentuk pokok atau

pencurian biasa ditambah dengan unsur-unsur yang memberatkan.28

Pencurian dengan pemberatan diatur dalam pasal 363 KUHP yang dapat

dirumuskan sebagai berikut:

Ayat (1) : Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

Ke-1. Pencurian hewan

Ke-2. Pencurian pada ada kebakaran letusan banjir, gempa

bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau kesengsaraan dimasa perang

27 Ibid.,72.

28 Prasetyo Haribowo, “Tindak Pidana Melakukan Pencurian dengan Pemberatan (Tinjauan

Yuridis terhadap Putusan Perkara Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:

(52)

42

Ke-3. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah

atau pekarangan tertutup yang rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tiada dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak

Ke-4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang

bersama-sama atau lebih

Ke-5. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan

masu ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai

barang untuk diambilnya, dengan jalan

membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu.

Ayat (2) : Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu hal yang tersebut ke-4 dan ke-5, diajtuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Sebagaimana unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan

pemberatan (Pasal 363 KUHP), meliputi:

- Barang siapa;

- Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.

Dalam Pasal tersebut dinamakan pencurian dengan pemberatan atau

pencurian dengan kualifikasi dan diancam hukuman yang lebih berat.

Pencurian dengan pemberatan yakni pencurian biasa yang disertai

dengan salah keadaan sebagai berikut:29

a. Apabila yang dicuri adalah hewan

Dalam Pasal 101 KUHP, yang dikatakan hewan berarti

binatang yang berkuku satu, hewan yang memamah biak dan babi.

Referensi

Dokumen terkait

dimanaperlakuan tersebut mengandung POC kelinci 100% dan samasekali tidak memiliki kandungan nutrisi AB Mix. Sehingga hal tersebut menyebabkan kebutuhan nutrisi akan

Padahal, dalam konteks sebagai produk pemikiran manusia yang lahir dalam ruang historis, status pemikiran-pemikiran Islam (baik di bidang fiqih, kalam, tasawuf) adalah

Hebrank (dalam Shidarta, 2007:1) menyatakan bahwa pedagogi (cara mengajar) menganjurkan untuk suatu pendekatan inkuiri, yang melibatkan siswa secara aktif

Dari beberapa pengertian bimbingan kelompok diatas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang

[r]

109 38Tri Suryanti, “ Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan dengan Penagihan Pajak Sebagai

Jadi rerata empirik < rerata hipotetik yang berarti pada umumnya subyek penelitian mempunyai perilaku delinkuensi yang sedang, dalam arti bahwa dari jumlah subjek

Metode tes digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar matematika pada pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Datar. Teknik tes ini dilakukan setelah perlakuan diberikan