ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Studi Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb)
SKRIPSI
OLEH:
MOH. LATHIF MUZAKKI NIM. C03212020
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM
PRODI HUKUM PIDANA ISLAM
SURABAYA
ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
(Studi Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb)
SKRIPSI
Diajukan kepadaUniversitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum
Oleh:
Moh. Lathif Muzakki NIM. C03212020
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari
’
ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam perkara No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb dan bagaimana analisis pertimbangan Hakim terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam perkara No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam putusan Nomor. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb adalah tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang berjenis sepeda motor beroda dua dengan digerakkan oleh sebuah mesin. Pencurian dilakukan pada waktu malam di sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama. Dalam tindak pidana tersebut, terdakwa anak dikenakan Pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 dengan ancaman hukuman selama-lamanya 9 (sembilan) tahun. Sedangkan dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Pasal 81 ayat (2) memuat ketentuan bahwa pidana penjara yang dikenakan kepada terdakwa anak maksimum ½ (satu per dua) dari ancaman pidana penjara orang dewasa. Namun dalam pertimbangan hukum Hakim menetapkan bahwa terdakwa anak SY dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dikarenakan dalam persidangan tidak diketemukan adanya alasan-alasan pemaaf serta mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Dengan kata lain, Hakim dalam menjatuhkan vonis hukuman pidana penjara terhadap terdakwa anak selama-lamanya 1 (satu) tahun mencerminkan bahwa Hakim lebih mengedepankan aspek psikologis anak dengan mengesampingkan aspek kriminologis tindak pidana yang dilakukan. Dalam
hukum Islam terdakwa anak dikenakan hukuman ta’zi>r dikarenakan tidak
memenuhi syarat hukuman ha>d, yakni pencuri tersebut mencuri sebatas nisab
yang nilainya telah mencapai seperempat dinar (4,25 gram emas) dari tempat penyimpanan harta yang rahasia.
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 10
I. Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II KONSEP YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK PADA PUTUSAN NO. 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB ... 20
A. Pertimbangan Hukum Hakim ... 20
xi
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak ... 26
2. Asas-asas Sistem Peradilan Pidana Anak ... 29
3. Substansi Sistem Peradilan Pidana Anak ... 29
C. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak ... 36
D. Tindak Pidana Pencurian ... 39
1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian ... 39
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan ... 41
BAB III DESKRIPSI KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NO. 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB ... 45
A. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Bale Bandung ... 45
B. Wewenang Pengadilan Negeri Bale Bandung ... 46
C. Deskripsi Kasus Putusan No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb .. 47
1. Kasus Posisi ... 48
2. Tuntutan Penuntut Umum ... 50
3. Dakwaan Penuntut Umum ... 51
D. Pertimbangan Hukum Hakim... 56
1. Laporan Hasil Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) ... 56
2. Pertimbangan Hakim ... 58
3. Amar Putusan ... 61
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB ... 63
A. Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor yang Dilakukan Oleh Anak ... 63
xii
BAB V PENUTUP ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 74
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak sebagai bagian warga negara yang harus dilindungi, karena mereka
merupakan generasi bangsa dimasa yang akan datang dan akan melanjutkan
kepemimpinan bangsa Indonesia. Dalam Pasal 28 (B) ayat (2)
Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan dalam pandangan hukum Islam
perlindungan anak sangat diwajibkan, sebagaimana setiap anak Adam
dipandang suci dan mulia. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Isra’ ayat 70:
اَنْقَلَخ ْنٍَِِِْْثَك ىَلَع ْمُهَ نْلَضَفَو ِتَبِيَطلا َنِم مُهَ نْ قَزَرَو ِرْحَبْلاَو ِرَ بْلا ِِ ْمُهَ نْلََََو َمَداَء َِِْب اَنْمَرَك ْدَقَلَو
ً ْيِضْ َ
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (al-Isra’ : 70).1
Oleh karena itu anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan
negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang
secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas
1 Kementrian Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Pustaka agung Harapan,
2
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas pelindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.2
Perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak walaupun kadangkala sama
dengan kejahatan yang dilakukan orang dewasa, tidak berarti sanksi yang
diberikan juga sama. Anak tetaplah anak yang tentu saja masih mengalami
proses perkembangan fisik, mental, psikis dan sosial menuju kesempurnaan
seperti yang dimiliki orang dewasa.
Kenakalan remaja merupakan perilaku jahat/dursila, atau
kejahatan/kenakalan anak-anak muda, yakni gejala sakit (patalogi) secara
sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk
pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian
tingkah laku yang menyimpang.3 Sedangkan perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
sanksi beruapa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.4
Sebagaimana kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari
waktu ke waktu, hal ini menunjukkan bahwa kejahatan terjadi dan
berkembang dalam lingkungan kehidupan manusia. Dalam kenyataan
sekarang, setiap warga negara di dunia tidak terlepas dari tindakan kriminal,
khususnya Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya pemberitaan di
berbagai media massa dan yang hebohnya lagi kejahatan itu dilakukan oleh
2 Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum (Catatan Pembahasan Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak ), (Sinar Grafika: Jakarta Timur, 2013), 236.
3 Kartini Kartono, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, (Rajawali Pers: Jakarta, 1992), 7.
pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi dewasa atau menjadi
seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan
oleh anak itu.5
Dipaparkan dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 1 ayat (3) anak yang berkonflik
dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.6
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak, yang disebut anak adalah orang yang
dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.7
Lain halnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mengenai
pertanggungjawaban pidana anak hanya dikenakan kepada anak yang
umurnya belum berusia 16 (enam belas) tahun, hakim boleh memerintahkan
5 Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan Penanggulangannya,
(Yogyakarta: Kanisius, 1984), 26.
6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
4
supaya terdakwa anak dikembalikan kepada kedua orang tuanya,
walinya/pemeliharanya dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.8
Pencurian yang dilakukan oleh terdakwa anak dengan inisal “SY” masih
berusia 17 Tahun, yang terjadi di daerah Bale Bandung kabupaten Bandung.
Dikategorikan sebagai pencurian dengan pemberatan karena telah melanggar
pasal 363 KUHP ayat (1) ke-3 dan ke-4, yaitu pencurian kendaraan bermotor
pada malam hari di pekarangan tertutup yang dilakukan oleh dua orang
secara bersama-sama.
Istilah pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang
dikualifikasikan, menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan
cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat
dan karenanya dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa.
Dalam putusan No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb yang dikaji dalam skripsi
adalah pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak di bawah
umur yang dikenakan pasal 363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 KUHP, yakni
pencurian pada malam hari di pekarangan tertutup yang dilakukan oleh dua
orang secara bersama-sama.
Oleh karena itu, pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang
dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan
cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka
pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan
5
pemberatan harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk
pokoknya.
Agama Islam melindungi harta, karena harta adalah bahan pokok untuk
hidup. Islam juga melindungi hak milik individu manusia, sehingga hak milik
tersebut benar-benar merupakan hak milik yang aman. Dengan demikian,
Islam tidak menghalalkan seorang merampas hak milik orang lain dengan
dalih apapun.9
Dalam hukum Islam, tindak pidana pencurian hukumnya adalah ha>d,
perbuatan pidana tertentu, jenis, dan bentuk hukumannya telah ditentukan
dan ditetapkanoleh syara’ dan tidak dapat ditambah atau dikurangi, serta
telah memenuhi syarat-syaratnya. Sanksi lainya adalah ta’zi>r yang berlaku
bagi pencurian yang tidak memenuhi atau kurang persyaratannya.
Anak tetaplah anak, dengan segala ketidakmandiriannya yang ada
mereka sangatlah membutuhkan perlindungan dan kasih sayang dari orang
dewasa dan di sekitarnya. Anak mempunyai berbagai hak yang harus
diimplementasikan dalam kehidupan dan penghidupan mereka.10
Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah
berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus
bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai
subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali
masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak
9 Sayyid sabiq, Fikih Sunah 9, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1984), 213.
10 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
6
Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun
manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur
materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.11
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak sekaligus memberikan
perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, pemerintah telah
menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, yang selanjutnya disingkat UU SPPA. Dalam
substansinya memuat semangat mengedepankan upaya pemulihan secara
berkeadilan dan menghindarkan anak dari proses peradilan dengan cara
diversi yang melalui pendekatan keadilan restoratif pada sistem peradilan
pidana anak.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu acara dan prosedur di dalam sistem
yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara, yang salah satunya adalah
dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice)
melalui suatu pembaharuan hukum yang tidak sekedar mengubah
Undang-Undang semata, tetapi juga memodifikasi sistem peradilan pidana yang ada.
Sehingga semua tujuan yang dikehendaki oleh hukumpun tercapai, salah satu
bentuk mekanisme restorative justice tersebut adalah dialog di kalangan
masyarakat Indonesia yang lebih dikenal dengan sebutan "musyawarah
untuk mufakat”. Sehingga diversi khususnya melalui konsep restorative
7
justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam
menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.12
Perdamaian dengan melakukan musyawarah untuk mufakat sebagai
salah satu cara untuk menjaga hak seorang anak yang berhadapan dengan
hukum. Mereka adalah amanah Tuhan Yang Maha Esa yang patut dijaga dan
dirawat, agar keberlangsungan hidup, tumbuh dan kembang mereka tetap
terjaga sebagai manusia seutuhnya. Oleh karena itu, harkat dan martabat
yang melekat pada dirinya harus dijaga tanpa anak tersebut meminta.
Belakangan ini, kasus anak yang berhadapan dengan hukum sudah
melekat di kalangan masyarakat umum, lebih-lebih pada kasus pencurian
kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Seperti halnya
yang terjadi di daerah Cisauk, Tangerang, dimana dua anak dibawah umur
menjadi geng spesialis pencurian sepeda motor. Seorang di antaranya
ditembak polisi karena melawan saat hendak ditangkap.13
Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para
pelaku tindak pidana, Over Capacity rutan dan lapas malah berimbas pada
banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas.
Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masivnya jumlah tahanan
narapidana, lapas seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam
memasyarakatkan kembali para narapidana tersebut, malahan fungsi lapas
12 Ridwan Mansyur, “Keadilan Restoratif Sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi Pada Sistem
Peradilan Pidana Anak”, dalam https://www.mahkamahagung.go.id, ”diakses pada” 21 April
2016.
13 Davit Setyawan, “KPAI: Anak Terlibat Kriminalitas karena Terinspirasi Lingkungan tak
Ramah Anak”,
8
bergeser sebagai Academy of Crime, tempat dimana para narapidana lebih
diasah kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.14
Dalam paragraf ketiga pada penjelasan bagian umum UU SPPA,
mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan
terhadap anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib
disidangkan di pengadilan pidana anak yang berada di lingkungan umum.
Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili
pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah
anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak umum,
keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar
jalur pengadilan, yakni melalui diversi berdasarkan pendekatan keadilan
restoratif.15
Oleh karena itu keadilan restoratif sebagai tujuan pelaksanaan diversi
pada sistem peradilan pidana anak harus diterapkan secara komprehensif,
yang mana lebih menekankan musyawarah untuk mufakat khususnya dalam
menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung dengan Nomor Perkara
1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb. Hakim tunggal T.M.Limbong menetapkan
bahwa penjatuhan vonis kepada terdakwa anak dengan hukuman pidana
penjara selama 1 tahun tanpa masa percobaan. Dalam hal ini sudah adanya
unsur pemaaf antara pihak pelaku dan korban dalam proses penyidikan, akan
14 Jecky Tengens, “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana di Indonesia”, dalam
http://www.hukumonline.com, ”diakses pada” 21 April 2016.
9
tetapi belum terikat secara tertulis dan pihak korban meminta kepada hakim
untuk melanjutkan proses hukum yang berlaku, dengan alasan agar
menimbulkan efek jera terhadap terdakwa anak untuk tidak mengulangi
perbuatannya lagi.16
Adanya unsur pemaaf bukan berarti terdakwa secara langsung terbebas
dari tuntutan pidana yang berlaku. Dalam pertimbangan hukum Hakim pada
putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb, Hakim memandang bahwa
terdakwa anak mampu mempertanggungjawabkan atas perbuatannya dan
menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa anak dengan hukuman
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dengan mempertimbangkan pada Pasal
363 ayat (1) ke-3 dan ke-4 KUHP Jo. Pasal 193, 197 KUHAP Jo.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Oleh karena itu, dalam hal ini penulis sangat tertarik untuk mengkaji
lebih dalam mengenai kasus tersebut di atas dengan menggunakan “Analisis
Yuridis terhadap Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor yang
Dilakukan oleh Anak pada Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor
1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb”.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan dari pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapat
dipahami bahwa identifikasi masalah yang akan diteliti adalah sebagai
berikut :
16 Penetapan Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung dengan Nomor Perkara
10
1. Hak anak dalam kesejahteraan keberlangsungan hidup.
2. Batas usia pertanggungjawaban Pidana Anak.
3. Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dalam menangani anak yang berhadapan dengan
hukum
4. Unsur-unsur tindak pidana pencurian
5. Dasar pertimbangan hukum Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri
Bale Bandung Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan dikaji
dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi
permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak
dalam perkara No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
2. Analisis yuridis pertimbangan Hakim terhadap tindak pidana pencurian
kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam perkara No.
1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
C. Rumusan Masalah
Terkait pemaparan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa inti dari pembahasan masalah sudah dirumuskan
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan
11
2. Bagaimana analisis yuridis pertimbangan Hakim terhadap tindak pidana
pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam perkara
No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka dimaksudkan untuk mengkaji hasil penelitian yang
relevan dengan penulis. Sejauh penelusuran, penulis menemukan tiga skripsi
yang variabelnya hampir sama dengan yang penulis teliti. Berikut verifikasi
skripsinya :
Suwandi17, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pencurian Sepeda
Motor yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Nomor.
09/Pid.Sus/2014/PN.Jnp), bahwa pada skripsi tersebut penulis hanya
menguraikan tentang tindak pidana pencurian biasa yang dilakukan oleh
anak di bawah umur karena melanggar Pasal 363 ayat (2) KUHP, yaitu
pencurian pada ada kebakaran letusan banjir, gempa bumi, atau gempa laut,
gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api,
huru-hara, pemberontakan atau kesengsaraan di masa perang.
Selvia Renida18, Praktik Penyidikan Tindak Pidana Pencurian
Kendaraan Bermotor (CURANMOR) Oleh Anak Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi
17 Suwandi, Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Pencurian Sepeda Motor yang Dilakukan
Oleh Anak (Studi Kasus Putusan Nomor:09/Pid.Sus/2014/PN.Jnp), (Makassar: Skripsi Universitas Hasanuddin, 2015)
18 Selvia Renida, Praktik Penyidikan Tindak Pidana Pencurian Kendaraan Bermotor
12
Kasus di Polsek Tanjung Karang Barat), bahwa pada skripsi tersebut penulis
hanya menguraikan pada proses penyidikan terhadap tindak pidana
pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak.
Dari pemaparan terkait pemabahasan skripsi di atas yang mana
variabelnya hampir sama dengan penulis, dalam hal ini penulis belum
menemukan pembahasan pertimbangan hukum Hakim dalam menjatuhkan
hukuman pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Oleh
karena itu, dalam pembahasan ini penulis lebih menekankan pada analisis
yuridis terhadap tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang
dilakukan oleh anak pada putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor
1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb, yang mana pencurian kendaraan bermotor
dalam KUHP dikategorikan dalam pencurian dengan pemberatan atau
pencurian yang dikualifikasikan karena melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3
dan ke-4 KUH Pidana.
E. Tujuan Penelitian
Sebagaimana tujuan penelitian ini untuk menjawab pokok penelitian
yang sudah diajukan dalam rumusan masalah, maka tujuan penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang
13
2. Untuk mengetahui analisis yuridis pertimbangan Hakim terhadap tindak
pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak dalam
perkara No. 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
F. Kegunaan Hasil Penilitian
Berkaitan dengan judul di atas, maka inti pembahasan penelitian
mempunyai dua jenis aspek kegunaan, diantaranya:
1. Kegunaan keilmuan (teoritis)
Sebagai upaya bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang hukum positif yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang
dilakukan oleh anak, sehingga dapat memperluas wawasan dan wacana
dalam pengembangan ilmu khususnya di bidang ilmu hukum.
2. Kegunaan terapan (praktis)
Sebagai argumentasi hukum yang diperlukan agar mendapat daya
guna yang diharapkan bagi penegak hukum demi terwujudnya keadilan
yang kondusif, terutama dalam menangani anak yang berhadapan
dengan hukum dalam pandangan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
G. Definisi Operasional
Definisi operasional ini memberikan batasan-batasan tentang pengertian
14
1. Yuridis: menurut hukum, secara hukum, dan dari segi hukum.19 Dalam
penelitian ini adalah terkait analisis dengan menggunakan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
KUHP dan KUHAP serta Hukum Islam.
2. Pencurian kendaraan bermotor, yakni tindakan mengambil suatu barang
milik orang lain dengan maksud untuk dimilikinya tanpa sspengetahuan
orang lain. Sebagaimana yang termuat dalam Pasal 362 KUHP yang
dimaksud pencurian adalah barang siapa yang mengambil barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
enam puluh rupiah.20 Sedangkan kendaraan bermotor adalah sesuatu
yang merupakan kendaraan yang menggunakan mesin atau motor untuk
menjalankannya.21 Kendaraan bermotor di sini, berjenis sepeda motor
yang beroda dua dengan digerakkan oleh sebuah mesin.
3. Anak adalah seseorang yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.22 Sebagaimana yang termuat dalam putusan Pengadilan Negeri
Bale Bandung Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb, bahwa terdakwa
masih berusia 17 tahun. Dalam hal ini, batas usia terdakwa masih
19 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (Jakarta: Wipress, 2007), 516.
20 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 128.
21 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 478.
22 Lihat di Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 212 tentang Sistem Peradilan Pidana
15
dikategorikan anak di bawah umur, yang mana sesuai dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif
dengan jenis penelitian deskriptif analitis dan pengumpulan data melalui
metode penelitian pustaka (library research).
1. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka data
yang diperlukan dalam penelitian ini adalah terkait data yang perlu
dihimpun untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah,
meliputi:
a) Pertimbangan hukum Hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Bale
Bandung Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
b) Pertanggungjawaban pidana pencurian kendaraan bermotor yang
dilakukan oleh anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak serta peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, yakni KUHP, KUHAP dan
Hukum Islam.
2. Sumber data
Dalam hal ini, sumber data yang diperlukan terdiri dari dua data
16
a. Sumber primer
Sumber primer yang digunakan oleh peneliti dalam skripsi ini
adalah:
1) Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor
1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b. Sumber sekunder
Sumber sekunder yang diperoleh sebagai pelengkap atau
penunjang dari sumber primer, yakni:
1) Bambang Mulyono, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja
dan Penanggulangannya.
2) Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana.
3) Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di
Indonesia.
4) Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di
Indonesia.
5) Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum (Catatan
Pembahasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak).
17
3. Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini,
maka dipergunakan teknik sebagai berikut:
a. Studi dokumentasi, yakni teknik pengumpulan data yang tidak
lansung ditunjukkan pada subjek penelitian, dengan melalui
dokumen, atau melalui berkas yang ada. Dokumen yang akan diteliti
adalah putusan Pengadilan Negeri Nomor Bale Bandung Nomor
1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
b. Studi Kepustakaan, yakni teknik pengumpulan data yang bersumber
dari buku, perundang-undangan, dan jurnal berdasarkan topik
permasalahan yang telah dirumuskan dan kemudian dilakukan
penulisan secara sistematis dan komprehensif.
4. Teknik pengolahan data
Penulis akan memaparkan dan mendeskripsikan semua data yang
penulis dapatkan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Editing, yaitu pemerikasaan kembali terhadap semua data yang
telah diperoleh teruatama dari segi kelengakapan, kevalidan,
kejelasan makna, keselarasan, dan kesesuaian antara data primer
maupun data sekunder.23
b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data yang telah
diperoleh.24 Dalam hal ini berkaitan dengan analisis yuridis terhadap
23 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 1996), 50
18
tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh
anak.
c. Analyzing, yaitu menganalisis data-data yang telah diperoleh.25
Sebagaimana dapat ditarik kesimpulannya dengan menggunakan
analisis konsep yuridis.
5. Teknis analisis data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis, yakni dengan cara memaparkan mengenai sanksi
hukuman yang diputuskan dalam kasus pencurian oleh Pengadilan
Negeri Bale Bandung secara keseluruhan, mulai dari deskripsi kasus,
sampai dengan isi putusan.
Adapun pola pikir yang digunakan dalam mengolah data yang telah
dikumpulkan adalah dengan cara deduktif, yakni menarik kesimpulan
dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang bersifat khusus.26 Dalam hal ini, penulis akan
mengemukakan teori konsep yuridis yang bersifat umum kemudian
ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus dari hasil penelitian yang
dilakukannya.
I. Sistematika Pembahasan
Agar dapat dipahami permasalahan dalam skripsi ini secara sistematis
dan lebih terarah, maka pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang
25 Ibid.,.50.
19
masing-masing bab mengandung sub bab, sehingga tergambar keterkaitan
yang sistematis. Untuk itu sistematika pembahasannya dibagi sebagai
berikut:
Bab I penulis mengemukakan dengan pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah,
kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II terkait dengan teori konsep yuridis pertimbangan Hakim dalam
tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak.
Bab III lebih menekankan pada pembahasan pertimbangan hukum
Hakim pada putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor
1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
Bab IV penulis akan menguraikan tentang analisis yuridis terhadap
tindak pidana pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak pada
putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor
1/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Blb.
Bab V menguraikan tentang kesimpulan dan saran terkait pembahasan
BAB II
KONSEP YURIDIS PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN
OLEH ANAK PADA PUTUSAN NO 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.BLB
A. Pertimbangan Hukum Hakim
Masalah anak melakukan tindak pidana dapat mudah dipahami, yakni
melanggar ketentuan dalam Peraturan Hukum Pidana yang ada, misalnya
melanggar Pasal-pasal yang diatur dalam KUHP atau peraturan hukum
pidana lainnya yang tersebar di luar KUHP, seperti tindak pidana narkotika,
tindak pidana ekonomi, dan sebagainya.1
Pada penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa kebebasan dalam melaksanakan
wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas Hakim adalah untuk
menegakan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, sehingga putusanya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Pada prinsipnya, tugas Hakim
adalah menjatuhkan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain.
Namun, Hakim tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila
perkaranya sudah dimulai atau diperiksa.2
Oleh karena itu, Hakim memiliki kebebasan mandiri dalam menjatuhkan
sanksi pidana penjara terhadap anak yang melakukan perbuatan melawan
1 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, 1997), 36.
2 Sudarto. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum
21
hukum. Kebebasan tersebut adalah mutlak dan tidak ada suatu pihak
manapun yang dapat mengintervensi dalam menjatuhkan putusan. Hal ini
bertujuan untuk menjamin agar putusan pengadilan benar-benar obyektif.
Kebebasan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana pencurian juga harus berpedoman terhadap
batasan maksimum dan juga minimum serta kebebasan yang dimiliki harus
senantiasa berdasarkan atas rasa keadilan baik terhadap terdakwa, korban,
serta masyarakat luas. Selain itu putusan pengadilan oleh Hakim harus dapat
dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.3
Secara tertulis dalam hukum pidana kita tidak pernah dijumpai aturan
yang menggariskan suatu pedoman yang dipakai landasan oleh Hakim
sebagai dasar pertimbangan dalam penjatuhan hukuman pidana penjara
sehingga cenderung membawa konsekuensi karena tidak adanya landasan
hukum berpijak bagi Hakim sebagai pedoman di dalam memberikan dasar
pertimbangan tersebut. Oleh karena itu yang menjadi dasar pertimbangan
Hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap anak yang terpenting
adalah pertimbangan yuridis yakni menarik fakta-fakta dalam persidangan
yang timbul yang merupakan konklusi dari keterangan para saksi dan
keterangan terdakwa anak dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di
sidang pengadilan. Setelah itu barulah pertimbangan subjektif Hakim atau
keyakinannya dengan dasar Moral Justice dan Social Justice, serta asas
3 Rara Kristi Aditya Mutiaramadani, “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi
Pidana Penjara terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Teori
Pemidanaan (Studi di Pengadilan Negeri Mojokerto)” (Skripsi, Tesis atau Disertasi [--]
22
keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum atau pertimbangan
non yuridis.4
Moral Justice berarti Hakim mendasari pertimbangan dalam mengadili
dan memutus perkara tindak pidana anak selain memperhatikan hukum
positif, harus juga memperhatikan faktor kriminologi, sosiologi dan
psikologi. Dari sisi sosiologis perkembangan anak, dasar yang
melatarbelakangi seorang anak untuk melakukan tindak pidana adalah
kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Sedangkan dari
aspek psikologis, anak bisa dikategorikan sebagai manusia yang belum
cakap, dalam artian dalam memutuskan untuk melakukan perbuatan, pikiran,
kejiwaan dan alam sadarnya lebih didorong oleh faktor emosionalnya, bukan
logika berpikirnya yang sempurna selayaknya orang dewasa. Oleh karena itu
anak nakal cenderung berasal dari keluarga yang tidak harmonis dimana sang
anak mencontoh perbuatan dari orang-orang terdekatnya yaitu keluarga.5
Aspek berikutnya adalah Social Justice, dimana Hakim tidak hidup di
singgasana melainkan hidup bersosialisasi dengan masyarakat lingkungannya
yang bersifat heterogen. Dengan demikian Hakim dalam menegakan hukum
positif (law in book) dapat mewujudkan keadilan sosial (law in action),
sehingga putusan Hakim dalam perkara tindak pidana anak berdimensi
memberikan keadilan yang bermanfaat demi kepentingan anak tersebut juga
kepada lingkungan sosialnya termasuk orang tua serta masyarakat
sekitarnya. Fakta-fakta dalam persidangan dan asas-asas tersebutlah yang
4 Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (PT. Alumni: Bandung, 2009), 93.
23
menjadi dasar apakah cukup adil hukuman pidana yang dijatuhkan dengan
perbuatan yang dilakukan.6
Oleh karena itu, sebelum menjatuhkan putusan pidana bagi anak yang
terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencurian sesuai dengan Pasal
362, 363, 364, dan 367 KUHP, Hakim anak terlebih dahulu
mempertimbangakan hal-hal yang meringankan maupun yang memberatkan
sebagai dasar pertimbangan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim anak di
Pengadilan Negeri Bale Bandung, antara lain:7
1. Hal yang meringankan
a) Latar belakang pendidikan terdakwa
Apabila seorang anak sedang menempuh pendidikan sekolah,
maka Hakim akan mempertimbangkan berapa lama terdakwa
dipidana. Tentu saja jumlah pidananya lebih ringan karena terdakwa
harus menyelesaikan pendidikannya.
b) Latar belakang keluarga
Seorang anak yang latar belakang keluarganya berpendidikan
serta keluarga baik-baik tentu saja putusan pidana penjaranya lebh
ringan dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga broken
home.
6 Ibid.,94.
7 Rara Kristi Aditya Mutiaramadani, Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi
24
c) Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan
Hakim akan meringankan sanksi nai terdakwa apabila sopan
selama persidangan berlangsung.
d) Latar belakang perbuatan terdakwa
Ditinjau dari apakah terdakwa mencuri kaena desakan ekonomi
atau karena iseng.
e) Terdakwa belum pernah dihukum
Tentu saja sanksi yang dijatuhkan jauh lebih ringan dibandingkan
dengan terdakwa yang pernah berhadapan dengan hukum.
f) Riwayat hidup terdakwa baik
Apabila berdasarkan hasil penelitian dari sumber terpercaya
sekitar tempat tinggal maupun pergaulan terdakwa menyatakan
bahwa terdakwa memiliki kebiasaan yang baik dalam kehidupan
sehari-hari, maka hal tersebut dapat dijadikan oleh Hakim sebagai
pertimbangan dalam memperingan sanksi pidana bagi terdakwa.
g) Terdakwa mengakui perbuatannya
Hakim akan meringankan sanksi bagi terdakwa yang mengakui
perbuatannya.
2. Hal yang memberatkan
a) Perbuatan tersebut dilakukan berulang kali
Apabila terdakwa residivis maka sanksi pidana penjara yang
diberikan jauh lebih berat supaya terdakwa anak menjadi jera dan
25
b) Latar belakang pendidikan terdakwa
Berdasarkan pernyataan Purnama, terhadap terdakwa yang tidak
menempuh pendidikan, sanksi pidana penjara lebih lama karena
terdakwa sedang tidak memiliki tanggung jawab dalam
menyelesaikan pendidikannya.
c) Latar belakang keluarga
Hakim memiliki pertimbangan bahwa baik anak dari latar
belakang keluarga yang kurang memberikan perhatian lebih maupun
anak broken home memiliki keterbatasan kasih sayang sehingga
terbentuk karakter sebagai anak nakal dan rentan untuk melakukan
perbuatan melawan hokum dengan harapan sanksi yang diberikan
mampu mengubah karakter anak menjadi lebih baik.
d) Terdakwa sempat menikmati hasil curian
Apabila terdakwa sempat menikmati hasil curian barang milik
korban yang dimiliki secara melawan hukum maka hal tersebut
menjadi pertimbangan bagi Hakim untuk memperberat sanksi pidana.
e) Riwayat hidup terdakwa buruk
Apabila terdakwa memiliki kebiasaan buruk dalam kehidupan
sehari-hari baik di lingkungan sekolah, tempat tinggal, maupun
pergaulannya yang memberi pengaruh buruk bagi tumbuh kembang
anak dalam bertingkah laku dan tidak ada harapan bahwa perilaku
serta kepribadian anak dapat diperbaiki lagi, maka hal tersebut dapat
26
f) Terdakwa tidak sopan dalam persidangan
Apabila sikap dan emosional terdakwa anak selama persidangan
berlangsung terpuji, maka hl tersebut dpat eringankan sanksi
terdakwa. Sebab dari sikap danemosiaona terdakwa dapat dilihat
apakah kepribadian terdakwa baik atau buruk.
g) Perbuatan terdakwa menimbulkan kerugian materil bagi korban
Apabila korban mengalami kerugian materil akibat pencurian
yang dilakukan oleh terdakwa anak, hal tersebut berarti bahwa
terdakwa telah menikmati hasil cuian.
h) Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat
Hakim memperberat sanksi pidana bagi terdakwa agar
masyarakat menjadi tenang dan damai.
i) Orang tua tidak sanggup mendidik
Apabila berdasarkan pengakuan dari orang tua terdakwa
menyatakan bahwa sudah tidak sanggup mendidik terdakwa maka
sanksi pidana penjara lebih berat dengan harapan bahwa di dalam
Lembaga Pemayarakatan Anak di Mojokerto, terdakwa anak
mendapatkan pembinaan yang terbaik.
B. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Permasalahan anak yang berkonflik dengan hukum sangatlah
27
Anak sudah tidak memadai lagi dalam memberikan solusi terhadap anak
yang berhadapan dengan hukum. Berdasarkan hal tersebut maka DPR RI
bersama Pemerintah Republik Indonesia telah membahas RUU Sistem
Peradilan Pidana Anak pada tahun 2011 sampai dengan 2012. RUU
Sistem Peradilan Pidana Anak (RUU SPPA) disampaikan Presiden
kepada Pimpinan DPR-RI dengan Surat No. R-12/Pres/02/2011 tanggal
16 Februari 2011. Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM,
Menteri Sosial, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi untuk mewakili Presiden dalam
pembahasan RUU SPPA tersebut. Sementara itu, DPR RI menunjuk
Komisi III untuk melakukan pembahasan RUU SPPA tersebut lebih
lanjut melalui Surat Wakil Ketua DPR RI No. TU.04/1895/DPR
RI/II/2011.8
Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari
istilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan
sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan,
yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum,
lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas
pembinaan anak.9
8 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak), (Sinar Grafika: Jakarta Timur, 2013), 51.
9 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di
28
Dalam Pasal 1 Angka (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak
memberikan definisi tentang sistem peradilan pidana anak berupa
keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan
hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan
setelah menjalani pidana.
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan
(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utamanya, baik hukum pidana materiil, dan hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana.10 Sementara Romli Atmasasmita,
membedakan pengertian antara “criminal justice process” dan “criminal
justice system”. Pengertian criminal justice process adalah setiap tahap
dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam
proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya, sedangkan
pengertian criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan
dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.11
Jadi sistem peradilan anak merupakan sistem peradilan pidana,
maka dalam memberikan pengertian sistem peradilan pidana anak,
terlebih dahulu dijelaskan mengenai sistem peradilan pidana. Sistem
peradilan pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme
10 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2002), 4.
11 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abosiliosnime,
29
kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
“pendekatan sistem”.12
2. Asas-asas Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 2 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak atau lebih dikenal dengan UU SPPA
menyebutkan asas-asas dalam sistem peradilan pidana anak, antara
lain:13
a) Asas perlindungan
b) Asas keadilan
c) Asas nondiskriminasi
d) Asas kepentingan terbaik bagi anak
e) Asas penghargaan terhadap pendapat anak
f) Asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak
g) Asas pembinaan dan pembimbingan anak
h) Asas proporsional
i) Asas perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir
j) Asas penghindaran pembalasan
3. Substansi Sistem Peradilan Pidana Anak
Disebutkan dalam bagian penjelasan umum Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), memaparkan bahwa penempatan
anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Sementara subtansi yang paling
mendasar dalam UU SPPA ini adalah pengaturan secara tegas mengenai
keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan
12 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum...,44.
30
menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari
stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan
diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan yang wajar. Oleh
karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka
mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada terciptanya
Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan
Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi
masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala
sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.14 Adapun
subtansi sistem peradilan pidana anak dapat dirangkum sebagai
berikut:15
a) Keadilan Restoratif (Pasal 1 Angka (6))
Keadilan restoratif (restorative justice) adalah suatu proses
penyelesaian yang melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
14 Penjelasan bagian umum UU SPPA
31
Termuat dalam Pasal 5 Ayat (1) UU SPPA, bahwa sistem
peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan
restoratif, sebagaimana yang termuat dalam Ayat (2), meliputi:
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum.
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Dan ditegaskan dalam Ayat (3) bahwa pada huruf a dan b wajib
diupayakan diversi.
b) Diversi (Pasal 1 Angka (7))
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Sebagaimana yang termuat dalam Naskah Akademik RUU
SPPA, bahwa diversi merupakan suatu pengalihan penyelesaian
kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari
proses pidana formal ke penyelesaian damai antara
tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang
difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, pembimbing
kemasyarakatan anak, polisi, jaksa atau Hakim.16
Oleh karena itu tidak semua perkara anak berkonflik dengan
hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan
32
memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan
restoratif, maka atas perkara anak yang berkonflik dengan hukum
dapat dilakukan diversi demi kepentingan terbaik bagi anak dan
dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban.17
Pada Pasal 6 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan
tujuan diversi, yakni:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan
c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak
Sebagaimana dalam Pasal 7 Ayat (1) UU SPPA, bahwa pada
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.
c) Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA Pasal 69 Ayat (2), seorang pelaku tindak
pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yakni berupa hukuman
tindakan bagi pelaku tindak pidana anak yang berumur di bawah 14
tahun, dan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana yang berumur
15 tahun ke atas.
1. Sanksi Tindakan (Pasal 82 UU SPPA)
2. Sanksi Pidana (Pasal 71 UU SPPA)
Sanksi pidana yang dapat dikenakan pelaku tindak pidana
terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan, antara lain:
Pasal 81 UU SPPA yang berbunyi bahwa:
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila
keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat.
(2) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.
(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan sampai Anak
berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu perdua) dari
lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(5) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan
sebagai upaya terakhir.
(6) Jika tindak pidana yang dilakukan Anak
merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
2.2. Pidana Tambahan, meliputi:
- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana, atau
34
Dalam hal anak yang belum berumur 12 tahun
melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik,
pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial
profesional mengambil keputusan untuk (Pasal 21 UU
SPPA):
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali, atau
b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan di instansi yang menangani bidan kesejahteraan sosial, baik ditingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
d) Hak-hak Anak (Pasal 3 UU SPPA)
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak untuk:
- Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan
kebutuhan sesuai dengan umurnya
- Dipisahkan dari orang dewasa
- Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif
- Melakukan kegiatan rekreasional
- Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang
kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya
- Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup
- Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya
terakhir dan dalam waktu yang paling singkat
- Memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif,
tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum
- Tidak dipublikasikan identitasnya
- Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang
dipercaya oleh anak
- Memperoleh advokasi sosial
- Memperoleh kehidupan pribadi
- Memperoleh aksebilitas, terutama bagi anak cacat
- Memperoleh pendidikan
- Memperoleh pelayanan kesehatan, dan
- Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
35
e) Penahanan
Dipaparkan dalam Pasal 32 Ayat (2) UU SPPA menyatakan
bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan
syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga
melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun
atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas
telah berakhir, anak wajib dikelurakan dari tahanan demi hukum.
f) Pemeriksaan Terhadap Anak sebagai Saksi atau Anak Korban
Dalam Pasal 58 Ayat (3) UU SPPA memberikan kemudahan bagi
anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di
pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan
keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat
memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman
elektronik yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan
setempat, dengan dihadiri oleh penyidik atau penuntut umum, dan
advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam
perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan
keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat
komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan
cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/wali, pembimbing
36
g) Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
Pasal 23 UU SPPA, anak berhak mendapatkan bantuan hukum
disetiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan.
Sementara dalam Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA, anak saksi/anak
korban wajib didampingi oleh orang tua/wali, orang yang dipercaya
oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan.
Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak
pidana, maka orang tua/walinya tidak wajib mendampingi.
h) Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 Ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai
menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan
telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke
lembaga pemasyarakatan pemuda.
C. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk
kemudian dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud batas usia
adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampanan anak
dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia
37
secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum
yang dilakukan oleh anak itu.18
Berdasarkan The Beijing Rules, batas usia pertanggungjawaban anak
(the minimum age of criminal responsibility) tidak menetapkan batas usia
minimum untuk dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan pidana yang
dilakukan oleh anak. Untuk dapat dipertanggungjawabkan seorang anak di
negara-negara dunia sangat berbeda-beda bergantung pada latar belakang
sejarah dan kebudayaan masing-masing. Dalam aturan No. 41 The Beijing
Rules, hanya me negaskan bahwa permulaan batas usia pertanggungjawaban
anak janganlah ditetapkan terlalu rendah dengan mengingat faktor
kematangan emosional, mental dan intelektual anak. Lebih lanjut dalam
penjelasannya bahwa berdasarkan pendekatan modern seorang anak
dipertanggungjawabkan atas dasar perbuatannya harus berdasarkan tingkat
kecerdasan dan pemahaman individual anak itu.19
Sebagaimana dalam menentukan batas usia dalam definisi anak maka
kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia anak mengingat
beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang
misalnya: UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
bahwa anak yang masih berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya
dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai umur 12 (dua
belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan
18 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2000), 24.
19 Barda Nawawi Arief, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Proses Peradilan, dalam
38
dan pidana, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum usia 18 tahun dan
belum pernah kawin. 20
Sedangkan dalam KUH Pidana Pasal 45, menyatakan bahwa:
Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, Hakim boleh: memerintahkan, supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman atau memerintahkan, supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 417-519, 526, 531, 532, 536 dan 54 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan, atau menghukum anak yang bersalah itu.
Anak yang berusia 7 (tujuh) tahun tidak dikenakan hukuman ataupun
pengajaran. Namun jika anak berusia 7-15 tahun tidak dikenakan hukum
tetapi dikenakan pengajaran. Jika anak berumur 15 (lima belas) tahun ke atas
maka dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, dalam
syariat Islam diakui bahwa terhadap anak harus dikenakan pidana, tetapi
dapat dikenakan penagajaran (pembinaan).21
Pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan
berpikir dan pilihan. Oleh karena itu perbuatan jarimah yang dilakukan anak
di bawah usia 7 (tujuh) tahun tidak dijatuhi hukuman, baik sebagai hukuman
pidana atau sebagai pengajaran. Akan tetapi dikenakan pertanggungjawaban
20 Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum...,9.
39
perdata, yang dibebankan atas harta milik pribadi, yakni ganti rugi terhadap
harta atau lain.22
Disparitas batas usia pertanggungjawaban pidana anak menjadikan
masalah tersendiri bagi penegak hukum dalam menangani kasus anak yang
berkonflik dengan hukum khususnya di Indonesia. Oleh karena itu,
penetapan batas usia pertanggungjawaban pidana anak yang baru dalam UU
SPPA, sudah seyogyanya mencerminkan kepentingan terbaik bagi anak.
D. Tindak Pidana Pencurian
1. Pengertian Tindak Pidana Pencurian
Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Buku II KUHP adalah
tindak pidana dalam bentuk pokok-pokok yang memuat semua unsur
dari tindak pidana pencurian (Pasal 362 s.d. Pasal 367, meliputi
beberapa jenis tindak pidana pencurian) sebagai berikut:23
a) Pencurian biasa (Pasal 362)
b) Pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi
(Pasal 363)
c) Pencurian ringan (Pasal 364)
d) Pencurian dengan pemberatan (Pasal 365)
e) Pencurian dalam keluarga (Pasal 367)
22 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 142.
23 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Serta Komentar-komentarnya Lengkap
40
Disebutkan dalam Pasal 362 KUH Pidana, bahwa yang dimaksud
dengan pencurian adalah barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang
sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan
maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum, karena
pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau
denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah.
Mahmud Saltut berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
pencurian adalah mengambil harta orang lain dengan
sembunyi-sembunyi dan dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga
barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya, definisi tersebut secara
jelas mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang lain yang
dipercayakan kepadanya dari kategori pencurian.24
Sebagaimana pencurian dalam syariat Islam ada dua macam, yaitu
pencurian yang hukumannya ha>d dan pencurian yang hukumannya
ta’zi>r.25 Pencurian yang diancam dengan hukuman ha>d dibagi menjadi
dua, yakni sariqah sug\hra (pencurian kecil/biasa), dan sariqah kubra
(pencurian besar/pembegalan). Yang dimaksud dengan pencurian kecil
adalah pengambilan harta orang lain secara diam-diam, sedangkan
pencurian besar adalah pengambilan harta orang lain secara
terang-terangan atau dengan kekerasan. Pencurian besar disebut pula hirabah.26
24 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000), 83.
25 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 81.
41
Sedangkan pencurian yang diancam dengan ta~’zi>r ada dua macam,
yakni pertama, pencurian yang diancam dengan h{a>d, namun tidak
memenuhi syarat untuk dapat dilaksanakan ha>d lantaran ada syu}bha>t
(seperti mengambil harta milik sendiri atau harta bersama). Kedua,
mengambil harta dengan sepengetahuan pemiliknya dan membawanya
lari atau menggelapkan uang titipan).27
Sejalan dengan pemaparan di atas bahwa pencurian merupakan
tindakan mengambil suatu barang milik orang lain tanpa sepengetahuan
pemiliknya dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan
Tindak pidana pencurian dengan unsur-unsur yang memberatkan
atau di dalam doktrin juga sering disebut gewualificeerde distal atau
pencurian berkualifikasi, yaitu pencurian dalam bentuk pokok atau
pencurian biasa ditambah dengan unsur-unsur yang memberatkan.28
Pencurian dengan pemberatan diatur dalam pasal 363 KUHP yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Ayat (1) : Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
Ke-1. Pencurian hewan
Ke-2. Pencurian pada ada kebakaran letusan banjir, gempa
bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau kesengsaraan dimasa perang
27 Ibid.,72.
28 Prasetyo Haribowo, “Tindak Pidana Melakukan Pencurian dengan Pemberatan (Tinjauan
Yuridis terhadap Putusan Perkara Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor:
42
Ke-3. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah
atau pekarangan tertutup yang rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tiada dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak
Ke-4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang
bersama-sama atau lebih
Ke-5. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan
masu ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai
barang untuk diambilnya, dengan jalan
membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu.
Ayat (2) : Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu hal yang tersebut ke-4 dan ke-5, diajtuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Sebagaimana unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan
pemberatan (Pasal 363 KUHP), meliputi:
- Barang siapa;
- Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
Dalam Pasal tersebut dinamakan pencurian dengan pemberatan atau
pencurian dengan kualifikasi dan diancam hukuman yang lebih berat.
Pencurian dengan pemberatan yakni pencurian biasa yang disertai
dengan salah keadaan sebagai berikut:29
a. Apabila yang dicuri adalah hewan
Dalam Pasal 101 KUHP, yang dikatakan hewan berarti
binatang yang berkuku satu, hewan yang memamah biak dan babi.