• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU OBSESIF KOMPULSIF DALAM BERIBADAH PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN FATHUL HIDAYAH PANGEAN-MADURANLAMONGAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERILAKU OBSESIF KOMPULSIF DALAM BERIBADAH PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN FATHUL HIDAYAH PANGEAN-MADURANLAMONGAN."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU OBSESIF KOMPULSIF DALAM BERIBADAH PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN FATHUL HIDAYAH

PANGEAN-MADURAN-LAMONGAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyeleseikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Zuzun Tri Ainur Fadhila B07211034

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan tentang perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada santri di pondok pesantren fathul hidayah, Pangean-Maduran-Lamongan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain study kasus pada penderita gangguan obssif kompulsif. Subjek penelitian adalah dua santri putri pondok pesantren Fathul Hidayah di kota Lamongan dengan gangguan obsesif kompulsif sejak usia anak-anak.

Penelitian ini menemukan bahwa Gangguan obsesif kompulsif tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga dapat terjadi sejak anak masih di usia dini. Salah satu penyebab terjadinya perilaku obsesif pada anak-anak adalah pengalaman masa lalu atau konflik masa lalu yang masih belum terseleikan. Orang tua yang menerapkan pola asuh yang berlebihan dan sengaja membebani anak-anak dengan tanggung jawab yang besar, juga dapat memicu timbulnya perilaku obsesif kompulsif terutama dalam hal kebersihan dan peribadatan. Selain itu, penerapan toilet training yang terlalu keras dan pembatasan masa bermain anak juga dapat mempengaruhi perkembangan psikis anak, dimana dalam masa-masa itu anak-anak sangat rentan terhadap rasa bersalah yang pada akhirnya akan memicu penyimpangan psikologis.

Gangguan Obsesif kompulsif tidak hanya terjadi pada perilaku pada umumnya, tetapi dalam islam juga terdapat gangguan obsesif kompulsi yang biasanya disebut dengan was-was. Sistem pembelajaran agama yang terlalu keras justru dapat memicu terjadinya gangguan psikologis pada anak-anak maupun pada remaja.

(5)

ABSTRACT

This research aims to understand and explain the obsessive compulsive behavior in religious at santri in Islamic Boarding School Of Fathul Hidayah Pangean, Maduran Lamongan. The research is the qualitative study with a design study cases in patients obssif compulsive disorder .The subject of research are two santri daughter hut pesantren14 fathul hidayah in the city lamongan with obsessive compulsive disorder since the age of children . This study found that the obsessive compulsive disorder is not only occurs in adults ,but also can occur since children are still in an early age .One cause of the obsessive behavior in children is past experience or because the conflict in the past . Parents who apply foster a pattern of excessive and deliberately burden children with the responsibility of large , also can trigger the emergence of obsessive compulsive behavior especially in terms of hygiene and places of worship .In addition , the application of toilet training too hard and the restriction of the child playing can also affect the development of psychic children , where in times of the sons of very susceptible to guilt which in turn will trigger psychological irregularities .

Obsessive compulsive disorder is not only happens on conduct in general , but in islam there are also obsessively compulsions disorder which is usually called uneasy .A system of religious learning who is excessively harsh it can trigger a psychological disorder in children and in adolescent.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Halaman Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Lampiran ... vi

Intisari ... vii

Abstract ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Fokus Penelitian ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 9

BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Gangguan Obsesif Kompulsif ... 12

B. Kriteria Gangguan Obsesif Kompulsif ... 15

C. Sebab-sebab Gangguan Obsesif Kompulsif ... 17

D. Penyebab Gangguan Obsesif Kompulsif ... 19

E. Etiologi Gangguan Obsesif Kompulsif ... 22

F. Perilaku Obsesif Kompulsif dalam Beribadah... 26

BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 29

B. Lokasi Penelitian... 30

C. Sumber Data ... 30

D. Cara Pengumpulan Data ... 34

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data... 36

F. Keabsahan data ... 38

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 40

a. Subjek S ... 40

b. Subjek F ... 43

B. Hasil Penelitian ... 46

a. Deskripsi Hasil Temuan... 46

b. Analisis Temuan Penelitian ... 51

1. Subjek S ... 51

2. Subjek F ... 52

C. Pembahasan ... 54

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

Daftar Pustaka ... 64

(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Manusia diciptakan oleh Sang Khaliq dan diturunkan ke dunia ini

dilengkapi dengan berbagai perangkat dan potensi. Baik perangkat dalam arti fisik

maupun psikis, semua diciptakan Allah SWT sesuai dengan porsinya agar

manusia dapat mengembangkan diri sebaik mungkin dan dapat mengabdi kepada

Tuhan dengan sepenuhnya.

Penciptaan manusia yang “sempurna” dibandingkan makhluk lainnya,

membuat konsep tentang penciptaan manusia menjadi konsep sentral di berbagai

perbincangan. Baik dalam konteks agama, social, psikologi maupun keilmuan

lainnya. Bahkan dalam pembahasan psikologi agama disebutkan bahwa yang

menjadi objek psikologi agama bukanlah Tuhan tetapi manusia, yaitu manusia

yang beragama. Hal ini disebabkan karena tindakan beragama adalah tindakan

manusiawi.

Setiap manusia yang lahir selain membawa kemampuan yang baik, ia juga

memiliki kebutuhan psikologis yang berbeda-beda satu sama lain. Oleh karena itu

manusia amat dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang menurut Maslow

“kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan aspek-aspek intrinsik kodrat manusia”

(Jess & Gregory, 2010)

(8)

2

akan rasa aman, kebutuhan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan

penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. Jika kebutuhan atau dorongan yang

ada dalam diri manusia tidak dapat terpenuhi dan tidak tersalurkan dengan baik,

maka dapat berakibat fatal yakni berupa pelampiasan-pelampiasan yang

menyimpang, frustasi berkepanjangan, dan kecemasan yang berdampak pada

terganggunya kesehatan mental manusia tersebut. Kasus seperti ini sangat banyak

terjadi di masyarakat kita. Orang-orang yang tidak mampu mengatasi masalahnya

seperti kurang perhatian dari orang tua, adanya konflik kehidupan yang tidak

terseleseikan yang kemudian individu tersebut mengalami gangguan kepribadian

atau gangguan mental lainnya.

Terlebih karena penciptaan manusia yang sempurna diantara

makhluk-makhluk lainnya, membuat manusia selalu ingin terlihat lebih sempurna di

hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, perilaku manusia dalam hal

beribadah. Pengetahuan atau wawasan agama yang dimiliki manusia membuat

mereka menjadi pribadi yang selalu taat akan peraturan dalam agamanya.

Ketaatan yang tidak fleksibel pada peraturan dan perintah terserap dalam semua

tugas dan tujuan sehingga mengorbaknakn fleksibilitas dan spontanitas. Sifat

perfeksionis yang dimiliki seseorang seringkali menghalangi orang tersebut untuk

menyeleseikan tugasnya. Seringkali, tanpa memperhatikan betapa sempurnanya

pencapaian secara mendetail, mereka merasa yakin bahwa hasil tersebut belum

cukup bagus dan selanjutnya mereka akan mencari berbagai cara untuk

memperbaikinya. Biasanya orang-orang yang seperti ini terfokus pada kerja dan

(9)

3

menyenangkan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya penyimpangan psikologis

yang berdampak pada gangguan kecemasan atau gangguan kepribadian lainnya,

karena sering kali mereka merasa ragu dengan tugas-tugas dan tujuan untuk

memperoleh pencapaian yang sangat sempurna (Carman, 2007).

Ada sebagian orang yang dihantui oleh pikiran-pikiran irasional yang

mana itu tidak bisa dihilangkannya dan terus ada. Pikiran ini bahkan selalu

muncul walaupun saat dia tidak mengingnkannya. Pikiran ini bahkan terlihat

sangat bodoh dan tidak menyenangkan serta mengganggu kehidupan sehari-hari,

dan pemikiran seperti ini mengakibatkan keraguan yang selanjutnya bisa

menimbulkan gangguan psikologis yang tidak diinginkan, seperti gangguan

obsesif kompulsif.

Kasus seperti ini dilihat dari perspektif Psikologis merupakan bagian dari

gangguan kecemasan yang mana penderitanya mengalami pikiran yang menetap

atau muncul berulang-ulang yang tidak dapat dikendalikan oleh individu.

Biasanya pikiran obsesif ini di sertai dengan perilaku kompulsif yaitu suatu

tingkah laku yang reepetitif atau tindakan mental repetitive yang dirasakan

seseorang sebagai suatu keharusan atau dorongan yang harus dilakukan (APA,

2000).

Kasus demikian ini menarik untuk dibahas karena menimbulkan berbagai

pertanyaan mengenai penyebabnya, cara penanganannya seperti apa, ciri-cirinya

seperti apa dan individu yang bagaimana yang beresiko menderita OCD.

(10)

4

islam, gangguan obsesif kompulsif dalam beribadah bermanifestasi dalam suatu

keadaan yang dalam istilah agama Islam disebut was-was (Baduwailan, 2006).

Peneliti mengambil batasan Agama Islam karena relevansinya dengan mayoritas

penduduk Indonesia yang muslim,sekitar 88,22% (Badan Pusat Statistik, 2004).

Contoh perilaku was-was ini seperti mengambil air wudhu berulang kali,adanya

keragu-raguan yang berlebihan ketika melakukan ibadah ritual (seperti sholat) dan

lain-lain.

Dalam penelitian ini, klasifikasi kecenderungan perilaku obsesif kompulsif

yang akan diteliti tidak hanya memasukkan individu-individu yang sedang

mengalami gangguan dalam sample yang diambil ke dalam uji statistik, tetapi

juga individu-individu yang mengalami gejala permulaan obsesif kompulsif dalam

beribadah pada santri di salah satu pondok pesantren yang ada di kota Lamongan.

Peneliti mengambil permasalahan ditempat tersebut karena diambil dari

pengalaman pribadi yang pernah dialami oleh peneliti. Menurut peneliti, perilaku

obsesif kompulsif sering ditemukan saat peneliti masih menimba ilmu di pondok

pesantren tersebut. Setiap kali peneliti akan mengambil air wudlu, peneliti sering

mengamati santri lain yang juga sedang mengambil air wudlu. Peneliti

menemukan beberapa santri sering mengulang-ulang wudlu mereka hingga

beberapa kali. Contoh lain; didapati ketika peneliti sedang menunaikan sholat, ia

mengamati salah seorang santri yang sering kali mengulang takbir 4 hingga 5 kali

setiap ia mengerjakan sholat berjama’ah di musholah (Baduwailan, 2006).

Obsesif kompulsif adalah suatu gangguan cemas yang ditandai dengan

(11)

5

untuk melakukan sesuatu dan dilakukan dengan berulang kali. Obsesi sendiri

memilki pengertian gagasan, bayangan, dan impuls yang timbul didalam pikiran

secara berulang-ulang, sangat mengganggu dan pasien merasa tidak mampu untuk

menghentikannya (David, 2000).

Ciri primer dari gangguan kepribadian obsesif kompulsif adalah seorang

terokupasi (sibuk memikirkan) dengan peraturan, undang-undang dan

kesempurnaan (carman, 2007). Keraguan yang menyertai obsesif kompulsif

menyebabkan ketidakpastian tentang apakah seseorang bisa bertindak berdasarkan

pikiran-pikiran yang mengganggu, sehingga kritik diri atau membenci diri sendiri

atau bisa merasakan bahwa benda mati mempunyai jiwa. Meskipun orang dengan

OCD memahami bahwa gagasan-gagasan mereka tidak sesuai dengan dunia luar,

seringkali mereka merasa bahwa mereka harus bertindak seolah-olah gagasan

mereka benar. Sebagai contoh, seorang individu yang terlibat dalam penimbunan

kompulsif mungkin cenderung untuk merasa seperti memiliki kesanggupan atau

hak hidup, tetapi seperti seorang individu yang menemukan akibat perilaku

mereka tidak masuk akal pada tingkat yang lebih intelektual. Insel dan Akiskal,

1986 (dalam Mareta, tt) mencatat bahwa dalam obsesif kompulsif berat, obsesi

bisa pindah ke delusi ketika perlawanan terhadap obsesi ditinggalkan.

Pikiran yang muncul itu biasanya tidak dikehendaki, menimbulkan

penderitaan, dan kadang menakutkan atau membahayakan (misal: dorongan untuk

melompat ke depan mobil yang sedang berjalan; pikiran bahwa pasien akan

(12)

6

Gangguan obsesif kompulsif ditandai oleh penyempitan emosional,

kekerasan hati, sikap keras kepala dan kebimbangan. Gambaran penting dari

gangguan ini adalah pola perfeksionisme dan infleksibilitas yang pervasif

(Ibrahim,2012). Gangguan obsesif kompulsif ini dialami 2% samapi 3%

masyarakat pada umumnya dalam hidup mereka (APA, 2000). Dalam studi di

swedia menemukan bahwa meskipun kebanyakan pasien OCD menunjukkan

perbaikan, banyak juga yang terus berlanjut mempunyai symptom gangguan ini

sepanjang hidup mereka (Skoog, 1999).

Kita seringkali mendengar orang-orang yang digambarkan sebagai penjudi

kompulsif, pelahap makanan kompulsif, dan peminum kompulsif. Banyak

individu yang dapat saja menuturkan memiliki dorongan yang tidak dapat ditahan

untuk berjudi, makan dan minum alcohol, namun perilaku semacam itu secara

klinis tidak dianggap sebagai suatu kompulsi karena sering kali dilakukan dengan

perasaan senang. Kompulsi yang sebenarnya sering dianggap oleh pelaku sebagai

sesuatu yang tidak berasal dari dirinya (ego distonik) (Davidson & Neale).

Gangguan Obsesif Kompulsif seringkali disebut dengan OCD (Obsessive

compulsive disorder). Kebanyakan kompulsi jatuh ke dalam dua kategori yaitu

ritual pengecekan (cheking) dan ritual bersih-bersih (cleaning) (Nevid, 2003).

Dari perspektif Islam, pikiran-pikiran yang tidak diinginkan disebut

was-was, yakni sesuatu yang dibisikkan syaitan ke dalam hati dan pikiran manusia.

(13)

7

“..dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan

tipuan belaka. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas

mereka. dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga". (QS. Al-Israa: 64-65)

Peneliti mengangkat masalah ini, sebab dalam ajaran Islam, was-was

bukanlah suatu hal yang minor. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman tentang

penyakit was-was ini dalam surat An-Naas. “Katakanlah: "Aku berlidung kepada

Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. raja manusia. sembahan

manusia. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,yang

membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,dari (golongan) jin dan

manusia.” (QS. An-Nas: 1-6)

Kemudian dalam referensi lain, yakni karya Alaydrus (2013) juga

membahas tentang OCD namun menamakannya dengan was-was. Itulah istilah

yang sering kita dengar dan dapat menggambarkan gangguan ini. Menurutnya,

was-was adalah bisikan setan yang berharap orang akan menjadi malas melakukan

ibadah dan justru meninggalkannya. Pengertian tersebut memfokuskan bahasan

ini kepada hal ibadah.

Alaydrus (2013) mengutip perkataan Ibnu Abbas RA, yakni “Was-was

adalah penyakit orang mukmin”. Sehingga menurutnya, perkataan tersebut dapat

disimpulkan dalam dua hal, yakni pertama, orang yang mengalami penyakit ini

adalah mukmin, karena orang yang tidak beriman tidak akan peduli mengenai

keabsahan dan kesempurnaan ibadahnya. Kedua, was-was itu adalah penyakit dan

(14)

8

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti

lebih lanjut tentang “Perilaku Obsesif Kompulsif dalam Beribadah pada Santri di

Pondok Pesantren Fathul Hidayah Pangean-Maduran-Lamongan”

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka pertanyaan penelitian

ini adalah:

1. Apa saja faktor penyebab perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah

pada santri di Pondok Pesantren Fathul Hidayah pangean, Maduran

Lamongan

2. Bagaimana perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada santri di

Pondok Pesantren Fathul Hidayah Pangean, Maduran Lamongan.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah disebutkan diatas, maka

tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk menjelaskan Faktor Penyebab terjadinya perilaku Obsesif

Kompulsif dalam beribadah Pada santri di Pondok Pesantren Fathul

Hidayah Pangean, maduran, Lamongan.

b. Untuk menjelaskan perilaku Obsesif Kompulsif dalam beribadah Pada

(15)

9

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang penelitian maka manfaat penelitian ini

adalah:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan

secara teoritis baik kepada masyarakat maupun kepada peneliti sendiri tentang

perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada santri di Pondok pesantren

fathul hidayah Pangean, Maduran Lamongan.

2. Manfaat Bagi Masyarakat

Sebagai pengetahuan dan wawasan tentang khazanah ilmu yang bersifat

agamis terutama yang berkaitan dengan gangguan obsesif kompulsif, serta

dapat memperkuat nilai agama yang telah dipelajari oleh masyarakat sehingga

tidak terjadi lagi penyimpangan perilaku yang berupa gangguan psikologis

yang dialami masyarakat muslim tertentu.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jonathan dan Elyssa (2007)

dengan judul penelitian “When Religion and Obsessive-Compulsive Disorder

Collide: Treating Scrupulosity in Ultra-Orthodox Jews”. Penelitian ini membahas

tentang pengobatan terhadap pasien dengan gangguan obsesif kompulsif dalam

hal keagamaan pada Komunitas Yahudi Ultra-Orthodoks. Penelitian ini

(16)

10

religiusitas dapat mempengaruhi bentuk manifestasi perilaku obsesif kompulsif

pada Komunitas Yahudi Ultra-Orthodox.

Penelitian yang dilakukan oleh Mareta dan Lusy (tt) yang berjudul

“Perilaku Obsesif Kompulsif Pada PesertaPenurunan Berat Badan” dengan tujuan

untuk meneliti bagaimana perilaku obsesif kompulsif pada peserta penurunan

berat badan. Subjek yang diteliti adalah seorang wanita yang mengalami

kecenderungan obsesif kompulsif pada saat melakukan proses penurunan berat

badan. Penelitian ini menunjukkan bagaimana perilaku kecenderungan obsesif

kompulsif pada subjek. Perilaku obsesif kompulsif yang diaalami subjek adalah

subjek seringkali bercermin untuk memastikan bentuk tubuhnya tidak berubah,

subyek juga merasa bersalah apabila makan makanan yang menjadi pantangan

atau halangan dalam diet. Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan adanya

gangguan makan seperti bulimia menyertai perilaku diet.

Penelitian yang dilakukan oleh Warton (2008) terhadap mahasiswa di

Amerika Serikat menyebutkan bahwa 5,6% remaja putri yang berdiet dalam

jangka waktu lama akan menimbulkan perilaku makan menyimpang dan

selanjutnya menimbulkan suatu gangguan kepribadian yang disebut dengan

obsesif kompulsif. Menurutnya obsesif kompulsif juga terjadi pada orang yang

sedang melakukan penurunan berat badan. Perilaku tersebut di tandai dengan

orang yang selalu menimbang berat badannya.

Penelitian lain yang hampir sama adalah penelitian yang dilakukan oleh

Fairbun (2005) di Inggris menyebutkan bahwa seseorang yang berdiet dan saat itu

(17)

11

menunjukkan perilaku makan menyimpang dan akan mengalami kecemasan

apabila berat badannya naik meskipun Cuma sedikti. Selanjutnya mereka akan

terus menimbang berat badannya. Biasanya meskipun berat badannya sudah

dirasa cukup tetapi orang-orang yang mengalami obsesif kompulsif masih juga

merasa belum puas dan mereka seringkali masih ingin menurunkan berat

badannya lagi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Galih (2009) yan berjudul

“Hubungan Tingkat Religiusitas dengan OCD pada pria muslim di Forum

Halaqoh” yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar korelasi antara

religiusitas denga gangguan obsesif kompulsif. Subjek yang diteliti adalah 50 pria

muslim yang ada di forum halaqoh. Penelitian ini menunjukkan tidak adanya

hubungan religiusitas dengan OCD pada 50 pria muslim tersebut.

Dari beberapa penelitian sebelumnya yang telah ditemukan beberapa

penelitian yang memiliki variabel yang sama yaitu religiusitas dan perilaku

obsesif kompulsif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Jonathan dan Elyssa

(2007), Mareta dan Lusy (tt), Wharton (2008), Fairbun (2005) dan galih (2009) .

Yang berbeda dengan penelitian kali ini adalah bagaimana Perilaku obeseif

kompulsif dalam beribadah pada santri di pondok Pesantren Fathul Hidayah

(18)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Gangguan Obsesif Kompulsif

Penyakit Obsesif-Kompulsif ditandai dengan adanya obsesi dan kompulsi.

Obsesi adalah peristiwa kognitif repetitif, tidak diinginkan, dan intrusive yang

bisa berbentuk pikiran atau bayangan dalam pikiran atau hasrat (dorongan).

Mereka menerobos tiba-tiba ke dalan keadaran dan mengakibatkan peningkatan

dalam kecemasan subjektif (Oltmanns & Emery, 2013). Menurut de silva dan

Rachman, 2004 (dalam Oltmanns & Emery, 2013:195) Pikiran obsesif dapat

dibedakan dengan kekhawatiran dalam dua hal utama, yaitu:

1. Obsesi biasanya dialami oleh orang itu sebagai sesuatu yang dipicu oleh

masalah dalam kehidupan sehari-hari

2. Isi obsesi paling sering melibatkan tema yang dipersepsikan tidak dapat

diterima atau mengerikan secara sosial, seperti seks, kekerasan, dan

penyakit/kontaminasi

Sementara itu isi kekhawatiran cenderung terpusat di sekitar kekhawatiran

yang lebih lazim dan dapat diterima, seperti uang dan pekerjaan. Kompulsi adalah

perilaku atau tindakan mental repetitive yang digunakan untuk mengurangi

kecemasan (Oltmanns & Emery, 2013). Contohnya termasuk memeriksa beberapa

kali untuk memastikan bahwa pintunya telah terkunci atau mengulangi doa dalam

(19)

13

yang melakukannya. Orang itu berusaha untuk menolak melakukan kompulsi itu

tetapi tidak mampu untuk itu.

DSM IV-TR juga mendefinisikan OCD dalam kaitannya dengan obsesi

atau kompulsi. Kebanyakan orang yang mempengaruhi kriteria untuk ganguan ini

benar-benar memperlihatkan kedua simtom ini. Orang itu harus mangakui bahwa

obsesi atau kompulsi itu eksesif atau tidak masuk akal. Definisi DSM IV-TR itu

juga mensyaratkan bahwa orang itu harus berusaha untuk mengabaikan, menekan,

atau menetralisasikan pikiran atau impuls yang tidak diinginkan.

Gangguan Obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder, OCD)

adalah kondisi dimana individu tidak mampu mengontrol dari pikiran-pikirannya

yang menjadi obsesi yang sebenarnya tidak diharapkannya dan mengulang

beberapa kali perbuatan tertentu untuk dapat mengontrol pikirannya tersebut

untuk menurunkan tingkat kecemasannya. Gangguan obsesif-kompulsif

merupakan gangguan kecemasan dimana dalam kehidupan individu didominasi

oleh repetatif pikiran-pikiran (obsesi) yang ditindaklanjuti dengan perbuatan

secara berulang-ulang (kompulsi) untuk menurunkan kecemasannya. (UIN-Maliki

Press, 2013)

David A Tomb (2000) juga mengatakan bahwa Obsesi memilki pengertian

gagasan, bayangan, dan impuls yang timbul didalam pikiran secara

berulang-ulang, sangat mengganggu dan pasien merasa tidak mampu untuk

menghentikannya sedangkan Kompulsi adalah obsesi yang manifestasikan,

(20)

14

Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan cemas, dimana pikiran

seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang menetap dan tidak terkontrol, dan

ia dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu berulangulang, sehingga

menimbulkan stress dan mengganggu fungsinya dalam kehidupan sehari-hari

(Davison & Neale, 2012). Sering kali penderita obsesif kompulsif tidak menyadari

bahwa mereka menderita obsesif kompulsif.Menurut Steketee dan Barlow

(Durand & Barlow, 2006), kompulsi dapat berbentuk perilaku (misalnya mencuci

tangan, memeriksa keadaan) atau mental (memikirkan tentang kata-kata tertentu

dengan urutan tertentu, menghitung, berdoa dan seterusnya). Penderita gangguan

ini mungkin telah berusaha untuk melawan pikiran-pikiran menganggu tersebut

yang timbul secara berulang-ulang akan tetapi tidak mampu menahan dorongan

melakukan tindakan berulang untuk memastikan segala sesuatunya baik-baik saja.

Gangguan Obsesif Kompulsif Obsesif kompulsif adalah suatu gangguan

cemas yang ditandai dengan adanya suatu ide yang mendesak dan adanya

dorongan yang tak dapat ditahan untuk melakukan sesuatu dan dilakukan dengan

berulang kali. Terdiri dari dua unsur yaitu obsesi yang diartikan sebagai suatu ide

yang mendesak ke dalam pikiran serta kompulsi yang diartikan sebagai dorongan

yang tak dapat ditahan untuk melakukan sesuatu. Dalam manifestasinya, setiap

individu dapat berbeda-beda, sebagai contoh perasaan cemas akan kebersihan

dirinya, akan terwujud deengan perilaku mencuci tangan yang berulang ulang,

perasaan cemas akan keamanan rumah tempat tinggalnya,terwujud dengan

pengecekan pintu-pintu rumah secara berulang (Maramis, 2005). Sedangkan

(21)

15

a. disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.

b. sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan.

c. bukan merupakan hal yang memberi kesenangan melainkan sebagai

pelepasan atau perasaan lega dari kecemasan jika tidak melakukan

tindakan tersebut.

d. ada pengulangan-pengulangan baik itu pikiran maupun tindakan.

Gejala obsesif kompulsif ini juga termanifestasi sekunder pada penderita

skizofrenia, sindroma Tourette, nerosa fobik, depresi dan gangguan mental

organik. Penyebabnya tidak diketahui. Gangguan obsesif-kompulsif tidak ada

kaitan dengan bentuk karakteristik kepribadian seseorang, pada individu yang

memiliki kepribadian obsesif-kompulsif cenderung untuk bangga dengan

ketelitian, kerapian dan perhatian terhadap hal-hal kecil, sebaliknya pada

gangguan obsesif-kompulsif, individu merasa tertekan dengan kemunculan

perilakunya yang tidak dapat dikontrol. Mereka merasa malu bila

perilaku-perilaku tersebut dipertanyakan oleh orang yang melihatnya karena melakukan

pekerjaan yang secara berulang-ulang. Mereka berusaha mati-matian untuk

menghilangkan kebiasaan tersebut.

B. Kriteria Gangguan Obesesif Kompulsif

Berikut adalah kriteris gangguan obsesif kompulsif dalam DSM IV-TR:

a) Salah satu obsesi atau kompulsi

(22)

16

1. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan yang rekuren dan persisten

yang dialami, pada suatu saat selama gangguan, sebagai intrusive dan

tidak sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan penderitaan yang jelas.

2. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangantidak semata-mata

kekhawatiran yang berlebihan tentang masalah kehidupan yang nyata.

3. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls,

atau bayangan-bayangan tersebut untuk menetralkannya dengan

pikiran atau tindakan lain.

4. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan

obsessional adalah keluar dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan

dari luar seperti penyisipan pikiran)

Kompulsi seperti yang disebabkan oleh (1) dan (2):

1. Perilaku (misalnya: mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau

tindakan mental (misalkan: berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata

dalam hati) yang berulang yang dirasakannya mendorong untuk

melakukannya sebagai respon terhadap suatu obsesi atau menurut

dengan aturan yang harus dipenuhi secara kaku.

2. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau

menurunkan penderitaan atau mencegah suatu kejadian atau situasi

yang menakutkan; tetapi perilaku atau tindakan mental tersebut tidak

dihubungkan dengan cara yang realistik dengan apa mereka anggap

(23)

17

b) Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari

bahwa obsesi atau kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan (tidak

berlaku pada anak-anak)

c) Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang jelas; menghabiskan

waktu (menghabiskan lebih dari satu jam sehari); atau secara bermakna

mengganggu rutinitas normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik),

atau aktivitas atau hubungan social yang biasanya.

d) Jika terdapat gangguan aksis I dan lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak

terbatas padanya (misalnya, preokupasi dengan makanan jika terdapat

gangguan makan; menarik rambut jika terdapat trikotilomania;

permasalahan penampilan jika terdapat dismorfik tubuh; preokupasi

dengan obat jika terdapat suatu gangguan penggunaan zat; preokupasi

dengan menderita suatu penyakit serius jika terdapat hipokondriasis;

preokupasi dengan dorongan atau fantasi seksual jika terdapat parafilia;

atau perenungan bersalah jika terdapat gangguan depresif berat)

e) Tidak disesbabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya, obat yang

disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum.

C. Sebab-sebab Gangguan Obsesif Kompulsif

1. Aspek Biologis

Davison dan Neale (2012) menjelaskan bahwa salah satu

(24)

18

serotonin. Keterlibatan serotonin ini belum sebagai penyebab individu

mengalami gangguan obsesif kompulsif, melainkan sebagai pembentuk

dari gangguan ini. Fungsi serotonin di otak ditentukan oleh lokasi system

proyeksinya. Proyeksi pada konteks frontal diperlukan untuk pengaturan

mood, proyeksi pada ganglia basalis bertanggung jawab pada gangguan

obsesi kompulsi.

2. Psikologis

Klien-klien OCD menyetarakan pikiran dengan tindakan atau

aktifitas tertentu yang dipresentasikan oleh pikiran tersebut. Ini disebut

thought-action fusion” (fusi pikiran dan tindakan). Fusi antara pikiran dan

tindakan ini dapat disebabkan oleh sikap-sikap tanggung jawab yang

berlebih-lebihan yang menyebabkan timbulnya rasa bersalah seperti yang

berkembang selama masa kanak-kanak, dimana pikiran jahat diasosiasikan

dengan niat jahat (Durand & Barlow, 2006).

3. Faktor Psikososial

Menurut Freud, 1997 (dalam Kaplan, 1997:43), gangguan

obsesif-kompulsif bisa disebabkan karena regresi dari fase anal dalam

perkembangannya. Mekanisme pertahanan psikologis mungkin memegang

peranan pada beberapa manifestasi pada gangguan obsesif-kompulsif.

Represi perasaan marah terhadap seseorang mungkin menjadi alasan

(25)

19

D. Penyebab Gangguan Obsesif Kompulsif

Gangguan obsesif-kompulsif tidak ada kaitan dengan bentuk karakteristik

kepribadian seseorang, pada individu yang memiliki kepribadian

obsesif-kompulsif cenderung untuk bangga dengan ketelitian, kerapian dan perhatian

terhadap hal-hal kecil, sebaliknya pada gangguan obsesif-kompulsif, individu

merasa tertekan dengan kemunculan perilakunya yang tidak dapat dikontrol.

Mereka merasa malu bila perilaku-perilaku tersebut dipertanyakan oleh orang

yang melihatnya karena melakukan pekerjaan yang secara berulang-ulang.

Mereka berusaha mati-matian untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. Berikut

adalah penyebab gangguan Obsesif kompusilf (Oltmanns & Emery,2012):

1. Genetik - (Keturunan). Mereka yang mempunyai anggota keluarga yang

mempunyai sejarah penyakit ini kemungkinan beresiko mengalami OCD

(Obsesif Compulsive Disorder).

2. Organik – Masalah organik seperti terjadi masalah neurologi dibagian -

bagian tertentu otak juga merupakan satu faktor bagi OCD. Kelainan saraf

seperti yang disebabkan oleh meningitis dan ensefalitis juga adalah salah

satu penyebab OCD.

3. Kepribadian - Mereka yang mempunyai kepribadian obsesif lebih

cenderung mendapat gangguan OCD. Ciri-ciri mereka yang memiliki

kepribadian ini ialah seperti keterlaluan mementingkan aspek kebersihan,

seseorang yang terlalu patuh pada peraturan, cerewet, sulit bekerja sama

(26)

20

4. Pengalaman masa lalu - Pengalaman masa lalu/lampau juga mudah

mencorakkan cara seseorang menangani masalah di antaranya dengan

menunjukkan gejala OCD.

5. Gangguan obsesif-kompulsif erat kaitan dengan depresi atau riwayat

kecemasan sebelumnya. Beberapa gejala penderita obsesif-kompulsif

seringkali juga menunjukkan

6. Konflik - Mereka yang mengalami gangguan ini biasanya menghadapi

konflik jiwa yang berasal dari masalah hidup. Contohnya hubungan antara

suami-istri, di tempat kerja, keyakinan diri.

Individu yang beresiko mengalami gangguan obsesif-kompulsif adalah (Oltmanns

& Emery, 2012);

a. Individu yang mengalami permasalahan dalam keluarga dari broken home,

kesalahan atau kehilangan masa kanak-kanaknya. (teori ini masih

dianggap lemah namun masih dapat diperhitungkan)

b. Faktor neurobilogi dapat berupa kerusakan pada lobus frontalis, ganglia

basalis dan singulum.

c. Individu yang memilki intensitas stress yang tinggi

d. Riwayat gangguan kecemasan

e. Depresi

f. Individu yang mengalami gangguan seksual

Simptom dari Obsesif Kompulsif ditandai dengan pengulangan (repetatif)

(27)

21

berlangsung selama 1 sampai 2 minggu selanjutnya (PPDGJ III, 20031). Gejala

utama obsesi-kompulsif harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Perilaku dan pikiran yang muncul tersebut disadari sepenuhnya oleh

individu atau didasarkan pada impuls dalam dirinya sendiri. Individu juga

menyadari bahwa perilakunya itu tidak rasional, namun tetap dilakukan

untuk mengurangi kecemasan.

2. Beberapa perilaku yang muncul disadari oleh individu dan berusaha

melawan kebiasaan dan pikiran-pikiran rasa cemas tersebut sekuat tenaga,

namun tidak berhasil.

3. Pikiran dan tindakan tersebut tidak memberikan perasaan lega, rasa puas

atau kesenangan, melainkan disebabkan oleh rasa khawatir secara

berlebihan dan mengurangi stres yang dirasakannya.

4. Obsesi (pikiran) dan kompulsi (perilaku) sifatnya berulang-ulang secara

terus-menerus dalam beberapa kali setiap harinya.

5. Obsesi dan kompulsi menyebabkan terjadinya tekanan dalam diri

penderita dan menghabiskan waktu (lebih dari satu jam sehari) atau secara

signifikan mengganggu fungsi normal seseorang, atau kegiatan sosial atau

suatu hubungan dengan orang lain.

6. Penderita merasa terdorong untuk melakukan ritual, yaitu tindakan

berulang seperti mencuci tangan & melakukan pengecekan dengan

(28)

22

E. Etiologi gangguan Obsesif Kompulsif

1. Teori Psikoanalisis

Dalam teori psikoanalisis, obsesi dan kompulsi dipandang sebagai

hal yang sama, yang disebabkan oleh dorongan instingtual, seksual, atau

agresif yang tidak dapat dikendalikan karena toilet training yang terlalu

keras. Yang bersangkutan kemudian terfiksasi pada tahap anal.

Simtom-simtom yang muncul dianggap mencerminkan hasil perjuangan antara id

dan mekanisme pertahanan diri. Disini, insting agresif id mendominasi dan

kadangkala mekanisme pertahanan yang mendominasi. Sebagai contoh,

ketika pikiran obsesif untuk membunuh muncul, saat itu dorongan id

mendominasi. Akan tetapi lebih sering simtom-simtom yang muncul

mencerminkan bekerjanya salah satu mekanisme pertahanan yang hanya

separuh berhasil. Sebagai contoh, seseorang yang terfiksasi pada tahap

anal dapat melalui formasi fiksasi, menahan dorongan untuk

berkotor-kotor dan secara kompulsif menjadi bersih, rapi dan teratur (Davidson dkk,

2012)

Alfred Adler, ((1931) dalam Davidson dkk, 2012:207) memandang

gangguan obsesif kompulsif sebagai akibat dari rasa tidak kompeten. Dia

percaya bahwa ketika anak-anak tidak didorong untuk mengembangkan

suatu perasaan kompeten oleh orang tua yang terlalu memanjakan atau

sangat dominan, mereka mengalami kompleks inferioritas dan secara tidak

sadardapat melakukan ritual kompulsif untuk menciptakan suatu wilayah

(29)

23

berpendapat bahwa tindakan kompulsif memungkinkan seseorang sangat

terampil dalam suatu hal, bahkan jika suatu hal itu hanya berupa posisi

menulis di meja.

Sigmund freud menjelaskan tiga mekanisme pertahanan psikologis

utama yang menentukan bentuk, kualitas gejala dan sifat karakter obsesif

kompulsif, yaitu: isolasi, meruntuhkan (undoing) dan pembentukan reaksi

(Kaplan, 1997).

a. Isolasi

Isolasi adalah mekanisme pertahanan yang melindungi seseorang

dari afek dan impuls yang mencetuskan kecemasan. Pada umumnya

seseorang secara sadar mengalami afek dan khayalan dari suatu gagasan

yang mengandung emosi (emotion-laden), terlepas apakah ini berupa

fantasia atau ingatan terhadap suatu peristiwa. Jika terjadi isolasi, afek dan

impuls yang didapatkan darinya adalah dipisahkan dari komponen

irasional dan dikeluarkan dari kesadaran. Jika isolasi berhasil sepenuhnya,

impuls dan afek yang terkait seluruhnya terepresi, dan pasien secara sadar

hanya menyadari gagasan yang tidak memiliki afek yang berhubungan

dengannya.

b. Meruntuhkan (Undoing)

Adanya ancaman yang terus menerus bahwa impuls mungkin dapat

lolos dari mekanisme primer isolasi dan menjadi bebas, operasi pertahanan

(30)

24

Tindakan kompulsif menyumbangkan manifestasi permukaan

operasi defensif yang ditujukan untuk menurunkan kecemasan dan

mengendalikan impuls dasar yang belum diatasai secara memadai oleh

isolasi. Operasi pertahanan sekunder yang cukup penting adalah

mekanisme meruntuhkan (undoing). Meruntuhkan adalah suatu tindakan

kompulsif yang dilakukan dalam usaha untuk mencegah atau meruntuhkan

akibat yang secara irasional akan dialami pasien akibat pikiran atau impuls

obsessional yang menakutkan.

c. Pembentukam Reaksi (Reaction Formation)

Baik isolasi maupun meruntukan adalah tindakan pertahanan yang

terlibat erat dalam menghasilkan gejala klinis. Pembentukan gejala

menyebabkan pembentukan sifat karakter, bukannya gejala.

Pembentukan reaksi melibatkan pola perilaku yang bermanifestasi

dan sikap yang secara sadar dialami yang jelas berlawanan dengan impuls

dasar. Seringkali pola yang terlihat oleh pengamat adalah sangat

dilebih-lebihkan dan tidak sesuai.

2. Teori Behavioral dan kognitif

Teori behavioral menganggap kompulsi sebagai perilaku yang

dipelajari yang dikuatkan oleh reduksi rasa takut (Meyer & Chesser,

1970). Sebagai contoh, mencuci tangan secara kompulsif dipandang

sebagai respons pelarian operant yang mengurangi kekhawatiran

(31)

25

Sejalan dengan itu, pengecekan secara kompusif dapat mengurangi

kecemasan terhadap apapun bencana yang diantisipasi pasien jika ritual

pengecekan tersebut tidak dilakukan. Respons-respons psikofisiologis

memang dapat dikurangi dengan perilaku kompulsif semacam itu.

Tindakan kompulsif sering muncul karena stimuli yang menimbulkan

kecemasan sulit disadari. Sebagai contoh, sulit untuk mengetahui kapan

kuman muncul dan kapan kuman tersebut telah dihilangkan oleh ritual

pembersihan (Mineka & Zimbarg, 1996 (dalam Davison dkk, 2012:217).

Pemikiran lain mengenai pengecekan secara kompulsif adalah

bahwa hal itu disebabkan oleh defisit memori. Ketidakmampuan untuk

mengingat suatu tindakan secara akurat (seperti mematikan kompor) atau

membedakan antara perilaku actual dan perilaku yang dibayangkan dapat

menyebabkan seseorang berulangkali melakukan penegcekan (Davidson

dkk, 2012).

Namun demikian, sebagian besar studi menemukan bahwa

penderita OCD tidak menunjukkan defisit memori. Sebagai contoh, salah

satu study membandingkan pasien penderita OCD, gangguan panic, dan

orang-orang normal pada tes mengenai informasi umum. Tidak ada

perbedaan diantara ketiga kelompok dalam jumlah jawaban benar. Tetapi

para pasien penderita OCD kurang yakin dengan jawaban mereka

dibanding kelompok normal.

(32)

26

dengan pikiran yang agak mengganggu pada orang-orang normal tentang

stimuli yang penuh stress, misalnya film menakutkan (Horowitz, 1975

(dalam Davidson & Neale, 2012:218)

Orang-orang dengan gangguan obsesif kompulsif secara aktif

mungkin mencoba menekan pikiran-pikiran yang menganggu tersebut,

namun seringkali dengan konsekuensinya yang tidak mengenakkan

(Davidson & Neale, 2012).

F. Perilaku Obsesif Kompulsif Dalam Beribadah

Dalam islam, gangguan obsesif kompulsif dalam beribadah bermanifestasi

dalam suatu keadaan yang dalam istilah agama Islam disebut was-was

(Baduwailan, 2006). Peneliti mengambil batasan Agama Islam karena

relevansinya dengan mayoritas penduduk Indonesia yang muslim,sekitar 88,22%

(Badan Pusat Statistik, 2004). Contoh perilaku was-was ini seperti mengambil air

wudhu berulang kali,adanya keragu-raguan yang berlebihan ketika melakukan

ibadah ritual (seperti sholat) dan lain-lain.

Dari perspektif Islam, pikiran-pikiran yang tidak diinginkan disebut

was-was, yakni sesuatu yang dibisikkan syaitan ke dalam hati dan pikiran manusia.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “..dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan

kepada mereka melainkan tipuan belaka. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu

tidak dapat berkuasa atas mereka. dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga".

(33)

27

Peneliti mengangkat masalah ini, sebab dalam ajaran Islam, was-was

bukanlah suatu hal yang minor. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman tentang

penyakit was-was ini dalam surat An-Naas. “Katakanlah: "Aku berlidung kepada

Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. raja manusia. sembahan

manusia. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,yang

membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,dari (golongan) jin dan

manusia.” (QS. An-Nas: 1-6)

Kemudian dalam referensi lain, yakni karya Alaydrus (2013) juga

membahas tentang OCD namun menamakannya dengan was-was. Itulah istilah

yang sering kita dengar dan dapat menggambarkan gangguan ini. Menurutnya,

was-was adalah bisikan setan yang berharap orang akan menjadi malas melakukan

ibadah dan justru meninggalkannya. Pengertian tersebut memfokuskan bahasan

ini kepada hal ibadah.

Alaydrus (2013) mengutip perkataan Ibnu Abbas RA, yakni “Was-was

adalah penyakit orang mukmin”. Sehingga menurutnya, perkataan tersebut dapat

disimpulkan dalam dua hal, yakni pertama, orang yang mengalami penyakit ini

adalah mukmin, karena orang yang tidak beriman tidak akan peduli mengenai

keabsahan dan kesempurnaan ibadahnya. Kedua, was-was itu adalah penyakit dan

sudah seharusnya diobati, karena was-was dapat merusak ibadah jika terus

dibiarkan.

Mengenai keterkaitan antara gangguan obsesif kompulsif dalam beribadah dengan

(34)

28

dalam beribadah terutama ibadah ritual (dengan religiusitas rendah, bisa

dipastikan individu tersebut tidak serius dalam beribadah dalam sebagian besar

waktunya) walaupun tidak menutup kemungkinan individu tersebut terkena

gangguan serupa tetapi berkaitan dengan aspek non religi. Selain itu, menurut

Ibnul Qoyyim dalam Baduwailan (2006), gangguan obsesif kompulsif dalam

beribadah juga diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan yang memadai dalam

ilmu-ilmu agama sehingga terjerumus dalam perilaku yang berlebih-lebihan.

(35)

29

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan pada fokus permasalahan yang dikaji yaitu perilaku obsesif

kompulsif dalam beribadah pada santri, maka penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif dengan desain penelitian kualitatif deskriptif dengan

menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Penelitian ini memusatkan diri

secara intensif pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu

kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan,

dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan dari berbagai sumber (Nawawi,

2003).

Pengertian studi kasus menurut Basuki (2006) definisi studi kasus adalah

suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki

sifat kekhususan (particularity), dapat dilakukan baik dengan pendekatan

kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun

kelompok, bahkan masyarakat luas.

Penelitian studi kasus akan kurang kedalamannya bilamana hanya

dipusatkan pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum

memperoleh gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi kasus

akan kehilangan artinya kalau hanya ditujukan sekedar untuk memperoleh

gambaran umum namun tanpa menemukan sesuatu atau beberapa aspek khusus

(36)

30

diselidiki. Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari

kasus yang diteliti, tetapi, juga dapat diperoleh dari semua pihak yang

mengetahui dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan kata lain, data

dalam studi kasus dapat diperoleh dari berbagai sumber namun terbatas dalam

kasus yang akan diteliti (Moleong, 2007).

Dengan menggunakan pedekatan studi kasus peneliti dapat memperoleh

gambaran yang terorganisasikan dengan baik dan lengkap serta pemahaman utuh

dan terintegrasi mengenai perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada santri

di Pondok Pesantren fathul Hidayah Pangean, Maduran-Lamongan.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Fathul Hidayah yang berada

di Desa Pangean Kecamatan Maduran,Kabupaten Lamongan. Pondok ini terletak

di bagian selatan kecamatan maduran dan di bagian utara kecamatan sekaran.

Letaknya sangat strategis, yakni diantara desa Pangean dan Desa Sekaran. Alasan

memilih penelitian di Pondok tersebut, karena individu yang menjadi subjek

penelitian adalah santri di Pondok Pesantren tersebut.

C. Sumber Data

Dalam penelitian kualitatif, pemilihan informan dapat menggunakan

criterion-based selection, yang didasarkan pada asumsi bahwa subjek tersebut

sebagai actor dalam tema penelitian yang diajukan.Selain itu dlaam menentukan

(37)

31

untuk memperluas subjek penelitian. Hal lain yang harus diketahui bahwa dalam

penelitian kualitatif, kuatitas subjek bukanlah hal yang utama sehingga pemilihan

informan lebih didasari pada kualitas informasi yang terkait dengan tema

penelitian yang diajukan. (Idrus, 2009).

Sumber data adalah subyek dimana data itu dapat diperoleh (Arikunto,

1998). Menurut sumbernya, data penelitian dibagi menjadi dua, yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek

penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data

langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Data sekunder

adalah data yang tidak langsung diperoleh peneliti dari objek lain (Azwar, 1998).

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh

peneliti dari sumber pertamanya (Suryabrata, 1998). Subjek penelitian ini

ditentukan dengan Purposive Sampling dengan teknik Snowball Sampling.

Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber

data dengan pertimbangan tertentu (Moleong, 2007). Snowball sampling

adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya

jumlahnya sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap,

maka harus mencari orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data

(Sugiyono, 2008). Jadi, penentuan sampel dalam penelitian kualitatif

dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian

(38)

32

berdasarkan data atau informasi yang diperoleh dari sampel sebelumnya

itu peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan

memberikan data lebih lengkap (Sugiyono, 2008). Peneliti memilih subjek

tersebut, karena subjek tersebut mempunyai kriteria dan tujuan yang sesuai

dengan topik yang diteliti (Ulber, 2009).

Untuk mengungkapkan sebuah kasus mengenai perilaku obsesif

kompulsif dalam beribadah pada santri diperlukan adanya subjek yang

dapat memberikan data serta mampu memberikan gambaran yang nyata

berkenaan dengan kasus tersebut.

Dalam penelitian ini, sumber data primer yang pertama adalah

subjek yang berjumlah dua orang, Inisial namanya adalah S dan F. S

adalah seorang santri kelas 3 SMA yang berusia 18 tahun di Pondok

Pesantren Fathul Hidayah. S merupakan santri yang sering menduduki

peringkat atas dikelasnya. S telah menempuh pendidikan pesantren selama

6 tahun di Pondok tersebut. S mengaku terkena gangguan tersebut sejak

duduk di bangku SD, S juga pernah di bawa ke psikolog untuk

pemeriksaan namun belum memperoleh terapi, karena kedua orang tuanya

yang tidak percaya bahwa S di diagnosis terkena gangguan tersebut.

Sama halnya dengan S, F juga merupakan santri yang baru duduk

dikelas 3 SMA yang berusia 17 tahun. F merupakan santri yang juga telah

menempuh pendidikan pesantren selama 6 tahun. Sebelumnya F juga

sudah menempuh pendidikan agama yang begitu keras dari ibunya. F

(39)

33

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain yang

tidak langsung diperoleh dari subjek penelitian (Azwar, 1998). Sumber

sekunder yang biasa disebut dengan significant other dalam penelitian ini

adalah orang lain yang dekat dengan subjek (mempunyai hubungan)

sehingga diduga kuat mempunyai informasi tentang subjek.

Pada awalnya, peneliti menunjuk kedua orang tua subjek untuk

menjadi Significant Other dalam penelitian ini. Namun kedua orang tua

subjek menolak untuk di wawancarai mengenai gangguan yang terjadi

pada subjek karena alasan sibuk bekerja. Kemudia kedua orang tua subjek

meminta untuk mewawancarai teman sekamar atau teman sekelas subjek.

Jumlah significant other dalam penelitian ini adalah 2 orang, yang

mana 1 orang untuk subjek pertama dan 1 orang untuk subjek kedua yaitu:

1. T yang merupakan teman subjek pertama S. T adalah teman sekelas dan

teman sekamar S di pondok pesantren tersebut.

2. M yang merupakan teman subjek F. M adalah teman bermain F sejak kecil

sampai sekarang. F juga merupakan teman sekelas dan sekamar F di

Pondok pesantren.

Berdasarkan etika penelitian dalam menyebutkan nama subjek maupun

significant other dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan inisial nama

(40)

34

D. Cara pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat disesuaikan

dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti karena bersifat

terbuka dan luwes. Banyak metode yang dapat digunakan dalam pengumpulan

data penelitian kualitatif. Di dalam penelitian ini, pengumpulan data yang

dilakukan terhadap subyek menggunakan beberapa metode yaitu:

a. Wawancara

Wawancara dalam penelitian kualitatif dilakukan untuk

memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang dipahami

oleh individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud

mengadakan eksplorasi terhadapnya (Sugiyono, 2008). Wawancara

merupakan metode pengumpulan data dalam bentuk komunikasi verbal

yang dapat merekonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan,

organisasi yang terjadi pada masa lalu, memproyeksikan sesuatu yang

diharapkan di masa depan (Moleong, 1995).

Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam.

Dengan melakukan wawancara mendalam peneliti dapat menggali saja apa

yang diketahui dan dialami subyek pada masa lampau ataupun masa

sekarang, serta hal-hal yang tersembunyi di dalam diri subyek. Dalam

proses wawancara peneliti dilingkapi dengan pedoman wawancara yang

sangat umum, pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan

(41)

35

daftar pengecek apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau

ditanyakan (Sugiyono, 2008).

Tehnik wawancara ini digunakan untuk mendapatkan informasi

yang terkait dengan apa saja faktor penyebab perilaku obsesif kompulsi

dalam beribadah pada santri dan bagaimana perilaku obsesif kompulsif

dalam beribadah pada santri di Pondok Pesantren Fathul hidayah Pangean,

Maduran-Lamongan.

b. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data dengan cara

mengamati langsung terhadap obyek penelitian. Observasi atau

pengamatan digunakan dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu

penelitian, yang merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh

perhatian untuk menyadari adanya suatu rangsangan tertentu yang

diinginkan, atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang

keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati

dan mencatat (Moleong, 1995).

Alasan digunakannya metode observasi ini untuk menunjang data

hasil dari wawancara, melalui observasi ini diharapkan beberapa bentuk

ekspresi wajah, gerakan tubuh atau body languarge bisa teramati atau

terdeteksi sehingga mampu memberikan cek dan recek terhadap

informasi-informasi yang telah di sampaikan oleh subyek dalam wawancara. Selain

(42)

36

serta perilaku yang muncul saat penelitian berlangsung (Herdiansyah,

2012).

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengatahui bagaimana

pengalaman subjek dimasa lalu yang menyebabkan subjek berperilaku

menyimpang dan terkena gangguan obsesif kompulsif, peneliti akan

melihat atau melakukan observasi bagaimana ekspresi wajah atau body

language subjek pada saat menceritakan pengalaman masa lalunya.

Penelitian ini menggunakan jenis observasi non partisipan dimana

peneliti tidak ikut serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang subjek

lakukan, tetapi observasi dilakukan oleh teman subjek yang bertindak

sebagai Significant Other.

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum

memasuki lapangan, selama dilapangan, dan setelah seleasai dilapangan. Dalam

hal ini Nasution (1988) menyatakan “Analisis telah mulai sejak merumuskan dan

menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan , dan berlangsung terus sampai

penulisan hasil penelitian.

Data yang telah terhimpun kemudian diklarifikasikan untuk dianalisa

dengan menggunakan pendekatan analisa induktif, yaitu berangkat dari

fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta-fakta-fakta

dan peristiwa-peristiwa yang khusus konkrit itu ditarik generalisasi-generalisasi

(43)

37

Selanjutnya menggunakan analisa data yang dikembangkan oleh Miles dan

Huberman, dengan tiga jenis kegiatan, yaitu; reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang jalin menjalin pada saat

sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar.

Langkah pertama yaitu reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum,

memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema

dan polanya. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dari lapangan dapat

memberikan gambarkan secara jelas apa saja faktor penyebab yang dialami subjek

sehingga muncul perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah. Kemudian langkah

kedua adalah penyajian data. Dalam mendisplay atau menyajikan data peneliti

melakukan dalam bentuk uraian singkat atau teks yang bersifat naratif.

Setelah dilakukan reduksi data dan didukung dengan display atau

penyajian data maka proses yang terakhir adalah penarikan kesimpulan atau

verifikasi. kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang

sebelumnya belum pernah ada, temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran

suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah

di teliti dapat menjadi jelas. Pada penelitian ini diharapkan hasil yang di peroleh

dapat menggambarkan secara jelas apa saja faktor penyebab terjadinya perilaku

obsesif kompulsif dalam beribadah dan bagaimana perilaku obsesif kompulsif

(44)

38

F. Keabsahan Data

Uji kredibilitas data dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,

meningkatkan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis

kasus negatif dan member check (Moelong, 1995). Setiap penelitian harus

memiliki kredibilitas sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Kredibilitas

penelitian kualitatif adalah keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi

masalah yang majemuk atau keterpercayaan terhadap hasil data penelitian.

Dalam penelitian ini, keabsahan data menggunakan triangulasi data yaitu

teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar

data yang terkumpul untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding

terhadap data-data tersebut. Hal ini dapat berupa penggunaan sumber, metode

penyidik dan teori (Moelong, 1995).

Keabsahan data yang dapat dilakukan oleh peneliti adalah dengan teknik

triangulasi yaitu teknik triangulasi sumber dan triangulasi metode. Maksud dari

teknik triangulasi sumber menurut Moleong (2007) adalah membandingkan dan

mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui

waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian. Jadi, dalam penelitian ini peneliti

melakukan wawancara mengenai hal yang sama yaitu perilaku obsesif kompulsif

dalam beribadah kepada teman subjek yang ditunjuk sebagai Significant Other

dalam penelitian ini.

Triangulasi metode adalah pengujian dengan cara mengecek data kepada

sumber yang sama dengan teknik berbeda, misalnya dengan melakukan observasi,

(45)

39

wawancara dengan subyek dan significant others serta metode observasi dengan

mengobservasi kegiatan subjek. Apabila terdapat hasil yang berbeda maka peneliti

melakukan konfirmasi kepada sumber data guna memperoleh data yang dianggap

benar. Kedua teknik tersebut akan dilakukan untuk mencari kebenaran dalam

memperoleh data mengenai perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada

subjek S dan F. Peneliti juga melakukan observasi pada respon yang dimunculkan

oleh subjek maupun lingkungan sekitar subjek, yang dilakukan oleh significant

(46)

40

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Subjek

a. Subjek S

Nama : S

Jenis kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal lahir : Lamongan, 3 September 1996

Alamat : Jl. P no 107

Pendidikan : SMA

Suku Bangsa : Jawa

Latar belakang budaya : Jawa timur

Urutan dalam keluarga : Anak tunggal

Status pernikahan : Belum menikah

Sejak kecil S dibesarkan dalam keluarga yang cukup sederhana. S

merupakan anak satu-satunya di keluarga tersebut. Namun meskipun S

merupakan anak tunggal, S adalah anak yang sangat mandiri. Sejak kecil S

sering di tinggal orang tuanya bekerja sampai larut malam. Pekerjaan

rumah pun dia yang mengerjakannya. S juga merupakan seorang anak

yang memiliki prestasi baik disekolahnya, seringkali Dia mendapatkan

juara kelas di sekolahnya.

Hubungan S dengan kedua orang tuanya terbilang cukup baik,

(47)

41

pendiam dan kurang terbuka. S hanya mau menceritakan masalahnya jika

dipaksa oleh ibu atau teman dekatnya. S cukup dekat dengan ibunya

namun tidak terlalu banyak berbicara ataupun curhat dengan ibunya. Ibu

baginya merupakan orang yang sabar dan pintar memasak. Namun, ibunya

juga merupakan orang yang emosinya peka dan kadang sulit menentukan

keputusan. Ibu nya juga merupakan orang yang sangat teliti dan

pembersih. Ibunya juga sering melarangnya untuk bermain yang

kotor-kotor, terutama sejak kelas 6 SD ibunya sudah membatasi pergaulan S

dengan teman sebayanya. Karena ibunya paling tidak suka S bermain

kotor-kotor dengan teman sebayanya. Tak jarang, sejak kecil S sering

menghabiskan waktu bermainnya di dalam kamar saja dan terkadang

hanya belajar dikamar seharian. Sejak kecil S juga sering di latih

membersihkan rumah dengan baik dan benar oleh ibunya. Jika masih

terdapat kotoran maka ibunya menuntut dia untuk mengulang hal tersebut

sampai benar-benar bersih.

Ayah bagi S adalah sosok yang tegar namun sangat keras kepala

dan terkadang terlalu jaga wibawa. Di sisi lain, ayahnya adalah sosok

pekerja keras, di mana semua pekerjaannya harus selesai dengan sempurna

dan tepat waktu. Ayahnya juga sering memarahi S bila nilai pelajarannya

buruk dan tidak sesuai harapan. Tak jarang ia mendapatkan juara kelas di

sekolahnya. Ayahnya selalu menuntut S untuk menjadi anak yang

(48)

42

baik, namun terlalu berlebihan. Misalkan dalam hal berwudlu, S harus

benar-benar memperhatikan cara dia berwudlu agar ibadah yang

dilakukannya sah menurut agama. Dia juga di tuntut untuk selalu

membersihkan pakaiannya dengan sangat hati-hati agar benar-benar

terhindar dan bersih dari najis. Prestasi akademik dan agamanya memang

terbilang sangat baik, karena tuntutan ayahnya untuk menjadi anak yang

perfeksionis dalam hal apapun. Hal ini menimbulkan S menjadi anak yang

perfeksionis, kuat, mandiri dan tanggung jawab. Namun S seringkali

terlihat cemas ketika akan melakukan sesuatu, karena dia sangat takut apa

yang dilakukannya tidak benar dan merasa tidak sempurna.

Sejak kecil, S merasa masa bermain adalah masa yang berat dan

menyedihkan. Sejak umur 4 tahun sampai kelas 6 SD, pergaulan dengan

teman sebayanya sudah di batasi oleh ibunya. Ibunya merupakan sosok

yag disiplin, keras dan banyak menuntut terutama dalam hal kebersihan.

Dan ayahnya juga sering menuntut S untuk belajar keras dalam hal

pendidikan agama maupun pendidikan umum supaya bisa menjadi anak

yang pintar dan kelak bisa mandiri tanpa orang tuanya. Hal inilah yang

membuat masa bermain S kurang, lebih banyak dihabiskan untuk belajar

(49)

43

b. Subjek F

Nama : F

Jenis kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal lahir : Lamongan, 25 mei 1996

Alamat : Jl. M no 56

Pendidikan : SMA

Suku Bangsa : Jawa

Latar belakang budaya : Jawa timur

Urutan dalam keluarga : Anak pertama

Status pernikahan : Belum menikah

F merupakan anak pertama dari dua bersaudara, ia terlahir dari

keluarga yang cukup harmonis. Namun sama halnya dengan S, F juga

merupakan anak yang pendiam dan tertutup. F adalah anak yang suka

menjaga kebersihan dirinya sejak ia masih kecil. Ibunya adalah sosok yang

sangat baik dan pengertian namun juga termasuk ibu yang keras dalam hal

kebersihan dan dalam hal pendidikan agama. F seringkali meneliti

berulang-ulang pekerjaan yang dilakukannya, karena merasa takut akan

hal yang masih kurang dalam pekerjaannya. Ibunya menuntut F menjadi

anak yang sempurna ketimbang teman-teman lainnya. Seringkali ibunya

memarahi F karena pekerjaan yang dilakukannya kurang benar dan

sempurna. Sejak kecil ibunya juga menerapkan toilet training dengan

(50)

44

ulang jika ada debu yang menempel. Dan F menjadi pribadi yang sangat

berlebihan tentang masalah kebersihan. Lambat laun ketika SMP

pikiran-pikiran mengenai kebersihan semakin berkembang, dan kemanapun F

pergi harus membawa tisu basah untuk membersihkan tangannya.

Sekarang subjek beralih selau membawa handycleaner kemanapun F

pergi. F selalu memakainya ketika F merasa kotor seperti ketika akan

memegang handphone, gagang pintu, memakai sepatu, menaiki motor dan

lain-lain.

Prestasi akademik di sekolahnya, F cukup baik ketimbang

teman-temannya, ia sering kali mendapat peringkat 3 besar dikelasnya.

Nilai-nilainya sangat bagus, terutama nilai pelajaran agamanya. Karena sejak

kecil F sudah di tuntut untuk belajar ilmu agama dengan baik dan benar.

Namun cara ibunya mengajari F sangatlah berlebihan sehingga tak jarang

dia seringkali merasa cemas dengan apa yang hendak dikerjakannya.

Seperti saat F akan melaksanakan sholat, F lebih suka melaksanakan

sholat sendiri dari pada sholat berjama’ah, karena F sering mengulang

gerakan takbir karena merasa sholatnya kurang sah jika dia tidak

mengulangi gerakan takbir tersebut. F Sering kali dia merasa cemas ketika

hendak melakukan sholat dengan hanya b

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam melakukan test IQ pada anak retardasi mental berbeda dengan anak normal, pada anak normal digunakan metode Wechsler Intelligence Scale

Terkait dengan hal tersebut, beberapa hal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah masalah transportasi dengan memfuzzykan jumlah supply (fuzzy supply) dan

Telah disampaikan pada bagian analisis dan interpretasi bahwa berdasarkan hasil simulasi yang dilakukan membuktikan bahwa fasad selubung ganda efektif dalam

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subtitusi ransum komersil dengan tepung daun trembesi (Samanea saman) sebanyak 5% dapat meningkatkan bobot hidup, persentase

Pada pembedahan, ternyata terjadi kerusakan pada nucleus arkuatus di hipothalamus (pusat pengolahan impuls syaraf) [[12]]. Sedang menurut Jurnal Brain Research,

Pada kesempatan ini penulis telah berhasil menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul "Pembuatan Komposit Karet Alam- Arang Aktif Tempurung Kelapa dengan

Stress dan gangguan tidur yang dialami oleh mahasiswa skripsi juga didapatkan oleh peneliti berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan menggunakan kuesioner skala

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kritis kepada pihak-pihak (pejabat maupun instansi) yang terkait dengan pertanahan. Penelitian