PERILAKU OBSESIF KOMPULSIF DALAM BERIBADAH PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN FATHUL HIDAYAH
PANGEAN-MADURAN-LAMONGAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam negeri Sunan Ampel Surabaya
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyeleseikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Zuzun Tri Ainur Fadhila B07211034
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan tentang perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada santri di pondok pesantren fathul hidayah, Pangean-Maduran-Lamongan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain study kasus pada penderita gangguan obssif kompulsif. Subjek penelitian adalah dua santri putri pondok pesantren Fathul Hidayah di kota Lamongan dengan gangguan obsesif kompulsif sejak usia anak-anak.
Penelitian ini menemukan bahwa Gangguan obsesif kompulsif tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga dapat terjadi sejak anak masih di usia dini. Salah satu penyebab terjadinya perilaku obsesif pada anak-anak adalah pengalaman masa lalu atau konflik masa lalu yang masih belum terseleikan. Orang tua yang menerapkan pola asuh yang berlebihan dan sengaja membebani anak-anak dengan tanggung jawab yang besar, juga dapat memicu timbulnya perilaku obsesif kompulsif terutama dalam hal kebersihan dan peribadatan. Selain itu, penerapan toilet training yang terlalu keras dan pembatasan masa bermain anak juga dapat mempengaruhi perkembangan psikis anak, dimana dalam masa-masa itu anak-anak sangat rentan terhadap rasa bersalah yang pada akhirnya akan memicu penyimpangan psikologis.
Gangguan Obsesif kompulsif tidak hanya terjadi pada perilaku pada umumnya, tetapi dalam islam juga terdapat gangguan obsesif kompulsi yang biasanya disebut dengan was-was. Sistem pembelajaran agama yang terlalu keras justru dapat memicu terjadinya gangguan psikologis pada anak-anak maupun pada remaja.
ABSTRACT
This research aims to understand and explain the obsessive compulsive behavior in religious at santri in Islamic Boarding School Of Fathul Hidayah Pangean, Maduran Lamongan. The research is the qualitative study with a design study cases in patients obssif compulsive disorder .The subject of research are two santri daughter hut pesantren14 fathul hidayah in the city lamongan with obsessive compulsive disorder since the age of children . This study found that the obsessive compulsive disorder is not only occurs in adults ,but also can occur since children are still in an early age .One cause of the obsessive behavior in children is past experience or because the conflict in the past . Parents who apply foster a pattern of excessive and deliberately burden children with the responsibility of large , also can trigger the emergence of obsessive compulsive behavior especially in terms of hygiene and places of worship .In addition , the application of toilet training too hard and the restriction of the child playing can also affect the development of psychic children , where in times of the sons of very susceptible to guilt which in turn will trigger psychological irregularities .
Obsessive compulsive disorder is not only happens on conduct in general , but in islam there are also obsessively compulsions disorder which is usually called uneasy .A system of religious learning who is excessively harsh it can trigger a psychological disorder in children and in adolescent.
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Halaman Pernyataan ... iii
Kata Pengantar ... iv
Daftar Isi ... v
Daftar Lampiran ... vi
Intisari ... vii
Abstract ... viii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Fokus Penelitian ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Keaslian Penelitian ... 9
BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Gangguan Obsesif Kompulsif ... 12
B. Kriteria Gangguan Obsesif Kompulsif ... 15
C. Sebab-sebab Gangguan Obsesif Kompulsif ... 17
D. Penyebab Gangguan Obsesif Kompulsif ... 19
E. Etiologi Gangguan Obsesif Kompulsif ... 22
F. Perilaku Obsesif Kompulsif dalam Beribadah... 26
BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 29
B. Lokasi Penelitian... 30
C. Sumber Data ... 30
D. Cara Pengumpulan Data ... 34
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data... 36
F. Keabsahan data ... 38
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 40
a. Subjek S ... 40
b. Subjek F ... 43
B. Hasil Penelitian ... 46
a. Deskripsi Hasil Temuan... 46
b. Analisis Temuan Penelitian ... 51
1. Subjek S ... 51
2. Subjek F ... 52
C. Pembahasan ... 54
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 63
Daftar Pustaka ... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Manusia diciptakan oleh Sang Khaliq dan diturunkan ke dunia ini
dilengkapi dengan berbagai perangkat dan potensi. Baik perangkat dalam arti fisik
maupun psikis, semua diciptakan Allah SWT sesuai dengan porsinya agar
manusia dapat mengembangkan diri sebaik mungkin dan dapat mengabdi kepada
Tuhan dengan sepenuhnya.
Penciptaan manusia yang “sempurna” dibandingkan makhluk lainnya,
membuat konsep tentang penciptaan manusia menjadi konsep sentral di berbagai
perbincangan. Baik dalam konteks agama, social, psikologi maupun keilmuan
lainnya. Bahkan dalam pembahasan psikologi agama disebutkan bahwa yang
menjadi objek psikologi agama bukanlah Tuhan tetapi manusia, yaitu manusia
yang beragama. Hal ini disebabkan karena tindakan beragama adalah tindakan
manusiawi.
Setiap manusia yang lahir selain membawa kemampuan yang baik, ia juga
memiliki kebutuhan psikologis yang berbeda-beda satu sama lain. Oleh karena itu
manusia amat dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang menurut Maslow
“kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan aspek-aspek intrinsik kodrat manusia”
(Jess & Gregory, 2010)
2
akan rasa aman, kebutuhan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan
penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. Jika kebutuhan atau dorongan yang
ada dalam diri manusia tidak dapat terpenuhi dan tidak tersalurkan dengan baik,
maka dapat berakibat fatal yakni berupa pelampiasan-pelampiasan yang
menyimpang, frustasi berkepanjangan, dan kecemasan yang berdampak pada
terganggunya kesehatan mental manusia tersebut. Kasus seperti ini sangat banyak
terjadi di masyarakat kita. Orang-orang yang tidak mampu mengatasi masalahnya
seperti kurang perhatian dari orang tua, adanya konflik kehidupan yang tidak
terseleseikan yang kemudian individu tersebut mengalami gangguan kepribadian
atau gangguan mental lainnya.
Terlebih karena penciptaan manusia yang sempurna diantara
makhluk-makhluk lainnya, membuat manusia selalu ingin terlihat lebih sempurna di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, perilaku manusia dalam hal
beribadah. Pengetahuan atau wawasan agama yang dimiliki manusia membuat
mereka menjadi pribadi yang selalu taat akan peraturan dalam agamanya.
Ketaatan yang tidak fleksibel pada peraturan dan perintah terserap dalam semua
tugas dan tujuan sehingga mengorbaknakn fleksibilitas dan spontanitas. Sifat
perfeksionis yang dimiliki seseorang seringkali menghalangi orang tersebut untuk
menyeleseikan tugasnya. Seringkali, tanpa memperhatikan betapa sempurnanya
pencapaian secara mendetail, mereka merasa yakin bahwa hasil tersebut belum
cukup bagus dan selanjutnya mereka akan mencari berbagai cara untuk
memperbaikinya. Biasanya orang-orang yang seperti ini terfokus pada kerja dan
3
menyenangkan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya penyimpangan psikologis
yang berdampak pada gangguan kecemasan atau gangguan kepribadian lainnya,
karena sering kali mereka merasa ragu dengan tugas-tugas dan tujuan untuk
memperoleh pencapaian yang sangat sempurna (Carman, 2007).
Ada sebagian orang yang dihantui oleh pikiran-pikiran irasional yang
mana itu tidak bisa dihilangkannya dan terus ada. Pikiran ini bahkan selalu
muncul walaupun saat dia tidak mengingnkannya. Pikiran ini bahkan terlihat
sangat bodoh dan tidak menyenangkan serta mengganggu kehidupan sehari-hari,
dan pemikiran seperti ini mengakibatkan keraguan yang selanjutnya bisa
menimbulkan gangguan psikologis yang tidak diinginkan, seperti gangguan
obsesif kompulsif.
Kasus seperti ini dilihat dari perspektif Psikologis merupakan bagian dari
gangguan kecemasan yang mana penderitanya mengalami pikiran yang menetap
atau muncul berulang-ulang yang tidak dapat dikendalikan oleh individu.
Biasanya pikiran obsesif ini di sertai dengan perilaku kompulsif yaitu suatu
tingkah laku yang reepetitif atau tindakan mental repetitive yang dirasakan
seseorang sebagai suatu keharusan atau dorongan yang harus dilakukan (APA,
2000).
Kasus demikian ini menarik untuk dibahas karena menimbulkan berbagai
pertanyaan mengenai penyebabnya, cara penanganannya seperti apa, ciri-cirinya
seperti apa dan individu yang bagaimana yang beresiko menderita OCD.
4
islam, gangguan obsesif kompulsif dalam beribadah bermanifestasi dalam suatu
keadaan yang dalam istilah agama Islam disebut was-was (Baduwailan, 2006).
Peneliti mengambil batasan Agama Islam karena relevansinya dengan mayoritas
penduduk Indonesia yang muslim,sekitar 88,22% (Badan Pusat Statistik, 2004).
Contoh perilaku was-was ini seperti mengambil air wudhu berulang kali,adanya
keragu-raguan yang berlebihan ketika melakukan ibadah ritual (seperti sholat) dan
lain-lain.
Dalam penelitian ini, klasifikasi kecenderungan perilaku obsesif kompulsif
yang akan diteliti tidak hanya memasukkan individu-individu yang sedang
mengalami gangguan dalam sample yang diambil ke dalam uji statistik, tetapi
juga individu-individu yang mengalami gejala permulaan obsesif kompulsif dalam
beribadah pada santri di salah satu pondok pesantren yang ada di kota Lamongan.
Peneliti mengambil permasalahan ditempat tersebut karena diambil dari
pengalaman pribadi yang pernah dialami oleh peneliti. Menurut peneliti, perilaku
obsesif kompulsif sering ditemukan saat peneliti masih menimba ilmu di pondok
pesantren tersebut. Setiap kali peneliti akan mengambil air wudlu, peneliti sering
mengamati santri lain yang juga sedang mengambil air wudlu. Peneliti
menemukan beberapa santri sering mengulang-ulang wudlu mereka hingga
beberapa kali. Contoh lain; didapati ketika peneliti sedang menunaikan sholat, ia
mengamati salah seorang santri yang sering kali mengulang takbir 4 hingga 5 kali
setiap ia mengerjakan sholat berjama’ah di musholah (Baduwailan, 2006).
Obsesif kompulsif adalah suatu gangguan cemas yang ditandai dengan
5
untuk melakukan sesuatu dan dilakukan dengan berulang kali. Obsesi sendiri
memilki pengertian gagasan, bayangan, dan impuls yang timbul didalam pikiran
secara berulang-ulang, sangat mengganggu dan pasien merasa tidak mampu untuk
menghentikannya (David, 2000).
Ciri primer dari gangguan kepribadian obsesif kompulsif adalah seorang
terokupasi (sibuk memikirkan) dengan peraturan, undang-undang dan
kesempurnaan (carman, 2007). Keraguan yang menyertai obsesif kompulsif
menyebabkan ketidakpastian tentang apakah seseorang bisa bertindak berdasarkan
pikiran-pikiran yang mengganggu, sehingga kritik diri atau membenci diri sendiri
atau bisa merasakan bahwa benda mati mempunyai jiwa. Meskipun orang dengan
OCD memahami bahwa gagasan-gagasan mereka tidak sesuai dengan dunia luar,
seringkali mereka merasa bahwa mereka harus bertindak seolah-olah gagasan
mereka benar. Sebagai contoh, seorang individu yang terlibat dalam penimbunan
kompulsif mungkin cenderung untuk merasa seperti memiliki kesanggupan atau
hak hidup, tetapi seperti seorang individu yang menemukan akibat perilaku
mereka tidak masuk akal pada tingkat yang lebih intelektual. Insel dan Akiskal,
1986 (dalam Mareta, tt) mencatat bahwa dalam obsesif kompulsif berat, obsesi
bisa pindah ke delusi ketika perlawanan terhadap obsesi ditinggalkan.
Pikiran yang muncul itu biasanya tidak dikehendaki, menimbulkan
penderitaan, dan kadang menakutkan atau membahayakan (misal: dorongan untuk
melompat ke depan mobil yang sedang berjalan; pikiran bahwa pasien akan
6
Gangguan obsesif kompulsif ditandai oleh penyempitan emosional,
kekerasan hati, sikap keras kepala dan kebimbangan. Gambaran penting dari
gangguan ini adalah pola perfeksionisme dan infleksibilitas yang pervasif
(Ibrahim,2012). Gangguan obsesif kompulsif ini dialami 2% samapi 3%
masyarakat pada umumnya dalam hidup mereka (APA, 2000). Dalam studi di
swedia menemukan bahwa meskipun kebanyakan pasien OCD menunjukkan
perbaikan, banyak juga yang terus berlanjut mempunyai symptom gangguan ini
sepanjang hidup mereka (Skoog, 1999).
Kita seringkali mendengar orang-orang yang digambarkan sebagai penjudi
kompulsif, pelahap makanan kompulsif, dan peminum kompulsif. Banyak
individu yang dapat saja menuturkan memiliki dorongan yang tidak dapat ditahan
untuk berjudi, makan dan minum alcohol, namun perilaku semacam itu secara
klinis tidak dianggap sebagai suatu kompulsi karena sering kali dilakukan dengan
perasaan senang. Kompulsi yang sebenarnya sering dianggap oleh pelaku sebagai
sesuatu yang tidak berasal dari dirinya (ego distonik) (Davidson & Neale).
Gangguan Obsesif Kompulsif seringkali disebut dengan OCD (Obsessive
compulsive disorder). Kebanyakan kompulsi jatuh ke dalam dua kategori yaitu
ritual pengecekan (cheking) dan ritual bersih-bersih (cleaning) (Nevid, 2003).
Dari perspektif Islam, pikiran-pikiran yang tidak diinginkan disebut
was-was, yakni sesuatu yang dibisikkan syaitan ke dalam hati dan pikiran manusia.
7
“..dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan
tipuan belaka. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas
mereka. dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga". (QS. Al-Israa: 64-65)
Peneliti mengangkat masalah ini, sebab dalam ajaran Islam, was-was
bukanlah suatu hal yang minor. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman tentang
penyakit was-was ini dalam surat An-Naas. “Katakanlah: "Aku berlidung kepada
Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. raja manusia. sembahan
manusia. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,yang
membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,dari (golongan) jin dan
manusia.” (QS. An-Nas: 1-6)
Kemudian dalam referensi lain, yakni karya Alaydrus (2013) juga
membahas tentang OCD namun menamakannya dengan was-was. Itulah istilah
yang sering kita dengar dan dapat menggambarkan gangguan ini. Menurutnya,
was-was adalah bisikan setan yang berharap orang akan menjadi malas melakukan
ibadah dan justru meninggalkannya. Pengertian tersebut memfokuskan bahasan
ini kepada hal ibadah.
Alaydrus (2013) mengutip perkataan Ibnu Abbas RA, yakni “Was-was
adalah penyakit orang mukmin”. Sehingga menurutnya, perkataan tersebut dapat
disimpulkan dalam dua hal, yakni pertama, orang yang mengalami penyakit ini
adalah mukmin, karena orang yang tidak beriman tidak akan peduli mengenai
keabsahan dan kesempurnaan ibadahnya. Kedua, was-was itu adalah penyakit dan
8
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
lebih lanjut tentang “Perilaku Obsesif Kompulsif dalam Beribadah pada Santri di
Pondok Pesantren Fathul Hidayah Pangean-Maduran-Lamongan”
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka pertanyaan penelitian
ini adalah:
1. Apa saja faktor penyebab perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah
pada santri di Pondok Pesantren Fathul Hidayah pangean, Maduran
Lamongan
2. Bagaimana perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada santri di
Pondok Pesantren Fathul Hidayah Pangean, Maduran Lamongan.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah disebutkan diatas, maka
tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk menjelaskan Faktor Penyebab terjadinya perilaku Obsesif
Kompulsif dalam beribadah Pada santri di Pondok Pesantren Fathul
Hidayah Pangean, maduran, Lamongan.
b. Untuk menjelaskan perilaku Obsesif Kompulsif dalam beribadah Pada
9
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang penelitian maka manfaat penelitian ini
adalah:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
secara teoritis baik kepada masyarakat maupun kepada peneliti sendiri tentang
perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada santri di Pondok pesantren
fathul hidayah Pangean, Maduran Lamongan.
2. Manfaat Bagi Masyarakat
Sebagai pengetahuan dan wawasan tentang khazanah ilmu yang bersifat
agamis terutama yang berkaitan dengan gangguan obsesif kompulsif, serta
dapat memperkuat nilai agama yang telah dipelajari oleh masyarakat sehingga
tidak terjadi lagi penyimpangan perilaku yang berupa gangguan psikologis
yang dialami masyarakat muslim tertentu.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jonathan dan Elyssa (2007)
dengan judul penelitian “When Religion and Obsessive-Compulsive Disorder
Collide: Treating Scrupulosity in Ultra-Orthodox Jews”. Penelitian ini membahas
tentang pengobatan terhadap pasien dengan gangguan obsesif kompulsif dalam
hal keagamaan pada Komunitas Yahudi Ultra-Orthodoks. Penelitian ini
10
religiusitas dapat mempengaruhi bentuk manifestasi perilaku obsesif kompulsif
pada Komunitas Yahudi Ultra-Orthodox.
Penelitian yang dilakukan oleh Mareta dan Lusy (tt) yang berjudul
“Perilaku Obsesif Kompulsif Pada PesertaPenurunan Berat Badan” dengan tujuan
untuk meneliti bagaimana perilaku obsesif kompulsif pada peserta penurunan
berat badan. Subjek yang diteliti adalah seorang wanita yang mengalami
kecenderungan obsesif kompulsif pada saat melakukan proses penurunan berat
badan. Penelitian ini menunjukkan bagaimana perilaku kecenderungan obsesif
kompulsif pada subjek. Perilaku obsesif kompulsif yang diaalami subjek adalah
subjek seringkali bercermin untuk memastikan bentuk tubuhnya tidak berubah,
subyek juga merasa bersalah apabila makan makanan yang menjadi pantangan
atau halangan dalam diet. Dalam penelitian ini, peneliti juga menemukan adanya
gangguan makan seperti bulimia menyertai perilaku diet.
Penelitian yang dilakukan oleh Warton (2008) terhadap mahasiswa di
Amerika Serikat menyebutkan bahwa 5,6% remaja putri yang berdiet dalam
jangka waktu lama akan menimbulkan perilaku makan menyimpang dan
selanjutnya menimbulkan suatu gangguan kepribadian yang disebut dengan
obsesif kompulsif. Menurutnya obsesif kompulsif juga terjadi pada orang yang
sedang melakukan penurunan berat badan. Perilaku tersebut di tandai dengan
orang yang selalu menimbang berat badannya.
Penelitian lain yang hampir sama adalah penelitian yang dilakukan oleh
Fairbun (2005) di Inggris menyebutkan bahwa seseorang yang berdiet dan saat itu
11
menunjukkan perilaku makan menyimpang dan akan mengalami kecemasan
apabila berat badannya naik meskipun Cuma sedikti. Selanjutnya mereka akan
terus menimbang berat badannya. Biasanya meskipun berat badannya sudah
dirasa cukup tetapi orang-orang yang mengalami obsesif kompulsif masih juga
merasa belum puas dan mereka seringkali masih ingin menurunkan berat
badannya lagi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Galih (2009) yan berjudul
“Hubungan Tingkat Religiusitas dengan OCD pada pria muslim di Forum
Halaqoh” yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar korelasi antara
religiusitas denga gangguan obsesif kompulsif. Subjek yang diteliti adalah 50 pria
muslim yang ada di forum halaqoh. Penelitian ini menunjukkan tidak adanya
hubungan religiusitas dengan OCD pada 50 pria muslim tersebut.
Dari beberapa penelitian sebelumnya yang telah ditemukan beberapa
penelitian yang memiliki variabel yang sama yaitu religiusitas dan perilaku
obsesif kompulsif. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Jonathan dan Elyssa
(2007), Mareta dan Lusy (tt), Wharton (2008), Fairbun (2005) dan galih (2009) .
Yang berbeda dengan penelitian kali ini adalah bagaimana Perilaku obeseif
kompulsif dalam beribadah pada santri di pondok Pesantren Fathul Hidayah
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Gangguan Obsesif Kompulsif
Penyakit Obsesif-Kompulsif ditandai dengan adanya obsesi dan kompulsi.
Obsesi adalah peristiwa kognitif repetitif, tidak diinginkan, dan intrusive yang
bisa berbentuk pikiran atau bayangan dalam pikiran atau hasrat (dorongan).
Mereka menerobos tiba-tiba ke dalan keadaran dan mengakibatkan peningkatan
dalam kecemasan subjektif (Oltmanns & Emery, 2013). Menurut de silva dan
Rachman, 2004 (dalam Oltmanns & Emery, 2013:195) Pikiran obsesif dapat
dibedakan dengan kekhawatiran dalam dua hal utama, yaitu:
1. Obsesi biasanya dialami oleh orang itu sebagai sesuatu yang dipicu oleh
masalah dalam kehidupan sehari-hari
2. Isi obsesi paling sering melibatkan tema yang dipersepsikan tidak dapat
diterima atau mengerikan secara sosial, seperti seks, kekerasan, dan
penyakit/kontaminasi
Sementara itu isi kekhawatiran cenderung terpusat di sekitar kekhawatiran
yang lebih lazim dan dapat diterima, seperti uang dan pekerjaan. Kompulsi adalah
perilaku atau tindakan mental repetitive yang digunakan untuk mengurangi
kecemasan (Oltmanns & Emery, 2013). Contohnya termasuk memeriksa beberapa
kali untuk memastikan bahwa pintunya telah terkunci atau mengulangi doa dalam
13
yang melakukannya. Orang itu berusaha untuk menolak melakukan kompulsi itu
tetapi tidak mampu untuk itu.
DSM IV-TR juga mendefinisikan OCD dalam kaitannya dengan obsesi
atau kompulsi. Kebanyakan orang yang mempengaruhi kriteria untuk ganguan ini
benar-benar memperlihatkan kedua simtom ini. Orang itu harus mangakui bahwa
obsesi atau kompulsi itu eksesif atau tidak masuk akal. Definisi DSM IV-TR itu
juga mensyaratkan bahwa orang itu harus berusaha untuk mengabaikan, menekan,
atau menetralisasikan pikiran atau impuls yang tidak diinginkan.
Gangguan Obsesif-kompulsif (obsessive-compulsive disorder, OCD)
adalah kondisi dimana individu tidak mampu mengontrol dari pikiran-pikirannya
yang menjadi obsesi yang sebenarnya tidak diharapkannya dan mengulang
beberapa kali perbuatan tertentu untuk dapat mengontrol pikirannya tersebut
untuk menurunkan tingkat kecemasannya. Gangguan obsesif-kompulsif
merupakan gangguan kecemasan dimana dalam kehidupan individu didominasi
oleh repetatif pikiran-pikiran (obsesi) yang ditindaklanjuti dengan perbuatan
secara berulang-ulang (kompulsi) untuk menurunkan kecemasannya. (UIN-Maliki
Press, 2013)
David A Tomb (2000) juga mengatakan bahwa Obsesi memilki pengertian
gagasan, bayangan, dan impuls yang timbul didalam pikiran secara
berulang-ulang, sangat mengganggu dan pasien merasa tidak mampu untuk
menghentikannya sedangkan Kompulsi adalah obsesi yang manifestasikan,
14
Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan cemas, dimana pikiran
seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang menetap dan tidak terkontrol, dan
ia dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu berulangulang, sehingga
menimbulkan stress dan mengganggu fungsinya dalam kehidupan sehari-hari
(Davison & Neale, 2012). Sering kali penderita obsesif kompulsif tidak menyadari
bahwa mereka menderita obsesif kompulsif.Menurut Steketee dan Barlow
(Durand & Barlow, 2006), kompulsi dapat berbentuk perilaku (misalnya mencuci
tangan, memeriksa keadaan) atau mental (memikirkan tentang kata-kata tertentu
dengan urutan tertentu, menghitung, berdoa dan seterusnya). Penderita gangguan
ini mungkin telah berusaha untuk melawan pikiran-pikiran menganggu tersebut
yang timbul secara berulang-ulang akan tetapi tidak mampu menahan dorongan
melakukan tindakan berulang untuk memastikan segala sesuatunya baik-baik saja.
Gangguan Obsesif Kompulsif Obsesif kompulsif adalah suatu gangguan
cemas yang ditandai dengan adanya suatu ide yang mendesak dan adanya
dorongan yang tak dapat ditahan untuk melakukan sesuatu dan dilakukan dengan
berulang kali. Terdiri dari dua unsur yaitu obsesi yang diartikan sebagai suatu ide
yang mendesak ke dalam pikiran serta kompulsi yang diartikan sebagai dorongan
yang tak dapat ditahan untuk melakukan sesuatu. Dalam manifestasinya, setiap
individu dapat berbeda-beda, sebagai contoh perasaan cemas akan kebersihan
dirinya, akan terwujud deengan perilaku mencuci tangan yang berulang ulang,
perasaan cemas akan keamanan rumah tempat tinggalnya,terwujud dengan
pengecekan pintu-pintu rumah secara berulang (Maramis, 2005). Sedangkan
15
a. disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
b. sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan.
c. bukan merupakan hal yang memberi kesenangan melainkan sebagai
pelepasan atau perasaan lega dari kecemasan jika tidak melakukan
tindakan tersebut.
d. ada pengulangan-pengulangan baik itu pikiran maupun tindakan.
Gejala obsesif kompulsif ini juga termanifestasi sekunder pada penderita
skizofrenia, sindroma Tourette, nerosa fobik, depresi dan gangguan mental
organik. Penyebabnya tidak diketahui. Gangguan obsesif-kompulsif tidak ada
kaitan dengan bentuk karakteristik kepribadian seseorang, pada individu yang
memiliki kepribadian obsesif-kompulsif cenderung untuk bangga dengan
ketelitian, kerapian dan perhatian terhadap hal-hal kecil, sebaliknya pada
gangguan obsesif-kompulsif, individu merasa tertekan dengan kemunculan
perilakunya yang tidak dapat dikontrol. Mereka merasa malu bila
perilaku-perilaku tersebut dipertanyakan oleh orang yang melihatnya karena melakukan
pekerjaan yang secara berulang-ulang. Mereka berusaha mati-matian untuk
menghilangkan kebiasaan tersebut.
B. Kriteria Gangguan Obesesif Kompulsif
Berikut adalah kriteris gangguan obsesif kompulsif dalam DSM IV-TR:
a) Salah satu obsesi atau kompulsi
16
1. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan yang rekuren dan persisten
yang dialami, pada suatu saat selama gangguan, sebagai intrusive dan
tidak sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan penderitaan yang jelas.
2. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangantidak semata-mata
kekhawatiran yang berlebihan tentang masalah kehidupan yang nyata.
3. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls,
atau bayangan-bayangan tersebut untuk menetralkannya dengan
pikiran atau tindakan lain.
4. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan
obsessional adalah keluar dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan
dari luar seperti penyisipan pikiran)
Kompulsi seperti yang disebabkan oleh (1) dan (2):
1. Perilaku (misalnya: mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau
tindakan mental (misalkan: berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata
dalam hati) yang berulang yang dirasakannya mendorong untuk
melakukannya sebagai respon terhadap suatu obsesi atau menurut
dengan aturan yang harus dipenuhi secara kaku.
2. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau
menurunkan penderitaan atau mencegah suatu kejadian atau situasi
yang menakutkan; tetapi perilaku atau tindakan mental tersebut tidak
dihubungkan dengan cara yang realistik dengan apa mereka anggap
17
b) Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari
bahwa obsesi atau kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan (tidak
berlaku pada anak-anak)
c) Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang jelas; menghabiskan
waktu (menghabiskan lebih dari satu jam sehari); atau secara bermakna
mengganggu rutinitas normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik),
atau aktivitas atau hubungan social yang biasanya.
d) Jika terdapat gangguan aksis I dan lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak
terbatas padanya (misalnya, preokupasi dengan makanan jika terdapat
gangguan makan; menarik rambut jika terdapat trikotilomania;
permasalahan penampilan jika terdapat dismorfik tubuh; preokupasi
dengan obat jika terdapat suatu gangguan penggunaan zat; preokupasi
dengan menderita suatu penyakit serius jika terdapat hipokondriasis;
preokupasi dengan dorongan atau fantasi seksual jika terdapat parafilia;
atau perenungan bersalah jika terdapat gangguan depresif berat)
e) Tidak disesbabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum.
C. Sebab-sebab Gangguan Obsesif Kompulsif
1. Aspek Biologis
Davison dan Neale (2012) menjelaskan bahwa salah satu
18
serotonin. Keterlibatan serotonin ini belum sebagai penyebab individu
mengalami gangguan obsesif kompulsif, melainkan sebagai pembentuk
dari gangguan ini. Fungsi serotonin di otak ditentukan oleh lokasi system
proyeksinya. Proyeksi pada konteks frontal diperlukan untuk pengaturan
mood, proyeksi pada ganglia basalis bertanggung jawab pada gangguan
obsesi kompulsi.
2. Psikologis
Klien-klien OCD menyetarakan pikiran dengan tindakan atau
aktifitas tertentu yang dipresentasikan oleh pikiran tersebut. Ini disebut
“thought-action fusion” (fusi pikiran dan tindakan). Fusi antara pikiran dan
tindakan ini dapat disebabkan oleh sikap-sikap tanggung jawab yang
berlebih-lebihan yang menyebabkan timbulnya rasa bersalah seperti yang
berkembang selama masa kanak-kanak, dimana pikiran jahat diasosiasikan
dengan niat jahat (Durand & Barlow, 2006).
3. Faktor Psikososial
Menurut Freud, 1997 (dalam Kaplan, 1997:43), gangguan
obsesif-kompulsif bisa disebabkan karena regresi dari fase anal dalam
perkembangannya. Mekanisme pertahanan psikologis mungkin memegang
peranan pada beberapa manifestasi pada gangguan obsesif-kompulsif.
Represi perasaan marah terhadap seseorang mungkin menjadi alasan
19
D. Penyebab Gangguan Obsesif Kompulsif
Gangguan obsesif-kompulsif tidak ada kaitan dengan bentuk karakteristik
kepribadian seseorang, pada individu yang memiliki kepribadian
obsesif-kompulsif cenderung untuk bangga dengan ketelitian, kerapian dan perhatian
terhadap hal-hal kecil, sebaliknya pada gangguan obsesif-kompulsif, individu
merasa tertekan dengan kemunculan perilakunya yang tidak dapat dikontrol.
Mereka merasa malu bila perilaku-perilaku tersebut dipertanyakan oleh orang
yang melihatnya karena melakukan pekerjaan yang secara berulang-ulang.
Mereka berusaha mati-matian untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. Berikut
adalah penyebab gangguan Obsesif kompusilf (Oltmanns & Emery,2012):
1. Genetik - (Keturunan). Mereka yang mempunyai anggota keluarga yang
mempunyai sejarah penyakit ini kemungkinan beresiko mengalami OCD
(Obsesif Compulsive Disorder).
2. Organik – Masalah organik seperti terjadi masalah neurologi dibagian -
bagian tertentu otak juga merupakan satu faktor bagi OCD. Kelainan saraf
seperti yang disebabkan oleh meningitis dan ensefalitis juga adalah salah
satu penyebab OCD.
3. Kepribadian - Mereka yang mempunyai kepribadian obsesif lebih
cenderung mendapat gangguan OCD. Ciri-ciri mereka yang memiliki
kepribadian ini ialah seperti keterlaluan mementingkan aspek kebersihan,
seseorang yang terlalu patuh pada peraturan, cerewet, sulit bekerja sama
20
4. Pengalaman masa lalu - Pengalaman masa lalu/lampau juga mudah
mencorakkan cara seseorang menangani masalah di antaranya dengan
menunjukkan gejala OCD.
5. Gangguan obsesif-kompulsif erat kaitan dengan depresi atau riwayat
kecemasan sebelumnya. Beberapa gejala penderita obsesif-kompulsif
seringkali juga menunjukkan
6. Konflik - Mereka yang mengalami gangguan ini biasanya menghadapi
konflik jiwa yang berasal dari masalah hidup. Contohnya hubungan antara
suami-istri, di tempat kerja, keyakinan diri.
Individu yang beresiko mengalami gangguan obsesif-kompulsif adalah (Oltmanns
& Emery, 2012);
a. Individu yang mengalami permasalahan dalam keluarga dari broken home,
kesalahan atau kehilangan masa kanak-kanaknya. (teori ini masih
dianggap lemah namun masih dapat diperhitungkan)
b. Faktor neurobilogi dapat berupa kerusakan pada lobus frontalis, ganglia
basalis dan singulum.
c. Individu yang memilki intensitas stress yang tinggi
d. Riwayat gangguan kecemasan
e. Depresi
f. Individu yang mengalami gangguan seksual
Simptom dari Obsesif Kompulsif ditandai dengan pengulangan (repetatif)
21
berlangsung selama 1 sampai 2 minggu selanjutnya (PPDGJ III, 20031). Gejala
utama obsesi-kompulsif harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Perilaku dan pikiran yang muncul tersebut disadari sepenuhnya oleh
individu atau didasarkan pada impuls dalam dirinya sendiri. Individu juga
menyadari bahwa perilakunya itu tidak rasional, namun tetap dilakukan
untuk mengurangi kecemasan.
2. Beberapa perilaku yang muncul disadari oleh individu dan berusaha
melawan kebiasaan dan pikiran-pikiran rasa cemas tersebut sekuat tenaga,
namun tidak berhasil.
3. Pikiran dan tindakan tersebut tidak memberikan perasaan lega, rasa puas
atau kesenangan, melainkan disebabkan oleh rasa khawatir secara
berlebihan dan mengurangi stres yang dirasakannya.
4. Obsesi (pikiran) dan kompulsi (perilaku) sifatnya berulang-ulang secara
terus-menerus dalam beberapa kali setiap harinya.
5. Obsesi dan kompulsi menyebabkan terjadinya tekanan dalam diri
penderita dan menghabiskan waktu (lebih dari satu jam sehari) atau secara
signifikan mengganggu fungsi normal seseorang, atau kegiatan sosial atau
suatu hubungan dengan orang lain.
6. Penderita merasa terdorong untuk melakukan ritual, yaitu tindakan
berulang seperti mencuci tangan & melakukan pengecekan dengan
22
E. Etiologi gangguan Obsesif Kompulsif
1. Teori Psikoanalisis
Dalam teori psikoanalisis, obsesi dan kompulsi dipandang sebagai
hal yang sama, yang disebabkan oleh dorongan instingtual, seksual, atau
agresif yang tidak dapat dikendalikan karena toilet training yang terlalu
keras. Yang bersangkutan kemudian terfiksasi pada tahap anal.
Simtom-simtom yang muncul dianggap mencerminkan hasil perjuangan antara id
dan mekanisme pertahanan diri. Disini, insting agresif id mendominasi dan
kadangkala mekanisme pertahanan yang mendominasi. Sebagai contoh,
ketika pikiran obsesif untuk membunuh muncul, saat itu dorongan id
mendominasi. Akan tetapi lebih sering simtom-simtom yang muncul
mencerminkan bekerjanya salah satu mekanisme pertahanan yang hanya
separuh berhasil. Sebagai contoh, seseorang yang terfiksasi pada tahap
anal dapat melalui formasi fiksasi, menahan dorongan untuk
berkotor-kotor dan secara kompulsif menjadi bersih, rapi dan teratur (Davidson dkk,
2012)
Alfred Adler, ((1931) dalam Davidson dkk, 2012:207) memandang
gangguan obsesif kompulsif sebagai akibat dari rasa tidak kompeten. Dia
percaya bahwa ketika anak-anak tidak didorong untuk mengembangkan
suatu perasaan kompeten oleh orang tua yang terlalu memanjakan atau
sangat dominan, mereka mengalami kompleks inferioritas dan secara tidak
sadardapat melakukan ritual kompulsif untuk menciptakan suatu wilayah
23
berpendapat bahwa tindakan kompulsif memungkinkan seseorang sangat
terampil dalam suatu hal, bahkan jika suatu hal itu hanya berupa posisi
menulis di meja.
Sigmund freud menjelaskan tiga mekanisme pertahanan psikologis
utama yang menentukan bentuk, kualitas gejala dan sifat karakter obsesif
kompulsif, yaitu: isolasi, meruntuhkan (undoing) dan pembentukan reaksi
(Kaplan, 1997).
a. Isolasi
Isolasi adalah mekanisme pertahanan yang melindungi seseorang
dari afek dan impuls yang mencetuskan kecemasan. Pada umumnya
seseorang secara sadar mengalami afek dan khayalan dari suatu gagasan
yang mengandung emosi (emotion-laden), terlepas apakah ini berupa
fantasia atau ingatan terhadap suatu peristiwa. Jika terjadi isolasi, afek dan
impuls yang didapatkan darinya adalah dipisahkan dari komponen
irasional dan dikeluarkan dari kesadaran. Jika isolasi berhasil sepenuhnya,
impuls dan afek yang terkait seluruhnya terepresi, dan pasien secara sadar
hanya menyadari gagasan yang tidak memiliki afek yang berhubungan
dengannya.
b. Meruntuhkan (Undoing)
Adanya ancaman yang terus menerus bahwa impuls mungkin dapat
lolos dari mekanisme primer isolasi dan menjadi bebas, operasi pertahanan
24
Tindakan kompulsif menyumbangkan manifestasi permukaan
operasi defensif yang ditujukan untuk menurunkan kecemasan dan
mengendalikan impuls dasar yang belum diatasai secara memadai oleh
isolasi. Operasi pertahanan sekunder yang cukup penting adalah
mekanisme meruntuhkan (undoing). Meruntuhkan adalah suatu tindakan
kompulsif yang dilakukan dalam usaha untuk mencegah atau meruntuhkan
akibat yang secara irasional akan dialami pasien akibat pikiran atau impuls
obsessional yang menakutkan.
c. Pembentukam Reaksi (Reaction Formation)
Baik isolasi maupun meruntukan adalah tindakan pertahanan yang
terlibat erat dalam menghasilkan gejala klinis. Pembentukan gejala
menyebabkan pembentukan sifat karakter, bukannya gejala.
Pembentukan reaksi melibatkan pola perilaku yang bermanifestasi
dan sikap yang secara sadar dialami yang jelas berlawanan dengan impuls
dasar. Seringkali pola yang terlihat oleh pengamat adalah sangat
dilebih-lebihkan dan tidak sesuai.
2. Teori Behavioral dan kognitif
Teori behavioral menganggap kompulsi sebagai perilaku yang
dipelajari yang dikuatkan oleh reduksi rasa takut (Meyer & Chesser,
1970). Sebagai contoh, mencuci tangan secara kompulsif dipandang
sebagai respons pelarian operant yang mengurangi kekhawatiran
25
Sejalan dengan itu, pengecekan secara kompusif dapat mengurangi
kecemasan terhadap apapun bencana yang diantisipasi pasien jika ritual
pengecekan tersebut tidak dilakukan. Respons-respons psikofisiologis
memang dapat dikurangi dengan perilaku kompulsif semacam itu.
Tindakan kompulsif sering muncul karena stimuli yang menimbulkan
kecemasan sulit disadari. Sebagai contoh, sulit untuk mengetahui kapan
kuman muncul dan kapan kuman tersebut telah dihilangkan oleh ritual
pembersihan (Mineka & Zimbarg, 1996 (dalam Davison dkk, 2012:217).
Pemikiran lain mengenai pengecekan secara kompulsif adalah
bahwa hal itu disebabkan oleh defisit memori. Ketidakmampuan untuk
mengingat suatu tindakan secara akurat (seperti mematikan kompor) atau
membedakan antara perilaku actual dan perilaku yang dibayangkan dapat
menyebabkan seseorang berulangkali melakukan penegcekan (Davidson
dkk, 2012).
Namun demikian, sebagian besar studi menemukan bahwa
penderita OCD tidak menunjukkan defisit memori. Sebagai contoh, salah
satu study membandingkan pasien penderita OCD, gangguan panic, dan
orang-orang normal pada tes mengenai informasi umum. Tidak ada
perbedaan diantara ketiga kelompok dalam jumlah jawaban benar. Tetapi
para pasien penderita OCD kurang yakin dengan jawaban mereka
dibanding kelompok normal.
26
dengan pikiran yang agak mengganggu pada orang-orang normal tentang
stimuli yang penuh stress, misalnya film menakutkan (Horowitz, 1975
(dalam Davidson & Neale, 2012:218)
Orang-orang dengan gangguan obsesif kompulsif secara aktif
mungkin mencoba menekan pikiran-pikiran yang menganggu tersebut,
namun seringkali dengan konsekuensinya yang tidak mengenakkan
(Davidson & Neale, 2012).
F. Perilaku Obsesif Kompulsif Dalam Beribadah
Dalam islam, gangguan obsesif kompulsif dalam beribadah bermanifestasi
dalam suatu keadaan yang dalam istilah agama Islam disebut was-was
(Baduwailan, 2006). Peneliti mengambil batasan Agama Islam karena
relevansinya dengan mayoritas penduduk Indonesia yang muslim,sekitar 88,22%
(Badan Pusat Statistik, 2004). Contoh perilaku was-was ini seperti mengambil air
wudhu berulang kali,adanya keragu-raguan yang berlebihan ketika melakukan
ibadah ritual (seperti sholat) dan lain-lain.
Dari perspektif Islam, pikiran-pikiran yang tidak diinginkan disebut
was-was, yakni sesuatu yang dibisikkan syaitan ke dalam hati dan pikiran manusia.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “..dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan
kepada mereka melainkan tipuan belaka. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu
tidak dapat berkuasa atas mereka. dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga".
27
Peneliti mengangkat masalah ini, sebab dalam ajaran Islam, was-was
bukanlah suatu hal yang minor. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman tentang
penyakit was-was ini dalam surat An-Naas. “Katakanlah: "Aku berlidung kepada
Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. raja manusia. sembahan
manusia. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,yang
membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,dari (golongan) jin dan
manusia.” (QS. An-Nas: 1-6)
Kemudian dalam referensi lain, yakni karya Alaydrus (2013) juga
membahas tentang OCD namun menamakannya dengan was-was. Itulah istilah
yang sering kita dengar dan dapat menggambarkan gangguan ini. Menurutnya,
was-was adalah bisikan setan yang berharap orang akan menjadi malas melakukan
ibadah dan justru meninggalkannya. Pengertian tersebut memfokuskan bahasan
ini kepada hal ibadah.
Alaydrus (2013) mengutip perkataan Ibnu Abbas RA, yakni “Was-was
adalah penyakit orang mukmin”. Sehingga menurutnya, perkataan tersebut dapat
disimpulkan dalam dua hal, yakni pertama, orang yang mengalami penyakit ini
adalah mukmin, karena orang yang tidak beriman tidak akan peduli mengenai
keabsahan dan kesempurnaan ibadahnya. Kedua, was-was itu adalah penyakit dan
sudah seharusnya diobati, karena was-was dapat merusak ibadah jika terus
dibiarkan.
Mengenai keterkaitan antara gangguan obsesif kompulsif dalam beribadah dengan
28
dalam beribadah terutama ibadah ritual (dengan religiusitas rendah, bisa
dipastikan individu tersebut tidak serius dalam beribadah dalam sebagian besar
waktunya) walaupun tidak menutup kemungkinan individu tersebut terkena
gangguan serupa tetapi berkaitan dengan aspek non religi. Selain itu, menurut
Ibnul Qoyyim dalam Baduwailan (2006), gangguan obsesif kompulsif dalam
beribadah juga diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan yang memadai dalam
ilmu-ilmu agama sehingga terjerumus dalam perilaku yang berlebih-lebihan.
29
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan pada fokus permasalahan yang dikaji yaitu perilaku obsesif
kompulsif dalam beribadah pada santri, maka penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan desain penelitian kualitatif deskriptif dengan
menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Penelitian ini memusatkan diri
secara intensif pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu
kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan,
dengan kata lain dalam studi ini dikumpulkan dari berbagai sumber (Nawawi,
2003).
Pengertian studi kasus menurut Basuki (2006) definisi studi kasus adalah
suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki
sifat kekhususan (particularity), dapat dilakukan baik dengan pendekatan
kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan (individual) maupun
kelompok, bahkan masyarakat luas.
Penelitian studi kasus akan kurang kedalamannya bilamana hanya
dipusatkan pada fase tertentu saja atau salah satu aspek tertentu sebelum
memperoleh gambaran umum tentang kasus tersebut. Sebaliknya studi kasus
akan kehilangan artinya kalau hanya ditujukan sekedar untuk memperoleh
gambaran umum namun tanpa menemukan sesuatu atau beberapa aspek khusus
30
diselidiki. Walaupun demikian, data studi kasus dapat diperoleh tidak saja dari
kasus yang diteliti, tetapi, juga dapat diperoleh dari semua pihak yang
mengetahui dan mengenal kasus tersebut dengan baik. Dengan kata lain, data
dalam studi kasus dapat diperoleh dari berbagai sumber namun terbatas dalam
kasus yang akan diteliti (Moleong, 2007).
Dengan menggunakan pedekatan studi kasus peneliti dapat memperoleh
gambaran yang terorganisasikan dengan baik dan lengkap serta pemahaman utuh
dan terintegrasi mengenai perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada santri
di Pondok Pesantren fathul Hidayah Pangean, Maduran-Lamongan.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Fathul Hidayah yang berada
di Desa Pangean Kecamatan Maduran,Kabupaten Lamongan. Pondok ini terletak
di bagian selatan kecamatan maduran dan di bagian utara kecamatan sekaran.
Letaknya sangat strategis, yakni diantara desa Pangean dan Desa Sekaran. Alasan
memilih penelitian di Pondok tersebut, karena individu yang menjadi subjek
penelitian adalah santri di Pondok Pesantren tersebut.
C. Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif, pemilihan informan dapat menggunakan
criterion-based selection, yang didasarkan pada asumsi bahwa subjek tersebut
sebagai actor dalam tema penelitian yang diajukan.Selain itu dlaam menentukan
31
untuk memperluas subjek penelitian. Hal lain yang harus diketahui bahwa dalam
penelitian kualitatif, kuatitas subjek bukanlah hal yang utama sehingga pemilihan
informan lebih didasari pada kualitas informasi yang terkait dengan tema
penelitian yang diajukan. (Idrus, 2009).
Sumber data adalah subyek dimana data itu dapat diperoleh (Arikunto,
1998). Menurut sumbernya, data penelitian dibagi menjadi dua, yaitu data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek
penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data
langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Data sekunder
adalah data yang tidak langsung diperoleh peneliti dari objek lain (Azwar, 1998).
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti dari sumber pertamanya (Suryabrata, 1998). Subjek penelitian ini
ditentukan dengan Purposive Sampling dengan teknik Snowball Sampling.
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber
data dengan pertimbangan tertentu (Moleong, 2007). Snowball sampling
adalah teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya
jumlahnya sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap,
maka harus mencari orang lain yang dapat digunakan sebagai sumber data
(Sugiyono, 2008). Jadi, penentuan sampel dalam penelitian kualitatif
dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian
32
berdasarkan data atau informasi yang diperoleh dari sampel sebelumnya
itu peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan
memberikan data lebih lengkap (Sugiyono, 2008). Peneliti memilih subjek
tersebut, karena subjek tersebut mempunyai kriteria dan tujuan yang sesuai
dengan topik yang diteliti (Ulber, 2009).
Untuk mengungkapkan sebuah kasus mengenai perilaku obsesif
kompulsif dalam beribadah pada santri diperlukan adanya subjek yang
dapat memberikan data serta mampu memberikan gambaran yang nyata
berkenaan dengan kasus tersebut.
Dalam penelitian ini, sumber data primer yang pertama adalah
subjek yang berjumlah dua orang, Inisial namanya adalah S dan F. S
adalah seorang santri kelas 3 SMA yang berusia 18 tahun di Pondok
Pesantren Fathul Hidayah. S merupakan santri yang sering menduduki
peringkat atas dikelasnya. S telah menempuh pendidikan pesantren selama
6 tahun di Pondok tersebut. S mengaku terkena gangguan tersebut sejak
duduk di bangku SD, S juga pernah di bawa ke psikolog untuk
pemeriksaan namun belum memperoleh terapi, karena kedua orang tuanya
yang tidak percaya bahwa S di diagnosis terkena gangguan tersebut.
Sama halnya dengan S, F juga merupakan santri yang baru duduk
dikelas 3 SMA yang berusia 17 tahun. F merupakan santri yang juga telah
menempuh pendidikan pesantren selama 6 tahun. Sebelumnya F juga
sudah menempuh pendidikan agama yang begitu keras dari ibunya. F
33
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain yang
tidak langsung diperoleh dari subjek penelitian (Azwar, 1998). Sumber
sekunder yang biasa disebut dengan significant other dalam penelitian ini
adalah orang lain yang dekat dengan subjek (mempunyai hubungan)
sehingga diduga kuat mempunyai informasi tentang subjek.
Pada awalnya, peneliti menunjuk kedua orang tua subjek untuk
menjadi Significant Other dalam penelitian ini. Namun kedua orang tua
subjek menolak untuk di wawancarai mengenai gangguan yang terjadi
pada subjek karena alasan sibuk bekerja. Kemudia kedua orang tua subjek
meminta untuk mewawancarai teman sekamar atau teman sekelas subjek.
Jumlah significant other dalam penelitian ini adalah 2 orang, yang
mana 1 orang untuk subjek pertama dan 1 orang untuk subjek kedua yaitu:
1. T yang merupakan teman subjek pertama S. T adalah teman sekelas dan
teman sekamar S di pondok pesantren tersebut.
2. M yang merupakan teman subjek F. M adalah teman bermain F sejak kecil
sampai sekarang. F juga merupakan teman sekelas dan sekamar F di
Pondok pesantren.
Berdasarkan etika penelitian dalam menyebutkan nama subjek maupun
significant other dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan inisial nama
34
D. Cara pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat disesuaikan
dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti karena bersifat
terbuka dan luwes. Banyak metode yang dapat digunakan dalam pengumpulan
data penelitian kualitatif. Di dalam penelitian ini, pengumpulan data yang
dilakukan terhadap subyek menggunakan beberapa metode yaitu:
a. Wawancara
Wawancara dalam penelitian kualitatif dilakukan untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang dipahami
oleh individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud
mengadakan eksplorasi terhadapnya (Sugiyono, 2008). Wawancara
merupakan metode pengumpulan data dalam bentuk komunikasi verbal
yang dapat merekonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan,
organisasi yang terjadi pada masa lalu, memproyeksikan sesuatu yang
diharapkan di masa depan (Moleong, 1995).
Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam.
Dengan melakukan wawancara mendalam peneliti dapat menggali saja apa
yang diketahui dan dialami subyek pada masa lampau ataupun masa
sekarang, serta hal-hal yang tersembunyi di dalam diri subyek. Dalam
proses wawancara peneliti dilingkapi dengan pedoman wawancara yang
sangat umum, pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan
35
daftar pengecek apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau
ditanyakan (Sugiyono, 2008).
Tehnik wawancara ini digunakan untuk mendapatkan informasi
yang terkait dengan apa saja faktor penyebab perilaku obsesif kompulsi
dalam beribadah pada santri dan bagaimana perilaku obsesif kompulsif
dalam beribadah pada santri di Pondok Pesantren Fathul hidayah Pangean,
Maduran-Lamongan.
b. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data dengan cara
mengamati langsung terhadap obyek penelitian. Observasi atau
pengamatan digunakan dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu
penelitian, yang merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh
perhatian untuk menyadari adanya suatu rangsangan tertentu yang
diinginkan, atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang
keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati
dan mencatat (Moleong, 1995).
Alasan digunakannya metode observasi ini untuk menunjang data
hasil dari wawancara, melalui observasi ini diharapkan beberapa bentuk
ekspresi wajah, gerakan tubuh atau body languarge bisa teramati atau
terdeteksi sehingga mampu memberikan cek dan recek terhadap
informasi-informasi yang telah di sampaikan oleh subyek dalam wawancara. Selain
36
serta perilaku yang muncul saat penelitian berlangsung (Herdiansyah,
2012).
Dalam penelitian ini peneliti ingin mengatahui bagaimana
pengalaman subjek dimasa lalu yang menyebabkan subjek berperilaku
menyimpang dan terkena gangguan obsesif kompulsif, peneliti akan
melihat atau melakukan observasi bagaimana ekspresi wajah atau body
language subjek pada saat menceritakan pengalaman masa lalunya.
Penelitian ini menggunakan jenis observasi non partisipan dimana
peneliti tidak ikut serta terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang subjek
lakukan, tetapi observasi dilakukan oleh teman subjek yang bertindak
sebagai Significant Other.
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum
memasuki lapangan, selama dilapangan, dan setelah seleasai dilapangan. Dalam
hal ini Nasution (1988) menyatakan “Analisis telah mulai sejak merumuskan dan
menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan , dan berlangsung terus sampai
penulisan hasil penelitian.
Data yang telah terhimpun kemudian diklarifikasikan untuk dianalisa
dengan menggunakan pendekatan analisa induktif, yaitu berangkat dari
fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit, kemudian dari fakta-fakta-fakta-fakta
dan peristiwa-peristiwa yang khusus konkrit itu ditarik generalisasi-generalisasi
37
Selanjutnya menggunakan analisa data yang dikembangkan oleh Miles dan
Huberman, dengan tiga jenis kegiatan, yaitu; reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang jalin menjalin pada saat
sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar.
Langkah pertama yaitu reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dari lapangan dapat
memberikan gambarkan secara jelas apa saja faktor penyebab yang dialami subjek
sehingga muncul perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah. Kemudian langkah
kedua adalah penyajian data. Dalam mendisplay atau menyajikan data peneliti
melakukan dalam bentuk uraian singkat atau teks yang bersifat naratif.
Setelah dilakukan reduksi data dan didukung dengan display atau
penyajian data maka proses yang terakhir adalah penarikan kesimpulan atau
verifikasi. kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang
sebelumnya belum pernah ada, temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran
suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah
di teliti dapat menjadi jelas. Pada penelitian ini diharapkan hasil yang di peroleh
dapat menggambarkan secara jelas apa saja faktor penyebab terjadinya perilaku
obsesif kompulsif dalam beribadah dan bagaimana perilaku obsesif kompulsif
38
F. Keabsahan Data
Uji kredibilitas data dilakukan dengan perpanjangan pengamatan,
meningkatkan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis
kasus negatif dan member check (Moelong, 1995). Setiap penelitian harus
memiliki kredibilitas sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Kredibilitas
penelitian kualitatif adalah keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi
masalah yang majemuk atau keterpercayaan terhadap hasil data penelitian.
Dalam penelitian ini, keabsahan data menggunakan triangulasi data yaitu
teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data yang terkumpul untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data-data tersebut. Hal ini dapat berupa penggunaan sumber, metode
penyidik dan teori (Moelong, 1995).
Keabsahan data yang dapat dilakukan oleh peneliti adalah dengan teknik
triangulasi yaitu teknik triangulasi sumber dan triangulasi metode. Maksud dari
teknik triangulasi sumber menurut Moleong (2007) adalah membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian. Jadi, dalam penelitian ini peneliti
melakukan wawancara mengenai hal yang sama yaitu perilaku obsesif kompulsif
dalam beribadah kepada teman subjek yang ditunjuk sebagai Significant Other
dalam penelitian ini.
Triangulasi metode adalah pengujian dengan cara mengecek data kepada
sumber yang sama dengan teknik berbeda, misalnya dengan melakukan observasi,
39
wawancara dengan subyek dan significant others serta metode observasi dengan
mengobservasi kegiatan subjek. Apabila terdapat hasil yang berbeda maka peneliti
melakukan konfirmasi kepada sumber data guna memperoleh data yang dianggap
benar. Kedua teknik tersebut akan dilakukan untuk mencari kebenaran dalam
memperoleh data mengenai perilaku obsesif kompulsif dalam beribadah pada
subjek S dan F. Peneliti juga melakukan observasi pada respon yang dimunculkan
oleh subjek maupun lingkungan sekitar subjek, yang dilakukan oleh significant
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Subjek
a. Subjek S
Nama : S
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal lahir : Lamongan, 3 September 1996
Alamat : Jl. P no 107
Pendidikan : SMA
Suku Bangsa : Jawa
Latar belakang budaya : Jawa timur
Urutan dalam keluarga : Anak tunggal
Status pernikahan : Belum menikah
Sejak kecil S dibesarkan dalam keluarga yang cukup sederhana. S
merupakan anak satu-satunya di keluarga tersebut. Namun meskipun S
merupakan anak tunggal, S adalah anak yang sangat mandiri. Sejak kecil S
sering di tinggal orang tuanya bekerja sampai larut malam. Pekerjaan
rumah pun dia yang mengerjakannya. S juga merupakan seorang anak
yang memiliki prestasi baik disekolahnya, seringkali Dia mendapatkan
juara kelas di sekolahnya.
Hubungan S dengan kedua orang tuanya terbilang cukup baik,
41
pendiam dan kurang terbuka. S hanya mau menceritakan masalahnya jika
dipaksa oleh ibu atau teman dekatnya. S cukup dekat dengan ibunya
namun tidak terlalu banyak berbicara ataupun curhat dengan ibunya. Ibu
baginya merupakan orang yang sabar dan pintar memasak. Namun, ibunya
juga merupakan orang yang emosinya peka dan kadang sulit menentukan
keputusan. Ibu nya juga merupakan orang yang sangat teliti dan
pembersih. Ibunya juga sering melarangnya untuk bermain yang
kotor-kotor, terutama sejak kelas 6 SD ibunya sudah membatasi pergaulan S
dengan teman sebayanya. Karena ibunya paling tidak suka S bermain
kotor-kotor dengan teman sebayanya. Tak jarang, sejak kecil S sering
menghabiskan waktu bermainnya di dalam kamar saja dan terkadang
hanya belajar dikamar seharian. Sejak kecil S juga sering di latih
membersihkan rumah dengan baik dan benar oleh ibunya. Jika masih
terdapat kotoran maka ibunya menuntut dia untuk mengulang hal tersebut
sampai benar-benar bersih.
Ayah bagi S adalah sosok yang tegar namun sangat keras kepala
dan terkadang terlalu jaga wibawa. Di sisi lain, ayahnya adalah sosok
pekerja keras, di mana semua pekerjaannya harus selesai dengan sempurna
dan tepat waktu. Ayahnya juga sering memarahi S bila nilai pelajarannya
buruk dan tidak sesuai harapan. Tak jarang ia mendapatkan juara kelas di
sekolahnya. Ayahnya selalu menuntut S untuk menjadi anak yang
42
baik, namun terlalu berlebihan. Misalkan dalam hal berwudlu, S harus
benar-benar memperhatikan cara dia berwudlu agar ibadah yang
dilakukannya sah menurut agama. Dia juga di tuntut untuk selalu
membersihkan pakaiannya dengan sangat hati-hati agar benar-benar
terhindar dan bersih dari najis. Prestasi akademik dan agamanya memang
terbilang sangat baik, karena tuntutan ayahnya untuk menjadi anak yang
perfeksionis dalam hal apapun. Hal ini menimbulkan S menjadi anak yang
perfeksionis, kuat, mandiri dan tanggung jawab. Namun S seringkali
terlihat cemas ketika akan melakukan sesuatu, karena dia sangat takut apa
yang dilakukannya tidak benar dan merasa tidak sempurna.
Sejak kecil, S merasa masa bermain adalah masa yang berat dan
menyedihkan. Sejak umur 4 tahun sampai kelas 6 SD, pergaulan dengan
teman sebayanya sudah di batasi oleh ibunya. Ibunya merupakan sosok
yag disiplin, keras dan banyak menuntut terutama dalam hal kebersihan.
Dan ayahnya juga sering menuntut S untuk belajar keras dalam hal
pendidikan agama maupun pendidikan umum supaya bisa menjadi anak
yang pintar dan kelak bisa mandiri tanpa orang tuanya. Hal inilah yang
membuat masa bermain S kurang, lebih banyak dihabiskan untuk belajar
43
b. Subjek F
Nama : F
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal lahir : Lamongan, 25 mei 1996
Alamat : Jl. M no 56
Pendidikan : SMA
Suku Bangsa : Jawa
Latar belakang budaya : Jawa timur
Urutan dalam keluarga : Anak pertama
Status pernikahan : Belum menikah
F merupakan anak pertama dari dua bersaudara, ia terlahir dari
keluarga yang cukup harmonis. Namun sama halnya dengan S, F juga
merupakan anak yang pendiam dan tertutup. F adalah anak yang suka
menjaga kebersihan dirinya sejak ia masih kecil. Ibunya adalah sosok yang
sangat baik dan pengertian namun juga termasuk ibu yang keras dalam hal
kebersihan dan dalam hal pendidikan agama. F seringkali meneliti
berulang-ulang pekerjaan yang dilakukannya, karena merasa takut akan
hal yang masih kurang dalam pekerjaannya. Ibunya menuntut F menjadi
anak yang sempurna ketimbang teman-teman lainnya. Seringkali ibunya
memarahi F karena pekerjaan yang dilakukannya kurang benar dan
sempurna. Sejak kecil ibunya juga menerapkan toilet training dengan
44
ulang jika ada debu yang menempel. Dan F menjadi pribadi yang sangat
berlebihan tentang masalah kebersihan. Lambat laun ketika SMP
pikiran-pikiran mengenai kebersihan semakin berkembang, dan kemanapun F
pergi harus membawa tisu basah untuk membersihkan tangannya.
Sekarang subjek beralih selau membawa handycleaner kemanapun F
pergi. F selalu memakainya ketika F merasa kotor seperti ketika akan
memegang handphone, gagang pintu, memakai sepatu, menaiki motor dan
lain-lain.
Prestasi akademik di sekolahnya, F cukup baik ketimbang
teman-temannya, ia sering kali mendapat peringkat 3 besar dikelasnya.
Nilai-nilainya sangat bagus, terutama nilai pelajaran agamanya. Karena sejak
kecil F sudah di tuntut untuk belajar ilmu agama dengan baik dan benar.
Namun cara ibunya mengajari F sangatlah berlebihan sehingga tak jarang
dia seringkali merasa cemas dengan apa yang hendak dikerjakannya.
Seperti saat F akan melaksanakan sholat, F lebih suka melaksanakan
sholat sendiri dari pada sholat berjama’ah, karena F sering mengulang
gerakan takbir karena merasa sholatnya kurang sah jika dia tidak
mengulangi gerakan takbir tersebut. F Sering kali dia merasa cemas ketika
hendak melakukan sholat dengan hanya b