• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang sejelasnya terhadap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang sejelasnya terhadap"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA DENGAN PELAKU ANGGOTA KEPOLISIAN (STUDI

KASUS DI WILAYAH HUKUM BOYOLALI)

Wisnu Jati Dewangga

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Email: wisnujati.dewangga@yahoo.com

ABSTRAK

P

enelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang sejelasnya terhadap penegakan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota polisi dalam penegakannya di dalam lingkup peradilan umum dan penegakan hukum di lingkup Institusi Kepolisian. Penelitian ini termasuk penelitian yuridis empiris karena penelitian ini membahas peraturan penegak hukum terhadap penyalahgunaan narkotika oleh anggota kepolisian kemudian dilanjutkan dengan melihat praktek penegakannya di Polres Boyolali. Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa: (1) Proses penegakan hukum terhadap anggota polisi yang terjerat kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di mana dalam proses penegakan baik yang dilakukan di tingkat kepolisian (tahap penyelidikan dan penyidikan), ditingkat kejaksaan (tahap penuntutan) sampai di tingkat peradilan (putusan hakim), keseluruhan sama seperti apabila yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika masyarakat umum. (2) Bahwa semua orang di mata hukum sama, bahkan dalam penegakan hukum yang tersangkanya adalah anggota polisi penjatuhan pidananya bisa lebih berat. Hal tersebut dikerenakan tersangka adalah aparat penegak hukum yang seharusnya menjalankan perintah jabatan untuk melawan narkotika, akan tetapi tersangka terlibat dalam kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Proses hukum terhadap polisi yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Proses penegakan kode etik profesi kepolisian terhadap anggota kepolisian yang terjerat kasus pidana penyalahgunaan narkotika masih belum dilaksanakan semaksimal mungkin di mana polisi tidak langsung menindak tegas anggota yang terjerat kasus pidana penyalahgunaan narkotika, seakan-akan pihak kepolisian masih melindungi anggotanya dan dianggap setelah anggotanya sudah diadili di peradilan umum dan dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana narkotika.

Kata Kunci: Tindak pidana, narkotika, kepolisian

ABSTRACT

T

his study aims to gain a clear picture of the enforcement of drug abuse offenses committed by police officers in their enforcement within the general scope of the judicial and law enforcement institutions in the scope of the police. This research includes empirical legal research for this study first discuss the rules of law enforcement against drug abuse by police members followed by a look at the practice of police enforcement in Boyolali. Based on the discussion, it can be concluded that: (1) Law enforcement officers are indicted for criminal cases substance abuse is in conformity with the legislation in force, in which the enforcement process is done at the level of both the police (the investigation stage), level attorney (prosecution stage) reached the level of the judiciary (judges decision), the same as if the overall crime drug abuse public. (2) That all men equal before the law, even the law enforcement officers that the suspect is the imposition of criminal can be more severe. Suspect it is the law enforcement officers who should run the command position to

(2)

fight narcotics, but he was involved in criminal cases drug abuse. Legal proceedings against the police officers who commit criminal acts are in accordance with Article 29 paragraph (1) of Act No. 2 of 2002 on the Indonesian National Police. (3) The process of enforcement of the code of professional conduct of members of the police who police caught the criminal cases substance abuse is still not implemented as much as possible where the police did not immediately take action against members of the tangled case of criminal abuse of narcotics, as if the police are still protecting its members and considered after members had be tried in a general court and found guilty of having committed the criminal narcotics.

Keywords: Tindak pidana, narkotika, kepolisian

Pendahuluan

Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan dalam menentukan perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut, menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan, menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.1

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia dibagi menjadi dua bagian yakni secara tradisional terdapat pada buku-buku hukum pidana dalam pembagian hukum pidana yang dibagi atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Pembagian hukum pidana umum (tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan hukum pidana khusus (tercantum dalam

perundang-undangan di luar KUHP).2 Salah satu hukum pidana khusus adalah hukum tentang

penyalahgunaan narkotika yang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undangan No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Media massa baik cetak maupun elektronik banyak yang memberitakan tentang adanya kasus pidana yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkotika yang terjadi di masyarakat sangat memprihatinkan, di mana penyalahgunaan narkotika sudah sangat meluas di setiap daerah dan golongan masyarakat. Tidak hanya sebatas itu, narkotika juga sudah menyentuh ke aparat penegak hukum khususnya polisi.

Seperti yang kemukakan oleh Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Kapolda Jateng), Inspektur Jenderal Didiek Sutomo Triwidodo, bahwa “ 12 oknum polisi di jajaran kepolisian setempat terlibat kasus penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) dalam periode Januari sampai dengan Juni 2012. Seluruh kota di Provinsi Jawa Tengah, kota Semarang dan Solo merupakan kota yang rawan terjadi tindak pidana penyalahgunaan narkoba. Kendati demikian, kami akan terus melakukan berbagai upaya untuk menekan jumlah kasus penyalahgunaan narkoba di semua kota”.3

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: (1) Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap anggota kepolisian yang melakukan tidak pidana penyalahgunaan narkotika, (2) Bagaimanakah penegakan pelanggaran kode etik kepolisian terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Hukum pidana yang berlaku di indonesia adalah hukum pidana yang telah dikodifiseer, yaitu sebagian besar dari aturan-aturan yang telah disusun dalam satu Kitab Undang-Undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menurut suatu sistem tertentu.4 Aturan pidana yang ada di luar wetboek ini seperti dalam Undang-undang Nomor 35

1 Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, hal. 1.

2 Ibid.

3 ANTARANews Minggu, 24 juni 2012 19:08 : www.antaranews.com/317919/ 12Oknum Polisi terlibat Narko-ba, diunduh selasa 16 Oktober 2012 pukul 15:37 Wib.

(3)

tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dijelaskan bahwa:“ Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”.

Operasionalisasi hukum (ius operatum) terhadap tindak pidana narkotika berhubungan dengan kewenangan penegakan hukum, secara substansial mengatur tentang fungsi penyelidikan, memberikan informasi, memberikan pelayanan yang adil, memberikan perlindungan pada masyarakat dan para sanksi, baik untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan maupun pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan, serta penerapan sanksi pidana.

Kepolisian sebagai aparat penegak hukum memiliki peran yang sangat sentral dalam penanggulangan kejahatan penyalahgunaan narkotika, khususnya pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP berbunyi bahwa: “Serangkaian

tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Pengertian penyidikan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP berbunyi bahwa: “Serangkaian

kegiatan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari bukti yang membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Pelanggaran tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang tersangkanya

merupakan anggota polisi, penegakannya dilanjutkan oleh instansi Kepolisian setelah tersangkanya sudah melalui proses peradilan umum.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berbunyi bahwa: “ Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah

pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Adapun Pasal 1 butir 15 Tentang

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 berbunyi bahwa: “ Provos

adalah satuan fungsi pada Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas membantu pimpinan untuk membina dan menegakkan disiplin serta memelihara tata tertib kehidupan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Propam atau Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah salah satu wadah organisasi Polri berbentuk Divisi yang bertanggungjawab kepada masalah pembinaan profesi dan pengamanan dilingkungan internal organisasi Polri sebagai salah satu unsur pelaksana staf khusus Polri di tingkat Markas Besar yang berada langsung di bawah Kapolri.5

PEMBAHASAN

1. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Anggota Kepolisian yang Melakukan Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengkajian tentang proses penegakan hukum tindak

pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota polisi, dengan melakukan

kajian terhadap tahap penyelidikan dan penyidikan dan tahap penuntutan dan tahap putusan di persidangan.

a. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan

Penyelidikan dalam perundang-undangan Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah: “

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

5 http://id.wikipedia.org/wiki/Divisi_Profesi_dan_Pengamanan_Kepolisian_Negara_Republik_ Indonesia

(4)

dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Aipda

Agus Setyawan menyatakan bahwa proses penyelidikan dilakukan karena ada keterangan dari tersangka tindak pidana penyalahgunaan bahwa narkotika didapatkan dari seorang anggota polisi yang bertugas di Boyolali. Kemudian penyidik melakukan pengembangan kasus dan melakukan proses penagkapan.6

Selanjutnya Aipda Agus Setyawan dalam proses penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota polisi dalam proses penyidikannya diterapkan serangkaian tindakan-tindakan sebagai berikut:

1) Penangkapan

Penangkapan terhadap tersangka dilakukan guna kepentingan suatu proses penyidikan, seperti yang yang dijelaskan dalam Pasal 16 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “(1)Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah

penyidikan berwenang melakukan penangkapan.

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyelidik pembantu berwenang melakukan penangkapan”.

Aipda Agus Setyawan mengungkapkan bahwa “penangkapan tersangka dimula

dari adanya pengembangan kasus dan hasil dari penyidikan tersebut kemudian saya menugaskan kepada 2 orang anggota kami untuk melakukan penangkapan terhadap anggota polisi tersebut disertai dengan surat penangkapan, akan tetapi sebelum terjadi proses penangkapan, anggota polisi tersebut menyerahkan diri ke Polres Boyolali”.77

2) Penahanan

Sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP penahanan dapat diartikan sebagai berikut: “Penahanan adalah penempatan tersangka

atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Aipda Agus Setyawan menyatakan bahwa penahanan dilakukan terhadap Tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika guna kepentingan proses penyidikan lebih lanjut tentang kasus yang disangkakan kepadanya dan agar tersangka tidak melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.8

3) Penyitaan

Pasal 1 angka 16 KUHAP di artikan penyitaan sebagai berikut: “ Penyitaan

adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan penuntutan dan peradilan”. Proses penyitaan barang bukti, penyidik melakukan

penyitaan secara spontan hal tersebut dikerenakan tersangka yang sudah disidik terlebih dahulu dalam penangkapannya terjadi secara langsung atau tertangkap tangan, maka penyidik dalam melakukan penyitaan tidak menyertakan surat izin dari Pengadilan Negeri setempat, akan tetapi setelah dilakukan penyitaan barang bukti kemudian penyidik melaporkan ke Pengadilan Negeri.9

6 Agus Setyawan, Penyidik Satuan Narkotika Polres Boyolali, Wawancara Pribadi, Boyolali, 4 Maret 2013, pukul 11:45 WIB.

7 Agus Setyawan, Penyidik satuan narkotika Polres Boyolali, Wawancara Pribadi, Boyolali, 4 Maret 2013, pukul 11:45 WIB.

8 Agus Styawan, Penyidik Satuan Narkotika Polres Boyolali, Wawancara Pribadi, Boyolali, 4 Maret 2013, pukul 11:45 WIB.

9 Agus Styawan, Penyidik satuan narkotika Polres Boyolali, Wawancara Pribadi, Boyolali, 4 Maret 2013, pukul 11:45 WIB.

(5)

4) Pemeriksaan saksi-saksi

Proses pemeriksaan saksi-saksi, terdapat dalam Pasal 1 angka (26) dan (27) KUHAP yang berbunyi: Pasal 1 angka 26 : “Keterangan saksi adalah salah

satu alat bukti dalam perkara yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Pasal 1 angka 27 : “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara

yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu”.

Aipda Agus Setyawan menyatakan bahwa menurut keterangan saksi yang merupakan tersangka bahwa salah satu anggota polisi juga terlibat dalam penyalahgunaan ini, mereka menyatakan bahwa narkotika jenis sabu-sabu tersebut didapatnya dari seorang anggota polisi yang bertugas di wilayah Kepolisian Boyolali. Kemudian semua keterangan saksi dicatat dalam berita acara pemeriksaan saksi-saksi dan ditandatangani saksi-saksi untuk memperkuat bukti keabsahan dari keterangan saksi tersebut.10

5) Pemeriksaan Ahli

Pada Pasal 1 butir 28 berbunyi: “Keterangan ahli adalah keterangan yang

diberikan o leh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Penyidik dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota kepolisian, Aipda Agus Styawan mengatakan bahwa penyidik mengirimkan barang bukti yang disangkakan sebagai narkotika dan urin tersangka ke Pusat Laboratorium Forensik BARESKRIM POLRI Laboratorium Forensik Cabang Semarang dan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh laboratorium forensik Semarang menyatakan bahwa benar serbuk kristal yang dikirimkan tersebut adalah narkotika jenis sabu-sabu dan menyatakan bahwa tes urin tersangka juga terkandung zat narkotika.11

6) Pemeriksaan tersangka

Keterangan tersangka sangat diperlukan dalam proses penyidikan untuk dapat mengungkap kasus yang berkaitan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Pasal 189 ayat 2 KUHAP dijelaskan bahwa keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang asalkan keterangan itu didukung oleh alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan padanya.

Aipda Agus Setyawan menjelaskan bahwa dalam melakukan pemeriksaan tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota polisi, menerangkan bahwa tersangka mengakui telah memakai narkotika tersebut dengan 2 orang temannya yang sudah ditangkap terlebih dahulu, tersangka memperoleh narkotika tersebut dari seseorang yang dia tidak kenal, dia membeli narkotika tersebut melalui hubungannya dengan pembeli lewat HP dan proses pembeliannya menggunakan transfer tunai, setelah uang dikirim penjual narkotika tersebut menaruh narkotika dibawah tiang listrik yang berada di perempatan Gembongan Kartasura.12

10 Agus Styawan, Penyidik Satuan Narkotika Polres Boyolali, Wawancara pribadi, Boyolali, 4 Maret 2013, pukul 11:45 WIB

11 Agus Styawan, Penyidik Satuan Narkotika Polres Boyolali, Wawancara Pribadi, Boyolali, 4 Maret 2013, pukul 11:45 WIB

12 Agus Setyawan, Penyidik Satuan Narkotika Polres Boyolali, Wawancara Pribadi, Boyolali, 4 Maret 2013, pukul 11:45 WIB.

(6)

7) Hasil Penyidikan Secara Menyeluruh oleh Polisi

Penyerahan hasil penyidikan tersebut dilakukan dengan 2 tahap, seperti yang diatur dalam Pasal 8 angka 3 KUHAP, yang berbunyi: “ Pada tahap pertama

penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; dan dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum”.

Selanjutnya Aipda Agus Setyawan menyatakan bahwa penyerahan tersangka ke Jaksa Penuntut Umum pada saat proses penyidikan sudah di anggap selesai oleh penyidik atau setelah Penuntut Umum menyatakan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap.13

b. Tahap Penuntutan

Pengertian penuntutan yang diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke

Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang Pengadilan”

Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan dakwaan alternatif yaitu Pasal 114 ayat 1 dan Pasal 127 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam memberika tuntutan tersebut, JPU tidak memandang bahwa dia adalah anggota polisi, semua proses sama seperti pada masyarakat umum, bahkan tuntutannya bisa lebih berat karena terdakwa dianggap sebagai aparat penegak hukum yang seharusnya lebih mengetahui tentang larangan penyalahgunaan narkotika, akan tetapi terdakwa dengan sengaja melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

c. Tahap Penyelesaian Perkara di Persidangan

Tahap pemeriksaan di tingakat Pengadilan, persidangan tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika diproses pemeriksaan dengan menggunakan acara biasa.

Selanjutnya menurut Sri Indah Rahmawati selaku hakim yang memeriksa kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anggota polisi menyatakan bahwa dalam proses persidangan terhadap tersangka semuanya jalannya sidang, proses persidangan dan anggota yang terlibat dalam proses persidangan semuanya sama seperti apabila terdakwanya masyarakat umum, dari keseluruhannya semua prosesnya sama walaupun dia anggota polisi semua di mata hukum sama, tidak ada kekhususan dalam prosese pemeriksaannya. Penjatuhan putusan terhadap terdakwa yakni dijatuhi putusan dengan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

2. Penegakan Pelanggaran Kode Etik Kepolisian Terhadap Anggota Kepolisian a. Sebagai Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

Guna tercapainya keadilan hukum dalam setiap pelanggaran Kode Etik Profesi Polisi dilaksanakan secara obyektif dan menjunjung tinggi keadilan serta memperhatikan jasa anggota polisi yang melanggar kode etik profesi polri dan berapa banyak keterlibatanya dalam masalah hukum yang menjeratnya.

Pasal 17 ayat 1 Perkap Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri, yang berhak melakukan penegakan kode etik POLRI adalah:

1) Propam Polri

13 Agus Styawan, Penyidik Satuan Narkotika Polres Boyolali, Wawancara pribadi, Boyolali, 4 Maret 2013, pukul 11:45 WIB

(7)

2) Komisi kode etik profesi 3) Komisi banding

4) Pengembangan fungsi hukum Polri 5) SDM Polri

6) Propram Polri dibidang rehabilitasi

Anggota Polri yang melakukan tindak pidana akan diberhentikan secara tidak hormat seperti yang dicantumkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang berbunyi sebagai berikut:

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 angka 5 berbunyi: “Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma-norma

atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan”.

Pasal 1 angka 11: “Penegakan KEPP adalah serangkaian tindakan pejabat Polri yang

diberi kewenangan menurut peraturan ini, untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan di Sidang KKEP, pemeriksaan Sidang Komisi Banding Kode Etik Polri terhadap Anggota Polri yang diduga melakukan Pelanggaran KEPP dan rehabilitasi Anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar atau tidak terbukti sebagai Pelanggar”.

Pasal 1 angka 17: “Pemberhentian Tidak Dengan Hormat yang selanjutnya disingkat

PTDH adalah pengakhiran masa dinas kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap seorang Anggota Polri karena telah terbukti melakukan Pelanggaran KEPP, disiplin, dan/ atau tindak pidana”.

Pasal 22: “(1) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui

Sidang KKEP terhadap: a. pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan b. pelanggar yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i. (2) Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf d, dan huruf f diputuskan melalui Sidang KKEP setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap”.

Pasal 12 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri disebutkan bahwa: “Anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 10 yang berbunyi:“(1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijadikan

(8)

Republik Indonesia, sejak dilakukan proses penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Pemberhentian sementara dari jabatan dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan secara langsung. (3) Ketentuan tentang tata cara pelaksanaan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Kapolri”.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dalam pasal 23 ayat (4) bahwa: “Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan ho rmat tidak atas

permintaan sendiri atau tidak dengan hormat karena: a) dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya 4 (empat) tahun atau lebih; atau b) melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil tingkat berat”.

Di atas merupakan beberapa aturan yang berkaitan dengan penegakan kode etik profesi kepolisian, sehingga jelas bahwa kepolisian membentengi para anggotanya untuk tidak menerobos etika, agar mereka bisa menjadi contoh atau figur pengayoman untuk masyarakat, apabila anggota polisi tidak menjaga etika profesi mereka maka hancurlah citra kepolisian.

Sedangkan menurut Aiptu Gunadi selaku anggota Provost yang bertugas di Polres Boyolali bahwa dalam kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang melibatkan salah satu anggota polisi yang bertugas di wilayah Kepolisian Boyolali, baru terdapat satu kasus. Tahap pertama proses penegakannya sepenuhnya dilakukan melalui peradilan umum, proses pemeriksaanyapun dilakukan oleh penyidik yang berwenang melakukan pemeriksaan terhadap kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Setelah terdakwa menjalani masa tahanan di peradilan umum selama 2/3 dari masa tahanan, kemudian tersangka melakukan upaya pembebasan bersyarat. Selama pembebasan bersyarat tersebut terdakwa dipanggil oleh Kepolisian untuk selanjutnya diperiksa untuk dilaksanakan sidang kode etik.

Adapun pihak Provos memberikan waktu selama 6 bulan setelah terdakwa bebas dari lembaga pemasyarakatan pemberian waktu tersebut bertujuan untuk melakukan penyelidikan, menentukan jadwal sidang, melakukan gelar perkara dan dalam waktu 6 bulan tersebut terdakwa terus dipantau perkembangannya guna pertimbangan dalam menjatuhkan putusan pelanggaran kode etik.

Selama masa tahanan yang dijalani terdakwa, terdakwa tidak diberhentikan dari anggota kepolisian dan dari kebijakan Kapolres terdakwa masih mendapat 2/3 gajinya selama dalam tahanan, dikerenakan tersangka mempunyai tanggungan istri yang tidak bekerja dan 2 orang anaknya yang masih sekolah.

Waktu selama 6 bulan yang diberikan kepada terdakwa tersebut belum habis dan belum sempat dilakukan sidang kode etik, terdakwa kembali terjerat kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan kemudian diproses dalam peradilan umum sehingga pelaksanaan sidang kode etik tersebut belum dilakukan.14

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, bahwa dalam proses penegakan kode etik profesi terhadap anggota polisi yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, sampai saat ini tersangka belum diadili. Alasannya yakni tersangka diberi waktu untuk memperbaiki dirinya dan karena dilakukan pengawasan terlebih dahulu, dalam hal ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa pelaksanaan sidang disiplin dilakukan 6 bulan setelah tersangka ke luar dari rumah tahanan, hal tersebut sangat jelas bertentangan dengan Pasal 12 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri.

(9)

Dapat dikatakan bahwa dalam proses penegakan kode etik profesi polri yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam pelaksanaan penyidikan belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pelaksanaan di lapangan Provost masih menggunakan kebijakan dari Kapolres yang tidak segera melakukan sidang kode etik terhadap terpidana terlebih terdakwa, melainkan menunggu proses pelaksanaan hukuman pidana selesai baru dilakukan sidang kode etik. Semestinya demi keadilan dan tegaknya aturan yang ada, kebijakan seperti di atas tidak dilakukan apalagi menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penutup

1. Kesimpulan

a. Proses penegakan hukum terhadap anggota polisi yang terjerat kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam proses penegakan baik yang dilakukan di tingkat kepolisian (tahap penyelidikan dan penyidikan), ditingkat kejaksaan (tahap penuntutan) sampai di tingkat peradilan ( putusan hakim), keseluruhan sama seperti apabila yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika masyarakat umum.

b. Penegakan pelanggaran kode etik kepolisian terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika berlaku bagi semua orang yakni di mata hukum sama, bahkan dalam penegakan hukum yang tersangkanya adalah anggota polisi penjatuhan pidananya bisa lebih berat. Hal tersebut dikerenakan tersangka adalah aparat penegak hukum yang seharusnya menjalankan perintah jabatan untuk melawan narkotika, tetapi dia terlibat dalam kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Proses hukum terhadap polisi yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

c. Adapun proses penegakan kode etik profesi kepolisian terhadap anggota kepolisian yang terjerat kasus pidana penyalahgunaan narkotika masih belum dilaksanakan semaksimal mungkin di mana polisi tidak langsung menindak tegas anggota yang terjerat kasus pidana penyalahgunaan narkotika, seakan-akan pihak kepolisian masih melindungi anggotanya dan dianggap setelah anggotanya sudah diadili di peradilan umum dan dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana narkotika.

2. Saran

a. Bagi kepolisian sebaiknya lebih bisa memantau anggotanya dan lebih menanamkan sikap taat pada hukum yang lebih tinggi agar anggotanya bisa terhindar dari tindak pidana penyalahgunaan narkotika, seperti halnya tes urin terhadap anggota polisi yang dilakukan dalam jangka waktu yang berkala. Hal ini bisa menimbulkan rasa takut terhadap anggota polisi jika menggunakan narkotika.

b. Bagi hakim sebaiknya dalam menjatuhkan putusan terhadap tersangka tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri, hakim harus mempunyai keberanian dalam menjatuhkan putusan rehabilitasi karena ketergantungan narkotika seperti halnya penyakit yang harus di sembuhkan dengan cara medis, bukan dengan hukuman pidana berupa penjara.

c. Bagi aparat yang berwenang mengadili dalam pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota polisi seharusnya lebih tegas dalam menindak polisi yang terjerat kasus narkotika dengan sesegera mungkin melakukan proses penegakan kode etik profesi supaya anggota polisi tersebut menyadari kesalahannya dan takut akan melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika lagi.

(10)

Daftar Pustaka

Amirudin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo.

ANTARANews Minggu, 24 juni 2012 19:08 : www.antaranews.com/317919/ 12Oknum Polisi terlibat Narkoba, diunduh selasa 16 Oktober 2012 pukul 15:37 Wib.

Hartono, 2010, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Moeljatno, 1983, Azas-Asaz Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Muhamad, Rusli, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri Samidjo, 1995, Tanya Jawab Hukum Pidana, Bandung: CV Amirco.

Sunarso, Siswantoro, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika, Jakarta: PT Raja Grafindo Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Referensi

Dokumen terkait

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011.. Perkembangan sektor keuangan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan perekonomian. Turunnya harga minyak pada awal tahun 1980-an mempengaruhi

Hal ini menunjukkan bahwa perubahan laba akuntansi berpengaruh secara signifikan terhadap abnormal return di BEJ pada lima hari sebelum sampai dengan lima hari setelah

Peranan seorang pemimpin sangat penting untuk mencapai tujuan yang diinginkan terutama berkaitan dengan peran Hukum Tua dalam mewujudkan good governance .Cara kerja

Lebih lanjut, Permendagri ini menyatakan bahwa ada mixed- approach sebagai pengejawantahan prinsip-prinsip tersebut, “Orientasi Proses Pendekatan Perencanaan Politik (penjabaran

Setalah menganalisis bentuk dan dampak tindak kriminla yang dilakukan oleh Benjamin Engel dalam film who am I karya Baran Bo Odar, penulis memiliki bebrapa

serikat pekerj a belum mencerminkan hukum yang berperspekt if keadilan maka perlu diaj u- kan sebuah model baru t ent ang kebebasan hak berserikat pekerj a, yang

Oleh karena itulah, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menge- tahui perbedaan hasil kualitas hidup antara berbagai metode manajemen nyeri pada pasien nyeri

Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden Serta Bekas Presiden dan Bekas Wakil Presiden Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor