BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang saling membutuhkan satu sama lain. Adanya hubungan timbal balik itu, sering menimbulkan fenomena sosial berupa konflik akibat dari kepentingan perorangan atau kelompok. Hakekatnya, konflik merupakan pertarungan menang - kalah antar kelompok maupun perorangan yang berbeda kepentingan tersebut dalam sebuah organisasi. Masing-masing pihak akan membela nilai mereka yang dianggap benar atau masing-masing pihak, memaksa melawan untuk nilai-nilai mereka diakui. Maka jelas, setiap orang memiliki potensi untuk berkonflik di mana saja dan kapan saja. Hal potensi tersebut disebabkan oleh keberagaman yang ada dalam diri kita seperti karakter, nilai - nilai pribadi, agama, sosial dan budaya. Nila-nila berbeda itu akan bergesekan satu dengan yang lain dan menimbulkan konflik, ketika keberagaman itu tidaklah dihargai atau digunakan sebagai identitas paten.
Killman dan Thomas dalam Wijono (2005) menyatakan, konflik adalah kondisi, terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik di dalam individu dan kelompok. Pendapat lain dikemukan oleh Pickering (2001) mendefenisikan konflik sebagai sebuah persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak terkait keadaan atau perilaku, seperti pertentangan pendapat, kepentingan atau pertentangan individu. Sunaryo (2002) menambahkan, konflik pada dasarnya timbul karena adanya pemahaman yang tidak sejalan antara beberapa pihak, selain itu dapat juga dapat ditimbulkan dari
pertentangan kepentingan dan tujuan antara individu atau kelompok. Dalam hubungan tersebut, dapat terjadinya suatu kesenjangan status qou, kurang meratanya kemakmuran, serta kekuasaan dan ketidakseimbangan.
Pada tingkatan status itulah, konflik merupakan fenomena yang menyertai pola interaksi manusia sepanjang masa. Dengan demikian, konflik mencakup sistem sosial di mana manusia saling berhubungan seperti dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, organisasi, Perusahaan dan gereja. Semakin banyak jumlah anggota dalam sebuah sistem sosial, maka semakin rentan konflik terjadi.
Siagian dalam Saebani (2012) menyatakan bahwa organisasi merupakan bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih, yang bekerja secara bersama - sama secara formal untuk mencapai sebuah tujuan. Selanjutnya dari penjelasan tersebut, ditambahkan empat unsur pokok organisasi;
Pertama, sistem kumpulan berbagai komponen atau subsistem integral dan saling berhubungan.
Kedua, pola aktivitas, artinya kegiatan personal yang ada pada organisasi dimana setiap kegiatan dilaksanakan setelah dibuat program kerja atau job description untuk masing - masing bidang (jabatan).
Ketiga, sekelompok orang bernaung dalam organisasi memiliki tugas dan tanggung jawab masing - masing dengan dasar saling berkaitan.
Keempat, organisasi harus memiliki tujuan jelas yang dibentuk atas dasar tujuan dan pencapaian.
Dari gambaran tentang organisasi di atas, dapat dikatakan bahwa dalam seuatu organisasi sudah terdapat perbedaan-perbedaan yang paling mendasar baik itu paham,
pendapat dan cara pandang. Perbedaan-perbedaan itu terus hadir dalam menjalankan aktivitas organisasi dan sangat berpeluang menimbulkan konflik organisasi atau konflik dalam organisasi.
Konflik tidak selamanya identik dengan kekerasan, dan dampak dari konflikpun tidak selamanya negatif bagi suatu organisasi. Samiyono (2011) menyatakan, hal-hal positif yang ditemukan ketika konflik dikelola dengan baik antara lain;
Pertama, membuat organisasi tetap hidup dan humoris, masing-masing kelompok dapat melakukan adaptasi sehingga dapat terjadi perubahan dan perbaikan.
Kedua, munculnya keputusan inovatif. Ketiga, munculnya persepsi lebih kritis.
Keempat, meningkatnya sikap solidaritas sosial.
Sebaliknya, jika konflik tidak dikelola maka dapat memberi dampak negatif; Pertama, kerugian berupa material dan spiritual.
Kedua, menggangu keharmonisan sosial. Ketiga, terjadinya perpecahan kelompok.
Layaknya sebuah organisasi, konflik dapat terjadi dalam gereja. Berdasarkan hasil penelitian Makienggung (2012) menunjukan ditahun 2010, tercatat berbagai konflik yang melibatkan gereja, seperti kasus IMB (Ijin Mendirikan Bangunan) melibatkan GKI Yasmin di Bogor dari tahun 2002 dan belum terselesaikan. Penyegelan tenda ibadah St. Baptis Parung dan ancaman untuk mengadakan pembongkaran 20 gereja di Aceh terkait dengan peraturan Gubernur No. 25 tahun
2007 yang meminta jumlah anggota jemaat mencapai 150 orang untuk mengajukan mendapat ijin membangun.
Konflik gereja bukan hanya antara gereja, pemerintah dan lingkungan masyarakat, tetapi juga antara denominasi yang satu dengan yang lain. Misalnya konflik perebutan hak kepemilikan gedung gereja oleh GKJW dan GPIB di kelurahan Citrodiwangsan di kabupaten Lumajang (Surabaya Post 2012). Konflik gereja juga bisa terjadi di dalam tubuh jemaat seperti konflik antar anggota jemaat HKBP Nomensen di Medan karena tidak setuju dengan kepemimpinan pendeta (Koran Sindo 2013). Konflik di GBI Nginden Surabaya yang melibatkan anggota jemaat (Surabaya Post 2013). Seringkali perpindahan anggota jemaat ke gereja lain disebabkan berbeda pendapat dengan majelis jemaat, pengurus wadah organisasi, pendeta, atau dengan sesama jemaat, tidak melibatkan diri dalam kegiatan gereja karena tidak setuju dengan hasil persidangan jemaat, klasis dan lain sebagainya.
Singgih (1997) menyatakan konflik dalam gereja tidak dapat dihindari begitu saja, melainkan konflik harus diselesaikan. Dia melihat, di kalangan gereja yang cukup banyak orang. Menganut pendapat berbeda tentang konflik. Konflik merupakan sesuatu yang asasi dan adanya konflik, bisa mendatangkan perubahan. Jadi konflik tidak harus dinilai sebagai sesuatu yang negative tetapi harus dilihat dari sisi positif. Sebab melalui konflik, kita dapat belajar menyelesaikan masalah meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa penyelesaian sebuah konflik bisa juga melahirkan konflik baru.
Jurnal Theologi Atheina yang ditulis oleh Agung Gunawan (2013) tentang mengelola konflik dalam gereja, dikatakan konflik dalam gereja bukanlah sesuatu
yang aneh atau kelaziman. Konflik adalah bagian dari dinamika kehidupan manusia yang terjadi alami atau diseting dan dibiarkan atau tidak boleh dibiarkan. Jadi pilihannya yaitu konflik harus dikelola manjadi motivasi pembaharuan atau sebaliknya menjadi penghancur bagi gereja. Tinggal bagaimana, gereja memilih untuk terus mengembangkan diri kearah perpecahan atau penyatuan dan pemenuhan terhadap panggilan memimpin dan melayani yang ditelandankan oleh Kristus sebagai kepala segala gereja.
Salah satu konflik yang terjadi di dalam gereja adalah konflik perpecahan jemaat Gereja Kristen Jawa Salatiga Timur (GKJST). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Soleman (2013), GKJST memiliki sistem tata gereja dengan sifat mengikat anggota organisasi dan para pekerja gereja. Namun dalam proses menjalankan tata gereja tersebut, terkadang terjadi hal-hal menyimpang.
Konflik dalam GKJST berawal dari masalah pribadi kependetaan GKJST yang mengalami pergumulan dalam keluarganya. Merasa beban pergumulannya berat dan bersangkutan merasa tidak sanggup atau tidak layak menjalankan tugas kependetaannya dalam sakramen perjamuan kudus. Hal itu, membuat pro-kontra antara penatua, diaken dan jemaat sendiri terhadap persoalan pribadi pendeta tersebut.
Ketika masalah terjadi yang bersangkutan kemudian mengirim surat pengunduran diri sebagai pendeta kepada Majelis GKJST. Melalui persidangan majelis jemaat dan mejelis klasis yang dilakukan beberapa kali, surat pengunduran diri tersebut diproses. Dalam penelitian terdahulu telah diteliti dan ditemukan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik perpecahan jemaat di GKJST. (Hasil Penelitian Daud Soleman, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut. Maka, penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji penyelesaian konflik terpecahannya jemaat di GKJST yang ditinjau dari perspektif mediasi.
1.2 Masalah Penelitian
Berdasarkan kondisi terjadinya konflik, GKJ Salatiga Timur, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji tentang Klasis GKJ Salatiga Selatan sebagai pihak yang menyelesaikan konflik dimaksud.
1.3 Persoalan Penelitian
Dari latar penelitian, di latar belakang masalah, maka pokok persoalan sebagai berikut:
1. Bagaimana Klasis Gereja Kristen Jawa Salatiga Selatan menyelesaikan konflik perpecahan jemaat di GKJ Salatiga Timur.
2. Apa dampak dari hasil keputusan persidangan klasis terhadap GKJ Salatiga Timur.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan persoalan penelitian maka tujuan penelitian:
1. Untuk menemukan dan menganalisis cara penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Klasis GKJ Salatiga Selatan terhadap konflik perpecahan jemaat GKJ Salatiga Timur.
2. Untuk menemukan dan menganalisis dampak keputusan Klasis GKJ Salatiga Selatan terhadap konflik perpecahan GKJ Salatiga Timur.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat melihat cara penyelesaian konflik oleh klasis GKJ Salatiga Selatan sehingga memberikan kontribusi pada pengembangan jemaat. Selain itu, melalui penelitian, diharapakan mampu memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang manajemen gereja. Manfaat praktisnya, dapat memberikan informasi dan masukan kepada GKJ untuk digunakan sebagai bahan evaluasi dalam menyelesaikan konflik.