• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Kata kecemburuan (jealousy) berasal dari bahasa Yunani yaitu zelos yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Kata kecemburuan (jealousy) berasal dari bahasa Yunani yaitu zelos yang"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Kecemburuan (Jealousy)

1. Pengertian Kecemburuan

Kata kecemburuan (jealousy) berasal dari bahasa Yunani yaitu zelos yang menunjukkan kepada suatu usaha untuk menyamai atau melebihi, menujukkan semangat serta intensitas dari perasaan (Pines, 1998). Knox (dalam Caroll, 2005) mendefinisikan kecemburuan (jealousy) sebagai suatu reaksi emosional terhadap suatu hubungan yang dirasakan terancam hilang. Salovey (1991) kemudian menambahkan bahwa kecemburuan merupakan suatu pengalaman emosi ketika seseorang merasa terancam hilangnya suatu hubungan yang penting atau bermakna dengan orang lain (pasangannya) terhadap ”rival” atau saingannya. Psikolog Gordon Clanton (dalam Buss, 2000) mendefinisikan kecemburuan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang mengekspresikan ketakutan akan kehilangan pasangan atau ketidaknyamanan atas suatu pengalaman nyata ataupun pengalaman imaginasi terhadap pasangannya yang membentuk hubungan dengan pihak atau orang ketiga. Martin Daly dan Margo Wilson (dalam Buss 2000) mendefinisikan kecemburuan sebagai suatu keadaan (state) yang terbangkitkan oleh suatu ancaman yang dirasakan terhadap suatu hubungan, yang kemudian memotivasi munculnya perilaku yang bertujuan untuk membalas kecemburuan tersebut

(2)

Pengertian kecemburuan dari Gordon Clanton di atas, memberikan dua inti dari kecemburuan yaitu ancaman dari hilangnya pasangan dan hadirnya pihak ketiga. Sedangkan pengertian kecemburuan yang dikemukakan oleh Martin Daily dan Margo Wilson, menambahkan ada tiga faset dari kecemburuan. Pertama, kecemburuan merupakan suatu keadaan, yang berarti bersifat sementara atau episodik, bukan merupakan suatu penderitaan yang permanen. Kedua, kecemburuan merupakan suatu respon terhadap suatu ancaman kepada hubungan yang berarti. Ketiga, kecemburuan memotivasi perilaku tertentu dalam mengahdapi ancaman, misalnya memberikan ancaman seksual atau ancaman finansial

Dari definisi diatas, kecemburuan bukanlah suatu konsep yang sederhana dan bukanlah suatu emosi tunggal, tetapi merupakan kombinasi dari emosi- emosi negatif (Bringle & Bunk 1985). Namun tiga hal yang paling tepat dalam mendefiniskan kecemburuan adalah hurt, anger, dan fear. Hurt terjadi karena adanya persepsi bahwa pasangan tidak menghargai komitmen yang telah disepakati bersama dalam menjalin hubungan, sedangkan fear dan anxiety dihasilkan dari kemungkinan yang mengerikan akan ditingalkan dan kehilangan pasangan. (Guerrero & Andersen, 1998 dalam Brehm, 2002)

Dari penjelasan mengenai kecemburuan tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan mengenai pengertian kecemburuan yaitu merupakan suatu reaksi emosi negatif yang kompleks yang dirasakan oleh individu terhadap munculnya ancaman akan hilangnya suatu hubungan yang bermakna dengan pasangannya terhadap hadirnya pihak atau orang ketiga.

(3)

2. Penyebab Terjadinya Kecemburuan

Brehm (2002) menyatakan ada dua aspek yang dapat menyebabkan seseorang merasakan kecemburuan. Kedua aspek tersebut adalah :

a) Faktor Personal

Baik pria maupun wanita pada dasarnya tidak berbeda dalam kecenderungannya untuk merasakan kecemburuan, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan individual yang dapat menyebabkan seseorang lebih mudah dan intens dalam merasakan kecemburuan, diantaranya sebagai berikut :

1) Dependence

Berscheid (dalam Brehm,1992) menyatakan bahwa individu yang sangat tergantung terhadap pasangannya - menyakini bahwa hanya pasangannya saja yang dapat membuat dirinya bahagia dan tidak ada orang lain yang dapat menggantikannya- maka akan semakin besar pula lah rasa kecemburuan yang dialami individu tersebut. Sikap

dependence ini juga menjelaskan alasan mengapa beberapa orang tetap

mempertahankan hubungan yang mereka jalin meskipun menyakitkan bagi mereka dikarenakan individu tersebut berfikir bahwa mereka tidak memiliki alternatif lain di luar hubungan yang mereka jalin (Choice & Lamke dalam Miller, 2002). Sikap dependence juga erat kaitannya dengan sikap posesif yang hadir, dimana seseorang yang bergantung dengan pacarnya akan berusaha sekuat mungkin untuk menjaga dan mengawasi setiap gerak-gerik dari pasangannya (Caroll, 2005 dan Pinto & Hollandsworth dalam Brehm, 1992 )

(4)

2) Mate Value

Seseorang yang menganggap pasangannya sebagai individu yang akan disukai banyak orang- misalnya penampilan fisik yang menarik, kaya, sejahtera ataupun berbakat- dibandingkan dirinya, seseorang tersebut akan lebih mudah merasakan kecemasan, andaikata ada orang lain yang lebih baik dari dirinya yang dapat mendampingi pacarnya tersebut. Mate value juga dapat berarti ketika seseorang menganggap bahwa dalam diri pasangannya terdapat kriteria-kriteria yang ia sukai dan sangat cocok dengan dirinya, maka hal ini dapat membuat individu tersebut semakin takut kehilangan pasangannya. Hal ini juga dapat menjadi suatu ancaman ketika individu menyadari bahwa pacarnya tersebut dapat melakukan atau mendapatkan orang lain yang lebih baik dari mereka.

3) Sexual Exclusivity

Individu yang menganut nilai sexual exclusivity, yang menginginkan dan mengharapkan pasangannya tetap setia hanya kepada dirinya saja, dan tidak memperbolehkan pasangannya untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain dan aktivitas intim lainnya, semakin besar kemungkinan dirinya untuk mengalami kecemburuan.

4) Past Experience

Pengalaman berpacaran seseorang dapat mempengaruhi munculnya kecemburuan pada hubungan yang akan dan sedang dijalin. Individu yang dulunya memiliki pasangan yang tidak setia dan mengalami

(5)

kekecewaan pada hubungan sebelumnya, dapat menurunkan kepercayaan individu tersebut kepada pasangannya yang sekarang. Hal ini akan menyebabkan individu tersebut lebih mudah untuk merasa cemburu dan curiga, karena semakin rendah kepercayaan individu terhadap pasangannya,maka akan semakin mudah individu tersebut untuk merasakan kecemburuan. (Knox, 1984)

b) Berdasarkan Sifat Stimulus Terjadinya Kecemburuan

Buss (dalam Brehm 2002) menyatakan bahwa stimulus yang dapat menimbulkan kecemburuan, pada dasarnya diakibatkan oleh ketidaksetiaan (infidelity) yang dilakukan oleh pasangan. Buss membagi stimulus tersebut dalam dua bentuk, yaitu :

1) Kecemburuan Seksual

Kecemburuan seksual memaksudkan bahwa kecemburuan yang terjadi dikarenakan adanya ketidaksetiaan seksual yang dilakukan pasangan. Ketidaksetiaan seksual adalah ketidaksetiaan yang dilakukan pasangan bersama pihak ketiga yang di dalamnya melibatkan hubungan fisik, seperti pelukan, ciuman dan hubungan seksual

2) Kecemburuan Emosional

Kecemburuan emosional memaksudkan bahwa kecemburuan yang timbul dikarenakan adanya ketidaksetiaan emosional yang dilakukan pasangan. Ketidaksetiaan emosional adalah ketidaksetiaan yang dilakukan pasangan terhadap pihak ketiga tanpa melibatkan hubungan

(6)

fisik, melainkan lebih menekankan kepada keakraban suatu hubungan, seperti rindu atau ingin selalu berbicara dengan pihak ketiga tersebut. 3. Tahap- Tahap Kecemburuan

Kecemburuan yang dialami oleh seseorang melalui suatu proses dengan melalui tahapan-tahapan. Menurut White (dalam Brehm, 1992) proses kecemburuan melewati lima tahap dibwah ini :

a. Tahap awal (primary appraisal)

Saat seseorang merasakan adanya ancaman pada hubungan percintannya, maka dimulailah tahap ini. Tahap ini pula lah yang menunjukkan ambang kecemburuan seseorang. Setiap orang memiliki ambang kecemburuan yang berbeda-beda. Ambang kecemburuan merupakan suatu titik ketika seseorang merasa cemburu. Satu ambang kecemburuan terdiri dari beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu kualitas dari hubungan itu sendiri (mis : apakah seseorang merasa insecure atau dependence di dalam hubungan yang ia jalin), jenis dari hubungan yang dijalin (kecemburuan akan lebih sering hadir di dalam hubungan pacaran daripada hubungan pertemanan) dan juga severity of threat (mis : karakteristik fisik yang disukai oleh pasangan terhadap pada diri rival).

Dalam tahap awal ini, pandangan seseorang tentang hubungan percintaan dan ancaman yang ada saling mempengaruhi. Orang yang memandang hubungannya secure, membutuhkan ancaman yang sangat kuat untuk dapat membuatnya cemburu. Namun, bagi individu yang merasa insecure pada suatu hubungan, kecemburuan bisa saja muncul meskipun ancamannya sangat lemah.

(7)

b. Tahap kedua (secondary appraisal)

Pada tahap kedua ini, individu berusaha untuk memahami situasi dengan lebih baik dan berpikir mengenai cara mengatasi rasa cemburunya. Namun, seringkali pada tahap ini melibatkan pula pikiran catatstrophic, yaitu pengambilan kesimpulan secara ekstrem dan berdasarkan kemungkinan yang terburuk. Contohnya adalah seseorang yang sedang cemburu karena pasangannya tidak membalas SMS, dalam tahap ini megambil kesimpulan bahwa pasangannya sedang bermesraan dengan orang lain, padahal pasangannya tersebut sedang ada kegiatan yang tidak dapat diganngu.

Brehm (1992) menyatakan bahwa dalam tahap pertama (primary

appraisal) dan tahap kedua (secondary appraisal), melibatkan faktor kognitif

ketika seseorang mengalami kecemburuan. White (dalam Brehm 1992 & Pines 1998) menambahkan bahwa faktor kognitif merupakan salah satu komponen yang membentuk kecemburuan. Komponen kognitif dalam kecemburuan meliputi pemikiran seperti self-blame / menyalahkan diri sendiri (mis: ”Bagaimana

mungkin aku bisa sebuta ini, aku merasa aku begitu bodoh?”), membandingkan

diri dengan saingan (mis: ”Saya merasa saya tidak menarik, sexy, intelek, dan

sukses), berfokus kepada satu pandangan publik (mis: ” Setiap orang mengetahui dan tertawa kepadaku”), mengasihani diri sendiri/self-pity (mis : ”Aku merasa sendirian di dunia ini, tidak satupun yang mencintaiku”), rasa tidak percaya (mis : ”Bagaimana mungkin kamu membohongi aku seperti ini?”), posesif, pemikiran

akan disingkirkan, pemikiran mengenai balas dendam, dan pemikiran untuk mengalah.

(8)

c. Tahap ketiga (emotional reaction)

Tahap ketiga ini melibatkan reaksi emosional. Seseorang yang sedang mengalami kecemburuan biasanya tidak menyadari bahwa yang mereka pikirkan adalah hal yang tidak rasional. Jenis-jenis emosi yang dirasakan saat seseorang sedang mengalami kecemburuan antara lain adalah marah terhadap paangan dan,atau orang ketiga, cemas akan kehilangan hubungan percintannya, depresi dan sedih akan kehilangan yang dialami.

Brehm (1992) menyatakan bahwa tahap ketiga (emotional reaction) sama halnya dengan komponen kecemburuan yang diungkapkan oleh White. Komponen emosi merupakan salah satu komponen yang membentuk kecemburuan seseorang (Whire, dalam Brehm 1992). White (dalam Pines 1998) kemudian menambahkan komponen emosi yang berhubungan dengan kecemburuan meliputi kesedihan, sakit hati, agresi, putus asa, marah-marah, takut, iri hati, dan peraasan terhina.

d. Tahap keempat (coping response)

Menurut Bryson (dalam Brehm,1992), perilaku coping terhadap kecemburuan dapat dibagi ke dalam dua orientasi tujuan yaitu mempertahankan hubungan (relationship maintaining) dan mempertahankan self-esteem

(self-esteem maintaining). Dari dua orientasi tujuan besar tersebut, terbagi lagi ke

dalam empat kategori perilaku yang dapat diambil seorang individu untuk mengatasi kecemburuannya (Bryson dalam Salovey, 1991). Pertama, apabila seseorang memiliki keinginan untuk mempertahankan hubungannya dan juga mempertahankan self-esteem dirinya, maka perilaku yang mungkin terjadi adalah

(9)

membicarakan masalah tersebut dan sama–sama mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Kedua, apabila seseorang memiliki keinginan untuk lebih mempertahankan self-esteem nya daripada mempertahankan hubungan yang ada, maka perilaku yang mungkin terjadi adalah mengancam untuk mengakhiri hubungan atau sama sekali memang mengakhiri hubungan yang telah dijalin, dan menyerang pasangan secara fisik atau verbal. Ketiga, apabila seseorang lebih memprioritaskan hubungan yang ada, namun bersedia untuk mengorbankan

self-esteem nya, maka perilaku yang mungkin terjadi adalah memohon kepada

pasangan untuk tetap bersama dirinya (hadirnya sikap dependence), menujukkan tingkah laku seolah-olah tidak ada masalah yang terjadi, serta membuat pasangannya berfikir bahwa ia tidak lagi perduli terhadap dirinya (impression

management). Keempat, apabila seseorang tidak terdorong untuk mempertahankan hubungan yang ada dan juga tidak termotivasi untuk mempertahankan self-esteem nya, maka perilaku yang mungkin terjadi adalah menyalahkan diri sendiri, menyakiti diri sendiri dan hanya berharap semoga pasangnnya berhenti menyakiti dirinya.

Tabel 1. Perilaku Coping Terhadap Kecemburuan (Analisis dual-motivation oleh Bryson, 1977)

MEMPERTAHANKAN HUBUNGAN (RELATIONSHIP MAINTAINING) Yes No MEMPERTAHANKAN SELF-ESTEEM (SELF-ESTEEM MAINTAINING)

Yes Negotiating a mutually

acceptable solution

Verbal/physical attacks against the partner

Terimination relationship

No Clinging to the

relationship

Self-destructive behaviors Intropunitiveness

(10)

Model coping response yang dikemukakan oleh Bryson di atas, belum

dapat melihat arah dari perilaku yang diambil, bersifat konstruktif atau destruktif. Maka, Rusbult (dalam Salovey, 1991) kemudian mengembangkan model coping

response terhadap kecemburuan dari model Rusbult di atas dengan menyertakan

dua dimensi yaitu constructive-destructive dan active-passive. Kedua dimensi ini digabungkan untuk menjelaskan empat kelas respon yang berbeda yaitu exit,

voice, loyalty, dan neglect (EVLN). Dimensi constructive-destructive lebih

menekankan kepada bagaimana hubungan itu dipertahankan atau dipelihara, apakan melalui cara yang constructive (membangun) atau destructive (merusak), sedangkan dimensi active-passive lebih merujuk kepada sifat respon yang dimunculkan. Active Constructive EXIT VOICE LOYALTY NEGLECT Passive Destructive

(11)

Berikut adalah penjelasan dari keempat kelas respon :

1) Voice (active/constructive) : mengekspresikan ketidakpuasan dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi (pada model Bryson, mempertahankan hubungan dan mempertahankan self-esteem) 2) Exit (active/destructive) : mengakhiri atau mengancam akan

mengakhiri hubungan (pada model Bryson, mempertahankan

self-esteem namun tidak mempertahankan hubungan)

3) Loyalty (passive/constructive) : menunggu dan berharap bahwa kondisi akan kembali baik dengan sendirinya (pada model Bryson, lebih memprioritaskan mempertahankan hubungan daripada mempertahankan self-esteem)

4) Neglect (passive/destructive) : mengabaikan dan tidak akan berusaha untuk memperbaiki hubungan lagi (pada model Bryson, sama-sama tidak berorientasi untuk mepertahankan hubungan atau

self-esteem)

Tahap keempat (the coping response) yang dikemukakan oleh Bryson dan Rusbult di atas merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang ketika mengalami kecemburuan. White (dalam Brehm,1992) menambahkan bahwa komponen perilaku juga merupakan salah satu komponen yang membentuk kecemburuan dalam diri seseorang. Komponen perilaku merupakan bagian dari komponen eksternal kecemburuan, yang lebih mudah untuk dilihat dan diekspresikan dalam beberapa bentuk perilaku. White ( dalam Priefer, 2007) menambahkan bahwa komponen ini mencakup dua bentuk perilaku yaitu

(12)

detective dan protective. Tindakan detective mencakup bertanya, dan mencari

tahu dengan siapa pasangannya lebih dekat. Sedangkan tindakan protective mencakup segala macam bentuk tindakan yang dilakukan untuk memastikan agar keintiman antara pasangan dan saingannya tidak terjadi. Adapun bentuk dari perilaku ini seperti menghina atau menjelek-jelekkan saingannya, atau ikut bergabung ketika pasangan dan saingannya terlibat dalam percakapan. Pines (1998) menambahkan tindakan-tindakan seperti : berbicara secara terbuka mengenai masalah yang dihadapi, berteriak, menangis, mengabaikan masalah, menggunakan candaan/humor, membalas dendam, meninggalkan pasangan atau menujukkan kekerasan juga merupakan bentuk dari komponen perilaku

e. Tahap kelima (the outcome)

Tahap kelima adalah hasil dari perilaku coping. Perilaku coping yang konstruktif terhadap kecemburuan akan segera mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan oleh rasa cemburu dan berguna juga untuk efek jangka panjang seperti kesejahteraan orang-orang yang terlibat dan kualitas hubungan tersebut. Hasil dari perilaku coping yang ditunjukka individu dapat dilihat melalui tiga hal. Pertama, apa dampak dari coping yang dilakukan terhadap hal yang dianggap ancaman? Apakah individu tersebut mampu untuk mengurangi ancaman? Kedua, apa dampak coping yang dilakukan terhadap individu-individu yang terlibat dalam hubungan tersebut : diri nya sendiri, pasangan, dan individu lainya? Ketiga, bagaiman perilaku coping yang ditunjukkan berdampak terhadap hubungan yang dijalin. Apakah keadaan hubungan sama dengan sebelumnya, berubah atau berakhir?

(13)

4. Jenis – jenis kecemburuan

Berdasarkan situasi yang memicu munculnya kecemburuan, Salovey (1991) membagi kecemburuan dalam dua bentuk yaitu :

a. Suspicious Jealousy

Suspicious jealousy memaksudkan bahwa kecemburuan yang timbul

terjadi ketika individu melihat ancaman yang dapat merusak hubungan mereka, hanyalah didasari pada kecurigaan semata ataupun ketika ancaman tersebut tidak nyata hadir di hadapan mereka. Suspicious jealousy terjadi ketika seorang individu meyakini bahwa pasangannya mengalihkan perhatian yang seharusnya untuk dirinya kepada rival atau saingannya ataupun kepada pihak ketiga. Brinkle & Buunk (1991, dalam Brehm, 2002) menambahkan bahwa suspicious jealousy terjadi ketika salah satu orang dari pasangan tidak berbuat kesalahan dan salah seorang lainnya merasa curiga namun tidak memiliki bukti. Suspicious jealousy meliputi beberapa atribut berikut :

1) Kecemasan, ketakutan, keraguan, kecurigaan dan pikiran-pikiran negatif yang berlebihan mengenai apa yang mungkin telah dilakukan pasangannya.

2) Ketidakpercayaan/kecurigaan yang terus menerus terhadap pasangan (obsesive mistrust of the partner), tidak mampu untuk berkonsentrasi kepada hal lainnya, merenung, dan berfantasi bahwa pasangan dan rivalnya menikmati suatu hubungan yang membahagiakan.

3) Perilaku-perilaku yang mencakup memata-matai pasangan, memeriksa petunjuk-petunjuk (clues) yang mungkin dapat membenarkan

(14)

kecurigaan mereka dan berusaha untuk mengatur tingkah laku pasangan.

b. Fait Accompli/Reactive Jealousy

Fait accompli/reactive jealousy terjadi ketika suatu ancaman terhadap

hubungan itu benar-benar muncul dalam kehidupan nyata, jelas, tidak ambigu, dan sifatnya merusak. Ancaman yang hadir dalam jenis kecemburuan ini adalah ancaman yang memang bersifat fakta, sesuatu yang diketahui telah terjadi, bukan hanya sekedar imajinasi/khayalan. Karakteristik pengalaman dari fait

accompli/reactive jealousy ini sangat bergantung kepada fokus daripada

perhatian. Ketika fokus perhatian tertuju kepada hilangnya suatu hubungan, hal yang dirasakan adalah kesedihan (sadness); ketika fokus perhatian terletak pada pelanggaran komitmen atau pengkhiatan dari pasangan atau rivalnya, maka hal yang dialami adalah marah (anger); ketika fokus perhatian tertuju kepada kelemahan pribadi, maka hal yang dialmi adalah depresi dan cemas (depresion

and anxiety); dan ketika fokus terletak pada superioritas yang dimiliki oleh

rivalnya, maka hal yang dialami adalah perasaan iri (envy).

Salovey (1991) kemudian menambahkan bahwa dalam fait

accompli/reactive jealousy ini, seseorang akan sering melihat hubungan baru yang

dibentuk pasangannya dengan rivalnya sebagai sesuatu hubungan yang bahagia. Seseorang akan sering membandingkan kesepian yang dialaminya dengan kebahagiaan yang tampak pada mantan pasangannya; seseorang juga akan sering membandingkan ketergantungan dan kerinduan yang dialami kepada mantan pasangannya terhadap kurangnya kebutuhan akan dirinya oleh pasangannya.

(15)

Kedua jenis kecemburuan ini dapat berdiri sendiri dari stimulus yang menyertainya, namun kadangkala dapat terjadi tumpang tindih antara suspicious

jealousy dan reactive jealousy pada saat reactive jealousy menghasilkan suspicious jealousy. Meskipun seorang individu telah secara jelas mengetahui dan

mendapati peristiwa yang membuat ia cemburu hadirnya di depannya, namun terkadang hal tersebut masih meninggalkan banyak sekali pertanyaan dan ketidakjelasan. Pertanyaan seperti mengapa hal tersebut terjadi, apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana rival yang ia hadapi sebenarnya, apa yang telah mereka lakukan bersama dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang merupakan bagian dari suspicious jealousy. Hal yang mungkin terjadi juga adalah sebaliknya, dimana suspicious jealousy menghasilkan reactive jealousy. Perilaku-perilaku yang menunjukkan kecurigaan seperti mengawasi, memeriksa, berusaha mengatur perilaku pasangan akhirnya dapat menjadi reactive jealousy ketika individu tersebut berhasil membuktikkan kecurigaannya tersebut (Salovey, 1991).

B. Dewasa Dini

1. Pengertian Dewasa Dini

Kata adult berasal dari bahasa Latin, yang berarti tumbuh menjadi dewasa, jadi orang dewasa adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999). Setiap kebudayaan memiliki perbedaan tersendiri dalam memberikan batasan usia kapan seseorang dikatakan dewasa. Pada sebagaian besar kebudayaan kuno, status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas sudah selesai atau hampir selesai dan apabila organ

(16)

reproduksi anak sudah berkembang dan mampu bereproduksi. Hurlock (1999) membedakan masa dewasa dalam 3 bagian, yaitu:

1. Masa dewasa dini (18 – 40 tahun )

Masa ini ditandai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang disertai berkurangnya kemampuan produktif.

2. Masa dewasa madya (40 – 60 tahun)

Masa menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang tampak jelas pada setiap orang.

3. Masa dewasa lanjut (Usia lanjut)

Dimulai dari usia 60 tahun sampai kematian. Pasa masa ini kemampuan fisik maupun psikologis cepat menurun, tetapi teknik pengobatan modern, serta upaya dalam hal berpakaian serta dandanan memungkinkan pria dan wanita berpenampilan, bertindak, dan berperasaan seperti saat mereka masih lebih muda.

2. Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Dini

Havighurst (dalam Lenfrancois, 1990) menyatakan bahwa tugas perkembangan adalah tuntutan yang diberikan kepada individu oleh lingkungan atau masyarakat sekitar terhadap diri individu tersebut, yang mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia. Menurut Havigrust, dewasa dini memiliki tugas perkembangan sebagai berikut:

1. Memilih pasangan

2. Belajar untuk hidup bahagia dengan pasangan

(17)

4. Mengasuh anak

5. Mengelola rumah tangga 6. Mulai bekerja dan meniti karir

7. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara 8. Membangun hubungan sosial

3. Tugas Psikososial Dewasa Dini

Erikson mengatakan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa dini adalah intimacy versus isolation, sebagai salah satu tugas yang penting bagi dewasa dini (dalam Papalia, 2004). Intimacy akan muncul saat seseorang sudah mencapai atau menemukan cara untuk membentuk dan mempertahankan identitas secara menetap, yang dilakukan dalam masa remaja. Intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk menyatukan identitas diri yang sudah ditemukan di masa remaja dengan identitas diri orang lain (Feist & Feist, 2002). Erikson menggambarkan intimacy sebagai sebuah proses menemukan identitas diri dan juga kehilangan identitas diri pada orang lain (dalam Santrock,1998). Newman (2006) kemudian menambahkan bahwa intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk mengalami, baik itu menerima atupun memberi, suatu hubungan yang terbuka, saling mendukung dan hubungan yang penuh kasih dengan orang lain tanpa adanya ketakutan kehilangan identitas diri di dalam proses tersebut.

Intimacy pada dewasa dini dapat ditemukan melalui hubungan intim yang

dibentuk dengan pasangan romantisnya (pacar, suami atau istri) dan juga dengan sahabat (Papalia,2004). Newman (2006) kemudian menambahkan bahwa salah

(18)

satu tugas perkembangan pada dewasa dini adalah membangun hubungan yang intim dengan seseorang di luar dari anggota keluarganya.

Suatu hubungan yang intim memiliki komponen kognitif dan afektif. Seseorang akan mampu untuk memahami pandangan dan pemikiran dari pasangannya. Individu biasanya juga akan mengalami suatu rasa kepercayaan diri dan saling memberikan perhatian yang merefleksikan kasih sayang mereka terhadap pasangannya. Intimacy juga akan mendorong individu unuk terbuka dengan perasaannya sehingga memungkinkan individu tersebut untuk berbagi ide-ide dan rencana dengan pasangannya (Newman, 2006)

Individu dewasa dini yang tidak berhasil melaksanakan tugas perkembangan psikosialnya, dalam menyatukan identitas diri sendiri dengan identitas diri orang lain melalui intimacy akan mengalami isolasi. Isolasi merupakan keadaan individu

yang tidak memiliki kemampuan untuk menyatukan identitas diri sendiri dengan identitas diri orang lain melalui intimacy yang sebenarnya (Erikson dalam Feist & Feist, 2002). Ketidakmampuan untuk

membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain dapat berbahaya bagi kepribadian individu. Hal ini memungkinkan individu untuk menolak, mengabaikan, atau menyerang orang-orang yang mereka anggap dapat membuat mereka frustasi (Santrock, 1995). Newman (2006) kemudian menambahkan bahwa ada beberapa yang dapat dialami oleh individu yang mengalami isolasi seperti: kesepian, depresi, identitas diri yang kaku dan gangguan seksual.

(19)

C. Gay

1. Pengertian Gay

Istilah gay digunakan secara umum untuk menggambarkan seorang pria

yang tertarik secara seksual dengan pria lain dan menunjukkan komunitas yang berkembang diantara orang-orang yang memiliki orientasi seksual yang sama. Caroll (2005) mengatakan bahwa orientasi seksual merupakan ketertarikan seseorang pada jenis kelamin tertentu secara emosional, fisik, seksual dan cinta. Caroll kemudian menambahkan bahwa teori-teori yang berhubungan dengan orientasi seksual dapat dibagi dalam dua tipe yang dasar : yaitu essential dan

constructionist. Pada paham esentialisme menekankan bahwa homoseksual secara

pembawaan berbeda dengan heteroseksual, hasil dari faktor biologis dan proses perkembangan. Teori essential mula-mula mengimplikasikan bahwa homoseksualitas merupakan sebuah abnormalitas dalam perkembangan., yang memberikan kontribusi bahwa homoseksual ini adalah suatu penyakit. Sedangkan paham constructionist sebaliknya menekankan bahwa homoseksulitas merupakan suatu peran sosial yang telah berkembang secara berbeda dalam kebudayaan yang berbeda dan waktu yang berbeda juga dan untuk ini dapat dikatakan bahwa homoseksualitas secara pembawaan, tidak berbeda dengan heteroseksualitas.

(20)

2. Jenis-Jenis Gay

Bell dan Weinberg (dalam Masters, 1992) mengelompokkan homoseksual ke dalam 5 kelompok, yaitu:

a. Close-couple

Homoseksual yang hidup dengan pasangannya, dan melakukan aktifitas yang hampir sama dengan pernikahan yang dilakukan oleh kaum heteroseksual. Homoseksual jenis ini memiliki masalah yang lebih sedikit, pasangan seksual yang lebih sedikit, dan frekuensi yang lebih rendah dalam mencari pasangan seks dibandingkan jenis homoseksual yang lain.

b. Open-couple

Homoseksual jenis ini memiliki pasangan dan tinggal bersama, tetapi memiliki pasangan seksual yang banyak, dan menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk mencari pasangan seks. Homoseksual ini memiliki permasalahan seksual yang lebih banyak dibandingkan close-couple homoseksual.

c. Functional

Homoseksual jenis ini tidak memiliki pasangan, dan memiliki pasangan seks yang banyak, tetapi dengan sedikit masalah seksualitas. Individu homoseksual ini kebanyakan individu muda, yang belum menerima orientasi seksualnya, dan memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap seksualitas.

(21)

d. Dysfunctional

Tidak memiliki pasangan menetap, memiliki jumlah pasangan seksual yang banyak, dan jumlah permasalahan seksual yang banyak.

e. Asexual

Ketertarikan terhadap aktifitas seksual rendah pada kelompok ini, dan cenderung untuk menutup-nutupi orientasi seksualnya.

3. Tipe Hubungan Pada Gay

Berdasarkan pendekatan sosiokultural, David Sonenschein (dalam Hogan, 1980) mengidentifikasikan ada enam tipe hubungan sosioseksual yang terdapat pada gay. Adapun keenam tipe tersebut anatara lain :

a. Permanent Social Relationship

Pada bentuk hubungan ini, tidak terdapat adanya aktifitas seksual. Individu-individu akan menjelasakan diri mereka sebagai ” teman atau sahabat dekat ” yang dimana persahabatan ini dijaga dari waktu ke waktu.

b. Nonpermanent Social Relationship

Pada bentuk hubungan ini, individu-individu menyatakan diri mereka sebagai teman baik, tetapi di luar kelompok (clique) tidak ada kontak yang berlanjut. Hubungan seksual/genital sangat jarang terjadi pada bentuk hubungan ini

c. Permanent Sexual Relationship

Permanent Sexual Relationship mencakup ”dipertahankan” dan hubungan

didasarkan kepada sifat materialisitik. Keterlibatan seksual dan emosional dengan pasangan tidaklah terlalu dalam dan sifatnya terpakasa. Bentuk

(22)

hubungan ini mungkin mencakup seorang individu yang lebih muda ’dipelihara’ oleh individu yang lebih tua, yang memiliki kekayaan yang lebih yang mengharapkan permanensi dalam hubungan tersebut. Bentuk hubungan ini sangat tidak stabil daan kemungkinan untuk terjadinya ketidaksetiaan oleh individu yang lebih muda tersebut lebih besar.

d. Nonpermanent Sexual Relationship

Nonpermanent Sexual Relationship (”one night stand”) merupakan tipe

hubungan yang paling sering terjadi. Individu akan melakukan hubungan seksual dengan orang yang tidak terlalu mereka kenal dan tujuan utama mereka hanyalah aktifitas seksual dan orgasme. Perilaku promiscuous ini bisa disebabkan karena faktor psikodinamik seperti penghindaran terhadap komitmen interpersonal seperti keintiman dan tanggung jawab serta faktor sosiologis.

e. Permanent Sociosexual Relationship

Literatur psikologi menunjukkan bahwa mempunyai pasangan seksual yang tetap merupakan tujuan yang paling banyak dimiliki pada banyak

gay. Seiring dengan bertambahnya umur (sekitar 30 tahun) menemukan

pasangan menjadi hal yang sangat penting. Hubungan ini didasarkan pada konsep cinta, bukan hanya seksual. Individu mulai berbagi dan dan menyamakan nilai-nilai dan minat masing-masing.

f. Nonpermanent sociosexual Relationship

Pada tipe hubungan ini, individu mengidentifikasikan dirinya sebagai ”teman” tetapi juga sebagai pasangan seksual yang potensial. Berbeda

(23)

dengan nonpermanent sexual relationship, dimana aktivitas seksual terjadi terlebih dulu, sedangkan pada nonpermanent sociosexual relationship, interaksi sosial terjadi terlebih dahulu sebelum aktifitas seksual.

4. Perkembangan Seseorang Menjadi Homoseksual

Salah satu model teori mencoba menjelaskan perkembangan seseorang hingga menjadi kaum homoseksual. Tahapan perkembangan tersebut menurut Papalia, Olds, dan Feldam (2007) adalah : 1) Kesadaran akan adanya ketertarikan pada sesama jenis, antara umur 8-11 tahun. 2) Perilaku seksual sesama jenis, antara umur 12-15 tahun. 3) Identifikasi sebagai gay atau lesbian, antara umur 15-18 tahun. 4) Kedekatan dengan sesama jenis, antara umur 17-19 tahun. 5) Pengembangan hubungan romantis sesama jenis, antara umur 18-20 tahun.

Namun model ini tidak bisa secara akurat mereflesikan pengalaman yang mungkin saja dialami oleh kaum homoseksual yang lebih muda. Banyak diantara mereka yang merasa lebih bebas daripada masa sebelumnya untuk mendeklarasikan identitasnya (Diamond, 1998 dalam Papalia, 2007).

D. Pacaran

1. Pengertian Pacaran

Pacaran merupakan salah satu aktifitas dalam memilih dan menetapkan pasangan. Menurut Papalia (2004), pacaran adalah kegiatan bagi dewasa dini untuk menemukan keintiman. Saxton (dalam Bowman & Spainer, 1978) menggambarkan pacaran sebagai sebuah istilah yang digunakan masyarakat untuk menggambarkan sebuah perencanaan kegiatan, termasuk di dalamnya adalah melakukan aktifitas bersama anatar dua orang yang biasanya belum menikah dan

(24)

berjenis kelamin berbeda. Proses pacaran tersebut dapat direncanakan untuk beberapa bulan atau bisa juga dalam beberapa menit. Pacaran hanya terjadi saat seseorang mengajak orang lain untuk melakukan aktifitas pacaran tersebut.

Keduanya membentuk sebuah hubungan dan memberitahukan kepada umum. Hubungan tersebut bisa saja bersifat bebas, tanpa disengaja dan sementara, bahkan bisa juga bertahan lama dan ekslusif.

Hurlock (1999) menambahkan bahwa banyak dewasa muda lebih menyukai pasangan tetap daripada berganti-ganti, tetapi meskipun demikian, mempunyai pasangan tetap tidak harus perlu melibatkan rencana untuk masa depan dan berjanji menikah. Namun hal itu memperbolehkan dilakukannya bentuk-bentuk perilaku seksual lebih lanjut. Duval (1985) menyatakan bahwa pacaran memiliki 3 elemen yaitu (1) ada kegiatan/aktifitas, (2) dilakukan bersama, (3) oleh dua orang yang berjenis kelamin berbeda.

2. Fungsi Pacaran

Win dan Naas (dalam Bowman & Spainer, 1978) mengatakan bahwa pacaran memiliki beberapa fungsi, yaitu :

a. Pacaran sebagai bentuk rekreasi

Pacaran memberikan hiburan bagi individu yang melakukan pacaran dan sebagai sumber kesenangan

b. Pacaran sebagai bentuk sosialisasi

Pacaran memberikan kesempatan pada individu untuk saling mengenal, belajar menyesuaikan satu sama lain, dan mengembangkan tehnik interaksi yang sesuai dengan pasangan.

(25)

c. Pacaran sebagai bentuk prestasi

Melalui pacaran seseorang akan bisa terlihat bersama dengan seseorang yang diinginkan oleh teman-teman sebaya, dimana hal ini dapat memberikan kebanggan dan martabat.

d. Pacaran adalah untuk saling mengenal

Pacaran memberikan kesempatan bagi mereka yang belum menikah untuk berhubungan dengan orang lain dengan tujuan untuk memilih pasangan dengan siapa seseorang akan menikah

3. Tahap pacaran

Menurut Adam (dalam Newman, 2006), pemilihan pasangan atau pacaran memilki 4 tahap, yaitu:

a. Fase I : Original Attraction

Proses yang terdapat dalam tahap ini adalah pengidentifikasian pasangan. Prinsip homogami yang terdapat dalam tahap ini menjelaskan bahwa seseorang akan tertarik dengan individu lain yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Karakteristik-karakteristik demografik seperti tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan nilai-nilai keagaamaan yang sama antar satu individu dengan individu yang lainnya, akan semakin meningkatkan ketertarikan pada kedua individu tersebut. Selain karakteristik demografik yang sama, penampilan fisik serta status sosial juga akan mempengaruhi seseorang dalam memilih pasangannya. Buss (dalam Newman, 2006) menyatakan bahwa laki-laki lebih menekankan kepada penampilan fisik dan kemudaan dari pasangannya sementara wanita lebih menekankan

(26)

kepada prospek finansial, kemandirian dan ketekunan dari pasangannya. Individu akan mencari orang-orang yang yang dapat mendukung tujuan mereka, yang dapat memberikan harapan yang pasti dan yang mampu untuk berbagi pengalaman dengan dirinya (Sanders dalam Newman, 2006) b. Fase II : Deeper Attraction

Pada tahap ini pasangan lebih membuka diri serta memberikan informasi mengenai dirinya sendiri melalui interaksi hubungan yang lebih dalam dan mulai untuk menemukan kesamaan-kesamaan yang sifatnya lebih penting. Setiap orang memiliki nilai-nilai serta karakterisitk yang berbeda yang digunakan sebagai filter dalam memilih pasangannya, apakah pasangannya tersebut memenuhi syarat bagi dirinya. Bagi beberapa orang, kriteria-kriteria ini digunakan sebagai pembatas dalam memilih pasangan nikahnya seperti agama, ras, latar belakang pendidikan dan sejarah keluarga dari pasangannya. Kebanyakan individu akan mencari pasangan yang akan dapat memahami mereka dan dapat memberikan dukungan emosional. Individu-individu tersebut tidak akan tertarik dengan individu lain yang memiliki pandangan yang berbeda, yang berasal dari latar belakang keluarga yang jauh berbeda ataupun memiliki kualitas temperamen yang tidak mereka sukai. Semakin baik suatu pasangan dapat melihat perbedaan dan persamaan yang ada di dalam diri mereka dan pasangannya, hal ini dapat meningkatkan keintiman di dalam hubungan mereka.

(27)

c. Fase III : Barriers to Breakup

Fase ini merupakan kelanjutan dari fase II setelah individu melakukan penyingkapan diri (self-disclosure) termasuk kebutuhan seksual, ketakutan-ketakutan pribadi dan fantasi-fantasi. Reaksi-reaksi positif dan suportif pada pasangan akan tergantung kepada tingkat kepercayaan anatar pasangan. Pada fase III ini, akan terdapat role compability dan empati di dalam hubungan. Role compatibility adalah suatu perasaan dimana dua individu dari pasangan tersebut menghadapi suatu situasi secara bersama-sama. Individu-individu tersebut akan menyukai bagaimana pasangannya bertindak dalam suatu situasi yang dihadapi bersama dan meyakini bahwa kombinasi dari cara mereka berperilaku akan efektif dalam menghadapi suatu situasi yang sama. Empati memungkinkan masing-masing pasangan mengetahui bagaimana berespon dan mengantisipasi kebutuhan dari pasangannya. Pada tahap ini pasangan juga mulai memberikan suatu nama singkat yang penuh kasih sayang kepada pasangannya dan menciptakan isyarat-isyarat unik untuk berkomunikasi dengan pasangannya. Individu juga menunjukkan perhatian yang lebih kepada kekasihnya daripada temannya. Perhatian diberikan dengan sepenuhnya, bahkan dapat mengorbankan diri sendiri

d. Fase IV : ”Right One” Relationship

Ketika individu memiliki empati dan role compability terhadap pasangannya, individu akan bergerak ke fase IV. Hubungan akan dikarakteristikkan dengan munculnya cinta romantis dan persahabatan.

(28)

Pada fase ini rintangan-rintangan yang dapat merusak hubungan mereka akan membuat hubungan mereka semakin kuat. Pertama, individu akan memperlihatkan dan mengambil resiko secara bersama-sama dengan pasangannya. Kedua, individu merasakan kenyamanan dan juga empati dari pasangannya sehingga merasa yakin akan situasi-situasi yang tidak jelas yang dapat merusak hubungan mereka. Ketiga, individu dan pasangannya telah dikenal oleh masyarakat, termasuk keluarga dan teman-teman mereka. Duvall (1985) menambahkan bahwa pada tahap ini juga merupakan tahap dimana lingkungan mengetahui bahwa pada pasangan tersebut terdapat rencana untuk melanjutkan hubungan kepada pernikahan. Kebiasaan yang terjadi pada tahap ini adalah memberikan cincin atau barang lainnya sebagai simbol keseriusan hubungan yang dijalin.

4. Pacaran pada gay

Mengingat keberadaan kaum gay yang lebih sedikit dibandingkan dengan kaum straight, menemukan pasangan bagi gay dapat menjadi hal yang sulit. Gay dewasa dapat bertemu dengan gay lainnya di klub gay ataupun tempat-tempat yang dikhususkan untuk pasangan sesama jenis, kelompok diskusi gay, organisasi

gay dan juga melalui internet (Caroll, 2005) Jika dibandingkan dengan pasangan

heteroseksual, pasangan gay memiliki jumlah yang terbatas dalam pemilihan pasangan, oleh sebab itu, gay bekerja lebih keras untuk menjaga hubungan mereka terutama pada saat krisis. Tidak seperti pasangan heteroseksual, yang berpikir bahwa masih banyak orang lain di luar sana, pasangan gay bekerja lebih

(29)

keras untuk mempertahankan hubungan mereka agar tetap bersama (Kurdek, dalam Caroll 2005)

Pada umumnya, gay secara seksual lebih aktif dan cenderung memiliki

lebih banyak pasangan seksual dibandingkan dengan lesbian dan pasangan heteroseksual lainya (Saghir dan Robins, dalam Master 1992) Walaupun beberapa

gay terlibat dalam hubungan intim singkat dengan orang lain/orang asing,

beberapa gay memilih untuk membangun hubungan jangka panjang yang penuh kasih sayang. Weinberg (dalam Master, 1992) menyatakan bahwa hubungan homoseksual jangka panjang kurang stabil, hal ini dikarenakan bahwa hubungan tersebut tidak didukung secara sosial oleh masyarakat ataupun secara hukum negara. Tetapi bagaimanapun, beberapa pengamat memperhatikan bahwa epidemi AIDS telah mendorong para gay untuk membangun hubungan yang sifatnya

Menurut Silverstein, adanya pacaran pada gay akan membantu seorang

gay dalam pencarian identitas diri, dan membuat gay merasa lebih lengkap

sebagai gay (dalam Savin-Williams & Cohen, 1996). Gay yang memiliki pacar akan memiliki harga diri yang lebih tinggi, penerimaan diri yang lebih tinggi, dan akan lebih terbuka kepada lingkungan mengenai identitas diri sebagai seorang gay (Savin- Williams & Cohen, 1996). Kegiatan yang dilakukan sepasang gay yang berpacaran tidak jauh berbeda dengan pacaran yang dilakukan oleh pasangan

straight. Pasangan gay melakukan aktifitas dalam pacaran secara bersama,

contohnya, menonton atau berkencan. Perbedaan pacaran pada gay dengan pasangan straight hanya pada penerimaan lingkungan terhadap pasangan tersebut (Caroll, 2005). Pasangan straight tidak akan menghadapi masalah yang sama

(30)

dengan pasangan gay saat memberitahu lingkungan mengenai hubungan yang mereka lakukan. Hal ini berhubungan dengan penolakan, stigma dan stereotip masyakarat terhadap hubungan sesama jenis.

E. Kecemburuan dalam berpacaran pada gay dewasa dini

Penelitian menemukan bahwa seorang gay juga akan melakukan pacaran dalam perkembangan kehidupannya (Savin-Williams & Cohen, 1996). Pacaran adalah saat dimanan suatu hubungan romantis dibangun dan dialami. Kecemburuan merupakan salah satu emosi yang paling sering muncul dianatara dua orang yang memang sudah terlibat dalam hubungan romantis (Hansen dalam Heindrick, 1992) Salovey (1991) menyatakan bahwa kecemburuan merupakan suatu pengalaman emosi ketika seseorang merasa terancam hilangnya suatu hubungan yang penting atau bermakna dengan orang lain (pasangannya). Sama hal nya dengan berpacaran, perasaan cemburu tidak hanya dialami oleh kaum

straight saja, tetapi kaum gay juga dapat mengalami hal yang sama (Buss, 2001)

Jumlah gay yang sangat sedikit diabndingkan dengan kaum straight,

membuat para gay harus bekerja keras dalam mempertahankan hubungan mereka (Kurdek, dalam Caroll,2005. Gay juga lebih susah untuk mengembangkan hubungan seksualitas mereka, karena adanya stigma mengenai gay dan tidak mudah bagi gay untuk menentukan pria mana yang memiliki potensi menjadi pasangan mereka (Caroll, 2005). Sehingga kecemburuan yang dirasakan oleh gay lebih besar daripada pasangan straight (Pines-Ayala Malakh, 1998)

Jika ditinjau dari stimulus terjadinya kecemburuan, Buss (2001) menyatakan bahwa gay memiliki tingkat kecemburuan seksual yang lebih rendah

(31)

dibandingkan dengan kecemburuan emosional. Kecemburuan emosional memaksudkan bahwa kecemburuan yang timbul dikarenakan adanya ketidaksetiaan emosional yang dilakukan pasangan. Ketidaksetiaan emosional adalah ketidaksetiaan yang dilakukan pasangan terhadap pihak ketiga tanpa melibatkan hubungan fisik, melainkan lebih menekankan kepada keakraban suatu hubungan. Gay menyakini bahwa pasangannya pria nya dapat saja melakukan hubungan seksual dengan siapapun tanpa harus jatuh cinta, tetapi ketika pria tersebut jatuh cinta kepada laki-laki lainnya, maka pria tersebut sudah pasti akan melakukan hubugan seksual (Dijkstra, 2001) Kecemburuan emosional dirasakan lebih mengancam pada kebanyakan pasangan gay, tetapi hal ini tidak berlaku untuk semua pasangan gay yang ada (Buss, 2001)

Gambar

Figure  1: Dimensi dan Respon Kecemburuan Pada Model EVLN Rusbult

Referensi

Dokumen terkait

Bagian irisan_1 dan irisan_2 digunakan untuk mengembalikan nilai yang telah dipetakan dalam ROM pada Bagian Mapper, sedangkan bagian penggabungan digunakan untuk

Risiko infeksi di Unit Hemodialisa Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping adalah resiko rendah (low risk).. Instrumen ICRA untuk HD dari CDC dapat diterapkan untuk menilai

Sebaliknya, responden (ibu hamil) yang memberikan penilaian dan harapan yang kurang bagus kepada lima aspek kualitas jasa pelayanan saat melakukan pemeriksaan

Dari analisis data kuesioner dapat diperoleh kesimpulan bahwa 1) kursus-kursus bahasa Inggris untuk anak usia sekolah dasar di Kabupaten Bangkalan pada umumnya

Dari hasil regresi yang telah disajikan pada tabel 2 diatas nampak bahwa nilai hitung untuk Variabel Terikat (Harga Barang Sembako) sebesar 8,632 dengan tingkat signifikan yaitu

“Toksisitas Akut Ekstrak Daun Sirsak Ratu (Annona Muricata) Dan Sirsak Hutan (Annona Glabra) Sebagai Potensi Antikanker”.. Bogor: Institut

Pelaksanaan kegiatan dalam bentuk pemberian keterampilan menjahit masker yang sesuai dengan persyaratan kesehatan dengan menggunakan pola yang sederhana di Desa

Secara umum dari model dapat dijelaskan bahwa latihan fisik dapat menurunkan kadar glukosa basal sementara setelah latihan, namun lama-kelamaan akan naik kembali ke