• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diversi dan Pelaksanaan Kesepakatan Diversi pada Tahap Penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diversi dan Pelaksanaan Kesepakatan Diversi pada Tahap Penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Diversi dan Pelaksanaan Kesepakatan Diversi pada Tahap Penyidikan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak

Muhammad Zulfikar dan Hasril Hertanto

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Email:m.zulfikar.b@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini membahas diversi dalam model Restorative Justice pada tahap Penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pokok permasalahan penelitian ini adalah sinkronisasi diversi pada tahap Penyidikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile (The Beijing Rules), kekuatan hukum diversi pada tahap Penyidikan dikaitkan dengan kekuasaan kehakiman, dan mekanisme pelaksanaan kesepakatan diversi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan sumber pengambilan data pada studi literatur dan wawancara narasumber. Hasil dari penelitian ini adalah perlunya memperjelas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan segera mungkin membuat Peraturan Pemerintah untuk memberikan kejelasan pelaksaan diversi pada aparat penegak hukum yang berwenang.

Diversion and Implementation of Diversion Agreement in the Investigation Stage Based on Act Number 11 of 2012 about Juvenile Justice System

Abstract

This research disscusses about the diversion of Restorative Justice model in the investigation stage that is set forth in Act Number 11 of 2012 about Juvenile Justice System. The main problem of this research is diversion syncronization between the investigation stage in Act Number 11 0f 2012 about Juvenile Justice System and United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile (The Beijing Rules), legal force diversion at investigation stage associated with the judicial power, and the implementation mechanism of diversion agreement. This research used normatif juridical methodology with the data collection are by the literature study and interview. The results of this research shows that it is important to clarify Act Number 11 of 2012 about Juvenile Justice System and create Government Regulation as soon as posible in order to give clear on the implementation of diversion to the law enforcement agencies.

Key Words: Diversion, Diversion Agreement, Restorative Justice, Investigation, Juvenile Justice System, Judicial Power

(2)

Anak adalah generasi penerus bangsa, sehingga pada kehidupan di masa yang akan datang anaklah yang menjadi tumpuan kesejahteraan bangsa dan negara. Sebagai generasi penerus, anak tidak akan mampu menjadi sosok yang hebat tanpa adanya bantuan, hal tersebut dikarenakan kondisi seorang anak yang masih rentan dalam fisik, mental, maupun psikologis. Anak sebagai generasi penerus memerlukan binaan dengan baik dan perlindungan dari hak-haknya. Pembinaan dan perlindungan tersebut merupakan tanggung jawab kita bersama.1

Indonesia telah mengatur berbagai Undang-Undang yang ditujukan khusus untuk melindungi hak-hak anak, sebagai contoh adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua contoh Undang-Undang tersebut lahir setelah Indonesia meratifikasi Convention on the Right of the Child pada tahun 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). Semangat perlindugan terhadap anak muncul dengan sangat cepat, salah satu perlindungan secara khusus yang muncul setalah adanya ratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut adalah dibentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dimana dalam Undang-Undang tersebut mengatur sedemikian rupa mengenai hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut, selain bertumpu pada Konvensi Hak Anak juga menjadikan United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile “The Beijing Rules” sebagai pedoman. Namun, jika dibandingkan dengan The Beijing Rules, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 memiliki kekurangan, yaitu tidak ada pengaturan mengenai diversi. Untuk menanggulangi hal tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai pengganti Unduang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kemudian dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut terdapat pengaturan mengenai diversi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur pengertian diversi sebagai berikut: diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.2 Diversi ini diangkat dari sebuah penyelesaian perkara dengan

1 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak [Kumpulan Karangan], (Jakarata: PT Bhuana Ilmu Populer,

1984), hal. 3.

2

Indonesia (1), Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332, Pasal 1 angka 7.

(3)

model Restorative Justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.3

Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi pertanyaan penelitian dalam penulisan ini adalah bagaimana sinkronisasi pemberian diversi pada tahap Penyidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile (The Beijing Rules), bagaimana kekuatan hukum tindakan diversi yang dilakukan pada tahap penyidikan dikaitkan dengan sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, serta bagaimana mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan kesepakatan diversi terhadap anak pada tahap penyidikan. Tujuan secara umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep pemberian diversi yang dilaksanakan pada tahap penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, serta tujuan secara khusus yaitu mengetahui perbandingan mekanismes pemberian diversi pada tahap Penyidikan berdasarkan Undang-Unduang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile “The Beijing Rules”, mengetahui kekuatan hukum tindakan diversi yang dilakukan pada tahap penyidikan berdasarkan sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, serta mengetahui mekanisme pengawasan pelaksanaan kesepakatan diversi terhadap anak pada tahap Penyidikan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk Yuridis-Normatif,4 dimana penelitian ini bertujuan untuk menelaah norma hukum tertulis berupa kaidah dan asas-asas hukum perlindungan hak anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Beijing Rules, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya, terutama yang menyangkut mengenai mekanisme pemberian diversi dalam tahap penyidikan sebagai hak anak yang berhadapan dengan hukum, juga teori-teori dari ahli yang berkaitan dengan anak dan tindak pidana anak. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yang sifatnya

3

Ibid., Pasal 1 angka 6.

4

Sri Mamudji et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10.

(4)

deskriptif,5 yaitu dengan menjelaskan dan menerangkan mengenai kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh penegak hukum dalam pemenuhan hak-hak anak yang harus dipenuhi ketika berhadapan dengan hukum. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder6 diperoleh melalui penelusuran kepustakaan atau dokumentasi. Data sekunder merupakan bahan hukum dalam penelitian yang diambil dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum dan bahan non hukum. Selain data sekunder, penelitian ini juga menggunakan jenis data lain sebagai penambahan yaitu penambahan data primer7 yang didapatkan dari wawancara narasumber.

Pembahasan

Restorative Justice sebagai sistem dalam pemidanaan, merupakan suatu perubahan yang dianggap sebagai kemajuan dalam menyelesaikan perkara pidana, khususnya pidana anak. Restorative Justice (Keadilan Restoratif) merupakan alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yeng komprehensif dan efektif. Kasus yang melibatkan anak tidak selalu perlu diproses secara hukum, cukup diselesaikan melalui komunitas dengan jalan kekeluargaan. Proses ini diharapkan akan mengurangi dampak pada anak yang berkonflik dengan hukum yang kadang lebih buruk dari pada perilaku kriminalnya itu sendiri.8 Tujuan Restorative Justice adalah untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat.9 Indonesia telah mencantumkan Restorative Justice secara langsung dan tertulis di dalam Undang-Undang, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mana

5 Ibid., hal. 50. 6 Ibid. 7

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 12.

8

HJ. DS. Dewi, “Restorative Justice, Diversionary Schemes And Special Children’s Courts In Indonesia”, hal. 4, www.kemlu.go.id/canberra/Lists/Lembarinformasi/Attachments/61/RestorativeJustice,.. Diunduh pada tanggal 14 Februari 2014

(5)

dalam Undang-Undang tersebut mengutamakan prinsip Restorative Justice dalam menyelesaikan kasus anak.

Konsep Restorative Justice merupakan suatu kemajuan yang perlu diberikan dukungan. Perubahan teori pemidanaan itu terjadi dalam teori pemidanaan sebelumnya yang telah dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu Teori Absolut atau Pembalasan (Retributif Theory), Teori Relatif atau Tujuan (Social Defence Theory, Utilitarian Theory, Reductive, Doeltheorieen), dan Teori Gabungan (Verenifing Theorien).

Salah satu model Restorative Justice adalah dengan diversi atau penggalihan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga membahas diversi lebih lanjut. Kewenangan penegak hukum dalam melaksanakan diversi diatur secara umum dan terpisah masing-masing penegak hukum yang intinya para penegak hukum tersebut diberikan kewenangan yang kemudian diwajibkan untuk melakukan upaya diversi. Kewenangan penegak hukum dalam melakukan diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang secara umum diatur dalam Pasal 7 yaitu diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri.10 Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia disebut diskresi.11 Diskresi menurut pengertian Soebekti adalah kebijakan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terikat pada ketentuan undang-undang. Diskresi merupakan kebijakan dalam hal memutus sesuatu tidak berdasarkan ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku, tetapi atas dasar kebijakan dan pertimbangan atas keadilan.12

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Beijing Rules merupakan dua aturan hukum yang mengatur mengenai diversi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai aturan Peradilan Anak di Indonesia apakah selaras dengan Beijing Rules yang merupakan pedoman bagi Sistem Peradilan Anak di Indonesia. Pasal 11.1 Beijing Rules, menyebutkan bahwa pertimbangan pemberian diversi kepada ada anak akan diberikan apabila layak bagi anak

10

Indonesia (1), op.cit., Pasal 7 ayat (1).

11

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice, op. cit., hal. 2.

12

(6)

yang berhadapan dengan hukum tersebut diselesaikan perkaranya tanpa menggunakan peradilan formal. Penjelasan Pasal 11 Beijing Rules menyebutkan bahwa diversi atau pengalihan awal merupakan jawaban terbaik, terutama jika perkaranya merupakan pelanggaran hukum yang tidak bersifat serius dan dimana keluarga, sekolah atau lembaga-lembaga pengendali sosial informal lainnya telah bereaksi, atau kemudian akan beraksi, dalam cara yang memadai dan membangun13. Dari hal tersebut juga terlihat bahwa pelaksanaan diversi tidak dilepaskan tanpa bantuan dari luar yang juga akan membantu anak tersebut untuk kemudian menjadi lebih baik, selain dari syarat utama bahwa pelanggaran yang dilakukan bukanlah pelanggaran yang serius. Membandingkan dengan Pasal 11 Beijing Rules, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga telah mengatur dalam Pasal 7 bahwa upaya diversi wajib dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Beijing Rules dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dapat dikatakan mempunyai maksud yang sama yaitu bukan merupakan suatu tindak pidana yang serius.

Membahas mengenai syarat agar diversi dapat diberikan kepada seorang anak yang berhadapan dengan hukum, tentu tidak lepas dari kewenangan bagi penegak hukum yang dapat memberikan diversi tersebut. Pasal 11.2 Beijing Rules sebagaimana disebutkan sebelumnya telah memberikan kewenangan untuk memberikan diversi, salah satunya yaitu kepada Polisi. Polisi dalam hal diberi kewenangan untuk memutuskan perkara menurut kebijaksanaan mereka. Selain dari Pasal 11.2 tersebut, Beijing Rules juga telah mengatur mengenai kewenangan diskresi tersebut secara lebih jelas yaitu dalam Pasal 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga diberikan kewenangan bagi Polisi pada tahap Penyidikan untuk melakukan diversi. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahkan mewajibkan bagi Penyidik untuk mengupayakan diversi. Selain kewenangan keselarasan juga dapat dilihat dalam syarat kewenangan tersebut, dimana kedua aturan ini membahas mengenai syarat tersebut. Beijing Rules dalam Pasal 6 menyebutkan bahwa adanya kualifikasi dan pelatihan khusus, sementara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengaturnya dalam Pasal 26 ayat (3), yaitu: telah berpengalaman sebagai Penyidik,

13

Penjelasan Pasal 11 United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile

Justice (The Beijing Rules) (Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi

(7)

mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang Peradilan Anak. Selain dari tiga syarat tersebut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga mengatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) mengenai pengawasan pada saat proses diversi dilaksanakan pada tahap penyidikan, yaitu akan diawasi oleh Kepala Kepolisian dan Pembimbing Kemasyarakatan.

pengaturan yang tidak selaras dapat dilihat dari upaya Penyidik dalam pemberian diversi. Beijing Rules dalam Pasal 6.1 dan Pasal 11.2 memberikan izin bagi Penyidik untuk memberikan diversi berdasarkan kebijakannya, jika menurut Penyidik upaya diversi tidak perlu dilakukan, maka Penyidik tersebut menurut Beijing Rules tidak perlu mengupayakan diversi. Berbeda dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 7 ayat (1) mewajibkan Penyidik untuk mengupayakan diversi bagi setiap anak yang berhadapan dengan hukum yang diancam dengan pidana dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.14 Penyidik dalam hal ini tidak mengupayakan diversi berdasarkan kebijakan sendiri, namun karena kewajiban.

Mengenai kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa dalam hal ini Penyidik berhak mengalihkan perkara dari proses peradilan pidana menjadi di luar peradilan pidana, yang kemudian jika proses tersebut berhasil maka perkara akan selesai. Untuk itu apakah kewenangan tersebut melanggar ketentuan dalam sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dengan adanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi sebagai berikut:15

Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapatkan keyakinan bahwa seseorang yang dianggap bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang di ndakwakan atas dirinya.

Kewenangan Penyidik dalam melakukan upaya diversi yang kemudian berhasil ini tidaklah bertentangan ataupun menyimpang dari ketentuan Kekuasaan Kehakiman tersebut. mengacu dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana anak bahwa proses Diversi yang dimaksud dilakukan melalui musyawarah dengan

14

Ibid., Pasal 7 ayat (2).

15

Indonesia (2), Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Pasal 3 ayat (1).

(8)

melibatkan anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Hasil dari diversi tersebut juga bukan merupakan suatu putusan ataupun penjatuhan pidana, namun merupakan suatu kesepakatan yang kemudian dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi.16 Kesepakatan diversi tersebut merupakan suatu kesepakatan yang memiliki sifat keperdataan, hal tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang menjelaskan bahwa kesepakatan merupakan salah satu dari sahnya suatu perjanjian.17 Sehingga kesepakatan diversi tersebut bukanlah suatu yang bersifat putusan ataupun penjatuhan pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan payung hukum bagi upaya diversi oleh Penyidik, sehingga dalam hal ini menjadikan proses pelaksanaan diversi ini telah diatur dan berdasar dengan jelas. Sebelum dibentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pengaturan diversi tidak diatur dengan jelas. Upaya Penyidik dalam melaksanakan proses diversi ini bergantung pada kewenangan diskresi yang dimilikinya, yaitu berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dimana dalam Pasal tersebut menyebutkan bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainnya sendiri.18 Kemudian muncul Telegram Kabareskrim Polri Nomor TR/1124/XI/2006 tentang Petunjuk dan Arahan Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang merupakan peraturan internal Kepolisian yang digunakan sebagai pedoman bagi pelaksanaan diversi oleh Penyidik, sedangkan kewenangan tetap berdasarkan pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kewenangan baru yang disebutkan secara jelas bagi Penyidik untuk melaksanakan diversi baru muncul setelah adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

16 Indonesia (1), op.cit., Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 11.

17 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, cet. 30, (Jakarta: Pradnya

Paramita, 2008), Pasal 1320.

18

Indonesia (3), Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002, LN No. 2 Tahun 2002, TLN No. 4168., Pasal 18 ayat (1).

(9)

Sistem Peradilan Pidana Anak juga terdapat pengaturan lain yang membahas mengenai diversi, yang dapat digunakan juga sebagai pedoman oleh Penyidik dalam melaksanakan proses diversi, yaitu Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor 166/KMA/SKB/XII/2009, Nomor 148/A/A/JA/12/2009, Nomor B/45/XII/2009, Nomor M.HH-08 HM. 03.02 Tahun 2009, Nomor 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor 02/Men.PP dan PA/XII/2009.

Bagian akhir adalah penetapan kesepakatan diversi oleh Pengadilan Negeri, yaitu kesepakatan diversi yang telah disepakati dalam pelaksaan diversi tersebut kemudian disampaikan bersama dengan berita acara diversi oleh atasan langsung dari Penyidik yaitu Kepala Kepolisian kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat Penetapan.19 Dengan adanya penetapan tersebut memperlihatkan bahwa meskipun upaya yang dilakukan dalam diversi ini tidak melalui Peradilan Formal tetapi tetap pelaksanaan diversi ini memiliki kekuatan hukum, sehingga tidak dapat dipermainkan. Mekanisme penyampaian hasil kesepakatan diversi pada tahap Penyidikan yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian kepada Pengadilan Negeri guna mendapatkan penetapan, dilakukan sesuai dengan daerah hukumnya. Penyampaian tersebut dilakukan paling lama 3 (hari) sejak kesepakatan diversi dicapai.20 Dicapainya hasil kesepakatan diversi ditandai dengan ditandatangani oleh pihak yang terlibat.21 Pihak yang terlibat adalah Anak dan orang tua atau Walinya, korban dan/atau orang tua atau Walinya (jika terdapat korban), Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional22 kemudian pejabat yang bertanggung jawab pada tingkat pemeriksaan, yaitu Penyidik jika dalam tahap Penyidikan. Penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi oleh Pengadilan Negeri.23 Penetepan tesebut kemudian disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan atau Penyidik dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan, kemudian setelah menerima

19

Indonesia (1), op. cit., Pasal 29 ayat (3) jo Pasal 12 ayat (2).

20

Ibid., Pasal 12 ayat (2).

21

Ibid., Penjelasan Pasal 12 ayat (1).

22

Ibid., Pasal 8 ayat (1).

23

(10)

penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri, Penyidik menerbitkan penetapan penghentian Penyidikan.24

Dengan tercapainya kesepakatan diversi dan tidak melanggar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik tersebut, maka dalam hal ini Kesepakatan Diversi dapat dilaksanakan. Namun pelaksanaan kesepakatan tersebut tentu membutuhkan pengawasan agar dapat berjalan dengan semestinya. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam ayat (1) memberikan kewenangan kepada Kepala Kepolisian untuk melakukan pengawasan. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam ayat (2) juga memberikan kewenangan kepada Pembimbing Kemasyarakatan untuk melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan hingga dilaksanakannya kesepakatan diversi. Selain kedua instansi tersebut pengawasan juga dilakukan oleh Pengadilan, berdasarkan Pasal 65 huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal tersebut menjelaskan bahwa dalam hal diversi tidak dilaksanakan maka Pembimbing Kemasyarakatan melapor kepada Pengadilan. Pelaksanaan kesepakatan diversi ini lebih banyak didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan, sesuai dengan tugas yang harus melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Sementara Kepala Kepolisian dan Pengadilan memberikan tindakan setelah adanya laporan dari Pembimbing Kemasyarakatan, hal itu dapat kita lihat dalam Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 65 huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Setelah kesepakatan diversi tersebut dilaksanakan Pembimbing Kemasyarakatan membuat laporan pelaksanaan diversi yang akan digunakan sebagai alat ukur tingkat keberhasilan pelaksanaan diversi maupun sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kegiatan diversi yang telah dilaksanakan.25 Jika kesepakatan diversi tersebut tidak dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan malaporkan sekaligus memberikan rekomendasi kepada Kepala Kepolisian untuk kemudian memberikan tindakan.26 Jika hal tersebut tidak menjadikan dilaksanakannya kesepakatan diversi, Pembimbing Kemasyarakatan

24

Ibid., Pasal 12 ayat (4) dan ayat (5).

25

Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia: Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditulis oleh Tim Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak), Modul Bagi Pembimbing Kemasyarakatan, (TK: Direktorat Jendral Pemasyarakatan, 2012), hal. 239. Modul tersebut telah ditetapkan oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Peraturan Direktur Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: PAS-111.PK.01.05.02 Tahun 2012 tentang Modul Bagi Pembimbing Kemasyarakatan Direktorat Jendral Pemasyarakatan.

26

(11)

dapat melaporkan kepada Pengadilan untuk kemudian memerintahkan Penyidik untuk melanjutkan perkara ke peradilan pidana.27

Melihat ketentuan-ketentuan tugas pengawasan paling banyak diberikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap Anak di dalam dan diluar proses peradilan pidana.28 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menjelaskan bahwa Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasayarakatan yang melakukan Bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.29 Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 01-PK.04. 10 Tahun 1998 tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-Syarat Bagi Pembimbing Kemasyarakatan juga menyebutkan hal yang sama, yaitu Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas Pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan.30

Pelaksanaan kesepakatan diversi ini tidak melibatkan Jaksa meskipun dalam Pasal 13 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengatur mengenai kewenangan Jaksa dalam melaksanakan Penetapan Hakim dan kesepakatan diversi tersebut juga mendapatkan penetapan hakim, hal tersebut dikarenakan dalam menangani anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mekanisme yang digunakan adalah Keadilan Restoratif dan kesepakatan diversi didapat dari proses diversi atau pengalihan. Menurut Eva Achjani Zulfa, proses diversi tidak menyentuh Sistem Peradilan Pidana Formal, proses diversi ini berbeda dengan apa yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan demikian perlu ada pemisahan antara proses diversi dengan konsep yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

27 Ibid., Pasal 65 huruf a. 28

Ibid., Pasal 1 angka 13.

29 Indonesia (4), Undang-Undang Pengadilan Anak, UU No. 3 Tahun 1997, LN No. 3 Tahun 1997, TLN

No. 3668, Pasal 1 angka 11.

30

Menteri Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tentang Tugas, Kewajiban,

(12)

Pidana.31 Pemisahan tersebut menjadikan diversi ini sebagai hal yang lain dari Peradilan Pidana, tindak pidana yang dilakukan memang ada namun penyelesaian perkara pidana tidak ada dalam proses diversi, sehingga memang tidak dapat disamakan dengan proses yang ada dalam Sistem Peradilan Pidana.32 Jaksa dalam proses pemberian diversi pada tahap penyidikan tidak terlibat, baik dalam proses maupun dalam pelaksanaannya meskipun terdapat penetapan dari hakim.33 Fungsi dari penetapan hakim itu sendiri adalah sebagai daya kuat atau kepastian hukum, sebagai jaminan pelaksanaan diversi, juga dapat digunakan sebagai pembuktian.34 Hal lain yang menjadikan Jaksa tidak terlibat dalam pelaksanaan kesepakatan diversi adalah sifat dari kesepakatan diversi adalah kesepakatan keperdataan yang kemudian menjadikannya beralih dari ranah hukum pidana menjadi ranah hukum perdata.35 Tidak berperannya Jaksa dalam pelaksanaan kesepakatan diversi ini selain karena sifat dari pengalihan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang khusus juga dikarenakan sifat keperdataan dari kesepakatan diversi tersebut.

Kesimpulan

Dari seluruh pembahasan yang disampaikan, kiranya terdapat beberapa kesimpulan yang didapat dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak sepenuhnya selaras dengan Beijing Rules. Keselarasan dapat dilihat dalam pengaturan pemberian diversi pada tahap Penyidikan, kedua peraturan tersebut mengatur secara jelas, pemberian kewenangan kepada Penyidik untuk mengupayakan diversi, serta upaya-upaya pertanggungjawaban kewenangan Penyidik tersebut. Pengaturan yang tidak selaras dapat

31

Eva Achjani Zulfa adalah salah satu dosen Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, selain menjadi dosen, Eva Achjani Zulfa merupakan salah satu dari tim perumus Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pendapat ini disamapaikan secara langsung oleh Narasumber pada saat wawancara pada hari Rabu, tanggal 24 Juni 2014.

32 Ibid. 33 Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid.

(13)

kita lihat dalam pengaturan kewenangan bagi Penyidik untuk mengupayakan diversi pada tahap Penyidikan. Beijing Rules dalam pengaturannya hanya memberikan izin dan kebebasan, namun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kewenangan tersebut menjadi sebuah kewajiban bagi Penyidik. Sehingga menjadikan upaya diversi yang dilakukan oleh Penyidik merupakan kewajibannya, bukan sebagai suatu kebijakannya sendiri. Kemudian menjadikan Penyidik yang tidak mengupayakan diversi tersebut diancam dengan sanksi pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 96 dengan ancaman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau dengan paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

2. Kewenangan Penyidik dalam memberikan diversi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Proses diversi yang dilakukan melalui proses musyawarah menghasilkan kesepakatan, bukan putusan atau penjatuhan pidana. Kesepakatan diversi tersebut merupakan kesepakatan yang bersifat keperdataan, dimana kesepakatan tersebut berisi persesuaian kehendak para pihak harus mendapatkan persetujuan tanpa adanya kekhilafan, penipuan, dan ancaman.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Telegram Kabareskrim POLRI No. Pol.:TR/1124/XI/2006 dan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Menteri Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor

166/KMA/SKB/XII/2009, Nomor 148/A/A/JA/12/2009, Nomor B/45/XII/2009, Nomor M.HH-08 HM. 03.02 Tahun 2009, Nomor 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor 02/Men.PP dan PA/XII/2009 digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan prinsip diversi dalam model Restorative Justice yang dimana kewenangan pelaksanaan diskresi berdasarkan pada Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3. Pengawasan terhadap pelaksanaan kesepakatan diversi dilakukan oleh Kepala Kepolisian berdasarkan kewenangannya yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 14 ayat (1). Pasal 14 ayat (2)

(14)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga memberikan kewenangan kepada Pembimbing Kemasyarakatan untuk melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan hingga dilaksanakannya kesepakatan diversi. Berdasarkan Pasal 65 huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pengadilan juga diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan tersebut.

Pelaksanaan kesepakatan diversi ini tidak melibatkan Jaksa Penuntut Umum, karena menggunakan mekanisme Keadilan Restoratif dengan hasil berupa kesepakatan diversi yang didapat dari pengalihan perkara tersebut. Diversi ini menghasilkan suatu kesepakatan diversi yang merupakan kesepakatan keperdataan, hal ini juga menjadikan alasan tidak terlibatnya Jaksa pada proses pelaksanaan kesepakatan diversi.

Jika kesepakatan diversi tersebut tidak dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan malaporkan sekaligus memberikan rekomendasi kepada Kepala Kepolisian, kemudian Kepala Kepolisian memberikan tindakan. Jika hal tersebut tidak menjadikan dilaksanakannya kesepakatan diversi, Pembimbing Kemasyarakatan dapat melaporkan kepada Pengadilan untuk kemudian memerintahkan Penyidik untuk melanjutkan perkara ke peradilan pidana.

Saran

Setelah disampaikannya beberapa kesimpulan diatas, kiranya terdapat beberapa saran yang dapat dikemukakan, yaitu sebagai berikut:

1. Mengupayakan berbagai tindakan atau memberikan peraturan-peraturan yang khusus guna memperjelas mengenai diversi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan menyelaraskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Beijing Rules yang merupakan pedoman bagi aturan mengenai Peradilan Anak.

2. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak agar setiap terdapat anak yang berhadapan dengan hukum Pembimbing Kemasyarakatan segera mungkin membuat penelitian kemasyarakatan guna kepentingan diversi dan kemudian menyerahkannya kepada Penyidik. Kemudian Penyidik mengupayakan proses diversi dengan segenap hati dan dengan mempertimbangkan

(15)

prinsip kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan prinsip yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

3. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pelaksanaan proses diversi dan kesepakatan diversi agar secepat mungkin dibuat, sehingga aparat penegak hukum yang berdasarkan kewenangan melaksanakan proses dan kesepakatan diversi memiliki pedoman secara yuridis dalam pelaksanaan proses diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan proses dan kesepakatan diversi bagi anak yang berhadapan dengan hukum. 4. Tidak hanya memilih dan memberikan syarat bagi para aparat penegak hukum yang

terkait selama proses diversi hingga pelaksanaan kesepakatan diversi, namun juga pembelajaran dengan praktek mengenai diversi sehingga aparat penegak hukum mengerti secara jelas tindakan-tindakan yang harus dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan studi banding ke negara-negara yang telah lama dan sukses menerapkan konsep diversi.

5. Diversi dalam model Keadilan Restoratif akan lebih efektif dengan melibatkan masyarakat dan orang-orang terdekat dari anak yang berhadapan dengan hukum tersebut. Peran keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan sekitar akan membantu anak tersebut dalam pembinaan dan pembimbingan, karena dengan melibatkan mereka akan terlaksana peranan aktif bagi anak tersebut. Melihat juga tidak dimungkinkan bagi Pembimbing Kemasyarakatan untuk selalu bersama anak tersebut setiap waktu.

Daftar Referensi A. Buku

Anwar,Yesmil dan Adang. Pembaruan Hukum Pidana. Jakarta: Grasindo, 2008. Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana Kontwmporer. Jakarta: Kencana, 2011. Garner, Bryan A, (ed). Black’s Law Dictionary. Minnessota: St. Paul, 2000.

Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan). Jakarata: PT Bhuana Ilmu Populer. 1984

Gultom, Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama, 2008.

(16)

Hadisuroprapto, Paulus. Juvenile Deliquency (Pemahaman dan Penanggulangannya). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997.

_____. Delikuensi Anak : Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. _____. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Harun, M. Husein. Penyidik dan Penuntut dalam Proses Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991.

Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Manan, Bagir. Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004. Yogyakarta: FH UII Press, 2007.

_____. Resorative Justice (Suatu Pekenalan), dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir. Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2008. Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.

Bandung: Alumni, 1997.

Marlina. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana. Medan: USU Press, 2010.

Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011.

Prasadja, Heru dan Titing Martini (ed). Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, 1998.

Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.

(17)

Salam, Moch. Faisal. Hukum Acara Peradilan Anak Di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 2005.

Siregar, Mahmul Dkk. Pedoman Praktis Melindungi anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam. Medan: Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), 2007.

Soebekti. Kamus Hukum. Jakarta: TP, 1980.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2010.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers. 2001.

Soetodjo, Wigiati. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama, 2005.

Subki, Muhammad Sukri dan Djumadi. Menyelesaikan Sengketa Melelui Pengadilan Pajak. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.

Supramono, Gatot. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta: Djambatan, 2005.

Supeno, Hadi. Dekriminalisasi Anak, Transformasi Menuju Perlindungan Anak Berkonflik dengan Hukum. Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2010.

_____. Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakrta: PT. Gramedia, 2010.

Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara. Ilmu Negara. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011.

Wahyudi, Setya. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.

Zulfa, Eva Achjani. Gugurnya Hak Menuntut: Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

(18)

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Indonesia. Undang-Undang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979, LN No. 32 Tahun 1979, TLN No. 3143.

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU. No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981

Indonesia. Undang-Undang Pemasyarakatan, UU No. 12 Tahun 1995, LN No. 77 Tahun 1995, TLN No. 3614.

Indonesia. Undang-Undang Pengadilan Anak, UU No. 3 Tahun 1997, LN No. 3 Tahun 1997, TLN No. 3668.

Indonesia. Undang-Undang Nomor Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999, LN No. 165 Tahun 1999, TLN No. 3866.

Indonesia. Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002, LN No. 2 Tahun 2002, TLN No. 4168.

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. No. 23 Tahun 2002, LN No. 109 Tahun 2002, TLN No. 4235.

Indonesia. Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No 16 Tahun 2004, LN No. 67 Tahun 2004, TLN No. 4401.

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 13 Tahun 2006, LN No. 64 Tahun 2006, TLN No. 4635.

Indonesia, Undang-Undang Pembrantasan Tindak Pidana Orang, UU No. 21 Tahun 2007, LN No. 58 Tahun 2007, TLN No. 4720.

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitrosudibio, cet 8, Jakarta: Pradnya Paramita, 2008.

Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076.

Indonesia. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 11 Tahun 2012, LN No. 153 Tahun 2012, TLN No. 5332.

(19)

Menteri Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Tugas, Kewajiban, dan Syarat-Syarat Bagi Pembimbing Kemasyarakatan, Kepmenkeh No. M.01-PK.04.10 Tahun 1998.

Peraturan Direktur Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PAS-111.PK.01.05.02 Tahun 2012 tentang Modul Bagi Pembimbing Kemasyarakatan Direktorat Jendral Pemasyarakatan.

C. Jurnal, Artikel, Modul, dan Lainnya

Marlina. “Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.” Jurnal Equality,2009.

Mugiman. “Implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: Studi Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Tingkat Penyidikan di Polres Purbalingga.” Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum UNSOED 10 (Mei 2010).

Reksodiputro, Mardjono. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat pada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi.” Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Universitas Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993. Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia: Direktorat Jendral Pemasyarakatan

(Ditulis oleh Tim Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak). (2012). Modul Bagi Pembimbing Kemasyarakatan, TK: Direktorat Jendral Pemasyarakatan.

D. Skripsi, Tesis, dan Disertasi

Zulfa, Eva Achjani. “Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana).” Disertasi Doktor, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.

(20)

Wawancara dengan Eva Achzani Zulfa, salah satu dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan salah satu tim perumus Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis struktur kristal partikel nano Zn (1-x) Mn x (x=0.10; 0.20) yang disintesis dengan metode kopresipitasi pada suhu rendah berbasis serbuk Zn(CH 3 COO) 2 ·2H 2 O,

Kebudayaan yang berasal dari kata budayaadalah: hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi manusia), seperti kepercayaan, keseniaan, dan adat istiadat. Pusat Kebudayaan

Dalam lingkungan sekolah, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga

Ubah data Data golongan yang akan dirubah di dalam database, klik simpan maka Data pada server Database akan berubah. Data golongan yang akan dirubah di dalam database,

SPP Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP UP adalah dokumen yang diajukan oleh bendahara pengeluaran setiap tahun anggaran setelah dikeluarkannya SK

Realitas sosial yang kebanyakan terlihat bahwa pada prosesnya masyarakat pesisir memang tidak terlalu pro aktif dalam dunia pendidikan, banyak masyarakat berfikir

Suatu cara untuk menghitung jumlah penduduk di suatu tempat adalah dengan jalan yang biasa disebut sensus atau cacah jiwa.. Dengan cacah jiwa, jumlah penduduk di suatu tempat

Ada perubahan konstruksi dari gabungan verba + nomina dalam bahasa Inggris menjadi satu kata verba yaitu refined.. (b) Kata majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk