• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga, 2 yang. semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga, 2 yang. semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan atau perkawinan merupakan perilaku sakral yang termaktub dalam seluruh ajaran agama. Dengan pernikahan diharapkan akan menciptakan pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat,1interaksi hidup berumah tangga dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga,2 yang semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.

Perkawinan tidak hanya menyatukan seorang pria dan wanita dalam sebuah keluarga tetapi juga membawa konsekuensi hukum baik bagi istri maupun suami yang telah menikah secara sah. Berbagai konsekuensi hukum yang muncul akibat perkawinan itu antara lain, menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung, tanggung jawab mereka terhadap anak-anak, konsekuensinya terhadap harta kekayaan baik kekayaan bersama maupun kekayaan masing-masing, serta akibat hukumnya terhadap pihak ketiga. Hal-hal ini penting untuk dipahami oleh setiap calon pasangan suami istri guna untuk mencegah timbulnya permasalahan di kemudian hari dalam perkawinan.

1

Abd. Nashr Taufik Al-Athar, Saat Anda Meminang, Terj. Abu Syarifah dan Afifah, (Jakarta: Pustaka Azam, 2000), hal. 5.

2Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1995), hal. 1.

(2)

Perkawinan itu sendiri sudah pasti memiliki aturan hukum tersendiri sebagaimana disebutkan oleh Hilman Hadikusuma,3“bahwa aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka.”

Di Indonesia sendiri ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Undang-Undang ini merupakan hukum materil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.4

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut dengan UU Perkawinan), bangsa Indonesia sudah mengenal pemberlakukan hukum secara plural yang diterapkan berdasarkan golongan penduduk,5 sebagaimana nampak dari Penjelasan Umum (2) dari UU Perkawinan serta di Indische Staats Regeling (ISR) yaitu pasal 163 Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda.6Pasal tersebut menjelaskan perbedaan berbagai hukum perkawinan

3Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 1.

4

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 1. 5Hilman Hadikusuma, Op. Cit., hal. 9.

(3)

yang berlaku bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah sebagai berikut:7

1. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipiir dalam Hukum Adat;

2. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;

3. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks

Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);

4. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;

5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka;

6. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Ketentuan hukum yang beragam tersebut berlaku terhadap permasalahan perdata pada umumnya, kecuali golongan Indonesia asli non Kristen, dirangkum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) atau disebut juga Burgerlijk Wetboek (BW). Salah satu ketentuan yang hingga kini masih berlaku adalah yang berkenaan dengan pengaturan harta dalam perkawinan. Dalam KUHPerdata, maka pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjadi harta bersama. Hal ini dapat dilihat sebagaimana disebutkan dalam KUHPerdata bahwa :8

Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami istri.

7Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hal. 7. 8Pasal 119 KUHPerdata.

(4)

Dengan diundangkannya UU Perkawinan pada tanggal 2 Januari Tahun 1974 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Oktober 1975, maka telah terjadi unifikasi (penyatuan hukum) dalam hukum perkawinan, sehingga peraturan-peraturan mengenai perkawinan yang sebelumnya ada menjadi tidak berlaku lagi, sejauh telah diatur dalam undang-undang perkawinan ini. Undang-Undang ini menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga negara Indonesia.

Meskipun aturan tentang perkawinan telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, namun hal ini tidaklah menjamin bahwa kehidupan perkawinan itu akan selalu berjalan mulus, sebagaimana yang dinyatakan oleh Martiman Prodjohamidjojo, bahwa :9

Undang-Undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) bertujuan mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan kekal di dalam suatu rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai. Namun kenyataan sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun telah membuktikan bahwa tidak selalu itu dapat dicapai; bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal sama sekali di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata sepakat atau karena olehnya salah satu pihak ataupun perilaku kedua belah pihak yang bertentangan dengan ajaran agama.

Dalam sebuah kehidupan perkawinan banyak hal yang dapat menyebabkan timbulnya permasalahan, seperti masalah hak dan kewajiban sebagai suami istri, masalah keuangan rumah tangga, masalah prinsip, dan berbagai hal lainnya. Selain masalah-masalah tersebut di atas, maka masalah harta benda juga merupakan salah satu faktor penyebab yang sering terjadi yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai 9Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2011), hal. 1.

(5)

perselisihan atau pertengkaran dalam suatu perkawinan, bahkan dapat mengakibatkan terjadinya perceraian antara suami istri.

Mengenai harta benda dalam perkawinan ini telah diatur dalam UU Perkawinan, di mana dikenal dua macam harta benda yang ada dalam perkawinan yaitu :10

1. Harta bersama

Dalam pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa, “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Jadi di sini semua harta yang dibeli atau diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, walaupun harta tersebut di atas dinamakan salah seorang, suami atau istri. Bahkan juga harta yang dibeli dengan uang yang diperoleh selama perkawinan juga termasuk harta bersama.

Dalam pasal 36 ayat (1) disebutkan bahwa, “mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.” Dalam hal ini suami istri dalam melaksanakan pengelolaan dan menentukan harta bersama ini, harus saling terbuka dan saling memberitahukan dan mendapat persetujuan dari kedua belah pihak suami atau istri.

2. Harta bawaan

Pasal 35 ayat (2) menyebutkan, “harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Mengenai apa yang disebut harta masing-masing atau harta

(6)

sang suami atau harta sang istri, pasal 35 ayat (2) secara tegas telah menyebutkan terdiri dari :

a. harta bawaan sang suami dan harta bawaan sang istri sebelum perkawinan berlangsung, dibawa ke dalam perkawinan;

b. harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan atas nama sang suami atau atas nama sang istri, baik sebelum ataupun selama perkawinan berlangsung. Dalam Pasal 36 ayat (2) disebutkan, “mengenai harta bawaan, masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. Dalam hal ini jelas tidak diperlukan adanya pesetujuan dari pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing para pihak.

Menurut KUHPerdata hanya ada satu macam harta benda dalam perkawinan yaitu harta bersama saja atau harta masing-masing dari sang suami atau sang istri bila ada perjanjian (huwelijks voorwaarden) di antara sang suami dan sang istri.11 Dalam sebuah perkawinan masyarakat Indonesia sejak dahulu mengenal adanya pencampuran harta perkawinan sebagaimana disebutkan dalam KUHPerdata Pasal 119, bahwa “mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”.

Para calon suami isteri tidak meributkan mengenai harta masing-masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam penyatuan harta perkawinan. Apabila para pihak menginginkan harta tersebut 11Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hal. 62.

(7)

dipisahkan satu sama lain, maka dapat dibuat suatu perjanjian yang dinamakan perjanjian perkawinan.

Secara formil, perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami atau calon istri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut :12

1. Timbulnya hubungan antara suami istri. 2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan 3. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak.

Maksud dan tujuan calon suami istri membuat perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat hukum dari perkawinan mereka yaitu mengenai harta kekayaan agar tidak terjadi persatuan bulat harta kekayaan perkawinan di antara suami istri selama perkawinan.

Perjanjian perkawinan itu adalah perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata maupun dalam UU Perkawinan. Dalam KUHPerdata disebutkan bahwa :13

Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini.

Selanjutnya dalam Pasal 147 juncto Pasal 149 KUHPerdata dikatakan intinya bahwa perjanjian perkawinan itu harus dibuat dengan akta Notaris sebelum

12

Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Cetakan Pertama, 2008), hal. 41.

(8)

dilangsungkannya perkawinan, perjanjian mana mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan dan tidak boleh ditarik kembali atau diubah dengan cara bagaimanapun selama berlangsungnya perkawinan.

Sementara itu dalam UU Perkawinan disebutkan perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diadakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Biasanya perjanjian dibuat untuk kepentingan hukum terhadap harta bawaan masing-masing suami ataupun isteri, meskipun undang-undang tidak mengaturnya secara jelas, segalanya diserahkan kepada para pihak. Sedangkan perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Hal ini diatur pada Pasal 29 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa :14

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Bila dibandingkan maka perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jauh lebih luas daripada perjanjian perkawinan (huwelijks

voorwaarden) yang ditentukan dalam Pasal 139 KUHPerdata. Sebagaimana

dijelaskan oleh Henry Lee A. Weng, bahwa :15

14

Pasal 29 UU Perkawinan.

15Henry Lee A. Weng, Ringkasan Disertasi : Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan (Some Legal Aspects of Marriage Contract), (Medan: USU, 1986), hal. 1.

(9)

“Perjanjian perkawinan yang diatur dalam pasal 29 Undang-Undang tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bukan hanya mengatur masalah harta benda akibat perkawinan melainkan juga meliputi hak-hak/kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”.

Selanjutnya Henry Lee A Weng, juga menyebutkan bahwa :16

“Istilah “perjanjian” yang dimaksud dalam pasal 29 Undang-Undang tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 bukan/tidak termasuk “ta’lik talak”. “Perjanjian” ini, adalah pengatur kehendak dari kedua belah pihak dalam perjanjian itu sedangkan “ta’lik talak” adalah pengatur kehendak sepihak yang diucapkan oleh suami setelah aqad nikah. “Perjanjian” berlaku bagi semua golongan termasuk Umat Islam sedangkan “ta’lik talak” hanya untuk Umat Islam”.

Pada mulanya keberadaan perjanjian perkawinan ini di Indonesia kurang begitu popular dan mendapat perhatian, karena mengadakan perjanjian perkawinan mengenai harta kekayaan antara calon suami istri dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sesuatu hal yang kurang pantas dan dapat dianggap menyinggung satu sama lainnya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya “tidak mustahil suatu kebutuhan yang mutlak yang sekiranya perlu mendapatkan pemikiran sejak awal, sebab perkembangan bidang perkawinan menyimpang dari pola yang ditetapkan sehingga muculnya perkembangan baru akan senantiasa aktual dan kadang menimbulkan polemik (pro dan kontra)”.17

Di sisi lain budaya praktis menjadi bagian dari gaya hidup, yang kemudian mempengaruhi sikap pemikiran untuk menimbang untung dan rugi secara materi pada saat memasuki jenjang perkawinan. Di tengah dinamika perkembangan masyarakat

16 Ibid.

17Yunanto, Peraturan Harta Perkawinan dengan Perjanjian Kawin, (Semarang: Masalah-Masalah Hukum, 1993), hal. 14.

(10)

dan pembangunan di berbagai sektor kehidupan, kebutuhan untuk memisah harta kekayaan dalam perkawinan menjadi suatu hal yang biasa dan berkembang sejalan dengan pembaharuan hukum di berbagai bidang.

Perkembangan yang terjadi di masyarakat sekarang ini banyak terjadinya permasalahan yang dihadapi oleh suami istri dalam menjalankan kehidupan perkawinan mereka terutama dalam hal harta kekayaan yang diperoleh oleh masing-masing pihak selama dalam perkawinan, sehingga perjanjian perkawinan menjadi sebuah solusi untuk melindungi harta kekayaan masing-masing pihak.

Perjanjian perkawinan yang lazimnya di Indonesia dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan ternyata juga telah mengalami pembaharuan di mana telah ada beberapa pasangan suami istri di Indonesia yang membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan mereka dilangsungkan. Perkembangan ini dapat dilihat dari adanya pelaksanaan pembuatan perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan dengan dasar Penetapan Pengadilan Negeri sebagaimana adanya dijumpai Penetapan Pengadilan Negeri Nomor : 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor : 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr.

Perkembangan hukum ini juga tentunya telah memicu perdebatan dan bahkan telah menimbulkan berbagai persoalan seperti dalam proses pencatatan dalam akta perkawinan dimana mekanisme pembuatan perjanjian perkawinan pada umumnya dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dan harus dibuat dengan akta Notaris sebagaimana ketentuan dalam Pasal 147 juncto Pasal 149 KUHPerdata dikatakan intinya bahwa “perjanjian perkawinan itu harus dibuat dengan akta Notaris sebelum

(11)

dilangsungkannya perkawinan, perjanjian mana mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan dan tidak boleh ditarik kembali atau diubah dengan cara bagaimanapun selama berlangsungnya perkawinan.”

Pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan ini perlu dikaji dan dibahas secara lebih lanjut bagaimana pengaturannya berdasarkan undang-undang terutama bila ditinjau dari KUHPerdata sehingga alasan dan dasar hukum yang dipergunakan dalam pembuatan perjanjian perkawinan sesudah perkawinan ini nantinya juga tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada sehingga akan menjadi bahan masukan yang sangat berharga bukan hanya bagi pasangan suami istri yang akan membuat perjanjian perkawinan sesudah perkawinan saja tetapi juga bagi berbagai pihak dan kalangan yang terkait dan berhubungan dengan hal tersebut.

Di samping itu perlu juga diketahui apa yang menjadi tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan sesudah perkawinan berlangsung baik bagi kedua belah pihak suami istri maupun pihak lain yang terkait dengan harta benda perkawinan dan apa akibat-akibat hukum yang ditimbulkan oleh perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsungseperti harta perkawinan yang telah tercampur, hutang piutang yang telah ada ketika perkawinan berlangsung sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan tersebut dan hal-hal lainnya yang menimbulkan akibat

(12)

hukum yang perlu dikaji dan diteliti lebih lanjut dengan adanya perjanjian perkawinan ini sebagaimana adanya akibat-akibat hukum dari perkawinan, yaitu :18

1. Terhadap pihak suami dan pihak istri yang berupa timbulnya hak dan kewajiban di antara mereka berdua, dan hubungan mereka dengan masyarakat luas (pasal 30 s/d pasal 34 UU Perkawinan).

2. Terhadap harta benda yang ada dalam perkawinan, hubungan suami-istri atas harta benda perkawinan mereka, serta keadaan harta benda dalam perkawinan (pasal 129, 29, 35 s/d 37 UU Perkawinan).

3. Terhadap mereka berdua sebagai orang tua (ayah dan ibu) nantinya dengan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka yang berupa hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (pasal 45 s/d pasal 49 UU Perkawinan), tentang kedudukan anak (pasal 42 s/d pasal 44 UU Perkawinan) dan tentang perwalian atas anak (pasal 50 s/d 54 UU Perkawinan)

Semua akibat hukum dari sebuah perkawinan sebagaimana disebut di atas pastinya juga akan berdampak akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan. Namun di sisi lain hal ini juga dapat disebut suatu penemuan hukum baru untuk mengatasi perkembangan hukum yang terjadi di masyarakat. Sehingga dengan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan ini menjadi sangat penting dan menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut untuk ditinjau melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terutama bila ditinjau secara khusus melalui KUHPerdata.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan ditinjau dari KUHPerdata ?

(13)

2. Apa yang menjadi tujuan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan? 3. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari perjanjian perkawinan yang dibuat

setelah perkawinan ?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari perumusan masalah yang tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan ditinjau dari KUHPerdata.

2. Untuk mengetahui yang menjadi tujuan pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan.

3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, terutama hukum perjanjian dan hukum perkawinan yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan.

(14)

Penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi setiap kalangan baik bagi masyarakat luas terutama tentang hal yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan maupun bagi kalangan akademisi seperti para pengajar maupun mahasiswa dan praktisi seperti para Notaris, Pengacara/Advokad, Hakim dan lainnya dalam menjalankan profesinya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian tesis sebelumnya dengan judul “Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut perjanjian perkawinan yang diteliti oleh :

1. Irma Febriani Nasution, 2005, dengan judul penelitian “Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam”, yang membahas tentang :

a. Bagaimana perbedaan ketentuan perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam ?

b. Bagaimana bentuk perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam?

(15)

c. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan tersebut baik di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam?

2. Fitrianty Chuzaimah, 2009, dengan judul penelitian “Analisis Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya, yang membahas tentang :

1. Bagaimanakah kedudukan perjanjian perkawinan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ?

2. Bagaimanakah peran Notaris dalam pembuatan akta perjanjian Perkawinan ? 3. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian

perkawinan dan penyelesaiannya ?

3. Dhira M. W. S. Nasution, 2010, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Terhadap Akte Perjanjian Kawin Pasangan Suami/Istri Yang Akan Menikah”, yang membahas tentang :

1. Apa yang menjadi latar belakang dibuatnya perjanjian kawin sebelum nikah? 2. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian kawin terhadap masing-masing pihak

sesudah menikah ?

3. Bagaimana akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan atas harta dalam perkawinan apabila terjadi perceraian?

4. Nora Sari Dewi Nasution, 2011, dengan judul penelitian “Perlindungan Terhadap Hak-hak Isteri Pada Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, yang membahas tentang :

(16)

1. Bagaimana perlindungan hak-hak isteri dalam perkawinan poligami yang telah dicatatkan ?

2. Hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bagi isteri yang dipoligami ?

3. Apa akibat hukum jika suami yang berpoligami melanggar perjanjian perkawinan ?

Berkaitan dengan judul-judul dan rumusan-rumusan permasalahan yang disebutkan di atas, maka bila dihubungkan dengan judul dan rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah tidak sama atau berbeda, karena topik penelitian-penelitian tersebut di atas adalah tentang perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan sedangkan penelitian ini adalah tentang perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan, sehingga penelitian ini adalah asli dan bukan hasil ciplakan dari penelitian atau penulisan lain. Oleh karena itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara ilmiah maupun secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian, maka akan sangat diperlukan landasan teori yang akan dipergunakan untuk membahas permasalahan penelitian dengan mengidentifikasi teori-teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan norma-norma hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.

(17)

“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.19“Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gajala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran”.20Sedang kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penulisan.21

M. Solly Lubis menyebutkan bahwa :

Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.22

19Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6. 20

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, (Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 1996), hal. 203.

21M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80. 22Ibid., hal. 27.

(18)

Suatu kerangka teori mempunyai beberapa kegunaan bagi suatu penelitian, yakni :23

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan system klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui

serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh factor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.

Penelitian ini menggunakan teori hukum kontrak klasik yaitu teori kehendak (wills theory) yang dipelopori oleh filsuf moral terkenal dari Jerman yaitu Immanuel Kant, yang dipergunakan sebagai pisau analisis. Menurut teori kehendak, suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak di antara para pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para pihak.24 Pembatasan yang dibebankan hukum kepada individu ada, karena kemauan individu

23

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 121.

24Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 39.

(19)

itu sendiri, karena hanya kemauan itu yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan hukum.25

Dengan demikian, teori kehendak atau teori hukum kontrak klasik yang berasal dari prinsip private autonomy (otonomi kehendak), kemudian bermakna bahwa kehendak para pihaklah yang menentukan hubungan hukum kontrak mereka.26 Prinsip yang demikian memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut :27

1. hukum yang berlaku bagi mereka tersebut semata-mata berkaitan dengan maksud yang sebenarnya dari pihak yang berjanji;

2. maksud para pihak harus “bertemu” pada saat sebelum dibuatnya kontrak; 3. hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengisi celah dalam suatu

kesepakatan dan tidak berdaya menghadapi kemungkinan hal yang tidak terduga;

4. pihak yang berjanji bebas mengungkapkan kemauannya.

Berdasarkan rumusan otonomi kehendak itu, Kant merumuskan esensi kontrak. Esensi Kontrak adalah bersatunya dua kehendak pihak yang satu dengan pihak lainnya.28

Selain Immanuel Kant, tokoh Gr. Van der Burght juga mengemukakan bahwa selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu :29

1. Ajaran kehendak (wilsleer), di mana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subjektif para calon kontraktan.

2. Pandangan normatif Van Dunne, dalam ajaran ini, kehendak sedikitpun tidak memainkan peranan. Apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada 25Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 72.

26

Ibid., hal. 98. 27

Ibid., hal. 98 - 99. 28Ibid., hal. 72.

(20)

hakikatnya tergantung pada penafsiran normatif para pihak pada persetujuan ini tentang dan peristiwa yang dihadapi bersama.

3. Ajaran kepercayaan (vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu persetujuan.

Kehendak para pihak inilah yang kemudian dituangkan dalam suatu perjanjian yang dalam hal ini adalah perjanjian perkawinan. Dalam hal ini teori ini berfungsi untuk memberikan arah/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati, karenanya penelitian ini diarahkan kepada ilmu hukum positif yang berlaku, yaitu tentang hukum perjanjian dan lahirnya perjanjian yang ditetapkan dalam KUHPerdata, dengan azas hukum kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang menjadi dasar bagi lahirnya perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan antara pasangan suami dan istri.

Maksud dari asas kebebasan berkontrak itu adalah bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat, untuk mengadakan perjanjian berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.30

Dengan demikian maka jelaslah bahwa setiap orang berhak untuk membuat perjanjian asalkan memenuhi syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

(21)

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal

Ke empat syarat di atas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian, yang dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :

1. Syarat Subyektif,31yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan subyek perjanjian, terdiri dari :

a. Kesepakatan. b. Kecakapan.

2. Syarat Obyektif, 32 yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan obyek perjanjian, terdiri dari :

a. Hal tertentu. b. Sebab yang halal.

Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka perjanjian apa saja yang dibuat menurut persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum untuk mengikat para pihak yang telah mengadakannya.

31

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 94.Suatu perjanjian yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat subyektif dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain perjanjian ini semula sudah dilaksanakan atau berlaku bagi para pihak, tetapi karena tidak terpenuhinya syarat subyektifnya, yaitu adanya kesepakatan dan kecakapan dari para pihak, atas permintaan dari pihak yang meminta pembatalan dapat dinyatakan batal oleh hakim, jika tidak perjanjian tersebut selamanya sah dan berlaku.

32Ibid., Suatu perjanjian adalah batal demi hukum karena tidak terpenuhinya syarat obyektif dari perjanjian sehingga dari semula sudah batal.

(22)

Dengan demikian adanya perjanjian perkawinan tersebut telah menimbulkan hubungan hukum yaitu adanya hak dan kewajiban yang melahirkan aturan hukum untuk membuktikan tanggung jawab hukum bagi para pihak, sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Van Kan yang mengatakan “bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu”.33

Hal ini semakin dipertegas dalam KUHPerdata yang menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.34Juga dalam rumusan ketentuan pasal 1313 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.

Jadi dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksa pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.35

33CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. 44-45.

34

Pasal 1233 KUHPerdata. 35

(23)

Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian perkawinan pada dasarnya adalah suatu bentuk kesepakatan sehingga ia termasuk dalam hukum perjanjian dalam buku III KUHPerdata. Perjanjian Perkawinan ini diatur dalam pasal 147 juncto pasal 149 KUHPerdata yang intinya bahwa perjanjian perkawinan itu harus dibuat dengan akta Notaris sebelum dilangsungkan perkawinan, perjanjian mana mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan.

Hal ini juga diatur dalam pasal 29 UU Perkawinan, dimana perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta Notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Petugas Pencatat Perkawinan sebelum perkawinan itu berlangsung atau pada saat perkawinan berlangsung dan mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.

Namun dalam praktek di masyarakat ditemukan adanya pasangan suami istri yang membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri. Hal ini tentunya tidak diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku saat ini, sehingga perlu diketahui secara jelas bagaimana pengaturan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah perkawinan ditinjau dari perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terutama KUHPerdata dan apa tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah perkawinan tersebut serta akibat hukum yang ditimbulkannya.

2. Konsepsi

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui

(24)

pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompak fakta atau gejala. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang lain menentukan adanya hubungan empiris.36

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.37“Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum”.38

Guna menghindari terjadinya perbedaan pengertian atau makna ganda dari konsep-konsep tersebut dan untuk menghindari kesalahpahaman maka selanjutnya akan diuraikan pengertian konsep-konsep dasar yang dipakai dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melunasi prestasinya.39

36Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 21.

37

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 397. 38

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 7.

(25)

2. Kesepakatan adalah suatu bentuk persetujuan karena adanya kesamaan kehendak.40

3. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.41

4. Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.42

5. Pengadilan Negeri adalah Badan peradilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara-perkara pidana dan perdata serta membuat ketetapan-ketetapan hukum sesuai wewenangnya.43

6. Kebebasan berkontrak adalah bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja, sepanjang tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.44

G. Metode Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, bahwa :

40M. Marwan & Jimmy P, Kamus Hukum Dictionary of Law Complete Edition, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 355.

41Pasal 1 ayat 1 UU Perkawinan. 42

Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Djambatan, 1998), hal. 39.

43M. Marwan & Jimmy P., Op. Cit., hal. 500-501. 44R. Subekti, Op. Cit., hal. 13.

(26)

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.45 Sedangkan menurut Sutrisno Hadi, “penelitian atau research adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah”.46

Dalam usaha mencari kebenaran, salah satunya adalah melalui kegiatan ilmiah, seperti penelitian, di mana dalam penelitian tersebut akan mencari data atau bahan-bahan yang dapat digunakan untuk penulisan ilmiah. Data adalah gejala yang akan dicari untuk diteliti, gejala yang diamati oleh peneliti dan hasil pencatatan terhadap gejala yang diamati oleh peneliti.47

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan atau bahan hukum yang lain,48yang menekankan pada bahan data yang bersifat sekunder.

Penelitian ini disebut yuridis normatif juga karena secara yuridis penelitian ini didasarkan pada pendekatan terhadap asas-asas dan aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan KUHPerdata, Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

45Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 6.

46Sutrisno Hadi, Metode Research Jilid I, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2000), hal. 4. 47

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peran Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian

Hukum, (Jakarta: PDHUI, 1979), hal. 1.

48Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996), hal. 13.

(27)

Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Pelaksana Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, beberapa peraturan, buku-buku dan diktat-diktat literatur tentang perdata dan perkawinan yang berhubungan dengan penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.49 Analitis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.50Penelitian ini mencakup penelitian kepustakaan (library research) yang memerlukan evaluasi terhadap substansi peraturan hukum perjanjian dan hukum perkawinan umumnya dan perjanjian perkawinan khususnya.

2. Sumber Data

Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder, yakni data yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer yang diperoleh dan dikumpulkan melalui studi dokumen (literature) terhadap bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara studi pustaka atau literatur. Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Bahan hukum primer.

49

Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2000), hal. 58.

50Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 101.

(28)

Yakni bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini, yang terdiri dari :51 KUHPerdata, UU Perkawinan, Peraturan Pemerintah Pelaksana Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Penetapan Pengadilan Negeri Nomor : 207/Pdt.P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor : 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan.

b. Bahan hukum sekunder.

Yakni bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti buku-buku dan diktat-diktat literatur tentang perdata atau perkawinan, hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan.52

c. Bahan hukum tertier.

Yakni bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain sebagainya.53

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan pengumpulan data melalui penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, penetapan

51

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1990), hal. 53.

52Ibid. 53Ibid.

(29)

pengadilan, buku-buku, karya ilmiah, artikel, majalah/jurnal hukum, dan sumber lainnya yang terkait yaitu dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian guna menemukan ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan perjanjian perkawinan dan menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian, analisis data sangat diperlukan dan berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.54

Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun tertier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.55

Dalam penelitian ini dilakukan analisis data secara kualitatif, yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,

memilah-54

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 103.

55Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 106.

(30)

milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.56 Dari penelitian ini kemudian akan dilakukan penarikan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan mulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sehingga akan diperoleh jawaban dari permasalahan yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

- Kemudian terdakwa membangunkan saksi korban sambil berkata (hyang laku ka lalaki te) pengen di sukai sama laki-laki ga..???, jika ingin disukai laki-laki kamu harus

Adapun beberapa kendala yang dihadapi saat melakukan shooting ini adalah penguasaan alat-alat baru seperti Zoom dan Clip On. Sesaat sebelum proses shooting dilakukan,

Komplek batuan ofiolit di daerah Sodongparat dapat dibedakan atas peridotit, gabro dan basal yang ber- umur Pra-Tersier, yang ditutupi oleh batuan sedimen

Upaya penyeder- hanaan jumlah partai politik merupakan suatu keniscayaan dalam rangka mendukung sistem pemerintahan presidensial yang efektif, adapun upaya yang dapat

Fokus yang digunakan untuk menganalisis yaitu menggunakan teori Halverson yang terdiri dari 4 indikator yaitu Technology Procurement (Pengadaan Teknologi),

Sementara itu, di Indonesia sendiri perubahan karya sastra ke dalam bentuk film juga telah lama dilakukan banyak produser yang mengadaptasi novel menjadi sebuah

Dari beberapaa hasil analisis data di atas dapat dikatakan bahwa hasil belajar biologi peserta didik pada materi sistem ekskresi setelah diajar dengan menggunakan

Dilihat dari mechanical property serat pelepah pisang semakin banyak jumlah helai serat pada komposit maka nilai kekuatn tarik semaikn tinggi hal ini menyebabkan