• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. seksual, hubungan seksual dan perilaku seksual pra nikah (Martopo, 2000):

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. seksual, hubungan seksual dan perilaku seksual pra nikah (Martopo, 2000):"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Seksual

2.1.1 Definisi Perilaku Seksual

Berikut ini adalah pengertian tentang batasan perilaku seksual, aktivitas seksual, hubungan seksual dan perilaku seksual pra nikah (Martopo, 2000):

1. Perilaku seksual adalah perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis. Perilaku seksual juga merupakan perilaku yang melibatkan sentuhan secara fisik anggota badan antara pria dan wanita yang telah mencapai pada tahap hubungan intim, biasanya dilakukan oleh pasangan suami isteri.

2. Aktivitas seksual adalah kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ kelamin melalui berbagai perilaku.

3. Hubungan seksual merupakan kontak seksual yang dilakukan berpasangan dengan lawan jenis atau sesama jenis.

4. Perilaku seks pra nikah adalah perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum ataupun agama dan kepercayan masing-masing individu.

5. Menurut Soetjiningsih (2004), perilaku seks pranikah pada remaja adalah segala tingkah laku remaja yang didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis maupun

(2)

sesama jenis yang dilakukan sebelum adanya hubungan resmi sebagai suami istri. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau diri sendiri. 6. Perilaku seksual menurut Sarwono (2007) merupakan segala bentuk perilaku

yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk perilaku seksual, mulai dari bergandengan tangan (memegang lengan pasangan), berpelukan (seperti merengkuh bahu, merengkuh pinggang), bercumbu (seperti cium pipi, cium kening, cium bibir), meraba bagian tubuh yang sensitif, menggesek-gesekkan alat kelamin sampai dengan memasukkan alat kelamin. Demikian halnya dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akan muncul ketika remaja mampu mengkondisikan situasi untuk merealisasikan dorongan emosional dan pemikirannya tentang perilaku seksualnya atau sikap terhadap perilaku seksualnya.

L”Engle et.al. (2005) dalam Tjiptanigrum, (2009) mengatakan bahwa perilaku seksual ringan mencakup : 1) menaksir; 2) pergi berkencan, 3) mengkhayal, 4) berpegangan tangan, 5) berciuman ringan (kening, pipi), 6) saling memeluk,sedangkan yang termasuk kategori berat adalah : 1) Berciuman bibir/mulut dan lidah, 2) meraba dan mencium bagian bagian sensitive seperti payudara, alat kelamin, 3) menempelkan alat kelamin, 4) oral seks, 5) berhubungan seksual (senggama).

Faktor yang juga diasumsikan sangat mendukung remaja untuk melakukan hubungan seksual adalah teman sebaya yang dilihat dari konformitas remaja pada kelompoknya di mana konformitas tersebut memaksa seorang remaja harus

(3)

melakukan hubungan seksual. Santrock (2003) mengatakan bahwa konformitas kelompok bisa berarti kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari orang lain dalam kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh kelompoknya tersebut. Apabila lingkungan peer remaja tersebut mendukung untuk dilakukan perilaku seksual, serta konformitas remaja yang juga tinggi pada peer-nya, maka remaja tersebut sangat berpeluang untuk melakukan hubungan seksual pranikah.

2.1.2 Bentuk-Bentuk Tingkah Laku Seksual

Menurut Sarwono (2007) bentuk tingkah laku seks bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik, pacaran, kissing, kemudian sampai intercourse meliputi:

a. Kissing

Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti di bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan lidah itulah yang disebut french kiss. Kadang ciuman ini juga dinamakan ciuman mendalam/ soul kiss.

b. Necking

Berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan ciuman disekitar leher dan pelukan yang lebih mendalam.

(4)

c. Petting

Perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ kelamin. Merupakan langkah yang lebih mendalam dari necking.Ini termasuk merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.

d. Intercrouse

Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual

Hubungan seksual yang dilakukan pada remaja, terutama remaja putri akan dapat menyebabkan kehamilan pada usia belasan tahun akan mengkibatkan resiko resiko tertentu baik bagi ibu atau janin yang dikandungnya. Selain itu, pada kehamilan remaja yang tidak dikehendaki dapat disertai oleh akibat medis dan psikologis. Misalnya terjadinya abortus, tidak bisa menyelesaikan pendidikan sekolah, penyiksaan anak atau ketidak pedulian dan bunuh diri. Remaja putri yang berusia 15-19 tahun mempunyai kemungkinan 2 kali lebih besar meninggal dunia saat mereka hamil atau melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20 tahun keatas. Sementara itu remaja yang berusia dibawah 14 tahun, mempunyai kemungkinan meninggal 5 kali lebih besar. Kehamilan pada remaja yang berusia kurang dari 14 tahun memiliki risiko komplikasi medis lebih besar dari pada perempuan dengan usia yang lebih dewasa. Hal ini dikarenakan bahwa panggul pada

(5)

perempuan belum berkembang dengan sempurna. Pada remaja putri, dua tahun setelah menstruasi yang pertama seorang perempuan masih mungkin mencapai pertumbuhan panggul antara 2-9% dan tinggi badan 1% , sehingga perempuan yang melahirkan kurang dari 14 tahun banyak mengalami disproporsi kepala bayi dan panggul ibu atau disproporsi sefalopelvik.

2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Seksual Remaja

Santrock (2007) yang mengutip Bandura menyatakan bahwa faktor pribadi /kognitif, faktor perilaku dan faktor lingkungan dapat berintraksi secara timbal- balik. Dengan demikian dalam pandangan Bandura, lingkungan dapat memengaruhi perilaku seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungan. Menurut Suryoputro dkk (2007), faktor yang berpengaruh pada perilaku seksual antara lain adalah faktor personal termasuk variabel seperti pengetahuan, sikap seksual dan gender, kerentanan terhadap risiko kesehatan reproduksi, gaya hidup, harga diri, lokus kontrol, kegiatan sosial, self efficacy dan variabel demografi (seperti: umur pubertas, jenis kelamin, status religiusitas, suku dan perkawinan). Faktor lingkungan termasuk variabel seperti akses dan kontak dengan sumber, dukungan dan informasi, sosial budaya, nilai dan norma sebagai dukungan sosial. Modifikasi dari Santrock (2007) yang mengutip Bandura (1998) dan menurut Suryoputro dkk (2007) faktor yang berpengaruh pada perilaku seksual antara lain :

(6)

2.2.1 Umur Pubertas

Pubertas adalah masa ketika seseorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual. Masa pubertas dalam dimulai saat berumur 8 hingga 10 tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. Pada masa ini memang pertumbuhan dan perkembangan berlangsung dengan cepat. Berdasarkan hasil penelitian Nursal (2008) menyatakan remaja yang mengalami usia puber dini mempunyai peluang berperilaku seksual berisiko berat 4,65 kali dibanding responden dengan usia pubertas normal.

Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas). Peningkatan ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu (Sarwono, 2007).

2.2.2 Pengetahuan tentang Perilaku Seksual

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang terhadap kesehatan reproduksi meliputi: sistem reproduksi, fungsi, prosesnya dan cara-cara pencegahan/penanggulangan terhadap kehamilan, aborsi, penyakit-penyakit kelamin (Notoatmodjo, 2007). beberapa anggapan yang salah tentang hubungan seksual diantaranya adalah kehamilan tidak mungkin terjadi bila hubungan seksual hanya dilakukan satu kali; hanya dilakukan di usia muda; sebelum dan sesudah menstruasi; antara masa menstruasi; dilakukan dengan teknis coitus interuptus; atau sesudahnya segera

(7)

minum soft drinks tertentu. Oleh karena itu mereka merasa tidak merasa perlu memakai kontrasepsi.

2.2.3 Sikap

Sikap adalah bentuk respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan seperti: senang/tidak senang, setuju/tidak setuju, baik/tidak baik (Notoatmodjo, 2007).

Sikap seksual adalah respon seksual yang diberikan seseorang setelah melihat, mendengar atau membaca informasi serta pemberitaan, gambar-gambar yang berbau porno dalam wujud orientasi atau kecenderungan dalam bertindak. Sikap yang dimaksud adalah sikap remaja terhadap perilaku seksual (Bungin, 2001). Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan hipotesis-hipotesis kemudian dinyatakan pendapat responden melalui kuesioner (Notoatmodjo, 2003).

Sikap dapat bersifat positif dan pula sifat negatif (Azwar, 2009) :

1. Sikap positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi mengharapkan objek tertentu

2. Sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai objek tertentu.

Remaja yang mendapat informasi yang benar cenderung mempunyai sifat negatif sebaliknya remaja yang kurang pengetahuannyan tentang seksual cenderung mempunyai sikap positif /sikap menerima adanya perilaku seksual sebagai kenyataan sosiologis (Bungin, 2001).

(8)

Dari hasil penelitian di Palembang tentang sikap remaja terhadap perilaku seksual berisiko berat, menunjukkan bahwa 42,5% yang bersifat permisip, yaitu sikap yang memperbolehkan apa yang dulunya tidak diperbolehkan dengan alasan tabu (Solha, 2007).

2.2.4 Harga Diri

Harga diri adalah variabel psikologis yang memegang peranan penting dalam perkembangan sikap dan perilaku remaja. Menurut Santrock (2003), remaja masih dalam situasi peralihan dan krisis dalam menemukan identitas dirinya sehingga perasaan berharga dan bernilai sangatlah dibutuhkan oleh remaja. Sedangkan menurut Hurlock (2011), harga diri adalah kemampuan individu untuk mempertahankan pandangan yang positif terhadap diri sendiri dalam menghadapi kemunduran, penolakan maupun kegagalan. Sifat harga diri adalah labil dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Terdapat tiga kelompok harga diri, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Individu dengan harga diri yang tinggi menunjukkan sikap atau sifat yang lebih aktif, mandiri, kreatif, yakin akan gagasan dan pendapatnya, memiliki kepribadian yang stabil, rasa percaya diri yang tinggi, lebih efektif dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang memiliki harga diri sedang memiliki harapan dan keberartian yang positif, meski lebih moderat, inividu memandang dirinya lebih baik dari kebanyakan orang. Namun di sisi lain, ia tidak menilai dirinya sebaik penilaian orang lain yang memiliki harga diri yang lebih tinggi. Sebaliknya, remaja dengan harga diri yang rendah rasa percaya diri yang rendah dan kurang berani untuk menyatakan diri masuk ke dalam suatu kelompok, ditambah lagi ia memiliki sikap pasif, pesimis, rendah diri

(9)

(inferior), pemalu dan kurang berani dalam melakukan interaksi sosial. Remaja dengan harga diri yang tinggi (positif) akan menjalani tahapan perkembangannya dengan lebih baik.

Harga diri cenderung menurun di masa remaja , terutama pada remaja perempuan berumur 12 – 17 tahun. Pada umumnya laki laki menunjukkan harga diri yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Menurunnya harga diri remaja perempuan adalah karena mereka memiliki citra tubuh yang lebih negative selama mengalami perubahan pubertas, dibandingkan remaja laki laki (Santrock, 2007)

Menurut Khera (2003) karakteristik harga diri terbagi atas dua yaitu harga diri tinggi dan harga diri rendah. Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut :

a. Harga diri tinggi yaitu berani karena pendirian, percaya diri, menerima tanggung jawab, asertif, optimis, menghormati orang lain, disiplin, menyukai kesopanan, mau belajar, dan rendah hati.

b. Harga diri rendah yaitu sikap kritis, ragu-ragu, agresif, mudah tersinggung. 2.2.5 Media Informasi

Adanya penyebaran media informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yaitu dengan adanya teknologi yang canggih seperti, internet, majalah, televisi, video. Remaja cenderung ingin tahu dan ingin mencoba-coba serta ingin meniru apa yang dilihat dan didengarnya, khususnya karena remaja pada umumnya belum mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya. Media cetak dan media elektronik merupakan media yang paling banyak dipakai sebagai penyebarluasan pornografi. Perkembangan hormonal pada remaja dipacu oleh

(10)

paparan media massa yang mengundang ingin tahu dan memancing keinginan untuk bereksperimen dalam aktivitas seksual. Yang menentukan pengaruh tersebut bukan frekuensinya tapi isu media massa itu sendiri (Muhammad, 2006). Remaja melakukan imitasi apa yang dilihat melalui media dan televisi. Melalui observational learning, remaja melihat bahwa dari film barat yang mereka tonton perilaku seks itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Semakin banyak pengalaman mendengar, melihat, mengalami hubungan seksual makin kuat stimulasi yang yang dapat mendorong munculnya perilaku seks (Muhammad, 2006). Pada saat ini, media massa baik media cetak maupun media elektronik banyak menampilkan seksualitas sacara vulgar yang dapat merangsang birahi terutama remaja (Juliastuti, 2009).

Meningkatnya perilaku seksual membuat remaja selalu berusaha lebih banyak informasi mengenai seks. Hanya sedikit remaja yang memperoleh informasi tentang seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu,mereka selalu mendorong untuk mencari informasi seks melalui media cetak seperti majalah, koran.

Media elektronik dapat menjadi wadah untuk menarik perhatian dan meningkatkan kesadaran berbagai pihak terhadap berbagai perkembangan situasi yang terjadi dewasa ini. Kecenderungan pelanggaran terhadap perilaku seksual remaja makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan teknologi canggih (video cassette, DVD, telepon genggam, internet, dan lain lain) menjadi tak terbendung lagi, akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahuai masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya (Sarwono, 2011).

(11)

2.2.6 Peran Orang Tua

Ketidaktahuan orang tua maupun sikap yang masih menabukan pembicaraan seks dengan anak bahkan cenderung membuat jarak dengan anak. Akibatnya pengetahuan remaja tentang seksualitas sangat kurang. Padahal peran orang tua sangatlah penting, terutama pemberian pengetahuan tentang seksualitas. Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni keluarga, maka resiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (sakinah). Perilaku seksual merupakan salah satu bentuk pelampiasan kekesalan dan ketidak puasan remaja terhadap orangtua dan orang dewasa yang dianggap terlalu banyak mengatur atau mengekang.

Kriteria keluarga yang tidak sehat tersebut menurut para ahli dalam Retnowati (2010), antara lain:

1. Keluarga tidak utuh (broken home by death, separation, divorce)

2. Kesibukan orangtua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan orang tua dan anak di rumah

3. Hubungan interpersonal antar anggota keluarga (ayah-ibu-anak) yang tidak baik (buruk)

4. Substitusi ungkapan kasih sayang orangtua kepada anak, dalam bentuk materi daripada kejiwaan (psikologis).

(12)

Kedekatan geografis orang tua dan anak ternyata tidak menjamin selalu terkontrolnya perilaku seks anak remaja mereka (Hartono, 1998). Mereka justru tidak ingin mengambil risiko bertemu dengan kenalan orang tuanya baik di hotel atau tempat umum lainnya. Bagi mereka risiko terlihat di tempat umum lebih besar dari pada di rumah orang tua mereka karena mereka tahu pasti jam orangtua mereka atau saat orang tua akan berada di luar rumah (Khisbiyah, 1997). Dengan demikian, bila hubungan seks dilakukan di rumah, mereka akan memilih saat kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah atau sedang bekerja.

2.2.7 Teman Sebaya

Teman sebaya (peers) adalah anak remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan mereka. Remaja mulai belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik dan setara dengan melalui interaksi dengan teman sebaya. Mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang berlangsung. Sullivan beranggapan bahwa teman memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja. Mengenai kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih sayang (ikatan yang aman), teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban, dan hubungan seksual (Santrock, 2003).

(13)

Menurut Susanto (2006) minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang dialami remaja. Yang dimaksud disini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group. Demi geng ini remaja seringkali dengan rela hati mau melakukan dan mengorbankan apapun hanya karena sebuah kata-kata ”sakti”, yaitu solidaritas. Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar bahkan melakukan hubungan seks.

Dalam kelompok sebaya, individu merasakan adanya kesamaan satu dengan yang lain, seperti dibidang usia, kebutuhan, dan tujuan yang dapat memperkuat kelompok itu. Dalam kelompok sebaya tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, namun di antara anggota kelompok merasakan adanya tanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya. Dalam kelompok sebaya, individu merasa menemukan dirinya ( pribadi) serta dapat mengembangkan rasa social sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Dalam teman sebaya pengaruh pola hubungan, koformitas, kepemimpinan kelompok, adaptasi sangat besar terhadap remaja ( Santoso, 2009)

(14)

1) Teman Dekat

Remaja biasanya mempunyai dua atau tiga orang teman dekat, atau sahabat karib. Mereka adalah sesama seks yang mempunyai minat dan kemampuan yang sama. Teman dekat saling memengaruhi satu sama lain, meskipun kadang-kadang juga bertengkar.

2) Kelompok Kecil

Kelompok ini biasanya terdiri dari kelompok teman-teman dekat. Pada mulanya terdiri dari seks yang sama, tetapi kemudian meliputi kedua jenis seks.

3) Kelompok Besar

Kelompok besar yang terdiri dari beberapa kelompok kecil dan kelompok teman dekat, berkembang dengan meningkatkan minat akan pesta dan berkencan. Karena kelompok ini besar maka penyesuaian minat berkurang diantara anggota-anggotanya sehingga terdapat jarak sosial yang lebih besar antara diantara mereka.

4) Kelompok yang Terorganisasi

Kelompok pemuda yang dibina oleh orang dewasa dibentuk oleh sekolah dan organisasi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial para remaja yang tidak mempunyai klik atau kelompok besar diantara mereka. Banyak remaja yang mengikuti kelompok seperti itu merasa diatur dan berkurang minatnya ketika berusia enam belas atau tujuh belas tahun.

(15)

5) Kelompok Geng

Remaja yang tidak termasuk klik atau kelompok besar dan yang merasa tidak puas dengan kelompok yang terorganisasi mungkin mengikuti kelompok geng. Anggota geng yang biasanya terdiri dari anak-anak sejenis dan minat utama mereka adalah untuk menghadapi penolakan teman-teman melalui perilaku antisosial.

2.2.8 Peluang/ Waktu luang

Dengan adanya waktu luang yang tidak bermanfaat maka lebih mudah menimbulkan adanya pergaulan bebas, dalam arti remaja mementingkan hidup bersenang-senang, bermalas-malas, berkumpul-kumpul sampai larut malam yang akan membawa remaja pada pergaulan bebas. ( Gunarsa,1995)

2.2.9 Budaya

Menurut Koenjaraningrat (1997), budaya adalah pedoman yang bernilai dan memberikan arah atau norma yang terdiri dari aturan aturan untuk bertindak yang apabila dilanggar menjadi tertawaan, ejekan dan celaan sesaat oleh masyarakat di sekitarnya.

Budaya suatu kaidah yang timbul dari masyarakat sesuai dengan kebutuhan pada suatu saat lazimnya, budaya disuatu tempat berbeda dengan budaya ditempat

lain, demikian pula budaya disuatu tempat berbeda menurut kurun waktunya (Soekanto, 2008).

Sarwono (2012) mengatakan, walaupun pada zaman sekarang ini marak terjadi perilaku seks bebas tetapi sebenarnya dalam masyarakat Indonesia masih

(16)

menjungjung tinggi nilai tradisional. Nilai tradisional dalam perilaku seksual yang paling utama adalah tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan mempertahankan kegadisan seseorang sebelum menikah

Orang tua belum memiliki kesiapan dengan perubahan dan kemampuan anak dalam beradaptasi dengan nilai-nilai yang baru. Mereka masih khawatir anak-anak akan mendapatkan pengaruh negatif dari nilai-nilai baru tersebut. Hal ini yang membuat anak mengalami kebingungan dalam memahami nilai-nilai kontradiktif yang diterapkan orang tua kepada mereka. Tidak mengherankan jika pada usianya mereka masih memperlihatkan kehidupan emosional yang kurang matang dan relasi sosial yang kurang berkembang. Mereka juga kesulitan untuk menjadi individu yang lebih berbudaya, yang mewarnai kehidupan perilaku mereka sehari-hari.

Budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir masyarakat tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka, kepercayaan, dan ideologi yang mereka anut. Tentu saja pada kenyataannya budaya antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda, terlepas dari perbedaan karakter masing-masing kelompok masyarakat ataupun kebiasaan mereka.

Peran budaya yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan titik acuan dalam membentuk kepribadian seseorang atau kelompok masyarakat. Karena melalui kebudayaan manusia dapat bertukar pikiran. Apalagi di jaman sekarang yang dimana

(17)

teknologi informasi sangat menjadi acuan atau pengaruh dalam pertukaran kebudayaan dalam masyarakat berbangsa maupun bernegara. Masyarakat sering sekali menerima langsung kebudayaan-kebudayaan negatif yang seharusnya dan memang bertentangan dengan norma-norma, karena kebudayaan negatif inilah yang tidak dapat mengubah kepribadian seseorang/masyarakat sehingga remaja menelan begitu saja apa yang dilihatnya dari budaya barat.

2.2.10 Gender

Menurut Raharjo (1997), permasalahan hubungan gender yang asimetris masih tetap mengganjal dan dianggap sebagai sebab utama dari permasalahan-permasalahan perempuan saat ini, termasuk yang berkaitan dengan hak dan kesehatan reproduksi. Ketidakberdayaan perempuan adalah sebagai akibat dari konstruksi sosial yang selama ini menempatkan perempuan pada kedudukan yang subordinat. Di bidang reproduksi, ketidakberdayaan perempuan itu terlihat dari hubungan yang tidak berimbang antara laki-laki dan perempuan dalam hal seksual dan reproduksi seperti tercermin dalam kasus pemaksaan hubungan kelamin yang dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan yang apabila terjadi pada remaja dapat menyebabkan remaja tersebut hamil di usia muda.

Menurut Sarwono (2007) faktor yang menyebabkan perilaku seksual pada remaja adalah :

1. Pengetahuan

Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi pada remaja yang sudah mulai berkembang kematangan seksualnya secara lengkap kurang mendapat

(18)

pengarahan dari orang tua mengenai kesehatan reproduksi khususnya tentang akibat-akibat perilaku seksual maka mereka sulit mengendalikan rangsangan-rangsangan dan banyak kesempatan seksual pornografi melalui media massa yang membuat mereka melakukan perilaku seksual secara bebas tanpa mengetahui risiko-risiko yang dapat terjadi seperti kehamilan yang tidak diinginkan.

2. Meningkatnya Libido Seksual

Di dalam upaya mengisi peran sosial, seorang remaja mendapatkan motivasinya dari meningkatnya energi seksual atau libido, energi seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik.

3. Media Informasi

Adanya penyebaran media informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yaitu dengan adanya teknologi yang canggih seperti, internet, majalah, televisi, video. Remaja cenderung ingin tahu dan ingin mencoba-coba serta ingin meniru apa yang dilihat dan didengarnya, khususnya karena remaja pada umumnya belum mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya. 4. Norma Agama

Sementara itu perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap berlaku dimana orang tidak boleh melaksanakan hubungan seksual sebelum menikah. Pada masyarakat modern bahkan larangan tersebut berkembang lebih lanjut pada tingkat yang lain seperti berciuman dan masturbasi untuk remaja yang tidak

(19)

dapat menahan diri akan mempunyai kecenderungan melanggar larangan tersebut.

5. Orang Tua

Ketidaktahuan orang tua maupun sikap yang masih menabukan pembicaraan seks dengan anak bahkan cenderung membuat jarak dengan anak. Akibatnya pengetahuan remaja tentang seksualitas sangat kurang. Padahal peran orang tua sangatlah penting, terutama pemberian pengetahuan tentang seksualitas.

6. Pergaulan Semakin Bebas

Gejala ini banyak terjadi di kota-kota besar, banyak kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja, semakin tinggi tingkat pemantauan orang tua terhadap anak remajanya, semakin rendah kemungkinan perilaku menyimpang menimpa remaja

Menurut Bachtiar (2004) faktor yang menyebabkan perilaku seksual pada remaja :

1. Pendidikan

Pendidikan yang rendah cenderung melakukan seks dibanding dengan yang berpendidikan tinggi dan berprestasi.

2. Sosial Ekonomi

Dengan perekonomian keluarga yang rendah cenderung remaja melakukan seks agar pasangannya dapat memenuhi segala sesuatu yang ia butuhkan.

3. Pengaruh Teman

(20)

Menurut Sarwono (2012), masalah seksualitas pada remaja timbul karena faktor-faktor berikut, yaitu :

1) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas). Peningkatan ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.

2) Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain)

3) Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku di mana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecendrungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.

4) Kecendrungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa dengan adanya teknologi canggih (VCD, internet, handpone seluler, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya bila mereka belum mengetahui secara lengkap dari orang tua.

5) Di pihak lain, adanya kecenderungan pergaulan makin bebas antara pria dan wanita akibat dari peran dan pendidikan wanita yang makin sejajar dengan pria. Sehingga kurang adanya pemantauan bagi anak remaja.

(21)

Hidayah (2010) yang mengutip pendapat Pratiwi (2004), bahwa faktor – faktor yang memengaruhi prilaku seksual pada remaja yaitu faktor biologis, pengaruh teman sebaya, pengaruh orang tua, akademik, pemahaman, pengalaman seksual, pengalaman dan penghayatan nilai-nilai keagamaan, kepribadian dan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi.

2.3 Remaja

2.3.1 Definisi Remaja

Menurut Hall (Santrock, 2003), usia remaja berada pada rentan 12-23 tahun. Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja

2.3.2 Ciri-ciri Remaja

Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya, Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2011), antara lain :

(22)

a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan memengaruhi perkembangan selanjutnya.

b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan

d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian

karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut.

f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.

g. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan

(23)

didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

2.3.3 Tahapan Perkembangan Remaja

Menurut Hurlock (2011) tahap perkembangannya, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu:

Tabel 2.1. Tahapan Perkembangan Remaja Masa Remaja Awal

(12-15 Tahun)

Masa Remaja Tengah (15-18 Tahun)

Masa Remaja Akhir (18-21 Tahun) Lebih dekat dengan

teman sebaya

Mencari identitas diri Pengungkapan identitas diri

Ingin bebas Timbulnya keinginan untuk kencan

Lebih selektif dalam mencari teman sebaya Lebih banyak

memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak

Mempunyai rasa cinta yang mendalam

Mempunyai citra jasmani dirinya

Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak

Dapat mewujudkan rasa cinta

Berkhayal tentang aktifitas seks.

Mampu berpikir abstrak. Sumber : Hurlock, 2011

2.3.4 Perkembangan Sosial Remaja

Menurut Hurlock (2011) ada tiga proses dalam perkembangan sosial adalah sebagai berikut:

a. Berperilaku dapat diterima secara sosial

Setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang prilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bersosialisasi, seseorang tidak hanya

(24)

harus mengetahui prilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan prilakunya sehingga ia bisa diterima sebagian dari masyarakat atau lingkungan sosial tersebut.

b. Memainkan peran di lingkungan sosialnya

Setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan setiap anggota dituntut untuk dapat memenuhi tuntutan yang diberikan kelompoknya.

c. Memiliki sikap yang positif terhadap kelompok sosialnya

Untuk dapat bersosialisasi dengan baik, seseorang harus menyukai orang yang menjadi kelompok dan aktifitas sosialnya. Jika seseorang disenangi berarti, ia berhasil dalam penyesuaian sosial dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri.

2.4 Landasan Teori

Perilaku adalah adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme baik yang dapat diamati baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).

L”Engle et.al. (2005 dalam Tjiptanigrum, 2009) mengatakan bahwa perilaku

seksual ringan mencakup : 1) menaksir; 2) pergi berkencan, 3) mengkhayal, 4) berpegangan tangan, 5) berciuman ringan (kening,pipi), 6) saling memeluk

sedangkan yang termasuk kategori berat adalah : 1) Berciuman bibir/mulut dan lidah, 2) meraba dan mencium bagian bagian sensitive seperti payudara, alat kelamin, 3) menempelkan alat kelamin, 4) oral seks, 5) berhubungan seksual (senggama).

(25)

Santrock (2007) yang mengutip Bandura (1998) menyatakan bahwa, faktor perilaku dan faktor lingkungan dapat berinteraksi secara timbal-balik. Dengan demikian dalam pandangan Bandura, lingkungan dapat memengaruhi perilaku seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungan.

Berdasarkan teori tersebut, maka landasan teori dapat digambarkan dalam gambar di bawah ini :

Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).

Gambar 2.1 Landasan Teori Menurut Bandura (1998)

Orang Lingkungan

(26)

2.5 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep penelitian ini secara skematis dapat digambarkan pada bagan berikut ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Faktor yang Memengaruhi :

1. Umur Pubertas

2. Pengetahuan Perilaku Seksual 3. Sikap

4. Harga Diri

5. Peran Media Informasi 6. Peran Orang Tua 7. Peran Teman Sebaya 8. Waktu luang

9. Budaya 10. Gender

Perilaku Seksual pada Remaja

Gambar

Gambar 2.1 Landasan Teori Menurut Bandura  (1998)

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pembukaan adalah salah satu upaya yang dilakukan guru untuk mengkondisikan atau menciptakan suasana siap belajar baik secara fisik, mental, emosional,

drop atau tidak digunakan. Soal yang valid adalah sebanyak 22 soal dan drop 8 soal dari. total 30 butir soal dengan tingkat

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara pengetahuan dengan tindakan wanita usia reproduktif untuk melakukan pemeriksaan IVA, terdapat hubungan

Meskipun demikian, Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam mengambil keputusan atau kebijakan publik umumnya adalah hasil tawar

Peningkatan tersebut diperoleh karena pada tindakan siklus II seluruh siswa dapat mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran menulis pantun dengan teknik Think Pair Share melalui kartu

Setiap transisi yang ada harus mempunyai guard (kunci).Tidak ada keterangan (pernyataan) pada tengah belah ketupat seperti pada flowchart. Tanda otherwise guard untuk menangkap

Metode Pengujian yang digunakan pada Perancangan Inventaris Laboratorium Jurusan Administrasi Bisnis Politeknik Negeri Banjarmasin adalah dengan menggunakan metode

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar mahasiswa di Prodi Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas PGRI Semarang sudah memenuhi kriteria