• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELEVANSI MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM ERA GLOBALISASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RELEVANSI MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM ERA GLOBALISASI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

RELEVANSI MATA KULIAH PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN DALAM ERA GLOBALISASI

Oleh:

Mahifal, SH., MH. ABSTRAK

Pendidikan kewarganegaraan didesain dengan tujuan untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara serta membentuk rasa kebangsaan, sikap dan perilaku cinta tanah air, berjiwa demokratis yang berkeadaban, menjadi warga Negara yang memiliki daya saing, berdisiplin dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.

Sebagai suatu masyarakat pluralistik, puncak-puncak budaya nusantara seharusnya dikembangkan untuk memantapkan dan memperkaya kebudayaan Indonesia. Dengan kata lain, muatan lokal dalam program pendidikan haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga melengkapi dan memperkuat muatan nasional dalam memilih dan memilah pengaruh global. Di sisi lain dan serentak dengan pelengkapan dan perkuatan muatan nasional, maka penyertaan aspek budaya dunia juga harus dimunculkan sehingga mencapai keselarasan dengan adanya kebutuhan akan perkembangan jaman.

Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan dalam konteks ini harus selalu dapat menjaga secara seimbang pembentukan kemampuan mempertanyakan di samping kemampuan menerima dan mempertahankan. Keserasian dan keselarasan antara pelestarian dan pembaharuan nilai dan sikap tersebut yang akan memberi peluang keberhasilan menjemput masa depan di era globalisasi. Semoga pernyataan John F. Kennedy terhadap warga AS yang begitu terkenal “Ask not what your country can do for

you, but ask what you can do for your country” menjadi inspirasi warga Negara Indonesia

untuk berbuat yang terbaik bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kata Kunci: pendidikan, kewarganegaraan, muatan lokal

ABSTRACT

Civil education has been designed as a mean to grow the knowledge and awareness to have state and also from to feel the nationality, attitude and behavior love to have the fatherland, to head civil democratic, becoming citizen who own competitiveness, discipline and active participation in developing peacefull pursuant to value system of Five Principles (Pancasila).

As a pluralistic society, the tops of achipelagic cultural should be developed to setle and enrich the Indonesia culture. Equally, local payload in education program should be conducted in such a manner so that equip and strengthen the national payload in chosening the global influence. On the other side and at a time with in the strength of national payload, so the cultural aspect of the world has to be peeped out in order to reach the compatibility with the existence of growth requirement of the era.

Therefore, civic education in this context has to be always able to take care of well balancedly the ability of forming question beside the ability to accept and to maintain. The compatibility among continuation of and renewal assess and the attitude is going to be able to give the efficacy opportunity to fetch the future in this globalization era. Hopefully, the statement of John F. Kennedy to his people in United State that so famaous “Ask not what

your country can do for you, but ask what you can do for your country” would become the

inspiration for Indonesian citizen to do the best for their Unity State Republic of Indonesia.

(2)

2

PENDAHULUAN

Salah seorang Presiden Amerika Serikat di masanya pernah mengatakan Ask not what

your country can do for you, but ask what you can do for your country (John F

Kennedy). Pernyataan ini sangat bermakna dalam dan memberikan pemahaman akan pentingnya penumbuhan jiwa patriotisme dari setiap warga Negara AS terhadap negaranya. Pernyataan tersebut menggugah hati setiap individu warga Negara AS untuk terus berkarya tanpa harus berpikir pamrih terlebih dahulu. Dan pernyataan tersebut menginspirasi setiap warga Negara AS akan pentingnya berbuat yang terbaik demi sebesar-besarnya kemajuan bangsa AS di mata dunia.

Semangat yang disampaikan dari pernyataan tersebut sebenarnya merupakan salah satu pernyataan pendidikan yang ingin disampaikan seorang kepala Negara kepada warga negaranya yang secara tidak langsung merupakan citizenship education atau civic

education atau bahkan dapat juga disebut sebagai democracy education. Dan ini

merupakan bentuk lain dari pendidikan kewarganegaraan atau pendewasaan terhadap pemahaman kebangsaan untuk menjadi bangsa yang besar, mandiri dan maju.

Pendidikan kewarganegaraan itu sendiri seperti diungkapkan oleh Kaelan dan Zubaidi (2007) memiliki peran yang strategis dalam mempersiapkan warga Negara yang cerdas, bertanggung jawab dan berkeadaban.1 Berdasarkan rumusan “Civic International” (1995), disepakati bahwa pendidikan demokrasi penting untuk pertumbuhan civic

culture, untuk keberhasilan pengembangan dan pemeliharaan pemerintahan demokrasi

(Mansoer, 2005).2

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, maka Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Bahasa Indonesia menjadi salah satu kurikulum wajib yang harus disampaikan kepada setiap mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi. Tujuan pendidikan kepribadian ini adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggungjawab.

Dan, pendidikan kewarganegaraan itu sendiri memang didesain dengan tujuan untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara serta membentuk rasa kebangsaan, sikap dan perilaku cinta tanah air, berjiwa demokratis yang berkeadaban, menjadi warga Negara yang memiliki daya saing, berdisiplin dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.

      

1

Kaelan dan Achmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Penerbit “PARADIGMA”, 2007) hal. 1.

2

(3)

Lebih lanjut Kaelan dan Zubaidi (2007) menyebutkan beberapa model pendidikan kewarganegaraan yang diterapkan oleh beberapa Negara sebagai berikut 3 :

(1) Amerika Serikat : History, Humanity and Philosophy (2) Jepang : Japanese History, Ethics and Philosophy

(3) Filipina : Philiphino, Family Planning, Taxation and Land Reform, the Philiphine

New Constitution and Study of Human Rights.

(4) Dan di beberapa Negara dikembangkan pula bisang studi yang sejenis dengna pendidikan kewarganegaraan, yaitu yang dikenal dengan Civics Education.

INDONESIA DAN GLOBALISASI

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi dan kekayaan alam yang berlimpah. Indonesia memiliki wilayah seluas 7,7 juta km2, dengan luas daratannya hanya 1/3 dari luas lautan, memiliki garis pantai terpanjang ke-2 di dunia (setelah Kanada) yaitu sepanjang + 95.181 km, serta memiliki + 17.480 pulau. Disamping itu secara geografis Indonesia terletak diantara dua benua, Asia dan Australia dan dua samudera, Hindia dan Pasifik yang merupakan kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia baik secara ekonomis maupun politis.4

Dinamika dan strategisnya wilayah Indonesia telah terbukti menghantarkan persinggungan peradaban dunia dan Indonesia. Berdasarkan catatan dan peninggalan sejarah, bangsa Indonesia memiliki hubungan erat dengan kehidupan dan tata pemerintahan maritim. Nenek moyang bangsa Indonesia bangsa Indonesia diduga berasal dari Kawasan Asia Tenggara Yunani-Indochina. Migrasi penduduk wilayah tersebut diperkirakan terjadi pada 5000 tahun SM dan pada 2000 tahun SM melalui laut. Peninggalan pada jaman pra sejarah mengindikasikan adanya penguasaan teknologi pembuatan perahu dan kemampuan mengarungi lautan nusantara dan singgah di kawasan sekitarnya.

Pada jaman Hindu-Budha mulai menyebar di kepulauan Nusantara, kerajaan-kerajaan Nusantara pun melakukan kegiatan maritim aktif, baik intra insular ataupun ekstra insular, hingga ke India dan Cina. Kekayaan komoditas perdagangan dari sumberdaya alam dan posisi geografis yang strategis kepulauan nusantara, menjadikan wilayah ini berkembang sebagai jalur perdagangan dan transportasi penting.

Kerajaan Sriwijaya mendapatkan masa kejayaannya dengan visi kemaritimannya untuk menguasai jaringan transportasi dagang, jaringan komoditas dan jaringan pelabuhan terutama di sekitar Selat Malaka. Selain itu kerajaan Sriwijaya dikenal dengan pemerintahan maritim kuat dan efektif yang disegani di kawasan tersebut.

Di Jawa, kerajaan Hindu Majapahit mencapai puncak kejayaannya menguasai wilayah nusantara dengan kekuatan maritim yang menjadi modal dasar untuk melakukan

      

3

Kaelan dan Achmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Penerbit “PARADIGMA”, 2007) hal. 3.

4

(4)

kolonisasi, ekspansi dan penetrasi budaya di zaman tersebut. Wilayah kekuasaannya merupakan sebaran kerajaan bawahan yang memiliki pelabuhan dan komoditas dagang vital terutama beras. Kapal-kapal dan pelaut-pelaut Jawa tercatat dalam kronik-kronik di mancanegara seperti di Sukodaya - Thailand dan Pegu - Myanmar sebagai manifestasi kejayaan negara maritim Majapahit.

Sementara itu, kerajaan dan kesultanan Islam pesisir utara Jawa, Demak - Bintara, Tuban, Lasem dan Jepara melanjutkan tradisi maritim Majapahit sekaligus menyebarkan agama Islam dan menantang keberadaan kekuatan maritim Portugis yang mulai dirasakan menguasai perdagangan komoditas rempah-rempah. Pada masa yang sama, Banten pun berkembang menjadi kekuatan maritim yang mengendalikan wilayah barat Nusantara dan mengendalikan perdagangan lada. Peran kekuatan maritim Demak digantikan oleh Mataram yang sampai abad ke - XVII masih dapat diperhitungkan sebagai negara maritim.

Di kepulauan Nusantara bagian Timur, Kesultanan Makasar dan konfederasi kerajaan etnis Bugis (Bone, Sawito, Luwu, Tanete dan lain-lain) yang berwawasan Maritim menjadi dua kekuatan yang mengendalikan wilayah perdagangan dan wilayah komoditas. Sifat diaspora (penyebaran) kedua kelompok etnis ini membuat mereka hadir dimana-mana dan dapat mempertahankan budaya Maritimnya hingga sekarang, meskipun kedua kerajaan tersebut pun tidak sanggup menghadapi kekuatan maritim imperialis Barat (VOC maupun Belanda).

Kesultanan Ternate dan Tidore, yang menguasai sumber komoditas sangat penting seperti rempah-rempah, mengendalikan pula perdagangan dan jaringan transportasi serta komunikasi Wilayah Timur Nusantara. Tradisi insularitas kedua kesultanan ini sangat terlihat dan merupakan satu ciri pemahaman geostrategi ’perfect isolation’ di Kepulauan Nusantara.

Sejarah telah membuktikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan dunia pada era globalisasi. Perkembangan teknologi pelayaran telah mengantarkan masyarakat dunia ketika itu melakukan migrasi dan perdagangan secara lebih mudah kendati masih sangat terkendali dengan waktu tempuh. Namun demikian, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kendala jarak dan waktu sudah semakin terminimalisasi. Era globalisasi telah semakin membawa dunia kepada perubahan yang sangat ekstrim dan cepat, sehingga perlu diantisipasi dengan seksama dengan pondasi yang kuat agar nilai-nilai lokal ke-Indonesia-an tidak tergerus dan luntur.

Globalisasi yang dewasa ini dipicu oleh kemajuan pusat dalam bidang teknologi yang diistilahkan dengan “Triple-T Revolution”, yaitu (i) kemajuan teknologi informasi (information technology revolution), (ii) kemajuan teknologi transportasi (transportation technology revolution), dan (iii) kemajuan metode perdagangan (trade

revolution).

Kekuatan teknologi telah mengubah masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, kearah keterbukaan. Masyarakat semakin terbuka dan dirasuki oleh nilai-nilai global yang menawarkan berbagai citra ideal yang ditopang oleh komunikasi yang sangat cepat

(5)

dan kemajuan teknologi yang telah menyatukan kehidupan umat manusia dewasa ini. Globalisasi dalam konteks ini memang telah menjadi sebuah tantangan besar yang harus diantisipasi. Dan, sebagai bagian dari masyarakat dunia, maka setiap warga Negara Indonesia dituntut untuk bisa beradaptasi dengan tanpa melunturkan nilai-nilai ke-Indonesia-an dalam konteks global tersebut.

Champy dalam Sumardi (2003) menyebutkan bahwa lingkungan yang mampu menghadapi tantangan masa depan adalah : (i) lingkungan yang merangsang pemikiran majemuk, dimana lingkungan ini tidak mungkin lagi hanya ditentukan oleh suatu tim yang sadar akan tujuan yang ingin dicapai dan peka terhadap keinginan konsumen saja, melainkan lebih dari itu yang mampu menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan konsumen dan ketersediaan suplainya, (ii) lingkungan yang membawa sumberdaya manusia yang mampu menguasai ilmu dan keterampilan tertentu dan bertanggung jawab serta mampu memenuhi selera pasar, (iii) lingkungan yang membawa sikap dan perilaku serta semangat untuk mementingkan dan menghormati prestasi daripada status diri dalam suatu organisasi, dan (iv) lingkungan yang menghormati seseorang yang dapat menuntaskan pekerjaannya dan bukan berdasarkan kedudukannya dalam sebuah organisasi.

Liberalisasi perdagangan dewasa ini memberikan peluang (opportunities), melalui penurunan hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses produk domestik ke pasar internasional, tetapi di sisi lain, liberalisasi perdagangan menjadi ancaman (threat), karena perdagangan bebas menuntut penghapusan subsidi dan proteksi sehingga meningkatkan akses produk asing di pasar dalam negeri. Konsekuensinya adalah ketatnya persaingan produk domestik pada masa datang. Oleh karenanya produk domestik akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti (1) produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk harus memiliki kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat disediakan secara masal. Selain itu, produk domestik harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14000), isu property right, isu ketenagakerjaan, isu hak asasi manusia (HAM), dan isu lainnya.

Contoh paling terkini adalah bagaimana produk-produk China membanjiri pasar domestik dan menghantui pedagang dan produsen lokal. Fenomena ini terjadi atas diberlakukannya era ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), yaitu sebuah perjanjian perdagangan bebas antara China dan Negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN. Dan, datangnya produk China ke Indonesia adalah sebuah konsekuensi nyata dari adanya perjanjian tersebut. Namun demikian, sisi baiknya adalah ASEAN mempunyai kesempatan lebih terbuka untuk memasuki pasar domestik China yang mencapai lebih dari 1 milyar penduduk atau sekitar 20 persen penduduk dunia.

Indonesia, dalam kurun waktu tiga bulan pertama 2010 ini mencatatkan nilai perdagangan yang meningkat hingga 105 persen, sedangkan ekspor perdagangan China ke Indonesia dalam waktu yang bersamaan meningkat sebesar 55 persen (Cen Deming, 2010).5 Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan ACFTA memberikan dampak yang

      

5

Chen Deming, Menteri Perdagangan China, Menanti Kiriman Durian dari Indonesia (Jakarta : Media Indonesia, Senin, 5 April 2010), hal.13.

(6)

cukup signifikan bagi perdagangan kedua Negara khususnya pada saat ini dan ASEAN-China pada umumnya di masa-masa mendatang.

KEKUATAN DAN KELEMAHAN INDONESIA DALAM

MENGHADAPI ERA GLOBALISASI

Globalisasi yang semakin cepat dan terbuka ini bagaimanapun tetap harus diwaspadai dan diantisipasi, karena globalisasi tidak dapat dihindari. Yang dapat dilakukan adalah menemukan strategi bagaimana agar bangsa ini mampu menemukan ritme dan alur yang mantap di dalam aliran globalisasi ini. Kewaspadaan dan antisipasi terhadap globalisasi ini sangat penting mengingat globalisasi itu sendiri membawa paradok tersendiri, seperti yang diungkapkan oleh John Naisbitt dalam Sumardi (2003) : (i) budaya global vs budaya lokal, (ii) universal vs individu, (iii) modern vs tradisional, (iv) jangka panjang (long term) vs jangka pendek (short term), dan (v) persaingan vs kesamaan kesempatan.

Kemajuan pesat teknologi dalam wujud Triple T-Revolution (telecommunication-,

transportation-, & trade-revolution) membuat hubungan antar negara menjadi sangat

intens seolah mengubur hubungan negara bangsa dan membangun citra global. Kemajuan dan globalisasi ini membawa muatan positif sekaligus negatif yang harus diantisipasi agar perubahan tersebut tidak menggilas dan melunturkan jati diri bangsa Indonesia, sebagai bagian dari peradaban dunia.

Oleh karena itu, strategi lokal yang kuat dalam menjawab segenap peluang dan tantangan yang ada seiring semakin berkembangnya globalisasi adalah bagaimana menggunakan kekuatan yang dimiliki dengan meminimalisasi kelemahan yang ada untuk memanfaatkan peluang dan mengantisipasi segenap tantangan yang muncul. Segenap kekuatan dan kelemahan yang dimaksud dalam hal ini adalah segenap aspek kehidupan bangsa (asta gatra) yang dimiliki oleh bangsa ini, yaitu diantaranya : (i) geografis, (ii) sumberdaya kekayaan alam, (iii) demografi, (iv) ideologi, (v) politik, (vi) ekonomi, (vii) sosial-budaya, dan (viii) pertahanan dan keamanan.

Secara geografis, Indonesia memiliki potensi wilayah darat, laut, udara dan iklim tropis yang cukup menjanjikan sebagai ruang hidup yang sangat baik dan strategis. Namun di sisi lain, optimalisasi pemanfaatan dan pengaturan ruangnya masih belum memadai, sehingga tumpang tindih pengaturan dan pemanfaatan ruangnya seringkali terjadi dan membawa konsekuensi terhadap in-harmonisasi.

Indonesia juga memiliki potensi sumber kekayaan alam (SKA) yang sangat besar, baik di daratan, lautan dan dirgantara, baik yang bersifat hayati maupun non hayati, serta yang dapat diperbaharui (renewable) maupun yang tidak dapat diperbaharuhi (non

renewable). Hal ini merupakan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang

dapat dijadikan modal dan kekuatan dalam pembangunan nasional. Namun demikian, pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber kekayaan alam-nya belum atau bahkan tidak dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Pola-pola pemanfaatan jangka pendek (short term utilization) yang cenderung destruktif dan berlebihan lebih banyak dipraktekkan dibandingkan dengan orientasi pemanfaatan jangka panjang (long-term

(7)

prinsip-prinsip keadilan sosial dalam pemanfaatan dan distribusi hasil pemanfaatan acapkali terabaikan. Di sisi lain, praktek pemanfaatan illegal (illegal utilization), pemanfaatan yang tidak tercatat (un-reported utilization) dan pemanfaatan yang tidak beraturan (un-regulated utilization) sangat bebas berlaku di negeri ribuan pulau ini.

Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 250 juta jiwa dan termasuk Negara dengan populasi terbesar ke-4 di dunia, setelah China, India dan Amerika merupakan asset bangsa yang sangat besar dan merupakan keunggulan SDM secara komparatif, selain juga menjadi salah satu pangsa pasar terbesar dunia. Namun demikian, keberadaan potensi SDM yang demikian besar ini memerlukan penanganan yang baik dalam konteks kesehatan, pendidikan dan penyediaan lapangan pekerjaan, sehingga dapat bersaing dengan SDM Negara lain.

Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat Indonesia berpegang teguh pada ideologi Pancasila. Pancasila telah diterima sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Namun demikian, implementasi jiwa dan semangat yang terkandung dalam Pancasila tidak sepenuhnya diamalkan, bahkan dewasa ini penyimpangan terhadap sila kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seolah-olah semakin menjauh dari bangsa ini. Dan ini merupakan kelemahan yang patut untuk diminimalisasi, sehingga cita-cita pendiri bangsa agar Pancasila menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia benar-benar dapat diimplementasikan secara utuh dan menyeluruh.

Sistem perpolitikan Negara yang mengedepankan musyawarah dan mufakat merupakan warisan pendiri bangsa dan merupakan kekuatan yang tidak terbantahkan untuk mencapai kemajuan bersama. Prinsip mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi maupun golongan selalu menjadi prinsip dasar kehidupan berpolitik bangsa. Sistem demokrasi Pancasila ini sedianya menjadi modal utama untuk menjadikan bangsa Indonesia sejajar dengan Negara lain dan menjadi teladan dalam kehidupan bernegara. Namun demikian, sistem ini mulai terkikis seiring maraknya sistem dan praktek politik yang mengedepankan kekuasaan sebagai tujuannya acapkali menjadi fenomena anak bangsa negeri ini. Hal ini tentu harus diantisipasi dan diminimalisasi agar prinsip mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi maupun golongan dapat diwujudkan.

Kekuatan ekonomi nasional yang ditopang oleh sektor primer dan sekunder dewasa ini secara tidak langsung merupakan kekuatan. Keberadaan sumber kekayaan alam yang demikian besar telah memberikan kekuatan ekonomi berbasis sumberdaya alam dan lingkungan. Namun demikian, kekuatan ekonomi seperti ini perlu diiringi dengan pengembangan sistem perekonomian berbasis nilai tambah (added value), sehingga dibutuhkan sistem perindustrian yang lebih baik. Selain itu, praktek perekonomian biaya tinggi (high cost economy) kerap berlaku di Indonesia, sehingga dapat menghambat pembangunan nasional.

Kekuatan bangsa Indonesia dalam konteks sosial-budaya adalah terletak pada kebhinekaannya. Bhineka Tunggal Ika sebagai motto Negara telah menjadi dasar pandangan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat bahwa Indonesia adalah sebuah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Artinya bahwa warna dan ragam suku

(8)

merupakan khasanah kehidupan, tetapi jiwa dan semangatnya tetap satu, yaitu berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia dan bertanah air satu tanah air Indonesia. Motto Negara Indonesia ini bahkan ditiru oleh negeri tetangga Malaysia dengan visi kenegaraannya sebagai Malaysia One (Satu Malaysia). Hal ini membuktikan bahwa kekuatan sosial-budaya yang melekat pada motto tersebut sungguh merupakan kekuatan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Namun demikian, ketika kebhinekaan tersebut tidak dapat dibina dengan baik, maka bukan tidak mungkin NKRI akan teramcam keberadaannya.

Dalam bidang pertahanan dan keamanan, Indonesia mengenal sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (SISHANKAMRATA) yang notabene menjadi strategi perjuangan yang mumpuni yang dilakukan para pejuang bangsa di seantero negeri persada yang dilakukan serempak dan tidak kenal menyerah untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Doktrin HANKAMRATA ini serta dengan diundangkannya UU No.20/1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara memberikan pondasi kuat sistem pertahanan dan keamanan Indonesia. Namun demikian, SISHANKAMRATA ini belum sepenuhnya diwujudkan, karena masih banyak terjadi riak-riak kecil yang jika tidak dapat diantisipasi dalam menjadi gelombang besar yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia, terutama dengan semakin maraknya kriminalitas dan ancaman terorisme di negeri tercinta ini.

Dengan semakin menggilanya fenomena globalisasi, terutama dengan telah semakin berkembang teknologi informasi, transportasi dan perdagangan, maka beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah :

(i) Memperkuat sistem pertahanan dan keamanan nasional yang dapat memberikan jaminan kemanan terhadap identitas dan integritas nasional serta eksistensi bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(ii) Pengaturan Tata Ruang Wilayah Nasional yang serasi dan harmonis demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional

(iii) Optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan berkelanjutan demi sebesar-besarnya pembangunan nasional yang adil dan merata serta kemakmuran rakyat Indonesia (iv) Peningkatan pelayanan kesehatan dan sistem pendidikan yang berbasis

kompetensi serta penciptaan lapangan pekerjaan yang menganut prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

(v) Memantapkan identitas nasional : Bhineka Tunggal Ika serta mengejewantahkannya dalam setiap kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat

(vi) Memantapkan kesadaran bela negara.

PERANAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM ERA

GLOBALISASI

Kealan dan Zubaidi (2007) menyebutkan bahwa syarat-syarat utama berdirinya suatu Negara merdeka adalah harus ada wilayah tertentu, ada rakyat yang tetap dan ada pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan kesatuan yang tidak dapat

(9)

dipisahkan. Tidak mungkin suatu Negara berdiri tanpa memiliki pemerintahan yang berdaulat secara nasional, dan bilamana itu terjadi, maka Negara itu belum dapat disebut sebagai sebuah Negara merdeka.

Lebih lanjut, Kealan dan Zubaidi (2007) mendefinisikan warga Negara sebagai rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan Negara. Dalam hubungan antara warga Negara dan Negara, warga Negara mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap Negara dan sebaliknya warga Negara juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh Negara.

Dalam konteks hak dan kewajiban warga Negara ini adalah adanya hak dan kewajiban bela Negara. Pembelaan Negara atau bela Negara adalah tekad, sikap dan tindakan warga Negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara (Kaelan dan Zubaidi, 2007:120). Dan, bela Negara bagi warga Negara Indonesia adalah usaha pembelaan Negara dilandasi oleh kecintaan terhadap tanah air (wilayah Nusantara) dan kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia dengan keyakinan pada Pancasila sebagai dasar Negara serta berpijak pada UUD 1945 sebagai konstitusi Negara. Wujud dari usaha bela Negara dalam konteks ii adalah kesiapan dan kerelaan setiap warga Negara untuk berkorban demi mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan Negara, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, keutuhan wilayah nusantara dan yurisdiksi nasiona serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. 6

Berdasarkan Pasal 27 ayat (3) dalam Perubahan Kedua UUD 1945 termaktub bahwa usaha bela Negara merupakan hak dan kewajiban setiap warga Negara. Hal ini menunjukkan adanya asas demokrasi dalam pembelaan Negara yang dicerminkan dalam dua pengertian usaha pembelaan Negara, yaitu (i) setiap warga Negara turut serta dalam menentukan kebijakan tentang pembelaan Negara melalui lembaga-lembaga perwakilan sesuai dengan UUD 1945 dan perundang-undangan yang berlaku, serta (ii) bahwa setiap warga Negara harus turut serta dalam setiap usaha pembelaan Negara sesuai dengan kemampuan dan profesinya masing-masing.

Usaha pembelaan Negara bertumpu pada kesadaran setiap warga Negara akan hak dan kewajibannya. Kesadarannya demikian perlu ditumbuhkan melalui proses motivasi untuk mencintai tanah air dan untuk ikut serta dalam pembelaan Negara. Proses motivasi untuk membela Negara dan Bangsa akan berhasil jika setiap Warga Negara memahami keunggulan dan kelebihan Negara dan bangsanya. Disamping itu setiap warga Negara hendaknya juga memahami kemungkinan segala macam ancaman terhadap eksistensi bangsa dan Negara Indonesia. Dalam hal ini terdapat beberapa dasar pemikiran yang dapat dijadikan sebagai bahan motivasi setiap warga Negara untuk ikut serta membela Negara Indonesia, diantaranya : (i) pengalaman sejarah perjuangan RI, (ii) kedudukan wilayah geografis nusantara yang strategis, (iii) keadaan penduduk (demografi) yang besar, (iv) kekayaan sumberdaya alam, (v) perkembangan dan kemajuan IPTEK di bidang persenjataan, dan (vi) kemungkinan timbulnya bencana perang.

      

6

Kaelan dan Achmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Penerbit “PARADIGMA”, 2007) hal. 120.

(10)

Globalisasi yang demikian cepat hadir dan bercengkerama dengan kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini tentu membawa angin perubahan terhadap kondisi kemasyarakatan di masa mendatang. Kecepatan arus informasi dalam mendistribusikan opini dan berita publik telah sedemikian cepatnya merubah pandangan dan wawasan seseorang. Keterbatasan jarak dan waktu dewasa ini telah dapat dipangkas secara cepat, sehingga mempermudah arus migrasi barang dan jasa maupun manusia telah sedemikian rupa menjamah ranah sosial antar warga Negara di dunia, sehingga proses akulturasi menjadi sebuah keniscayaan yang terjadi dewasa ini.

Proses perubahan yang demikian cepat akibat globalisasi tersebut membawa dampak yang tidak kecil bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat rakyat Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bilamana kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai luhur budaya dan peradaban bangsa Indonesia yang bakal tergantikan dengan nilai-nilai global menjadi isu utama yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Terlebih lagi, dewasa ini semakin berkurangnya pemahaman dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 telah sedemikian nampak berlaku di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Budaya gotong royong dewasa ini cenderung tergantikan dengan budaya konvensasi atau membayar orang untuk menggantikan pekerjaan yang seharusnya dapat dilakukan secara bersama-sama. Budaya musyawarah untuk mufakat cenderung semakin terpinggirkan oleh budaya voting untuk menentukan sebuah keputusan. Demikian juga budaya silaturahim yang mengutamakan tatap muka dan jabat tangan cenderung tergantikan dengan budaya obrolan melalui telepon genggam atau rumah, kendati jaraknya hanya 5 atau 10 menit perjalanan.

Fenomena ini tentu harus diwaspadai, karena nilai-nilai luhur untuk senantiasa bertenggang rasa, saling hormat menghormati, tolong menolong, berwelas asih dan berkekeluargaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah semakin luntur dijiwai oleh warga Negara Indonesia dewasa ini. Mahasiswa Indonesia dewasa ini lebih cenderung menyukai turun ke jalan untuk berdemonstrasi ketimbang berlomba-lomba menulis opini dalam menanggapi setiap persoalan yang melanda negeri. Padahal di era globalisasi ini, aksi-aksi demonstratif yang tidak terarah dan sporadis cenderung merugikan motor ekonomi yang seharusnya berjalan untuk mencapai tujuan utama pembangunan ekonomi, yaitu kesejahteraan masyarakat.

Para pejabat negeri cenderung ingin mempertahankan status quo demi kepentingan pribadi atau golongan sehingga cenderung mencari segala cara untuk mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya saat ini. Beberapa kasus terakhir yang terjadi, seperti kasus Century, kasus Mafia Pajak, kasus Markus di kejaksaan dan kepolisian serta masih banyak lagi yang belum terbongkar, semakin mempertontonkan kepada kita semua akan adanya distorsi dan lunturnya sistem nilai kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang seharusnya mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Oleh karena itu, penting kiranya membangun kembali sistem nilai luhur bangsa Indonesia yang telah dituangkan oleh para pendiri negeri sebagai buah pemikiran cerdas dan penuh kebijaksanaan, yang tersirat dan tersurat di dalam Pancasila dan UUD 1945. Bisa saja, kurangnya pemahaman dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara serta sebagai ideologi negara, lebih

(11)

disebabkan oleh lemahnya sistem pembinaan individu dari mulai tingkat informal (seperti lingkungan keluarga) sampai ke tingkat formal (seperti sistem pendidikan nasional). Selain itu, proses perubahan pikir, ucap dan tindak ini juga tidak terlepas dari adanya perubahan sosial, budaya dan ekonomi akibat adanya era globalisasi ini.

Tidaklah dapat dielakkan lagi bahwa pembekalan kemampuan dan pengetahuan setiap warga negara, menjadi syarat mutlak dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai, sehingga setiap individu dapat mengetahui, memahami, dan menghayati untuk kemudian mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam bentuk sikap-sikap yang dapat mencerminkan sifat kejujuran, kebenaran, kekeluargaan dan keadilan yang merata pada setiap komponen bangsa. Oleh karena itu, persiapan dan proses penyesuaian diri dengan era globalisasi melalui pendidikan kewarganegaraan di era globalisasi ini menjadi sangat perlu untuk dilakukan.

Pendidikan Kewarganeraan yang diberikan kepada mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi memang didesain sebagai bagian dari mata kuliah kepribadian. Dimana, tujuan pengajarannya adalah memberikan pemahaman terhadap rasa kecintaan terhadap tanah air, mengenal nilai-nilai luhur ke-Indonesia-an, serta penumbuhan raga kebanggaan atas segenap khasanah sosial, ekonomi, budaya, politik dan sistem pertahanan dan keamanan yang telah turun temurun berlaku dan melembaga dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia. Dan pada akhirnya, mahasiswa tersebut dapat dicetak menjadi ilmuwan yang professional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis yang berkeadaban, serta menjadi warga Negara yang memiliki daya saing, berdisiplin dan berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.

Adapun muatan pendidikan kewarganegaraan tersebut diantaranya meliputi beberapa hal sebagai berikut:7

(1) Filsafat Pancasila, yang meliputi pengetahuan mengenai Pancasila sebagai sistem filsafat dan sebagai ideology bangsa dan Negara

(2) Identitas nasional, yang meliputi pengetahuan mengenai karakteristik identitas nasional dan proses berbangsa dan bernegara

(3) Politik dan strategi, yang meliputi pengetahuan mengenai sistem konstitusi, politik dan ketatanegaraan Indonesia

(4) Demokrasi Indonesia, yang meliputi pengetahuan mengenai konsep dan prinsip demokrasi serta demokrasi dan pendidikan demokrasi

(5) Hak azasi manusia dan rule of law

(6) Hak dan kewajiban warga Negara, yang meliputi pengetahuan mengenai warga Negara Indonesia serta hak dan kewajiban warga Negara Indonesia

(7) Geopolitik Indonesia, yang meliputi pengetahuan mengenai wilayah sebagai ruang hidup dan otonomi daerah

(8) Geostrategi Indonesia, yang melipui pengetahuan mengenai konsep Asta Gatra serta peranan Indonesia di dunia dan perdamaian dunia

      

7

Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah

(12)

Disain pengajarannya juga dilakukan dengan mengedepankan sistem pengajaran dua arah dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussion, FGD). Adapun rambu-rambu pengajaran sesuai dengan amanat Kep Dirjen Dikti No.43/DIKTI/Kep/2006 diantaranya adalah: 8

(1) Proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian dengan menempatkan mahasiswa sebagai subjek pendidikan, mitra dalam proses pembelajaran dan sebagai umat, anggota keluarga, masyarakat dan warga Negara. (2) Pembelajaran yang diselenggarakan merupakan proses yang mendidik, yang

didalamnya terjadi pembahasan kritis, analitis, induktif dan reflektif melalui dialog kreatif partisipatori untuk mencapai pemahaman tentang kebenaran substansi dasar kajian, berkarya nyata dan menumbuhkan motivasi belajar sepanjang hayat

(3) Bentuk aktivitas proses pembelajaran didesian sebagai kuliah tatap muka, ceramah, dialog (diskusi) interaktif, studi kasus, penugasan mandiri, tugas baca seminar kecil dan kegiatan kokurikuler.

Artinya bahwa pendidikan kewarganegaraan memang didesain sebagai upaya persiapan dan penyesuaian diri terhadap perubahan nilai di masa mendatang yang sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan internal dalam negeri maupun eksternal luar negeri, terutama yang berkaitan dengan isu global dan globalisasi itu sendiri.

Persiapan dan penyesuaian diri terhadap arus dan era globalisasi ini harus dimulai dengan adanya (1) ketanggapan terhadap berbagai masalah sosial, politik, budaya dan lingkungan; (2) kreativitas dalam menemukan alternatif pemecahannya; serta (3) efesiensi dan etos kerja yang tinggi. Persiapan dan penyesuaian diri tersebut seyogianya dicirikan dengan adanya (1) kemampuan mengantisipasi perkembangan berdasarkan ilmu pengetahuan; (2) kemampuan dan sikap untuk mengerti dan mengantisipasi situasi; (3) kemampuan untuk mengakomodasi, utamanya IPTEK serta perubahan yang diakibatkannya; serta (4) kemampuan mereorientasi, utamanya kemampuan untuk menyeleksi terhadap arus informasi yang membombardirnya.

Pada akhirnya persiapan dan penyesuaian diri dalam era globalisasi ini setidaknya mampu memunculkan (1) pekerja yang terampil yang menjadi bagian utama dari mekanisme produksi (dalam arti luas) yang harus lebih efektif dan efesien; (2) pemimpin dan manajer yang efektif yang memiliki kemampuan berpikir, mengambil keputusan yang tepat pada waktunya serta mengendalikan pelaksanaan dengan cakap dan wibawa; serta (3) pemikir yang mampu menentukan/memelihara arah perjalanan dan melihat segala kemungkinan di hari depan.

Oleh karena itu, maka pemikiran tersebut dapatlah menjadi sarat mutlak dalam pembinaan dan pengembangan manusia Indonesia yang diarahkan untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang sarat dengan nilai-nilai luhur kebudayaan dan perjuangan bangsa yang mengutamakan persatuan dan kesatuan sebagai landasan

      

8

(13)

kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengantisipasi masyarakat global atas adanya perubahan nilai-nilai dan sikap, maka diperlukan suatu pemahaman yang luas terhadap Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD 1945 sebagai dasar hukum negara.

Perubahan nilai-nilai dan sikap dengan menumbuhkembangkan pengertian, pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila serta UUD 1945 dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pendidikan formal dan informal. Dalam pendidikan formal, seyogyanya tidak hanya teori-teori dasar saja yang diberikan, namun demikian harus dibarengi dengan adanya pola pembentukan pengetahuan dalam bentuk simulasi. Simulasi dimaksud adalah dengan membuat suatu flatform penggalian potensi melalui pengkajian-pengkajian yang dilakukan sendiri oleh anak didik. Hasil dari pengkajian tersebut kemudian dibahas bersama. Model-model diskusi dua arah akan sangat efektif terhadap pemahaman dan penghayatan isi yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.

Selain pendidikan formal, pendidikan informal pun memberikan konstribusi lebih terhadap pembentukan sikap dan perilaku. Pendidikan informal dimaksud dimulai dengan pendidikan dalam keluarga yang diarahkan untuk selalu menanamkan sikap kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang sesuai dengan norma-norma yang ada di lingkungannya, dimana norma-norma tersebut mempunyai nilai yang universal seperti halnya ideologi negara.

Pendekatan pembentukan/pengubahan nilai dan sikap diri seseorang dapat juga dilakukan melalui berbagai cara, seperti (1) pembiasaan, (2) internalitas nilai melalui ganjaran-hukuman, (3) keteladanan, (4) teknik klarifikasi nilai, dan sebagainya. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa segenap pendekatan yang dilakukan mempunyai kelebihan dan kekurangan, dimana kesemuanya sangat tergantung pada tingkat belajar para individu dalam hal (1) menerima, (2) menganggapi, (3) menilai dan berkeyakinan, (4) mengorganisasi dan berkonseptual, serta (5) mewataki dan memerankan hasil belajar tersebut.

Sasaran akhir dari pembentukan/pengubahan nilai dan sikap adalah bahwa suatu norma sebagai acuan perilaku telah terwujud dalam perilaku sehari-hari secara konsisten, dengan kata lain sistem nilai telah terbentuk dan mewarnai pandangan hidup dan perilaku seseorang dalam hidupnya. Perubahan nilai dan sikap dalam rangka mengantisipasi masa depan tersebut haruslah diupayakan sedemikian rupa sehingga mewujudkan keseimbangan dan keserasian antara aspek pelestarian dan aspek pembaharuan. Nilai-nilai luhur yang mendasari kepribadian dan kebudayaan bangsa Indonesia seyogyanya akan tetap dilestarikan, agar terhindar dari krisis identitas.

Sebagai suatu masyarakat pluralistik, puncak-puncak budaya nusantara seharusnya dikembangkan untuk memantapkan dan memperkaya kebudayaan Indonesia. Dengan kata lain, muatan lokal dalam program pendidikan haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga melengkapi dan memperkuat muatan nasional dalam memilih dan memilah pengaruh global. Di sisi lain dan serentak dengan pelengkapan dan perkuatan muatan nasional, maka penyertaan aspek budaya dunia juga harus dimunculkan sehingga mencapai keselarasan dengan adanya kebutuhan akan perkembangan jaman.

(14)

Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan dalam konteks ini harus selalu dapat menjaga secara seimbang pembentukan kemampuan mempertanyakan di samping kemampuan menerima dan mempertahankan. Keserasian dan keselarasan antara pelestarian dan pembaharuan nilai dan sikap tersebut yang akan memberi peluang keberhasilan menjemput masa depan di era globalisasi. Semoga pernyataan John F. Kennedy terhadap warga AS ketika yang begitu terkenal “Ask not what your country

can do for you, but ask what you can do for your country” menjadi inspirasi warga

Negara Indonesia untuk berbuat yang terbaik bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PENUTUP

Kenyataan bahwa Indonesia sekarang telah masuk dalam era globalisasi yang mengarah kepada akulturasi nilai global terhadap nilai-nilai lokal, maka pendidikan kewarganegaraan bagi kalangan mahasiswa di perguruan tinggi masih sangat relevan diberikan dalam rangka membentengi para calon pemimpin bangsa akan nilai-nilai luhur ke-Indonesia-an untuk mengantisipasi segenap permasalahan rumahtangga bangsa sendiri dan dalam rangka mengantisipasi masuknya nilai-nilai global yang cenderung destruktif dan melunturkan nilai-nilai lokal.

Semangat persatuan dan kesatuan yang melatarbelakangi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini harus selalu terpatri dalam setiap individu warga Negara Indonesia. Dan pendidikan kewarganegaraan perlu tetap diberikan untuk mempersiapkan calon pemimpin bangsa tidak akan membiarkan keretakan pemahaman para elit bangsa menjadi unsur pemecah yang membawa pada disintegrasi bangsa yang memang sudah lama dirongrong oleh unsur asing di segala bidang. Oleh karena itu, pendidikan kewarganegaraan harus betul-betul didesain dan mampu memupuk sikap dan menanamkan kembali jiwa patriot yang harus selalu dijunjung demi mengantisipasi berbagai macam perubahan di masa mendatang.

REFERENSI TERBATAS

Deming, C., 2010, Menanti Kiriman Durian dari Indonesia, Media Indonesia, Senin, 5 April 2010, hal.13.

Departemen Pendidikan Nasional, Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Nomor 43/DIKTI/KEP/2006, Rambu-rambu

Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Ditjen Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Kaelan dan A. Zubaidi, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Penerbit “PARADIGMA”, Yogyakarta.

Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17, 2007,

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Badan Perencanaan

(15)

Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20, 1982, Pertahanan dan

Keamanan Negara, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.

Sumardi, 2003, Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pakuan, Bogor.

BIODATA

Mahifal, SH., MH adalah seorang pengajar pada Universitas Pakuan Bogor. Penulis

dilahirkan di Bogor pada tanggal 30 Mei 1975. Pada tahun 1998 penulis berhasil memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Universitas Pakuan Bogor, sedangkan gelar Master Hukum (MH) juga diperoleh dari perguruan tinggi yang sama pada tahun 2008. Penulis pernah menjabat sebagai Komandan Satuan Resimen Mahasiswa Mahawarman Universitas Pakuan periode tahun 1997-1998.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui penelitian ini juga ditemukan penanda bahasa verbal dan nonverbal yang menunjukkan kesantunan berbahasa para pembawa acara televisi, yaitu nomina pengacu dan nomina

Miarso Yusufhadi (2007) mengungkapkan bahwa teknologi merupakan suatu bentuk proses yang meningkatkan nilai tambah. Proses yang berjalan tersebut dapat menggunakan

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu penelitian lebih mendalam terkait kedudukan dan fungsi Dewan Pers dalam menjaga kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional

Hal ini memiliki makna bahwa lima indikator dalam variabel motivasi yaitu: target yang ingin dicapai (MB1), kuliah sangat penting untuk bekal di masa depan (MB2), adanya penghargaan

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya suatu perangkat yang dapat mengeringkan pakaian kapan saja, tidak membutuhkan waktu yang lama dalam proses

Proses rekrutmen dan seleksi yang baik sangat dibutuhkan oleh perusahaan agar mampu memperoleh karyawan yang berkompeten dan bisa bekerja secara maksimal bagi perusahaan,selain

Pada akhirnya, penulis mencoba untuk menentukan pengaruh dari beban dinamis yang ditimbulkan oleh mesin generator dan turbin pada perencanaan pondasi dengan studi

Penyebaran filariasis di Desa Buru Kaghu sejak pemekaran Kabupaten Sumba Barat Daya sampai dengan tahun 2011 terbatas pada informasi mikrofilaria yang ditemukan