UNIVERSITAS UDAYANA
GAMBARAN TINGKAT STRES KERJA PERAWAT
DI INSTALASI GAWAT DARURAT DAN RAWAT INAP
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI
TAHUN 2016
DESAK AYU TRIANA DEWI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
i
UNIVERSITAS UDAYANA
GAMBARAN TINGKAT STRES KERJA PERAWAT
DI INSTALASI GAWAT DARURAT DAN RAWAT INAP
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI
TAHUN 2016
DESAK AYU TRIANA DEWI
NIM. 1420015043
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
UNIVERSITAS UDAYANA
GAMBARAN TINGKAT STRES KERJA PERAWAT
DI INSTALASI GAWAT DARURAT DAN RAWAT INAP
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI BALI
TAHUN 2016
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
DESAK AYU TRIANA DEWI
NIM. 1420015043
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Denpasar, 27 Juni 2016
Pembimbing
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Denpasar, 21 Juni 2016
Tim Penguji Skripsi
Ketua (Penguji I)
dr. Ketut Suarjana, M.P.H NIP.197911182006041002
Anggota (Penguji II)
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena
atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Tahun 2016” tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh masukan,
bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat selesai
tepat pada waktunya. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain
kepada :
1. Bapak dr. I Made Ady Wirawan, MPH.,PhD selaku Ketua Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat atas ijin dan petunjuknya dalam penyusunan
skripsi ini
2. Ibu Rina Listyowati, S.SiT, M.Kes selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan masukan dalam
penyusunan skripsi ini
3. Ibu Putu Ayu Indrayathi, SE, MPH, selaku kepala bagian peminatan AKK
yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini
4. Seluruh Pimpinan dan Staf di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali yang telah
vi
5. Responden penelitian yakni perawat yang bertugas di Instalasi Gawat
Darurat dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali yang telah
membantu dalam mengumpulkan data yang diperlukan penulis
6. Keluarga, rekan-rekan serta semua pihak yang telah membantu kelancaran
penyusunan skripsi ini
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
Denpasar, Juni 2016
vii
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
PEMINATAN ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN Skripsi, Juni 2016
Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat di Instalasi Gawat Darurat dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Tahun 2016
ABSTRAK
Kompleksitas pekerjaan perawat membuat perawat sering terpapar oleh beberapa faktor penyebab stres, diantaranya berasal dari faktor individu, faktor intrinsik pekerjaan dan faktor ekstrinsik pekerjaan. Perawat di IGD dan Rawat Inap di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali rentan mengalami stres kerja dilihat dari profil efisiensi rumah sakit, resiko pekerjaan dan beban kerja yang tinggi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tingkat stres kerja perawat IGD dan Rawat Inap di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan April-Mei 2016 di RSJ Provinsi Bali. Populasi penelitian sebanyak 172 perawat, dan sampel penelitian sebanyak 97 perawat yang bertugas di IGD dan Rawat Inap di RSJ Provinsi Bali. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat dengan crosstab.
Hasil penelitian menunjukan sebagian besar (78,4%) responden mengalami stres kerja ringan. Dilihat dari faktor karakteristik individu, terdapat perbedaan proporsi tingkat stress kerja. Sedangkan pada variabel jenis kelamin, masa kerja, pendidikan, dan status pernikahan tidak terdapat perbedaan proporsi tingkat stres kerja. Dilihat dari faktor intrinsik pekerjaan, terdapat perbedaan proporsi tingkat stres kerja pada variabel beban kerja, resiko pekerjaan, dan lingkungan kerja. Dilihat dari faktor ekstrinsik pekerjaan, terdapat perbedaan proporsi tingkat stres kerja pada variabel pengawasan atasan.
Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mengalami stres kerja ringan, dan terdapat perbedaan proporsi pada variabel umur, beban kerja, resiko pekerjaan, lingkungan kerja dan pengawasan atasan. Disarankan bagi perawat untuk meningkatkan aktivitas fisik dan refreshing pribadi untuk menanggulangi stres, bagi rumah sakit agar melakukan pengaturan jumlah perawat yang memadai sesuai dengan kompetensi, optimalisasi sarana prasarana sesuai kebutuhan, dan mengoptimalkan pengawasan atasan.
viii SCHOOL OF PUBLIC HEALTH
MEDICAL FACULTY OF UDAYANA UNIVERSITY ADMINISTRATION AND HEALTH POLICY
Essay, June 2016
Description of Nurse’s Stress Level in Emergency Unit and Inpatient Unit at Bali Province Asylum Year 2016
ABSTRACT
The complexity of Nurse’s work make the nurse often exposed multiple
factors causing stress which came from individual factor, intrinsic factor and extrinsic factor from their job. The nurse in Emergency Unit and inpatient unit of
Bali Province asylum are susceptible of stress from their work if it’s reviewed from
hospital eficiency, job risk adn high workloads. The purpose of this study is to know
about description of nurse’s stress level in emergency unit and inpatient unit at Bali province asylum.
This study use descriptive cross sectional method. The study was carried on April until Mei 2016 at Bali Province asylum. Population of this research is 172 nurses, where are 97 nurses in emergency unit and inpatient unit as samples. Data analysis is using univariat and bivariat with crosstab.
The outcome showed that majority respondents (78,4%) have low stress level. If examined from individual characteristic, there is a difference in proportion of stress level. Meanwhile, from the gender characteristic, years of service, education and marriage status there are no difference in proportion of stress level. If examined from intrinsic factor on the job there are difference in proportion of stress level on variables workloads, job risk, and job environment. While from extrinsic factor, there is difference in proportion of stress level on variable supervision from the superior.
In conclusion, majority of respondents showed low stress and there are differences in proportion on variables age, workloads, job risk, job environment and supervison from superior. It can be recommended to nurse to increase physical activity and refreshing to cope up with stress, for the hospital it recommended to do arrangement in adequate number of nurse according to their competency, optimization of infrastructure and facilities and optimization of supervising.
ix DAFTAR ISI
Halaman
Halaman judul ... i
Halaman Persyaratan Gelar ... ii
Pernyataan Persetujuan ... iii
x
2.4 Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat dari Berbagai Penelitian ... 35
5.2Gambaran Karakteristik Perawat di IGD dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ... 52
5.3 Gambaran Faktor Penyebab Stres Kerja yang Berasal dari Intrinsik Pekerjaan pada Perawat IGD dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ... 55
5.4 Gambaran Faktor Penyebab Stres Kerja yang Berasal dari Ekstrinsik Pekerjaan pada Perawat IGD dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ... 59
5.5 Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat di IGD dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ... 62
xi
dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Berdasarkan Faktor Penyebab Stres Yang Berasal dari
Intrinsik Pekerjaan ... 71
5.8.Gambaran Tingkat Stres Kerja pada Perawat IGD dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Berdasarkan Faktor Penyebab Stres yang Berasal dari Ekstrinsik Pekerjaan ... 76
5.9 Keterbatasan Penelitian ... 78
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 79
6.1 Simpulan ... 79
6.2 Saran ... 80
xii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1 Jumlah Sampel Perawat Tiap Ruangan ... 45 Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden di IGD dan
Rawat Inap RSJ Provinsi Bali Tahun 2016 ... 52 Tabel 5.2. Gambaran Faktor Penyebab Stres Kerja yang Berasal
dari Intrinsik Pekerjaan pada Perawat IGD dan
Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ... 56 Tabel 5.3. Gambaran Faktor Penyebab Stres Kerja yang Berasal
dari Ekstrinsik Pekerjaan pada Perawat IGD dan
Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ... 60 Tabel 5.4. Gambaran Tingkat Stres Kerja pada Perawat IGD dan
Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ... 62 Tabel 5.5. Gambaran Tingkat Stres Kerja Pada Perawat IGD dan
Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
Berdasarkan Karakteristik Individu ... 65 Tabel 5.6. Gambaran Tingkat Stres Kerja Pada Perawat IGD dan
Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Berdasarkan
Faktor Penyebab Stres Yang Berasal Dari Intrinsik Pekerjaan .... 72 Tabel 5.7 Gambaran Tingkat Stres Kerja Pada Perawat IGD dan
Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Berdasarkan
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Kerangka Teori ... 34
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Jadwal Penelitian ... 86
2. Surat Izin ... 87
3. Lembar Persetujuan Menjadi Responden... 90
4. Lembar Kuesioner ... 91
5. Hasil Pengolahan Data Penelitian ... 96
xv
DAFTAR SINGKATAN
IGD : Instalasi Gawat Darurat
PICU : Psychiatric Intensive Care Unit
RSJ : Rumah Sakit Jiwa
NIOSH : National Institute for Occupational Safety and Health
BOR : Bed Occupation Rate
ALOS : Average Length of Stay
TOI : Turn Over Interval
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan suatu institusi atau organisasi pelayanan kesehatan
dengan fungsi yang luas dan menyeluruh, padat pakar dan padat modal. Rumah sakit
melaksanakan fungsi yang luas sehingga harus memiliki sumberdaya, baik modal
dan manusia yang berpengalaman dan professional. Perawat merupakan salah satu
tenaga kesehatan di rumah sakit dengan pelayanan keperawatannya. Pelayananan
keperawatan meliputi pelayanan profesional dari jenis layanan kesehatan yang
tersedia selama 24 jam secara terus-menerus selama masa perawatan klien. Profesi
perawat memiliki peranan penting dalam memberikan kualitas pelayanan kesehatan
di rumah sakit, karena jenis pelayanan yang diberikan dengan pendekatan biologis,
psikologis, sosial, spiritual dan dilakukan dengan berkelanjutan (Asmadi, 2008)
Kompleksitas pekerjaan perawat membuat perawat sering terpapar oleh
beberapa penyebab stres dibanding profesi lainnya. Stres adalah suatu keadaan yang
bersifat internal yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan
dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan dan King,
1986 dalam Waluyo, 2015). Stres yang dialami oleh pekerja di tempat kerja disebut
stres kerja. The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)
mendefinisikan stres kerja sebagai suatu kondisi fisik dan emosional yang berbahaya
yang terjadi ketika pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai kemampuan, sumber daya
2
Stres kerja diartikan sebagai sumber atau stresor kerja yang menyebabkan
reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan prilaku. Stresor kerja
merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu
tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. Gejala stres kerja dapat berupa
kecemasan, ketegangan, kelelahan, sakit kepala, denyut jantung meningkat, tekanan
darah meningkat, menurunnya prestasi dan produktivitas sehingga dalam skala berat
dapat menyebabkan depresi, penyakit jantung koroner dan sakit mental (Waluyo,
2015). Bagi perusahaan konsekuensi yang timbul adalah meningkatnya absensi,
menurunnya tingkat produktivitas, menurunkan komitmen organisasi hingga
turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984, Robin, 1993 dalam
Waluyo, 2015). Menurut Cartwright, et al (1995) dalam Tarwaka (2010) faktor
penyebab stres meliputi faktor intrinsik pekerjaan, peran individu dalam organisasi
kerja, hubungan kerja, pengembangan karir, struktur organisasi dan suasana kerja,
dan faktor di luar pekerjaan seperti faktor individu.
National Safety Council dalam Widyastuti (2004) menyebutkan salah satu jenis
pekerjaan yang dianggap paling dapat membuat stres adalah perawat. Perawat sangat
rentan terhadap stres. Menurut survei dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia
tahun 2006, sekitar 50,9% perawat yang bekerja di empat provinsi di Indonesia
mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa beristirahat karena beban kerja
terlalu tinggi dan menyita waktu, gaji rendah tanpa insentif memadai (Muthmainah,
2012). Beberapa studi yang meneliti tentang stres pada perawat mengidentifikasi
bahwa stresor pada perawat yang diakibatkan karena kompleksitas kerja perawat
baik yang berada di area perawatan umum maupun perawatan kesehatan mental
3
Perawat kesehatan jiwa atau psikiatri adalah bagian dari perawat umum, tetapi
khusus menangani pasien gangguan jiwa dan umumnya bekerja di rumah sakit jiwa.
Perawat kesehatan jiwa lebih menitikberatkan pada kesehatan rohani pasien tanpa
mengesampingkan kesehatan jasmaninya. Kondisi mental pasien yang labil
mengharuskan perawat untuk bersikap sabar dalam melakukan berbagai macam
peranan untuk mengetahui apa yang dibutuhkan pasien. (Niken, 2001 dalam
Parjiyana, dkk., 2015)
Komalasari (2008) mengatakan bahwa perawat psikiatri bekerja merawat
pasien dengan ketidakadekuatan mekanisme koping terhadap stres. Pasien yang
masuk di unit rawat inap psikiatri pada umumnya berada dalam situasi krisis
demikian juga mekanisme pertahanan diri mereka yang kurang efektif, sehingga
selama periode ini tindakan penyerangan atau kekerasan dapat terjadi.
Pendapat ini didukung oleh Dawson, dkk (2005) yang menyatakan bahwa
ancaman fisik dari pasien dengan perilaku kekerasan merupakan suatu kejadian yang
dirasakan very stresful bagi perawat. Terlebih lagi kekerasan merupakan masalah
yang sering terjadi di ruang perawatan psikiatri akut dan intensive. Hal ini
menunjukan bahwa perilaku kekerasan oleh pasien merupakan salah satu sumber
stres bagi perawat yang bekerja di unit kesehatan mental/psikiatri.
Dalam jurnal tentang tingkat stres perawat psikiatri (Yada, dkk, 2011)
disebutkan bahwa penyebab stres pada perawat psikiatri adalah kemampuan
interpersonal perawat, sikap pasien, sikap atasan, kolaborasi/komunikasi. Perilaku
kekerasan merupakan penyebab stres yang paling sering pada perawat psikiatri
Menurut penelitian yang dilakuakan Aiska (2014) mengenai faktor-faktor
yang berpengaruh pada tingkat stres kerja perawat di RS Jiwa Grhasia Yogyakarta
4
%) dan 40 % adalah stres ringan, dan faktor yang berpengaruh signifikan pada
tingkat stres kerja adalah faktor umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan
terakhir, masa kerja, dan beban kerja. Penelitian Ratnaningrum (2012) mengenai
tingkat stres perawat di ruang psikiatri akut Rumah Sakit DR.H.Marzoeki Mahdi
Bogor menyatakan bahwa 20 dari 30 perawat mengalami stres rendah dan sisanya
mengalami stres sedang. Faktor-faktor yang menyebabkan stres perawat adalah
masalah dalam merawat pasien, hubungan interpersonal, peran atasan, masalah
dengan keluarga pasien dan masalah manajemen rumah sakit.
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali merupakan salah satu Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang mempunyai tugas
melaksanakan pelayanan di bidang kesehatan jiwa. Sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi bali No 4 Tahun 2011, tentang
Organisasi dan tata kerja perangkat Daerah Provinsi Bali. RS Jiwa ini merupakan
pusat rujukan untuk pelayanan kesehatan jiwa di Bali dan regional Nusa Tenggara.
(RSJ Provinsi Bali, 2016)
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 19 Januari 2015
didapat data profil efisiensi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali Tahun 2015 yakni data
pemakaian rata-rata tempat tidur/ Bed Occupation Rate (BOR) 91,10 % (idelanya
60-80%), rata-rata lama rawat/ Average Length of Stay (ALOS) 59 hari, Turn Over
Interval (TOI) 4,35 hari, jumlah pasien rawat jalan yang dilayani 17.879 orang
sedangkan rawat inap 5.981 orang. Jumlah pasien jiwa selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya (RSJ Provinsi Bali, 2016). Data tersebut menunjukan
bahwa kapasitas rumah sakit selalu penuh dimanfaatkan masyarakat untuk mendapat
pelayanan kesehatan jiwa, data tersebut juga menunjukan beban kerja perawat yang
5
Perawat yang bertugas di unit rawat inap RSJ Provinsi Bali sebanyak 153
orang yang terdiri dari 10 orang kepala ruangan dan 143 perawat pelaksana
sedangkan perawat yang bertugas di IGD sebanyak 18 orang perawat pelaksana dan
1 orang kepala ruangan. (RSJ Provinsi Bali, 2016). Perbandingan jumlah perawat
dengan pasien yang dirawat di ruangan rawat inap adalah rata-rata 14 perawat
berbanding 38 pasien, dengan rata-rata jumlah perawat jaga setiap shift jaga 3
perawat merawat 38 pasien yang mana hal tersebut menunjukan beban kerja perawat
yang tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara pendahuluan dengan 8 orang perawat dari ruang
Instalasi Gawat Darurat, Rawat Inap dan Poliklinik di RSJ Provinsi Bali diperoleh
data bahwa perawat pernah mengalami perilaku kekerasan dari pasien baik fisik
maupun verbal. Perilaku kekerasan ini lebih sering terjadi di IGD dan Rawat Inap,
namun data mengenai kasus kekerasan yang dilakukan pasien terhadap perawat
belum terdokumentasi dengan baik, beberapa diantaranya kadang merasa cemas dan
tegang saat menangani pasien dengan risiko perilaku kekerasan dan risiko bunuh
diri. Perawat di ruangan rawat inap sering dihadapkan pada situasi pasien yang bising
dan gaduh, terutama di Psychiatric Intensive Care Unit (PICU). Rata-rata perawat
yang berjaga malam di masing-masing ruangan hanya 2 orang sehingga bila ada
pasien gelisah maka akan cukup sulit ditangani. Selain melaksanakan tugas pokok
dalam merawat pasien, perawat juga diberi tambahan tugas dalam urusan
administrasi. Ketika ada berbagai tambahan tugas yang harus diselesaikan dengan
cepat dalam waktu bersamaan, perawat kadang merasakan sakit kepala. Hal-hal
tersebut merupakan stresor tersendiri bagi perawat IGD dan rawat inap di Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Bali. Sedangkan resiko kekerasan yang dihadapi perawat
6
sudah lebih stabil. Waktu jaga perawat poliklinik hanya shift pagi saja. Sehingga
beban kerja yang dirasakan perawat poliklinik lebih ringan dibanding perawat di IGD
dan rawat inap.
Beberapa penelitian terhadap stres kerja perawat di Rumah Sakit Umum di Bali
sudah pernah dilakukan tetapi penelitian mengenai stres kerja perawat di Rumah
Sakit Jiwa di Bali belum pernah dilakukan sehingga peneliti tertarik untuk meneliti
gambaran tingkat stres perawat di Instalasi Gawat Darurat dan ruang rawat inap
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
1.2. Rumusan Masalah
Dilihat dari profil efisiensi RSJ Provinsi Bali dan jumlah perawat dibanding
pasien, beban kerja perawat di IGD dan ruang rawat inap RSJ Provinsi Bali cukup
tinggi sehingga dapat memicu stres kerja. Perawat juga mengalami perilaku
kekerasan fisik dan verbal dari pasien. Perawat kadang merasa cemas dan tegang
saat menangani pasien terutama dengan resiko perilaku kekerasan, disamping itu
perawat juga harus mengerjakan tugas tambahan diluar tugas merawat pasien, adanya
tekanan waktu, tuntutan dalam hubungan interpersonal dan tuntutan dari manajemen
yang dapat memicu stres kerja bagi perawat di Instalasi Gawat Darurat dan ruang
rawat inap RSJ Provinsi Bali.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Bagaimanakah gambaran tingkat stres kerja perawat di Instalasi Gawat Darurat
dan rawat inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk menggambarkan tingkat stres kerja perawat IGD dan Rawat Inap di
7
1.4.2. Tujuan Khusus
1)Menggambarkan karakteristik individu perawat IGD dan Rawat Inap
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
2) Menggambarkan faktor penyebab stres kerja yang berasal dari intrinsik
pekerjaan (Beban kerja, resiko pekerjaan, dan lingkungan kerja) pada
perawat IGD dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
3)Menggambarkan faktor penyebab stres kerja yang berasal dari ekstrinsik
pekerjaan (Hubungan interpersonal dan pengawasan atasan) pada perawat
IGD dan Rawat Inap Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
4) Menggambarkan tingkat stres kerja perawat IGD dan Rawat Inap di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
5) Menggambarkan tingkat stres kerja pada perawat IGD dan Rawat Inap
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali berdasarkan karakteristik individu (umur,
jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, masa kerja)
6) Menggambarkan tingkat stres kerja pada perawat IGD dan Rawat Inap
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali berdasarkan faktor penyebab stres yang
berasal dari intrinsik pekerjaan (beban kerja, resiko pekerjaan, dan
lingkungan kerja)
7) Menggambarkan tingkat stres kerja pada perawat IGD dan Rawat Inap
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali berdasarkan faktor penyebab stres yang
berasal dari ekstrinsik pekerjaan (hubungan interpersonal dan pengawasan
8
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
1) Untuk lembaga pendidikan dapat menambah bahan perpustakaan sebagai
dokumentasi ilmiah serta informasi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dalam bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
khususnya di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia
2) Bagi peneliti selanjutnya dapat dijadikan acuan penelitian selanjutnya,
khususnya yang berkaitan dengan stres kerja perawat.
1.5.2. Manfaat Praktis
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tingkat stres
dan penyebab stres perawat IGD dan Rawat Inap RSJ Provinsi Bali
sehingga dapat dilakukan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan
perawat berdasarkankan pengalaman yang sudah diperolehnya dalam
bekerja. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pelayanan dan mutu kinerja di RSJ Provinsi Bali.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian di bidang Manajemen Sumber Daya
Manusia mengenai tingkat stres kerja perawat IGD dan Rawat Inap di Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Bali tahun 2016. Penelitian ini dilaksanakan oleh mahasiswa
Kesehatan Masyarakat dengan menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui
gambaran tingkat stres kerja perawat dan tingkat stres kerja berdasarkan
faktor-faktor penyebab stres kerja yang berasal dari faktor-faktor karakteristik demografi individu
(Umur, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, masa kerja), instrinsik
9
pekerjaan (hubungan interpersonal perawat dan pengawasan atasan). Alat
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stres
2.2.1. Pengertian Stres
Stres adalah salah satu masalah yang pasti akan dihadapi oleh setiap orang
dalam kehidupannya. Para ahli menyatakan bahwa stres dapat timbul sebagai akibat
tekanan atau ketegangan yang bersumber dari ketidakselarasan antara seseorang
dengan lingkungan. Dengan kata lain, apabila sarana dan tuntutan tugas tidak selaras
dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang, ia akan mengalami stres (Siagian,
2015).
Menurut Hager (1999) dalam Waluyo (2015), stres sangat bersifat individual
dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan
mental individu dengan beban yang dirasakannya. Peristiwa yang memunculkan stres
dapat saja positif atau negatif. Sesuatu didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang
menekan (stresful event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh
individu terhadapnya.
Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh
tuntutan fisik (badan), atau lingkungan dan situasi sosial, yang berpotensi merusak
dan tidak terkontrol (Morgan dan King, 1986 dalam Waluyo 2015).
Menurut Cooper (1994) dalam Potter & Perry (2005) stres didefinisikan
sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat
ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan
11
dihadapi oleh mental, fisik, emosional dan spiritual manusia, yang suatu saat dapat
mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut.
Sedangkan menurut Widyastuti (2004) stres merupakan persepsi manusia
terhadap situasi atau kondisi lingkungan. Dari beberapa pengertian stres tersebut
dapat disimpulkan bahwa stres adalah keadaan yang bersifat internal atau eksternal
dan persepsi terhadap situasi lingkungan berupa ketidakmampuan mengatasi
ancaman baik mental, fisik, emosional dan spiritual yang dapat mempengaruhi
kesehatan individu.
Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan
stres. Stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan disebut stresor. Stresor
secara umum dapat diklasifikasikan sebagai stresor internal (berasal dari dalam diri
seseorang) atau eksternal (berasal dari luar diri seseorang (Potter & Perry, 2005).
Sumber stres dapat berupa: biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Berhadapan
dengan suatu stresor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara
psikologis maupun fisiologis. Terjadinya stres yang mengakibatkan gangguan karena
stresor tersebut dirasakan dan dipersepsikan oleh individu sebagai suatu ancaman
sehingga menimbulkan kecemasan.
Widyastuti (2004) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu: eustres
dan distres. Eustres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat,
positif dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk
kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan
pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang
tinggi. Distres, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,
negatif dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi
12
konsekuensi organisasi berupa tingkat ketidakhadiran (absenteisme) yang tinggi,
yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan kondisi fisik sampai dengan
kematian.
2.2.2. Sumber Stres
Potter & Perry (2005) mengklasifikasikan sumber stres secara umum yaitu
stresor internal dan eksternal. Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang
(misalnya demam, kondisi kehamilan atau menopause, atau suatu keadaan emosi
seperti rasa bersalah) dan stresor eksternal yang berasal dari luar diri seseorang
(misalnya prubahan suhu lingkungan, pekerjaan, perubahan dalam peran keluarga
atau sosial, serta tekanan dari pasangan).
Suatu keadaan dapat menimbulkan stres pada seseorang tapi belum tentu
akan menimbulkan hal yang sama terhadap orang lain. Menurut Patton (1998) dalam
Tarwaka (2010) perbedaan reaksi antara individu tersebut sering disebabkan karena
faktor psikologis dan sosial yang dapat merubah dampak stresor bagi individu, faktor
faktor tersebut antara lain :
1) Kondisi individu seperti umur, jenis kelamin, temperamental, genetik,
intelegensia, pendidikan, kebudayaan, status pernikahan dan lain-lain.
2) Ciri kepribadian seperti introvert atau ekstrovert, tingkat emosional,
kepasrahan, kepercayaan diri, kecemasan dan lain-lain.
3) Sosial-kognitif seperti dukungan sosial, hubungan sosial dengan
lingkungan sekitarnya.
4) Strategi untuk menghadapi setiap stres yang muncul.
2.2.3. Tingkatan Stres
Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda
13
pengalaman dan pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi keluarga,
pengalaman masa lalu dengan stres dan mekanisme koping. Terganggu atau
tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang
dialaminya. Dengan kata lain bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh
bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Penilaian
kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada
masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh persepsi dan respon yang
berbeda terhadap stres tersebut. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara
pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang
yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressfull. Sehingga
respon terhadap stresor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi
individu. Potter & Perry (2005) membagi tingkatan dalam stres menjadi tiga
bagian, antara lain :
1) Situasi Stres Ringan
Stres ringan merupakan stresor yang dihadapi setiap orang secara
teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas serta kritikan
dari atasan. Kondisi ini berlangsung selama beberapa menit sampai
beberapa jam. Stresor ini bukan resiko signifikan yang dapat
menimbulkan gejala yang muncul akibat stres. Akan tetapi, stresor ringan
dan banyak dalam waktu singkat dapat meningkatkan resiko penyakit.
2) Situasi Stres Sedang
Kondisi stres sedang berlangsung lebih lama, beberapa jam sampai
beberapa hari. Jenis stresor yang dihadapi misalnya perselisihan dengan
rekan kerja, anak yang sedang sakit, serta ketidakhadiran anggota keluarga
14
3) Situasi Stres Berat
Kondisi stres berat merupakan kondisi kronis yang belangsung lama,
durasinya mulai beberapa minggu sampai beberapa tahun. Jenis stresor
yang dihadapi misalnya, perselisihan perkawinan, kesulitan keuangan
yang berkepanjangan, serta penyakit kronis. Semakin sering dan semakin
lama situasi stres, makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan.
Menurut Amberg (1979) dalam Hawari (2001), bahwa tahapan stres
sebagai berikut (Sunaryo, 2004) :
1) Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan
nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan
pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan
penglihatan menjadi tajam.
2) Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun
pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore,
lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut
tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar, otot tengkuk, dan
punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak
memadai
3) Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti
defekasi tidak tertaur (kadang-kadang diare), otot semakin tegang,
emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle
insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali (late insomnia),
koordinasi tubuh terganggu dan mudah jatuh pingsan
4) Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak
15
dan menjenuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu,
gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya
ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.
5) Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan
kelelahan fisik dan mental (physical and psychological exhaustion),
ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan
ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan
cemas, bingung dan panic.
6) Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan
tanda-tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar,
dingin, dan banyak keluar keringat, loyo serta pingsan atau collaps.
2.3. Stres Kerja
2.3.1. Pengertian Stres Kerja
Lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stresor kerja. Stresor kerja
merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu
tuntutan dan dapat menimbulan stres kerja. Bila ia sanggup mengatasi stresor
kerja tersebut artinya tidak ada gangguan fungsi organ tubuh, maka dikatakan
yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia
mengalami gangguan pada satu atau lebih fungsi organ tubuh mengakibatkan
seseorang tidak lagi dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia disebut
distres (Waluyo, 2015).
NIOSH (1999) dalam Tarwaka (2010) mendefinisikan stres akibat kerja
sebagai respon emosional dan fisik yang bersifat mengganggu atau merugikan
yang terjadi pada saat tuntutan tugas tidak sesuai kapabilitas, sumber daya atau
16
pekerjaan yang bebas dari stres, karena setiap pekerjaan memiliki beberapa tingkat
tantangan dan kesulitan sehingga seseorang yang mampu mempertahankan rasa
pengendalian diri dalam lingkungan kerja akan menerima setiap urusan dalam
pekerjaan sebagai tantangan dan bukan ancaman. Namun tidak semua orang
memiliki pengendalian diri seperti ini, sehingga setiap urusan dalam pekerjaan
dianggap sebagai ancaman dan bukan sebagai tantangan. Hal inilah yang
menyebabkan seseorang mengalami stres kerja.
2.3.2. Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja
Penyebab stres di tempat kerja terdiri dari tiga kategori yaitu stresor fisik,
psikofisik dan psikologis (Clark,1995 dan Wantoro, 1999 dalam Tarwaka, 2010).
Selanjutnya menurut Cartwright, et al (1995) dalam Tarwaka (2010) penyebab stres
akibat kerja dibedakan menjadi 6 kelompok penyebab, yaitu:
1) Faktor Intrinsik Pekerjaan
Faktor tersebut meliputi keadaan fisik lingkungan kerja yang tidak
nyaman, stasiun kerja yang tidak ergonomis, kerja shift, jam kerja yang
panjang, pekerjaan beresiko tinggi dan berbahaya, beban kerja berlebih, dan
lain-lain. Beban kerja berlebih dapat dipengaruhi karena faktor tuntutan
tugas yang bersifat fisik (misalnya kuantitas pekerjaan) maupun mental yang
lebih menitikberatkan pada pekerjaan otak dan ketrampilan yang dimiliki
serta irama pekerjaan.
2) Faktor Peran Individu dalam Organisasi Kerja
Beban tugas yang bersifat mental dan tanggung jawab dari suatu
pekerjaan lebih memberikan stres yang tinggi dibanding dengan beban kerja
fisik. Karasek, et al (1988) dalam suatu penelitian tentang stres akibat kerja
17
dan ditambah dengan keterbatasan wewenang untuk mengambil keputusan,
mempunyai resiko terkena penyakit jantung koroner dan tekanan darah yang
tinggi.
3) Faktor Hubungan Kerja
Kualitas hubungan yang kurang baik antara pekerja, atasan maupun
kolega di tempat kerja adalah faktor yang potensial sebagai penyebab
terjadinya stres. Kecurigaan antara pekerja, kurangnya komunikasi,
ketidaknyamanan dalam melakukan pekerjaan merupakan tanda-tanda
adanya stres akibat kerja.
4) Faktor Pengembangan Karir
Faktor pengembangan karir yang dapat memicu stres adalah
ketidakpastian pekerjaan seperti adanya reorganisasi perusahaan dan mutasi
kerja, promosi berlebihan atau kurang, promosi yang terlalu cepat atau tidak
sesuai dengan kemampuan individu.
5) Faktor Struktur Organisasi dan Suasana Kerja
Penyebab stres yang berhubungan dengan struktur organisasi dan model
manajemen yang dipergunakan. Beberapa faktor penyebabnya antara lain
kurangnya pendekatan paartisipatoris, konsultasi yang tidak efektif,
kurangnya komunikasi dan kebijaksanaan kantor. Selain itu seringkali
pemilihan dan penempatan pekerja pada posisi yang tidak tepat juga dapat
menyebabkan stres.
6) Faktor di Luar Pekerjaan
Faktor kepribadian seseorang (ekstrovert atau introvert) juga dapat
menyebabkan stres. Perselisihan antar anggota keluarga, lingkungan
18
yang kemungkinan besar masih akan terbawa dalam lingkungan kerja.
Menurut Greenberg (2002) faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja
meliputi kombinasi dari :
1) Faktor Pekerjaan yang Bersumber Pada Pekerjaan, terdiri dari :
a) Sumber intrinsik pekerjaan termasuk tuntutan fisik meliputi bising,
vibrasi, higiene. Sedangkan tuntutan tugas mencakup kerja
shift/kerja malam, beban kerja, kondisi kerja yang sedikit
menggunakan aktivitas fisik, waktu kerja yang menekan, dan
resiko pekerjaan yang berbahaya.
b) Peran dalam organisasi. Peran yang merupakan pembangkit stres,
meliputi peran yang ambigu, konflik peran, tanggung jawab
kepada orang lain, konflik batasan reorganisasi baik secara internal
maupun eksternal.
c) Perkembangan karir, terdiri dari promosi ke jenjang yang lebih
tinggi atau penurunan tingkat, tingkat keamanan kerja yang
kurang, ambisi perkembangan karir yang terhambat.
d) Hubungan interpersonal di tempat kerja. Meliputi kurangnya
hubungan interpersonal dengan pimpinan, tim kerja (dokter, rekan
sekerja, pasien dan keluarganya) atau dengan bawahan serta
kesulitan mendelegasikan tanggungjawab.
e) Pengawasan atasan. Kurangnya pengawasan dari supervisor,
kepala ruangan atau pengawasan dari managemen keperawatan
yang lebih tinggi dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya
19
2) Faktor Stres Kerja yang Bersumber pada Individu
Diantaranya adalah tingkat kecemasan, toleransi terhadap hal yang
ambigu/ketidakjelasan, pola tingkah laku tipe A.
3) Faktor Stres Kerja yang Bersumber pada Individu di Luar Organisasi
Mencakup segala unsur kehidupan yang dapat berinteraksi dengan
peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja dalam suatu oraganisasi sehingga
memberi tekanan pada individu seperti masalah keluarga, kesulitan
finansial, peristiwa krisis dalam hidup.
2.3.3. Stres Perawat Psikiatri
Perawat dalam melaksanakan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan,
selalu berhubungan langsung dengan pasien dengan berbagai macam keluhan, jenis
penyakit, karakter, budaya, latar belakang pendidikan dan sosial ekonomi yang
berbeda-beda sehingga dapat menyebabkan stres bagi perawat.
Beberapa studi meneliti bahwa stres perawat berbeda menurut sub
spesialisasinya, dan beberapa studi menggunakan instrumen penilaian stres (stres
assessmentinstrumen) yang valid digunakan pada perawat umum namun tidak valid
digunakan pada perawat psikiatri (Konstantinos & Christina, 2008). Menurut
penelitian Konstantinos & Christina, (2008), faktor penyebab stres kerja perawat
psikiatri adalah karakteristik negatif pasien, hubungan interpersonal baik dengan
atasan, dokter, maupun sesama perawat dan manajemen organisasi. Pasien dengan
resiko kekerasan merupakan penyebab stres yang paling sering pada perawat
psikiatri, pasien dapat bertindak agresif, mengancam atau bertindak kejam, serta
20
lain atau menimbulkan kerusakan harta benda selain itu kurangnya dukungan dari
manajemen juga merupakan sumber stres bagi perawat psikiatri.
Dawson, dkk (2005) juga yang mengungkapkan bahwa kekerasan merupakan
masalah yang sering terjadi diruang perawatan psikiatri akut dan intensif. Perawat
beresiko mengalami perilaku kekerasan yang dilakukan pasien baik berupa kekerasan
verbal, fisik dan pasif. Kekerasan verbal yang dialami dapat berupa ancaman, kata – kata kasar, ejekan, hinaan ataupun makian, secara fisik berupa penyerangan dan
pemukulan, dan secara pasif seperti menolak minum obat, makan dan minum.
Dalam jurnal tentang tingkat stres perawat psikiatri (Yada, dkk, 2011)
disebutkan bahwa penyebab stres pada perawat psikiatri adalah kemampuan
interpersonal perawat, sikap pasien, sikap atasan, kolaborasi/komunikasi. Perilaku
kekerasan dari pasien merupakan penyebab stres paling sering bagi perawat psikiatri.
Penelitian yang dilakukan Ulfah (2011) yang berjudul tingkat stres kerja pada
perawat di unit rawat inap Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara Tahun
2011 menunjukan bahwa didapati perawat dengan tidak ada stres kerja ada 18,8%,
perawat dengan stres kerja ringan ada 64, 1 % dan perawat dengan stres sedang ada
17, 1 %. Faktor-faktor penyebab stres kerja diantaranya jenis kelamin, usia, masa
kerja, beban kerja dan jumlah pasien dirawat perminggu
Penelitian Ratnaningrum (2012) mengenai tingkat stres perawat di ruang
psikiatri akut Rumah Sakit DR.H.Marzoeki Mahdi Bogor menyatakan bahwa 20 dari
30 perawat mengalami stres rendah dan sisanya mengalami stres sedang.
Faktor-faktor yang menyebabkan stres perawat adalah masalah dalam merawat pasien,
hubungan interpersonal, peran atasan, masalah dengan keluarga pasien dan masalah
21
Menurut penelitian yang dilakuakan Aiska (2014) mengenai faktor-faktor
yang berpengaruh pada tingkat stres kerja perawat di RS Jiwa Grhasia Yogyakarta
menunjukan rata-rata perawat mengalami stres kerja sedang sebanyak 63 orang (60,0
%) dan 40 % adalah stres ringan, dan faktor yang berpengaruh signifikan pada
tingkat stres kerja adalah faktor umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan
terakhir, masa kerja, dan beban kerja.
Berdasarkan beberapa penelitian diatas peneliti menyimpulkan bahwa
penyebab stres pada perawat di ruang psikiatri disebabkan karena beban kerja, resiko
pekerjaan (resiko kekerasan dari pasien), lingkungan kerja, hubungan interpersonal
baik dengan rekan kerja, atasan, dan kolega serta dikaitkan dengan karakteristik
demografi individu. Berikut akan dijelaskan masing-masing faktor :
1) Karakteristik Individu
a) Umur
Potter & Perry (2005), membagi masa dewasa menjadi masa dewasa
menjadi masa dewasa awal (20 - 34 tahun), dewasa tengah (35 – 65 tahun) dan dewasa akhir (65 - 70 tahun sampai kematian). Usia 20 - 34 tahun
dikategorikan sebagai masa dewasa awal dan transisi dewasa tengah, dimana
pada usia dewasa awal seseorang mulai berpisah dengan keluarga, mulai
bekerja, masa transisi menjadi dewasa tengah ditandai lebih peduli dengan
perubahan yang berhubungan dengan reproduksi sehingga pada usia ini
biasanya seseorang telah menikah, bekerja dan memiliki anak.
Menurut teori yang dikemukakan Dessler (2004), usia produktif adalah
25- 30 tahun yang pada usia ini seseorang sedang memilih pekerjaan yang
sesuai dengan karir individu tersebut dan puncak karir dicapai pada usia 40
22
masalah perkawinan, pekerjaan dan pengasuhan anak. Umur berhubungan
dengan tingkat pemahaman seseorang terhadap pemikiran yang matang.
Pekerja dengan umur lebih tua akan semakin mampu menunjukan
kematangan jiwa, dalam arti semakin bijaksana, semakin mampu berpikir
rasional, semakin mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap
pandangan dan perilaku yang berbeda darinya dan semakin dapat
menunjukan kematangan intelektual dan psikologinya.
Handoko (2014) juga menyatakan bahwa semakin tua umur karyawan,
maka kepuasan kerjanya akan semakin tinggi. Karyawan yang memperoleh
kepuasan kerja akan mencapai kematangan psikologis dan menurunkan
resiko terjadinya stres kerja. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian
Russeng, dkk (2007) menunjukan bahwa stres pada perawat yang berumur
dibawah 40 tahun lebih banyak mengalami stres daripada perawat yang
berumur ditas 40 tahun.
Penelitian Aiska (2014) menyatakan terdapat hubungan antara usia dan
stres kerja pada perawat dimana responden yang berusia 30-40 tahun lebih
rentan mengalami stres kerja.
b) Jenis Kelamin
Menurut Brizendine (2007) keadaan hormonal antara laki-laki dan
perempuan merupakan salah satu hal penting dalam penyesuaian diri pada
kondisi fisik dan psikis. Hormon testosteron dan progesteron diduga
mempengaruhi peningkatan agresifitas sehingga laki-laki cenderung stabil
ketika beraktivitas, sedangkan hormon estrogen diduga mempengaruhi psikis
dan perasaan perempuan pada kondisi tertentu. Kondisi tertentu ini akan
23
permasalahan yang dihadapi. Hal ini mempengaruhi kecenderungan stres
perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Menurut Russeng, dkk (2007) faktor individu jenis kelamin
menunjukan bahwa kecenderungan perempuan untuk mengalami stres kerja
lebih besar dari laki-laki. Tuntutan peran ganda umumnya dialami
perempuan yang melibatkan diri dalam lingkungan organisasi, yaitu
sebagai wanita karir dan ibu rumah tangga sehingga lebih rentan
mengalami stres. Tuntutan pekerjaan, rumah tangga dan ekonomi
berpotensi menyebabkan wanita karir rentan mengalami stres
(Anitawidanti, 2010).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aiska (2014) yang menunjukan
perawat perempuan memiliki tingkat stres lebih tinggi daripada perawat
laki-laki.
c) Masa Kerja
Cooper dalam Munandar (2014) yang mengatakan bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah masa kerja, baik masa kerja
yang sebentar ataupun lama dapat menjadi pemicu terjadinya stres dan
diperberat dengan adanya beban kerja yang besar.
Pekerja yang bekerja <5 tahun dapat mengalami stres kerja karena
belum bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada. Selain itu
minimnya pengalaman dan menghadapi berbagai masalah pasien serta
ditambah dengan beban kerja yang besar maka mengakibatkan mereka
mengalami stres kerja. Sedangkan pekerja yang telah bekerja diatas 5 tahun
24
bekerja. Sehingga dengan adanya tingkat kejenuhan tersebut dapat
menyebabkan stres dalam bekerja (Munandar, 2014).
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Gobel, dkk (2014) yang
menyatakan tidak ada hubungan antara masa kerja dengan stres kerja
perawat.
d) Tingkat Pendidikan
Dilihat dari faktor tingkat pendidikan, orang-orang dengan tingkat
pendidikan lebih tinggi mendapat jenjang karir yang lebih tinggi pula dan
cenderung lebih mendapat kepuasan kerja. Mereka bisa memperoleh
kompensasi lebih baik, kondisi kerja lebih nyaman, dan pekerjaan-pekerjaan
mereka memungkinkan penggunaan segala kemampuan yang mereka punyai.
Karyawan yang terampil cenderung memperoleh kepuasan kerja lebih besar
sehingga resiko mengalami stres akan lebih rendah. (Handoko, 2014).
Dalam penelitian Aiska (2014) perawat tingkat pendidikan D3 memiliki
tingkat stres yang lebih tinggi daripada yang berpendidikan S1. Perawat
dengan tingkat pendidikan diploma lebih mudah terpapar stres dibandingkan
perawat yang pendidikannya lebih tinggi (Golubic, dkk, 2009).
e) Status Pernikahan
Pekerja yang telah berstatus menikah terutama yang berjenis kelamin
perempuan akan memiliki peran ganda yaitu dalam pekerjaannya dan rumah
tangga. Sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki akan memiliki beban dan
kewajiban yang lebih besar bila telah berkeluarga sehingga laki-laki dituntut
untuk bekerja lebih keras sehingga kecenderungan terjadinya stres semakin
25
satu pencetus stres adalah masalah dalam keluarga yang kemungkinan besar
akan terbawa ke lingkungan kerja.
Hal ini sesuai dengan penelitian Aiska (2014) yang menunjukan
perawat dengan status menikah memiliki tingkat stres lebih tinggi dibanding
yang belum menikah.
2) Faktor Intrinsik Pekerjaan
a) Beban Kerja
Secara umum beban kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang
mempengaruhi tingkat emosi pekerja, kuantitas pekerjaan, tanggungjawab
terhadap pekerjaan, pelimpahan tugas, waktu kerja dan irama kerja. Apabila
tidak ada tekanan atau ketegangan yang berlebihan baik secara fisik maupun
mental, maka tingkat intensitas pembebanan kerja optimum dapat dicapai.
Pembebanan kerja berlebih dapat memicu terjadinya stres kerja (Tarwaka,
2010).
NIOSH (2008) menyatakan bahwa beban kerja merupakan salah satu
tuntutan tugas yang menjadi stresor dalam pekerjaan. Pekerja yang
mendapatkan porsi pekerjaan terlalu sedikit atau ringan, dibandingkan
pekerja lain akan menyebabkan pekerja tersebut kurang memiliki tantangan
terhadap kemampuannya, maupun terhadap kepuasan dalam menyelesaikan
pekerjaan. Sebaliknya pekerja dengan beban kerja yang berlebihan baik dari
segi aspek jumlah atau tingkat kesulitan dalam pekerjaan tersebut akan
membebani kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan (Munandar,
26
yang bersifat fisik (misalnya kuantitas pekerjaan) maupun mental yang lebih
menitikberatkan pada pekerjaan otak dan ketrampilan yang dimiliki serta
irama pekerjaan. (Tarwaka, 2010).
Munandar (2014) juga menyebutkan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi stres kerja adalah beban kerja. Dimana semakin berat beban
kerja sehingga melampaui kapasitas kerja akan menurunkan efisiensi dan
produktivitas kerja bahkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pekerja.
(Tarwaka, 2010).
Hal ini sejalan dengan penelitian Aiska (2014) menunjukan adanya
hubungan yang signifikan antara beban kerja dengan stres kerja perawat,
dimana semakin berat beban kerjanya maka stres kerja yang dialami semakin
meningkat.
b) Resiko Pekerjaan
Tarwaka (2010) menyebutkan bahwa pekerjaan yang beresiko tinggi
dan berbahaya merupakan salah satu faktor penyebab stres kerja. Perawat
jiwa beresiko mengalami perilaku kekerasan yang dilakukan pasien baik
berupa kekerasan verbal, fisik dan pasif. Kekerasan verbal yang dialami dapat
berupa ancaman, kata – kata kasar, ejekan, hinaan ataupun makian, secara fisik berupa penyerangan dan pemukulan, dan secara pasif seperti menolak
minum obat, makan dan minum. Hal ini menjadi salah satu penyebab stres
paling sering pada perawat psikiatri (Dawson, dkk, 2005).
Dawkins, et all , 1985 yang melakukan penelitian pada rumah sakit
jiwa, yang dikutip Konstantinos dan Christina (2008) menyatakan bahwa
ancaman kekerasan secara fisik merupakan situasi yang very stressfull bagi
27
serta melakukan perilaku yang dapat menimbulkan cedera fisik atau
psikologis pada orang lain atau menimbulkan kerusakan harta benda.
Dalam jurnal tentang tingkat stres perawat psikiatri (Yada, dkk, 2011)
disebutkan bahwa penyebab stres pada perawat psikiatri adalah kemampuan
interpersonal perawat, sikap pasien, sikap atasan, kolaborasi/komunikasi.
Perilaku kekerasan dari pasien merupakan penyebab stres paling sering bagi
perawat psikiatri.
Hal ini sejalan dengan penelitian Ratnaningrum (2012) yang
menyatakan salah satu faktor yang menyebabkan stres kerja perawat adalah
masalah dalam merawat pasien karena mengalami resiko kekerasan.
c) Lingkungan Pekerjaan
Kondisi lingkungan kerja berpengaruh terhadap kenyamanan
seseorang dalam menjalankan pekerjaannya misalnya suhu udara,
kebisingan, kelengkapan fasilitas penunjang, karena beberapa orang
sangat sensitif terhadap kondisi lingkungannya. Kondisi lingkungan yang
kondusif dapat meningkatkan motivasi kerja dan menurunkan potensi
stres kerja (Tarwaka, 2010 dan Widyastuti, 2004)
Hal ini sesuai dengan penelitian Siringoringo (2014) yang menyatakan
perawat yang memiliki suasana lingkungan kerja yang tidak menunjang
cenderung mengalami stres kerja yang lebih berat.
3) Faktor Ekstrinsik Pekerjaan
a) Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal yang buruk merupakan salah satu penyebab
terjadinya stres kerja pada perawat (NIOSH, 2008). Hubungan interpersonal
28
dengan keluarga pasien dapat memicu timbulnya stres perawat, dan
sebaliknya hubungan yang baik antara ketiganya merupakan faktor
dukungan bagi perawat untuk melaksanakan tugas pelayanan dengan baik.
Penelitian Konstantinos dan Christina (2008) mengungkapkan bahwa
berbagai faktor yang mempengaruhi stres dan kepuasan kerja perawat
kesehatan mental diantaranya adalah kepemimpinan klinis, kualitas hubungan
antarprofesional, serta kolaborasi antara perawat dan dokter.
Dalam hubungan interpersonal komunikasi memiliki peranan yang
sangat penting. Komunikasi menjembatani interaksi antar individu. Interaksi
antar individu selalu melibatkan harapan-harapan dari tiap individu tersebut.
Melalui proses komunikasilah harapan tersebut disampaikan. Ide atau
gagasan tiap orang disampaikan juga melalui komunikasi. Komunikasi yang
baik akan mempermudah memahami harapan dan keinginan orang lain yang
pada akhirnya akan mencegah terjadinya kesalahpahaman dan konflik.
(Russeng, 2007)
b) Pengawasan Atasan
Dalam lingkungan kerja atasan sangat berperan dalam menciptakan
suasana di lingkungan pekerjaan. Atasan yang baik akan menciptakan
suasana yang kondusif sehingga staf dapat bekerja dengan optimal. Dalam
konteks organisasi ruang perawatan, kepala ruangan adalah manajer tingkat
pertama yang bertanggung jawab atas pencapaian tujuan yang ditetapkan
dalam suatu ruang rawat dengan memberdayakan staf perawat dibawah
tanggung jawabnya. Salah satu tugas manajerial kepala ruangan adalah
29
kesulitan dalam melaksanakan tugasnya sehingga kesulitan dalam
pelaksanaan tugas dapat diminimalkan (Nursalam, 2011).
National Institute for Occupational Safety & Health menyebutkan
bahwa kurangnya kontrol dalam tugas (supervise) dari atasan (khususnya
pengawasan dari supervisor, kepala ruangan atau pengawasan dari
manajemen keperawatan yang lebih tinggi) dapat menjadi salah satu
penyebab dan memicu terjadinya stres kerja bagi perawat (NIOSH, 2008).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Konstantinos dan
Christina (2008) yang menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi stres
dan kepuasan kerja perawat kesehatan mental di antaranya adalah
kepemimpinan klinis, yaitu kurangnya dukungan dari supervisor baik dalam
sikap maupun keterlibatan dalam perawatan pasien. Kurangnya reinforcement
atau support pada staf juga merupakan masalah dalam kepemimpinan klinis
ini yang dapat berakibat stres.
2.2.4. Dampak Stres Kerja
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun
perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya
gairah kerja, kecemasan tinggi, frustasi dan sebagainya (Rice, 1999 dalam Waluyo,
2015).
Terry Beehr dan John Newman dalam Rice (1999) dalam Waluyo (2015)
menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu :
1) Gejala Psikologis
Kecemasan, ketegangan, kebingungan, dan mudah tersinggung, perasaan
30
memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi, komunikasi yang tidak
efektif, perasaan terkucil dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan kerja,
kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual dan kehilangan konsentrasi,
kehilangan spontanitas dan kreativitas, menurunnya rasa percaya diri.
2) Gejala Fisiologis
Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan
mengalami penyakit kardiovaskular, meningkatnya sekresi dari hormon stres
(contoh : adrenalin dan nonadrenalin), gangguan gastrointestinal (misalnya
gangguan lambung), meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan,
kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang
kronis (chronic fatigue syndrome), gangguan pernapasan, gangguan pada
kulit, sakit kepala, berkeringat, sakit pada punggung bagian bawah,
ketegangan otot, rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk resiko tinggi
kemungkinan terkena kanker.
3) Gejala Perilaku
Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan, menurunnya
prestasi (performance) dan produktivitas, kesulitan memberi ide yang kreatif
dan inovatif, meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan,
perilaku sabotase dalam pekerjaan, gangguan tidur, perilaku makan yang
tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan mengarah ke obesitas,
perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan
diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi
dengan tanda-tanda depresi, meningkatnya kecenderungan berperilaku
beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi,
31
hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman, kecenderungan untuk
melakukan bunuh diri.
Bagi perusahaan konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah
meningkatnya absensi, menurunnya tingkat produktivitas dan secara psikologis dapat
menurunkan komitmen organisasi hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993;
Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993 dalam Waluyo, 2015)
Tidak dapat disangkal bahwa stres yang tidak teratasi pasti berpengaruh
terhadap prestasi kerja. Kemampuan mengatasi stres yang dihadapi tidak sama pada
semua orang. Ada orang yang memiliki daya tahan yang tinggi menghadapi stres dan
oleh karenanya mampu mengatasi sendiri stres tersebut. Sebaliknya tidak sedikit
orang yang daya tahan dan kemampuannya menghadapi stres rendah. Stres yang
tidak teratasi dapat berakibat pada apa yang dikenal dengan burnout, yaitu suatu
kondisi mental dan emosional serta kelelahan fisik karena stres yang berlanjut dan
tidak teratasi yang akan berdampak negatif pada prestasi kerja (Siagian, 2015). Stres
mempunyai potensi untuk mendorong atau mengganggu pelaksanaan kerja,
tergantung seberapa besar tingkat stres. Bila tidak ada stres, tantangan kerja juga
tidak ada dan prestasi kerja cenderung menurun tetapi bila stres menjadi terlalu besar
dapat mengganggu pelaksanaan pekerjaan sehingga prestasi kerja akan menurun
(Handoko, 2014).
Perawat yang mengalami stres akan mengalami konflik dalam dirinya,
ketidakmampuannya dalam mengatasi masalah itu bisa digambarkan dengan bolos
dari pekerjaan atau mangkir dan mengambil cuti secara mendadak. Kekerasan dan
pelecehan yang diarahkan pada perawat dari pasien dapat menyebabkan cedera fisik,
32
yang buruk, penurunan kepuasan kerja dan penghindaran terhadap pasien
(Konstantinos dan Christina, 2008).
Dampak dari perawat yang mengalami stres adalah tidak masuk kerja,
mengambil cuti yang tidak direncanakan yang hasil akhirnya akan meningkatkan
biaya kesehatan, penurunan produktivitas, penurunan semangat kerja dan penurunan
kualitas perawat pasien. Begitu besar dampak yang ditimbulkan dari stres yang
dialami oleh perawat melalui dari dampak terhadap individu yang dapat
mengakibatkan munculnya penyakit akibat stres, kerugian pada instansi tempat
bekerja, dan bagi konsumen yang dalam hal ini adalah pasien, sehingga akan lebih
baik mencegah atau mengurangi resiko terjadinya stres akibat kerja sehingga perawat
akan mempunyai kehidupan yang lebih sehat, instansi akan memperoleh
produktivitas kerja yang optimal dan pasien konsumen mendapatkan pelayanan yang
berkualitas.
2.2.5. Pengukuran Stres Kerja
Ivancevich, J.M dan Ganster, D.C (2014) mengemukakan beberapa teknik
pengukuran stres yang digolongkan sebagai berikut :
1) Self Report Measure
Mengukur stres kerja dengan menanyakan melalui kuesienor tentang
intensitas pengalaman psikologi, fisiologi dan perubahan fisik yang dialami
dalam peristiwa kehidupan seseorang (live event scale). Hal ini dapat
dilakukan dengan menanyakan seberapa sering individu mengalami situasi
yang menyebabkan stres dan apa yang dirasakannya ketika mengalami
33
2) Performance Measure
Mengukur stres kerja dengan melihat atau mengobservasi perubahan
perilaku yang ditampilkan seseorang, misalnya perubahan prestasi kerja yang
menurun yang tampak dengan gejala cenderung berbuat salah, cepat lupa,
kurang perhatia terhadap detail dan meningkatkan waktu relaksasi.
3) Physiological Measure
Melihat perubahan yang terjadi pada fisik seperti tekanan darah,
ketegangan otot, bahu, leher pundak dan sebagainnya cara ini dianggap yang
paling tinggi reliabilitasnya namun kelemahannya adalah tergantung pada alat
ukur yang dipakai.
4) Biochemical Measure
Pengukuran stres dengan melihat respon biokimia melalui perubahan
hormon katakolamin dan kortikostreroid setelah pemberian stimulasi. Cara ini
dianggap mempunyai reliabilitas yang paling tinggi, namun kelemahan
adalah jika responden adalah perokok, minum alkohol dan kopi, karena akan
meningkatkan kedua hormon tersebut.
2.3. Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan kerangka teori yang diadaptasi dan
dikembangkan dari berbagai teori mengenai stres kerja. Di tempat kerja terdapat
berbagai faktor penyebab stres kerja yang dibedakan mejadi faktor instrinsik,
ekstrinsik dan individu. Ketika terjadi stres kerja maka akan memperlihatkan
beberapa gejala stres yakni gejala fisik, emosi dan perilaku. Stres yang diakibatkan
oleh pekerjaan dapat diukur menggunakan instrument pengukuran stres kerja yang
34
biochemical measure sehingga dapat melihat tingkat stres kerja yang dialami yakni
stres ringan, stres sedang, stres berat.
(Sumber : diadaptasi dari Tarwaka (2010),Perry &Potter (2005),Greenberg (2002),
Ivancevich, J.M dan Ganster,D.C (2014),Waluyo (2015),NIOSH (2008) “telah diolah kembali”)
Gambar 2.1. Kerangka Teori Faktor intrinsik pekerjaan
Keadaan lingkungan kerja
Beban kerja & rutinitas kerja
Resiko pekerjaan
d. Faktor struktur organisasi dan suasana
35
2.4. Gambaran Tingkat Stres Kerja Perawat dari Berbagai Penelitian
Penelitian tentang tingkat stres kerja perawat IGD dan ruang rawat inap di
RSJ Provinsi Bali belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian yang
berhubungan yang dapat menunjang penelitian ini antara lain penelitian yang
dilakukan Aiska (2014) yang berjudul “Analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada
tingkat stres kerja perawat di RS Jiwa Grhasia Yogyakarta”. Sampel yang diambil
adalah perawat pelaksana dengan menggunakan rancangan crosssectional, analisis
data univariat dan bivariat. Hasilnya adalah sebanyak 60 % perawat mengalami stres
sedang dan faktor yang paling berpengaruh terhadap stres perawat adalah beban
kerja.
Penelitian Ratnaningrum (2012) yang berjudul “Tingkat stres pada perawat di ruang psikiatri akut Rumah Sakit DR.H.Marzoeki Mahdi Bogor. Sampel penelitian
ini adalah perawat pelaksana di ruang psikiatri akut dengan menggunakan rancangan
deskriptif crossectional. Hasilnya adalah perawat mengalami stres kerja yang rendah
sebanyak 66,6 % dan digambarkan tingkat stres perawat berdasarkan faktor
penyebab stres yang berasal dari aktivitas merawat pasien, hubungan interpersonal,
masalah dengan keluarga pasien, pengawsan atasan dan peran organisasi.
Penelitian Muthmainah (2012) yang berjudul “Faktor-faktor penyebab stres
kerja di ruangan ICU pelayanan jantung terpadu Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta”.
Sampel penelitian ini adalah perawat pelaksana di ruangan ICU pelayanan jantung
terpadu dengan menggunakan rancangan deskriptif crosssectional. Hasilnya adalah
perawat yang mengalami stres kerja ringan sebanyak 60,7% dan yang mengalami
stres kerja sedang sebanyak 39,3 %. Hasilnya juga menggambarkan faktor-faktor
penyebab stres kerja yang berasal dari intrinsik pekerjaan (Beban kerja, rutinitas