DALAM MASA PACARAN
Anna Sukma Dewi Widowati
ABSTRAK
Komunikasi yang efektif dalam keluarga merupakan hal yang penting. Melalui komunikasi yang efektif, orang tua dapat memperkenalkan nilai dan norma yang ada di masyarakat, serta memantau keseharian remaja. Dengan remaja mengenal nilai dan norma yang berlaku di masyarakat sebelum remaja masuk ke lingkup sosial yang luas, sehingga perilaku remaja dalam bersosial sejalan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja menuntut orang tua dan remaja untuk menciptakan relasi yang hangat dan terbuka. Hal ini meminimalisir kecenderungan remaja untuk melakukan hubungan seksual dengan pacarnya dengan alasan takut kehilangan sosok pemberi perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja, pada remaja yang melakukan seksual berisiko dalam masa berpacaran. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Tiga remaja perempuan menjadi informan dalam penelitian tentang efektivitas komunikasi ini. Gambaran komunikasi yang kurang efektif muncul dalam penelitian ini dan menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi remaja melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Kendati demikian, tidak terciptanya komunikasi yang efektif dengan orang tua, yang kemudian dikaitkan dengan rasa tidak diperhatikan orang tua, bukanlah satu-satunya alasan remaja mau melakukan hubungan seksual dengan pacar.
Anna Sukma Dewi Widowati
ABSTRACT
Effective communication within the family is important. Through effective communication, parents can introduce the values and norms that exist in society, as well as the daily monitoring of teenagers. With teenagers recognize the value and norms in society before teens go into extensive social sphere, so that the behavior of adolescents in sociality in line with the values and norms prevailing in society. Effective communication between parents and adolescents demand parents and teens to create a warm and open relationship. This minimizes the tendency of teenagers to have sexual intercourse with his girlfriend by reason of fear of losing the figure of caregivers. This study aims to describe the effective communication between parents and teenagers, the teenagers who perform risky sexual in courtship. This research is a descriptive study Qualitative approach. Data collection methods used in this study was interviews. Three teenage girls become informants in research on the effectiveness of this communication. Picture appears less effective communication in this study and become one of the underlying things teenagers have sexual intercourse with her boyfriend. Nevertheless, not the creation of effective communication with parents, who then associated with a sense of not considered a parent, is not the only reason teens want to have sex with a boyfriend.
i
KOMUNIKASI EFEKTIF ORANG TUA DAN REMAJA PADA REMAJA YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL BERISIKO DALAM MASA
BERPACARAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Anna Sukma Dewi Widowati 109114098
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
5 y\i : rl+r J }\ i':+u1-'uri:.,Bul
_+ffi
7 .lllI
6ulqiiiOrAoi
boi,l't r(}t, I y\.1i\ I}?,tropl .14 {^r3fi uurxnq euu}"
:q3io
NY}{Y}YdXES YSY[,{ I4iYTH{I $XISII{3g
'iY ii SH ES 11 XY'Titi 3d NY,}{ilXl-T3Hi I)NYA YrYfi[sH Ydlk'd
Y{'Yl^[fU N'V-€ Y1l J. 3 lrrYUO -{UXAd tr ISYXT},i itrI,{iO>I
f- ItaraTrl rtdl(l-4!
iiii{l nir{i iff Jd uzn [m;as:;16 rr fi {teir:Ftr
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
'C 'rr'
JI Pl]lA\J_'+_ - I
il4€.raf
'ls-hr,r i llit!-"ri.'1 1'r:iil ;E}|Er,, .Ulp irurr
g 1g; ;:quqde5 97 leE8uvt tp,:r ttt:fiue6 Billur'(! r"dlp rp ueli*srlrij::;ip ,n,ra
S6{i?i i60r : }liiN Ils^lapliu L11eS elx}!1s ?&uY
,,*^,.'..-.I--,^.,- J,
.-. rldlL, silitltp uufr uL;_tl\rLrlJ+Ltiti
idv?ft'3v{iuEg
ys}Tt
I,ri}-TrGoxlsrt{afl
llViiSi{ 3S i }-YY
ltt{'dd
NY}L{t}tY ? 3W 3i\r V .{ Yf YITAX Y QYd Yi'YI4iAii niYfiYrli
'JhiYt{O.{Il,Hitl3
IS}'}{I}.i|11{$XTSdI €I.'TS
...,,.-,.*q..-, .,-,..,.,-". trr, t{ rirdrruu(l utuGlbll rlhfrua4 et]1riu,i r"rilUngIl\
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
I am love.
I am generation of love.
I don’t hate.
I don’t gloat over my brother
in the day of his misfortune.
I don’t take pleasure
in seeing people’s trouble.
I am generation of love.
I love.
I forgive.
Hatred is my enemy.
Love is my bullet.
I will change the world
and the change starts within me.
v
Dengan penuh syukur,
skripsi ini ku persembahkan untuk :
Tuhan Yesus yang tidak pernah meninggalkanku sendiri,
Bapak Ibuku
–
Petrus Gunawan Sudarsono dan Maria Kunarti
Widowati
–
yang begitu menyayangiku,
kedua saudaraku
–
Mas Agni dan Yanny
–
yang berisik,
“honey”
dan thumb-thumbers yang selalu memberikan sejuta warna
di hidupku,
vi
KOMUNIKASI EFEKTIF ORANG TUA DAN REMAJA PADA REMAJA YANG MELAKUKAN SEKSUAL BERISIKO
DALAM MASA PACARAN
Anna Sukma Dewi Widowati
ABSTRAK
Komunikasi yang efektif dalam keluarga merupakan hal yang penting. Melalui komunikasi yang efektif, orang tua dapat memperkenalkan nilai dan norma yang ada di masyarakat, serta memantau keseharian remaja. Dengan remaja mengenal nilai dan norma yang berlaku di masyarakat sebelum remaja masuk ke lingkup sosial yang luas, sehingga perilaku remaja dalam bersosial sejalan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja menuntut orang tua dan remaja untuk menciptakan relasi yang hangat dan terbuka. Hal ini meminimalisir kecenderungan remaja untuk melakukan hubungan seksual dengan pacarnya dengan alasan takut kehilangan sosok pemberi perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja, pada remaja yang melakukan seksual berisiko dalam masa berpacaran. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Tiga remaja perempuan menjadi informan dalam penelitian tentang efektivitas komunikasi ini. Gambaran komunikasi yang kurang efektif muncul dalam penelitian ini dan menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi remaja melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Kendati demikian, tidak terciptanya komunikasi yang efektif dengan orang tua, yang kemudian dikaitkan dengan rasa tidak diperhatikan orang tua, bukanlah satu-satunya alasan remaja mau melakukan hubungan seksual dengan pacar.
vii
EFFECTIVE COMMUNICATION BETWEEN PARENTS AND TEENS ON ADOLESCENT RISK TAKING SEXUAL IN COURTSHIP
Anna Sukma Dewi Widowati
ABSTRACT
Effective communication within the family is important. Through effective communication, parents can introduce the values and norms that exist in society, as well as the daily monitoring of teenagers. With teenagers recognize the value and norms in society before teens go into extensive social sphere, so that the behavior of adolescents in sociality in line with the values and norms prevailing in society. Effective communication between parents and adolescents demand parents and teens to create a warm and open relationship. This minimizes the tendency of teenagers to have sexual intercourse with his girlfriend by reason of fear of losing the figure of caregivers. This study aims to describe the effective communication between parents and teenagers, the teenagers who perform risky sexual in courtship. This research is a descriptive study Qualitative approach. Data collection methods used in this study was interviews. Three teenage girls become informants in research on the effectiveness of this communication. Picture appears less effective communication in this study and become one of the underlying things teenagers have sexual intercourse with her boyfriend. Nevertheless, not the creation of effective communication with parents, who then associated with a sense of not considered a parent, is not the only reason teens want to have sex with a boyfriend.
( pe.uop116 r,rag eu{ns euu11 )
ualepfueru Suea
Sl0Z roquo^o5i g
:
1e33ue1epe6use1e,{Bon Ip 1enql6l
'e,(ureueqes ue?uep lung e.{es SueX rur ueep,(ured uerlrtueq
'srlnusd re8eqss e,(es erueu uelurnlr.moueru delol €tuelos e(es epedeq 4p,io.r ue{ueqtueu undneur e,{es uep wft elutraern nyed edrnl slruope>fe
uu8urluadal Inlun ulel €rpeu nsl€ lo{uelul rp e,,(uuelrse4lqndueru uep 'seleqJol
€"mces uu{rsnqrJ$rpusur oulep uulu>18ued {nlueq ruulep e,{uelole8usru ourel erpau Inlueq
lu€lsp ue>lrlryeSueu 'uedul(ueru {nlun I"q utuJur{C E1eues su}rsJelrun uee1e1snfue6
epedel uelrraquou e,(es uerlrurap ue8ueg '(epu elrq) uelnlradrp Suef plSuu;od egasaq
uereced;ag BSEtrN tuelep
olrsrrog IensIeS nl€lrJed ue{n>plol 8ue,( eleureg eped
uleureS uep €nJ Suerg;41e39 rst>lrunruo)
; Jnpnlreq 8ue,{ e,(es qsFilll etrc4ewrcq(l elBuBS selrsrelrufl
uee>1e1sndre6 upedel ueltJeqr.uetu e.(es 'uenqela8ued nru[! ue8uequre8ued lueq 860f tt60
l,:
e,rY\srs€qelNrotuoNIle^\opl1y\ I.&eC BUI{nS BuuY :
: euufl{c e}euBs selsrsArun efirsrsuqerrr Bfes
!4
rle1t{eq ry uu8uel epwuoq EueaSIIAIf,(rY)IY NYCNIJNtrdtr)I XOJ,NN HYIIAIAI YTUYX ISYXIaANd
NYO f NI gSUtrd NVYIYANUf,d
UYg'{f'I
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus atas berkat
penyertaan yang tidak pernah berhenti mengalir, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skipsi ini. Proses penulisan skripsi ini memberikan banyak
pembelajaran bagi penulis dan akan menjadi awal kehidupan penulis yang
sesungguhnya.
Tidak lupa penulis menghaturkan terima kasih yang tak terhingga,
teristimewa untuk :
1. Ibu Lusia Pratidarmanastiti, M. Si. atas kalimat “Jangan menyerah, ya. Tetep semangat.” yang disampaikan pada awal proses penulisan skripsi, sehingga membuat penulis kembali setia pada proses penulisan skripsi ini.
Terima kasih juga untuk kesabaran dan banyak ilmu yang diberikan untuk
penulis.
2. Ibu Sylvia Carolina M. Y. M., M. Si. atas kesediaan meluangkan waktu dan memberikan berbagai masukan bagi penulis.
3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si. yang bersedia meluangkan waktu untuk membantu penulis menyempurnakan hasil penulisan skripsi penulis.
4. Bapak dan Ibuku – Petrus Gunawan Sudarsana dan Maria Kunarti Widowati – yang tidak pernah lelah mengiringi penulis dengan doa dan memberikan dukungan baik moril, maupun materiil. Terima kasih untuk
kesempatan mengenyam pendidikan hingga setinggi ini.
5. Kedua saudaraku –Mas Agni dan Yanny – yang turut serta menghebohkan kehidupan penulis.
6. Seseorang yang kusebut “honey” yang dengan penuh cinta selalu
menyemangati dan mendukung penulis untuk terus menjadi pribadi yang
lebih baik. Terima kasih karena selalu ada untuk penulis dan terus
mendorong penulis untuk tidak pernah berhenti belajar. Je t’aime pokoknya.
x
8. Para Thumb–Thumbers kesayangan – Lena, Mymy, Tyas, dan Yohana –
yang memperkenalkan penulis pada persahabatan yang sesungguhnya.
“Kalian, kesayanganku banget.”
9. Teman-teman yang memberikan warna cantik di hidup penulis.
10.Pak Andrea dan Bu Andrea yang selalu mendorong penulis untuk terus mengembangkan diri dan menjadi pribadi yang tangguh. Teman-teman
penulis di Gereja St. FX Kidul Loji Yogyakarta yang selalu mengingatkan
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi.
11.Orang-orang yang sangat perhatian pada penulis, yang dengan pertanyaan andalan
“Skripsi sudah selesai? Kapan wisuda?”
yang sukses membuat penulis bosan ditanya dan segera menyelesaikan
penulisan skripsi.
12.Semua pihak yang telah meramaikan kehidupan penulis dan membuat penulis terus belajar menjadi pribadi yang lebih dewasa.
Sungguh kehadiran Anda sekalian membuat hidup penulis menjadi semakin
Iluil\opl/[ I1v\oC etu{ns suuv
t'
osrlnuo4lr
gl0Z raquo^oN e 'uue1e,{3o1
'elepnd rugep uep uedrpl tuul"p ualinqesp qulal srlnlol eruces Eue,{ rlencel 'ure1 Suuro efrel uur8eq n€t€ e,fte1 tenuroru {?pl} uep r33ur1 uerunEta6
nluns rp ueeftesel .re1e8 qeloredursru Iniun urel Suero qelo uelnlerp quu.red
unleq rur srlnl e,(es Suef rsduls e,^ r.{Bq e,(uqnSSunses uu8uap ue1u1e,(ueu u,(ug
VAUYX NYIISYI)T NYYIYANUSd
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
ABSTRAK vi
ABSTRACT vii
PERNYATAAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI viii
KATA PENGANTAR ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA xi
DAFTAR ISI xii
DAFTAR SKEMA xv
DAFTAR TABEL xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 6
BAB II : LANDASAN TEORI 7
A. Remaja 7
B. Perilaku Seksual Berisiko dalam Masa Berpacaran 13
1. Definisi Perilaku Seksual Berisiko dalam Masa Berpacaran 13
2. Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Perilaku Seksual 14
Berisiko 3. Akibat Perilaku Seksual Berisiko 18
C. Komunikasi yang Efektif antara Orang Tua dan Remaja 19
1. Definisi Komunikasi yang Efektif antara Orang Tua dan Remaja 19
2. Jenis Komunikasi antara Orang Tua dan Remaja 22
3. Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi 23
xiii
4. Akibat Adanya Komunikasi yang Efektif antara Orang Tua 26
dan Remaja D. Efektivitas Komunikasi antara Orang Tua dan Remaja 28
pada Remaja yang Melakukan Perilaku Seksual Berisiko dalam Masa Berpacaran BAB III : METODOLOGI PENELITIAN 34
A. Jenis Penelitian 34
B. Batasan Istilah 34
C. Informan 35
D. Metode Pengumpulan Data 36
E. Analisis Data 37
F. Keabsahan Data Penelitian 39
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 42
A. Pelaksanaan Penelitian 37
B. Profil Informan 37
1. Deskripsi Informan 1 43
2. Deskripsi Informan 2 44
3. Deskripsi Informan 3 45
C. Hasil Penelitian 47
1. Informan 1 47
a. Relasi Berpacaran yang Dijalin 47
b. Efektivitas Komunikasi yang Dijaln dengan Orang Tua 51
2. Informan 2 56
a. Relasi Berpacaran yang Dijalin 56
b. Efektivitas Komunikasi yang Dijaln dengan Orang Tua 58
3. Informan 3 64
a. Relasi Berpacaran yang Dijalin 64
b. Efektivitas Komunikasi yang Dijaln dengan Orang Tua 68
4. Tema Utama Tiga Informan 74
xiv
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 81
A. Kesimpulan 81
B. Saran 81
DAFTAR PUSTAKA 83
xv
DAFTAR SKEMA
Skema 1 : Kerangka Berpikir 33
Skema 2 : Skema Utama Informan 1 55
Skema 3 : Skema Utama Informan 2 63
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Panduan Pertanyaan Wawancara 36
Tabel 2 : Koding Transkrip Verbatim Wawancara 39
Tabel 3 : Pelaksanaan Penelitian 42
Tabel 4 : Profil Informan 42
Tabel 5 : Tema Utama : Relasi Berpacaran yang Dijlain 74
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Verbatim Informan 1 88
Lampiran 2 : Verbatim Informan 2 99
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja memiliki arti khusus dalam perkembangan kepribadian
seseorang. Bukan hanya karena masa remaja memiliki tempat yang tidak jelas
dalam rangkaian proses perkembangan, akan tetapi juga karena remaja belum
mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya (Monks dan
Haditono, 2001). Masa remaja ini merupakan masa transisi atau peralihan.
Hal ini dikarenakan pada masa remaja ini belum diperoleh status orang
dewasa, tetapi tidak lagi memiliki status kanak-kanak. Masa peralihan ini
diperlukan untuk mempelajari remaja agar mampu memikul tanggung
jawabnya nanti dalam masa dewasa. Semakin maju masyarakat yang ada,
maka semakin sukar tugas remaja dalam mempelajari tanggung jawabnya
tersebut (Monks dan Haditono, 2001).
Pada masa remaja ini terjadi perubahan besar secara fisik, emosional,
intelektual, akademik, sosial, dan spiritual. Dalam masa ini mulai muncul
juga ketertarikan pada lawan jenis sebagai ciri khas kematangan psikologis
yang terjadi pada masa remaja. Ciri khas ini biasanya muncul dalam bentuk
ketertarikan untuk bergaul dengan lawan jenis hingga menjalin relasi lebih
intim berupa berpacaran dengan lawan jenis (Sofia, 2011).
Masa berpacaran menjadi proses positif untuk lebih mengenal
masa berpacaran, remaja dapat belajar untuk melakukan peran sesuai dengan
jenis kelaminnya, serta mengolah keterampilan-keterampilan sosial untuk
penyesuaian diri pada fase perkembangan berikutnya (Nurhidayah, 2008;
Wiendijarti, 2011). Akan tetapi, masa pacaran mulai mengalami pergeseran
makna. Masa berpacaran yang disertai perilaku seksual berisiko menjadi
semakin akrab di kalangan remaja (Wiendijarti, 2011; Sarwono, 2007).
Perilaku seksual berisiko pada masa berpacaran merupakan aktivitas
seksual (intercourse) pranikah yang berisiko menimbulkan kehamilan di usia
remaja, serta kemungkinan terjangkitnya penyakit menular seksual (Santrock,
2002). Perilaku seksual berisiko ini juga berdampak pada meningkatnya
kecenderungan pengguguran kandungan (aborsi), pernikahan di usia sangat
muda, hingga terhentinya proses pendidikan (Elliana, 2012).
Hal ini diperkuat Rose (1987) yang menyatakan bahwa tidak sedikit
remaja, khususnya remaja putri, mengalami pertentangan batin setelah
melakukan perilaku seksual berisiko. Banyak remaja putri yang kemudian
mengalami kebingungan karena sudah tidak perawan lagi. Kebingungan ini
dipicu oleh kecenderungan masyarakat yang menjadikan keperawanan
menjadi dasar dalam hubungan cinta. Kebingungan yang dialami remaja,
khususnya remaja perempuan ini, bahkan seringkali disertai adanya rasa
bersalah yang mendalam dan membenci diri sendiri, sehingga banyak remaja
perempuan tidak lagi menghargai dirinya serta cenderung tidak
Dalam penelitian yang dilakukan oleh seorang mahasiswa UNNES
(2009), 31 responden remaja dari 100 orang pernah melakukan hubungan
seksual dengan pasangannya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Badan
Kesehatan Keluarga Berencana Nasional (BKKN) pada tahun 2011
menyebutkan bahwa dari 663 responden laki-laki dan perempuan usia 15-25
tahun di Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali, sebanyak
69,6% atau 462 orang mengaku pernah melakukan hubungan seksual dan 6%
di antaranya adalah pelajar SMP dan SMA.
Semakin maraknya perilaku seksual berisiko yang dilakukan oleh
remaja pada masa berpacaran merupakan dampak dari tidak tercapainya
komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja (Prager, 1995). Keluarga
sebagai lingkungan primer menjadi tempat paling intensif dan awal bagi
individu untuk mengenal norma-norma dan nilai. Ini merupakan tahapan awal
sebelum individu mengenal nilai dan norma dari masyarakat umum (Deddy
Mulyana, 2001; Sarwono, 2007).
Nilai-nilai yang dianut orang tua akhirnya akan dianut pula oleh
remaja. Bahkan sifat negatif yang ada pada remaja tidak dapat dipungkiri
sebenarnya ada pula pada orang tuanya (Sarwono, 2007). Deddy Mulyana
(2001) dan Sarwono (2007) menambahkan bahwa norma dan nilai dalam
keluarga ini diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua
terhadap anak, salah satunya dalam proses komunikasi. Komunikasi yang
efektif dalam keluarga ini akan menjadikan seseorang tahu siapa dirinya dan
antara orang tua dan remaja menjadi hal yang perlu diperhatikan (Mulyana,
2001).
Tidak terciptanya komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja
akan tampak dari tidak adanya komunikasi yang aktif, yang di dalamnya
terdapat kejujuran, keterbukaan, pengertian, dan saling percaya, sehingga
hubungan menjadi dingin, kurang akrab, dan kurang menyenangkan
(Wahlroos, 1988; Gunarsa, 2002). Hal-hal yang dibicarakan cenderung tidak
jelas dan kurang spesifik, terutama dalam usaha untuk memecahkan masalah
(Olson, 1992). Bahkan isi dari pesan tidak mampu ditangkap dan diterima
secara cermat oleh orang tua dan remaja, sehingga isi dari komunikasi ini
tidak akan memberikan pengaruh terhadap pendapat, sikap, dan tindakan
(Gunarsa, 2002; Rakhmat, 2008). Komunikasi yang tidak efektif ini juga
tidak akan mampu menjembatani kesenjangan antargenerasi (Setiono, 2011).
Dengan adanya komunikasi yang efektif, manusia terbantu dalam
perkembangan intelektual dan sosialnya. Identitas atau jati diri juga terbentuk
karena adanya komunikasi dengan orang lain. Manusia dapat menguji
kebenaran kesan-kesan dan pemahaman yang dimiliki tentang dunia sekitar
melalui komunikasi (Johnson dalam Supratiknya, 1995). Bahkan kualitas
komunikasi yang dijalin akan berpengaruh pada kesehatan mental serta
kualitas hidup manusia (Johnson dalam Supratiknya, 1995; Rakhmat, 2008).
Efektivitas komunikasi ini tergantung pada pertumbuhan individu ke arah
kedewasaan emosional karena bergantung pada kemauan dan kemampuan
Adanya keterkaitan antara komunikasi yang efektif antara orang tua
dan remaja dengan perilaku seksual berisiko yang dilakukan remaja tersebut,
mendorong peneliti untuk meneliti lebih dalam terkait komunikasi yang
efektif antara orang tua dan remaja pada remaja yang melakukan perilaku
seksual berisiko dengan subjek remaja perempuan. Peneliti menilai bahwa
penelitian ini penting untuk dilakukan karena perlu adanya upaya untuk
mencegah semakin meningkatnya kecenderungan remaja, khususnya remaja
perempuan, melakukan perilaku seksual berisiko pada masa berpacaran, yang
tentu akan berdampak pada kehidupan masyarakat dan remaja itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ditemukan permasalahan sebagai berikut.
Apakah terdapat komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja,
pada remaja yang melakukan perilaku seksual berisiko dalam masa
berpacaran?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya komunikasi
yang efektif antara orang tua dan remaja pada remaja yang melakukan
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan memberikan manfaat bagi :
a. para remaja perempuan yang sedang berada dalam masa peralihan
agar mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan orang tuanya,
b. para orang tua agar semakin menyadari pentingnya menciptakan
komunikasi yang efektif dengan remaja, sehingga dapat semakin
mengoptimalkan proses perkembangan anak, khususnya remaja, ke
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Remaja
Remaja atau adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang
berarti tumbuh menjadi dewasa atau tumbuh untuk mencapai kematangan.
Kematangan ini tidak hanya merujuk pada kematangan fisik saja, namun juga
kematangan sosial-psikologis (Ali dan Asrori, 2005; Desmita, 2006;
Sarwono, 2007). Masa remaja menjadi masa transisi antara masa anak-anak
dan dewasa yang di dalamnya terjadi perubahan-perubahan biologis, kognitif,
dan sosial-emosional (Santrock, 2003; Calon dalam Monks, 2001). Hal ini
ditambah dengan terjadinya perubahan besar pada fisik, emosi, intelektual,
akademik, sosial, serta spiritual yang dimilikinya (Nurhidayah, 2008).
Remaja sudah tidak termasuk kategori anak-anak, namun juga belum
dapat secara penuh dikategorikan dewasa (Ali dan Asrori, 2005). Masa ini
merupakan masa penyempurnaan perkembangan pada tahap sebelumnya dan
seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” (Ali dan Asrori, 2005;
Passer dan Smith, 2007).
Santrock (2003) mengelompokkan masa remaja menjadi dua tahapan,
yaitu tahapan remaja awal (early adolescence) dan remaja akhir (late
adolescence). Remaja-remaja yang berada dalam masa sekolah menengah
pertama (SMP) memasuki tahapan remaja awal di mana dalam tahapan ini
tahun, remaja masuk pada tahapan remaja akhir di mana minat pada karir,
pacaran, serta eksplorasi identitas semakin nyata. Sedangkan Sullivan (dalam
Steinberg, 2002) mengelompokkan masa remaja menjadi tiga tahapan, yaitu
masa pra-remaja, remaja awal, dan remaja akhir. Masa pra-remaja
berlangsung antara usia 8-10 tahun hingga 12-14 tahun, remaja awal antara
usia 12-14 tahun hingga 17-18 tahun, dan masa remaja akhir dalam rentang
usia di atas 18 tahun hingga memasuki masa dewasa awal.
Batasan usia untuk menentukan individu sudah memasuki masa
remaja berbeda-beda. Hal ini bergantung pada keadaan sosial budaya
setempat (Depkes RI, 2001). Menurut World Health Organization (WHO)
dalam badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), batasan usia remaja untuk
kesehatan dunia adalah 12-24 tahun. Dari segi program pelayanan, definisi
remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah individu-individu
yang berusia 10-15 tahun dan belum menikah (Depkes RI, 2001).
Dalam masa remaja ini, remaja mengalami perkembangan yang pesat
di berbagai aspek, yaitu :
a. Perkembangan Fisik
Masa remaja tidak hanya berkaitan dengan usia, namun di
dalam masa remaja ini terdapat proses perkembangan berbagai
dimensi. Hal ini mengacu pada perkembangan fisik yang begitu pesat,
serta perkembangan kompetensi kognitif dan emosional, otonomi,
harga diri, serta intimasi (Youngblade, L. M. dalam Papalia, D. E. dan
spurt) merupakan salah satu bagian dari masa yang remaja. Dimulai
dengan spermarche (ejakulasi pertama) yang dialami remaja laki –
laki dan menarche (menstruasi pertama) pada remaja perempuan,
kemudian diikuti dimulainya produksi berbagai macam hormon yang
merangsang terjadinya pertambahan yang dramatis pada tinggi, berat,
serta pertumbuhan otot – otot tubuh yang pesat (Diamond dan
Diamond dalam Desmita, 2006; Berk, 2007; Passer dan Smith, 2007;
Papalia, D. E., dan Feldman, R. D., 2014).
Perkembangan fisik yang dialami kurang lebih dua tahun lebih
awal oleh remaja perempuan dibandingkan remaja laki-laki (Diamond
dan Diamond dalam Desmita, 2006). Perkembangan pada remaja
perempuan ini ditandai dengan menstruasi pertama yang diikuti oleh
terbentuknya payudara, membesarnya pinggul, dan tumbuhnya rambut
pubis serta ketiak. Pada remaja laki-laki, perkembangan fisik diawali
dengan mimpi basah dan kemudian mulai tumbuhnya rambut-rambut
halus di ketiak, wajah, dan badan (Davis dan Palladino, 1997; Baron,
1998; Papalia, D. E., dan Feldman, R. D., 2014).
b. Perkembangan Kognitif
Menurut teori yang dikemukakan Piaget, perkembangan
kognitif tertinggi (operasional formal) dialami pada masa remaja di
mana remaja mulai mengembangkan kapasitas pemikiran abstrak.
atau konkret, namun remaja mulai mampu merekayasa kemungkinan
hipotesis atau proposisi abstrak menjadi seakan-akan benar-benar
terjadi dan berusaha melakukan penalaran secara logis terhadapnya
(Papalia, D. E., dan Feldman, R. D., 2014; Santrock, 2011). Pada
masa ini, individu mengalami peningkatan kecepatan dalam mengolah
informasi dan mulai mampu membuat penalaran abstrak, penilaian
moral yang memuaskan, serta mampu menjelaskan masa depan secara
realistis (Papalia, D. E., dan Feldman, R. D., 2014).
Pemikiran abstrak dari tahapan operasional formal ini disertai
pemikiran yang banyak mengandung idealisme dan kemungkinan.
Remaja menjadi sering terlibat dalam berbagai spekulasi terkait
karakteristik-karakteristik ideal yang dimiliki dirinya maupun orang
lain. Hal ini membawa remaja pada kecenderungan untuk
membandingkan dirinya dengan orang lain berdasarkan standar ideal
tersebut (Santrock, 2011). Santrock (2011) menambahkan bahwa
pemikiran yang abstrak dan idealistik ini juga disertai kecenderungan
untuk berpikir logis, sehingga remaja lebih terdorong untuk
menyelesaikan permasalahan melalui trial-error.
Perkembangan kognitif yang dialami remaja ini memiliki
implikasi emosi. Jaringan sosial emosional menjadi lebih aktif dan
jaringan kontrol kognitif matang secara bertahap, sehingga ledakan
emosi remaja dan perilaku beresiko terjadi dalam kelompok remaja
Feldman, R. D., 2014). Remaja cenderung menghasilkan pendapat
yang berbeda, menelaah situasi menggunakan berbagai perspektif,
mengantisipasi konsekuensi dari keputusan, serta mempertimbangkan
kredibilitas sumber (Santrock, 2011). Namun kecenderungan emosi
yang kuat menyebabkan remaja kurang mampu mengambul keputusan
yang bijaksana (Paus dan Steinberg dalam Santrock, 2011).
c. Perkembangan Sosial – Emosi
Masa pencarian identitas menjadi latar belakang perubahan
dan perkembangan sosial dan emosi remaja. Remaja mencari
identitasnya dengan cara menjalin relasi dengan teman sebaya dan
kehadiran teman sebaya ini berpengaruh besar terhadap nilai, sikap,
dan perilaku remaja (Steinberg, 2002; Grevig dan Zimbardo, 2002).
Secara emosi, interaksi yang dijalin remaja tergolong lebih intim,
terutama dengan lawan jenisnya. Hal ini tampak dari munculnya
dorongan untuk mendekati lawan jenis (Grevig dan Zumbardo, 2002).
Pada masa remaja, remaja juga dihadapkan pada tugas-tugas
perkembangan yang difokuskan pada upaya pengalihan dari sikap dan
perilaku kekanak-kanakan pada kemampuan bersikap dan berperilaku secara
dewasa (Ali dan Asrori, 2005). Tugas-tugas perkembangan tersebut meliputi :
1. usaha untuk menerima keadaan fisiknya,
3. usaha untuk membina hubungan yang baik dengan anggota kelompok
yang berlainan,
4. usaha untuk mencapai kemandirian emosional,
5. usaha untuk mencapai kemandirian ekonomi,
6. usaha untuk mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual
yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota
masyarakat,
7. usaha untuk memahami dan menginternalisasikan nilai – nilai orang
dewasa dan orang tua,
8. usaha untuk mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang
diperlukan untuk memasuki dunia dewasa,
9. usaha untuk mempersiapkan diri memasuki perkawinan, dan
10.usaha untuk memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab
kehidupan keluarga (Hurlock, 1991).
Berdasarkan pemaparan di atas, disimpulkan bahwa masa remaja
merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Masa remaja ini
berada dalam rentang usia 15 tahun sampai 20 tahun, serta individu tersebut
belum berada dalam ikatan pernikahan. Pada masa remaja ini terjadi
perkembangan-perkembangan yang pesat pada individu pada aspek fisik,
kognitif, serta sosial-emosi. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa remaja,
individu tidak hanya mengalami perubahan-perubahan pada bentuk dan
meningkatnya ketertarikan dalam menjalin relasi dengan teman sebaya serta
lawan jenis.
B. Perilaku Seksual Berisiko
1. Definisi Perilaku Seksual Berisiko dalam Masa Pacaran
Ciri khas kematangan pada remaja ditandai dengan mulai
munculnya ketertarikan dengan lawan jenis. Hal ini biasanya muncul
dalam bentuk lebih ketertarikan untuk bergaul dengan lawan jenis,
hingga menjalin relasi lebih intim berupa berpacaran dengan lawan jenis
(Sofia, 2011). Berpacaran merupakan proses alami yang dilalui remaja
untuk mencari seorang teman akrab dengan menjalin hubungan dekat
dalam proses komunikasi, membangun kedekatan secara emosi, dan
proses pendewasaan kepribadian (Nurhidayah, 2008).
Pacaran merupakan bagian dari masa penjajagan menuju jenjang
pernikahan (Nurhidayah, 2008). Akan tetapi, dewasa ini remaja
beranggapan bahwa masa remaja merupakan masa berpacaran, sehingga
remaja yang tidak menjalin relasi berpacaran akan dianggap kuno, kolot,
tidak mengikuti perkembangan zaman, dan dianggap kuper atau kurang
pergaulan (Novita, 2008). Proses pacaran ini juga cenderung diwarnai
konflik yang kurang tertangani dengan baik, sehingga justru
menimbulkan ketidaknyamanan bagi remaja itu sendiri (Nurhidayah,
Dien dalam Evi (2007) dan Santrock (2007) memaparkan bahwa
dalam relasi pacaran yang sehat tidak terdapat perilaku seksual berisiko
yang mengarah pada melakukan hubungan seksual sehingga
meningkatkan risiko terjadinya kehamilan di usia muda dan terkena
infeksi yang ditularkan secara seksual. Hal ini diperkuat Elliana (2012)
yang menyatakan bahwa perilaku seksual berisiko merupakan aktivitas
berhubungan seksual (intercourse) yang dilakukan pada masa berpacaran
atau di luar ikatan pernikahan yang berakibat pada semakin
meningkatnya angka kehamilan di usia sangat muda, pernikahan di usia
muda, terhentinya proses pendidikan, pengguguran kandungan (aborsi),
penularan penyakit kelamin, hingga perceraian.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
seksual berisiko dalam masa pacaran merupakan hubungan seksual yang
dilakukan oleh pasangan remaja yang berada dalam masa pacaran dan
belum diikat oleh ikatan pernikahan.
2. Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Perilaku Seksual Berisiko
Buhrmester (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa
keterlibatan remaja perempuan dalam aktivitas seksual berkaitan dengan
harga diri yang rendah, tingginya tingkat depresi, dan rendahnya nilai
akademik. Sedangkan keterlibatan remaja laki-laki berkaitan dengan
penyalahgunaan obat–obatan terlarang dan aktivitas seksual. Hal ini
mengutarakan bahwa hubungan seksual yang dilakukan oleh remaja erat
kaitannya dengan konsumsi alkohol dan obat–obatan, serta prestasi
akademik yang rendah.
Faktor kontekstual seperti status sosio-ekonomi (SES) dan
lingkungan keluarga atau pengasuhan juga merupakan faktor yang
mempengaruhi munculnya perilaku seksual berisiko dalam pergaulan
remaja (Huebner dan Howell dalam Santrock, 2007; Swenson dan
Prelow dalam Santrock, 2007). Lingkungan dengan status sosio-ekonomi
rendah memiliki keakraban lebih tinggi dengan perilaku seksual berisiko
pada masa remaja (Miller, Benson, dan Galbraith dalam Santrock, 2007).
Relasi yang dekat dan terbuka antara orang tua dan remaja, pengawasan
atau pengaturan orang tua terhadap aktivitas remaja, dan nilai-nilai orang
tua untuk menentang hubungan seksual di masa remaja menjadi
aspek-aspek dalam pengasuhan keluarga yang mempengaruhi munculnya
perilaku seksual berisiko (Miller, Benson, dan Galbraith dalam Santrock,
2007).
Lombardo (dalam Santrock, 2007) menambahkan faktor lain yang
mempengaruhi munculnya perilaku seksual berisiko pada remaja adalah
kemampuan remaja dalam melakukan regulasi diri (self-regulation).
Regulasi diri yang rendah mendorong semakin tingginya risiko seksual
yang dilakukan remaja (Raffaelli dan Crockett dalam Santrock, 2007).
dihadapi remaja, dari teman-teman sebayanya untuk melakukan
hubungan seksual (Santrock, 2007).
Masland dan Estridge (2004) mengemukakan faktor yang
mempengaruhi perilaku seksual berisiko pada remaja adalah sebagai
berikut.
a. Informasi terkait seksualitas yang dapat diakses melalui teknologi
yang canggih.
b. Kurangnya informasi mengenai seksualitas dari orang tua
c. Kaburnya nilai moral
d. Adanya pengaruh hormonal sebagai akibat dari berkembangnya
fungsi organ seksual yang berpengaruh pada kematangan homon
seks, sehingga mempengaruhi perilaku seksual pada remaja.
Sarwono (2007) memaparkan bahwa faktor yang mempengaruhi
perilaku seksual berisiko pada remaja meliputi :
a. meningkatnya libido seksualitas yang disebabkan oleh perubahan
hormonal pada remaja,
b. penundaan usia perkawinan, sehingga remaja yang berusia kurang
dari 16 tahun (untuk perempuan) dan kurang dari 19 tahun (untuk
laki-laki) tidak dapat melakukan penyaluran hasrat seksual,
c. adanya larangan untuk melakukan hubungan seksual pranikah,
bahkan larangan untuk berciuman dan masturbasi, yang mendorong
remaja yang kurang mampu menahan diri cenderung melanggar
d. informasi tentang seks yang kurang,
e. komunikasi orang tua dan anak yang cenderung menabukan
pembicaraan terkait seksualitas,
f. pergaulan yang semakin bebas karena berkembangnya peran dan
pendidikan wanita,
g. wilayah tempat tinggal yang semakin terbuka pada akses informasi,
h. jenis kelamin yang cenderung mengarahkan remaja laki-laki untuk
lebih terbuka dan bebas, sedangkan remaja perempuan yang
3. Akibat Perilaku Seksual Berisiko
Perilaku seksual berisiko menjadi permasalahan dikarenakan
aktivitas seksual ini dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak
diinginkan, pernikahan di usia muda, terhentinya proses pendidikan,
pengguguran kandungan (aborsi), penularan penyakit kelamin, hingga
perceraian (Rahardjo; Elliana, 2012). Infeksi menular seksual atau
sexually transmitted infection (STI) ini meliputi acquired immune
deficiency syndrome (AIDS), genital herpes, genital wart (kutil genital),
gonorrhea, syphilis, dan chlamydia (Santrock, 2007).
Secara psikologis, remaja akan mengalami pertentangan batin
setelah melakkukan perilaku seksual berisiko. Hal ini terutama dialami
oleh remaja perempuan. Banyak remaja perempuan yang kemudian
mengalami kebingungan karena sudah tidak perawan lagi. Kebingungan
yang dialami remaja ini, bahkan seringkali disertai adanya rasa bersalah
yang mendalam dan membenci diri sendiri, sehingga banyak remaja
perempuan tidak lagi menghargai dirinya serta cenderung tidak
mempedulikan dirinya lagi (Rose, 1987; Wiendijarti, 2011; Sarwono,
2007).
Perilaku seksual berisiko dapat disimpulkan sebagai hubungan seksual
yang dilakukan remaja di luar ikatan pernikahan. Perilaku ini dapat
mengakibatkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, pernikahan di
usia sangat muda, terhentinya proses pendidikan, meningkatnya
perceraian. Secara psikologis, perilaku seksual berisiko ini juga akan
menyebabkan remaja, khususnya remaja perempuan, kemudian mengalami
kebingungan yang seringkali disertai adanya rasa bersalah yang mendalam
dan membenci diri sendiri, sehingga banyak remaja perempuan tidak lagi
menghargai dirinya serta cenderung tidak mempedulikan dirinya lagi.
C. Komunikasi yang Efektif antara Orang Tua dan Remaja
1. Definisi Komunikasi yang Efektif antara Orang Tua dan Remaja
Komunikasi bukan semata-mata sebagai sebuah ilmu
pengetahuan, namun juga merupakan sebuah seni dalam bergaul.
Manusia tidak saja dituntut untuk memahami proses komunikasi, akan
tetapi manusia juga harus mampu menerapkannya secara kreatif dalam
pergaulan sehari-hari (Wisnuwardhani dan Mashoedi, 2012). Komunikasi
atau communication berasal dari kata Latin communicatio merupakan
proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh komunikator kepada
komunikan yang akan terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai
apa yang dibicarakan (Effendy, 2007).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dipaparkan bahwa
komunikasi merupakan pengiriman dan penerimaan pesan atau berita
antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami (Tim Penyusun, 1997). Menurut Supratiknya (1995),
komunikasi merupakan pengiriman pesan dari seseorang kepada orang
dengan Hovland (dalam Effendy, 2007) yang menyatakan bahwa
komunikasi merupakan proses mengubah perilaku orang lain
(communication is the process to modify the behavior of other
individuals). Supratiknya (1995) menambahkan dalam setiap bentuk
komunikasi, terdapat setidaknya dua orang yang saling mengirimkan
lambang-lambang yang memiliki makna.
Dari sudut pandang ilmu psikologi, komunikasi merupakan proses
penyampaian energi, gelombang suara, tanda di antara tempat, sistem
atau organisme dengan tujuan memberikan informasi, menghibur, atau
mempengaruhi (Rakhmat, 2008).
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa komunikasi
merupakan pertukaran pesan atau informasi dari satu orang ke orang
yang lain. Pertukaran pesan atau informasi ini kemudian dilanjutkan
dengan pemahaman isi pesan, sehingga memberikan pengaruh pada
perilaku manusia.
Komunikasi akan dinilai efektif apabila orang lain memahami ide
dan gagasan yang dimaksudkan pengirim pesan (Gunarsa, 2002).
Komunikasi yang efektif akan tercipta apabila kedua belah pihak saling
dekat, saling menyukai, serta ada kesediaan untuk terbuka, sehingga
komunikasi antara orang tua dan remaja menjadi hal yang menyenangkan
(Ariesandi, 2011). Intensitas komunikasi yang dangkal dalam keluarga
tidak disertai kejujuran, keterbukaan, percaya, tidak memberikan
membuka diri antara orang tua dan remaja. Hal ini menyebabkan remaja
kurang dapat bertanggungjawab terhadap dirinya (Olson, 1992). Gunadi
(2010) memaparkan pula bahwa komunikasi orang tua dengan remaja
juga merupakan pengisi kebutuhan remaja yang hakiki akan interaksi.
Tanpa komunikasi yang efektif ini, remaja akan tumbuh dalam
kehampaan dan mudah mengalami stress.
Kebanyakan fungsi mengenai sistem dalam keluarga merupakan
hasil dari komunikasi (Budyatna dan Ganiem, 2011). Verderber,
Verderber, dan Berryman-Fink (2007) mengemukakan bahwa
komunikasi antara orang tua dan anak berkontribusi dalam pembentukan
konsep diri anak. Demo (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011) serta
Ruben dan Stewart (2013) menambahkan bahwa identitas diri (yang
terdiri atas diri dan konsep diri) dibentuk, dipelihara, diperkuat, dan atau
diubah oleh komunikasi dari para anggota keluarga, khususnya orang tua
dan anak.
Melalui komunikasi yang efektif, orang tua maupun anak dapat
saling memberikan pengakuan dan dukungan yang akan menumbuhkan
rasa diri berarti dan membantu dalam mengatasi masa-masa sulit yang
dihadapi (Verderber, Verderber, dan Berryman-Fink (2007). Komunikasi
yang efektif antara orang tua dan anak juga menyebabkan individu di
dalamnya menganut nilai, pendapat, pilihan, serta harapan yang sama.
Bahkan komunikasi yang efektif ini memberikan pengaruh terhadap
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang
efektif antara orang tua dan remaja merupakan proses pertukaran pesan
atau informasi dari orang tua ke remaja, dan sebaliknya, di mana kedua
belah pihak memahami ide dan gagasan yang dimaksudkan, sehingga
mempengaruhi pendapat, sikap, dan tindakan.
2. Jenis Komunikasi antara Orang Tua dan Remaja
Menurut Maccoby dan Martin (dalam Berk, 2000), komunikasi
antara orang tua dan anak terkandung pula dalam pola asuh anak.
Komunikasi ini dikelompokkan menjadi 3 bentuk sebagai berikut.
a. Komunikasi terbuka
Dalam komunikasi terbuka antara orang tua dan anak,
orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk berdiskusi
dengan orang tua, sehingga orang tua tidak hanya memberikan
tuntutan pada anak.
b. Komunikasi oleh satu pihak
Orang tua tidak memberikan kesempatan pada anak untuk
mengemukakan pendapat yang dimilikinya, sehingga dalam
bentuk komunikasi ini orang tua hanya memberikan tuntutan
kepada anak.
c. Tidak ada komunikasi
Tidak ada komunikasi hampir serupa dengan bentuk
tua sama sekali tidak memberikan tuntutan ataupun kontrol dan
orang tua juga tidak memberi kesempatan pada anak untuk
berdiskusi dengan mereka.
Koerner dan Fitzpatrick (dalam Ruben dan Stewart, 2013)
menguraikan bahwa beberapa keluarga memperlihatkan orientasi
percakapan dengan menciptakan suasana yang di dalamnya semua
anggota keluarga ini didorong untuk menyuarakan pendapat tentang
berbagai topik. Beberapa keluarga yang lain menunjukkan orientasi
konformitas dengan menciptakan iklim komunikasi dengan nilai, sikap,
dan keyakinan yang seragam.
3. Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi yang Efektif antara Orang Tua
dan Remaja
a. Kepercayaan antara kedua belah pihak
Kepercayaan akan muncul apabila orang tua dan remaja
menyadari bahwa kedua belah pihak tidak akan dirugikan dan
dikhianati, sehingga hal ini mendorong keduanya untuk saling
membuka diri (Gunarsa, 2002). Kepercayaan ini juga dapat
meningkatkan daya perubahan sikap. Kepercayaan mencerminkan
bahwa pesan yang diterima dianggap benar dan sesuai dengan
b. Adanya daya tarik
Daya tarik yang dimiliki orang tua dan remaja untuk terlibat
dalam proses komunikasi akan mempengaruhi efektivitas
komunikasi. Daya tarik ini akan tercipta apabila kedua belah pihak
merasakan adanya kesamaan, khususnya kesamaan ideologi, antara
kedua pihak (Effendy, 1981).
c. Pengalaman orang tua ketika menjadi anak
Pengalaman orang tua ketika menjadi anak, akan
mempengaruhi cara orang tua pula dalam memperlakukan anaknya.
Pada saat orang tua menjadi anak, tidak pernah mendapatkan
kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya, maka ketika orang
tua ini memiliki anak, ia akan cenderung melakukan hal yang sama
(Djamarah, 2004; Ruben dan Stewart, 2013).
d. Citra diri
Manusia menciptakan citra diri yang dimilikinya melalui
proses interaksi dengan orang lain, khususnya orang yang dinilai
penting bagi dirinya. Keberhasilan dalam menjalin komunikasi yang
efektif tergantung pada kualitas citra diri yang dimiliki. Apabila citra
diri yang dimiliki positif, maka kedua belah pihak akan lebih terbuka
dan menghargai adanya perbedaan (Lunandi, 1987; Rakhmat, 2008).
e. Citra pihak lain
Citra pihak lain merupakan gambaran yang dimiliki orang tua
Citra pihak lain ini juga akan menentukan cara dan kemampuan
dalam berkomunikasi. Sebagai contoh, orang tua yang mempunyai
citra bahwa anaknya adalah anak tidak memiliki pengetahuan yang
cukup, harus diatur dan diawasi, akan cenderung berbicara dengan
anaknya secara otoriter (mengatur, melarang, dan mengharuskan).
Demikian pula sebaliknya, apabila orang tua memiliki gambaran
bahwa anaknya merupakan pribadi yang cerdas, kreatif, dan
berpikiran sehat, maka orang tua akan cenderung
mengkomunikasikan anjuran dan pertimbangan (Lunandi, 1987).
f. Kondisi
Kondisi fisik, mental, psikologis, serta kecerdasan akan
mempengaruhi efektivitas komunikasi antara orang tua dan remaja
pula. Sebagai contoh, apabila salah satu pihak sedang dalam keadaan
sakit, maka komunikasi yang dijalin antara keduanya tidak akan
sepenuhnya efektif (Lunandi, 1987).
g. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik yang tidak kondusif akan memberikan
pengaruh pula pada efektivitas komunikasi antara orang tua dan
remaja. Misalnya, lingkungan fisik yang bising akan menyulitkan
orang tua dan remaja dalam proses pertukaran informasi. Hal ini juga
akan meletihkan keduanya, baik dalam mendengarkan maupun
h. Lingkungan sosial
Kehadiran orang lain akan mempengaruhi efektivitas
komunikasi orang tua dan remaja. Komunikasi antara orang tua dan
remaja akan menjadi cenderung tidak efektif apabila terdapat orang
lain dalam lingkungan tersebut, walaupun orang lain tersebut tidak
terlibat di dalamnya (Maccoby dan Martin dalam Berk, 2000).
i. Harga diri
Individu dengan harga diri yang tinggi akan lebih fleksibel
dalam menanggapi situasi (Ruben dan Stewart, 2013). Kesamaan
dalam harga diri menjadi faktor dalam memilih seseorang untuk
menjalin hubungan dengan orang lain (Pearson dalam Ruben dan
Stewart, 2013)
4. Akibat Adanya Komunikasi yang Efektif antara Orang Tua dan Remaja
Olson (1992) menyebutkan bahwa dengan adanya komunikasi
yang efektif antara orang tua dan anak usia remaja, dapat meningkatkan
tanggung jawab remaja terhadap hidupnya. Olson (1992) dan Ariesandi
(2011) juga menambahkan bahwa dengan adanya komunikasi ini, remaja
menjadi merasakan bahwa diri mereka berguna, serta membantu remaja
dalam menghadapi stress yang diakibatkan ketidakmampuan anak dalam
mencari jalan keluar atas permasalahan yang dihadapinya.
Komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja akan
keluarga tetap terjaga. Hal ini akan mempermudah dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan yang terjadi, memfasilitasi pemenuhan
berbagai macam kebutuhan, semakin memperluas wawasan orang tua
dan remaja, serta memelihara aturan etnis dan moral (Setiono, 2011).
Desmita (2007) memaparkan pula bahwa dengan adanya
komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak yang menginjak usia
remaja, akan menciptakan keterikatan yang dapat berfungsi adaptif.
Ikatan ini akan menjadi landasan yang kokoh untuk remaja dalam
menjelajahi dan menguasai lingkungan baru dengan cara yang sehat
secara psikologis. Keterikatan yang dapat berfungsi adaptif ini juga akan
meningkatkan relasi yang lebih kompeten dan positif dengan teman
sebaya, serta meminimalkan kecenderungan untuk melakukan perilaku
seksual berisiko yang tidak sesuai dengan norma dalam masyarakat.
Selain itu, dengan adanya komunikasi yang efektif antara orang tua dan
remaja, menimbulkan keterikatan yang dapat menyangga remaja dari
kecemasan dan perasaan depresi yang merupakan akibat dari masa
transisi.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya
komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja dapat meningkatkan
tanggung jawab remaja akan hidupnya, meningkatkan rasa diri berguna,
serta membantu remaja dalam menghadapi kecemasan, stress, dan
perasaan depresi yang timbul akibat masa transisi yang dialaminya.
relasi yang kompeten dan positif dengan teman sebaya dan menurunkan
kecenderungan remaja melakukan perilaku seksual berisiko.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang efektif
antara orang tua dan remaja merupakan proses pertukaran informasi antara
orang tua dan anak usia remaja di mana kedua belah pihak memahami ide dan
gagasan yang dimaksudkan. Komunikasi antara orang tua dan remaja dapat
dikatakan efektif apabila tercipta komunikasi yang aktif, rrang tua
memberikan kesempatan kepada anak untuk berdiskusi dengan orang tua, hal
yang dibicarakan jelas dan spesifik, orang tua dan remaja mampu menerima
secara cermat isi dari pesan yang dimaksudkan, dan komunikasi yang tercipta
mampu menjembatani kesenjangan antargenerasi.
D. Komunikasi yang Efektif antara Orang Tua dan Anak dengan Perilaku Seksual Berisiko pada Remaja dalam Masa Berpacaran
Dalam masa remaja, terjadi perubahan sosio-emosi yang meliputi
tuntutan akan kemandirian, konflik dengan orang tua, dan keinginan untuk
lebih banyak meluangkan waktu dengan teman-teman sebaya (Santrock,
2007). Dalam tahapan ini, komunikasi antarremaja menjadi lebih dekat dan
terbuka, sehingga prestasi menjadi hal yang penting di kalangan remaja.
Meningkatnya kematangan pada masa remaja ini juga menimbulkan
munculnya ketertarikan remaja pada relasi romantis dengan lawan jenis
Ketertarikan pada lawan jenis yang mulai muncul pada masa remaja
merupakan hal yang wajar terjadi pada masa remaja (Ali dan Asrori, 2005).
Hal ini biasanya muncul dalam bentuk lebih ketertarikan untuk bergaul
dengan lawan jenis, hingga menjalin relasi lebih intim berupa berpacaran
dengan lawan jenis (Sofia, 2011). Ketertarikan untuk menjalin relasi yang
intim dengan lawan jenis ini memperbesar kecenderunga remaja melakukan
perilaku seksual berisiko. Perilaku seksual berisiko merupakan aktivitas
berhubungan seksual (intercourse) yang dilakukan pada masa berpacaran atau
di luar ikatan pernikahan (Elliana, 2012). Hal ini seringkali menimbulkan
konflik atau gangguan emosi pada remaja karena orang tua kurang mampu
membimbingnya (Santrock, 2007).
Kompleksnya masa transisi yang dialami remaja ini perlu mendapat
dukungan dari orang tua. Dukungan dari orang tua akan membantu remaja
untuk mampu bernegosiasi terhadap masa transisi ini dengan baik. Dukungan
dari orang tua ini berupa kemampuan adaptasi, kemampuan untuk bersikap
secara bijaksana, serta memberi dukungan untuk remaja (Santrock, 2007).
Kendati demikian perlu disadari pula bahwa remaja memiliki kecenderungan
untuk merasa bahwa dirinya sudah memiliki cukup banyak pengetahuan dan
tidak lagi mendengarkan perkataan orang tuanya (Djiwandono, 2008). Hal ini
tentu semakin memperkuat alasan perlunya orang tua menjalin komunikasi
yang efektif dengan remaja.
Komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja merupakan hal
remaja. Tidak cukup hanya dengan adanya perjumpaan antara orang tua dan
remaja yang intensif, namun diperlukan pula adanya komunikasi yang efektif
di dalamnya. Komunikasi yang efektif ini merupakan pertukaran informasi
antara orang tua dan remaja yang keduanya memahami dengan baik ide dan
gagasan yang dimaksudkan, sehingga mempengaruhi pendapat, sikap, dan
tindakan (Gunarsa, 2002; Rakhmat, 2008).
Komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja ini ditandai
dengan adanya komunikasi yang aktif yang tentu di dalamnya terdapat
kejujuran, keterbukaan, pengertian, dan rasa saling percaya (Wahlroos, 1988;
Gunarsa, 2002). Dalam komunikasi yang efektif ini, hal yang dibicarakan
jelas dan spesifik (Gunarsa, 2002; Rakhmat, 2008) dan kedua belah pihak
mampu menerima secara cermat isi dari pesan yang dimaksudkan (Gunarsa,
2002; Rakhmat, 2008), sehingga mampu menjembatani kesenjangan
antargenerasi (Setiono, 2011). Komunikasi yang efektif ini tentu diperlukan
kesediaan, baik orang tua maupun remaja, untuk membuka diri, jujur, saling
percaya, serta saling memberikan dukungan. Dengan adanya kesediaan
tersebut, komunikasi yang efektif relasi yang menyenangkan tercipta antara
orang tua dan anak.
Adanya komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja secara
umum akan membuat aturan etnis dan moral tetap terpelihara (Setiono, 2011).
Hal ini berkaitan dengan keluarga sebagai lingkungan pendidikan primer
yang menjadi tempat paling awal dan intensif dalam pengenalan norma dan
komunikasi yang efektif, orang tua akan dapat memperkenalkan norma dan
nilai yang ada, baik nilai dan norma dalam lingkup keluarga maupun
masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian aturan dan moral tetap
terpelihara.
Selain itu, komunikasi yang efektif juga akan memberikan pengaruh
pada relasi antara orang tua dan remaja itu sendiri. Kesenjangan antargenerasi
yang diakibatkan oleh selisih usia antara orang tua dan remaja yang terlampau
jauh, pendidikan yang berbeda, serta perubahan jaman yang kian pesat,
menjadi terjembatani. Wawasan orang tua dan remaja juga akan menjadi
semakin luas dengan adanya komunikasi yang efektif antara orang tua dan
remaja (Setiono, 2011). Hal ini akan mempermudah orang tua dan remaja
dalam mengatasi permasalahan yang ada. Seperti yang diutarakan Wiendijarti
(2011) bahwa komunikasi yang terjalin dengan baik antara orang tua dan
anak yang berada dalam masa remaja mampu mentransformasikan wawasan,
khususnya seksual.
Kebutuhan yang ada pada remaja dan orang tua juga dapat terfasilitasi
pemenuhannya dengan adanya komunikasi yang efektif antara orang tua dan
remaja. Keterikatan yang berfungsi adaptif akan tercipta pula, sehingga dapat
menjadi landasan kokoh bagi remaja dalam berhadapan dengan lingkungan
baru (Desmita, 2007; Setiono, 2011).
Bagi remaja itu sendiri, komunikasi yang efektif antara orang tua dan
remaja ini juga akan memberikan dampak positif. Remaja menjadi merasa
bertanggungjawab terhadap hidupnya. Hal ini juga membantu remaja dalam
menghadapi stress yang muncul, sebagai akibat dari masa transisi yang
dihadapinya (Olson, 1992; Desmita, 2007; Ariesandi, 2011).
Dengan adanya dampak tersebut pada diri remaja, remaja akan
termotivasi untuk menjalin relasi secara lebih kompeten dan positif dengan
teman sebaya. Hal ini akan meminimalisir pula kecenderungan remaja untuk
Orang
Tua
Remaja
Komunikasi tidak Efektif
Nilai dan norma tidak tertanam
dengan baik
Takut ditinggalkan
pacar
Remaja melakukan Perilaku Seksual
Berisiko
Gengsi pada teman sebaya
Merasakan kenikmatan berhubungan
seksual
Tidak diperhatikan
34
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasikan
suatu situasi, kejadian, maupun kondisi tertentu secara factual dan akurat
(Suryabrata, 1990). Penelitian ini tidak menguji hipotesis karena penelitian ini
tidak bertujuan untuk menemukan hukum atau membuat generalisasi
(Kontour, 2003; Brannen, Suryabrata, Mulyana dalam Alsa, 2004). Dalam
penelitian ini, peneliti berusaha untuk memahami dan menjelaskan makna
sebuah situasi menurut sudut pandang informan yang mengalami dan
menghayati kejadian, secara khusus terkait komunikasi yang efektif antara
orang tua dan remaja pada remaja yang melakukan perilaku seksual berisiko
pada masa berpacaran.
B. Batasan Istilah
1. Remaja. Remaja yang digunakan dalam penelitian ini adalah perempuan yang berada dalam rentang usia 14 sampai 19 tahun, belum menikah,
sedang atau telah menyelesaikan pendidikan menengah pertama (SMP),
2. Perilaku seksual berisiko. Istilah perilaku seksual berisiko dalam penelitian ini merupakan hubungan seksual yang dilakukan oleh remaja di
dalam masa berpacaran (atau di luar ikatan pernikahan).
3. Komunikasi yang efektif antara orang tua dan remaja. Dalam penelitian ini, komunikasi orang tua dan remaja yang dimaksudkan adalah
proses pertukaran pesan atau informasi dari orang tua ke anak usia remaja,
dan sebaliknya, di mana kedua belah pihak memahami ide dan gagasan
yang dimaksudkan, sehingga mempengaruhi pendapat, sikap, dan
tindakan.
C. Informan
Penelitian ini memerlukan informan remaja perempuan berusia 14-19
tahun, belum menikah, dan aktif melakukan hubungan seksual dengan pacar.
Untuk mendapatkan informan dengan kriteria yang sesuai dengan penelitian
ini, peneliti menghubungi beberapa orang kenalan yang memenuhi kriteria
untuk menjadi informan.
Pada awal penelitian, peneliti berhasil mendapatkan 6 orang calon
informan yang memenuhi kriteria. Namun, 2 calon informan pergi dari rumah
dan dapat dihubungi, sedangkan 1 calon informan yang lain dipindahkan ke
luar kota oleh orang tuanya untuk belajar di pondok pesantren, sehingga tidak
memungkinkan untuk diwawancarai. Akhirnya penelitian ini dilanjutkan
dengan menggunakan 3 orang informan. Ketiga informan dalam penelitian ini
berusia 18 tahun. Ketiga informan masih bersekolah di tingkat SMP dan
SMK, serta belum menikah. Ketiganya juga saat ini memiliki pacar dan aktif
melakukan hubungan seksual dengan pacarnya.
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk mengumpulkan
data. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan wawancara
yang menggunakan jenis pertanyaan terbuka. Penggunaan pertanyaan terbuka
dalam wawancara ini bertujuan agar dapat memberikan kerangka acuan bagi
jawaban informan, namun sedikit mungkin membatasi jawaban informan.
Pertanyaan terbuka ini juga memungkinkan peneliti untuk meminimalisir
terjadinya salah paham, ambiguitas memastikan ketidaktahuan informan
terkait permasalahan yang ditanyakan, mendorong kerja sama dan keakraban
dengan informan, serta membuat menilaian yang lebih seksama mengenai
[image:55.595.100.523.220.734.2]itikad, keyakinan, dan sikap informan yang sebenarnya (Kerlinger, 2003).
Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara
Panduan Pertanyaan
1. Apakah Anda sudah pernah melakukan hubungan seksual?
2. Mengapa Anda mau melakukan hubungan seksual sebelum menikah dengan pasangan Anda?
3. Apakah Anda mengetahui akibat melakukan hubungan seksual sebelum menikah?
4. Apakah kedua orang tua Anda tahu bahwa Anda sering melakukan hubungan seksual dengan pacar Anda?
6. Apakah Anda menyediakan waktu untuk berkomunikasi secara mendalam dengan orang tua Anda? Berapa lama?
7. Apakah Anda pernah memulai terlebih dahulu untuk berkomunikasi dengan orang tua Anda?
8. Apa sajakah yang Anda komunikasikan dengan orang tua Anda?
9. Bagaimana cara Anda dan orang tua Anda mengambil keputusan untuk keluarga?
10.Bagaimana respon orang tua Anda ketika Anda mengajak kedua orang tua Anda berkomunikasi?
11.Bagaimana respon Anda ketika orang tua Anda mengajak berkomunikasi?
12.Menurut Anda, apakah berkomunikasi dengan orang tua secara mendalam dengan orang tua merupakan hal yang penting?
13. Apakah berkomunikasi dengan orang tua secara mendalam memberikan
pengaruh pada hidup Anda?
E. Analisis Data
Data hasil wawancara dalam bentuk narasi dalam penelitian ini
dianalisi dengan metode analisis isi (content analysis). Metode ini dinilai
tepat karena dengan metode ini dapat dihasilkan deskripsi yang objektif dan
sistematik mengenai isi yang terungkap. Data hasil wawancara tersebut akan
dianalisis dengan langkah sebagai berikut.
1. Organisasi data
Langkah ini akan mengorganisasikan data yang sudah
diperoleh secara rapih dan sistematis, sehingga memungkinkan
penelliti untuk memperoleh kualitas data yang baik,
dan analisa yang berkaitan dengan tujuan penelitian (Highlen dan
Finley dalam Poerwandari, 2001).
Data yang diorganisasikan adalah data mentah berupa rekaman
hasil wawancara dan verbatim hasil wawancara. Data tersebut
kemudian ditandai, dikelompokkan, dan diinterpretasi.
2. Koding atau Pengkodean
Dilakukan untuk mengorganisasikan dan mensistematisasi data
secara lengkap dan mendetail, sehingga dapat memunculkan
gambaran tentang topic yang dipelajari. Koding dalam penelitian ini
digunakan untuk mengidentifikasi efektivitas komunikasi antara orang
tua dan remaja.
Langkah-langkah koding atau pengkodean yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Menyusun verbatim hasil wawancara dalam tabel yang terdiri
dari 6 kolom. Kolom pertama digunakan untuk penomoran,
kolom kedua untuk transkrip verbatim wawancara, kolom
ketiga untuk memparafrasekan pernyataan-pernyataan
informan, kolom keempat untuk sub tema pernyataan
informan, kolom kelima untuk tema pokok pernyataan
informan, dan kolom keenam untuk penjelasan berupa
nomor-nomor jawaban informan yang memiliki tema pokok sama.
dicetak tebal, sedangkan jawaban yang diberikan oleh
informan ditulis dengan huruf yang dicetak miring. Hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah dalam membedakan
pertanyaan yang diajukan peneliti dengan jawaban yang <