• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik kejawaan arsitektur Gereja Katolik Ganjuran (tahun 1924-2013).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik kejawaan arsitektur Gereja Katolik Ganjuran (tahun 1924-2013)."

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

KARAKTERISTIK KEJAWAAN ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK GANJURAN

(TAHUN 1924-2013)

Oleh:

Berardus Ardian Cahyo Nugroho Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang berdirinya Gereja Katolik Ganjuran; (2) Karakter kejawaan arsitektur Gereja Katolik Ganjuran sebelum tahun 2006; (3) Karakter kejawaan arsitektur Gereja Katolik Ganjuran pasca gempa tahun 2006.

Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan arsitektur dan pendekatan budaya dengan model penulisan yang bersifat deskriptif analitis.

(2)

ABSTRACT

JAVANESE CHARACTERISTIC ARCHITECTURE CATHOLIC CHURCH GANJURAN

(YEAR 1924-2013)

By:

Berardus Ardian Cahyo Nugroho Sanata Dharma University

2016

This study aims to describe and analyze three key issues, namely: (1) The background of the founding of Ganjuran Catholic Church; (2) The Javanese character of the of Ganjuran Catholic Church architecture before 2006; (3) The Javanese of the character Ganjuran Catholic Church architecture after the earthquake in 2006.

The method used was historical factual research that includes: selecting a topic, heuristic (pooling of resources), verification (source criticism), interpretation and historiography (history writing). The approach used is the architectural and the cultural approach. This model of writing as descriptive analytical.

The results of this study are as follows. (1) The increase of the sugar

factory workers’ conversion to Catholicism was cause by the Catholic mission of

the Schmutzer brothers, (2) The Javanese character architecture of the Ganjuran Catholic Church aspires Javanese philosophy of Schmutzer, (3) Yogyakarta earthquake in 2006 did not eliminate the identity of the Ganjuran Catholic Church that shows inculturation of the Catholic-Javanesse in it, even the Javanese architecture of the Ganjuran Catholic Church increased by the reconstruction of

(3)

i

KARAKTERISTIK KEJAWAAN ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK GANJURAN

(TAHUN 1924 – 2013)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

BERARDUS ARDIAN CAHYO NUGROHO NIM : 111314009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

ii

SKRIPSI

KARAKTER KEJAWAAN ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK GANJURAN

(TAHUN 1924 – 2013)

Oleh:

Berardus Ardian Cahyo Nugroho NIM : 111314009

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Dr. Anton Haryono, M. Hum.

Pembimbing II

(5)

iii

KARAKTER KEJAWAAN ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK GANJURAN

(TAHUN 1924 – 2013) SKRIPSI

Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Berardus Ardian Cahyo Nugroho NIM : 111314009

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 29 Juli 2016

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua Ignatius Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. ...

Sekretaris Dra. Theresia Sumini, M.Pd. ... Anggota Dr. Anton Haryono, M.Hum. ... Anggota Drs. A. K. Wiharyanto, M.M. ...

Anggota Drs. B. Musidi, M.Pd. ...

Yogyakarta, 29 Juli 2016

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Santa Dharma

Dekan,

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan rahmatnya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini,

2. Kedua orang tua saya, Ayahanda Yohanes Rasul Sudarmaji, S.Pd. dan

Ibunda Victoria Sri Lestariningsih, S.Pd.,

3. Adik saya terkasih, Yustina Mutiara Ratri yang telah menjadi motivasiku

untuk segera menyelesaikan skripsi ini,

4. Teman-teman seperjuangan, mahasiswa Pendidikan Sejarah angkatan 2011, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini,

5. Teman-teman brotherhood, Ade, Bayu, Indra Poku, Esti dan Sabrina yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Para pendidik dan saudara-saudaraku, yang telah membantu, membimbing,

(7)

v MOTTO

Tiadanya keyakinanlah yang membuat orang takut menghadapi tantangan, dan

saya percaya pada diri saya sendiri.

(Muhammad Ali)

Saya memang berpendidikan di Barat, tapi saya tetaplah orang Jawa.

(Sri Sultan HB IX)

Hari ini adalah awal, kemarin adalah masa lalu, besok adalah misteri. Tapi

kemarin hingga sekarang dan selamanya, Tuhan akan selalu memberkati.

Sejarah bukan hanya rangkaian cerita, ada banyak pelajaran, kebanggaan dan

harta di dalamnya.

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 Juli 2016

Penulis

(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Berardus Ardian Cahyo Nugroho

Nomor Mahasiswa : 111314009

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul

KARAKTERISTIK KEJAWAAN ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK GANJURAN (TAHUN 1924-2013)

Demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan

mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya ataupun memberikan royalti kepada saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal, 29 Juli 2016

Yang menyatakan

(10)

viii

ABSTRAK

KARAKTERISTIK KEJAWAAN ARSITEKTUR GEREJA KATOLIK GANJURAN

(TAHUN 1924-2013)

Oleh:

Berardus Ardian Cahyo Nugroho Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok yaitu (1) Latar belakang berdirinya Gereja Katolik Ganjuran; (2) Karakter kejawaan arsitektur Gereja Katolik Ganjuran sebelum tahun 2006; (3) Karakter kejawaan arsitektur Gereja Katolik Ganjuran pasca gempa tahun 2006.

Metode penelitian yang digunakan yaitu historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan arsitektur dan pendekatan budaya dengan model penulisan yang bersifat deskriptif analitis.

(11)

ix

ABSTRACT

JAVANESE CHARACTERISTIC ARCHITECTURE CATHOLIC CHURCH GANJURAN

(YEAR 1924-2013)

By:

Berardus Ardian Cahyo Nugroho Sanata Dharma University

2016

This study aims to describe and analyze three key issues, namely: (1) The background of the founding of Ganjuran Catholic Church; (2) The Javanese character of the of Ganjuran Catholic Church architecture before 2006; (3) The Javanese of the character Ganjuran Catholic Church architecture after the earthquake in 2006.

The method used was historical factual research that includes: selecting a topic, heuristic (pooling of resources), verification (source criticism), interpretation and historiography (history writing). The approach used is the architectural and the cultural approach. This model of writing as descriptive analytical.

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakter Kejawaan Arsitektur Gereja Katolik Ganjuran (1924-2013)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini tidak terlepas dari bimbingan, dukungan dan peran serta pihak-pihak yang telah memberi bantuan langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Anton Haryono, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan skripsi.

4. Drs. A. Kardiyat Wiharyanto, M.M. selaku dosen pendamping yang telah sabar mendampingi, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan skripsi.

5. Drs. B. Musidi, M.Pd. selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan kepada penulis selama proses studi.

6. Seluruh dosen dan sekretariat program studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

(13)

xi

pelayanan dan membantu penulisan dalam memperoleh sumber penulisan skripsi ini.

8. Seluruh keluarga penulis, terkhusus kedua orang tua penulis, Ayahanda Yohanes Rasul Sudarmaji, S.Pd. dan Ibunda Victoria Sri Lestariningsih, S.Pd. yang telah banyak memberikan dorongan spiritual dan material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

9. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Sejarah angkatan 2011 yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta inspirasi dalam menyelesaikan skripsi.

10. Kekasih saya, Fatresia Renny yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi ini.

11. Teman-teman brotherhood, Ade, Bayu, Indra Poku, Esti dan Sabrina yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman dari angkatan lain, Lupi, Akun, Leo dan Cornel yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Teman-teman kost Alan, Dwi, Triyadi, Toro dan Edo yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Serta semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu yang turut

membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi.

Penulis menyadari bahwa dalam hasil penelitian laporan ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun untuk mencapai hasil yang lebih baik.

Yogyakarta, 29 Juli 2016. Penulis

(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Landasan Teori ... 11

G. Metode dan Pendekatan Penelitian ... 19

H. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II BERDIRINYA GEREJA GANJURAN ... 25

A. Misi Gereja Katolik di Yogyakarta ... 25

B. Keluarga Schmutzer dan Pabrik Gula Gondang Lipoera ... 28

C. Keluarga Schmutzer dan Gereja Ganjuran ... 40

BAB III KEJAWAAN GEREJA GANJURAN SEBELUM GEMPA YOGYAKARTA TAHUN 2006 ... 45

(15)

xiii

B. Ornamen Kejawaan Bangunan Gereja ... 55

C. Candi Hati Kudus Tuhan Yesus ... 65

BAB IV KEJAWAAN GEREJA GANJURAN PASCA GEMPA YOGYAKARTA TAHUN 2006 ... 77

A. Peristiwa Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 ... 77

B. Ide Pembangunan Kembali ... 82

C. Bentuk dan Filosofi Bangunan Gereja Baru ... 85

BAB V KESIMPULAN ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 100

(16)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gb. 1. Bentuk rumah joglo ... 13

Gb. 2. Bentuk rumah limasan tradisional ... 13

Gb. 3. Skema ruang rumah limasan ... 16

Gb. 4. Skema ruang rumah Joglo masyarakat biasa ... 16

Gb. 5. Skema ruang rumah Joglo golongan ningrat ... 17

Gb. 6. Pastor van Lith ... 26

Gb. 7. Pastor Henri van Drissche beserta para muridnya dari sekolah Standaardschool di Mendut ... 27

Gb. 8. Kakak beradik Julius dan Josef Schmutzer beserta istri mereka .... 32

Gb. 9. Upacara Cemengan yang dilakukan di PG Gondang Lipoera sebelum musim giling tiba ... 34

Gb. 10. Julius Schmutzer yang mengawasi panen tebu ... 35

Gb. 11. Rumah Sakit Katolik Onder De Bogen ... 38

Gb. 12. Suster dari kongregasi Carolus Borromeus memeriksa masyarakat sekitar Ganjuran ... 39

Gb. 13. Inkulturasi dalam Arsitektur Gereja Katolik ... 46

Gb. 14. Sketsa awal disain bangunan gereja karta Ir. Julius Schmutzer ... 47

Gb. 15. Maket awal disain bangunan Gereja Ganjuran ... 47

Gb. 16. Disain kerangka bangunan Gereja Ganjuran ... 48

Gb. 17. Arsitek Gereja Ganjuran Th. van Oyen ... 49

Gb. 18. Plafon gereja yang berwarna putih menambah pencahayaan ruang gereja ... 50

Gb. 19. Gereja Ganjuran yang menggunakan atap pelana ... 51

Gb. 20. Bagian depan gereja yang terdapat lonceng Elisabeth ... 52

Gb. 21. Mgr. van Velsen, keluarga Schmutzer beserta misdinar seusai pemberkatan gereja ... 53

Gb. 22. Josef, Iko beserta pemahat lainnya sedang membuat arca ... 56

(17)

xv

Gb. 24. Kedua Arca Malaikat yang mengapit tabernakel dalam posisi

sembah jangga ... 60

Gb. 25. Bentuk arca Hati Kudus Yesus ... 61

Gb. 26. Arca Pradnyaparamita dari Singasari ... 62

Gb. 27. Arca Bunda Maria yang terletak di sisi Selatan altar ... 63

Gb. 28. Panel jalan salib pemberhentian pertama yang diukir oleh Iko ... 64

Gb. 29. Candi HKTY tahun 1930 ... 66

Gb. 30. Candi Penataran di Jawa Timur ... 66

Gb. 31. Prosesi dan perjamuan yang diselenggarakan oleh keluarga Schmutzer di pelataran Candi Hati Kudus Tuhan Yesus ... 67

Gb. 32. Pemberkatan Arca Hati Kudus Tuhan Yesus di pelataran candi .... 68

Gb. 33. Peletakan batu pertama oleh Keluarga Schmutzer beserta staff pekerja pabrik gula Gondang Lipoera dan guru yang mengajar di Standaardschool yang dibangunnya ... 68

Gb. 34. Candi Hati Kudus Tuhan Yesus ... 69

Gb. 35. Kran air Tirta Perwitasari yang berjumlah 9, masing-masing terdapat 3 di setiap sisi Candi HKTY ... 73

Gb. 36. Kran air Tirta Perwitasari yang sudah dipindah tahun 2005 ... 74

Gb. 37. Arca Bunda Maria untuk memulai doa Jalan Salib di Ganjuran .... 75

Gb. 38. Relief Jalan Salib di pelataran Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 75

Gb. 39. Nampak pendapa dengan atap rumah kampung yang ada di sisi Utara dan Selatan gereja ... 76

Gb. 40. Bagian depan gereja yang roboh akibat gempa ... 79

Gb. 41. Bagian depan gereja yang roboh akibat gempa ... 79

Gb. 42. Proses perataan bangunan Gereja Ganjuran ... 79

Gb. 43. Gereja darurat yang dibuat pasca gempa ... 81

Gb. 44. Pendapa pindahan dari pendapa lama yang aman dari gepa, terletak di sisi Selatan gereja ... 85

Gb. 45. Sketsa disain gereja dengan Ruang Adorasi di sisi Barat gereja .... 86

(18)

xvi

Gb. 47. Altar Gereja Ganjuran lama dengan ornamen yang sederhana ... 88

Gb. 48. Altar Gereja Ganjuran baru dengan ornamen yang lebih mewah dan megah ... 88

Gb. 49. Interior gereja yang penuh dengan ornamen kejawaan ... 89

Gb. 50. Umpak ... 90

Gb. 51. Ornamen Probo dan Wajikan ... 91

Gb. 52. Untu Walang ... 92

Gb. 53. Nanasan ... 92

Gb. 54. Wuwung kembang turen dan listplank banyu tumetes ... 93

Gb. 55. Ornamen burung pelikan dan api ... 94

Gb. 56. Kubah kaca bergambarkan para Penginjil dan Tritunggal Maha Kudus ... 95

Gb. 57. Area gamelan di dalam gereja ... 96

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Belanda yang telah menjajah dalam kurun waktu cukup lama, memberikan banyak pengaruh bagi kehidupan bangsa Indonesia. Walaupun

sebagai penjajah, kehadiran mereka juga memberikan kontribusi bagi perkembangan seni, antara lain seni arsitektur atau seni bangunan. Mereka

mempengaruhi gaya hidup masyarakat Indonesia. Banyak pula orang Belanda yang peduli terhadap kebudayaan lokal Indonesia1, dan mengembangkannya, termasuk dalam hal arsitektur. Unsur kebudayaan Indonesia yang terpengaruh

kebudayaan kolonial ini kemudian disebut Kebudayaan Indis.2

Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang terletak di Bantul

dan didirikan pada tahun 1924 merupakan salah satu bangunan bercirikan kebudayaan Indis. Bangunan Gereja tersebut didirikan oleh pengusaha pabrik gula

Gondang Lipoera, Ir. Julius Schmutzer dan keluarganya. Pabrik gula Gondang Lipoera menjadi cikal bakal penyebaran agama Katolik di daerah Ganjuran dan

sekitarnya.

Sebagai orang Belanda yang tinggal di Yogyakarta, Julius Schmutzer beserta keluarganya sangat menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya masyarakat Jawa. Pemberian nama pabrik gula Gondang Lipoera juga tidak luput

dari kesan filosofi sejarah. Hal itu tidak terlepas dari sejarah Kerajaan Mataram

1 H.B Hery Santosa, Reader Sejarah Kebudayaan Indonesia, hlm. 114.

2 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: dan gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa, 2000,

(20)

2

yang dahulunya merupakan tempat Raja Senapati mendapatkan wahyu untuk menguasai tanah Jawa.

Pendirian Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus bukan untuk mencari popularitas atau mencari nama. Seraya mengelola pabrik gula Gondang Lipoera,

Julius Schmutzer dan keluarga hidup dan berkarya dengan semangat kristiani, semangat yang ditimbanya dari Ensiklik Rerum Novarum Paus Leo XIII (1891) yang mereka ketahui ketika di Delft, Belanda.3

Sebagian orang Belanda dan Indo-Belanda yang bekerja dan tinggal di pabrik gula Gondang Lipoera adalah pemeluk Katolik, sehingga memungkinkan

adanya kunjungan pastoral.4 Tidak diketahui dengan jelas berapa banyak umat Katolik di daerah Ganjuran pada masa itu. Satu-satunya data historis yang ditulis oleh Julius Schmutzer menyebutkan, pada tahun 1919 untuk pertama kalinya

diadakan Misa Kudus di rumah keluarga Schmutzer, dipimpin oleh J.B. van Driessche, S.J. bersama tujuh atau delapan umat.

Dalam rangka membangun gereja di Ganjuran, keluarga Schmutzer memperkerjakan seorang arsitek dari Belanda, J. Yh. van Oyen. Pembangunannya

dimulai pada tanggal 16 April 1924, ditandai peletakan batu pertama oleh Vikaris Apostolik Batavia, Monseigneur Antonius van Velsen S.J. dan diberkati pada tanggal 20 Agustus 1924.

3

C.H Suryanugraha, Liturgi Autentik dan Relevan, Yogyakarta, CV. Titian Galang Printika, 2006, hlm. 118.

4 Anton Haryono, Awal Mulanya adalah Muntilan: Misi Jesuit di Yogyakarta 1914-1940,

(21)

3

Schmutzer beserta keluarganya pada waktu itu menyadari orang-orang Ganjuran masih banyak yang menganut Kejawen.5 Mereka menggunakan

mitologi Jawa terbaik untuk mendekatkan gereja dengan masyarakat. Untuk menjalankan niatnya itu, Schmutzer memperkerjakan seorang seniman

Sunda-Muslim bernama Iko untuk membuat ornamen-ornamen gereja dengan nuansa kejawaan. Dalam mendesain dan mengerjakan ornamen-ornamen dan patung gereja, Iko didampingi oleh Yong Shoi Lin, seorang Tionghoa.

Gedung Gereja Ganjuran yang berdiri pada tahun 1924, jika dilihat dari luar seperti bangunan Belanda atau Eropa. Namun jika dilihat interiornya

karakteristik kejawaan gereja ini sangatlah kental. Altarnya bernuansakan Jawa dengan sepasang patung malaikat bersayap mengapit tabernakel, dengan sikap duduk dan sembah jangga.6 Ornamen-ornamen dinding dalam gereja juga

bernuansa kejawaan meskipun bertutur tentang kekatolikan.

Untuk memperkuat karakter kejawaan Gereja Ganjuran, Ir. Julius

Schmutzer merancang sebuah bangunan candi yang dimaksudkan untuk menghormati Hati Kudus Tuhan Yesus. Candi Jawa dipilih sebagai simbol bahwa

seorang raja baru telah hadir di tanah Jawa, yakni Kristus Sang Raja.7 Candi tersebut dibangun empat tahun berselang setelah selesai pembangunan gereja.

Pembangunan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus tidak terlepas dari filosofis

masyarakat Jawa yang sudah dipikirkan oleh keluarga Schmutzer. Arca Yesus Kristus dibuat dalam rupa raja Jawa Klasik. Pemilihan lokasi juga tidak luput dari

5

Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa

6 Sembah jangga adalah posisi duduk bersila dengan tangan mengatup menghormat seperti orang

yang sedang menghadap raja.

(22)

4

filosofi Jawa, di mana bangunan candi menghadap ke selatan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa sosok perempuan, sekaligus ratu mereka berada di Laut Selatan,

Ratu Roro Kidul. Ratu Roro Kidul dianalogikan sebagai Maria. Patung Yesus di Candi Ganjuran dibangun menghadap ke Selatan, artinya menghadap ke arah

Ibunya.

Seiring perkembangan umat yang semakin bertambah, pada tahun 1942 bangunan gereja diperluas. Waktu itu banyak umat gereja yang tidak dapat

mengikuti Ekaristi di dalam gereja. Pada tahun 1948 sewaktu terjadi Agresi Militer Belanda II terjadi pengrusakan besar-besaran terhadap pabrik gula

Gondang Lipoera. Bangunan gereja, candi Ganjuran, sekolah-sekolah dan rumah

sakit tidak mengalami dampak dari peristiwa tersebut.

Selama perkembangannya, Gereja Ganjuran masih menggunakan pondasi

yang tetap dan menggunakan 12 tiang sebagai penyangga di bagian tengah gereja. Bagi masyarakat Jawa, tiang-tiang penyangga tersebut dinamakan Saka Guru. Ciri

khas gereja dengan lonceng di atas pintu masuk gereja juga tetap dipertahankan. Selain itu, altar Gereja Ganjuran yang khas tidak mengalami perubahan sama

sekali.

Semakin berkembangnya umat Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, bangunan gereja juga semakin diperluas. Perluasan bangunan terjadi pada tahun

2000 yaitu dengan menambahkan bangunan pendapa terpisah di sisi selatan dan utara gereja. Bangunan pendapa tersebut kerap digunakan umat untuk ibadah yang

(23)

5

nampak harmonis antara kebudayaan Jawa (bangunan joglo) dengan kebudayaan Eropa (gereja).

Bangunan joglo yang dibuat sebagai ruang tambahan untuk umat tidak bertahan lama. Selang beberapa tahun setelah didirikan, bangunan itu mengalami

kerusakan parah akibat gempa dahsyat yang terjadi pada tanggal 26 Mei 2006. Pada saat umat menyambut komuni, gedung gereja tergoncang, langit-langit gereja runtuh dan sebagian dinding ambrol. Empat umat yang mengikuti misa

pagi saat itu meninggal akibat tertimpa bangunan gereja.

Seiring perbaikan bangunan gereja yang roboh akibat gempa, umat

menggunakan bangunan gereja darurat menyerupai limasan panjang tanpa dinding. Bangunan tersebut terletak di depan pelataran Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, terbuat dari bambu yang diikat dengan tali ijuk dan atapnya menggunakan

damen atau batang padi yang dikeringkan. Berselang tidak lama dari gempa serta

penanganan korban gempa, bangunan gereja yang roboh kemudian diratakan

dengan tanah dan dibuat dengan bangunan baru yang dimulai pada tanggal 22 Juni 2008.

Ide bangunan gereja baru ini tidak terlepas dari cita-cita keluarga Schmutzer yang hendak menggabungkan antara kebudayaan Jawa dengan agama Katolik. Dipilihlah bangunan joglo yang mencirikan bangunan tradisional

masyarakat Jawa. Proyek pembangunan gereja didasari oleh filosofi arsitektur Jawa serta simbol-simbol ajaran Katolik yang tertuang dalam Injil. Setiap

(24)

6

akan karakteristik kejawaannya maupun makna ajaran agama Katolik yang sudah tertuang dalam Injil.

B. Perumusan Masalah

Dalam rangka melihat karakteristik kejawaan dalam Gereja Ganjuran dari sudut pandang arsitektur bangunan, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain:

1. Bagaimana latar belakang berdirinya Gereja Ganjuran?

2. Bagaimana karakteristik kejawaan Gereja Ganjuran sebelum gempa 2006? 3. Bagaimana karakteristik kejawaan Gereja Ganjuran pasca gempa 2006?

C. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penulisan karya

tulis ini, yaitu:

1. Mengetahui latar belakang berdirinya Gereja Ganjuran di tahun 1924.

2. Mengetahui bentuk-bentuk karakteristik kejawaan arsitektur Gereja Ganjuran sebelum gempa tahun 2006.

3. Mengetahui macam-macam karakteristik kejawaan arsitektur Gereja Ganjuran pasca gempa tahun 2006.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan dari Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Diharapkan hasil dari penelitian ini akan dapat

(25)

7

arsitektur Gereja. Penelitian ini pun menjadi pengalaman tersendiri bagi penulis. Hasil penulisan skripsi juga berguna sebagai sumbangan pemikiran tentang studi

sejarah gereja, khususnya arsitektur yang ada di Gereja Ganjuran. Skripsi ini pun dapat digunakan sebagai kajian lebih lanjut bagi institusi atau lembaga terkait,

mahasiswa dan pihak lain yang membutuhkan.

E. Tinjauan Pustaka

Jika seseorang ingin menulis sejarah, maka pertama yang dibutuhkan

adalah sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber sejarah yang digunakan dalam skripsi ini antara lain buku karangan Djoko Soekiman berjudul Kebudayaan Indis

dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Abad XVIII - Medio Abad XX.8 Buku ini menerangkan berbagai bentuk percampuran budaya masyarakat Indonesia dengan kebudayaan Eropa, khususnya Belanda. Kebudayaan yang

bercampur tersebut dinamakan kebudayaan Indis. Ada beberapa aspek kebudayaan Indis, salah satunya yakni religi dan arsitektur. Hal itu tampak dalam karya Schmutzer yakni Gereja Ganjuran dan Candi Hati Kudus Yesus.

Buku yang diterbitkan oleh Kantor Wali Gereja Indonesia, berjudul

Sejarah Gereja Katolik Indonesia 3b, Wilayah-Wilayah Keuskupan Dan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia Abad Ke-20, Jawa, Nusa Tenggara9 membahas sejarah awal mula berkembangnya agama Katolik di beberapa daerah. Buku ini berisi, penyebaran misi di wilayah Jawa hingga Ende dan Larantuka di Nusa

Tenggara. Diterangkan mulai dari mulai berkembangnya Keuskupan Agung

8

Djoko Soekiman, loc.cit.

9 Muskens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia 3b, Wilayah-Wilayah Keuskupan Dan Majelis

Agung WaliGereja Indonesia Abad Ke-20, Jawa, Nusa Tenggara, MAWI, Lampiran-Lampiran,

(26)

8

Semarang baik awal terbentuknya tahun 1940, misi Katolik di Jawa Tengah hingga perkembangan keuskupan lainnya di Jawa Tengah, Jawa Timur hingga

Nusa Tenggara tahun 1970-an.

Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia10, karangan Huub J.W.M. Boelaars, berbicara tentang proses terwujudnya pembangunan struktural dan budaya gereja-gereja setempat di Indonesia. Dalam buku ini diterangkan mengenai proses perubahan yang disebut

Indonesianisasi sejak awal mula sejarahnya, yakni masa sekitar 1940 hingga 1990 di seluruh Nusantara. Kekristenan di Indonesia bukanlah produk lokal Indonesia,

karena berasal dari luar negeri. Kekristenan ditanam di Nusantara pada abad-abad silam sebagai bibit, kemudian mengakar dan makin dewasa melalui berbagai proses, salah satunya adalah inkulturasi, pengungkapan iman Katolik dengan

budaya Indonesia.

Sejarah perkembangan Gereja Katolik di Indonesia juga termuat dalam

buku berjudul Ragi Carita Sejarah Gereja di Indonesia 2 karangan Cornelis van De Ven. Selain perkembangan umat, dalam buku ini disajikan perkembangan

inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia.

Sumber berikutnya adalah buku berjudul Awal Mulanya Adalah Muntilan:

Misi Jesuit Di Yogyakarta karangan Anton Haryono.11 Buku ini mendeskripsikan sejarah penyebaran dan perkembangan misi agama Katolik di Yogyakarta pada tahun 1914 hingga tahun 1940. Di dalamnya juga terdapat data-data mengenai

10 Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja

Katolik Indonesia, 2005, Yogyakarta : Kanisius.

(27)

9

sejarah Gereja Ganjuran yang menggunakan inkulturasi sebagai suatu bentuk atau cara penyebaran agama Katolik.

Kelima buku tersebut digunakan peneliti untuk membahas tentang awal mula penyebaran misi Katolik di Pulau Jawa. Buku-buku itu memaparkan

bagaimana agama Katolik masuk ke Indonesia dengan disebarkan oleh orang-orang Katolik dari Belanda. Orang-orang-orang Belanda tersebut adalah para biarawan Jesuit. Mereka menyebarkan agama Katolik dengan antusias sehingga

karya-karyanya dapat berkembang seperti agama Katolik di Pulau Jawa sekarang ini. Sumber berikutnya berupa artikel karya C.H. Suryanugraha berjudul Candi

Ganjuran: Seni Liturgis Budaya Jawa. Artikel ini dimuat dalam buku berjudul Rupa dan Citra,12 menceritakan keunikan Candi Ganjuran yang dibangun untuk menunjukkan suatu bentuk inkulturasi yang kuat dalam agama Katolik dengan

kebudayaan Jawa. Diterangkan pula mengenai inkulturasi dalam bentuk tata cara ibadah dan acara-acara keagamaan Katolik lainnya.

Panitia pembangunan Gereja Ganjuran menerbitkan sebuah buku berjudul

Ganjuran: Gereja Berkat Dan Perutusan.13 Buku ini memberikan gambaran sejarah Gereja Ganjuran dari awal dibangun tahun 1924, peristiwa gempa Yogyakarta tahun 2006 hingga terbangunnya Gereja Ganjuran masa kini. Di dalamnya, banyak terdapat gambar atau foto dan sketsa-sketsa arsitektur gereja.

Setiap bagian gereja masa kini dijelaskan makna filosofisnya yang kuat, perpaduan antara agama Katolik dan arsitektur Jawa.

12 C.H. Suryanugraha, Rupa dan Citra : Aneka Simbol dalam Misa, 2006, Bandung : SangKris. 13 Panitia Pembangunan Gereja Ganjuran, Ganjuran Gereja Berkat dan Perutusan : Pasca Gempa

(28)

10

Skripsi Lucia Esti Elihami berjudul Sejarah Berdirinya Paroki Hati Kudus

Yesus Ganjuran Inkulturasi Sebagai Landasan Tumbuh Dan Berkembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta14 menjadi bagian penting dari penulisan skripsi ini. Di dalam skripsinya, Lucia Esti menjelaskan tentang sejarah

keluarga Schmutzer hingga terbentuknya Ganjuran sebagai sebuah paroki besar di Yogyakarta.

Ketiga sumber tersebut digunakan untuk membahas latar belakang

berdirinya Gereja Ganjuran serta pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu ada berbagai bentuk inkulturasi agama Katolik dengan kebudayaan Jawa yang

tampak pada Candi Hati Kudus Yesus, Ganjuran.

Selain sumber-sumber yang membahas sejarah Gereja Katolik di Jawa, ataupun di Ganjuran, penulis juga memasukkan sumber-sumber lain tentang

arsitektur. Buku-buku seperti ini dibutuhkan untuk menunjang pembahasan mengenai arsitektur masyarakat Jawa, antara lain: buku karangan H.J. Wibowo

dkk. berjudul Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,15 yang menjelaskan berbagai jenis rumah tradisional masyarakat Yogyakarta. Buku ini

juga menerangkan macam-macam kegunaan atau fungsi yang terdapat dalam masing-masing bagian rumah tradisional Jawa.

Buku lain adalah Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa16 karya K.R

Ismunandar. Buku ini menjelaskan mengenai joglo sebagai bangunan tradisional

14 Lucia Esti Elihami, Sejarah Berdirinya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Inkulturasi Sebagai

Landasan Tumbuh Dan Berkembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta”, 1995,

Skripsi S1, Pendidikan Sejarah, USD.

15 H.J. Wibowo, dkk, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, 1998, Jakarta : CV.

Pialamas Permai.

(29)

11

masyarakat Yogyakarta yang memiliki ciri khasnya masing-masing. Termuat di dalamnya penjelasan tentang teknik pembuatan, makna tiap bagian bangunan,

serta penggunaan simbol-simbol dalam aksesoris bangunan joglo.

Wastu Citra: Pengantar Ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-Sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis karya Y.B. Mangunwijaya merupakan

buku yang berisikan macam-macam bentuk arsitektur dunia beserta kosmologi dari masing-masing ruang yang dimiliki. Dalam buku ini dijelaskan beberapa

filsafat terkait sejarah perkembangan arsitektur serta kosmologi arsitektur gereja yang ada di dunia.

Dalam menyusun skripsi peneliti memanfaatkan juga tradisi lisan, yang diperoleh berdasarkan cerita-cerita dari keluarga peneliti yang tinggal di Ganjuran serta homili yang dilakukan oleh Romo G. Utomo, Pr. saat berkothbah dalam

acara Prosesi Agung gereja Hati Kudus Tuhan Yesus tahun 2015. Data lain yang cukup bermanfaat juga didapatkan dari beberapa video mengenai sejarah Gereja

Ganjuran.

F. Landasan Teori

Sebelum masuk pada pokok pembahasan, penulis perlu menguraikan

beberapa konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini yakni mengenai konsep karakter kejawaan, arsitektur rumah Jawa, dan gereja Katolik. Hal ini bertujuan untuk memperjelas arti dari beberapa kata penting yang sering kali digunakan

dalam pembahasan sehingga ada kesamaan pandang.

Setiap kebudayaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Menurut

(30)

12

penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Salah satu bentuk budaya yang ada di Indonesia yakni budaya Jawa.

Budaya Jawa ini dianut oleh suku Jawa, baik yang menetap di Jawa ataupun di pulau yang berbeda.17 Budaya Jawa yang melekat ini kemudian muncul sebagai

karakter kejawaan. Dalam penulisan ini pengertian kejawaan merupakan kondisi budaya Jawa yang dihayati oleh masyarakat Jawa yang terlihat dari aspek-aspek kehidupan yang dijalani.

Unsur kebudayaan yang dimiliki suku-suku di Indonesia berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Unsur kebudayaan masyarakat pada kesenian

yang dapat dilihat dari seni kriya, seni pertunjukan, seni sastra dan seni lainnya.18 Pada seni kriya ini tampak pada seni ukir dekoratif, dan seni arsitektur atau seni membangun sebuah bangunan tertentu.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh berbagai daerah tampak dari seni kriya dalam rupa arsitektur bangunannya. Kearifan lokal tersebut berasal dari sebuah

tradisi, kondisi lingkungan, kondisi sosial, serta unsur-unsur terkait yang mempengaruhi bentuk suatu bangunan di suatu daerah tertentu. Pengertian

arsitektur berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, jembatan, dan sebagainya serta metode dan gaya rancang suatu konstruksi bangunan.19 Bagi masyarakat dulu,

arsitektur diungkapkan sebagai nilai yang melekat pada karya budaya mereka, yang di dalamnya tersirat idealisme dan perilaku mereka pada waktu itu.20

17

http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen diunduh pada tanggal 20 Mei 2015 pukul 19.00.

18 H.B Hery Santosa, op.cit., hlm. 119. 19 Kamus Besar Bahasa Indonesia.

(31)

13

Dalam masyarakat Jawa dikenal berbagai bentuk bangunan rumah antara lain rumah bentuk kampung, rumah bentuk penggang, rumah limasan dan rumah

joglo. Rumah joglo dan rumah limasan merupakan jenis rumah yang familiar di Jawa, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gb. 1. Bentuk Rumah Joglo (Sumber: www.google.com)

(32)

14

Rumah joglo umumnya dimiliki oleh orang-orang yang mampu. Hal itu karena untuk membangun rumah Joglo dibutuhkan bahan bangunan yang lebih

banyak dan lebih mahal. Masyarakat kalangan menengah ke bawah lazimnya tidak dapat membangun rumah tradisional jenis joglo tersebut. Selain harga bahan

bangunannya yang mahal, bila rumah joglo tersebut mendapat kerusakan dan perlu diperbaiki, tetapi tidak boleh merubah dari bentuk semula. Sebab kalau dilanggar bisa menimbulkan pengaruh yang kurang baik pada penghuni rumah.21

Rumah joglo merupakan bangunan yang sempurna bagi masyarakat Jawa. Bangunan ini memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan jenis rumah

tradisional masyarakat Jawa kebanyaka. Ciri umum bentuk bangunan joglo adalah penggunaan “blandar” bersusun yang disebut “blandar tumpangsari”22

. Di bagian penyangga “blandar tumpangsari” terdapat empat buah tiang pokok yang terletak

di tengah yang disebut “soko guru”. Sebagai penyangga atau kerangka lainnya terdapat “sunduk”, berfungsi sebagai penyiku atau penguat bangunan agar tidak

berubah posisinya. Oleh sebab itu letaknya pada ujung atas “saka guru” di bawah

“blandar”.23

Bangunan berukuran bujur sangkar ini mengalami perubahan seiring perkembangan jaman. Beberapa variasi bentuk bangunan joglo diantaranya: rumah joglo lawakan, rumah joglo sinom, rumah joglo jompongan, rumah joglo

pangrawit, rumah joglo mangkurat, rumah joglo hageng, dan rumah joglo

21 R. Ismunandar K, op.cit., hlm. 93.

(33)

15

tinandhu. Perbedaan mendasar dari berbagai jenis joglo tersebut terdapat di atap bangunan (empyak), brunjung, serta pengeret.24

Selain rumah joglo, rumah limasan merupakan salah satu jenis rumah tradisional masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y) yang dapat dibuat

oleh berbagai kalangan masyarakat. Bentuk rumah limasan ini memiliki denah empatpersegi panjang dan dua buah atap (kenjen atau cocor) serta dua atap lainnya (brunjung) yang bentuknya jajaran genjang sama kaki. Kata limasan ini

diambil dari kata “lima-lasan”, yakni perhitungan sederhana menggunakan ukuran-ukuran : “molo” 3 meter dan “blandar” 5 meter. Tetapi bila “molo” berukuran 10 meter, maka “bladar” harus memakai ukuran 15 meter.25

Kenjen atau cocor cenderung untuk berubah. Karena rumah limasan mengalami penambahan sisi-sisinya yang disebut empyak emper atau atap emper,

menimbulkan variasi baru dari rumah limasan kontemporer. Variasi bentuk rumah limasan antara lain: rumah limasan lawakan, rumah limasan gajah ngombe, rumah

limasan gajah njerum, rumah limasan apitan, rumah limasan klabang nyander, rumah limasan pacul gowang, rumah limasan gajah mungkur, rumah limasan cere

gancet, rumah limasan apitan pengapit, rumah limasan lambang emplok, rumah limasan semar tinandhu, rumah limasan traiumas lambang gantung, rumah limasan trajumas, rumah limasan sinom, dan rumah limasan lambang sari.26

(34)

16

Persamaan dari kedua jenis rumah tradisional Jawa tersebut, terdapat susunan ruangan yang biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ruangan

pertemuan yang disebut dengan pendhapa, ruang tengah atau disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dengan dalem atau omah jero sebagai ruang

keluarga.27 Dalam ruangan itu terdapat tiga buah kamar (senthong) yaitu senthong kiwa, senthong tengah (petanen) dan senthong kanan.

Susunan ruangan rumah bentuk joglo lebih jelas dibandingkan dengan

susunan ruangan rumah Jawa lainnya. Oleh karena itu rumah joglo tersebut

27 Ibid., hlm. 60.

4d a b c

1

2

3

4d 4d

Gb. 3. Skema ruang rumah Limasan (Sumber: Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa)

Keterangan :

1. Ruang depan 2. Ruang tengah 3. Ruang belakang

a. Senthong kiwa b. Senthong tengah c. Senthong kanan 4. d. kamar tambahan

Keterangan :

1. Pendhapa 2. Pringitan 3. Dalem

a. Senthong kiwa b. Senthong tengah c. Senthong kanan

Gb. 4. Skema ruang rumah Joglo masyarakat biasa (Sumber: Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa)

1

a b c

(35)

17

dikatakan sebagai rumah dengan tipe yang lengkap dan tepat bagi masyarakat Jawa. Ada dua jenis tipe rumah joglo berdasarkan status kepemilikan, pertama

ialah rumah joglo milik orang biasa dan rumah joglo milik golongan bangsawan (ningrat). Susunan ruang pada rumah bentuk joglo biasanya disesuaikan dengan

jumlah anggota keluarga. Jadi semakin banyak anggota keluarga itu, makin banyak ruangan yang dibutuhkan. Pada prinsipnya semua kamar dalam ruangan menghubungkan antara tiang yang satu dengan tiang lainnya dan tepat di bawah “blandar”.28

Rumah yang dimiliki golongan bangsawan (ningrat) biasanya dibangun

lebih lengkap. Di bagian depan rumah biasanya terdapat sebuah bangunan pendhapa yang berbentuk joglo terbuka, semakin ke dalam ada sebuah bangunan utama biasanya berbentuk limasan yang di dalamnya terdapat berbagai ruangan

yang terdapat dalam rumah limasan pada umumnya. Di sebelah kiri kanan “dalem” ada bangunan kecil memanjang disebut dengan gandhok yang memiliki

kamar-kamar.

28 Ibid., hlm. 61.

Keterangan :

1. Pendhapa (bangunan joglo dengan ruang terbuka) 2. Pringitan

3. Dalem

a. Senthong kiwa b. Senthong tengah c. Senthong kanan 4. Gandhok

Gb. 5. Skema ruang rumah Joglo golongan ningrat (Sumber: Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa)

a b c

1 2 3

4

(36)

18

Setelah sedikit memahami tentang yang dimaksud dengan kejawaan dan arsitektur rumah Jawa, perlu dipahami lagi mengenai yang dimaksud gereja dalam

skripsi ini. Gereja merupakan persekutuan para orang beriman,29 orang-orang yang percaya kepada Tuhan Allah atau kepada Kristus dan telah dibaptis secara

Kristiani. Namun, pengertian Gereja tidak hanya dalam bentuk persekutuan umat melainkan juga kondisi fisiknya, yaitu bangunan, tempat berkumpulnya umat untuk melakukan ibadah.

Bangunan gereja di Indonesia banyak yang menyerupai bangunan-bangunan rumah di Eropa, karena agama Katolik di Indoneisa pertama kali

disebarkan oleh pastor-pastor Eropa. Pada masa awal perkembangan agama Katolik di Indonesia, bangunan gereja masih menggunakan tempat terbuka atau rumah-rumah orang yang sudah memeluk agama Katolik. Karena semakin banyak

yang mulai memeluk agama Katolik, dibangunlah sebuah tempat khusus untuk mereka beribadat.

Di pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur bentuk bangunan yang didirikan oleh orang-orang Belanda pada tahun 1920-an biasanya sudah ada

perpaduan dengan arsitektur tradisional masyarakat lokal. Ciri khas bangunan Belanda seperti itu antara lain; 1) memiliki denah simetris, pilar di serambi depan dan belakang, 2) menggunakan tempelan batu kali pada tampak depan bangunan,

3) adanya tower (pada bangunan gereja diganti dengan lonceng gereja), serta 4) memiliki ventilasi yang cukup besar. Sebagai tempat peribadatan, gereja yang

(37)

19

dibangun oleh orang-orang Belanda cenderung berbentuk simetris menyerupai salib ( † ).

Di beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali terdapat gereja-gereja tua yang dalam arsitektur mengalami perpaduan budaya Eropa dan

Indonesia, antara lain 1) Gereja Puhsarang di Kediri tahun 1936 yang menyerupai gunung, 2) Gereja Tri Tunggal Maha Kudus di Bali tahun 1937 yang menyerupai pura, dan 3) Gereja Ganjuran di Yogyakarta tahun 1924.30 Beberapa gereja

tersebut memiliki arsitektur tradisional yang diterapkan dalam peribadatan agama Katolik. Bagi masyarakat Jawa, arsitektur gereja yang menyerupai rumah

tradisional membuat mereka lebih nyaman dan lebih sakral dalam melakukan upacara religinya

G. Metode dan Pendekatan Penelitian

1. Metode Penelitian

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi, (4) interpretasi, (5)

penulisan.31

a. Pemilihan Topik

Pemilihan topik adalah langkah awal dalam setiap penulisan sejarah. Topik yang dipilih penulis haruslah bernilai. Syarat terpenting dalam pemilihan topik

yaitu kedekatan intelektual dan kedekatan emosional. Kedekatan intelektual yaitu

30 Cornelis van De Ven, Ragi Carita : Sejarah Gereja di Indonesia 1860an-Sekarang, Jakarta,

BPK GUNUNG MULIA, 1993, hlm. 414-418.

(38)

20

penulis memiliki kemampuan yang memadai untuk membahas topik yang akan ditulis. Sedangkan kedekatan emosional adalah ketertarikan penulis pada topik

yang diambil. Apabila penulis memiliki kompetensi yang memadai dan tertarik pada topik tersebut sangat tinggi, maka penelitian sejarah yang dilakukan akan

terasa menyenangkan.

Penulis memiliki kedekatan intelektual dan emosional pada topik “Karakter Kejawaan Arsitektur Gereja Katolik Ganjuran (Tahun 1924-2013)”.

Penulis memilih topik tersebut karena penulis merasa tertarik atas arsitektur kejawaan yang sangat kental pada Gereja Ganjuran. Arsitektur yang dimiliki oleh

Gereja Ganjuran tersebut semakin berkembang seiring perkembangan umat dan perkembangan jaman. Perkembangan tersebut bukan ke arah arsitektur yang semakin modern melainkan menuju arsitektur yang tradisional dan megah. Dalam

pemilihan topik juga harus memiliki nilai, topik yang akan diteliti harus memberikan makna dan kesan tersendiri bagi para pembaca kelak dan harus

berdasarkan pengalaman manusia yang dianggap penting dan dapat membawa perubahan.

b. Pengumpulan Sumber (Heuristik)

Setelah pemilihan topik yang dilakukan, tahap berikutnya adalah pengumpulan sumber (heuristik). Heuristik berasal dari kata Yunani, heuriskein, artinya menemukan. Heuristik, maksudnya adalah tahap

untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber berbagai data. Pengumpulan data tersebut agar dapat mengetahui segala bentuk peristiwa atau

(39)

21

berbagai jenis sumber yaitu sumber tertulis, sumber lisan, benda tinggalan, dan sumber kuantitatif.32 Pada penelitian ini penulis menggunakan sumber yang

berupa buku-buku dan dokumen yang terkait dengan topik yang akan dibahas.

c. Kritik Sumber (Verifikasi)

Verifikasi adalah penilaian terhadap sumber-sumber sejarah. Verifikasi

atau kritik sumber dalam sejarah memiliki arti pemeriksaan terhadap kebenaran laporan tentang suatu peristiwa sejarah. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja

intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian.33 Data-data yang diperoleh melalui tahapan heuristik terlebih dahulu harus dikritik atau disaring sehingga diperoleh fakta-fakta yang

seobjektif mungkin. Kritik tersebut berupa kritik tentang otentitasnya (kritik ekstern) maupun kredibilitasisinya (kritik intern), dilakukan ketika dan sesudah

pengumpulan data berlangsung. Sumber sejarah yang telah dikritik menjadi data sejarah.

d. Interpretasi

Interpretasi yang biasa disebut juga sebagai penafsiran data. Data yang telah terkumpul dari berbagai sumber kemudian ditafsirkan atau diinterpretasikan. Terdapat dua macam interpretasi yakni analisis (menguraikan) dan sintesis

(menyatukan). Analisis digunakan untuk menguraikan fakta-fakta yang ada dan sintesis digunakan untuk menyatukan seluruh data yang telah dikumpulkan.

Sintesis data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian dikelompokkan

(40)

22

berdasarkan relevansinya sehingga dapat diuji kebenarannya. Dengan demikian tujuan interpretasi data yakni memperkuat data berdasarkan data yang relevan.

e. Penulisan Sejarah (Historiografi)

Penulisan sejarah memiliki tiga bagian penting yang harus diperhatikan yaitu pengantar, hasil penelitian dan kesimpulan. Dalam pengantar dijelaskan latar

belakang topik yang diteliti. Dari latar belakang tersebut kemudian dalam hasil penelitian akan dijelaskan hasil penelitian yang diperoleh oleh penulis dan

kesimpulan yaitu melakukan generalisasi dari bab-bab sebelumnya.

2. Pendekatan Penelitian

Sejarah sebagai ilmu sosial tidak bisa berdiri tanpa bantuan ilmu sosial lainnya. Maka dari itu sejarah meminjam ilmu sosial yang lainnya digunakan

dalam pendekatan. Dengan menggunakan pendekatan ilmu sosial yang lain maka penelitian sejarah akan lebih jelas. Pendekatan menjadi sangat penting, sebab dari pendekatan yang mengambil sudut pandang tertentu akan menghasilkan kejadian

tertentu.34 Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan arsitektur dan budaya.

Pendekatan arsitektur merupakan pendekatan yang berorientasi pada jenis-jenis arsitektur bangunan. Pendekatan arsitektur ini digunakan untuk melihat acuan-acuan bangunan khususnya bangunan Gereja Ganjuran. Pendekatan

arsitektur ini juga digunakan untuk melihat perkembangan bangunan Gereja serta beberapa ornamen pelengkap arsitektur Gereja Ganjuran.

(41)

23

Pendekatan budaya merupakan pendekatan yang berorientasi pada karakter budaya Jawa yang melekat pada Gereja Ganjuran. Budaya Jawa sendiri sangat

identik dengan ragam hias tertentu. Ragam hias atau ornamen yang berasal dari budaya Jawa dipadukan dengan ajaran-ajaran Katolik menghasilkan sebuah

inkulturasi, memperkaya budaya tersebut. Budaya Jawa inilah yang nampak dalam perkembangan Gereja Ganjuran dari masa ke masa.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dalam menyusun skripsi ini, penyusunan dibagi menjadi lima bab. Dalam setiap bab akan terbagi menjadi

beberapa sub bab.

Bab I adalah Pendahuluan. Di dalamnya terdiri dari beberapa sub bab, diantaranya adalah Latar Belakang Masalah yang menerangkan alasan dan minat

dalam penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Landasan Teori, Metodologi penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II menjelaskan tentang latar belakang berdirinya Gereja Ganjuran. Bab ini menjelaskan tentang misi Gereja Katolik di Indonesia sebagai tonggak

awal penyebaran agama Katolik di Jawa khususnya untuk daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Dijelaskan pula mengenai keluarga Schmutzer yang menjadi pendiri sekaligus perancang arsitektur kejawaan gereja di Ganjuran. Kemudian

dilanjutkan dengan penjelasan mengenai proses pendirian gereja yang kemudian menambahkan bangunan Hati Kudus Tuhan Yesus sebagai tanda devosi kepada

(42)

24

Bab III memaparkan tentang karakteristik kejawaan arsitektur Gereja Ganjuran. Bab ini akan menjelaskan tentang pembentukan serta kejawaan

arsitektur yang terdapat dalam bangunan Gereja Ganjuran pada awal pembangunannya yang dilengkapi dengan berbagai macam ornamen liturgi yang

bercirikan kejawaan. Dijelaskan pula perkembangan arsitektur Gereja dari masa ke masa. Sub bab terakhir di bab ini akan menganalisis mengenai peristiwa gempa Yogyakarta tahun 2006 yang menghancurkan struktur bangunan gereja yang

kemudian menjadi titik balik perubahan arsitektur gereja pada masa kini.

Bab IV akan membahas tentang karakteristik kejawaan arsitektur gereja

pasca gempa Yogyakarta tahun 2006. Pembangunan kembali gereja dilaksanakan oleh panitia pembangunan melibatkan beberapa masyarakat. Tiap bagian bangunan yang dibuat memliki makna filosofis di dalamnya. Makna filosofis yang

terkandung tersebut berdasarkan ajaran agama Katolik, tepatnya berada dalam Kitab Suci.

Bab V adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan serta saran dan kritik. Demikian pendahuluan skripsi ini, penulis ngin membuat suatu tulisan

mengenai Karakteristik Kejawaan Arsitektur Gereja Katolik Ganjuran dari tahun 1924-2013, yang meliputi sejarah pembangunan, karakteristik kejawaan arsitektur sebelum gempa Yogyakarta tahun 2006 dan karakteristik kejawaan arsitektur

(43)

25

BAB II

BERDIRINYA GEREJA GANJURAN

A. Misi Gereja Katolik di Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah daerah setingkat dengan provinsi di Indonesia, merupakan peleburan dari Kesultanan Yogyakarta dan

Kadipaten Paku Alaman, terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia.1

DIY terdiri dari beberapa kota dan kabupaten, yakni Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Sleman.2 Pada masa penjajahan banyak orang Belanda tinggal di

kota Yogyakarta. Orang-orang Belanda yang tinggal di Yogyakarta melakukan berbagai kegiatan mulai dari bekerja, mencari nafkah hingga beribadah.

Orang-orang Belanda yang datang ke Indonesia mayoritas Protestan. Pada waktu itu agama Protestan lebih dominan dalam pemerintahan Kerajaan Belanda. Agama Katolik kemudian hadir dan berkembang sehingga berbagai gerakan

misionaris Katolik mulai bermunculan di Pulau Jawa. Persebaran agama Katolik di Jawa Tengah diawali di kota Muntilan. Penyebaran misi pertama kali dilakukan

oleh Pastor van Lith, ia mengajarkan agama Katolik kepada masyarakat pribumi di Muntilan dan Yogyakarta.3

1

Tim Redaksi, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan), 1982, hlm. 7-14.

2

Ibid, hlm. 14.

3 Muskens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia 3b, Wilayah-Wilayah Keuskupan Dan Majelis

Agung Waligereja Indonesia Abad Ke-20, Jawa, Nusa Tenggara, MAWI, Lampiran-Lampiran,

(44)

26

Dalam upayanya menumbuhkan semangat Katolik dari kalangan pribumi, van Lith tidak segan untuk mendatangi keluarga para bangsawan di sekitar Kraton

Yogyakarta dan Pakualaman. Pastor van Lith juga mendirikan sekolah guru yakni sekolah Kolese Xaverius pada tahun 1904.4 Hasil dari usaha Pastor van Lith

dalam mengajarkan agama Katolik kepada masyarakat pribumi yaitu dengan dilakukannya pembaptisan pertama di Sendang Sono pada 14 Desember 1903 dengan memberikan sakramen permandian kepada 174 orang.5 Pembaptisan yang

dilakukan oleh Pastor van Lith tersebut menjadi tonggak awal perkembangan misi di Jawa.

Gb. 6. Pastor van Lith

(Sumber: Sejarah Katolik Gereja Jilid 3B)

(45)

27

Selain Pastor van Lith, ada pula seseorang keturunan Indo yang bernama Henri van Driessche menjadi tokoh penyebar agama Katolik di Yogyakarta dan

sekitarnya. Ia lahir di Surabaya tahun 1875 dan menjadi imam saat berobat ke Eropa. Tahun 1912 pastor van Driessche kembali ke Indonesia dan menjadi guru

di kolese Muntilan.6

Gb. 7. Pastor Henri van Driessche beserta para muridnya dari sekolah Standaardschool di Mendut (Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani)

Mulai bulan Maret 1919 pastor van Driessche pindah ke Yogyakarta

hingga meninggalnya 10 Juni 1934.7 Dalam menyebarkan ajaran Katolik di Muntilan dan Yogyakarta, ia sangat terbantu sekali dengan kemampuannya

berbahasa Jawa. Dengan kemampuannya tersebut semakin membuat orang-orang tertarik untuk belajar lebih tentang agama Katolik. Selama di Yogyakarta, Pastor van Driessche diminta untuk membuka sekolah-sekolah di Yogyakarta. Dorongan

(46)

28

dari murid-muridnya tersebut memberikan semangat padanya untuk lebih berkarya di Yogyakarta dan sekitarnya.

Pastor van Driessche, yang sejak kecil sudah pincang, hanya bisa mengunjungi Klaten, Wedi, namun di tahun 1922 ia mendapatkan sebuah mobil

dari keluarga Schmutzer yang berdomisili di Ganjuran. Bantuan mobil yang diberikan oleh keluarga Schmutzer tersebut mempermudah untuk berkunjung serta mengemban kerasulannya di Yogyakarta.8

Sebelum Pastor van Driessche mendapatkan mobil dari keluarga Schmutzer, ia sudah memberikan pengajaran agama Katolik dan misa mingguan

kepada beberapa masyarakat di Ganjuran, terutama kepada karyawan pabrik gula

Kali Gondang yang berubah nama menjadi Gondang Lipoera. Bedasarkan

dokumen yang ditulis oleh keluarga Schmutzer dalam Bahasa Belanda dikatakan

bahwa tahun 1919 untuk petama kalinya diadakan Misa Kudus di rumah keluarga Schmutzer yang dirayakan oleh Pastor van Drissche, S.J. bersama tujuh atau

delapan umat.9

B. Keluarga Schmutzer dan Pabrik Gula Gondang Lipoera

Keluarga Schmutzer merupakan salah satu keluarga Belanda yang menetap

di Ganjuran, Yogyakarta. Tidak diketahui secara jelas tentang orang Katolik pertama di Ganjuran, namun diyakini bahwa Stefanus Barends dan istrinya Elise Francisca Wilhelmia Karthaus adalah keluarga Katolik pertama di Ganjuran pada

8 Ibid., hlm. 862.

9 C.H Suryanugraha, Liturgi Autentik dan Relevan, 2006, Yogyakarta : CV. Titian Galang Printika,

(47)

29

pertengahan abad ke-19.10 Mereka adalah cikal bakal keluarga Schmutzer sekaligus pewarta agama Katolik pertama di Ganjuran.

Barends adalah orang Belanda yang cukup kaya di negerinya. Ia tiba pertama kali di Surabaya pada pertengahan abad ke-19 dan kemudian bersama

istrinya ke Ganjuran untuk berbisnis di sana. Tidak banyak kontribusi yang diberikan keluarga Barends selama tinggal di Ganjuran. Tercatat pada tanggal 1 September 1862, Stefanus Barends membeli perkebunan tebu dan mengelolanya

menjadi perusahaan keluarga. Selama pengelolaannya, perusahaan gula tersebut berjalan lancar karena pada waktu itu gula merupakan komoditi yang laris untuk

perdagangan ekspor dari Indonesia. Masa-masa sulit pabrik gula di Ganjuran terjadi setelah pemilik pabrik gula tersebut meninggal dunia di tahun 1876. Di bawah pengelolaan anaknya, Ferdinand Barends, pabrik gula tersebut kurang

memiliki andil besar bagi perkembangan Ganjuran.

Sepeninggal Stefanus Barends, istrinya Elise Karthaus kembali ke

Surabaya dan menetap beberapa lama di sana. Selama tinggal di Surabaya, ia bertemu dan berkenalan dengan Gottfried Josef Julius Schmutzer. Pada akhirnya

di tahun 1880, Gottfried Schmutzer dan Elise Karthaus menikah. Seluruh kekayaan Stefanus Barends diwariskan kepada Elise dan Ferdinand Barends, anak mereka. Di antara warisan itu adalah kebun tebu dan pabrik gula di desa Ganjuran,

Yogyakarta, yang secara khusus diwariskan kepada Ferdinand Barends setelah ibunya menikah lagi dengan Gottfried J.J. Schmutzer.11

10 Warta Berkah Dalem Ganjuran Awal Misi Di Ganjuran, diakses 21 Agustus 2015, jam 10.23

WIB.

(48)

30

Pernikahan Gottfried Schmutzer dengan Elise Karthaus dikaruniai empat anak: Elise Anna Maria Antonia Schmutzer (1881), Josef Ignaz Julius Maria

Schmutzer (1882), Julius Robert Anton Maria Schmutzer (1884) dan Eduard Wilhelm Maria Schmutzer (1887). Mereka menetap dan tinggal di Surabaya untuk

beberapa lama. Putra terakhir dari pasangan Gottfried dan Elise meninggal pada tahun 1905 dalam usia 18 tahun karena serangan suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan.

Di Surabaya, Josef beserta adiknya, Julius sekolah hingga lulus sekolah menengah (HBS). Setelah lulus, mereka melanjutkan studi teknik di Delft,

Belanda. Josef lulus sebagai insinyur pertambangan pada tahun 1902, meneruskan studi ke Paris sampai memperoleh Diploma Insinyur pertambangan pada tahun 1904. Pada tahun 1905 ia menjadi dosen di Utrecht dan tahun 1910 memperoleh

gelar Doktor dari Sekolah Tinggi Teknik di Delft. Ia menjadi dosen sampai tahun 1912.12 Sementara itu adiknya, Julius Schmutzer berhasil meraih gelar Insinyur

teknik dan tinggal di Belanda sampai tahun 1910.

Selama masa kuliah di Delft, kakak beradik Schmutzer aktif dalam

gerakan mahasiswa Katolik. Sebagai aktifis mahasiswa mereka sering mengadakan diskusi. Salah satu yang mereka diskusikan adalah Ensiklik Rerum

Novarum,13 ajaran sosial Gereja yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891. Ensiklik Rerum Novarum berisi ajaran tentang tanggung jawab sosial Gereja dan seluruh anggota Gereja terhadap buruh dan situasi yang dialami buruh

12

Lusia Esti Elihami, op.cit., hlm 28.

13 Ensiklik (dari bahasa Yunani: egkuklios, “lingkaran”) adalah sebuah istilah dalam agama

(49)

31

sebagai akibat dari industrialisasi.14 Pergejolakan terjadi antara kaum buruh dengan kaum pemilik modal di Eropa. Munculnya paham sosialisme yang

semakin memojokkan kaum buruh, sehingga Gereja pun kemudian mengambil jalan keluar yakni dengan dicetuskannya Ensiklik karya Paus Leo XIII tersebut.

Paus Leo mendukung hak-hak buruh untuk membentuk serikat buruh, namun ia menolak sosialisme dan mengukuhkan hak milik perseorangan, dalam upaya mengusahakan kesejahteraan rakyat.15 Josef dan Julius Schmutzer sangat terkesan

dengan ajaran sosial Gereja ini.

Setelah meraih gelar Insinyur teknik di tahun 1910, Julius Schmutzer

beserta ibunya kembali ke Jawa dan tinggal di Ganjuran. Di tahun 1912 ibunya, Elise Karthaus Schmutzer, meninggal dunia setelah sakit keras. Dengan kematian sang ibunda di Ganjuran, Josef Schmutzer mengundurkan diri dari profesinya

sebagai dosen di Delft dan memilih kembali ke Ganjuran. Ketiga bersaudara Schmutzer, Elise, Josef, dan Julius Schmutzer sepakat membeli perkebunan tebu

di Ganjuran dari Ferdinand Barends, anak pertama mendiang ibu mereka dari suami sebelumnya.16 Dengan demikian perkebunan tebu di Ganjuran sejak saat itu

resmi menjadi milik keluarga Schmutzer.

14 Lusia Esti Elihami, op.cit, hlm 29.

(50)

32

Gb. 8. Kakak beradik Julius dan Josef Schmutzer beserta istri mereka. (Sumber: St. Claverbond 1928, Perpustakaan Kolsani)

Sejak kepindahan kakak beradik Schmutzer di Ganjuran, mereka

bertempat tinggal di dusun Kali Gondang. Mulai tahun 1912 Josef dan Julius Schmutzer bekerja membangun pabrik gula milik mereka di Ganjuran. Karena

rumah dan pabrik gula mereka terletak di dusun Kali Gondang, yang artinya “sungai siput” maka nama pabrik gula itu dinamakan sesuai nama dusun itu.17

Josef dan Julius Schmutzer berusaha memodernisasi pabrik gula yang sudah tua

dengan mendatangkan mesin-mesin baru dan menerapkan teknologi yang paling maju saat itu. Mereka menerapkan sistem manajemen yang baik juga mengadakan

kesepakatan kerja yang menguntungkan para pekerja. Kesepakatan kerja tersebut pada saat itu merupakan satu-satunya di Jawa (dan di seluruh Hindia Belanda).18

17 C.H Suryanugraha, op.cit., hlm. 117.

(51)

33

Kesepakatan kerja yang dipraktekkan oleh administrator dengan karyawan pabrik gula Kali Gondang merupakan hasil studi kakak beradik Schmutzer di

Belanda. Mereka sangat tertarik akan Rerum Novarum, sebuah ajaran sosial gereja yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII pada tahun 1891. Ensiklik Rerum Novarum

ini berisi ajaran tentang tanggung jawab sosial Gereja dan seluruh anggota Gereja terhadap buruh dan situasi yang dialami buruh sebagai akibat dari industrialisasi. Baginya, buruh merupakan mitra kerja yang sangat mempengaruhi kehidupan

keluarga Schmutzer serta perkembangan pabrik gulanya. Mitra kerja tersebut harus diberikan karena menjawab persoalan perindustrian di Eropa.

Eropa pada masa itu mengalami perpecahan masyarakat akibat industrialisasi. Industrialisasi yang terjadi di Eropa membagi masyarakat berdasarkan kepemilikan modal. Kelas pertama dinamakan majikan atau kapital,

sedangkan yang kedua adalah kelompok yang tidak memiliki modal sehingga mereka menjual tenaganya kepada pemilik modal. Mereka biasa disebut

kelompok buruh, pekerja atau proletar. Perbedaan kelompok masyarakat memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, keluarga

Schmutzer sangat tidak ingin mempraktekkan apa yang terjadi di Eropa karena hal tersebut justru akan merugikan dirinya serta masyarakat banyak.

Selama di Yogyakarta, Julius Schmutzer sangat antusias serta tertarik

dengan budaya Jawa. Ia sebagai pemerhati kebudayaan Jawa, sangat peduli terhadap sejarah, filosofi serta pendidikan masyarakat Jawa, khususnya

(52)

34

Nama Lipoera diambil dari nama dusun tetangga dusun Kali Gondang, yang artinya “penghiburan”.19

Antara tahun 1922 sampai 1924, Josef dan Julius

Schmutzer melakukan kontak kepada pihak-pihak yang memahami budaya Jawa. Julius mengembangkan kebudayaan Jawa dengan beberapa kesenian, mulai dari

musik, tarian serta beberapa upacara adat lokal. Upaya merangkul masyarakat lokal dengan para pekerja pabrik gulanya, ia melakukan upacara adat cemengan yakni tradisi besar di setiap pabrik gula sebelum musim giling tebu tiba.20 Selain

itu, Schmutzer juga memberikan bantuan keuangan untuk para pekerja pabrik yang mengadakan hajatan seperti mantu, sunat dan lain-lain. Puncak perhatian

Schmutzer terhadap budaya Jawa nampak pada pembuatan Candi Hati Kudus Yesus yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian selanjutnya.

Gb. 9. Upacara Cemengan yang dilakukan di PG Gondang Lipoera sebelum musim giling tiba (Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani)

19 C.H Suryanugraha, op.cit., hlm. 120.

(53)

35

Dalam menjalankan pabrik gula, keluarga Schmutzer menggunakan bibit tebu unggulan agar lebih maju produksinya. Usaha yang dilakukan tersebut

memberikan hasil dengan dinobatkannya pabrik gula Gondang Lipoera sebagai pabrik gula terbaik di jamannya, memiliki produksi paling tinggi di Pulau Jawa.

Di tahun-tahun awal perkembangan pabrik gula Gondang Lipoera, areal penanaman tebu hanya berkisar 300 hektar, namun dalam kurun waktu 10 tahun areal penanaman tebu di Ganjuran mencapai 600 hektar.21 Di bawah kepemilikan

Schmutzer bersaudara, pabrik gula Gondang Lipoera berhasil menjadi satu-satunya parbik gula swasta yang besar dan tidak terpengaruh resesi ekonomi dunia

sekitar tahun 1920-an. Selain tu, ketika gelombang pemogokan melanda pabrik-pabrik gula lainnya sekitar tahun 1920-an, pabrik-pabrik gula Gondang Lipoera tidak terpengaruh. 22

Gb. 10. Julius Schmutzer yang mengawasi panen tebu. (Sumber: St. Claverbond, Perpustakaan Kolsani)

21 Lus

Referensi

Dokumen terkait

bahwa hasil belajar siswa yang diharapkan belum memenuhi standar kelulusan. Oleh karena itu guru berusaha meningkatkan hasil belajar siswa secara maksimal. Berdasarkan latar

Latar belakang masalah penelitian ini adalah berdasarkan dari hasil pengamatan pendahuluan yang menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran guru kurang memperhatikan