• Tidak ada hasil yang ditemukan

TIDAK TERPENUHINYA NAFKAH BATIN DAN TIDAK ADANYA RASA SAYANG DAN CINTA DALAM RUMAH TANGGA MENJADI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN DITINJAU DARI UNDANG-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TIDAK TERPENUHINYA NAFKAH BATIN DAN TIDAK ADANYA RASA SAYANG DAN CINTA DALAM RUMAH TANGGA MENJADI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN DITINJAU DARI UNDANG-"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

TIDAK TERPENUHINYA NAFKAH BATIN DAN TIDAK ADANYA RASA SAYANG DAN CINTA DALAM RUMAH TANGGA MENJADI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Putusan

Nomor: 353/Pdt.G/2018/MS.Bna)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AIDA SRI RAHMADANI NIM: 160200051

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Aida Sri Rahmadani NIM : 160200051

Departemen : Hukum Perdata (BW)

Judul Skripsi : Tidak Terpenuhinya Nafkah Batin dan Tidak Adanya Rasa Sayang dan Cinta Dalam Rumah Tangga Menjadi Alasan Terjadinya Perceraian Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Putusan Nomor:

353/Pdt.G/2018/MS.Bna) Dengan ini menyatakan

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Januari 2020

Aida Sri Rahmadani NIM: 160200051

(4)

ABSTRAK Aida Sri Rahmadani*

Rabiatul Syahriah**

Syamsul Rizal***

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Namun kenyataannya sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun telah membuktikan bahwa tidak selalu itu dapat dicapai, bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal sama sekali di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata sepakat atau karena olehnya salah satu pihak ataupun perilaku kedua belah pihak yang bertentangan dengan ajaran agama.

Berdasarkan hal tersebut penulis mengangkat judul skripsi: Tidak Terpenuhinya Nafkah Batin dan Tidak Adanya Rasa Sayang dan Cinta dalam Rumah Tangga Menjadi Alasan Terjadinya Perceraian Dintinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Masalah di dalamnya mengenai faktor-faktor putusnya perkawinan karena perceraian, kewajiban pemberian nafkah dari suami kepada istri, serta akibat hukum dari perceraian karena faktor nafkah batin dan tidak adanya rasa sayang dan cinta dalam rumah tangga.

Metode penelitian menggunakan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dan diajukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini serta studi putusan No. 353/Pdt.G/2018/MS.Bna. Dalam penulisan ini, digunakan bahan hukum normatif berupa peraturan perundang-undangan dan pendapat para ahli serta bahan-bahan perpustakaan hukum yang berkaitan dengan materi pokok judul skripsi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suatu kelalaian yang dilakukan oleh salah satu pihak baik suami ataupun istri dalam rumah tangga dapat mengakibatkan adanya suatu perceraian dan memutuskan tali perkawinan antara suami istri tersebut dan Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan bagi mantan istri. Berdasarkan undang-undang suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam pengaturan Undang- Undang Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami. Berdasarkan pertimbangan hakim melalui fakta hukum yang telah terbukti di persidangan, bahwa dengan telah terbukti secara nyata tentang adanya perselisihan yang terjadi secara terus menerus yang disebabkan seperti yang sudah dipaparkan dalam duduk perkara antara Penggugat dan Tergugat yang mengakibatkan tidak adanya kerukunan dalam rumah tangga, dengan begitu hakim menentukan putusan atas perkara perceraian tersebut diputus dengan menjatuhkan talak satu bain sughra kepada Tergugat terhadap Penggugat.

Kata Kunci : Perkawinan, Perceraian, Undang-undang, Rumah Tangga

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta‟ala atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan Salam juga juga senantiasa Penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu Wasallam yang telah membimbing umat manusia menuju jalan keselamatan dan keberkahan. Skripsi dengan judul “Tidak Terpenuhinya Nafkah Batin dan Tidak Adanya Rasa Sayang dan Cinta Dalam Rumah Tangga Menjadi Alasan Terjadinya Perceraian Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Putusan Nomor 353/Pdt.G/2018/MS.Bna)” disusun untuk memenuhi tugas akhir dan memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua dukungan dan bantuan yang terlah diberikan, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. OK Saidin, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Universitas Sumatera Utara;

(6)

6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembmbing I penulis.

Terimakasih atas bimbingan ilmu, saran, dan nasihat yang ibu berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

8. Bapak Syamsul Rizal, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis.

Terima kasih atas saran, arahan, dan masukan yang membangun dalam setiap bimbingan, serta waktu yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

9. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama perkuliahan;

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang terbaik, serta membimbing penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Seluruh Staf Pegawai dan Tata Usaha di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dalam urusan administrasi;

12. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta Abdul Muis, BA dan Surasmi, SPd, penulis ucapkan terimakasih yang tiada henti-hentinya membimbing, memotivasi, menasehati penulis, membiayai dan memberikan kepercayaan kepada penulis selama menempuh pendidikan;

13. Abang kandung tersayang Budi Siswanto, ST, Abdul Sani Permana, Hamzah Apriza, SP, dan Ahmad Faisal yang selalu mendoakan penulis dan memberikan bantuan materi kepada penulis selama masa perkuliahan;

14. Kakak ipar tersayang Saputri, Ryana Novita, dan Sri Dewi yang selalu mendoakan dan memberi semangat kepada penulis sehingga menjadi penyemangat tersendiri bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

(7)

15. Grup Baperan tersayang, Sari Habib Ritonga, Seri Ulina Quita Depari, Wulan Dari, Yulia Indah Pratiwi Nst, Tiamsa Hutagalung, yang senantiasa menghiasi hari-hari perkuliahan mulai maba hingga sekarang dan selalu jadi tempat curhat penulis;

16. Sahabat tersayang dari lahir hingga sekarang Rika Malia yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dan selalu menemani suka dan duka penulis;

17. Kepada kakanda Mulia dan abangda Bahrin Daulay yang selalu memberikan arahan dan masukan serta saran yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

18. Sahabat kos tersayang , kakanda Irma Juniwati, kakanda Dessy Anna Rahayu, kakanda Weny Alfiah, Pegi Andriani Saragih, Nur Safitri, Sholahuddin, kakanda Tri Septianingrum yang selalu setia membantu penulis dalam mengerjakan skripsi, dan selalu jadi penyemangat dan teman curhat disaat mengahadapi masa-masa perkuliahan;

19. Rekan-rekan IMKA ERKALIAGA (Ikatan Mahasiswa Karo) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama menjalani perkuliahan;

20. Rekan-rekan “Ahsanil Qadirin‟16” BTM Aladdinyah, SH, yang selalu memberi energi tersendiri bagi penulis;

21. Rekan-rekan selama perklinisan yang memberikan warna selama masa perklinisan dan selalu buat penulis jadi semangat untuk menyelesaikan skripsi ini,.

Penulis adalah manusia yang memiliki keterbatasan, sehingga penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap kepada semua pihak agar dapat

(8)

memberikan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Desember 2019

Aida Sri Rahmadani NIM. 160200051

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ..1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Tinjauan Pustaka ... 12

F. Metode Penelitian... 16

G. Keaslian Penulisan ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II FAKTOR PENYEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan Dan Dasar Hukum Dari Perkawinan ... 22

B. Syarat Sah Dan Akibat Hukum Dari Perkawinan ... 28

C. Tujuan Dari Perkawinan ... 34

D. Pengertian Perceraian Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ... 38

E. Akibat Hukum dari Perceraian ... 42

F. Macam-Macam Perceraian... 46

G. Faktor Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ... 50

(10)

H. Sebab Putusnya Perkawinan ... 52 BAB III KEWAJIBAN PEMBERIAN NAFKAH DARI SUAMI

KEPADA ISTRI MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Kedudukan Hak Dan Kewajiban Suami Dan Istri Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam ... 60 B. Pengertian Dan Jenis-Jenis Nafkah ... 67 C. Sebab-Sebab Yang Mewajibkan Nafkah ... 73 D. Nafkah Batin Dan Tidak Saling Cinta Sebagai Alasan

Perceraian ... 75 BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DAN AKIBAT HUKUM

DARI PERCERAIAN KARENA FAKTOR NAFKAH BATIN DAN TIDAK ADANYA RASA SALING CINTA (Putusan No. 353/Pdt.G/2018/MS.Bna)

A. Kasus Posisi ... 85 B. Pertimbangan Hakim Atas Putusan Pengadilan Agama Banda

Aceh ( Studi Putusan No. 353/Pdt.G/2018/MS.Bna) ... 87 C. Akibat Hukum Dari Perceraian Karena Faktor Nafkah Batin

Dan Tidak Ada Rasa Saling Cinta (Studi Putusan

No.353/Pdt.G/2018/MS.Bna) ... ……….94 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 100 B. Saran ... 101 DAFTAR PUSTAKA ... 103 LAMPIRAN

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, (Pasal 1).1 Membentuk keluarga artinya membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami-istri dan anak-anak.

Membentuk rumah tangga rumah tangga artinya membentuk kesatuan hubungan suami istri dalam satu wadah yang disebut rumah kediaman bersama. Sedangkan bahagia artinya ada kerukunan dalam hubungan antara suami-istri atau anak-anak dalam rumah tangga. Kekal artinya berlangsung terus-menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja atau dibubarkan menurut kehendak pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Tetapi tidak selalu tujuan perkawinan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan cita-cita dan harapan bagi pasangan suami istri yang bersangkutan.

Adapun beberapa definisi menurut pakar Indonesia mengenai perkawinan : 1. Menurut Sajuti Thalib, Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan menbentuk keluarga yang kekal, santun- menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.2

1 Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 20.

(12)

2

2. Hazairin menyatakan bahwa inti dari Perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.3

3. Mahmud Yunus mendefinisikan Perkawinan sebagai hubungan seksual.

Sedangkan Ibrahim Hosein mendefinisikan bahwa Perkawinan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.4

Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) bertujuan mengatur pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan kekal di dalam suatu rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai.

Namun kenyataannya sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun telah membuktikan bahwa tidak selalu itu dapat dicapai, bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal sama sekali di tengah jalan, karena tidak tercapainya kata sepakat atau karena olehnya salah satu pihak ataupun perilaku kedua belah pihak yang bertentangan dengan ajaran agama.5

Dasar perkawinan adalah saling mencintai satu sama lain, saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing, saling menerima apa adanya. Karena mereka adalah insan berasal dari pola hidup yang berlainan, mereka datang dari dua tipe karakter, sifat, tabiat, perilaku, kebiasaan, dari dua keluarga yang berbeda. Oleh karena itu mereka harus saling mencintai dan saling ketertarikan satu sama lain, maka terjadilah perkawinan yang diinginkan dan harmonis.

3 Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi Kristis Perkembangan hukum islam dari fikh, UU NO. 1 tahun 1997 sampai KHI, Kencana, Jakarta, 2006, hlm.40.

4 Ibid.

5 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, hlm. 1.

(13)

Setelah mereka kawin dan sebagai suami istri, maka mereka mempunyai beban yang diletakkan oleh Undang-Undang, yaitu memikul kewajiban yang luhur, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang luhur, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang atau sama dalam kehidupan rumah tangga. Dan dalam pergaulan hidup dalam masyarakat, mereka tidak boleh diizinkan saling mengekang, menghalangi satu sama lain. Mereka berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Namun Undang-Undang, menetapkan suami sebagai kepala rumah tangga, dia adalah kapten sebuah kapal yang sedang mengarungi samudera yang luas, menuju ke pantai bahagia, sedangkan istri adalah ibu rumah tangga, namun Surat Al-Baqarah ayat 228, mengatakan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan laki-laki. Istri berhak melakukan perbuatan hukum sesuai dengan persamaan hak, namun dalam praktek hendaknya perbuatannya itu mendapatkan persetujuan lebih dulu oleh suaminya. Meskipun suami adalah kepala rumah tangga, dia harus juga mengurus istri dan keluarganya. Surat An Nisa ayat 34, mengatakan laki-laki itu pengurus atas perempuan dan sebaliknya istri adalah ibu rumah tangga, juga dia harus setia (taat) kepada suaminya.6

Perkawinan merupakan perbuatan yang paling penting didalam kehidupan manusia, karena merupakan suatu bentuk pergaulan hidup manusia didalam kehidupan bermasyarakat serta lingkungannya masyarakat sosial yang terkecil, tetapi lebih dari itu bahwa perkawinan merupakan perbuatan hukum dan perbuatan hukum dan keagamaan.

6 Ibid., hlm . 33

(14)

4

Menurut Wirjono Prodjodikoro, memberikan pengertian perkawinan sebagai suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan tersebut. Peraturan dari hidup bersama lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain, ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya.7

Dalam keputusan perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya bukan muhrim.8

Pada hakikatnya, akad nikah adalah pertalian yang teguh dan kuat dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara suami dan istri dengan suaminya, kasih-mengasihi, kebaikan itu akan berpindah kepada semua keluarga kedua belah pihak, sehingga mereka menjadi integral dalam segala kejahatan. 9

Perkawinan juga dapat diartikan sebagai suatu perjanjian. Sebagai perjanjian, berarti adanya kemauan bebas antara dua pihak yang saling berjanjian, berdasarkan prinsip suka sama suka dalam melangsungkan perkawinan. Dengan demikian, jauh sekali dari segala yang dapat diartikan mengandung suatu paksaan.

7 Wirjono Prodjodikoro dalam Tan Kamello, Syarifa Lisa Andriati, Hukum Orang Dan Keluarga, Medan, 2011, hlm. 39.

8 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hlm. 8.

9 Musthofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, CV Pustaka Setia, Bandung, 2011, hlm. 10.

(15)

Karena itu pihak laki-laki maupun perempuan yang mengikat janji dalam suatu perkawinan mempunyai kebebasan penuh untuk menyatakan apakah mereka bersedia atau tidak melangsungkan perkawinan.10

Tidak diperolehnya keturunan karena ketidakmampuan salah satu pihak, bukan merupakan sebab resmi untuk bercerai. Apabila terjadi, itu hanyalah hak untuk memilih yang dapat dipergunakan atau tidak. Akan tetapi, pada umumnya dapat dikatakan bahwa persetubuhan merupakan faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama tadi, dengan maksud mendapatkan keturunan ataupun hanya untuk hawa nafsu. Jadi, bahwa faktor yang satu ini sangat mempengaruhi manusia, di samping faktor-faktor lain untuk melakukan perkawinan.11

Perkawinan menurut hukum islam sebagai mitsaqan ghaliizhan juga ditegaskan dalam pengertian yuridis perkawinan menurut pasal 2 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yaitu

“perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat

“mitsaqan ghaliizhan” untuk mentaati perintah Allah SWT melaksanakannya merupakan sebuah ibadah.12

Hubungan perkawinan memang banyak menimbulkan berbagai konsekuensi sebagai akibat dari adanya perikatan (aqad) baru yang terjalin, dan salah satunya ikatan kekeluargaan diantara keduanya. Di samping itu hubungan perkawinan juga membuahkan adanya hak-hak baru yang sebelumnya tidak ada, kewajiban-kewajiban baru antara pihak yang satu terhadap yang lainnya, diantara kewajiban-kewajiban itu, termasuk kewajiban suami untuk memberikan nafkah

10 Ibid., hlm. 13 11 Ibid., hlm. 25.

12 Muhammad Syaifudin,Sri Turatmiyah, Analisa Yahanan, Hukum Perceraian, Sinar Graf ika, JakartaTimur, 2016, hlm. 2.

(16)

6

kepada istrinya. Sudah seharusnya istri memberikan hak-hak suami mereka dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka yang telah diatur oleh undang-undang Perkawinan tersebut dengan kesadaran dan tanggung jawab diri pribadi istri. Begitu pula sebaliknya suami juga sudah seharusnya memberikan hak-hak istri mereka dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka sesuai dengan Undang-Undang tersebut dan dengan kesadaran tanggung jawab dari diri pribadi suami, artinya melaksanakan kewajibannya tanpa adanya paksaan dari istri.

Andaikan suami ataupun istri melalaikan kewajibannya, maka masing- masing pihak suami istri bisa mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Suami istri melalaikan kewajibannya dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”. Salah satu bentuk kelalaian dalam rumah tangga ialah tidak adanya rasa saling mencintai dan tidak saling menghormati, tidak setia dan tidak memberikan bantuan lahir batin yang satu dengan yang lain (suami dengan istri).

Perceraian merupakan putusnya hubungan perkawinan secara hukum dan permanen. Tindakan hukum ini akan mempengaruhi hak asuh anak, hak kunjungan dari orang tua, pembagian harta benda, dan tunjangan anak. Perceraian yang biasanya didahului oleh konflik antar pasangan suami istri merupakan suatu proses kompleks yang mengawali berbagai perubahan emosi, psikologis dan lingkungan.13

13 Wirjono Prodjodikoro, R, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan ke enam Sumur Bandung, Bandung, 1974, hlm. 132.

(17)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Bab VIII tentang putusnya perkawinan dapat putus karena: (a) kematian; (b) perceraian; (c) atas keputusan pengadilan.

Pasal 39 Undang-Undangan Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ketentuan perceraian sebagai berikut :

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;

b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri;

c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di atas tentang perceraian dilakukan oleh suami istri karena sesuatu yang dibenarkan oleh pengadilan melalui persidangan. Pengadilan mengadakan upaya perdamaian dengan memerintahkan kepada pihak yang akan bercerai untuk memikirkan segala madharatnya jika perceraian itu dilakukan, sedangkan pihak suami dan pihak istri dapat mengadakan perdamaian secara internal, dengan musyawarah keluarga atau cara lain yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Jika perdamaian yang disarankan oleh majelis hakim di pengadilan dan pihak-pihak lain tidak memberikan solusi, dan justru rumah tangga akan lebih madharat jika dilanjutkan, perceraian pun akan diputuskan.14

14 Musthofa Hasan, Op.cit., hlm. 205.

(18)

8

Suatu perceraian dapat terjadi karena kehidupan rumah tangga yang sudah tidak harmonis dan bertanggung jawab serta melanggar prinsip-prinsip perkawinan hal ini jelas tidak sesuai dengan tujuan perkawinan. Pasal 41 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah diatur tentang apa saja akibat yang timbul terhadap pihak istri maupun suami setelah terjadinya perceraian, yaitu:15

1. Ibu maupun bapak diwajibkan untuk memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata untuk kepentingan anak, bila terjadi suatu perselesihan mengenai hak asuh anak-anak, maka pengadilan harus memberikan sebuah putusan.

2. Apabila bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan serta pendidikan anak-anak. Tetapi ternyata bapak tidak dapat memberi hal itu semua, maka pengadilan berhak memberi putusan bahwa istri juga harus memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan untuk menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Meskipun perceraian secara sederhana adalah pengungkapan kehendak untuk berpisah hidup setelah membina rumah tangga dan dilanjuti dengan perpisahan hidup dan melanjutkan hidupnya masing-masing namun permasalahannya tidak sesederhana itu. Bahkan seorang ahli menyebutkan sebagai fenomena sosial dan pengalaman pribadi yang kompleks (a complex

15 Adi Bahari, Tata Cara Gugatan Cerai Pembagian Harta Gono-Gini dan Hak Asuh Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2016, hlm.142.

(19)

social phenomenon as well as a complex personal experience).16 Oleh karena itu perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai alternatif terakhir setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali dengan jalan perceraian antara suami istri. Atau dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah sebagai jalan keluar dan pintu darurat bagi suami istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian itu. Dalam Undang-Undang Perkawinan, untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup, bahwa suami dan istri tidak akan hidup rukun lagi sebagai suami istri. Seperti halnya percerain yang terjadi antara pemohon dan termohon yang disebabkan karena pemohon sudah tidak ingin mempertahankan hubungan perkawinan dengan termohon dan merasa bahwa tujuan perkawinan yang diinginkan oleh agama dan perundang-undangan yang berlaku sudah tidak dapat diwujudkan lagi, dan antara pemohon dan termohon telah terjadi perselisihan yang terus-menerus yang disebabkan hal-hal antara lain bahwa pemohon dan termohon tidak pernah bergaul (bersetubuh) sebagaimana layaknya suami istri sejak awal pernikahan sampai sekarang lebih kurang 3 tahun, dan antara pemohon dan termohon tidak ada lagi rasa saling mencintai dan menyayangi. Rumah tangga pemohon dan termohon benar-benar telah pecah dengan adanya perselisihan yang disebabkan hal-hal yang telah dikemukakan pemohon dan juga telah diakui oleh termohon dengan demikian tidak ada manfaatnya lagi rumah tangga tersebut dipertahankan karena telah nyata bahwa pemohon dan termohon tidak dapat mewujudkan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah.

16 Marian Roberts, Mediation in Family Disputes: Principles and Practice (Third Edition), hlm . 30.

(20)

10

Sehingga pemohon tidak dapat lagi mempertahankan rumah tangganya dan akhirnya memutuskan untuk menggugat cerai kepada termohon. Sesuai dengan Putusan No. 353/ Pdt. G/ 2018/ MS. Bna.

Putusan tersebut menjelaskan bahwa pemohon dan termohon telah menikah pada tanggal 4 Februari 2015 dan pemohon dan termohon belum dikaruniai anak. Pada awalnya keadaan rumah tangga baik-baik saja namun kurang lebih sejak tahun 2016 antara pemohon dan termohon telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang alasannya telah dikemukakan sehingga tidak ada harapan lagi rumah tangga pemohon dan termohon dapat dipertahankan dan tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan lagi sampai akhirnya pemohon menggugat cerai kepada termohon. Dalam hal ini penulis juga mengemukakan mengapa rumah tangga tersebut tidak dapat dipertahankan walaupun sudah ada diajukan proses mediasi namun keduanya sepakat untuk tidak mau lagi hidup satu atap dan melakukan perceraian.17

Nafkah batin yaitu nafkah yang diberikan kepada istri berupa kebahagiaan dan menggauli istri hingga kebutuhan akan seksual terpenuhi. Harta yang berlimpah terkadang tidak mampu membeli nafkah batin ini bahkan wajah yang tampan dari seorang suami jika tidak mampu memberi nafkah batin maka kebutuhan biologis ini akan membuat hubungan keluarga menjadi retak.

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

17 Putusan Nomor 353/ Pdt. G/ 2018/ MS. Bna.

(21)

Berdasarkan dari latar belakang tersebut maka akan dikaji lebih dalam lagi mengenai alasan mengapa suatu rumah tangga bisa retak dan tidak harmonis sehingga menyebabkan perceraian yang sebenarnya hal itu adalah sesuatu yang tidak diinginkan sebelumnya. Oleh karena itu penulis berkeinginan meninjau lebih jauh mengenai hal tersebut diatas melalui penulisan skripsi dengan judul “TIDAK TERPENUHINYA NAFKAH BATIN DAN TIDAK ADANYA RASA SAYANG DAN CINTA DALAM RUMAH TANGGA MENJADI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO.

1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (Studi Putusan Nomor 353/Pdt.G/2018/MS.Bna)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, akan dikemukakan masalah sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi faktor penyebab dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ?

2. Bagaimanakah kewajiban pemberian nafkah dari suami kepada istri menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ?

3. Bagaimanakah pertimbangan hakim dan akibat hukum dari perceraian karena faktor nafkah batin dan tidak ada rasa saling cinta (Studi Putusan No. 353/Pdt.G/2018/MS.Bna) ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

(22)

12

1. Untuk mengetahui apa saja faktor dari putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

2. Untuk mengetahui bagaimana kewajiban pemberian nafkah dari suami terhadap istri menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

3. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dan akibat hukum dari perceraian karena faktor nafkah batin dan tidak ada rasa saling cinta (Studi Putusan No. 353/Pdt.G/2018/MS.Bna).

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah : a. Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan di bidang hukum untuk kedepannya dan sumbangan pengembangan hukum keluarga khususnya hukum perkawinan dan perceraian pada umumnya.

b. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang terkait dalam proses perbuatan-perbuatan hukum dalam masyarakat umumnya, khususnya mengenai perkawinan, serta pemikiran lebih lanjut kepada masyarakat yang akan melakukan perkawinan atau perceraian.

E. Tinjauan Pustaka

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan

(23)

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, (Pasal 1) 18. Berdasarkan pengertian di atas, terdapat 5 (lima) unsur dalam perkawinan, yaitu:

1. Ikatan lahir batin

2. Antara seorang pria dengan wanita 3. Sebagai suami-istri

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.19

Menurut Pasal 26 KUH Perdata dikatakan “undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata” dan dalam Pasal 81 KUH Perdata dikatakan bahwa “tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua belah pihak yang membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung”. 20Sedangkan menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekarabatan dan ketetanggaan.

Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang besangkutan .21

Perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan

18 Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

19 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta benda dalam perkawinan, Raja Grafindo, Jakarta, 2016, hlm. 42.

20 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 7.

21 Ibid., hlm. 8.

(24)

14

apa yang seharusnya tidak dilakukan (dilarang). Oleh karena pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.22

Kata nikah berarti al-dhammu wattadaakhul (bertindih dan memasukkan).

Dalam kitab lain, kata nikah diartikan dengan al-dhammu wa al-jam‟u (bertindih atau berkumpul). Menurut istilah ilmu fiqih, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh nikah atau tazwij.23

Perkawinan adalah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi menurut ketentuan syari‟at.24

Kebolehan hubungan seksual menyiratkan bahwa perkawinan mengandung aspek hukum dan aspek ta‟awun (gotong-royong). Akibatnya, pelaku perkawinan, dihadapkan pada tanggung jawab serta masalah biologis semata, tetapi pada kewajiban untuk menciptakan pergaulan yang harmonis yang diliputi rasa sayang menuju cita-cita bersama.25

Hak dan kewajiban suami istri adalah hak istri yang merupakan kewajiban suami dan kewajiban suami yang menjadi hak istri. Menurut Sayyid Sabiq hak dan kewajiban suami istri ada tiga macam, yaitu :

a. Hak istri atas suami;

b. Hak suami atas istri;

c. Hak bersama;26

22 Ibid., hlm. 10.

23 Musthofa Hasan, Op.cit., hlm. 10.

24 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustaka Firdaus, 1975, hlm. 19.

25 Ibid.

26 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung, Al- Ma‟arif, 1988, hlm. 52.

(25)

Maksud perkawinan adalah membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia, artinya pikiran mereka suatu angan-angan untuk hidup bersama selama- lamanya. Keinginan untuk membentuk keluarga yang kekal itu adalah idealisme tiap keluarga. Namun kenyataan bahwa soal perkawinan di Indonesia pada umumnya bukan hanya masalah suami dan istri saja, melainkan juga masalahnya para sanak keluarga, yang turut serta merasakan pula baiknya perkawinan yang berlangsung terus. Idealisme perkawinan lantas luntur, ada saja penyebabnya.

Tidak terdapat lagi kesepakatan atau kerukunan antara suami dan istri, terjadi perselisihan yang berkepanjangan, walaupun telah diusahakan penyelesaiannya, atau telah terjadi pertengkaran yang terus menerus atau pertentangan yang tidak mungkin didamaikan kembali.

Perkawinan yang buruk keadannya itu tidak baik dibiarkan berlarut-larut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak, perkawinan demikian itu lebih baik diputuskan.27

Nikah atau jima‟, atau al-wath‟, artinya bersetubuh atau bersenggama.

Nikah adalah akad yang mengandung pembolehan untuk berhubungan seks.

Dengan demikian, menikmati perempuan makna hakikatnya menggauli istri atau munakahat, artinya saling menggauli.

Para fuqoha dan Mazhab Empat sepakat bahwa makna nikah atau zawaj adalah suatu akad atau suatu perjanjian yang mengandung arti sahnya hubungan kelamin. Dengan demikian, perkawinan adalah suatu perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan.28

27 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit., hlm. 41.

28 Musthofa Hasan, Op.cit., hlm. 10.

(26)

16

Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar

“cerai”, dalam bahasa Arab, berasal dari kata ”talaq” yang berarti ”melepaskan”

dan “meninggalkan”. Menurut istilah (syara‟) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara.29

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta akibat- akibat yang mungkin timbul setelah suami istri itu perkawinannya putus.

Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian. 30

Undang-undang tidak memperbolehkan suatu perceraian dengan cara mufakad antara suami dan istri saja melainkan harus ada alasan yang sah menuurt undang-undang. Proses perceraian di Indonesia dapat dilakukan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama khusus untuk masyarakat beragama muslim, sedangkan Pengadilan Negeri untuk masyarakat beragama non- muslim.31

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif dan studi putusan yaitu putusan Pengadilan Agama No. 353/ Pdt. G/

2018/ MS. Bna. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang ditujukan

29 Adi Bahari, Tata cara gugatan cerai pembagian harta gono-gini dan hak asuh anak, Pustaka Yustisia, 2016, hlm. 2.

30 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit., hlm. 41.

31 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Internusa, Jakarta, 1994, hlm. 42.

(27)

dan dilakukan dengan menggunakan kajian terhadap peraturan perundang- undangan dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

2. Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum, antara lain:

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan, yaitu : a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek).

c. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan.

d. Putusan Nomor 353/ Pdt. G/ 2018/ MS. Bna.

e. Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer diatas berupa pendapat para ahli hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar (Koran) dan berita internet yang memiliki relavansi dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/ atau bahan hukum sekunder yakni, kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.

(28)

18

3. Metote Pengumpulan Data

Studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang berupa pendapat hukum dan bahan pendapat hukum hasil penelitian, jurnal hukum, majalah, surat kabar, internet, makalah tentang perkawinan dan perceraian serta mempelajari dan menganalisa putusan dan bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini

G. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah benar merupakan hasil dari penelitian.

Penelitian dilakukan dengan mengambil panduan dari beberapa buku, putusan pengadilan, dan sumber-sumber lainnya yang terdapat hubungannya dengan judul skripsi ini. Setelah dilihat dan diperiksa oleh perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Jurusan Hukum Perdata BW, tidak ditemukan adanya judul yang sama dengan skripsi ini. Namun, terdapat beberapa penelitian yang membahas perceraian, diantaranya :

Fitri Utari, FH USU (2012) dengan judul “penelitian Tingkat Perceraian di Kota Binjai Pada Tahun 2015-2016 (Studi di Pengadilan Agama Binjai)”. Adapun permasalahan dalam penelitian adalah :

1. Apakah faktor-faktor penyebab tingginya perceraian dikota Binjai.

2. Bagaimana tingkat perceraian dikota Binjai pada Tahun 2015-2016.

3. Bagaimana upaya-upaya dalam mencegah terjadinya perceraian.

(29)

Sri Ayu Utami, FH USU (2007) dengan judul penelitian “Pergeseran Alasan Perceraian Menurut Hukum di Indonesia (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Adapun permasalan dalam penelitian adalah : 1. Bagaimana kedudukan suami dan istri dalam pengajuan gugatan perceraian.

2. Bagaimana perkembangan alasan perceraian dalam perkawinan di Indonesia.

Yuliani Siregar, FH USU (2011), dengan judul penelitian “Tinjauan Yurudis Terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan PA No. 23/ Pdt. G/ 2013/ PA. Bik).”

Adapun permasalahan dalam penelitian adalah :

1. Bagaimana tanggung jawab orang tua terhadap anak dibawah umur setelah perceraian.

2. Bagaimana penyelesaian sengketa pemeliharaan anak dibawah umur setelah perceraian.

3. Bagaimanakah pertimbangan Hakim terhadap Putusan Pengadilan Agama No. 23/ Pdt. G/ 2013/ PA. Bik.

Alasan dari penyusunan skripsi ini adalah mengapa faktor tidak terpenuhinya nafkah batin dan tidak adanya rasa saling mencintai menjadi alasan perceraian. Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan literatur-literatur yang berkaitan dengan hukum perdata, kompilasi hukum Islam, serta peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai perkawinan dan perceraian. Oleh karena itu, keaslian penulisan skripsi ini dapat terjamin dan dapat dipertanggung jawabkan oleh penulis.

(30)

20

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 3 (tiga) bab yang saling berkaitan, yakni :

BAB I : Pendahuluan membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, keaslian penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II : Membahas tentang pengertian perkawinan dan dasar hukum dari perkawinan, syarat sah perkawinan dan akibat dari perkawinan, tujuan perkawinan, pengertian perceraian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, akibat hukum dari perceraian, macam-macam perceraian, faktor putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, penyebab putusnya perkawinan.

BAB III : Membahas tentang kedudukan hak dan kewajiban suami dan istri menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, pengertian dan jenis-jenis nafkah, sebab-sebab yang mewajibkan nafkah, serta nafkah batin dan tidak ada rasa saling cinta sebagai alasan perceraian.

BAB IV : Membahas tentang Kasus Posisi, Pertimbagan Hakim atas Putusan Pengadilan Agama Banda Aceh (Studi Putusan No. 353/ Pdt. G/ 2018/

MS. Bna), akibat hukum dari perceraian karena faktor nafkah batin dan tidak ada rasa saling cinta (Studi Putusan No. 353/ Pdt. G/ 2018/

MS. Bna).

(31)

BAB V : Bab yang berisi mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan serta saran-saran atas jawaban permasalahan tersebut.

(32)

BAB II

FAKTOR PENYEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 A. Pengertian Perkawinan dan Dasar Hukum Perkawinan

Perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah yang sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan alawan “per” dan akhiran

“an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan beruami isteri.32

Istilah “nikah” berasal dari bahasa Arab, sedangkan menurut istilah bahasa Indonesia adalah “perkawinan”. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara “nikah”

dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara pernikahan atau perkawinan adalah akad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan ini lazim disebut keluarga sakinah.33

Perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan wanita, pada hakekatnya merupakan naluri atau fitrah manusia sebagai makhluk sosial guna melanjutkan keturunannya. Dua ikrar yang mengikatkan diri untuk melakukan proses perkawinan harus dilandaskan pada tujuan bersama untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia atau sakinah, mawaddah dan warahmah. Oleh karenanya, dilihat dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan perkawinan tidak

32 WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2004, hlm.

453.

33 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2015, hlm. 36.

(33)

hanya didasarkan pada norma hukum yang dibuat oleh manusia saja, melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum agama.

Perkawinan menurut hukum Islam dimaksudkan sebagai suatu perjanjian yang sangat kuat atau misaqan ghalizan, sebagaimana ditegaskan dalam pengertian yuridis perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, yaitu “ perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau misaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.34

Menurut Imam Jauhari, perkawinan merupakan proses hubungan seksual manusia yang harus berjalan dengan kedamaian dengan menghormati hak-hak azasi manusia sebagai insan – insan sederajat anatara pria dan wanita, untuk memperoleh kehidupan yang baik didunia.35

Sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak ditemukan pengertian perkawinan di dalam KUH Perdata. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 26 KUH Perdata, dikatakan bahwa undang-undang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata saja. Ratio pasal ini menunjukkan bahwa KUH Perdata memandang perkawinan bukan suatu perbuatan religius yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan bersifat materil atau kebendaan (zakelijk).36

Namun bila ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 menyebutkan pengertian perkawinan, “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan

34 Indonesia, Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2.

35 Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Poligami, Jakarta, Pustaka Bangsa, 2003, hlm. 1.

36 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Hukum Orang & Keluarga, Medan, USU Press, 2011, hlm. 39.

(34)

24

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.37

Berdasarkan rumusan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 197 Tentang Perkawinan dapat diketahui, bahwa isi dari pasal tersebut mengandung dua pokok pengertian yaitu mengandung arti perkawinan dan mengandung tujuan perkawinan.

R. Soetojo Prawirohamidjojo, memberikan penjelasan mengenai pengertian perkawinan yang terdapat di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menurutnya di dalam pengertian tersebut mengandung lima unsur, yaitu :

a. Ikatan lahir batin

Ikatan lahir batin adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk berdasarkan undang-undang yang ada, sedangkan ikatan lahir batin hanya mengikat kedua belah pihak. Ikatan lahir ini mengikat kedua belah pihak dan pihak lain yang ada di dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin hanya mengikat kedua pihak. Ikatan perkawinan adalah ikatan yang suci seperti yang telah dianjurkan oleh agama masing-masing.

b. Antara seorang pria san seorang wanita

Perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita.

Seorang pria adalah seseorang yang memiliki jenis kelamin pria, sedangkan wanita adalah seseorang yang memiliki jenis kelamin wanita. Perkawinan antara sesama jenis tidak mungkin terjadi karena kodrat manusia adalah berpasang--pasangan dengan lawan jenis.

37 Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

(35)

c. Sebagai suami istri

Suatu perkawinan yang sah antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan adanya akibat hukum antara lain, adanya hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai suami istri. Suami istri hidup bersama dalam satu rumah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis keduanya.

d. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.

Keluarga adalah suatu kesatuan dan merupakan sendi dasar susunan dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia sangat erat hubungannya dengan keturunan dan suami istri sebagi orang tua memiliki hak dan kewajiban penuh dalam pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Sebuah keluarga harus dibangun dengan pondasi yang sangat kuat sehingga perkawinan yang terjadi antara kedua belah pihak hanya terjadi sekali seumur hidup dan tidak ada istilah perceraian. Perceraian hanya karena adanya kematian dari salah satu pihak, baik suami maupun istri.

e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Perkawinan memiliki hubungan yang sangat erat dengan keagamaan dan kerohanian sesuai yang tercantum dalam Pancasila sila pertama. Perkawinan bukan saja mempunyai unsut ikatan lahir (jasmani), tetapi juga mempunyai ikatan batin (rohani). Karena ikatan batin ini sangat mempunyai peran penting dalam sebuah keluarga, maka dapat dikatakan bahwa ikatan batin mampu

(36)

26

menyatukan sebuah keluarga.38

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1975 tanggal 1 April 1975, maka Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku secara efektif dan bersifat nasional sejak tanggal 1 Oktober 1975.

Selanjutnya undang-undang ini menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan warga negara Indonesia.

Undang-undang ini juga mengandung prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Adapun asas-asas yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, karena itu perkawinan harus merupakan ikatan lahir batin, dan tidak hanya ikatan lahir saja atau hanya ikatan batin saja. Karena itu suami isteri harus saling melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil.

2) Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

38 Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam PerUndang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1986, hkm, 38-43, lihat juga Endang Sumiarni, Kedudukan Suami Istri dalam Hukum Perkawinan, Wonderful Publishing Company, Yogyakarta, 2005, hlm. 1-2.

(37)

kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3) Asas monogami. Asas ini ada kekecualian, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum ada agama mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal tersebut dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

4) Calon suami isteri harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat.

5) Karena tujuan perkawian adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.

6) Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami isteri.

Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatunya yang dijalankan menurut hukum yang ada, adalah sah.39

39 Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, hlm. 1.

(38)

28

B. Syarat Sah dan Akibat Hukum dari Perkawinan

A. Syarat sah perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 harus memenuhi beberapa syarat pokok agar perkawinan itu sah secara hukum, antara lain :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;

Sebagai suatu hubungan hukum yang melibatkan pihak-pihak, perkawinan diawali dengan persetujuan dari calon mempelai sebelum naik ke pelaminan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 UU Perkawinan. Persetujuan atau kesepakatan ini karakternya berbeda dengan unsur sepakat dalam proses pembentukan perjanjian. “Other contracts may be modified, restricted, or enlarged, or entirely released upon the consent of the parties. Not so with marriege. The relation once formed, the law steps in and holds the parties to various obligations and liabilities”. Sepakat dalam ranah perkawinan lebih tertuju kepada kesanggupan para pihak untuk mematuhi ketentuan perkawinan. Ini penting disebabkan para pihak yang bersangkutan bersepakat akan membangun sebuah rumah tangga atau keluarga yang dijadikan dasar dan komponen inti dari kehidupan sosial.

2. Dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya;

3. Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya;

4. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;

(39)

5. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam hal tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan mampu menyatakan kehendaknya;

6. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang tua, wali, atau keluarga dalam garis ke atas, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberika izin setelah lebih dahulu orang-orang tersebut;

7. Ketentuan pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Lalu dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan, bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal adanya penyimpangan, dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.40

Syarat sah perkawinan menurut hukum Islam, terdiri dari beberapa syarat pokok agar perkawinan itu sah secara hukum agama, antara lain :

Menurut hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, di mesjid ataupun di kantor agama, dengan ijab dan kabul dalam

40 Libertus Jehani, Pedoman Bagi (Calon) Suami Istri, Rana Pustaka, Jakarta, 2012, hlm. 29.

(40)

30

bentuk akad nikah. Ijab adalah ucapan „menikahkan‟ dari wali calon isteri dan kabul adalah perkataan “penerimaan” dari calon suami. Ucapan ijab dan kabul dari kedua pihak agar terdengar di hadapan majelis dan jelas didengar oleh dua orang yang bertugas sebagai saksi akad nikah. Jadi sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah ucapannya ijab dari wali perempuan dan kabul dari calon suami pada saat yang sama di dalam suatu majelis akad nikah yang disaksikan oleh dua orang saksi yang sah.

Orang yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan di bawah ini :

a. Ayah;

b. Kakek (bapak dari bapak mempelai perempuan);

c. Saudara laki-laki yang seibu dan sebapak dengannya;

d. Saudara laki-laki sebapak dengannya;

e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya;

f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya;

g. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak);

h. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya;

i. Hakim.

Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak kecuali saksi dari orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut :

1) Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi;

2) Baligh (sudah berumur sedikitnya 15 tahun);

3) Berakal;

(41)

4) Merdeka;

5) Laki-laki;

6) Adil.41

Adapun akibat hukum dari perkawinan adalah sebagai berikut :

1. Terhadap pihak suami dan pihak isteri sendiri yang berupa timbulnya hak dan kewajiban di antara mereka berdua, dan hubungan mereka dengan masyarakat luas (pasal 30 s/d pasal 34 UUP).

Pasal 30 sampai dengan 34 UU No.1/1974, yang isinya:

a. Suami istri memikul kewajiban hukum untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.

b. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang satu kepada yang lain.

c. Hak dan kedudukan istri seimbang dengan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.

d. Suami istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

e. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga.

Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

f. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama.42

Akibat lain yang timbul dari hubungan suami istri yang terdapat dalam KUH Perdata:

41 Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 62.

42 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1985, hlm.

95.

(42)

32

1) Suami istri wajib tinggal bersama dalam satu rumah. Istri harus tunduk patuh kepada suaminya, ia wajib mengikuti kemana suami memandang baik untuk bertempat tinggal.

2) Suami wajib menerima istrinya dalam satu rumah, yang ia diami. Suami juga wajib melindungi istrinya dan memberi padanya segala apa yang perlu dan berpanutan dengan kedudukan dan kemampuannya.

3) Suami istri saling mengikatkan diri secara timbal balik untuk memelihara dan mendidik anak-anak.

2. Terhadap harta benda yang ada dalam perkawinan, bagaimana hubungan suami-isteri atas harta benda perkawinan mereka, serta keadaan harta benda dalam perkawinan (Pasal 29, 35 s/d Pasal 37 UUP).

Menurut Pasal 35, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

KUH Perdata (Pasal 119 sampai dengan 121) berbunyi: jika tidak ada perjanjian kawin maka terjadi persatuan bulat demi hukum, sehingga baik harta bawaan maupun harta yang didapat selama perkawinan semuanya menjadi harta persatuan.

3. Terhadap mereka berdua berlangsung sebagai orang tua (ayah dan ibu) nantinya dengan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka yang berupa hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (Pasal 42 s/d Pasal 44

(43)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) dan tentang perwalian atas anak (Pasal 50 s/d 54).

Mengenai keturunan juga diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dalam Bab IX, Pasal 42 sampai dengan 44. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengenal adanya anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Hal itu berarti anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Apa yang diatur oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tentang anak sah (dan anak tidak sah sebagai konsekuensi sebaliknya) tidaklah berbeda dengan yang ada dalam KUH Perdata. Bagi seorang anak yang tidak sah Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menentukan bahwa anak itu hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1)). Dengan demikian ia hanya dapat mewaris harta atas peninggalan ibunya.

Seorang suami dapat melakukan penyangkalan atas sahnya anak yang dilahirkan dari istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut (Pasal 44 ayat (1) Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan), jika dibandingkan dengan KUH Perdata tidak terdapat perbedaan.

Terhadap keabsahan dari anak, suami dapat manyangkalnya. Hal itu diatur dalam beberapa Pasal dari KUH Perdata antara lain Pasal 252, 253, 254, namun dalam hal-hal tertentu suami tidak dimungkinkan menggunakan ingkar tersebut, yaitu dalam hal:

Referensi

Dokumen terkait

pasien) Variables Entered/Removed Model Variables Entered Variables Removed Method 1 Citra rumah sakit, Brand trust, Kepuasan pelanggan, Customer Relationship Management

• Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan

Pembahasan hasil dari perancangan aplikasi dilakukan dengan uji coba. Uji coba aplikasi membutuhkan data kapal untuk menjalankan perhitungan, data-data tersebut

Harun Joko Prayitno, M.Hum selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang telah memberikan izin melakukan penelitian

Ucapan Terima Kasih merupakan bagian terpisah yang dibuat di bagian akhir naskah, sebelum Daftar Pustaka yang wajib dibuat. Pada bagian ini ditulis pihak-pihak yang telah

Dari hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan penerapan model pembelajaran project based learning dapat meningkatkan hasil

Cilj ovog rada bio je da se ispita uticaj temperature i svetlosti na stabilnost montelukasta u rastvorima montelukast tableta za žvakanje, montelukast filmom obloženih tableta

Guru-guru rumpun PAI di MTs Negeri Pangandaran, aspek-aspek kompetensi pedagogik dapat dilakukan dengan baik, yaitu dapat memahami peserta didik, senantiasa