• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAENA PADA UPACARA FALÕWA DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI: ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAENA PADA UPACARA FALÕWA DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI: ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI:

ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI

T E S I S

Oleh

CATHRINA SUMIATY TAMPUBOLON NIM. 127037004

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 4

(2)

i

MAENA PADA UPACARA FALÕWA DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI:

ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI

T E S I S

Oleh

CATHRINA SUMIATY TAMPUBOLON NIM. 127037004

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 4

MAENA PADA UPACARA FALÕWA

(3)

ii

DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI:

ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI

T E S I S

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.)

dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

CATHRINA SUMIATY TAMPUBOLON NIM. 127037004

PROGRAM STUDI

MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 1 4

(4)

iii

Judul Tesis MAENA PADA UPACARA FALÕWA DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI: ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI

Nama : Cathrina Sumiaty Tampubolon Nomor Pokok : 127037004

Program Studi : Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui Komisi Pembimbing

Tanggal lulus:

Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP. 19651221 199103 1 001

Drs. Kumalo Tarigan, M.A.

NIP. 19581213 198601 1 001 ________________________________

Ketua

____________________________

Anggota

Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A.

NIP.19621221 199703 1 001

Fakultas Ilmu Budaya Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A.

NIP. 19511013 197603 1 001

Telah diuji pada

(5)

iv

Tanggal :

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. ( ____________________ )

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. ( ____________________ )

Anggota I : Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. ( ____________________ )

Anggota II : Drs. Kumalo Tarigan, M.A. ( ____________________)

Anggota III : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nst., M.Si. ( ____________________)

(6)

v ABSTRACT

This research studies about an analysis of Maena poems’s structure in cultural wedding occasion ‘ori laraga’ in Gunung Sitoli. The writer wants to see the purposes are and why Nias people are so happy when they sing and move their body when the poems sung.

In this thesis, the writer tries to use some semiotics theories and functional theories to know the meanings deeper which are contained in every poem sung in Maena. The writer selecs ‘fanema’õ tome to be the source to see the transcript of the song texts, the tone, the basic tone used, the tone area, the number of the tone, the tone interval, and the conture.

From the beauty side, the writer wants to analyze Maena dance itself, the structure of Maena and the poems of Maena, so that the writer is able to analyze the textual poems of maena which are often sung in the cultural wedding ‘Ori Laraga’ in Gunung Sitoli.

The results found that maena dance is a form of entertainment in the ceremonies conducted at Gunung Sitoli. That's what makes all people can come together and become familiar among one of the family with other families regardless of background and social status of the people who follow it. Dance maena not be a necessity that in the absence of maena the ceremony can not take place, only without the dancing maena there seems to be something missing from the ceremonial meaning.

Key Words: Maena, Semiotic, Function, Õri laraga, Fanema’õ Tome

(7)

vi ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji Maena pada upacara Falõwa di Õri Laraga Kota Gunung Sitoli : Analisis Tekstual, Musikal, dan Tari. Peneliti ingin melihat makna syair Maena yang dinyanyikan oleh masyarakat Nias, apa tujuannya dan mengapa masyarakat Nias begitu sangat bergembira ketika menyanyikan dan menggerakan badan mereka ketika syair Maena dinyanyikan.

Dalam tesis ini, peneliti menggunakan beberapa teori semiotik dan teori fungsional guna mendalami makna yang terkandung di dalam setiap syair yang dinyanyikan di dalam Maena. Peneliti mengambil lagu Fanema’õ Tome menjadi bahan bagi peneliti untuk melihat transkrip teks lagunya, tangga nadanya, nada dasar yang digunakan, wilayah nadanya, jumlah nadanya, interval nadanya, serta konturnya.

Dari segi keindahannya, peneliti ingin menganalisis tari Maena itu sendiri.

Struktur Maenanya, gaya bahasa ketika menyanyikan lagu Maena, makna syair lagu Maena, serta syair-syair lagu Maena tersebut. Sehingga peneliti dapat menganalisis tekstual syair Maena yang sering di acara pernikahan adat di Õri laraga kota Gunung Sitoli.

Hasil penelitian menemukan bahwa tarian maena merupakan suatu bentuk sarana hiburan dalam suatu upacara- upacara yang dilakukan di Gunung Sitoli. Hal itulah yang membuat semua orang dapat menyatu dan menjadi akrab antara satu satu keluarga dengan keluarga lain tanpa membedakan latar belakang dan status sosial orang-orang yang mengikutinya. Tarian maena tidak menjadi suatu keharusan bahwa dengan tidak adanya maena maka upacara tidak dapat berlangsung, hanya saja tanpa adanya tarian maena sepertinya ada sesuatu hal yang hilang dari makna upacara adat tersebut.

Kata kunci: Maena, Semiotik, Fungsional, Õri laraga, Fanema’õ Tome

(8)

vii PRAKATA

Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik- baiknya. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen, instansi Pemerintah Nias, serta masyarakat Nias. Adapun ucapan terima kasih itu penulis ucapkan kepada :

Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M,Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara; Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Seni dan Budaya yang telah memberikan fasilitas dan sarana pembelajaran sehingga penulis dapat menuntut ilmu di Kampus Universitas Sumatera Utara dalam kondisi yang nyaman.

Bapak Drs. Irwansyah, M.A selaku Ketua Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Seni Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU), yang telah memberikan masukan dan dorongan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan masukan dan materi dalam hal teknik penulisan yang benar demi sempurnanya tesis ini.

Bapak Drs. Muhammad Takari, M.A., Ph.D selaku Pembimbing I; Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A, Ph.D selaku Pembimbing II; Bapak Prof. Dr.

Ikhwanuddin Nasution, M.A., selaku Ketua Penguji; Bapak Prof. Dr. Muhizar Muchtar, M.A.; Bapak Drs. Setia Dermawan Purba M.Si; Bapak Drs. Bebas Sembiring M.Si.; Ibu Dra. Rithaony, M.A.; selaku dosen pada Program Studi

(9)

viii

Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara diucapkan terima kasih.

Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai sekretariat Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara; Bapak Pintar Zebua, S.Pd selaku Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kota Gunung Sitoli yang membantu penulis dalam memberikan informasi terkait penyusunan laporan tesis ini; Bapak Benyamin Harefa selaku Ketua LBN (Lembaga Budaya Nias) Kota Gunung Sitoli yang membantu penulis dalam menghubungkan beberapa informan-informan yang mengetahui kebudayaan Nias khususnya Maena. Juga tak lupa ucapan terima kasih kepada Bapak Eliyaman Zebua, S.Si, sebagai pemerhati dan pecinta budaya Nias yang telah membantu menyarankan penulis untuk mengkaji judul analisis lagu dan syair Maena, sekaligus menjadi narasumber, dan editor penulis di Medan. Seluruh teman-teman guru, teman-teman dari SMM (Sekolah Menengah Musik) yang selama ini telah banyak mendukung dan memberi semangat kepada Penulis.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta, terutama kepada Alm. Ayahanda Ir. Kaya Tampubolon, Ibunda H. Tambunan, Suami tercinta Yaia Zanolo Hulu yang sabar dan setia membantu penulis selama proses pencarian data di kota Gunung Sitoli; serta anak- anak penulis, Charlie Jonatan Hulu, S.E., Frederick Yogi Hulu S, S.T., dan Ruth Ansela Thalita Hulu. Serta kepada rekan-rekan seperjuangan dan seangkatan penulis, mahasiswa Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya USU.

(10)

ix

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih belum maksimal, seperti pepatah mengatakan Tak ada gading yang tak retak; mengutip sebait pepatah/amaedola Nias “Manana Zalawa, manana Gere, fakaole sa’atõ namuhede” (biarpun tokoh masyarakat, walaupun seorang Imam, tetap ada kekurangan dalam bertutur kata). Untuk itu penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk menyampaikan kritik ataupun saran guna melengkapi dan menyempurnakan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan budaya Nias dan memperkaya khasanah budaya Indonesia.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

Cathrina Sumiaty Tampubolon NIM: 127037004

(11)

x IDENTITAS DIRI

1 Nama Cathrina Sumiaty Tampubolon

2 Tempat / Tanggal Lahir Medan, 25 Nopember 1968

3 Jenis Kelamin Perempuan

4 Agama Katolik

5 Kewarganegaraan Indonesia 6 Nomor Telepon 0813 9690 9039

7 Alamat Jalan Rotan X No. 19 Perumnas Simalingkar Medan

8 Pekerjaan :Guru

9 Pendidikan Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Perguruan Tinggi Teladan (STKIP) Medan, lulus tahun 2008.

Pada tahun akademik 2012/2013 diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

(12)

xii

ABSTRACT …… ... v

ABSTRAK ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... x

HALAMAN PERNYATAAN ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR BAGAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ………. .. 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 15

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 16

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 16

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 17

1.3.2.1 Bagi Mahasiswa ... 17

1.3.2.2 Bagi Lembaga Pendidikan ... 17

1.3.2.3 Bagi Masyarakat ... 18

1.3.2.5 Bagi Peneliti ... 18

1.4 Landasan Konsep Dan Teori ……….. 19

1.4.1 Konsep ... 19

1.4.2 Teori ... 21

1.4.2.1 Teori Semiotik ... 22

1.4.2.2 Semiotik Charles Sanders Peirce ... 24

1.4.2.3 Semiotik Ferdinand de Sausurre ... 27

1.4.2.4 Semiotik Halliday ... 29

1.4.2.5 Semiotik Roland Barters ... 30

1.4.2.6 Semiotik Malinowski ... 31

1.4.2.7. Teori Semantik ... 34

1.4.2.8 Teori Weghted Scale ………... 36

1.4.2.9 Teori Koreografi Tari ………... 39

1.5 Metode Penelitian ………. 40

1.5.1 Jenis Penelitian ... 40

1.5.2 Penelitian Lapangan ... 43

1.5.3 Fokus Penelitian ... 44

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data ………. 44

1.5.4.1 Observasi ... 45

1.5.4.2 Wawancara ... 45

1.5.4.3 Tekhnik Analisis Data ... 46

(13)

xiii

2.1 Nias ... 58

2.2 Keadaan Geografis Nias ... 61

2.3 Penduduk ……… 66

2.3.1 Suku Bangsa ... 66

2.3.2 Jumlah Penduduk ... 69

2.4 Pola Perkampungan ... 71

2.5 Asal Usul Masyarakat Nias ... 73

2.6 Sistem Religi dan Agama ... 76

2.7 Sistem Kekerabatan ………. 78

2.7.1 Garis Keturunan ... 78

2.7.2 Kelompok Kekerabatan ... 80

2.7.3 Sistem Istilah Kekerabatan ... 82

2.7.4 Sopan Santun Kekerabatan ... 85

2.8 Gender ………. 88

2.8.1 Pengertian Gender ... 88

2.8.2 Mengapa Gender Dibicarakan ... 89

2.8.3 Perwujudan Kesetaraan dan keadilan Gender ... 94

2.9 Organisasi Sosial ... 94

2.10 Bosi/Kasta ... 96

2.11 Kesenian ... 98

BAB III DESKRIPSI FALÕWA DAN PENGGUNAAN MAENA ……… 101

3.1 Falõwa/Pesta Pekawinan ………. 101

3.1.1 Fanunu Manu ... 101

3.1.2 Fangowai dan Fame’e Afo ... 105

3.1.3 Famõzi Aramba ... 106

3.1.4 Fame’e ... 107

3.1.5 Folau Bawi ... 109

3.1.6 Falõwa ... 111

3.1.7 Pemberian Bola Nafo ... 111

3.1.8 Pemufakatan ... 112

3.1.9 Acara Tarian Maena ... 112

3.1.10 Fangaetu Golola ... 112

3.1.11 Fame Tou Ono Nihalõ ... 112

3.2 Orang Yang Terlibat pada Upacara Pernikahan ……… 113

3.2.1 Upacara Tahõ dõdõ... 113

3.2.2 Upacara Fame’e Gõ ... 114

3.2.3 Upacara Famuli Mukha ... 114

3.3 Pelaku Upacara pada Upacara Pernikahan ……… . 115

3.3.01 Fame’e li ... 115

(14)

xiv

3.3.07 Fangandrõ ba dekhembõwõ ... 118

3.3.08 Fangandrõ ba Wawõwõkha ... 118

3.3.09 Famaola Na nuwu ... 118

3.3.10 Famaigi Bawi ... 119

3.3.11 Folau Bawi ... 119

3.4 Waktu Upacara ... 120

3.5 Benda-benda Upacara ... 121

3.6 Tempat Upacara ... 127

3.7 Maena ………. 128

3.7.1 Tarian Maena... 128

3.7.2 Vokal Maena ... 131

3.8 Perkawinan Adat menurut Bõwõ Laraga ... 132

BAB IV HASIL ANALISIS TEKS LAGU MAENA ……… 134

4.1 Struktur Teks………. ... 134

4.1.1 Teks pembuka ... 134

4.1.2 Isi teks ... 135

4.1.3 Teks penutup ... 135

4.2 Makna Teks………. ... 136

4.2.1 Makna konotatif ... 136

4.2.2 Makna denotatif ... 136

4.2 Diksi dan Gaya Bahasa………. .. 138

BAB V STRUKTUR MUSIKAL ………. ... 149

5.1 Transkripsi Teks dan Melodi Lagu ... 149

5.2 Analisis Melodi Maena... 152

5.2.1 Tangga Nada ... 152

5.2.2 Nada dasar ... 152

5.2.3 Wilayah Nada ... 153

5.2.4 Jumlah nada ... 154

5.2.5 Interval ... 155

5.2.6 Kontur ... 155

5.2.7 Formula ... 157

5.2.6 Kadensa ... 158

BAB VI STRUKTUR TARI MAENA ………. ... 159

6.1 Maena ... 159

6.2 Tari Maena ... 164

6.3 Gerakan Tarian Maena ... 164

BAB VII PENUTUP ………. ... 169

(15)

xv

GLOSARIUM …………... 174 LAMPIRAN …………... 177

(16)

xvi

Tabel 1.1 : Pembagian Tanda ... 26

Tabel 2.1 : Statistik Geografi dan Iklim Gunung Sitoli ... 65

Tabel 5.1 : Jumlah Nada ... 154

Tabel 5.2 : Interval ... 155

Tabel 5.2 : Kontur Lagu Fanema’o Tome ... 156

(17)

xvii

Gambar 2.1 : Peta Nias ... 64

Gambar 2.2 : Lambang Istilah Kekerabatan ... 82

Gambar 6.1 : Tarian Maena Pola Lantai Garis Lurus ... 165

Gambar 6.2 : Tarian Maena Pola Lantai Lingkaran ... 166

(18)

xviii

Bagan 1.1 : Segitiga Makna ... 25

Bagan 1.2 : Tentang Hubungan Tanda ... 27

Bagan 2.1 : Persentase Distribusi Penduduk Gunung Sitoli ... 70

Bagan 2.2 : Kepadatan PendudukGunung Sitoli ... 71

Bagan 2.3 : Pola Perkampungan Berbentuk Gang ... 71

Bagan 2.4 : Pola Perkampungan Berbentuk U ... 72

Bagan 2.5 : Sistem istilah Kekerabatan Nias ... 87

(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tradisi merupakan adat kebiasaan yang secara turun-temurun dijalankan dari zaman nenek moyang hingga generasi terakhir dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat. Tradisi dalam sebuah suku (etnik) muncul akibat adanya kebiasaan yang mereka lakukan dan dianggap merupakan hal yang baik dan benar, sehingga kebiasaan tersebut menjadi kewajiban bagi masyarakat setempat.

Setiap suku dimanapun umumnya memiliki tradisi yang berbeda dengan suku lainnya. Hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: geografis, kepercayaan, pola pikir, peradaban, dan lain sebagainya. Tradisi biasanya memiliki keunikan tersendiri, karena kebiasaan antar suku umumnya berbeda.

Keunikan inilah yang membuat tradisi itu menjadi sebuah budaya yang memiliki nilai yang dianggap tinggi, oleh yang menggunakannya. Demikian pula tradisi yang terdapat dalam suku Nias di Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Di dalam tradisi mereka terdapat berbagai kegiatan upacara.

Dalam rangka menjalani kehidupannya, manusia melakukan berbagai upacara yang berkaitan dengan siklus atau perputaran hidupnya. Di antaranya adalah upacara menyambut hadirnya janin, seperti halnya tingkeban yaitu upacara tujuh bulanan janin dalam budaya Jawa. Kemudian ketika lahir pun diadakan upacara penyambutan kelahiran bayi sebagai penerus generasi terdahulu.

Kemudian dalam rangkaian ini dibuat juga upacara pemberian nama. Setelah itu

(20)

diadakan lagi upacara memijak tanahuntuk pertama kalinya ia dapat berjalan dan akan menjalani kehidupannya kelak sebagai apa. Setelah itu, dalam beberapa masyarakat di dunia ini ada juga tradisi berkhitan atau sunatan, termasuk dalam kebudayaan Nias.

Selanjutnya dalam rangkaian siklus hidup ini ada pula upacara perkawinan, yang konsep dan terapannya berbeda-beda antara setiap suku bangsa.

Namun jika dilihat lebih luas, fenomena perkawinan ini adalah yang universal dalam kebudayaan manusia. Dalam rangkaian upacara perkawinan ini, bisa jadi dibagi-bagi ke dalam beberapa tahapan, seperti: meminang, kenduri, menghantar uang mahar, pengabsahan secara religi, persandingan, dan upacara pasca perkawinan. Demikian pula yang terjadi dalam kebudayaan Nias. Mereka memiliki upacara perkawinan yangdisebut dengan fangowalu.

Setelah membentuk rumah tangga, mereka akan memperoleh keturunan, dan keturunannya ini mengalami dan menjalani berbagai upacara siklus hidup yang dilatarbelakangi oleh budaya tersebut. Seterusnya dalam rangka bermasyarakat, manusia juga melakukan upacara-upacara seperti menjamu para tetangga dan kerabat, melakukan upacara religi di kediaman atau juga rumah ibadah, dan juga kematian. Upacara kematian ini dalam kebudayaan manusia dipandang sebagai perpindahan dari alam dunia ini ke alam dunia lain. Dalam kebudayaan manusia dalam menuju alam akhirat atau alam berikutnya itu, ada yang menyertakan harta benda di samping jenazah yang dikuburkan, ada pula yang tidak. Namun yang paling umum adalah menyertainya dengan doa agar si jenazah diterima di sisi Tuhan dengan keadaan yang sebaik-baiknya, terutama

(21)

menerima segala kebaikannya semasa hidup dan Tuhan dapat memaafkan segala dosanya. Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan suku (etnik) Nias.

Suku Nias merupakan suku asli (masyarakat) yang hidup di Pulau Nias, Sumatera Utara. Kepulauan Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudra Hindia dengan pusat pemerintahan yang terletak di Gunung Sitoli. Kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Nias masih dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Hal ini terbukti dengan berbagai acara atau upacara yang masih menggunakan tradisi atau hukum adat yang berlaku di masing-masing tempat. Umumnya, setiap wilayah pemukiman di Pulau Nias memiliki tradisi yang berbeda.

Orang-orang Nias merupakan salah satu suku dari sekian banyak suku- suku yang ada di Indonesia, yang berada di bagian paling barat Propinsi Sumatera Utara, khususnya di Pulau Nias dan sekitarnya. Secara rasial atau fisik, etnik Nias ini dapat dikelompokkan ke dalam ras Mongoloid. Masyarakat Nias pada masa religi Sanömba Adu mempercayai sistem penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Di dalam bosi ini diatur tentang kehidupan manusia dari lahir sampai meninggal dunia.

Kegiatan seperti upacara penguburan, pernikahan, penyambutan tamu, kelahiran bayi dan lain sebagainya memiliki nilai budaya. Masyarakat Nias merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi dan mengutamakan nilai-nilai kesopanan, tata krama, dan penghormatan. Oleh karena itu, setiap upacara atau kegiatan yang dilakukan harus memasukkan ketiga unsur tersebut.

(22)

Upacara-upacara yang dilakukan di dalam seluruh kehidupan manusia Nias, disebut secara umum dengan bosi. Salah satu dari urutan bosi ini ialah fangowalu atau pesta perkawinan. Di dalam pesta perkawinan ini ada tahap-tahap yang harus ditempuh namun ketika dilangsungkannya pesta perkawinan ada sebuah tarian yang dipertunjukan pada urutan perkawinan ini yaitu Maena.

Setiap acara yang diadakan masih mengikuti tradisi dan budaya setempat sesuai dengan hukum adat Nias, yaitu fondrakõ. Hukum adat ini berfungsi untuk mengatur tatanan hidup masyarakat pulau Nias dan kutuk merupakan sanksi bagi yang melanggarnya. Istilah fondrakö berasal dari kata rakö, artinya: tetapkan dengan sumpah dan sanksi kutuk. Fondrakö merupakan forum musyawarah, penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi orang Nias, mereka yang mematuhi fondrakö dipercayai akan mendapat berkat dan yang melanggar akan mendapat kutukan dan sanksi. Seperti halnya mitos tentang asal-usul orang Nias yang konon diturunkan Nidada (Tuhan) dari langit (Tetehöli Ana’a), maka fondrakö ini diturunkan bersama dengan Hia Walangi Sinada (raja) di daerah Gomo (Bagian Selatan Nias). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Nias, maka para raja dan tetua adat bermufakat untuk membaharui peraturan yang ada sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing rakyatnya.

Pengesahan fondrakö ini melibatkan binatang atau benda yang diumpamakan sebagai siksaan atau kutuk yang akan dialami oleh orang yang melanggar hukum adat tersebut. Biasanya, fondrakö ini disaksikan oleh para pengetua adat dan Raja yang dilaksanakan di sebuah tempat untuk bermusyawarah yang dikenal dengan istilah Arö Gosali. Mereka menetapkan

(23)

fondrakö dengan menggunakan ayam, lidi, dan timah panas. Salah seorang tetua adat akan mematah-matahkan lidi atau kaki dan sayap ayam serta menuangkan timah panas ke dalam mulut ayam tersebut. Saat melakukan ritual tersebut, dia akan mengucapkan kutuk “Barang siapa yang melanggar segala sesuatu yang telah ditetapkan dalam fondrakö ini, maka dia akan segera mati (patah seperti lidi), atau disiksa seperti ayam yang kaki dan tangannya patah serta segala yang dimakannya akan terasa panas seperti timah panas yang dimasukkan ke mulut ayam. Terkadang, mereka juga menggunakan kucing atau anjing dengan kutuk,

“Lö mowa’a ba danö ba lö molehe bambanua” yang artinya tidak akan memiliki keturunan.

Pada masa itu (terutama sebelum masuknya ajaran agama Kristen ke Pulau Nias). Fondrakö ini sangat dipercaya memiliki kekuatan dan banyak yang mengalami kutuk seperti yang telah ditetapkan para tetua tersebut. Selain fondrakö, adapula hukuman lainnya bagi individu yang melanggar peraturan, mulai dari denda emas dan babi, hingga hukuman pancung (leher dipenggal).

Proses memancung leher dilakukan dengan menidurkan orang yang akan dihukum di atas tanah dan lehernya diletakkan di atas batang pisang, barulah proses eksekusi dilakukan (Gea, 2013). Hukum adat Nias, selain berupa proses menetapkan sanksi seperti sesuai di atas, juga mengatur perkawinan (falõwa).

Dalam kebudayaan masyarakat manusia di seluruh dunia ini, dapat dipastikan terdapat institusi perkawinan. Selain memiliki tujuan dan persamaan universal, ada pula ciri-ciri khusus kegiatan perkawinan (pernikahan) di dalam kebudayaan manusia.

(24)

Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat- istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Good enough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.

Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual – hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).

Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas, yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami). Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan ketidak seimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan karena tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar,sementara lahan pertanian terbatas luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik demikian sangat dilarang. Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat

(25)

kandung. Semua ini adalah aturan Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam, atau generasi keturunannya. Dalam kebudayaan Nias, perkawinan yang umum adalah monogami, terutama bagi yang beragama Kristen. Namun demikian, di kalangan orang Nias yang beragama Islam ada pula yang melakukan perkawinan poligami.

Berdasarkan pengalaman penulis, tidak ditemukan tradisi poliandri di dalam kebudayaan Nias.

Tradisi pernikahan di pulau Nias merupakan suatu acara yang sangat unik (khas) dan bernilai kebudayaan. Tetua adat memiliki peranan penting dalam pernikahan serta dalam hal menentukan apakah seorang wanita menurut hukum adat sudah boleh dikawinkan atau belum. Ketika seorang pria ingin meminang wanita Nias, maka ada syarat yang harus dipenuhi oleh pria tersebut. Hal ini lebih dikenal dengan istilah Böwö yang artinya mahar. Mahar atau mas kawin dalam tradisi adat Nias cukup tinggi. Pria yang ingin menikahi wanita harus memberikan sejumlah uang, perhiasan (emas), beberapa karung beras dan babi dewasa.

Apabila dirupiahkan, maka semuanya akan mencapai puluhan bahkan bisa ratusan juta rupiah.

Adat perkawinan pada masyarakat Nias dilakukan sejak masa pertunangan. Pada masa ini, pria harus memberi emas kepada keluarga wanita, beberapa ekor babi, ayam, serta sejumlah uang. Acara pertunangan yang dilakukan biasanya dipestakan secara besar-besaran dan meriah. Sanak keluarga, tetangga, dan sitenga bö’ö (kerabat) akan diundang untuk menyaksikan acara pesta pertunangan.

(26)

Ada beberapa rangkaian acara yang biasanya dilakukan dalam pesta pernikahan suku Nias, terutama di Õri Laraga yaitu: a. Fame’e Laeduru (memberikan cincin), b. Fanunu Manu ( membakar ayam) yaitu istilah untuk pesta kecil, c. Famalua Li (menyampaikan hasrat), d. Fame’e fakhe toho (membawa padi jujuran), e. Fangandrõ li nina (memohon waktu dari ibu gadis), f.

Fame’e (menasehati calon pengantin), g. Famaola ba nuwu (memberitahukan ke paman calon pengantin perempuan), h. Famaigi mbawi walõwa (menengok babi jujuran adat), i. Folau bawi (membawa babi jujuran), j. Falõwa (upacara pernikahan), k. Fame’e gõ (memberi makan penganten), dan l. Famuli nukha (pengembalian pakaian).

Awalnya dalam kebudayaan Nias seluruh rangkaian acara ini dilakukan tahap demi tahap, sehingga membutuhkan waktu yang sangat panjang. Seiring dengan prinsip efisiensi waktu dalam pelaksanaan tahapan-tahapan ini, maka akhir-akhir ini telah diadakan penggabungan yaitu poin a sampai e dalam satu kesempatan, kemudian poin f sampai dengan poin i diwaktu yang lain, dan poin j adalah hari pelaksanaan secara keseluruhan. Sedangkan poin k dan l, adalah anti- klimaks dari seluruh rangkaian acara.

Dalam tesis ini, penulis mencoba menguraikan makna dan nilai luhur yang juga merupakan rangkain dari adat pernikahan dan pesta lainnya. Termasuk di dalamnya penyambutan tamu terhormat yaitu melalui lagu Maena yang dilantunkan pada acara tersebut di atas.

Maena adalah suatu kegiatan budaya yang dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Nias, baik yang masyarakat yang masih berada di

(27)

Kepulauan Nias, maupun kelompok masyarakat Nias yang berada di luar Kepulauan Nias.Untuk memeriahkan suatu acara tertentu di Kepulauan Nias, selain acara adat yang wajib dilaksanakan, tari dan lagu Maena yang merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan dengan acara adat sepertiterurai sebelumnya. Maena menggunakan media gerak, teks, dan melodi yang dilakukan secara dinamis oleh sekelompok orang. Masyarakat yang datang di dalam kegiatan upacara di Nias, tidak terbatas hanya sebatas pada pesta pernikahan, tetapi dilakukan juga pada acara lainnya seperti: peresmian organisasi adat, agama, gedung baru, seminar, atau apapun kegiatan lain. Para pelaku tarian Maena juga tidak dibatasi oleh gender (jenis kelamin), usia dan trah (bosi).

Mereka memainkan gerakan dalam tarian ini juga tidak dibutuhkan keahlian khusus atau latihan yang memakan waktu lama, karena gerakannya tidak rumit, cenderung sebagai perulangan yang sederhana dari sudut estetik, dan terjadi pengulangan terus selama pelantun syairnya masih tetap menuturkan syair- syairnya.

Maena merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional Nias, yang di dalamnya mengandung seni tari dan nyanyian (musik vokal). Tariannya dipolakan dengan gerakan yang membentuk segi empat. Dalam pertunjukannya bermakna kegembiraan dan kemeriahan suatu acara yang dilangsungkan. Musik vokal adalah musik yang dihasilkan oleh suara manusia, musik tersebut diiringi alat musik atau tidak dan penyajiannya dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo), maupun dengan banyak orang (kelompok).

(28)

Maena tidak terlepas dari saling mempengaruhi antara nyanyian dengan tari. Didalam tari ada gerakan, yang membentuk segi empat (öfa sagi) dan kaki membentuk segi tiga (tölu sagi), kedua lengan diayunkan ke depan dan ke belakang sehingga selama pertunjukan Maena, gerakan inilah yang terus diulang- ulang dari awal hingga berakhirnya pertunjukan. Gerakan pada Maena tidak terlalu banyak dan sangat mudah untuk dipelajari, tetapi pada pertunjukannya harus memiliki kekompakkan gerakan tersebut walaupun dikatakan mudah, namun dari sekian banyaknya jumlah penyaji Maena ini, yang harus diperlukan ialah kekompakan, selain itu gerakan Maena berputar ke arah kiri.

Musik vokal pada Maena berupa susunan pantun yang dinyanyikan atau disuarakan oleh sanutunö1maena (pemimpin Maena) yang dipimpin oleh satu atau dua orang. Sanutunö maena juga dapat dipimpin oleh satu orang saja namun yang menjadi pimpinannya ialah seorang perempuan. Apabila sanutunö maena dua orang, maka yang satu perempuan dan satu lagi laki-laki dan terkadang juga dua- duanya dipimpin oleh perempuan. Dengan demikian, dalam tradisi Maena ini, pihak laki-laki dan perempuan memiliki peran bersama, dan itu merupakan ekspresi kerjasama gender dalam budaya Nias yang lebih luas.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam melihat Maena ini, yakni tempat atau lokasi sanutunö maena (pemimpin) dengan sanehe maena atau ono maena (peserta Maena) pada saat pertunjukan. Sanutunö maena berpisah tempatnya ataupun terkadang juga bisa gabung dengan sanehe atau ono maena

1Dalam pengucapan serta penulisan atau pronounsiasi dalam bahasa Nias, seperti dilakukan oleh masyarakat Nias, ö dibaca e sama dengan pengucapan huruf e pada kata menganalisis.

Penulisan kata-kata dalam bahasa Nias dengan huruf Latin seperti itu, awalnya diperkenalkan oleh para misionaris Kristen, yang dimulai dengan zending Jerman dibawah pimpinan Deninger 1850- an.

(29)

tetapi pada umumnya selalu berpisah. Sanehe (ono maena) merupakan orang yang menyanyikan syair maena yang bersifat tetap, dan terus diulang-ulang oleh peserta maena setelah sanutunö maena menyanyikan syair yang berupa susunan pantun-pantun sampai berakhirnya maena tersebut (strophic). Dengan demikian, maka Maena ini secara musikal dapat dikelompokkan ke dalam musik logogenik, yaitu lebih mengutamakan syair ketimbang bentuk melodinya.2

Fanutunö maena (syair maena) yaitu suatu lirik yang disajikan dalam bentuk bernyanyi oleh sanutunö maena (orang yang membacakan syair maena).

Syair maena berisi tentang kegiatan dalam hal ini pesta perkawinan. Syair maena disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam maena yang disebut

dengan ono maena atau fanehe maena (peserta maena). Pada maena tidak dibatasi siapa-siapa saja yang ikut dalam pertunjukannya laki-laki dan perempuan dapat melakukan tari3maena ini. Sanutunö maena dengan sanehe maena saling

2Pertunjukan musik yang diklasifikasikan sebagai logogenik adalah satu kebudayaan musik etnik atau musik dunia dengan ciri khas utamanya adalah menggunakan dan menumpukan teks yang dikomunikasikan secara verbal. Biasanya menggunakan salah satu atau perpaduan unsur-unsur ritme, melodi, atau harmoni. Dalam kebudayaan musik logogenik ini, unsur sastra dan folklor mendapat peranan penting. Namun agak berbeda dengan bahasa sehari-hari, teks dipertunjukan melalui lagu bukan bahasa sehari-hari. Dengan demikian nyanyian jenis ini selalu menggunakan bahasa yang digayakan dan mengandung unsur-unsur perlambangan. Ada kalanya bersifat rahasia seperti pada mantra. Seterusnya, jika sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini, lebih menumpukan pertunjukan pada aspek komunikasi bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi, atau bunyi-bunyian lainnya, diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menelitinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang bisa dijejaki melalui pemikiran mereka (lihat Malm, 1977).

Selain dari musik logogenik terdapat juga musik yang diklasisifikasikan sebagai melogenik.

Pertunjukan musik melogenik ini, bertumpu kepada komunikasi bukan verbal, dan sepenuhnya menggunakan aspek bunyi baik itu berupa nada-nada maupun ritme. Contoh pertunjukan musik melogenik adalah gordang sambilan di Mandailing.

3Menurut Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002:1378) tari ialah gerakan badan serta tangan dan kaki berirama mengikuti rentak musik. Dalam kebudayaan masyarakat di dunia ini, berbagai macam penyebutan untuk tari ini. Dalam kebudayaan Batak Toba, Mandailing, dan Angkola disebut dengan tortor. Dalam kebudayaan Karo disebut dengan landek. Kemudian dalam

(30)

bersahut-sahutan (call and respons) dimana ada yang memimpin dan ada koor yang dinyanyikan secara bersamaan oleh penyaji maena. Teknik penyajian musik yang sedemikian rupa selalu diistilahkan dalam ilmu-ilmu musik sebagai responsorial.4

Apabila kita melihat bahwa setiap suku bangsa biasanya memiliki istilah tertentu dalam menyebut musik vokal itu sendiri, sama halnya juga dengan masyarakat Nias bahwa musik vokal atau nyanyian disebut juga sinunö. Dalam kesenian tradisional, baik yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari budaya lain, sehingga masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari nenek moyang mereka, dapat disebut kesenian tradisional. Predikat tradisional bisa diartikan segala sesuatu yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola- pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang-ulang (Sedyawati, 1981:48).

Pesta perkawinan pada masyarakat Nias memiliki beberapa musik vokal (sinunö) seperti: bolihae, fangowai, dan hendri-hendri. Ketiga jenis sinunö ini murni tidak menggunakan alat musik pengiring, hanya disuarakan oleh suara manusia. Namun dalam tesis ini, penulis menitik beratkan musik vokal pada maena, bahwa maena dahulunya juga tidak menggunakan alat musik pengiring tetapi karena perubahan zaman atau karena dalam pertunjukannya bermakna suatu kegembiraan dan sukacita sehingga digunakan ensambel pengiring yang terdiri

kebudayaan Pakpak disebut dengan tatak. Dalam kebudayaan dunia ada yang menyebutnya dance atau juga dansa.

4Responsorial atau call and response, adalah bentuk penyajian musik secara bersama, yaitu satu orang pemimpin vokal disahuti oleh sekelompok penyanyi lainnya. Jadi ada konsep memimpin dan dipimpin di dalam teknik ini. Contoh pertunjukan musik seperti itu adalah pada pertunjukan tari saman di Gayo, antara pemipin nyanyian syekh dan kelompok vokal. Selain itu, terdapat pula teknik sahut-sahutan antara dua kelompok penyanyi. Teknik yang seperti ini selalu disebut dengan litany.

(31)

dari gong, gondra, faritia, dan ukulele. Tetapi karena dilihat bahwa dengan menggunakan alat-alat tersebut sangat sulit dalam penyediaannya, maka berubah pula dan kebanyakan dengan menggunakan keyboard.

Pada pesta perkawinan ada beberapa bagian musik vokal yang dinyanyikan oleh sanutunö maena yaitu, (1) fanehe maena wangowai dome (syair yang berisi sapaan atau ucapan selamat datang). Dalam menyajikannya berisi tentang sapaan karena para tamu-tamu dari pihak laki-laki sudah datang sehingga disapa lewat sebuah tarian. Tarian tersebut ialah tarian maena wangowai dome. Pada syair ini yang melakukan atau melaksanakannya ialah pihak perempuan, (2) fanehe maena zowatö (syair yang berisi sapaan kepada sowatö).

Dalam syair ini keluarga laki-laki menyapa keluarga mempelai perempuan dengan cara menyajikan tarian. Pada syair ini pihak laki-laki yang melaksanakannya, (3) fanehe maena wangandrö sokona(syair meminta sokongan dari pihak laki-laki).

Pada syair ini keluarga pihak laki-laki khususnya pengantin laki-laki wajib memberikan uang, rokok, atau sejenis minuman kepada para ono maena (peserta maena). Fanutunö maena ini yang melakukannya atau melaksanakannya ialah pihak perempuan.

Ketiga syair fanehe maena di atas sanutunö maena selalu berpisah dengan para sanehe maena tetapi terkadang juga sanutunö maena bergabung bersama dengan sanehe maena. Setiap gerakan yang dilakukan oleh para sanehe maena tidak diikuti oleh sanutunö maena, namun pada umumnya sanutunö maena ikut juga menyanyikan syair zanehe maena (syair yang dinyanyikan oleh peserta maena).

(32)

Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertutur bahasa Nias (amaedola atauduma-duma), karena syair-syair semuanya memakai bahasa Nias.

Namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun- pantun maena yang khas li nono Niha (bahasa Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya.

Sanutunö maena merupakan orang yang sangat penting dalam pertunjukan maena karena tanpa sanutunö maena tarian maena tidak bisa berjalan apabila hanya sanehe maena (peserta maena) saja yang ada. Itulah menjadi pertanyaan dan yang dijawab dalam tulisan ini yaitu seberapa pentingkah sanutunö maena itu pada pertunjukan maena? Bagaimanakah tata cara sanutunö maena menyanyikan syair wanutunõ maena tesebut?

Kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan sangat menarik jika kita teliti lebih dalam. Namun pada kenyataannya masyarakat pendukungnya tidak begitu memprioritaskan tentang kesenian tersebut disebabkan kurangnya kepedulian generasi muda orang Nias yang terhadap kebudayaannya. Selain itu juga minat masyarakat Nias terutama para generasi muda lebih tinggi terhadap lagu-lagu populer (pop) dibanding dengan lagu-lagu tradisional. Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu populer Nias semakin lama semakin beredar lewat kaset rekaman.

Melihat situasi dan kondisi eksistensi kebudayaan (musik) Nias sekarang ini, maka kecenderungan hilang tanpa didokumentasikan memang dapat terjadi kapan saja karena kurangnya antusias dan pengetahuan generasi muda masyarakat Nias terhadap budaya-budaya yang sebelumnya ada. Oleh karenanya perlu

(33)

dilakukan upaya-upaya dokumentasi terhadap budaya di seluruh dunia. Hal inilah akhirnya dapat mengaburkan bentuk asli dari tradisi Nias itu sendiri, karena semakin disederhanakan atau dipersingkat menurut pelaksanaan suatu acara adat, (Elisian Waruwu, 1994:11).

Dalam kutipan ini muncul dibenak penulis, bahwa kesenian masyarakat Nias tidak banyak yang melestarikan keseniannya, hanya sekedar mengetahuinya saja tetapi tidak dituangkan dalam satu tulisan. Dengan adanya tulisan tentang kesenian masyarakat Nias, setiap orang yang melihat dan membaca tulisan tersebut dapat memberi inspirasi bahwa kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan ada rasa ingin tahu lebih dalam karena pernyataan tersebut, penulis memiliki alasan tersendiri mengapa musik vokal pada maena ditulis dalam satu tulisan yaitu karena kurangnya masyarakat Nias yang memiliki pengetahuan tentang kesenian masyarakat Nias, walaupun tahu tetapi tidak di tulis dalam satu tulisan sehingga penulis merasa sebagai seorang pengkaji seni maka kewajiban penulis untuk menulis tentang salah satu kesenian tradisional Nias yaitu musik vokal pada maena apalagi penulis merupakan salah satu orang yang akan melestarikan kesenian tradisional Nias sehingga penting untuk dikaji dan dituangkan dalam satu tulisan berupa tesis yang berjudul: Maena Pada Upacara Falõwa di Ori Laraga Kota Gunungsitoli : Analisis Tekstual, Musik dan Tari.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan tiga masalah penelitian sebagai berikut.

(34)

1. Bagaimana makna-makna teks (syair) dalam lagu pada pertunjukan budaya Maena?

2. Bagaimana struktur musikal lagu pada pertunjukan Maena di Gunung Sitoli?

3. Bagaimana struktur tari Maena di Gunung Sitoli?

Ketiga pokok masalah penelitian di atas akan dibantu pula oleh beberapa permasalahan yang mendukung, di antaranya adalah:

a. Bagaimana proses upacara falõwa (perkawinan) di Gunung Sitoli Nias?

b. Sejauh apa penggunaan dan fungsi maena pada upacara tersebut?

c. Bagaimana persepsi orang Nias pada umumnya melihat keberadaan maena pada masa sekarang ini?

d. Nilai-nilai budaya kearifan yang seperti apa yang terkandung di dalam pertunjukan maena dalam konteks upacara perkawinan di Gunung Sitoli?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui, memahami, melalui analisis tentang makna teks (syair) dalam lagu-lagu pada pertunjukan budaya maena.

2. Untuk mengetahui, memahami, melalui analisis terhadap bagaimana struktur musikal lagu pada pertunjukan maena di Gunung Sitoli.

(35)

3. Untuk mengetahui, memahami, memaparkan, bagaimana struktur tari maena di Gunung Sitoli.

1.3.2 Manfaat penelitian

Penelitian ini, diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi perkembangan seni budaya yang mulai memudar, terutama:

1.3.2.1 Bagi mahasiswa

a) Dapat memberi pengalaman tentang pengaplikasian ilmu yang telah diperoleh dari bangku perkuliahan.

b) Dapat menambah wawasan dan cara pandang mahasiswa untuk berpikir kritis dan sistematis terhadap sebuah seni yang ada di lingkungan sekitar.

c) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni tari dan musik, agara dapat mengetahui penyajian tari dan musik maena sesungguhnya, termasuk pada konteks hiburan di pesta perkawinan.

1.3.2.2 Bagi lembaga pendidikan

a) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya Maena) bagi lembaga-lembaga pendidikan (Fakultas) sehingga dapat digunakan oleh para dosen kesenian sebagai bahan pembelajaran

b) Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar sendratasik (seni, drama, tari dan musik) untuk menambah wawasan seni dan kemudian mengajarakannya kepada generasi muda Indonesia

(36)

c) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi, bahan pertimbangan dan bahan kajian dalam penulisan karya ilmiah mengenai kesenian.

d) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca tentang kesenian dalam sebuah daerah.

1.3.2.3 Bagi masyarakat

a) Dapat menjaga dan melestarikan tradisi daerah setempat khususnya suku Nias.

b) Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau masukan untuk mengelola kesenian/tradisi khususnya suku Nias.

c) Memberikan manfaat bagi masyarakat nias maupun masyarakat luas mengenai bagaimana lagu maena dinyanyikan di dalam acara pernikahan adat masyarakat nias.

1.3.2.4 Bagi peneliti

a. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari maena

b. Menjadi bahan masukan bagi penulis untuk melakukan penelitian penelitian selanjutnya mengenai tarian maena.

(37)

1.4 Konsep dan Teori Yang Digunakan 1.4.1 Konsep

Musik vokal ialah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan mempunyai pola-pola serta aturan untuk menghasilkan bunyi tersebut.

Musik vokal dapat juga dikatakan nyanyian, kita dapat berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi yang berirama yang merupakan alat atau media untuk menyampaikan maksud seseorang tanpa iringan musik.

Musik vokal atau nyanyian seperti yang kemukakan oleh Poerwadarminta (1985:680) sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi.

Musik vokal dalam masyarakat Nias sama dengan sinunö [sinun]. Apabila dikatakaan sinunö (ks) berarti nyanyian yang keluar dari alat ujar manusia tanpa ada iringan musik. Apabila dikatakan sanunö (kb) berarti orang yang menyanyi.

Sedangkan manunö berarti menyanyi (kk).

Maena pada masyarakat pendukungnya mempunyai arti sebagai sebuah tarian yang memiliki gerak segi empat. Sifamaena (kb) berati orang yang menari maena. Famaena (kk) berarti menari maena. Famaena menyiratkan makna masyarakat hadir dan berkumpul disuatu tempat melakukan kegiatan budaya yaitu maena. Padanan dari kata maena yaitu fanehe maena berarti syair maena.

Sehingga apabila kita gabungkan kedua kata tersebut di atas maka dapat dikatakan sinunö maena yang berarti musik vokal atau nyanyian pada tarian

(38)

maena. Nyanyian tersebut dalam pembahasan ini dibagi atas tiga bagian yaitu, (1) Fanehe maena wangowai dome, (2) Fanehe maena wangowai zowatö, dan (3) Fanehe maena wangandrö sokona.

Maena wangowai dome bagi masyarakat Nias bermakna bahwa ada orang yang menyambut tamu yang dinamakan sowatö (keluarga perempuan) mengucapkan selamat datang kepada keluarga pihak mempelai laki-laki, lalu menyapa mereka dengan tarian wangowai dome. Maena wangowai berarti penghormatan, tome berarti tamu sehingga musik vokal pada tari ini dapat dikatakan sekelompok orang, keluarga pihak perempuan menyapa hormat para tamu pihak laki-laki karena sudah tiba di lokasi tempat dimana pesta perkawinan itu berlangsung.

Demikian juga halnya dengan fanutunö maena wangowai zowatö kebalikan dari fanutunö maena wangowai dome yaitu sekelompok orang dari pihak laki-laki menyapa hormat atau memberi penghormatan kepada para sowatö (pihak perempuan). Berbeda halnya dengan fanutunö maena wangandrö sokona yaitu fanutunö maena dalam masyarakat Nias berarti syair yang akan dinyanyikan oleh sanutunö maena. Wangandrö berarti permintaan. Sedangkan sokona ialah dapat dikatakan memberikan sesuatu berdasarkan kemampuannya yang diberikannya kepada peserta maena. Jadi fanutunö maena wangandrö sokona berarti keluarga pihak perempuan meminta dukungan, atau pemberian sukarela dari pihak laki-laki dengan dipertunjukannya tarian ini.

Perkawinan pada masyaraakat Nias merupakan pembentukan suatu keluarga baru yang bernilai sakral untuk melahirkan keturunan (regenerasi). Kata

(39)

perkawinan bagi masyarakat Nias mengandung arti yaiu falöwa atau fangowalu.

Apabila dikatakan mangowalu (kk) berarti seorang laki-laki yang dikatakan marafule melamar satu orang wanita yang dikatakan ono nihalö dan melakukan suatu pesta yang dikatakan pesta adat perkawinan. Selanjutnya apabila dikatakan sangowalu (ks) berarti orang yang melangsungkan pesta perkawinan. Dalam melaksanakan satu pesta adat perkawinan ada beberapa tahap-tahap yang akan dilakukan sebelumnya sehingga dapat terlaksana satu upacara dari awal sampai di acara puncaknya yaitu fangowalu.

1.4.2 Teori

Sesuai dengan tiga pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu: (1) makna teks lagu maena, (2) struktur musik maena, dan (3) struktur tari maena, maka dalam mengkajinya penulis menggunakan tiga teori utama. Untuk mengkaji teks maena digunakan teori semiotik, khususnya dari Halliday yang memandang teks atau syair nyanyian melalui makna denotatif dan makna konotatif. Namun demikian pada bab ini diuraikan agak panjang apa itu teori semiotik, sebagai latar belakang keilmuan dalam konteks mengkaji teks maena.

Selanjutnya untuk mengkaji struktur musik maena, yang terkonsentrasi pada melodi, penulis menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) seperti yang ditawarkan oleh Malm dalam bukunya Music Culture of Pacific, near East, and Asia, diterbitkan oleh Prentice Hall, di Englewood Cliffs, New Jersey, Amerika Serikat. Teori ini secara khusus bertumpu pada bagaimana struktur

(40)

melodi, yang terdiori dari delapan besaran umum itu disusun dalam kebudayaan musik di seluruh dunia ini.

Seterusnya untuk mengkaji struktur tari maena, digunakan teori struktur tari maena digunakan teori koreografi tari. Teori ini awalnya ditawarkan oleh Djelantik. Pada dasarnya teori ini mengkaji tari dari dimensi ruang, waktu, dan tenaga yang terdapat dalam tari.

1.4.2.1 Teori semiotik

Dalam mengkaji makna tekstual dalam pertunjukan tarian naena, penulis lebih fokus dengan menggunakan teori semiotik. Selanjutnya teori ini digunakan dalam usaha untuk memahami bagaimana makna tari maena diciptakan dan dikomunikasikan. Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Peirce juga menginterprestasikan bagasa sebagai lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti

(41)

foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu sepertu timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.

Semiotik atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta tanda tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Defenisi yang sama pula dikemukakan oleh salah satu seorang pendiri teori semiotik, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand De Sausurre. Menurutnya semiotik adalah kajian mengenai

“kehidupan tanda-tanda mengenai kehidupan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.“ Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotik sebagai modus interdisplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam bebagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce .

Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian ini kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefenisikan tanda sebagai

“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain”. Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotik adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tandanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referennya dengan cara penemuan seperti dengan kata-

(42)

kata atau signal trafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji syair maena.

Untuk membantu kajian makna dalam penelitian ini juga penulis mengkaji fungsi tari saman, dengan menggunakan teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan kebiasaan- kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi. Institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan- susunan sosial didukung oleh fungsi. Institusi-institusi seperti negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung aktivitas politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk berhubungan kekerabatannya.

1.4.2.2 Semiotik Charles Sanders Peirce

Peirce dalam buku Interprestasi dan Semiotika (Panuti Sudjiman & Art Van Zoest) menuliskan bahwa semiotika dapat dipecahkan dengan baik yang disebabkan oleh masalah inferensi (pemikiran logis), akan tetapi semiotika juga membahas masalah-masalah signifikasi dan komunikasi. Salah satu gagasan beliau dalam teori semiotika adalah mengenai tanda-tanda yang dibagi dalam tiga kategori adalah: a. ikon, b. Indeks, dan c. simbol.

(43)

OBJEK

REPRESENTAMEN INTERPRETAN

Bahasa sebagai lambang semiotika terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1). Representatum, (2). Interpretant (pengamat) dan (3.) Sebagai Objek. Semiotika membicarakan hal ini sedemikian rupa sehingga batas antara semiotika dan teori komunikasi tidak selelu jelas. Teori komunikasi menaruh perhatian pada kondisi penyampaian signifikasi, yaitu pada saluran komunikasi.

Berkat saluran komunikasi inilah pesan dapat disampaikan.

Peirce mengemukakan teori segi tiga makna atau triangel meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain diluar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993: 10) dan (Pudentia, 2008:323).

Bagan 1.1 Segitiga Makna

(44)

Menurut Peirce (Santosa, 1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya dan hubungan pikiran dengan jenis pertandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2.

Ground/Representamen: Tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum

Objek/Referent:

yaitu yang diacu

Interpretant:

Tanda tanda baru yang terjadi dalam batin penerima

Qualisign:

terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya:

“keras” suara sebagai tanda, warna hijau

Icon:

Tanda yang penanda dan pertandanya ada kemiripan. Misalnya:

foto, peta

Rheme:

Tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berasarkan pilihan. Misalnya

“mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain

insign/ tokens:

terbentuk melalui realistis fisik.

Misalnya rambu lalu lintas

Indeks:

hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.

Dicent Sign:

tanda sebagai fakta/

pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu obyek, misalnya: tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.

Legisign:

Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya : Suara wasit dalam pelanggaran.

Symbol:

Hubungan tanda dan objek karena

kesepakatan/ suatu tan da yang penanda atau pertanda arbiter konveksional. Misalnya bendera, kata-kata.

Argument:

tanda suatu aturan yang langsung memberikan alasan. Misalnya : gelang akar bahan dengan alasan kesehatan.

Tabel 1.1

Pembagian Tanda. Sumber: Emi Yunita (2011)

(45)

1.4.2.3 Semiotik Ferdinand de Saussure

Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913).

Dalam teorinya Saussure membagi dua bagian (dikotomi), yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda adalah wujud fisik yang dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda yang dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nilai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, bisa disebut engan signifikasi.

Semiotik signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut (culler, 1996:7). Bagan berikut tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (dalam Djajasudarma, 1993:23).

Hubungan antara significant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe lingusistique atau signe) bersifat arbitrer. Significant bersifat linear, unsur unsurnya membentuk satu rangkaian ( unsur yang satu mengikuti unsur lainnya).

Bagan 1.2 Tentang Hubungan Tanda

(46)

Menurut Saussure (Chaer, 2003:348) tanda terdiri dari (a) bunyi-bunyian dan gambar, yang disebut signifier atau penanda, dan (b) konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang obyek dan orang lain akan meninterprestasikan tanda tersebut. Obyek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh, ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpatkan maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure,

“signifier dan Signified” merupakan kesatuan, tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.

Bahasa merupakan sistem tanda, dimana setiap tanda yang ada terdiri dari dua bagian yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau gagasan. Sementara signified adalah kata-kata atau tulisan yang menyampaikan konsep, ide atau gagasan tersebut. Kedua unsur ini tidak apat dipisahkan, suatu signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa-apa, sebaliknya suatu signifier tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia yang masih sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier.

Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified

“bayi”.

(47)

1.4.2.4 Semiotik Halliday

Halliday mengembangkan semiotik terutama dalam bidang bahasa (linguistic). Pembagian semiotik bahasa menurut beliau dibagi dua yaitu semiotik denotatif yang mengkaji tanda-tanda bahasa dalam makna sesungguhnya, dan yang kedua adalah semiotik konotatif yang mengkaji bahasa dalam makna di luar makna yang sesungguhnya.

Dalam pemakaian bahasa, sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang teriri atas ideologi, konteks budaya dan faktor situasi sebagai semiotik konotatif, pemakaian bahasa menunjukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, semiotik meminjamkan budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjtunya konteks situasi meminjamkan semiotik yang berada di bawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan oleh bahan yang mencakup semantik, tata bahasa dan fonologi

Bahasa dalam pandangan semitoik sosial menandai jenis pendekatan yang dilakukan oleh Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspres, berbeda dengan semiotik biasa sebai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Arti semantic atau discourse semantic direalisasikan pada bentuk gambar (grammar atau expression) dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi atau phonology/graphology (Saragih, 2000:11).

Gambar

Gambar 2.1 Peta Nias  Sumber: BPS Kabupaten Nias
Tabel 2.1 Statistik Geografi dan Iklim Gunung Sitoli  Sumber: Gunung Sitoli Dalam Angka, 2010
Tabel 5.1 Jumlah Nada
Tabel 5.3 Kontur Lagu Fanema’o Tome
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

dilakukan dalam meningkatkan etos kerja yang akan meningkatkan mutu dari hasil. pekerjaan serta pemberdayaan SDM salah satu upaya yang penting

Hasil analisis menunjukkan bahwa : (i) pertumbuhan premi asuransi jiwa mulai memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sejak periode (tahun) kedua dan

Registrasi naskah keluar dipergunakan untuk mendaftarkan arsip atau surat yang akan dikirimkan oleh unit kerja kepada unit kerja lain atau instansi lain kedalam aplikasi SIKD..

f) Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. g) Mandiri : Sikap dan perilaku yang tidak

Berangkat dari istilah-istilah yang telah dikemukakan tersebut dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan strategi guru pendidikan agama Islam

Hotel kini juga dapat digunakan sebagai tampat untuk mencari hiburan dan dapat digunakan sebagai tempat untuk untuk melakukan aktivitas- aktivitas bisnis. Salah satu usaha yang