• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dimana penanganan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dimana penanganan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Apabila kita mencermati konsep pemasyarakatan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dimana penanganan terhadap narapidana didasarkan pada konsep “pembinaan” dan “bimbingan” serta

“rehabilitasi” dan reintegrasi sosial”, maka pendekatan yang harus dilakukan semestinya adalah pendekatan secara individual. Namun konsep ini ternyata sampai sekarang belum dapat diterapkan sebagaimana yang diharapkan, karena Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, adalah merupakan undang- undang Pokok yang harus dijabarkan lebih lanjut peraturan-peraturan pelaksanaanya.

Keributan-keributan antar narapidana di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan (LP), menunjukkan belum profesionalnya sistem pembinaan narapidana di Indonesia, termasuk petugas-petugasnya. Selain itu juga disebabkan adanya disparitas pidana, diskriminasi diperlakukan, dan tidak berfungsinya hakim wasmat (pengawas pengamat). Disparitas pidana merupakan pemidanaan yang dianggap tidak adil karena dibandingkan dengan orang yang sederajat tindak pidana dengan dirinya mendapatkan pidana lebih ringan tapi dia lebih berat.

Secara umum, pembinaan narapidana di LP, dirusak oleh adanya perbedaan perlakuan atau perbedaan tingkat sosial para narapidana. Berhasil tidaknya urusan pembinaan di LP tidak hanya dimulai pada saat orang masuk pintu gerbang LP,

(2)

perlakuan yang diterima sebelum masuk LP juga berpengaruh. Jadi, kesadaran pembinaan itu tidak hanya pada petugas LP saja, Polisi juga harus memperlakukan tahanan dengan baik, sedang pengadilan juga harus menghindarkan terjadinya disparitas pidana.

Menurut penelitian di luar negeri, salah satu penyebab timbulnya pemberontakan di penjara adalah perasaan tidak adil akibat disparitas pidana serta perlakuan tidak adil yang dirasakan narapidana. Penderitaan akibat masalah itu membuat narapidana mudah meledak. Pembinaan di LP dirasakan tidak ada artinya lagi karena dia merasa menjadi korban ketidak-adilan. Seringkali pemberontakan atau kekacauan di dalam penjara bukan sebagai akibat kondisi di penjara. Tapi justru akibat proses sistem peradilan pidana yang tidak memuaskan mereka, misalnya pemeriksaan di kepolisian, pemeriksaan di kejaksaan, dan keputusan pengadilan yang tidak memuaskan. Itu semua sudah dibawa akumulasi ketika masuk penjara, sehingga program LP seringkali gagal karena proses sebelumnya.

Salah satu kelemahan LP di Indonesia, adalah kurangnya petugas profesional sebagai Pembina, misalnya ahli-ahli ilmu-ilmu sosial yang betul-betul terdidik dan sarjana. Walaupun ada perkembangan baru dengan UU Pemasyarakatan, petugas LP mendapat tunjangan fungsional, akan lebih baik kalau LP bisa merekrut sarjana ilmu sosial untuk membina narapidana, misalnya psikolog, antropolog atau psikiater dan sebagainya.

(3)

Untuk mengantisipasi masalah tersebut, perlu dipikirkan upaya meningkatkan kemampuan petugas LP agar mampu mengambil langkah preventif sebelum terjadi kerusuhan yang bisa menimbulkan jatuhnya korban. Sedang kesejahteraan petugas LP perlu dipikirkan.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu lembaga yang berperan penting dalam kepribadian manusia yang sedang menjalani masa hukuman karena pelanggaran yang telah dibuatnya. Peranan Lembaga Pemasyarakatan tersebut dipandang semakin strategis, berkenaan dengan semakin merebaknya kejahatan yang sudah barang tentu menambah penghuni Lembaga Pemasyarakatan.

Pembinaan narapidana di LP, memerlukan penanganan yang utuh dan terpadu (holistic) berdasarkan nilai-nilai pancasila. Pada diri narapidana ini diharapkan dapat mensinergikan kembali narapidana ke tengah kehidupan masyarakat guna menjalankan fungsi dan peran sosialnya setelah menjalani masa hukuman, yang pada akhirnya akan dapat menopang pembangunan nasional. Program pembinaan dan bimbingan narapidana di LP tersebut dimaksudkan agar narapidana menjadi warga Negara yang baik.

Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang tersesat karena melakukan tindak pidana. Mereka perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat menjadi warga yang berfaedah di tengah- tengah masyarakat.

(4)

Hasil dari beberapa penelitian seperti Marlina (1995), tentang Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II Tanjung Gusta Medan, dan Situmeang R (2008), tentang Fungsi dan Peran Lembaga Pemasyarakatan dalam Pembinaan Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas II Tanjung Gusta Medan menunjukkan adanya hambatan-hambatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Adapun permasalahan-permasalahan yang sering ditemukan yaitu :

1. Sarana gedung Lembaga Pemasyarakatan 2. Masalah sarana pembinaan narapidana.

Bahwa sarana untuk pendidikan ketrampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya. Dengan demikian sifat pendidikan ketrampilan disesuaikan dengan sarana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat keadaan seperti tersebut di atas, akibatnya banyak narapiada atau anak didik setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak mempunyai bekal kependidikan atau ketrampilan.

3. Masalah Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Berkenaan dengan permasalahan petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, dalam hal ini ketiga Lembaga Pemasyarakatan yang dijadikan sebagai obyek penelitian, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan humanis yang menyentuh perasaan narapidana, dan mampu

(5)

berdaya cipta dalam melakukan pembinaan, baik berdasarkan pengalaman dalam menjalankan tugas maupun berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari sekolah (misalnya Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Ilmu Psikologi dll).

Muhamad Husni Mubaroq Al-Iqbal (2008), menyatakan realitas program pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga, tak bisa dipisahkan dari kondisi sumber daya petugas yang secara umum tidak cukup kapabel. Hal ini di antaranya disebabkan oleh :

1. Sistem perekrutan yang tidak didasari oleh kebutuhan kualifikasi personil.

2. Lemahnya keterkaitan kurikulum Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) sebagai institusi yang menghasilkan lulusan untuk bekerja pada Lembaga Pemasyarakatan, padahal jumlah mereka sangat signifikan dan menduduki posisi- posisi penting.

3. Kurangnya pengkayaan kemampuan petugas LP dan Bapas melalui pelatihan- pelatihan, dan buruknya sistem gaji dan tunjangan pegawai LP dan Bapas yang berpengaruh pada kinerja personil dan lembaga.

4. Mekanisme evaluasi kerja dan jenjang karir petugas yang tak jelas dan tranparan.

5. Friksi antar pegawai yang berasal dari AKIP dengan non AKIP, yang dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif, merendahkan petugas dari non AKIP.

6. Anggaran dana operasional untuk lembaga yang sangat minim, dan ketika bertemu dengan moralitas pejabat lembaga yang korup, maka kondisi ini menjadi sangat menekan biaya-biaya operasional yang semestinya tidak bisa dikurangi.

Sudah dana terbatas, semakin terbatas karena dikorup, pengalokasiannya tidak

(6)

tepat sasaran, dan tidak efisien (adanya pemborosan-pemborosan karena melakukan ‘tender’ tertutup untuk pengadaan barang, makanan untuk operasional lembaga).

7. Dan yang terutama adalah, kesenjangan konsep pemasyarakatan dengan realitas pelaksanaan di lapangan.

Adapun usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala dalam pembinaan narapidana antara lain adalah: Pertama, dalam rangka mengatasi kekurangan sarana pembinaan narapidana dalam bentuk gedung, pemerintah secara berangsur-angsur telah merehabilitasi bangunan Lembaga Pemasyarakatan; Kedua, untuk mengatasi kebutuhan di bidang sarana pembinaan ketrampilan Lembaga Pemasyarakatan seringkali mendapatkan bantuan dari pihak pemerintah berupa alat- alat latihan ketrampilan seperti mesin jahit, alat-alat kesenian, pertukangan, dan perbengkelan. Di samping juga mengadakan kerja sama dengan perusahaan- perusahaan swasta guna melengkapi kekurangan sarana ketrampilan tersebut; Ketiga, menambah tenaga baru lulusan Akademi Ilmu Pemasyarakatan, serta memberikan kesempatan bagi tenaga yang sudah ada untuk mengikuti kursus-kursus / penataran- penataran tentang pembinaan narapidana yang diselenggarakan Departemen Kehakiman ataupun Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Di sisi lain, budaya organisasi dan lingkungan kerja di LP juga dapat mempengaruhi bagaimana kinerja petugas LP dalam berperan sebagai Petugas pembinaan. Dalam hal ini, budaya organisasi dapat dilihat dari kemampuan tehnik petugas, kerjasama tim (team work), dan potensi kepribadian yang dimiliki oleh

(7)

petugas dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawab khususnya dalam pembinaan narapidana. Dalam hal potensi kepribadian petugas ini, dimaksudkan pada tingkat pemahaman dimensi struktural dan pemahaman dimensi interaksional petugas.

Pemahaman dimensi struktural adalah suatu keadaan dimana petugas pembina memiliki informasi yang cukup tentang apa yang menjadi tugas, batas-batas wewenangnya, tanggung jawabnya, hak-haknya, sifat pekerjaannya dan sebagainya.

Sedangkan pemahaman dimensi interaksional adalah suatu keadaan dimana petugas pembina dalam hal penerimaan tugas memiliki kemampuan pendidikan dan pengalaman yang cukup dan mampu menghadapi hambatan dalam tugas.

Dengan memadainya tingkat pemahaman dimensi struktural dan dimensi interaksinal petugas otomatis peran aktifnya sebagai petugas pembina para narapidana di lembaga pemasyarakatan dapat lebih berhasil guna dan tepat sasaran.

Dengan dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, penulis ingin membahas tentang peran aktif petugas ditinjau dari pemahaman dimensi struktural dan dimensi interaksional petugas terhadap pembinaan narapidana dengan lokus penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Binjai.

(8)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana pengaruh peran aktif petugas ditinjau dari pemahaman dimensi struktural dan pemahaman dimensi interaksional petugas terhadap pembinaan narapidana di Lembaga Kemasyarakatan Klas II-A Binjai”.

1.3. Tujuan Penelitian

Dari rumusan permasalahan di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pemahaman dimensi struktural petugas.

2. Untuk mengetahui pemahaman dimensi interaksional petugas.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan narapidana.

4. Untuk mengetahui pengaruh peran aktif petugas ditinjau dari pemahaman dimensi struktural dan pemahaman dimensi interaksional terhadap pembinaan narapidana Klas II-A Binjai.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini secara khusus diharapkan :

1. Dengan mengetahui peran atau fungsi petugas lembaga pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Binjai, akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan pada masing-masing sektor yang terlibat dalam manajemen lembaga pemasyarakatan.

(9)

2. Dengan mengetahui hambatan-hambatan dalam pembinaan narapidana akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk membuat kebijakan-kebijakan pada masing-masing sektor yang terlibat dalam manajemen lembaga pemasyarakatan Klas II-A Binjai.

Selanjutkan diharapkan agar hasil penelitian ini secara umum dapat bermanfaat bagi :

1. Pihak Pemerintah dalam hal ini Depkumham, untuk memperoleh umpan balik dalam merumuskan suatu gambaran sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II-A Binjai.

2. Bagi pihak Akademik, sebagai pengembangan ilmu dalam bidang manajemen secara umumnya dan menambah informasi dan pengetahuan dalam operasional pembangunan di Sumatera Utara.

1.5. Kerangka Konseptual

Beberapa pengertian yang terkait dengan judul penelitian ini dapat diuraikan terdiri dari (1) Peran aktif, menurut Newcom, dkk dalam Asri (2004) menggambarkan konsistensi tingkah lakunya terhadap tata hubungan yang relatif stabil dengan orang- orang lain dalam kelompoknya. Berarti pengertian peran aktif di sini adalah tindakan atau tingkah laku yang berkesinambungan dalam kaitannya dengan tata hubungan dalam kelompok/organisasi; (2) Pemahaman dimensi struktural adalah suatu keadaan dimana petugas pembina memiliki informasi yang cukup tentang apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, hak-haknya, sifat pekerjaannya dan sebagainya;

(10)

(3)Pemahaman dimensi interaksional adalah suatu keadaan dimana petugas pembina dalam hal penerimaan tugas memiliki kemampuan pendidikan dan pengalaman yang cukup dan mampu menghadapi hambatan dalam tugas; (4) Pembinaan narapidana adalah keseluruhan tindakan yang dilakukan petugas Lembaga Pemasyarakat berdasarkan sejauh mana upaya yang dilakukan oleh pihak LP untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; (5) Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab; (6) Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan; (7) Warga Binaan Pemasyarakat adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan; dan (8) Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.

(11)

Selanjutnya dalam bentuk bagan kerangka konseptual penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1.1. Kerangka Konsep

1.6. Hipotesis

Yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh peran aktif petugas ditinjau dari pemahaman dimensi struktural dan pemahaman dimensi interaksional terhadap pembinaan narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas II-A Binjai.

PERAN AKTIF PETUGAS PEMBINAAN

PEMAHAMAN DIMENSI STRUKTURAL

PEMAHAMAN DIMENSI INTERAKSIONAL

PEMBINAAN NARAPIDANA

Gambar

Gambar 1.1. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Maksud dari pembuatan Laporan Kelompok Kerja ini adalah sebagai laporan atau output atas pelaksanaan kegiatan dalam rangkaian Tahapan Pemilihan Umum Tahun 2019

Sehubungan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka peneliti mengajukan beberapa implikasi, sebagai berikut : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

Hasil penelitian ini, yaitu perbedaan kelas sosial yang ada pada cerpen “Perkawinan Mustaqimah” karya Zulfaisal Putera yang terbagi menjadi dua, yaitu golongan sangat

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui bagaimana guru BK memotivasi berpenampilan rapi melalui layanan informasi pada siswa kelas VIII di MTs. Ak-Manar Medan

Pemeriksaan EITB telah terbukti spesifik untuk infeksi T.solium. EITB sensitif  pada kista parenkim aktif multipel atau neurosistiserkosis ekstraparenkim. Meskipun demikian

Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas

hemodulasi darah dan kebutuhan mineral yang diperlukan janin. b) Kebutuhan protein wanita hamil makin tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, perkembangan organ