• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN BUDAYA K3 MELALUI ORGANISASI K3 LAPORAN TUGAS AKHIR. Oleh. Abdi Prayudha NIM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGEMBANGAN BUDAYA K3 MELALUI ORGANISASI K3 LAPORAN TUGAS AKHIR. Oleh. Abdi Prayudha NIM"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN BUDAYA K3 MELALUI ORGANISASI K3

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh

Abdi Prayudha NIM 17020010

PROGRAM STUDI FIRE AND SAFETY AKADEMI MINYAK DAN GAS BALONGAN

INDRAMAYU

2021

(2)

i

PENGEMBANGAN BUDAYA K3 MELALUI ORGANISASI K3

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh

Abdi Prayudha NIM 17020010

PROGRAM STUDI FIRE AND SAFETY AKADEMI MINYAK DAN GAS BALONGAN

INDRAMAYU

2021

(3)

ii

PENGEMBANGAN BUDAYA K3 MELALUI ORGANISASI K3

Nama Mahasiswa : Abdi Prayudha NIM : 17020010

Jurusan : Fire and Safety

Dosen Pembimbing I : Soni Widodo, S.KM, M.KKK Dosen Pembimbing II : Julfi Andrian Nugraha, M.Pd

ABSTRAK

Salah satu cara dalam mengembangkan budaya K3 adalah dengan adanya suatu peran dari organisasi K3, organisasi K3 merupakan wadah kerja sama antara pimpinan dengan tenaga kerja dalam menangani segala aspek dan masalah K3 di perusahaan, serta dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi tenaga kerja terhadap K3. Tujuan dilaksanakannya tugas akhir ini, untuk menjelaskan peran organisasi K3 dalam pengembangan budaya K3. Metodologi pelaksanaan tugas akhir ini, menggunakan pengambilan data sekunder meliputi kajian studi literatur yang bersumber dari jurnal, buku, serta peraturan dan perundangan-undangan terkait pengembangan budaya K3 melalui organisasi K3. Berdasarkan hasil studi literatur tugas akhir, maka melalui peran organisasi K3 dapat berperan dalam upaya mengembangkan budaya K3, dalam budaya K3 dibutuhkan suatu peran organisasi K3 yaitu dalam mengumpulkan data kegiatan dan lokasi yang berpotensi bahaya, membuat program dan prosedur K3 yang aman, membuat peraturan dan petunjuk K3 kerja terhadap seluruh pekerja, mengkoordinir pertemuan-pertemuan K3, dan melakukan evaluasi terhadap seluruh kegiatan K3. Dengan peran manajemen yang berkomitmen memfasilitasi dan peran ahli K3 di dalam perusahaan yang membantu dalam menerapkan program dan mengembangkan prosedur terkait aspek K3 serta dengan adanya peran perwakilan dari para pekerja dalam melaporkan segala situasi di dalam area lokasi kerja kepada organisasi K3, maka akan organisasi K3 akan dapat segera berdiskusi dan mengevaluasi serta mengambil langkah tindak lanjut atas laporan tersebut, dengan hal tersebut maka dapat merubah aspek keselamatan di dalam perusahaan menjadi lebih baik, sehingga akan membantu dalam upaya mengembangkan budaya K3 yang ada di dalam perusahaan.

Kata kunci : Pengembangan budaya K3, peran organisasi K3

(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Abdi Prayudha

NIM : 17020010 Program Studi : Fire and Safety

Judul Tugas Akhi : Pengembangan Budaya K3 Melalui Organisasi K3

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Tugas Akhir ini adalah benar - benar karya saya sendiri, dan bukan hasil plagiat dari karya orang lain. Sumber-sumber yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

2. Apabila dikemudian hari terbukti diketahui bahwa isi Tugas Akhir saya merupakan hasil plagiat, maka saya bersedia menanggung akibat hukum dari keadaan tersebut.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran dan tanpa paksaan.

Indramayu, 22 Oktober 2021 Yang menyatakan :

Abdi Prayudha NIM. 17020010

(5)

iv

LEMBAR PENGESAHAN PENGEMBANGAN BUDAYA K3

MELALUI ORGANISASI K3 Oleh

Abdi Prayudha NIM 17020010

Disusun untuk memenuhi persyaratan melaksanakan Tugas Akhir Pendidikan Diploma III (D3)

Pada Program Studi Fire and Safety

Akademi Minyak dan Gas Balongan Indramayu Indramayu, 14 Juni 2021

Mengetahui,

Ketua Prodi Fire and Safety

Amiroel Pribadi M, S.KM., M.KKK NIDN. 04-2301-5001

Dosen Pembimbing 1

Soni Widodo, S.KM, M.KKK NIDN: 0416127703

Dosen Pembimbing 2

Julfi Andrian Nugraha, M.Pd

NIDN:-

(6)

v

TUGAS AKHIR INI TELAH DISIDANG DI DEPAN PENGUJI SIDANG TUGAS AKHIR PROGRAM STUDI

FIRE AND SAFETY AKADEMI MINYAK DAN GAS BALONGAN

HARI/TANGGAL : SELASA, 19 OKTOBER 2021

PENGEMBANGAN BUDAYA K3 MELALUI ORGANISASI K3

Abdi Prayudha 17020010

NO. NAMA DOSEN JABATAN TANDA TANGAN

1. Soni Widodo, S.KM, M.KKK

Dosen Pembimbing 1

1.

2. Julfi Adrian Nugraha, M.Pd

Dosen Pembimbing 2

2.

3. Pipit Marfiana, S.Tr., Keb., M.KM

Dosen Penguji 3.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan judul “Pengembangan Budaya K3 Melalui Organisasi K3”. Perwujudan Study Literature ini adalah berkat bantuan dari berbagai pihak sehingga Study Literature ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak H. Drs. Nahdudin Islami, M.Si selaku Ketua Yayasan Bina Islami.

2. Ibu Hj. Ir. Hanifah Handayani, MT selaku Direktur Akamigas Balongan Indramayu.

3. Bapak Amiroel Pribadi Madoeretno, BSc . DiplSM. S.KM., M.M., M.KKK selaku Ketua Program Studi Fire and Safety Akamigas Balongan Indramayu.

4. Ibu Yenny Frisca Madhona, SKM, MK3L selaku Sekretaris Program Studi Fire and Safety.

5. Bapak Soni Widodo, S,KM., M.KKK selaku Dosen Pembimbing 1 Tugas Akhir.

6. Bapak Julfi Andrian Nugraha, M.Pd selaku Dosen Pembimbing 2 Tugas Akhir.

7. Orang tua yang telah memberikan dukungan tanpa henti baik secara moral, material maupun spiritual.

(8)

vii

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan proposal tugas akhir ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun guna menjadikan laporan tugas akhir menjadi lebih baik.

Indramayu, 8 Juni 2021 Penulis

Abdi Prayudha

(9)

viii DAFTAR ISI

JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINILITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

LEMBAR TELAH DISIDANG ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 4

1.2.1 Tujuan Utama ... 4

1.2.2 Tujuan Khusus ... 4

1.3 Manfaat ... 4

1.3.1 Bagi Mahasiswa ... 4

1.3.2 Bagi AKAMIGAS Balongan ... 4

BAB II DASAR TEORI ... 6

2.1 Konsep Dasar Bahaya ... 6

2.1.1 Risiko ... 7

2.1.2 Kontrol Risiko ... 8

2.2 Budaya K3 (Safety Culture) ... 10

2.2.1 Aspek Kunci dari Budaya yang Efektif ... 15

2.2.2 Iklim Keselamatan ... 17

2.2.3 Faktor-Faktor Iklim Keselamatan ... 20

2.2.4 Pengukuran Iklim Keselamatan ... 21

(10)

ix

2.3 Bradley Curve ... 23

2.4 Program Pengembangan Budaya K3 ... 25

2.5 Konsep Organisasi K3 ... 48

2.5.1 Hubungan organisasi K3 dengan pengembangan budaya K3 ... 56

BAB III METODE PENELITIAN ... 63

3.1 Pendahuluan ... 63

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 63

3.3 Pengolahan Data ... 64

3.4 Penyajian Data ... 64

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 66

4.1 Hasil ... 66

4.1.1 Peran Organisasi K3 dalam Pengembangan Budaya K3 ... 66

4.2 Pembahasan ... 68

4.2.1 Peran Organisasi K3 dalam Pengembangan Budaya K3 ... 68

BAB V PENUTUP ... 79

5.1 Kesimpulan ... 79

5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

LAMPIRAN ... 82

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 86

(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hierarchy Of Control ... 9 Gambar 2.2 Bradley Curve ... 23 Gambar 3.1 Diagram alir penyusunan tugas akhir ... 65

(12)

xi

DAFTAR SINGKATAN

K3 : Keselamatan dan Kesehatan Kerja APD : Alat Pelindung Diri

SC : Safety Culture

OSHA : Occupational Safety and Health HSE : Health Safety Environment BBS : Behavior Based Safety

P2K3 : Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budaya K3 berfokus pada akar penyebab dari kecelakaan, perilaku dan cara melakukan pekerjaan. Fakta menunjukkan bahwa kira-kira 90%

dari semua kecelakaan di tempat kerja disebabkan oleh perilaku manusia, bukan karena kerusakan peralatan atau prosedur yang tidak memadai (Somad, 2013).

Salah satu cara dalam mengembangkan budaya kerja yang ada saat ini adalah adanya suatu peran dari organisasi K3 di perusahaan, dalam budaya keselamatan organisasi merupakan pola perilaku anggota organisasi yang dilakukan didalam perusahaan sehingga perilaku tersebut menjadi suatu hal biasa atau kebiasaan yang terbentuk dilingkungan kerja.

Menurut Robbins and Judge (2008) kultur organisasi mengacu pada sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainya sistem makna bersama adalah sekumpulan karakteristik kunci diujung tinggi oleh organisasi. Budaya organisasi merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan perilaku para anggota di dalam suatu organisasi.

Menurut Schein (1992) budaya organisasi didefinisikan sebagai, Pola asumsi dasar bersama yang dipelajari kelompok ketika memecahkan

(14)

2

masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja cukup baik untuk dianggap valid dan, oleh karena itu, untuk diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, berpikir, dan merasa terkait dengan masalah itu. Schein dalam definisi ini juga mendeskripsikan budaya organisasi sebagai lebih dalam dari perilaku dan artefak. Selanjutnya pendapat lain dari Hofstede (1986) menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan berbagai interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok-kelompok orang dalam lingkungannya di tempat kerja, dan variabel komitmen organisasi dapat menjadi variabel yang dapat meningkatkan efek budaya keselamatan, kepemimpinan keselamatan dan iklim keselamatan terhadap kinerja karyawan.

Dalam meningkatkan budaya keselamatan atau safety culture, tidak dapat dibentuk hanya dengan satu individu, dan tidak hanya berlaku untuk pekerja saja, melainkan untuk seluruh sumber daya yang ada, bahkan pada seluruh tingkatan top manajemen. Melalui organisasi K3 maka akan menciptakan suatu forum yang membahas aspek terkait K3, organsasi K3 merupakan wadah kerja sama antara unsur pimpinan perusahaan dan tenaga kerja dalam menangani masalah K3 di perusahaan, maka hal tersebut dapat mengembangkan kerja sama dalam bidang K3, meningkatkan kesadaran dan partisipasi tenaga kerja terhadap K3, serta menciptakan tempat kerja yang nihil kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

(15)

3

Organisasi K3 merupakan bagian yang besar didalam sebuah perusahaan. Karena budaya organisasi juga membentuk perilaku para karyawan, sehingga perusahaan perlu menerapan nilai budaya organisasi kepada para karyawan dengan maksud untuk membentuk perilaku pekerja.

Penerapan nilai budaya organisasi dimaksudkan menerapkan segala peraturan maupun kebiasaan-kebiasaan yang ada pada perusahaan sehingga membentuk perilaku yang diinginkan perusahaan. Berdasarkan pemikiran tersebut peran karyawan dalam menghindarkan dirinya dari kecelakaan kerja juga sangat besar dengan cara mempersepsi positif dalam menerapan nilai organisasi yang dilakukan oleh perusahaan. Penerapan nilai dalam organisasi yang tinggi akan membuat para pekerja menjadi safety behavior tinggi saat bekerja.

Dengan organisasi K3, perusahaan akan mendapatkan lebih banyak informasi serta wacana mengenai aspek keselamatan, dan organisasi K3 menyatukan seluruh lini di dalam suatu perusahaan, baik pekerja maupun manajemen puncak, dengan dukungan manajemen puncak, maka akan akan menghasilkan komitmen serta dukungan yang lebih akan aspek keselamatan yang ada, karena salah satu kunci dalam mengembangkan budaya K3 adalah dengan mendapatkan komitmen manajemen dan keterlibatan pekerja dalam keselamatan kerja serta perilaku keselamatan kerja.

(16)

4 1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

1.

Menjelaskan Gambaran Umum Pengembangan Budaya K3 Melalui Organisasi K3.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan Peran Organisasi K3 dalam Pengembangan Budaya K3.

1.3 Manfaat

1.3.1 Bagi Mahasiswa

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang bersifat implementasi khususnya dalam pengembangan budaya K3 melalui organisasi K3.

2. Mendapat pengetahuan dan keterampilan yang lebih aplikatif dalam bidang yang diambil.

3. Dapat dijadikan sebagai bahan untuk mempersiapkan diri dalam proses interaksi sosial dalam lingkungan kerja.

1.3.2 Bagi AKAMIGAS Balongan

1. Sebagai sarana pemantapan keilmuan bagi mahasiswa dengan mempraktikkan di dunia kerja.

2. Tersusunnya kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.

(17)

5

3. Sebagai pembelajaran peningkatan pemahaman study literature untuk mahasiswa dan dosen Akamigas Balongan dalam mengerjakan kerja praktik dikarenakan pandemi Covid-19, dengan baik dan benar sehingga mahasiswa dapat berkembang.

(18)

6

BAB II DASAR TEORI

2.1 Konsep Dasar Bahaya

Bahaya adalah sumber atau situasi yang berpotensi untuk menyebabkan cedera dan sakit. Dengan kata lain, sifat, ciri atau karakteristik dari proses produksi yang memiliki kemampuan untuk membahayakan individu. Menurut (Ramli, 2010) bahaya dapat diklasifikasikan antara lain meliputi:

a. Bahaya Mekanis

Merupakan bahaya yang bersumber dari peralatan mekanis atau benda yang bergerak dengan gaya mekanik yang digerakkan secara manual atau dengan penggerak. Bagian yang bergerak pada mesin mengandung bahaya, seperti gerakan memotong, menempa, menjepit, menekan, mengebor dan bentuk gerakan lainnya.

b. Bahaya Listrik

Merupakan bahaya yang berasal dari energi listrik. Energi listrik dapat mengakibatkan berbagai bahaya, seperti sengatan listrik, hubungan singkat dan kebakaran. Di tempat kerja banyak ditemukan bahaya listrik, baik dari jaringan listrik, peralatan kerja maupun mesin-mesin yang menggunakan energi listrik (Ramli, 2010).

(19)

7 c. Bahaya Kimiawi

Merupakan bahaya yang berasal dari bahan yang dihasilkan selama produksi. Bahan ini terhambur ke lingkungan karena cara kerja yang salah, kerusakan atau kebocoran dari peralatan atau instalasi yang digunakan dalam proses kerja. Bahan kimia yang terhambur ke lingkungan kerja dapat menyebabkan gangguan lokal dan gangguan sistemik (Sucipto, 2014).

d. Bahaya Fisik

Adalah bahaya yang berasal dari faktor-faktor fisik. Faktor fisik adalah faktor di dalam tempat kerja yang bersifat fisika yang dalam keputusan ini terdiri dari iklim kerja, kebisingan, getaran, gelombang mikro, sinar ultra ungu dan medan magnet, (Ramli, 2010).

2.1.1 Risiko

Risiko adalah manifestasi atau perwujudan potensi bahaya yang mengakibatkan kemungkinan kerugian menjadi lebih besar.

Tergantung dari cara pengelolaannya, tingkat risiko mungkin berbeda dari yang paling ringan atau rendah sampai ke tahap yang paling berat atau tinggi, (Ramli, 2010). Dalam OHSAS 18001 dijelaskan bahwa proses dalam manajemen risiko ada 3, yaitu:

1. Identifikasi Bahaya

Adalah sesuatu yang dapat menyebabkan cedera pada manusia atau kerusakan pada alat atau lingkungan (Rijanto, 2011).

(20)

8

Macam-macam hazard adalah bahaya fisik, kimia, mekanik, elektrik, ergonomi, lingkungan, biologi, dan psikologi.

2. Penilaian Risiko (Risk assessment)

Adalah proses penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi potensi bahaya yang dapat terjadi. Tujuan risk assessment adalah memastikan kontrol resiko dari proses, operasi atau aktivitas yang dilakukan berada pada tingkat yang dapat diterima (Ramli, 2010).

3. Pengendalian Risiko

Pengendalian risiko merupakan langkah yang menentukan dalam keselurahan manajemen risiko. ( Ramli 2010)

2.1.2 kontrol Risiko

Pengendalian risiko merupakan langkah penting dan menentukan dalam keseluruhan manajemen risiko. Risiko yang telah diketahui besar dan potensi akibatnya harus dikelola dengan tepat, efektif dan sesuai dengan kemampuan dan kondisi perusahaan. OHSAS 18001 memberikan pedoman hirarki pengendalian risiko yang terdiri dari lima pengendalian untuk bahaya K3 yaitu eliminasi, subtitusi, engineering control, administrative control dan alat pelindung diri (Ramli, 2010:104)

(21)

9

Secara umum, pencegahan kecelakaan dapat dikenal dengan hierarchy of control, Hierarki pengendalian bahaya pada dasarnya berarti prioritas dalam pemilihan dan pelaksanaan pengendalian yang berhubungan dengan bahaya k3.

Gambar 2.1 Hierarchy of Control (Sumber: Iso Center Indonesia)

Dalam hierarchy of control tersebut terdapat 5 pencegahan yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja, diantaranya:

1. Eliminasi

Penghilangan risiko bahaya misal: membersihkan ceceran oli yang berceceran yang dapat mengakibatkan pekerja terjatuh.

2. Substitusi

Penggantian bahan atau peralatan yang terdapat bahaya dengan yang lebih aman. Contohnya mengganti lampu yang redup menjadi lampu yang lebih terang.

(22)

10 3. Kontrol Teknik

Pencegahan yang dilakukan secara modifikasi teknik seperti pemasangan plat pelindung di mesin bergerak sehingga tidak terkena tangan.

4. Administratif

Yaitu kontrol yang dilakukan dengan upaya administratif seperti pembuatan regulasi, prosedur, safety sign, dll.

5. Alat Pelindung Diri (APD)

Yaitu kontrol terakhir yang dilakukan tetapi paling banyak digunakan yaitu menggunakan alat pelindung diri kepada pekerja secara langsung misalnya penggunaan helm, sepatu safety, gloves, dll.

2.2 Budaya K3 (Safety Culture)

Istilah budaya K3 diangkat pertama kali oleh IAEA (the International Atomic Energy Agency), atas dasar hasil analisis bencana reaktor nuklir di Chernobyl. Selanjutnya berdasarkan analisis kecelakaan kerja dan bencana di berbagai industri menunjukkan bahwa penyebab utamanya bukanlah ketersediaan peralatan K3, atau peraturan dan prosedur K3 dalam manajemen K3, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh budaya dan iklim K3 dalam organisasi (Ferraro, 2002; Gadd and Collins,2002).

Menurut Blair (2003) dan Clarke (1999), konsep budaya K3 merupakan bagian dari budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan

(23)

11

kombinasi dari perilaku, sikap, persepsi, dan keluarannya berupa performansi, yang dapat menggerakan roda organisasi. Budaya K3 merupakan penjelmaan dari perilaku, sikap, dan nilai secara bersama untuk mencapai derajat performansi sehat dan selamat, yang dipahami dan dijadikan prioritas utama dalam suatu organisasi (Blair, 2003; Cooper, 2002; DePasquale & Geller, 1999). Budaya K3 merupakan kombinasi dari sikap-sikap, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma dan persepsi dari para pekerja dalam sebuah organisasi, yang memiliki keterkaitan secara bersama terhadap K3, perilaku selamat, dan penerapannya secara praktis dalam proses produksi (Clarke, 2000). Definisi yang senada dikeluarkan oleh The Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations (ACSNI,1993) yang yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa budaya K3 dalam suatu organisasi adalah produk nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola-pola perilaku dari individu dan kelompok yang memiliki komitmen terhadap K3.

Dasar utama dari budaya K3 adalah sikap dan persepsi terhadap K3 (Gadd and Collins,2002). Turner (1994) mendefinisikan sama seperti tersebut di atas, namun secara sosial dan teknis praktis budaya K3 ditujukan untuk meminimalkan paparan potensi sumber resiko bahaya bagi manajer, pekerja, pelanggan dan semua masyarakat sekitar.

Cooper (2001) menyatakan bahwa, budaya keselamatan merupakan interelasi dari tiga elemen, yaitu organisasi, pekerja, dan pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya keselamatan harus

(24)

12

dilaksanakan oleh seluruh sumber daya yang ada, pada seluruh tingkatan dan tidak hanya berlaku untuk pekerja saja. Indikator pelaksanaan budaya keselamatan tergantung dari visi dan misi organisasi. Indikator tersebut tidak dapat ditetapkan dengan paten karena budaya merupakan suatu hal yang abstrak, di mana di setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda.

Budaya keselamatan dibentuk oleh komitmen manajemen, peraturan dan prosedur, komunikasi, keterlibatan pekerja, kompetensi, dan lingkungan sosial pekerja yang dapat dilihat dari persepsi pekerja (Cooper dalam Andi dkk., 2005). Reason (1997) mengungkapkan bahwa budaya keselamatan kerja yang baik dapat membentuk perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja yang diwujudkan melalui perilaku aman dalam melakukan pekerjaan

Peningkatan pemahaman terhadap K3 di tempat kerja dapat melalui pembandingan persepsi pekerja terhadap top manajemen, di mana sebenarnya standard dan aturan yang relevan akan membantu top manajemen untuk memberi arahan secara persuasive tentang faktor praktek kerja yang beresiko kecelakaan (Brown, 2000). Performansi K3 dapat menjadi lebih baik, karena diawali dari persepsi yang tepat tentang perilaku selamat terkait dengan faktor kerja yang beresiko kecelakaan tersebut. Pekerja yang memiliki persepsi bahwa program K3 tidak akan efektif atau bahwa pengurus perusahaan kurang memiliki perhatian terhadap K3, maka cenderung untuk berperilaku tidak mengikuti semua prosedur, apalagi meningkatkan peformansi K3 (Hagan, Montgomery, &

O'Reilly, 2001).

(25)

13

Budaya K3 secara tidak langsung dapat diketahui melalui iklim K3 dalam organisasi dengan cara mengukur sikap-sikap pekerja terhadap K3 dan persepsi mereka tentang potensi sumber bahaya di tempat kerja (Flin et al., 2000; Guldenmund, 2000). Iklim K3 merupakan refleksi sesaat (snap shot) dari budaya K3 (Geller, 2000). Para profesionalis K3 menggunakan iklim K3 untuk mengetahui budaya K3 sesaat melalui sikap selama penerapan program K3, karena biasanya sikap sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja (Cheyne et al., 1998). Selanjutnya iklim K3 dapat dianggap sebagai pengukur atau indikator budaya K3 melalui sikap dan perilaku anggota organisasi dalam waktu tertentu (Dedobbeleer &

Beland, 1991; Flin et al., 2000).

Iklim K3 dipahami sebagai konsep yang memiliki orde pertama dan orde yang lebih tinggi (Griffin and Neal, 2000). Orde pertama meliputi refleksi persepsi dari hubungan antara K3 dengan kebijakan, prosedur, dan hadiah, sedangkan orde yang lebih tinggi meliputi bagaimana pekerja dapat mempercayai bahwa K3 telah menjadi nilai utama dalam organisasi. Iklim K3 merupakan hasil penjumlahan nilai dari item sikap dan perilaku K3 dari pekerja dan pengurus perusahaan. Survei terhadap iklim K3 akan dapat mengukur dengan lebih baik terhadap performansi K3, yang dalam hal ini untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja.

Iklim K3 memiliki kontribusi yang jelas terhadap budaya K3 organisasi melalui sikap yang diekspresikan dalam perilaku K3 setiap

(26)

14

pekerja, diketahui dari tindakan yang berorientasi tugas pokok terkait K3 dan kegiatan pendukung untuk meningkatkan K3 pada umumnya (Mearns et al., 2001). Mearns and Flin (1999) menjelaskan bahwa iklim K3 sebaiknya dipahami sebagai persepsi dan keyakinan yang terkait dengan bagaimana K3 dapat dikelola dengan lebih baik, merupakan cuplikan sesaat K3 dalam arti luas di organisasi, yang diukur dengan pendekatan survey melalui angket kuantitatif. Sedangkan budaya K3 dapat dipahami sebagai karakteristik yang lebih komplek dan berjangka panjang yang mengungkapkan norma dan asumsi K3 dalam organisasi, biasanya diukur dengan pendekatan teknik kualitatif untuk dapat memahami secara mendalam bagaimana interaksi individu dalam organisasi untuk membentuk cara pandang bersama terhadap K3 (Ferraro, 2002).

Budaya keselamatan adalah bagian dari keseluruhan budaya perusahaan. Banyak perusahaan berbicara tentang budaya keselamatan ketika mengacu pada kecenderungan karyawan mereka untuk mematuhi aturan atau bertindak aman atau tidak aman. Namun kami menemukan bahwa budaya dan gaya manajemen bahkan lebih signifikan, misalnya alam bawah sadar untuk produksi atas keselamatan, atau kecenderungan untuk fokus pada jangka pendek dan menjadi sangat reaktif.

Gejala faktor budaya yang buruk dapat meliputi:

1. Pelanggaran prosedur rutin yang meluas.

2. Kegagalan untuk mematuhi perusahaan sendiri.

(27)

15

3. Keputusan manajemen yang muncul secara konsisten untuk menempatkan produksi atau biaya di atas keselamatan.

Budaya keselamatan bersifat melekat kepada kelompok dalam suatu organisasi, dan lebih sulit diukur dari pada iklim keselamatan, yang merupakan indikator permukaan dari kultur yang lebih mudah dimengerti.

Budaya K3 secara tidak langsung dapat diketahui melalui iklim K3 dalam organisasi dengan cara mengukur sikap pekerja terhadap K3 dan persepsi mereka tentang potensi sumber bahaya di tempat kerja (Flin et al, 2000;

Guldenmund, 2000). Iklim K3 merupakan refleksi sesaat (snap shot) dari budaya K3 (Geller, 2000). Para profesionalis K3 menggunakan iklim K3 untuk mengetahui budaya K3 sesaat melalui sikap selama penerapan program K3, karena biasanya sikap sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja (Cheyne et al.,1998).

2.2.1 Aspek kunci dari budaya yang efektif 1. Komitmen Manajemen

Komitmen ini menghasilkan tingkat motivasi dan perhatian yang lebih tinggi untuk kesehatan dan keselamatan di seluruh organisasi. Hal ini ditunjukkan dengan proporsi sumber daya (waktu, uang, orang) dan dukungan yang dialokasikan untuk manajemen kesehatan dan keselamatan dan berdasarkan status yang diberikan kepada kesehatan dan keselamatan versus produksi, biaya, dan lain-lain.

(28)

16 2. Manajemen yang terlihat

Manajer perlu terlihat memimpin dengan memberi contoh dalam hal kesehatan dan keamanan. Manajer yang baik muncul secara teratur, berbicara tentang kesehatan dan keselamatan dan terlihat menunjukkan komitmen mereka dengan tindakan mereka seperti menghentikan produksi untuk menyelesaikan masalah. Penting bahwa manajemen dianggap benar-benar berkomitmen terhadap keselamatan. Jika tidak, karyawan akan umumnya berasumsi bahwa mereka diharapkan untuk mengutamakan kepentingan komersial, dan inisiatif keselamatan.

3. Komunikasi yang baik antara semua tingkat karyawan

Dalam budaya positif, pertanyaan tentang kesehatan dan keselamatan harus menjadi bagian dari percakapan kerja sehari-hari. Manajemen harus mendengarkan secara aktif dengan apa yang mereka diberitahu oleh karyawan, dan menganggap serius apa yang mereka dengar. Partisipasi aktif karyawan dalam keselamatan adalah penting, untuk membangun rasa memiliki keselamatan di semua tingkatan dan mengeksploitasi pengetahuan unik yang dimiliki karyawan tentang pekerjaan mereka sendiri. Ini bisa termasuk aktif keterlibatan dalam lokakarya, penilaian risiko, desain pabrik, dll. Di perusahaan dengan budaya yang baik, Anda akan

(29)

17

menemukan cerita dari karyawan dan manajemen yang konsisten, dan keselamatan dipandang sebagai latihan bersama.

4. Inspeksi

Inspeksi perlu melibatkan wawancara dengan bagian yang sesuai dari perusahaan, terutama karyawan dalam jumlah yang wajar, yang perlu diwawancarai dengan cara yang tidak mengancam. jumlah harus cukup untuk memperhitungkan pandangan dan pengalaman yang berbeda.

2.2.2 Iklim keselamatan (safety climate)

Iklim K3 memiliki kontribusi yang jelas terhadap budaya K3 organisasi melalui sikap yang diekspresikan dalam perilaku K3 setiap pekerja, diketahui dari tindakan yang berorientasi tugas pokok terkait K3 dan kegiatan pendukung untuk meningkatkan K3 pada umumnya (Mearns et al., 2001). Mearns and Flin (1999) menjelaskan bahwa iklim K3 sebaiknya dipahami sebagai persepsi dan keyakinan yang terkait dengan bagaimana K3 dapat dikelola dengan lebih baik, merupakan cuplikan sesaat K3 dalam arti luas di organisasi, yang diukur dengan pendekatan survei melalui angket kuantitatif. Sedangkan budaya K3 dapat dipahami sebagai karakteristik yang lebih komplek dan berjangka panjang yang mengungkapkan norma dan asumsi K3 dalam organisasi, biasanya diukur dengan pendekatan teknik kualitatif untuk dapat memahami

(30)

18

secara mendalam bagaimana interaksi individu dalam organisasi untuk membentuk cara pandang bersama terhadap K3 (Ferraro, 2002). Berdasarkan kajian di atas, iklim K3 dan budaya K3 dapat diibaratkan sebagai dua sisi dalam satu mata uang.

Selanjutnya iklim K3 dapat dianggap sebagai pengukur atau indikator budaya K3 melalui sikap dan perilaku anggota organisasi dalam waktu tertentu (Dedobbeleer & Beland,1991; Flin et al.,2000). Reason (1997) Program keselamatan dan kesehatan kerja sebaiknya dimulai dari tahap yang paling dasar, yaitu pembentukan budaya keselamatan dan kesehatan kerja Dan program keselamatan dan kesehatan kerja dapat berfungsi dan efektif, apabila program tersebut dapat terkomunikasikan kepada seluruh lapisan individu yang terlibat dalam pekerjaan tersebut.

Pengukuran terhadap iklim K3 menggunakan instrument yang dapat mencatat persepsi tentang isu-isu K3 dari individu sebagai sampel. Diadopsi menurut Guldenmund (2000) dan Cooper (2000), pengukuran iklim K3 yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan angket melalui administrasi pelaporan diri dengan pendekatan survey.

Perilaku Keselamatan adalah perilaku kerja yang relevan dengan keselamatan dapat dikonseptualisasikan dengan cara yang sama dengan perilaku-perilaku kerja lain yang membentuk perilaku kerja. Perilaku keselamatan merupakan aplikasi dari perilaku tugas

(31)

19

yang ada di tempat kerja (Griffin dan Neal, 2000). Perilaku keselamatan adalah perilaku tugas dan perilaku kontekstual, Borman dan Motowidlo, (1993) dalam (Griffin dan Neal, (2000) yaitu pematuhan dan partisipasi individu pada aktivitas-aktivitas pemeliharaan keselamataan di tempat kerja. Sebagai umpan balik maka karyawan hendaknya menyadari arti pentingnya keselamatan bagi dirinya maupun bagi perusahaan tempat bekerja. Iklim keselamatan kerja didefinisikan sebagai persepsi dari kekhawatiran karyawan terhadap praktek, prosedur dan perilaku sejenisnya yang diberikan, didukung dan diharapkan dalam suatu pengaturan Schneider (1990), dalam Kartika dan Stepanus, 2011: 208). Pada tahun 2006, European Society for Quality in Health Care mengadopsi pengertian dari iklim keselematan sebagai suatu pola yang terintegrasi dari perilaku individu dan organisasi berdasarkan nilai dan kepercayaan yang secara berkelanjutan diteliti untuk meminimalkan bahaya pada keselamatan pasien. Iklim keselamatan ditujukan sebagai ringkasan persepsi karyawan mengenai keselamatan di lingkungan pekerjaan. Menurut Turner 95 (1989) dalam Kartika dan Stepanus (2011: 208), Iklim keselamatan dan kesehatan didefinisikan sebagai seperangkat persepsi dan sikap terhadap keselamatan dan kesehatan kerja yang dimiliki bersama oleh para pekerja dan mempengaruhi perilaku mereka.

(32)

20

2.2.3 Faktor-faktor Iklim Keselamatan Kerja

Griffin and Neal mengukur keselamatan yang terdiri dari 5 sistem, diantaranya:

1. Nilai Manajemen

Nilai manajemen menunjukkan seberapa besar manajer dipersepsikan menghargai keselamatan di tempat kerja, bagaimana sikap manajemen terhadap keselamatan, dan persepsi bahwa keselamatan penting.

2. Komunikasi Keselamatan

Komunikasi keselamatan diukur dengan menanyakan dimana isu-isu keselamatan dikomunikasikan.

3. Praktek Keselamatan

Yaitu sejauh mana pihak manajemen menyediakan peralatan keselamatan dan merespon dengan cepat terhadap bahayabahaya yang timbul.

4. Pelatihan Keselamatan

Pelatihan adalah aspek yang sangat krusial dalam sistem personalia dan mungkin metode yang sering digunakan untuk menjamin level keselamatan yang memadai di organisasi karena pelatihan sangat penting bagi pekerja produksi.

(33)

21 5. Peralatan Keselamatan

Peralatan keselamatan mengukur tentang kecukupan peralatan keselamatan, seperti alat-alat perlengkapan yang tepat disediakan dengan mudah.

2.2.4 Pengukuran Iklim Keselamatan Kerja

Menurut Gershon et al. (2000) dalam Kartika dan Stepanus (2011: 209-210), dimensi dari iklim keselamatan kerja ditujukan kepada “rangkuman dari persepsi yang dimiliki karyawan mengenai lingkungan tempat kerja”. Persepsi karyawan mengenai keselamatan dan kesehatan adalah hal yang penting karena organisasi dengan iklim keselamatan yang kuat, secara konsisten melaporkan hanya beberapa kecelakaan kerja dibandingkan dengan organisasi yang memiliki iklim keselamatan dan kesehatan yang lemah. Organisasi dengan iklim keselamatan yang kuat tidak saja memiliki tempat bekerja yang dibangun dengan baik dan program keselamatan kerja yang baik, tetapi juga karena program yang ada telah memberikan semacam arahan kepada karyawan tentang komitmen manajemen untuk keselamatan kerja. Jika organisasi serius mengenai kepatuhan pada praktek ditempat kerja, maka karyawan akan mengikuti.

(34)

22

Menurut Gershon et al. (2000) dalam Kartika dan Stepanus (2011: 210) Terdapat 6 poin utama dalam pengukuran iklim keselamatan kerja, yaitu:

a. Dukungan Manajemen

Dukungan nyata manajemen dalam program keselamatan yang sedang berjalan. Iklim Keselamatan Pengaruh dari adaptasi perilaku keselamatan peningkatan persepsi dari lingkungan yang aman pengaruh dari perilaku karyawan pengaruh dari lingkungan kerja yang aman

b. Tingkat Absensi

Hambatan kerja tingkat absensi yang tinggi akan menyulitkan penerapan pelatihan kerja secara aman.

c. Alat Pelindung Diri

(APD) dan Kontrol Peralatan Ketersediaan alat pelindung diri yang aman dan kontrol terhadap peralatan kerja.

d. Minim Konflik/Komunikasi yang Baik

Meminimalkan adanya konflik dengan membangun komunikasi yang efektif diantara sesama rekan kerja.

e. Umpan Balik/Pelatihan

Frekuensi dan umpan balik karyawan/pekerja dari pelatihan keselamatan yang diberikan koordinator kepada karyawan/pekerja.

(35)

23

f. Kebersihan dan Keteraturan Ruangan Kerja

Kebersihan dan keteraturan tempat karyawan/pekerja bekerja, pengaturan tata dan letak peralatan yang dibutuhkan. Selain itu kebersihan meliputi persediaan air, kondisi ruangan pekerjaan.

2.3

Bradley Curve

Gambar 2.2 Bradley Curve (Sumber. Dupont Curve)

Dalam kurva, Dupont telah membagi tingkatan Budaya keselamatan dan kesehatan kerja menjadi dalam 4 tahap yang bagian meliputi:

(36)

24 1. Reactive

Kepedulian manajemen dan karyawan terhadap K3 sangat rendah.

Tanggung jawab K3 diserahkan kepada bagian K3, tidak ada kesadaran dari karyawan terkait tanggung jawab akan K3.

2. Dependent

Karyawan melihat K3 sebagai sebuah aturan atau prosedur yang harus diikuti. Tingkat kecelakaan dapat menurun dan manajemen percaya bahwa K3 dapat dikelola jika karyawan mau mengikuti aturan.

3. Independent

Setiap individu karyawan bertanggung jawab atas K3 untuk diri mereka sendiri. Pengetahuan, komitmen dan standar K3 sudah ditekankan pada setiap karyawan, proses internalisasi sebuah nilai K3 juga ditanamkan kepada seluruh karyawan, pada fase ini sudah terdapat keterlibatan dan komitmen yang kuat akan pelaksanaan K3.

4. Interdependent

K3 merupakan sebuah tanggung jawab tim baik untuk diri mereka sendiri maupun orang lain. Mereka tidak menerima standar yang rendah dan mengambil risiko, pada fase ini karyawan, manajemen maupun masyarakat mulai sadar kalo K3 itu bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga untuk orang lain. Pada fase ini terdapat proses saling mengingatkan agar seluruh anggota perusahaan merasa aman dan nyaman.

(37)

25

2.4 Pengembangan Budaya Keselamatan K3

Program pengembangan budaya K3 secara global sangat bervariasi karena masing-masing program dilandasi oleh model konsepsual yang dipakai. Pada umumnya program yang ada sifatnya sangat komprehensif dan biasanya terdiri dari suatu program utama yang kemudian dikuti dengan beberapa program lainnya yang satu sama lain saling terkait dan tidak berdiri sendiri-sendiri secara terpisah. Program tersebut biasanya tersusun secara sistimatis dan terencana dalam kerangka waktu yang panjang.

Seperti contoh misalnya, di sebuah tambang batubara (coalmining) yang saat ini mengembangkan budaya selamat melalui pendekatan leadership, keteladanan dalam keselamatan juga mengembangkan program-program lain yang terkait seperti misalnya dengan program Behavioral Based Safety, peningkatan pengawasan serta pengembangan dan pemantuan penerapan sistim manajemen K3 terintegrasi dan juga kelengkapan peralatan K3 dan lain-lain sebagainya. Biasanya sebelum program di mulai dilakukan terlebih dahulu kajian (assessment) terhadap kondisi yang ada saat itu untuk mendapat gambaran profile budaya keselamatan yang ada sehingga tergambar aspek yang perlu ditingkatkan dan aspek-aspek yang perlu dipertahankan. Setelah program dijalankan kemudian dalam kurun waktu satu tahun dapat diukur lagi perubahan yang terjadi dan kemudian disusun kembali program lainnya sebagai suatu program perbaikan yang berkelanjutan. Contoh di tambang batubara yang

(38)

26

lain, adalah pengembangan program Peningkatan Kepempinan Keselamatan pada Supervisor (supervisory safety leadership improvement) yang tentunya diikuti dengan penerapan program lainnya seperti BBS, JSA, Risk Management, System Audit serta penigkatan pemahaman SMK3 pada seluruh pekerja disemua tingkatan.

Untuk mengembangkan budaya keselamatan yang positif terdapat beberapa point yang harus dilakukan yaitu;

1. Dukungan Manajemen

Komitmen manajemen sangat berperan dalam membentuk budaya keselamatan dan kesehatan kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan dukungan terhadap proporsi sumber daya (waktu, uang, orang) dan dukungan yang dialokasikan untuk manajemen keselamatan dan kesehatan. Secara pribadi, manajer di tingkat paling senior harus menunjukkan komitmen mereka dengan memperhatikan mereka.

2. Merubah Sikap dan Perilaku

Terdapat tiga faktor yang dapat memengaruhi perilaku individu, diataranya:

a. Faktor dasar

Mencakup pengetahuan, sikap, kebiasaan, norma sosial, keterlibatan pekerja, komunikasi dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu di dalam masyarakat yang terwujud dalam motivasi.

(39)

27 b. Faktor pendukung

Mencakup sumber daya atau potensi masyarakat, terwujud dalam pelatihan, tersedianya fasilitas atau sarana keselamatan kerja, lingkungan fisik, dan lingkungan kerja.

c. Faktor penguat

Mencakup sikap dan perilaku dari orang lain yang terwujud dalam dukungan sosial. Sebagai contoh dari faktor penguat yaitu komitmen manajemen, pengawasan, Undang-Undang, peraturan dan prosedur K3 (Green, 2000).

3. Komitmen Karyawan

Komitmen karyawan terhadap organisasinya adalah kesetiaan karyawan terhadap organisasinya, disamping itu juga akan menumbuhkan loyalitas serta mendorong keterlibatan diri karyawan dalam mengambil berbagai keputusan. Oleh karenanya komitmen akan menimbulkan rasa ikut memiliki bagi karyawan terhadap organisasi. Pada dasarnya melaksanakan komitmen sama saja maknanya dengan menjalankan kewajiban, tanggung jawab, dan janji yang membatasi kebebasan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi karena sudah punya komitmen maka dia harus mendahulukan apa yang sudah dijanjikan buat organisasinya ketimbang untuk hanya kepentingan dirinya. Di sisi lain komitmen berarti adanya ketaatan seseorang dalam bertindak sejalan dengan janji-janjinya.

(40)

28 4. Pelatihan

Pelatihan tenaga kerja menurut Nitisemito (1996:35) mendefinisikan pelatihan atau training sebagai suatu kegiatan yang bermaksud untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku keterampilan,dan pengetahuan dari karyawannya sesuai dengan keinginan perusahaan. Dengan demikian, pelatihan yang dimaksudkan adalah pelatihan dalam pengertian yang luas, tidak terbatas hanya untuk mengembangkan keterampilan semata-mata. Tujuan dan Manfaat Pelatihan: Menurut Carrell dan Kuzmits (1982:278), tujuan utama pelatihan dapat dibagi menjadi 5, yaitu:

a. Untuk meningkatkan ketrampilan karyawan sesuai dengan perubahan teknologi.

b. Untuk mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru agar menjadi kompeten.

c. Untuk membantu masalah operasional.

d. Untuk menyiapkan karyawan dalam promosi.

e. Untuk memberi orientasi karyawan untuk lebih mengenal organisasinya.

Terdapat beberapa cara dan program yang dapat diterapkan dalam upaya mengembangkan budaya keselamatan ditempat kerja, diataranya adalah :

(41)

29

1. Program perubahan perilaku selamat (Behavior based safety)

Perilaku selamat sangat erat kaitannya dengan keselamatan dan pengamatan berbasis pada perilaku invidu, maka perilaku disini pasti sangat jelas berhubungan dengan perilaku manusia dalam hal bekerja di area kerja yang sangat banyak bersinggungan dengan alat-alat kerja, benda kerja, lingkungan kerja, langkah kerja. perubahan perilaku selamat terdiri dari 5 fokus perubahan perilaku yaitu:

a. Perubahan Classical Conditioning

Merupakan perubahan perilaku dengan memberikan conditioned stimulus, perubahan tersebut menghasilkan conditioned response.

Penerapannya dalam perubahan perilaku adalah perilaku seseorang dapat berubah bila diberikan stimulus secara terus- menerus. Bila stimulus tersebut diberikan tidak terus-menerus, maka perubahan perilaku (conditioned response) tidak akan terjadi. Dalam penerapan program Behavior Based Safety, stimulus yang diberikan terus menerus adalah melakukan observasi perilaku secara terus-menerus dan memberikan stimulus positif, pada akhirnya akan menghasilkan perubahan perilaku kerja selamat.

b. Perubahan Operant Conditioning

Kecenderungan untuk mengulangi perilaku tertentu dipengaruhi oleh lemah-kuatnya reinforcement terhadap akibat yang didapatkan dari perilaku tertentu tersebut, oleh sebab itu,

(42)

30

dikatakan reinforcement memperkuat perilaku dan akan menambah kecenderungan perilaku tertentu itu diulangi lagi.

Penerapannya dalam program BBS adalah bila dalam melakukan observasi perilaku kerja didapatkan pekerja telah melakukan pekerjaannya dengan benar dan aman, maka pekerja tersebut harus diberi reinforcement agar pekerja tersebut mengerti bahwa yang ia lakukan sudah benar dan aman sehingga perilaku kerja selamat (safe behavior) akan diulangi terus. Bila perilaku kerja selamat (safe behavior) ini terus diulang, maka kecelakaan kerja dan lingkungan dapat dicegah.

c. Perubahan Social Learning

Merupakan perubahan perilaku melalui pengaruh model. Orang dapat belajar dari mengamati apa yang terjadi pada orang lain dan diajari sesuatu sedemikian rupa dari pengalaman langsung.

Penerapannya dalam program Behavior Based Safety adalah komitmen dan partisipasi manjemen beserta para pimpinannya secara aktif dan nyata dalam implementasi program BBS untuk menjadi model yang akan diikuti oleh seluruh jajaran dibawahnya secara aktif.

d. Perubahan Developin Job Pride Through Behavior Reinforcement Dengan menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh efek yang didapatkannya. Efek yang negatif mengarah kepada kecilnya kemungkinan pengulangan perilaku. Sedangkan efek positif akan

(43)

31

mengarah kepada pengulangan perilaku bertambah besar. Dalam prakteknya bila perilaku tertentu menghasilkan pengalaman yang negatif, misal mendapatkan hukuman, denda, menyakitkan, perasaan tidak menyenangkan dan lainnya yang negatif, maka perilaku tertentu itu cenderung untuk tidak diulangi lagi. Bila perilaku itu mendatangkan pengalaman yang positif seperti penghargaan, kesenangan, hadiah, kepuasan, dan lainnya yang positif, maka perilaku tersebut cenderung untuk diulangi.

Behavior reinforcement berbeda dengan penghargaan kepada pribadi pada umumnya. Penerapannya dalam program Behavior Based Safety adalah penghargaaan atau perhatian positif lainnya perlu diberikan terhadap orang yang melakukan kerja selamat (safe behavior).

e. Perubahan Giving Feedback Proses

Perubahan perilaku memerlukan feedback sebagai mekanisme untuk meningkatkan kepekaan terhadap error generating work habits, terutama kekeliruan yang potensial menimbulkan kecelakaan pada tempat kerja. Ada lima karakteristik feedback, yaitu:

 Speed

Lebih cepat feedback diberikan setelah terjadinya kekeliruan, lebih cepat pula tindakan perbaikan yang akan dilakukan.

(44)

32

Selain itu, pekerja juga dapat belajar langsung dari kekeliruan tersebut.

 Specificity

Lebih tajam feedback difokuskan pada kekeliruan secara spesifik, maka akan lebih efektif hasilnya.

 Accuracy

Feedback harus teliti, kekeliruan pada feedback menimbulkan tindakan yang keliru.

 Content

Isi dari informasi yang akan disampaikan harus sesuai dengan perilaku yang diinginkan. Perilaku yang komplek memerlukan elaborasi informasi lebih rinci.

 Amplitude

Feedback harus cukup menimbulkan perhatian terhadap pekerja, namun demikian feedback yang berlebihan dapat mengacaukan performance yang diinginkan.

2. Pelaksanaan Promosi K3

Dalam upaya mengembangkan budaya keselamatan K3 dapat dengan menggunakan program Promosi K3. Untuk mempromosikan program K3 dapat dilakukan dengan berbagai upaya agar peraturan-peraturan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja dapat disampaikan dengan baik sehingga dapat meningkatkan kesadaran karyawan akan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja untuk dirinya, tenaga

(45)

33

kerja, perusahaan, maupun masyarakat sekitar perusahaan sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman dan dapat membantu mengembangkan budaya keselamatan ditempat kerja. Kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan program promosi keselamatan dan kesehatan kerja di Perusahaan/tempat kerja antara lain :

a. Pemasangan Poster serta Rambu K3

Pemasangan poster merupakan salah satu proses pelaksanaan program pengembangan budaya K3, promosi K3 dengan menggunakan media tertulis yang disertai dengan gambar-gambar yang mudah diterapkan dan efektif dipahami secara visual. Isi dari poster tersebut adalah untuk mengajak dan menghimbau serta menginformasikan kepada pekerja tentang faktor bahaya dan potensi bahaya yang ada di tempat kerja serta akibat akibat yang ditimbulkannya. Hal ini dimaksudkan untuk memberi peringatan keselamatan kerja bagi semua tenaga kerja selama 24 jam.

Sehingga pekerja akan lebih hati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Jenis poster K3 antara lain :

 Poster yang memuat tentang pesan-pesan keselamatan dan kesehatan kerja.

 Poster tentang kewajiban menggunakan APD di tempat kerja.

 Poster tentang potensi bahaya dan faktor bahaya di tempat kerja.

(46)

34

Sedangkan untuk keselamatan lalu lintas dipasang rambu- rambu lalu lintas yang ditempatkan sepanjang jalan baik di dalam lingkungan pabrik atau di luar pabrik. Tujuan dari dipasangnya rambu-rambu tersebut adalah untuk menciptakan ketertiban dalam berlalu lintas dan mencegah terjadinya kecelakaan kerja.

b. Pemasangan Stiker K3

Stiker keselamatan dan kesehatan kerja berisikan himbauan, peringatan maupun ajakan untuk selalu mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja di lingkungan perusahaan.

Pemasangan stiker tersebut diutamakan ditempatkan di dalam ruangan karena lebih efektif dan karyawan lebih banyak bekerja di dalam ruangan, agar lebih menarik stiker tersebut dilengkapi dengan gambar. Jenis stiker yang dipasang adalah :

 Stiker anjuran untuk memakai APD di tempat kerja.

 Stiker larangan merokok di tempat kerja.

 Stiker contoh akibat kecelakaan.

c. Pemasangan Spanduk K3

Spanduk tersebut berisi tentang himbauan, peringatan maupun ajakan utuk mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja di lingkungan perusahaan maupun masyarakat luar. Dengan dipasangnya spanduk K3 tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesadaran karyawan, perusahaan dan masyarakat sekitar akan

(47)

35

pentingnya K3 sehingga upaya untuk mengembangkan budaya K3 dan pencegahan kecelakaan kerja dapat terwujud.

d. Safety Talk

Safety talk adalah pembacaan pesan-pesan keselamatan dan kesehatan kerja yang dilaksanakan pada setiap jam kerja. Tujuan dibacakan safety talk ini adalah agar pekerja lebih termotivasi dalam bekerja dan lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaan.

Safety talk berisikan tentang keselamatan dan kesehatan kerja, prosedur kerja yang aman, serta anjuran untuk menggunakan APD di area tempat kerja. Selain itu safety talk juga berisikan himbauan agar karyawan selalu bertindak selamat dimanapun dia berada seperti berhati-hati dalam mematuhi peraturan berlalu-lintas, berhati-hati dengan keadaan lingkungan yang berpotensi bahaya.

e. Pemberian Buku saku K3

Buku saku K3 berisi peraturan-peraturan K3 yang diterbitkan oleh Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja disetiap perusahaan atau tempat kerja. Buku ini dibagikan kepada semua karyawan, kontraktor jasa, serta yang berkepentingan.

f. Pemberian Liflet/Booklet

Liflet/Booklet sebagai salah satu sarana untuk menginformasikan kepada karyawan ataupun orang lain mengenai gambaran perushaan/lokasi kerja, potensi-potensi bahaya yang menyertai beserta cara-cara penanggulangannya. Misalnya liflet/booklet

(48)

36

khusus mengenai jalur evakuasi keadaan darurat, cara-cara menanggulangi kebocoran B3 dan tentang cara-cara penggunaan alat pelindung diri, liflet/booklet umum mengenai gambaran proses produksi di perusahaan.

g. Komunikasi Internal

Dimaksudkan untuk menyampaikan informasi kepada seluruh atau sebagian jajaran karyawan tergantung kepentingannya. Informasi yang disampaikan harus dapat meningkatkan pemahaman dan memotivasi segenap jajaran untuk meningkatkan kinerja dalam bidang produktivitas, kualitas, kepedulian lingkungan, keselamatan dan Kesehatan kerja, serta hal-hal lain yang penting yang perlu diketahui oleh karyawan, seperti :

 Rapat Produksi

Adalah rapat yang dilakukan setiap hari dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan produksi di Perusahaan. Media ini dapat digunakan untuk menyampaikan potensi bahaya dan resiko yang ada di tempat kerja untuk dibahas secara bersama-sama mengenai alternatif pencegahan.

 Rapat Bidang P2K3

Rapat bidang P2K3 diadakan satu bulan sekali sebelum rapat pleno P2K3. Pada rapat ini membahas tentang hasil inspeksi K3 dan masalah-masalah yang serius yang harus segera diselesaikan.

(49)

37

 Rapat Pleno P2K3

Rapat pleno P2K3 dilaksanakan setiap tiga bulan sekali. Rapat ini dilaksanakan apabila terdapat masalah K3 yang tidak terselesaikan karena melibatkan banyak pihak, agar dapat segera diambil keputusan dari top manajemen. Pada rapat ini juga disampaikan berita terbaru yang terjadi di perusahaan khususnya mengenai potensi-potensi bahaya yang ada di perusahaan.

Media yang digunakan dalam komunikasi internal ini adalah melalui majalah atau buletin perusahan, laporan harian atau bulanan, surat atau memo dinas, papan pengumuman, spanduk, pagging system, website dan email internal.

h. Komunikasi Eksternal

Dilakukan oleh manajemen/direksi/mendelegasikan kepada sekretaris perusahaan atau perwakilan manjemen bersama-sama dengan biro komunikasi, divisi/biro/unit kerja terkait untuk menyampaikan informasi kepada pihak diluar perusahaan antara lain instansi atau lembaga pemerintah/swasta, media masa, rekanan, kontraktor, maupun masyarakat yang ada kaitannya dengan perusahaan mengenai kondisi lingkungan, dan aspek lingkungan penting serta informasi lain yang relevan misalnya melakukan komunikasi dalam keadaan darurat dan penanganan keluhan masyarakat. Untuk komunikasi eksternal bagi penanganan keluhan pelanggan, keluhan masyarakat atau

(50)

38

terjadinya unjuk rasa dilakukan kerjasama dan koordinasi antara unit-unit kerja terkait dengan unsur pemerintah daerah atau muspika sesuai dengan prosedur/peraturan yang berlaku.

i. Diskusi K3

Diskusi ini diikuti oleh karyawan perusahaan, kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama dengan biro pengembangan sumber daya manusia, biro keselamatan dan lingkungan hidup serta biro kesehatan. Diskusi dilaksanakan dengan tujuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman karyawan tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman.

j. Razia Kedisiplinan

Untuk mengetahui sejauh mana kepatuhan dan kedisiplinan karyawan terhadap aspek K3, Tim razia kedisiplinan yang dilaksanakan oleh bagian biro SDM melakukan razia kedisiplinan K3 di area produksi Perusahaan. Sasaran razia kedisiplinan K3 tersebut mengacu pada alat pelindung diri maupun kedisiplinan pemakaian tanda pengenal (badge). Dimana alat-alat pelindung diri tersebut wajib gunakan oleh karyawan selama berada di tempat kerja yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan, jenis faktor bahaya dan jenis potensi bahaya. seperti helmet, ear plug, safety shoes, goggle, safety belt, sarung tangan selain itu razia kedisiplinan juga bertujuan sebagai penyuluhan atau pembinaan

(51)

39

kepada tenaga kerja mengenai cara kerja yang aman serta untuk meningkatkan kedisiplinan K3 di tempat kerja.

k. Tool box meeting

Tool box meeting membahas kesiapan peralatan untuk melakukan pekerjaan dalam suatu pertemuan dan disampaikan juga pesan- pesan keselamatan dan kesehatan kerja dalam durasi atau jangka waktu singkat biasanya selama 5-10 menit yang dilaksanakan di setiap unit kerja sebelum karyawan melaksanakan pekerjaannya.

Pembahasan tool box meeting adalah mengenai masalah-masalah yang dihadapi dalam melaksanakan pekerjaannya. Dengan demikian dapat diperoleh alternatif pemecahan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Dalam tool box meeting disampaikan pula mengenai prosedur-prosedur kerja yang aman dan nyaman serta kewajiban tenaga kerja untuk selalu memakai alat pelindung diri yang sesuai dengan potensi bahaya dan pekerjaannya.

l. Pemberian Safety permit

Safety permit dikeluarkan untuk pekerjaan yang berpotensi bahaya. Sebelum safety permit dikeluarkan, tenaga kerja harus mendapatkan pengarahan tentang bahaya-bahaya saat melakukan pekerjaan, prosedur-prosedur kerja yang aman, serta kewajiban dalam menyiapkan peralatan kerja dan menggunakan alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis pekerjaan.

(52)

40 m. Safety Induction

Merupakan suatu pengarahan yang dilaksanakan sebelum melaksanakan suatau pekerjaan, proyek atau acara yang besar.

Pengarahan yang diberikan mengenai prosedur dan tata cara yang aman serta cara-cara penanggulangan apabila terjadi keadaan darurat. Pengarahan ini diberikan kepada tamu, praktikan dan tenaga kerja diluar karyawan perusahaan.

n. Pelatihan P3K

Tujuan pelatihan ini adalah agar karyawan dapat terampil dalam melakukan tindakan pertolongan pertama pada kecelakaan apabila sewaktu-waktu terjadi kecelakaan.

o. Pelatihan K3

Pelatihan K3 merupakan bagian dari pembinaan sumber daya manusia. Tujuan diadakannya pelatihan K3 di perusahaan adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta dapat membantu mengembangkan budaya keselamatan kerja ditempat kerja. Pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan adalah sebagai berikut:

 Pelatihan Eksternal

Pelatihan eksternal merupakan pelatihan yang diselenggarakan oleh instansi yang diselenggarakan di luar perusahaan.

Pelatihan ini diikuti oleh karyawan yang ditunjuk oleh

(53)

41

pimpinan unit kerja. Adapun tujuan dari pelatihan ini adalah agar karyawan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman serta keterampilan yang lebih banyak sehingga kemudian dapat disosialisasikan kembali kepada karyawan lain. Misalnya pelatihan tentang kebakaran, pelatihan P3K, pelatihan Ahli K3, pelatihan untuk pengurus maupun anggota P2K3 dan training SMK3.

 Pelatihan Internal

Pelatihan internal merupakan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja yang diselenggarakan oleh Perusahaan dengan tujuan untuk menambah pengetahuan dan melatih keterampilan tenaga kerja mengenai masalah K3 yang wajib diikuti oleh semua karyawan Perusahaan/tempat kerja. Adapun pelatihan yang dilakukan yaitu:

- Pelatihan Fire fighting

Pelatihan fire fighting merupakan pelatihan pemadaman kebakaran yang wajib diikuti oleh karyawan Perusahaan.

Pelatihan ini diselenggarakan minimal 4 kali dalam satu tahun. Tujuannya untuk melatih keterampilan dan ketangkasan karyawan dalam menggunakan alat pemadam kebakaran dan dapat melakukan tindakan awal memadamkan api apabila terjadi kebakaran.

(54)

42 - Pelatihan Rescue

Tujuan diselenggarakan pelatihan rescue yaitu untuk melatih karyawan dalam menyelamatkan diri dan memindahkan korban bila terjadi keadaan darurat.

- pelatihan Emergency response

Pelatihan ini diselenggarakan sebagai upaya untuk melatih keterampilan tenaga kerja dalam menyelamatkan diri serta menolong karyawan lain bila terjadi keadaan darurat.

Tenaga kerja tidak diberitahu waktu pelaksanaan pelatihan ini, kecuali panitia yang menyelenggarakannya, tujuannya agar dapat mengetahui sejauh mana kesiapan tenaga kerja dalam menanggulangi apabila perusahaan benar-benar mengalami keadaan darurat.

- Pelatihan Breathing apparatus

Tujuannya untuk melatih keterampilan karyawan dalam mengoperasikan breathing apparatus sehingga apabila terjadi keadaan darurat, karyawan cepat tanggap dalam membantu dan menolong karyawan lain yang menjadi korban dan terjebak pada lokasi kejadian kecelakaan.

3. Lomba kebersihan (House keeping contest)

Dalam upaya meningkatkan serta mengembangkan budaya keselamatan ditempat kerja, dapat dengan diadakannya program Lomba kebersihan dimaksudkan untuk memberikan penilaian tentang

(55)

43

kebersihan dan house keeping (5S) di tiap-tiap unit kerja, misalnya di area produksi, perkantoran (control room) maupun di area perumahan karyawan yang berada di lokasi perusahaan. Tujuan perlombaan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran karyawan agar selalu menjaga kebersihan dan menciptakan suatu lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan selamat dalam bekerja sehingga terhindar dari penyakit- penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.

4. HSE Campaign

HSE campaign adalah kegiatan untuk mengkampanyekan tentang aspek keselamatan dan kesehatan kerja. HSE campaign dilakukan setiap bulan oleh fungsi HSE. Sasaran HSE campaign adalah seluruh pekerja maupun cabang dan anak perusahaan serta pihak eksternal lainnya. Topik atau tema yang dituangkan dalam HSE campaign setiap waktunya berubah- ubah tergantung kesepakatan awal yang ditetapkan oleh fungsi HSE.

5. HSE Award

HSE award adalah salah satu upaya untuk mempromosikan K3 kepada seluruh pekerja dengan memberikan penghargaan oleh organisasi K3 terhadap seluruh pekerja yang berlomba-lomba menerapkan aspek K3 dan budaya K3 di tempat kerja, guna menghindari terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja serta meningkatkan produktivitas kerja.

(56)

44 6. Penggunaan Alat pelindung diri

Adalah dengan penggunaan alat pelindung diri agar dapat menjaga keselamatan serta dapat meminimalisir dampak dari insiden saat bekerja, dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Bab IX Pasal 13 tentang Kewajiban Bila Memasuki Tempat Kerja yang berbunyi “Barangsiapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja serta menggunakan alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan”. Menurut Muhammad Sabir (2009). Umumnya alat-alat tersebut terdiri dari : a. Helm keselamatan (Safety Helmet)

b. Tali keselamatan (Safety Belt).

c. Sepatu karet (Sepatu Boot).

d. Sepatu pelindung (Safety Shoes).

e. Sarung tangan (Safety Gloves).

f. Tali pengaman (Safety Harness).

g. Penutup telinga (Ear Plug/ Ear Muff).

h. Kacamata pengaman (Safety Glasses).

i. Masker (Mask).

j. Pelindung wajah (Face Shield).

k. Jas hujan (Rain Coat).

(57)

45

7. Kepemimpinan Keselamatan (Program peran supervisor)

Kepemimpinan Supervisor terhadap Keselamatan, Supervisor harus mencoba memasukkan faktor keamanan ke dalam gaya kepemimpinan mereka untuk memproyeksikan harapan kepada staf dan karyawan mereka, memimpin serta memberikan contoh dengan melakukan segala hal dengan benar. Dengan demikian jumlah usaha yang dilakukan supervisor setiap hari mencerminkan tindakan pencegahan kecelakaan yang dapat tercermin dalam menentukan apakah potensi kerugian (kecelakaan/cedera) dapat diminimalkan atau tidak.

Dalam penerapannya agar efektif peranan supervisor maka dapat dilakukan 6 hal:

a. Mengetahui keselamatan dan kesehatan kerja serta aturan.

b. Memiliki kemampuan untuk melihat potensi dan aktual bahaya yang ada.

c. Mengambil tindakan dan mitigasi bahaya.

d. Pimpin karyawan ke arah yang benar.

e. Tahu bagaimana mempengaruhi perilaku karyawan yang positif melalui pekerjaan mereka tugas.

f. Memiliki kemauan dan semangat melalui setiap proses untuk terus melakukannya.

Supervisor harus mencoba mengetahui standar peraturan dan kepatuhan yang berlaku di tempat kerja. Mengetahui hukum dan hak- hak ditempat kerja dan membantu membuat pekerja sadar akan

(58)

46

batasan serta peraturan ditempat kerja, Supervisor harus mencoba menyediakan karyawan lingkungan kerja yang bebas dari bahaya yang dapat dikenali serta dapat memberi informasi mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan fisik yang serius dan juga mematuhi peraturan keselamatan dan kesehatan kerja bersama dengan pedoman keselamatan dari perusahaan.

8. Program Behavior Management

Membangun budaya keselamatan membutuhkan waktu, praktek dan partisipasi. budaya didasarkan pada pengetahuan, kebiasaan, dan praktik yang mendefinisikan perilaku yang aman. Manajemen dapat membentuk budaya keselamatan yang positif dengan memperjelas membedakan antara perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, dengan memberi contoh. Misalnya, seorang supervisor memakai alat pelindung diri yang tepat hanya sebagai karyawan mereka di area kerja yang ditentukan setiap saat. Atau dengan cara yaitu supervisor dapat mencapai pengaruh positif dengan cara pembinaan dan pendampingan dari manajemen.

Pembinaan bisa tentang meningkatkan keterampilan dan kinerja operasional di tempat kerja serta melibatkan karyawan untuk melakukan pekerjaan mereka secara bertanggung jawab. Cara ini adalah pendekatan paling baik yang dapat diterapkan untuk memperbaiki yang perilaku karyawan yang tidak aman seperti tidak memakai APD yang tepat di area yang ditentukan. Melalui

Gambar

Gambar 2.1 Hierarchy of Control  (Sumber: Iso Center Indonesia)
Gambar 2.2  Bradley Curve  (Sumber. Dupont Curve)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

terhadap Cost of Equity Capital pada BUMN yang terdaftar di BEI tahun 2016-2018. Untuk mengetahui pengaruh penerapan Corporate Social Responsibility, Voluntary

3) Berupa saran perbaikan:Ada istilah yang harus ditulis secara konsisten. Contoh: limit ditulis lim. 4) Berupa saran perbaikan:Pada hal 30 tentang limit superior.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan siswa sebelum dan setelah diajarkan dengan menggunakan metode graphic organizers dan untuk mengetahui

Setelah selesai data-data diinput maka tinggal meng- KLIK menu SIMPAN, maka data tersebut akan otomatis ditampilkan dalam LISTBOX seperti nampak pada Gambar

SETIAP SOAL HARUS MENGGUNAKAN BAHASA YANG SESUAI DENGAN KAIDAH BAHASA

• Membenahi kinerja internal seluruh jajaran Satlak PPK-IPM, Tim Monev termasuk Tenaga Ahli Penuh Waktu, Panitia Pengadaan Barang/Jasa serta Ti P ik B /j t t – Perbedaan

‘I really don’t want to get to know them,’ Benny said, looking up and finding his face close to hers. For a moment she lost herself, trying to find the eyes in that

Dengan demikian produk berupa media software pemilihan jurusan di SMA untuk siswa kelas VIII SMP memiliki kriteria sangat baik dan tidak perlu revisi.. Data