PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella TANAMAN SAWI
(Brassica juncea L.) MENGGUNAKAN PERASAN DAUN
TEMBAKAU (Nicotiana tabacum
)SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan guna
Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Oleh: Rizky Wulandari NIM 13308144007
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
“Orang yang pintar bukanlah orang yang merasa pintar, akan tetapi ia adalah
orang yang merasa bodoh, dengan begitu ia tak akan pernah berhenti untuk terus belajar”
“Belajarlah dari kesalahan di masa lalu, mencoba dengan cara yang berbeda, dan
PERSEMBAHAN
Penulisan TAS (Tugas Akhir Skripsi) ini tidak dapat berjalan lancar tanpa ridho
Allah serta dukungan dan bantuan orang-orang di sekitar saya, khususnya kedua
orang tua.
Karya ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua orang tua tercinta, Bapak Riyanto dan Ibu Naimatul Robikah yang
telah menjadi panutan dan guru pertama saya di dunia ini, selalu mendukung
dan menasehati setiap apa yang saya lakukan. Terimakasih untuk semua kasih
sayang dan doa yang telah diberikan. Semoga karya ini dapat membanggkan
dan bermanfaat bagi orang banyak. Tetap menjadi orang tua yang hebat.
Wulan sayang Bapak Mamak.
2. Sahabatku tersayang, Alluthfi, Diva, Insiwi yang telah menemani hari-hariku,
melewati suka, duka, bosan dan dengan sabar mendengarkan keluh kesahku
selama mengerjakan tugas Akhir ini. Tetap jadi orang-orang tersayangku,
saling mendukung satu sama lain.
3. Teman seperjuangan Pestisida Nabati, Insiwi, Ismi dan Wida terimakasih
untuk kerja samanya selama melakukan penelitian ini.
4. Keluarga Biologi E 2013, kalian teman-teman yang hebat. Pasti akan sangat
merindukan kebersamaan kita. Laporan tulis tangan menumpuk, deadline
tugas, presentasi akan jadi memori indah untuk diceritakan kepada anak cucu
5. Keluarga Besar Biologi FMIPA UNY, yang selama kurang lebih empat tahun
mewarnai perjalanan hidup saya dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Terimakasih kepada dosen-dosen Biologi yang telah dengan sabar
memberikan didikan dan bimbingan kepada saya. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat khususnya bagi saya pribadi dan rekan-rekan Biologi
PENGENDALIAN HAMA Plutella xylostella TANAMAN SAWI (Brassica
juncea L.) MENGGUNAKAN PERASAN DAUN TEMBAKAU (Nicotiana
tabacum) Oleh Rizky Wulandari NIM 13308144007
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pestisida nabati peraasn daun tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella, pemendekan siklus hidup Plutella xylostella pada fase larva, tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea (L.)), berat basah tanaman sawi (Brassica juncea(L.)) dan mengetahui dosis optimal pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) untuk pengendalian hama Plutella xylostella
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, masing-masing dilakukan lima kali ulangan yaitu P0 (kontrol air), P1 (perasan daun tembakau 2,5%), P2 (perasan daun tembakau 5%), P3 (perasan daun tembakau 7,5%), P4 (perasan daun tembakau 10%) dan P5 (pestisida sintetik).
Hasil dari penelitian menunjukkan pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) berpengaruh terhadap mortalitas hama Plutella xylostella dengan rata-rata persentase mortalitas tertinggi pada kelompok perlakuan P4 (perasan daun tembakau 10%). Berdasarkan data pengamatan perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) berpengaruh terhadap pemendekan siklus hidup Plutella xylostella pada fase pupa, dengan rata-rata persentase larva yang berubah menjadi pupa tertinggi sebanyak 28% terdapat pada kelompok perlakuan 2,5%. Penyemprotan pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) juga berpengaruh terhadap tingkat kerusakan daun, kerusakan tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P0 (kontrol air) yaitu sebesar 32,22%. Aplikasi pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum) berpengaruh terhadap berat basah tanaman sawi dengan berat basah tertinggi sebesar 54,72gr pada perlakuan P0 (kontrol air). Sedangkan secara statistik aplikasi pestisida nabati perasan daun tembakau berpengaruh nyata pada berat basah tanaman sawi (Brassica juncea (L.)).
The Pest Control of Plutella xylostella on Brassica juncea L. Made from Tobacco Leaf (Nicotiana tabacum)
by
Rizky Wulandari NIM 13308144007
ABSTRACT
This research aimed to determine the effect of botanical pesticides tobacco leaf (Nicotiana tabacum) against mortality of Plutella xylostella, shortening the life cycle of Plutella xylostella in the larva stage, the level of damage to the mustard leaf Brassica juncea L., the wet weight of Brassica juncea L. and to determine the optimal dose of juice leaf tobacco (Nicotiana tabacum) for pest control of Plutella xylostella, to determine the optimal dose of pesticide tobacco vegetable leaf juice (Nicotiana tabacum) for Plutella xylostella pest control.
This research used completely randomized design. It consists of the control group and the treatment group, each performed fift repetitions that P0 (water control), P1 (tobacco leaf juice 2.5%), P2 (juice tobacco leaves 5%), P3 (tobacco leaf juice 7.5%), P4 (leaf tobacco juice 10%) and P5 (synthetic pesticides).
The results showed tobacco leaf juice (Nicotiana tabacum) plant pestiside effect toward Plutella xylostella pest mortality in average percentage of the highest mortality at P4 group treatment (10% of tobacco leaf juice). Based on observational data of tobacco leaf juice (Nicotiana tabacum) effect on shortening of Plutella xylostella life cycle in the pupae, the highest average percentage of larvae wich turn into pupae is 28% at 2,5% of treatment group. Pesticide spraying tobacco (Nicotiana tabacum) vegetable leaf juice also affected toward the leaf damage level, the highest damage at P0 treatment group (control water) is 32.22%. The Application of tobacco (Nicotiana tabacum) vegetable leaf juice pesticides affect on wet weight of mustard plants in the highest weight is 54,72gr at P0 treatment (water control). Meanwhile In a statistic, the applications of tobacco vegetable leaf juice has significant effect toward the wet weight of mustard (Brassica juncea (L.)).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah yang telah memberikan rahmat, kesehatan, hidayah dan inayahNya, sehingga pelaksanaan dan penyusunan skripsi dapat berjalan lancar. Skripsi ini saya ajukan sebagai syarat utama untuk menyelesaikan tugas akhir guna meraih gelar Sarjana Sains pada jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.
Penyusun menyadari banyak bantuan dari berbagai pihak yang berupa bimbingan, informasi, arahan, koreksi, kritik dan saran.
Oleh karena itu, penyusun mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Allah atas seluruh Nikmat dan Karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi ini.
2. Orang tua penyusun yang selalu mensuport baik do’a maupun materil dari awal perkuliahan hingga selesainya Tugas Akhir Skripsi ini.
3. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd, sekalu Rektor Universitas Negeri Yogyakarta
4. Dr. Hartono, M.Si, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.
5. Dr. Paidi, selaku ketua Jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.
6. Dr. Tien Aminatun, S.Si., M.Si., selaku Koordinator Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Yogyakarta.
7. Bapak Sukiya, M.Si, selaku dosen penasehat akademik yang selalu memberi masukan yang positif mengenai masalah perkuliahan dari awal hingga penyusunan Tugas akhir ini.
9. Prof. Dr. IGP Suryadarma, selaku pembimbing kedua pendamping dalam penyusunan tugas akhir skripsi yang selalu memberi arahan, masukan, semangat dan motivasi dari awal sampai selesainya penyususnan skripsi ini.
10.Dr. Tien Aminatun, S.Si., M.Si., selaku dewan penguji yang telah memberikan banyak masukan positif untuk Skripsi saya.
11.Dra. Budiwati, M.Si., selaku dewan penguji yang telah memberikan banyak masukan positif untuk Skripsi saya.
12.Teman skripsi saya, Insiwi, Ismi dan Wida yang bersama-sama telah melaksanakan penelitian ini.
13.Teman-teman Biologi E 2013 yang telah menemani dan mendukung selama pembuatan Tugas akhir ini. Serta terimakasih untuk kebersamaan selama ini.
14.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah berkontribusi dalam penyusunan Tugas akhir ini sehingga dapat berjalan dengan lancar.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwasannya dalam proses penyususnan skripsi ini masih ada kekurangannya dan jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi memperbaiki kesalahan yang ada dalam skripsi ini, semoga apa yang saya susun ini bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, 2017 Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
PERSETUJUAN ... ii
SURAT PERNYATAAN... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan Masalah ... 5
D. Perumusan Masalah ... 6
E. Tujuan Penelitian ... 7
F. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hama Plutella xylostella ... 9
1. Konsep Munculnya Hama ... 9
2. Klasifikasi Hama Plutella xylostella ... 11
3. Biologi Hama Plutella xylostella ... 12
4. Aktifitas Makan Hama Plutella xylostella ... 16
5. Kerusakan yang Diakibatkan Hama Plutella xylostella ... 17
B. Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 18
1. Jenis-jenis Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 19
2. Klasifikasi Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 22
3. Morfologi Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 23
4. Hama Penyerang Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 26
C. Tembakau (Nicotiana tabacum) ... 27
1. Klasifikasi Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum) ... 27
2. Morfologi Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum) ... 28
3. Kandungan Zat Kimia Tembakau (Nicotiana tabacum) ... 31
D. Pestisida Sintetik ... 35
E. Pengendalian Hama Terpadu (PHT) ... 36
F. Pestisida Nabati ... 40
1. Pengelompokan Pestisida Nabati ... 44
2. Mekanisme Kerja Pestisida Nabati pada Hama Serangga (Insekta) ... 47
G. Kerangka Berfikir... 51
H. Hipotesis Penelitian ... 53
BAB III METODE A. Model Penelitian ... 54
B. Waktu dan Tempat ... 54
C. Objek Penelitian ... 54
D. Alat dan Bahan ... 55
E. Variabel ... 56
F. Cara Kerja ... 56
G. Cara Mengukur Data ... 59
H. Rancangan Analisis ... 61
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perasan Daun Tembakau (Nicotiana tabacum) Terhadap Mortalitas Hama Plutella xylostella Instar III ... 62
1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Hama (Plutella xylostella) Instar III ... 62
2. Data Hasil Analisis Statistik Mortalitas Larva Hama Plutella xylostella Instar III ... 64
4. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Perasan Daun
Tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap Mortalitas Larva Plutella
xylostella Instar III Pengamatan Kedua ... 73
B. Pengaruh Pemberian Pestisida Nabati Perasan Tembakau (Nicotiana
tabacum) terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella
pada Fase Larva... 74
1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Larva Hama Plutella xylostella yang
Menjadi Pupa ... 74
2. Data Hasil Analisis Statistik Pemendekan Siklus Hidup Hama
Plutella xylostella pada Fase Larva ... 77
3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Perasan Daun
Tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap Pemendekan Siklus Hidup
Hama Plutella xylostella pada Fase Larva Pengamatan Pertama ... 80
4. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Perasan Daun
Tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap Pemendekan Siklus Hidup
Hama Plutella xylostella pada Fase Larva Pengamatan ke dua ... 81
C. Pengaruh pemberian pestisida nabati perasan tembakau (Nicotiana
tabacum) terhadap tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea (L.)) ... 82
1. Data hasil pengamatan tingkat kerusakan daun sawi (Brassica juncea
D. Pengaruh pemberian pestisida nabati perasan tembakau (Nicotiana
tabacum) terhadap berat basah tanaman sawi (Brassica juncea (L.)). ... 84
1. Data Hasil Pengukuran Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 84
2. Data Hasil Analisis Statistik Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 86
3. Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati Perasan Daun Tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 87
4. Uji Duncan Pengaruh Konsentrasi Perasan Daun Tembakau (Nicotiana tabacum) Terhadap Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 88
E. Keterbatasan Penelitian ... 89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 91
DAFTAR PUSTAKA ... 92
DAFTAR TABEL
1. Produktivitas Tanaman Sawi DIY ... 19
2. Kandungan Gizi dalam 100 g Sawi ... 26
3. Susunan Senyawa Kimia dari Daun tembakau ... 31
4. Senyawa Kimia Batang Tembakau dalam Ekstrak Air ... 31
5. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas Hama Plutella xylostella Instar III ... 63
6. Rata-rata Persentase Mortalitas Larva Hama Plutella xylostella Instar III Pengamatan Pertama ... 65
7. Rata-rata Persentase Mortalitas Larva Hama Plutella xylostella Instar III Pengamatan Kedua ... 66
8. Uji Anova Satu Arah pengaruh Dosis Pestisida Nabati Perasan Daun tembakau (Nicotiana tabacum) Terhadap Mortalitas Larva Hama Plutella xylostella Instar III Pengamatan Pertama ... 72
9. Uji Anova Satu Arah pengaruh Dosis Pestisida Nabati Perasan Daun tembakau (Nicotiana tabacum) Terhadap Mortalitas Larva Hama Plutella xylostella Instar III Pengamatan Kedua ... 73
10.Pengaruh Pemberian Pestisida Nabati Perasan Daun Tembakau (Nicotiana tabacum) Terhadap Pemendekan Siklus Hidup Hama Plutella xylostella... 75
11.Data Hasil Analisis Statistik Pemendekan Siklus Hidup Larva Hama Plutella xylostella Instar III Menjadi Pupa Pengamatan Pertama ... 78
12.Data Hasil Analisis Statistik Pemendekan Siklus Hidup Larva Hama Plutella xylostella Instar III Menjadi Pupa Pengamatan Kedua ... 79
14.Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pestisida Nabati aperasan Daun tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap pemendekan Siklus Hidup Larva
Hama Instar III Pengamatan Kedua ... 81
15.Pengaruh pemberian Pestisida Nabati Perasan Daun tembakau (Nicotiana tabacum) Terhadap Tingkat Kerusakan Tanaman Sawi (Brassica juncea
(L.)) ... 83
16.Data Hasil Pengamatan Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 85
17.Data Hasil Analisis Statistik Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea
(L.)) ... 86
18.Uji Anova Satu Arah Pengaruh Dosis Pemberian pestisida Nabati perasan Daun tembakau Terhadap Berat Basah Tanaman Sawi (Brassica juncea
(L.)) ... 87
19.Uji Duncan Pengaruh Dosis Perasan Daun Tembakau (Nicotiana tabacum)
DAFTAR GAMBAR
1. Sikuls Hidup Plutella xylostalla... 12
2. Larva Plutella xylostella ... 13
3. Pupa Plutelaa xylostella ... 15
4. Ngengat Plutella xylostella ... 15
5. Kerusakan Akibat Serangan Hama Plutella xylostella ... 17
6. Tanaman Sawi ... 23
7. Tanaman Tembakau ... 28
DAFTAR LAMPIRAN
1. Data Hasil Pengamatan Jumlah Mortalitas larva Plutella xylostella instar III, Jumlah Pupa larva Plutella xylostella instar III dan Berat Basah
Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.)) ... 98
2. Hasil Analisis Statistik ... 99
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman sawi (Brassica juncea L.) merupakan salah satu jenis
sayuran yang digemari dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat.
Untuk konsumsi sehari-hari, sawi biasa dijadikan lalapan dan sayuran
tumisan bersama dengan sayuran yang lain. Kebutuhan masyarakat terhadap
sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi sehingga tanaman sawi
sangat potensial dibudidayakan untuk menjadi sayuran yang komersial dan
memiliki prospek pasar yang baik. Sawi memiliki beberapa manfaat yang
baik untuk kesehatan, diantaranya menghilangkan rasa gatal di tenggorokan
pada penderita batuk, penyembuh sakit kepala, bahan pembersih darah,
memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar
pencernaan. (Haryanto, 2003: 5).
Sawi mengandung energi sebesar 20 kilokalori, protein 1,7 gram,
karbohidrat 3,4 gram, lemak 0,4 gram, kalsium 123 miligram, fosfor 40
miligram dan zat besi 1,9 miligram. Selain itu di dalam sawi juga
terkandung vitamin B1 sebanyak 0,04 miligram dan vitamin C 3 miligram.
Hasil tersebut didapat dari melakukan penelitian terhadap 100 gram sawi,
dengan jumlah yang dapat dimakan sejumlah 100% (Mahmud, et al.,
2008:17)
ditingkatkan. Intensifikasi sayuran yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas per satuan unit lahan selalu diusahakan oleh petani dengan
meningkatkan penggunaan berbagai masukan produksi seperti bibit, pupuk,
zat pengatur tumbuh dan pestisida (Untung, Kasumbogo.1993:55)
Ulat daun sawi (Plutella xylostella) Lepidoptera: Plutellidae adalah
hama utama yang sangat merusak tanaman Brassicaceae, terutama kubis,
sawi, dan caisim di Indonesia (Winasa dan Herlinda, 2000:310). Plutella
xylostella merupakan salah satu hama yang paling banyak menyerang
tanaman sayur-sayuran dan menyebabkan kerusakan sekitar 12,5%
(Sriniastuti, 2005; Julaily, Noorbetha. 2013: 171)
Pengendalian ulat pemakan daun oleh petani masih tergantung pada
penggunaan insektisida sintetik yang diyakini praktis dalam aplikasi dan
hasil pengendalian jelas terlihat. Namun, petani cenderung menggunakan
insektisida dengan takaran yang berlebihan, sehingga penggunaan
insektisida perlu dikelola dan dikendalikan secara efektif dan aman bagi
lingkungan (Haryanto, 2003:72).
Penggunaan pestisida sintetis di lingkungan pertanian menjadi
masalah yang sangat dilematis. Di satu pihak dengan digunakannya
pestisida sintetis maka kehilangan hasil pertanian yang diakibatkan
organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi dengan
penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana sering menimbulkan
Terdapat tiga faktor utama yang mendorong untuk menerapkan PHT
pada tanaman sayuran. Faktor pertama adalah kegagalan pengendalian hama
secara konvensional. Praktek penggunaan pestisida yang lazim dilakukan
oleh petani sayuran didorong oleh konsep pengendalian hama yang tidak
didasarkan pada pertimbangan ekologi dan ekonomi. Faktor kedua yang
mendorong dan mengharuskan petani sayuran menerapkan PHT adalah
kecenderungan terjadinya perubahan permintaan konsumen pada masa
mendatang, terutama permintaan akan produk holtikultura yang bebas residu
pestisida. Fakor ketiga, yang sangat menentukan adalah kebijakan
pemerintah. Sejak Pelita III telah dinyatakan bahwa PHT merupakan
kebijakan pemerintah untuk setiap program perlindungan. Kebijakan tentang
PHT kemudian diperkuat dengan Inpres No. 3/1986 dan UU No. 12/1992
tentang Sistem Budidaya Tanam. UU No. 12/1992 telah menetapkan
berbagai bentuk sangsi yang sangat berat bagi barang siapa yang
menyalahgunakan pestisida baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Dasar hukum bagi pelaksanaan PHT di Indonesia sangat kuat sehingga PHT
untuk tanaman sayuran sudah merupakan keharusan. (Untung,
Kasumbogo:1993:58-59)
Hasil penelitian Mujiono et al(1994), menunjukkan bahwa
penggunaan insektisida nabati dapat mengendalikan hama ulat Plutella
xylostella pada tanaman sawi. Dengan menurunnya serangan hama ini,
Tembakau merupakan jenis tanaman yang sangat dikenal di kalangan
masyarakat Indonesia. Tanaman ini tersebar di seluruh Nusantara dan
mempunyai kegunaan yang sangat banyak terutama untuk bahan baku
pembuatan rokok. (Abdullah, 1982).
Menurut (Bariq, Harwanto 2012:3) Beberapa hasil penelitian yang
terkait mortalitas hama telah banyak dilakukan, ternyata ekstrak tembakau
dapat digunakan sebagai pengendali hama tertentu antara lain hama
penghisap, lalat Musca domestica, jamur patogenik, nyamuk Aedes aegepty,
ulat dan daun pada tanaman cabai , hama penggerek buah kopi
(Hypothenemus hampai) dan kutu putih (Planococcus citri) pada tanaman
kopi. Pada penelitiannya mengenai bioaktivitas ekstrak limbah tembakau
sebagai insektisida nabati untuk ulat bawang merah Spodoptera exigua
menunjukkan hasil bahwa ekstrak daun tembakau Madura berpengaruh
terhadap mortalitas dan perkembangan Spodoptera exigua dan tidak
berpengaruh terhadap variabel reproduksi.
Penelitian lain memberikan hasil bahwa, limbah tembakau (daun)
apabila diaplikasikan kepada hama ulat grayak akan memberikan hasil
mortalitas yang optimal dengan konsentrasi pemberian pestisida nabati
limbah tembakau (daun) dengan konsentrasi 0,5 %. (Purnama Sari,
Dian.2011:23).
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
dampak pengaplikasian pestisida nabati daun tembakau (Nicotiana
tingkat kerusakan daun sawi dan dosis optimal pemberian pestisida nabati
perasan daun tembakau (Nicotiana tabacum).
B. Identifikasi Masalah
1. Penurunan produktivitas tanaman sawi di Indonesia.
2. Pengendalian hama pengganggu tanaman yang ramah lingkungan dan
tidak berbahaya bagi kesehatan manusia.
3. Cara pengendalian hama Plutella xylostella yang ramah lingkungan.
4. Jenis tanaman yang mengandung bahan aktif sebagai pestisida nabati.
5. Jenis zat aktif yang terkandung di dalam daun tembakau.
6. Efektifitas perasan tembakau (Nicotiana tabacum) dalam
mengendalikan hama Plutella xylostella.
7. Tingkat mortalitas hama, pemendekan siklus hidup hama Plutella
xylostella pada fase larva, tingkat kerusakan daun dan berat basah
sawi yang ditimbulkan dari penggunaan perasan daun tembakau
(Nicotiana tabacum) sebagai pestisida nabati.
C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada pengaruh pemberian perasan tembakau
(Nicotiana tabacum) terhadap mortalitas hama Plutella xylostella,
pemendekan siklus hidup hama, tingkat kerusakan daun sawi dan berat
D. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun
tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap mortalitas hama Plutella
xytostella?
2. Bagaimana pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun
tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap pemendekan siklus hidup
hama Plutella xylostella pada fase larva?
3. Bagaimana pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun
tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap tingkat kerusakan daun sawi
(Brassica juncea (L.))?
4. Bagaimana pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun
tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap berat basah tanaman sawi
(Brassica juncea (L.))?
5. Berapa dosis pestisida nabati perasan daun tembakau (Nicotiana
tabacum) yang paling efektif untuk pengendalian hama Plutella
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun
tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap mortalitas hama Plutella
xylostella.
2. Mengetahui pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun
tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap siklus hidup hama Plutella
xylostella) pada fase larva.
3. Mengetahui pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun
tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap tingkat kerusakan daun sawi
(Brassica juncea L.)?
4. Mengetahui pengaruh pemberian pestisida nabati perasan daun
tembakau (Nicotiana tabacum) terhadap berat basah tanaman sawi
(Brassica juncea L.)?
5. Mengetahui berapa dosis optimal pestisida nabati perasan daun
tembakau (Nicotiana tabacum) untuk pengendalian hama Plutella
xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.).
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Petani dan Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai :
manfaat-manfaat yang terdapat di dalam perasan daun tembakau
(Nicotiana tabacum).
b. Dosis optimal dari pestisida nabati yang dibuat dari perasan
daun tembakau (Nicotiana tabacum) untuk pengendalian hama
Plutella xylostella pada tanaman sawi (Brassica juncea L.)
c. Bahaya pestisida sintetik terhadap kesehatan dan dampaknya
bagi lingkungan.
2. Bagi Saintis
Penelitian ini diharapkan dapat mendorong para saintis untuk lebih
mengeksplorasi jenis-jenis tanaman apa saja yang dapat dimanfaatkan
menjadi pestisida nabati untuk mewujudkan pertanian yang ramah
lingkungan.
G. Batasan Operasional
1. Tanaman sawi yang akan diinfeksi oleh larva Plutella xylostella instar
III adalah tanaman sawi jenis sawi caisim (Brassica juncea (L.)) yang
berumur 21 hari setelah tanam.
2. Hama Plutella xylostella yang digunakan adalah larva instar III
dengan panjang 4-6mm, lebar 0,75 dan berwarna hijau.
3. Daun tembakau yang digunakan dalam kondisi segar dan berumur
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HAMA Plutella xylostella
Hama dalam arti luas adalah semua jenis gangguan baik pada manusia,
ternak dan tanaman. Pengertian hama dalam arti sempit yang berkaitan
dengan kegiatan budidaya tanaman adalah semua hewan yang merusak
tanaman yang mana aktivitas hidupnya dapat menimbulkan kerugian secara
ekonomis. Adanya suatu hewan dalam satu tanaman sebelum menimbulkan
kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian ini belum termasuk hama.
Namun demikian potensi mereka sebagai hama nantinya perlu dimonitor
dalam suatu kegiatan yang disebut pemantauan (monitoring). Secara garis
besar hewan yang dapat menjadi hama dapat dari jenis serangga, moluska,
tungau, tikus, burung atau mamalia besar. Mungkin di suatu daerah hewan
tersebut menjadi hama, namun di daerah lain belum tentu menjadi hama
(Dadang, 2006: 1)
1. Konsep Munculnya Hama
Konsep munculnya hama dapat digolongkan menjadi tiga kelompok
yaitu:
a. Adanya proses pembukaan lahan baru dimana terjadi perubahan
ekosistem menjadi tidak seimbang lagi, misalnya terjadi
penurunan bahkan musnahnya musuh alami sehingga populasi
kondisi tidak stabil. Kemudian, penanaman secara monokultur
akan berpotensi terjadinya dominasi suatu organisme pada
ekosistem tersebut. Penanaman monokultur akan menyediakan
sumber makanan yang sangat melimpah untuk satu organisme
sehingga populasi organisme tersebutakan berkembang dengan
cepat sementara faktor pembatas seperti musuh alami mungkin
kurang.
b. Introduksi tanaman baru ke suatu lokasi. Kejadian ini dipahami
dari dua arah yaitu tanaman tersebut memang tidak membawa
hama namun perkembangan tanaman tersebut dapat merubah
status tanaman tersebut menjadi gulma dan keberadaanya sangat
membahayakan tanaman budidaya.
c. Selain itu perubahan persepsi manusia juga dapat menentukan
status hama, salah satunya di ukur dari ambang ekonomi. Hewan
dapat berubah statusnya menjadi hama jika populasinya sudah
melebihi atau di atas ambang ekonomi. Dengan semakin
meningkatnya pemahaman konsumen terhadap kualitas produk
maka pihak produsen akan berusaha memenuhi keinginan
konsumen tersebut. Dengan demikian keberadaan hama di
lapangan lebih diperhatikan dalam arti tindakan pengendalian
lebih digiatkan agar produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan
Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) adalah salah satu hama
utama pada tanaman. Larva merusak tanaman dengan cara menggigit,
mengunyah kemudian memakan permukaan bawah daun. Bagian daun akan
berwarna putih transparan, pada kerusakan berat hanya tertinggal tulang
daun. (Siahaya dan Rumthe, 2014:112)
2. Klasifikasi Hama Plutella xylostella
Klasifikasi ulat kubis (Plutella xylostella ) menurut Kalshoven (1981)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Plutellidae
Genus : Plutella
Spesies : Plutella xylostella
Plutella xylostella adalah serangga kosmopolitan pada daerah
tropis dan daerah subtropis. Di Indonesia saat ini penyebaranya bukan
hanya di daerah pegunungan tetapi saat ini sudah menyebar sampai di
dataran rendah. P. xylostella memiliki kisaran inang yang luas. Banyak
jenis kubis, sawi dan beberapa tanaman silangan lainnya, termasuk
dibanding daun tua. Jenis kerusakan oleh ulat ini sangat khas: daun
menampilkan jendela putih tidak teratur (Kalshoven, 1981).
3. Biologi hama Plutella xylostella
Ulat Plutella xylostella disebut juga hama bodas, hama krancang
atau hama wayang. Tanaman inangnya antara lain kubis, lobak, sawi
dan tanaman lain yang termasuk dalam keluarga Cruciferae., ulat 12
hari, pupa 6-7 hari dan kupu-kupu 20 hari. (Rukmana, Rahmad, 1997:
76)
Gambar 1. Siklus hidup Plutella xylostella Foto: Tonny K. Moekasan
a. Telur
Bentuk telur bulat panjang dengan lebar kurang lebih
0,26mm dan panjang 0,49mm. Di daerah panas sampai ketinggian
dataran tinggi berketinggian 1.100m – 1.200m dari permukaan air laut umurnya lebih panjang, yaitu stadium telur 3-4 hari.
Umumnya telur diletakan pada permukaan bawah daun.
Untuk oviposisi Plutella xylostella peran faktor fisik tumbuhan
sangat besar. Permukaan daun yang berlekuk-lekuk lebih disukai
sebagai tempat oviposisi. Permukaan bawah daun lebih dipilih
untuk oviposisi dibandingkan dengan permukaan atas karena
lekuk-lekuk lebih memudahkan imago untuk meletakkan telurnya.
(Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 85).
b. Larva
Ulat yang baru menetas berwarna hijau pucat, sedangkan
yang lebih tua warnanya lebih hijau dengan kepala pucat serta
terdapat bintik-bintik cokelat. Panjang ulat 5mm-10mm. Larva
mempunyai lima pasang proleg, sepasang proleg menonjol keluar
dari ujung posterior membentuk huruf V yang jelas (CABI.2015)
Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak
berbulu dan mempunyai lima pasang proleg. Larva Plutella
xylostella terdiri atas empat instar. Larva lincah dan jika tersentuh
akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri pada benang
halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena
memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning. Pada
ketinggian 1100-2000 mdpl stadium larva lebih panjang yaitu 12
hari dan dibawah ketinggian 250 mdpl lebih pendek yaitu 9 hari
(Rukmana, 1997; Mulyaningsih, 2010: 96). Rata-rata lamanya
stadium larva instar ke satu adalah 3,7 hari, larva instar ke dua
adalah 2,1 hari, larva instar ke 3 adalah 2,7 hari dan larva instar ke
empat adalah 3,7 hari (Sastrosiswodjo, et. al.2005:8).
c. Pupa
Setelah cukup umur, ulat mulai membentuk kepompong dari
bahan seperti benang sutera abu-abu putih dibalik permukaan daun
untuk menghindari panasnya sinar matahari. Pembentukan
kepompong mulai dari dasarnya, sisinya kemudian tutupnya.
Kepompong masih terbuka pada bagian ujung untuk keperluan
pernafasan. Pembuatan kepompong ini diselesaikan dalam waktu
24 jam. Setelah selesai, ulat berubah menjadi pupa. Kulit ulat
biasanya diletakkan di dalam kepompong namun kadang juga di
Gambar 3. Pupa Plutella xylostella Sumber: Dokumentasi pribadi
Pupa mulanya berwarna hijau, selanjutnya berwarna kuning
pucat, dengan warna kecoklatan pada bagian punggungnya.
Panjang pupa 5-6 mm dengan diameter 1,2-1,5 mm. pupa tertutup
oleh kokon, dengan masa pupa 3-6 hari (Sudarmo.1994)
d. Ngengat
Gambar 4. Ngengat Plutella xylostella Sumber:
Warna sayap ngengat abu-abu kecoklatan. Warna sayap
betina agak pucat. Pada saat istirahat kedua sayapnya menutupi
tubuh dan seakan akan ada gambar seperti jajaran genjang yang
berwarna putih seperti berlian, oleh karena itu, ngengat ini disebut
dengan ngengat punggung berlian (Pracaya, 2007: 113). Ngengat
betina mampu bertelur sebanyak 180-320 butir telur dan diletakan
pada bagian bawah daun tanaman. Ngengat menghisap madu
keluarga Cruciferae. Musuh alami yang dapat menghambat
perkembangan ulat ini antara lain burung gereja, prenjak dan
capung. (Rukmana, Rahmad, 1997: 76-77)
4. Aktifitas Makan Hama Plutella xylostella
Serangga akan menghadapi dua ha1 untuk memulai aktivitas
makannya yaitu yang pertama adanya rangsangan-rangsangan untuk
inisiasi aktivitas makan (feeding stimulant) dalam tanaman yang
memberikan masukan isyarat untuk pengenalan jenis makanan dan
menjaga aktivitas makan, dan yang kedua adalah pendeteksian
kehadiran senyawa-senyawa asing (foreign compound) yang dapat
bersifat sebagai penghambat makan sehingga dapat memperpendek
aktivitas makan atau bahkan menghentikan aktivitas makan sama
sekali (Dadang dan Kanju, 2000: 30). Hama ini aktif makan pada
5. Kerusakan yang diakibatkan hama
Ulat Plutella xlostella dapat menyerang tanaman mulai dari
proses pembibitan sampai dengan saat panen. Hingga saat ini
pengendalian hama Plutella xylostella di Indonesia masih ditujukan
pada pengendalian secara kimia saja (Sembel, 2010: 214). Serangan
hama ini sangat cepat sehingga dalam waktu beberapa hari saja
tanaman yang diserang sudah menjadi rusak (Surachman dan Widada,
2007: 55-56)
Gambar 5. Kerusakan Akibat Serangan Hama Plutella xylostella Sumber: Dokumentasi pribadi
Ulat bersembunyi di bagian bawah daun sambil makan. Biasanya
yang dimakan ulat hanya daging daun. Kulit ari pada bagian permukaan
daun sebelah atas tidak dimakan sehingga disebut juga hama putih
(hama bodas). Jika kulit ari yang diserang menjadi kering, daunnya akan
sobek dan kelihatan berlubang-lubang. Apabila serangan menghebat,
wayang kulit. Oleh karena itu ada yang menyebut hama ini sebagai hama
wayang (Pracaya, 2007: 112)
B. TANAMAN SAWI (Brassica juncea (L.))
Keadaan alam Indonesia memungkinkan dilakukan pembudidayaan
berbagai jenis tanaan sayuran, baik yang lokal maupun yang berasal dari
luar negeri. Hal tersebut menyebabkan Indonesia ditinjau dari aspek
klimatologis sangat potensial dalam usaha bisnis sayuran. Diantara
bermacam-macam jenis sayuran yang dibudidayakan di Indonesia adalah
sawi yang memiliki nilai komersial dan prospek yang baik. Selain ditinjau
dari aspek klimatologis, aspek teknis, dan aspek ekonomi, aspek sosial juga
sangat mendukung, sehingga sawi memiliki kelayakan untuk diusahakan di
Indonesia (Haryanto, 2003).
Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang
dimanfaatkan daun atau bunganya sebagai bahan pangan (sayuran), baik
segar maupun diolah. Sawi mencakup beberapa spesies Brassica yang
kadang-kadang mirip satu sama lain. Di Indonesia penyebutan sawi
biasanya mengacu pada sawi hijau (disebut juga sawi bakso, caisim, atau
caisim). Selain itu, terdapat pula sawi putih (disebut juga petsai) yang biasa
dibuat sup atau diolah menjadi asinan. Jenis lain yang kadang-kadang
disebut sebagai sawi hijau adalah sawi sayur (untuk membedakannya
dengan caisim) (Haryanto, 2003). Pengembangan budidaya sawi
mempunyai prospek baik untuk mendukung upaya peningkatan pendapatan
agribisnis, peningkatan pendapatan negara melalui pengurangan impor dan
memacu laju pertumbuhan ekspor. Kelayakan pengembangan budidaya sawi
antara lain ditunjukkan oleh adanya keunggulan komparatif kondisi wilayah
tropis Indonesia yang sangat cocok untuk komoditas tersebut. Di samping
itu, umur panen sawi relatif pendek dan hasilnya memberikan keuntungan
yang memadai (Arinong dkk., 2008: 76).
Tabel 1. Produktivitas tanaman sawi DIY
Daerah Istimewa Yogyakarta
Indikator Satuan 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Luas panen Ha 613 635 604 525 518 588 Produksi Ton 6756 7157 6603 6447 5605 64524 Produktivitas Ton/Ha 11,020 11,270 10,932 12,280 10,821 109,73
Sumber: http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/hasilKom.asp
Tabel 1 di atas merupakan data produktivitas tanaman sawi DIY dari
tahun 2010 hingga 2015. Produktivitas tanaman sawi tertinggi adalah pada
tahun 2013 dengan produktivitas sebanyak 12.280 ton/Ha dan produktivitas
terendah pada tahun 2011 yaitu sebanyak 10,270 ton/Ha.
1. Jenis-jenis Sawi (Brassica juncea (L.))
Petani Indonesia di masa lalu hanya mengenal tiga macam jenis
sawi yang biasanya dibudidayakan yaitu sawi putih, sawi hijau, dan
bakso. Selain jenis-jenis sawi tersebut dikenal pula jenis sawi keriting
dan sawi monumen (Haryanto dkk, 2003: 9).
a. Sawi putih atau sawi jabung
Sawi putih atau sawi jabung merupakan jenis sawi yang
banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena memiliki rasa yang
paling enak di antara sawi jenis lainnya. Tanaman ini dapat
dibudidayakan di tempat yang kering. Bila sudah dewasa jenis
sawi ini memiliki daun yang lebar dan berwarna hijau tua.
Tangkainya panjang, tetapi lemas dan halus. Batangnya pendek,
tetapi tegap dan bersayap (Haryanto dkk, 2003: 10).
b. Sawi hijau atau sawi asin
Sawi hijau atau sawi asin kurang banyak dikonsumsi
sebagai bahan sayur segar karena rasanya agak pahit. Rasa pahit
pada daun sawi hijau dapat dihilangkan dengan cara pengasinan
(Haryanto dkk, 2003: 10).
Sawi hijau berukuran lebih kecil dibandingkan sawi jabung
atau sawi putih. Daun sawi jenis ini lebar seperti daun sawi
putih, tetapi warnanya lebih hijau tua. Batangnya sangat pendek,
tetapi tegap. Tangkai daunnya agak pipih, sedikit berliku, tetapi
kuat. Varietas sawi hijau banyak dibudidayakan di lahan yang
c. Sawi huma
Jenis sawi ini baik jika ditanam di tempat-tempat yang
kering, seperti tegalan dan huma. Tanaman ini biasanya ditanam
setelah usai musim penghujan karena sifatnya yang tidak tahan
terhadap genangan air (Haryanto dkk, 2003: 10).
Sawi huma daunnya sempit, panjang, dan berwarna
hijaukeputih-putihan. Tidak seperti sawi putih dan sawi hijau,
sawi huma berbatang kecil, tetapi panjang. Tangkainya
berukuran sedang seperti bersayap (Haryanto dkk, 2003: 11).
d. Caisim alias sawi bakso
Caisim alias sawi bakso (ada juga yang menamakannya
sawi cina) merupakan jenis sawi yang paling banyak dipasarkan
di kalangan konsumen (Haryanto dkk, 2003: 11). Tangkai
daunnya panjang, langsing, dan berwarna putih kehijauan.
Daunnya lebar memanjang, tipis, dan berwarna hijau. Rasanya
yang renyah dan segar dengan sedikit sekali rasa pahit, membuat
sawi ini banyak diminati. Selain enak ditumis atau dioseng,
caisim banyak dibutuhkan oleh pedagang mi bakso, mi ayam,
atau restoran masakan cina. Tak mengherankan jika
permintaannya setiap hari amat tinggi (Haryanto dkk, 2003:
e. Sawi keriting
Ciri khas sawi ini adalah daunnya yang keriting. Bagian
daun yang hijau sudah mulai tumbuh dari pangkal tangkai daun.
Tangkai daunnya berwarna putih. Selain daunnya yang keriting,
jenis sawi ini amat mirip dengan sawi hijau biasa (Haryanto dkk,
2003: 12).
f. Sawi monumen
Sawi monumen tumbuhnya amat tegak dan berdaun
kompak. Penampilan sawi ini sekilas mirip dengan petsai.
Tangkai daun berwarna putih berukuran agak lebar dengan
tulang daun yang juga berwarna putih. Daunnya berwarna hijau
segar. Jenis sawi ini tergolong terbesar dan terberat diantara jenis
sawi lainnya (Haryanto dkk, 2003: 12).
2. Klasifikasi Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.))
Di Indonesia dikenal tiga jenis sawi yaitu: sawi putih atau sawi
jabur, sawi hijau dan sawi huma. Sawi putih (B. juncea L. Var. Rugosa
Roxb. Prain) memiliki batang yang pendek, tegap dan daun lebar
berwarna hijau tua, tangkai daun panjang dan bersayap melengkung
kebawah. Sawi hijau, memiliki ciri-ciri batang pendek, daun berwarna
hijau keputih-putihan, serta rasanya agak pahit, sedangkan sawi huma
memiliki ciri-ciri batang kecil panjang dan langsing, daun panjang
sempit berwarna hijau keputih-putihan serta tangkai daun panjang dan
Sawi (Brassica juncea L.) masih satu famili dengan kubis-krop,
kubis bunga, broccoli dan lobak atau rades, yakni famili Cruciferae
(Brassicaceae) olek karena itu sifat morfologis tanamannya hampir
sama, terutama pada sistem perakaran, struktur batang, bunga, buah
maupun bijinya.
Klasifikasi sawi dalam (Rukmana, 2002: 4) sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Phylum : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Ordo : Papavorales
Suku : Brassicaceae
Genus : Brassica
Spesies : Brassica juncea (L.)
3. Morfologi Tanaman Sawi (Brassica juncea (L.))
Tanaman sawi umumnya mudah berbunga secara alami, baik di
dataran rendah maupun dataran tinggi. Sistem perakaran sawi memiliki
akar tunggang (radix primaria) dan cabang-cabang akar yang
bentuknya bulat panjang (silindris) menyebar kesemua arah dengan
kedalaman antara 30-50 cm. Akar-akar ini berfungsi antara lain
mengisap air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan
berdirinya batang tanaman (Heru dan Yovita, 2003). Batang sawi
pendek sekali dan beruas-ruas sehingga hampir tidak kelihatan. Batang
ini berfungsi sebagai alat pembentuk dan penopang daun (Rukmana,
2002: 4). Sawi berdaun lonjong, halus, tidak berbulu dan tidak
berkrop. Pada umumnya pola pertumbuhan daunnya berserak (roset)
hingga sukar membentuk krop (Sunarjono, 2004).
Tanaman sawi tahan terhadap air hujan, sehingga dapat ditanam
sepanjang tahun. Pada musim kemarau yang perlu diperhatikan adalah
penyiraman secara teratur, tanaman ini cocok bila di tanam pada akhir
musim penghujan (Margiyanto, 2007). Tanah yang cocok untuk
ditanami sawi adalah tanah yang subur, gembur dan banyak
mengandung bahan organik (humus), tidak menggenang (becek), tata
aerasi dalam tanah berjalan dengan baik. Derajat kemasaman (pH)
tanah yang optimum untuk pertumbuhannya adalah antara pH 6
sampai pH 7 (Haryanto dkk, 2003: 25). Biasanya tanaman ini
besar daerah-daerah di Indonesia memenuhi syarat ketinggian tersebut
(Haryanto,dkk, 2003: 24)
Tanaman ini dapat melakukan fotosintesis dengan energi yang
cukup, cahaya matahari merupakan sumber yang diperlukan tanaman
untuk proses fotosintesis. Energi kinetik matahari yang optimal
diperlukan tanaman untuk pertumbuhan dan produksi berkisar antara
350-400 cal/cm2 setiap hari, sawi hijau memerlukan cahaya matahari
tinggi. Kondisi iklim yang dikehendaki untuk pertumbuhan tanaman
sawi adalah daerah yang mempunyai suhu malam hari 15,6oC dan
siang 21,1oC serta penyinaran matahari antara 10-13 jam per hari.
Meskipun demikian, beberapa varietas sawi tahan terhadap suhu panas,
dapat tumbuh dan produksi dengan baik di daerah dengan suhu antara
27o-32oC (Rukmana, 2004: 34)
Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat
gizi yang cukup lengkap sehingga apabila dikonsumsi sangat baik
untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Kandungan gizi setiap 100 g
Tabel 2. Kandungan gizi dalam 100gr sawi
Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI 1979
Manfaat sawi sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal di
tenggorokan pada penderita batuk. Penyembuh penyakit kepala, bahan
pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal serta memperbaiki dan
memperlancar pencernaan. Sedangkan kandungan yang terdapat pada
sawi adalah protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, vitamin A, Vitamin
B dan Vitamin C (sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI,
1981)
4. Hama penyerang tanaman sawi (Brassica juncea (L.))
Beberapa hama penyerang tanaman Curcurifeae (kubis, sawi,
petsai) antara lain ulat Agrotis, ulat Crocidolomia, ulat Plutella, ulat
Spodoptera dan kutu daun Aphis.penyakit yang ditimbulkan antara lain
busuk lunak, busuk hitam, akar ganda dan bercak daun. Masing-msing
hama juga menyerang tanaman pada umur yang berbeda, ulat Agrotis
setelah tanaman di lapang. Pembasmiannya menggunakan pestisida
berbentuk granula (Tjahjadi, 1989: 106).
Dalam pembasmian ulat Plutella xylostella dengan obat-obatan
yang mengandung zat phospor, gejala-gejala kekebalan tampak jelas,
bilamana petani mempergunakan sejenis obat terus menerus. Untuk
menghindari timbulnya kekebalan terhadap sesuatu insektisida maka
perlu diadakan pergantian obat selama masa pengobatan
(Rismunandar, 1986: 90)
C. TEMBAKAU (Nicotiana tabacum)
Tembakau adalah bahan baku dari pembuatan rokok yang sangat
digemari orang Indonesia. Tembakau Indonesia di ekspor ke berbagai
Negara di dunia, karena tembakau Indonesia merupakan tembakau dengan
kualitas terbaik. Distribusi geografis tanaman tembakau di Indonesia adalah
di daerah Deli (Sumatera Utara), Temanggung (Jawa Tengah), Madura,
Boyolali, Klaten, Jember dan Lombok Timur.
1. Klasifikasi Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum)
Tembakau adalah tanaman musiman yang tergolong dalam
tanaman perkebunan. Tanaman tembakau diklasifikasikan sebagai
Gambar 7. Tanaman Tembakau
Sumber: https://litbangjember.files.wordpress.com/2012/10/varietas-h-382.jpg. Diakses pada 17 Januari 2017
Klasifikasi Tanaman Tembakau
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Personatae
Famili : Solanaceae
Genus : Nicotiana
Spesies : Nicotiana tabaccum. L. (Matnawi, 1997)
2. Morfologi Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum)
Tanaman tembakau mempunyai bagian–bagian sebagai berikut: a. Akar Tanaman tembakau berakar tunggang menembus ke dalam
tanah sampai kedalaman 50–75 cm, sedangkan akar kecilnya menyebar ke samping. Tanaman tembakau juga memiliki bulu
berkembang baik dalam tanah yang gembur, mudah menyerap
air dan subur.
b. Batang tanaman tembakau agak bulat, lunak tetapi kuat, makin
ke ujung makin kecil. Ruas batang mengalami penebalan yang
ditumbuhi daun, dan batang tanaman tidak bercabang atau
sedikit bercabang. Pada setiap ruas batang selain ditumbuhi daun
juga tumbuh tunas ketiak daun, dengan diameter batang 5 cm.
Fungsi dari batang adalah tempat tumbuh daun dan organ
lainnya, tempat jalan pengangkutan zat hara dari akar ke daun,
dan sebagai jalan menyalurkan zat hasil asimilasi ke seluruh
bagian tanaman.
c. Bentuk daun tembakau adalah bulat lonjong, ujungnya
meruncing, tulang daun yang menyirip, bagian tepi daun agak
bergelombang dan licin. Daun bertangkai melekat pada batang,
kedudukan daun mendatar atau tegak. Ukuran dan ketebalan
daun tergantung varietasnya dan lingkungan tumbuhnya. Daun
tembakau tersusun atas lapisan palisade parenchyma pada bagian
atasnya dan spongy parenchyma pada bagian bawah. Jumlah
daun dalam satu tanaman berkisar 28–32 helai, tumbuh berselang–seling mengelilingi batang tanaman. Daun tembakau cerutu diklasifikasikan menurut letaknya pada batang, yang
(top blad). Sedangkan daun tembakau Virginia pada dasarnya
dibagi menjadi 4 kelas, yakni: daun pasir (lugs), bawah dan
tengah (cutters), atas (leaf), dan pucuk (tips). Bagian dari daun
tembakau Virginia yang mempunyai nilai tertinggi adalah daun
bawah dan tengah menyusul daun atas, sedang daun pasir dan
pucuk hampir tidak bernilai kecuali untuk tembakau rajangan
(Abdullah, 1982)
d. Bunga majemuk yang terdiri dalam beberapa tandan yang
masing-masing berisi sekitar 15 bunga. Bentuknya seperti
terompet dan panjang. Bunga pada tanaman tembakau dibedakan
menjadi beberapa bagian yaitu kelopak bunga, mahkota bunga,
bakal buah dan kepala putik. Mahkota bunga berbentuk
terompet, warna merah jambu dan merah muda, terdapat lima
benang sari satu lebih pendek dari yang lain. Kepala putik
terletak pada tabung bunga yang berdekatan dengan benang sari.
Bakal buah di atas dasar bunga terdiri dari dua ruang yang dapat
membesar. Terdapat banyak bakal biji pada ruang-ruang
tersebut. Penyerbukan pada bakal buah akan membentuk buah.
Buah tembakau nantinya akan masak dalam waktu tiga minggu.
Buah tembakau berbentuk bulat lonjong dan berukuran kecil
serta terdapat biji di dalamnya (Hanum, 2008; Denda Astra,
3. Kandungan Zat Kimia Tembakau
Tembakau memiliki kandungan zat-zat seperti gula, fenol, nitrat
dan nikotin denga rincian presentase di bawah ini:
Tabel 3. Susunan senyawa kimia dari daun tembakau
Uraian Jumlah %
Kandungan N total 2,18-3,58
Sumber: (Cahyono, 1998; Denda Astra, 2016: 9)
Berikut ini merupakan senyawa kimia pada tembakau yang larut
dalam air (polar):
Tabel 4. Senyawa kimia batang tembakau dalam ekstrak air
No Senyawa Akuades
Pada tanaman tembakau beberapa macam alkaloid yang dapat
dimanfaatkan sebagai insektisida diantaranya adalah nikotin. Senyawa
kimia pada tanaman tembakau yang dapat di ekstraksi menggunakan
air yaitu alkaloid, saponin, flavonoid, terpenoid.
1. Alkaloid
Nikotin merupakan kelompok alkaloid yang diekstraksi
dari tanaman tembakau. Nikotin tidak berwarna, tetapi jika
dibiarkan dan mengalami kontak langsung dengan udara nikotin
akan berwarna coklat. Nikotin merupakan kelompok alkaloid
toksik yang bersifat basa lemah dengan pH 8,0. Karena nikotin
mempunyai racun yang tinggi maka dapat digunakan sebagai
bioinsektisida.
2. Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan glikosida
triterpenoid ataupun glikosida steroida yang bersifat seperti
sabun. Saponin ini di deteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Saponin
merupakan senyawa yang memiliki rasa pahit dan bersifat racun
(Harborne, 1987; Denda Astra, 2016: 12)
3. Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu senyawa fenolik yang terdapat
pada jaringan tumbuhan dan berperan sebagai antioksidan.
mendonasikan atom hidrogennya (Abdi, 2010; Denda Astra,
2016: 12). Menurut Harborne (1987) senyawa isoflavon
merupakan salah satu kelompok dari flavonoid yang
dimanfaatkan sebagai Bioinsektisida.
4. Terpenoid
Terpenoid merupakan komponen tumbuhan yang diisolasi
dari bahan nabati yang disebut minyak astiri. Senyawa ini
terdapat dalam lapisan daun dan dalam buah, berfungsi sebagai
pelindung dan menolak serangga dan mikroba (Harborne, 1987;
Denda Astra, 2016: 13)
Kemampuan tembakau dalam membunuh hama disebabkan
karena kandungan senyawa aktif yang terkandung di dalamnya yaitu
nikotin (Afifah, fika, 2015: 28).
Daya kerja fisiologi:
1. Beracun untuk semua bentuk kehidupan hewan, jika zat racun
tersebut terdapat pada tempat alat indera (lewat mulut atau
kulit).
2. Beberapa serangga atau hewan tidak peka terhadap nikotin,
mungkin karena perbedaan sifat permeabilitas membran pada
masing-masing jenis hewan atau serangga.
Dikarenakan daya kerja di atas maka pada hewan atau serangga
dapat terjadi beberapa hal seperti dibawah:
1. Terjadi aktivitas mendadak pada pusat syaraf.
2. Kerja nikotin berlawanan (antagonis) dengan antropin.
3. Kombinasi nikotin dengan reseptor tak reversibel
Insektisida merupakan racun bagi serangga, dapat memasuki
tubuh serangga melalui berbagai bagian tubuh:
1. Dinding Tubuh
Dinding tubuh merupakan bagian tubuh serangga yang
dapat menyerap insektisida dalam jumlah yang besar. Bagian ini
tersusun atas Epikutikula yang terdiri dari lipoprotein
terkonjugasi atau terdiri dari protein dan lemak yang terpisah.
Dapat pula berisi amina. Paraffin, asam lemak, alkohol,
aldehida, keton dan ester hampir selalu ada. Didalam
eksokutikula dan endokutikula terdapat protein-bersamak
disamping kitin. Kitin merupakan bagian terbesar dari
eksokutikula
2. Jalan Pernafasan
Berbeda dengan hewan menyusui atau burung, reptil dan
ampibi, serangga tidak bernafas dengan paru-paru, tetapi dengan
sistem tabung yang disebut dengan trakhea. Trakhea ini
memiliki muara pada dinding tubuh dan disebut stigma atau
Trakhea selalu terbuka dan di dalamnya terdapat cincin
spirakel yang terbuat dari kitin. Trakhea bercabang kecil-kecil,
disebut trakheola dan dapat mencapai jaringan tubuh serangga.
Udara dan oksigen memasuki trakhea secara difusi dibantu
dengan gerakan abdomen. Oksigen akan langsung berhubungan
dengan jaringan. Insektisida dapat masuk kedalam sistem
pernafasan dalam bentuk gas ataupun butir-butir halus yang
dibawa ke jaringan-jaringan hidup.
3. Alat Pencernaan Makanan
Alat pencernaan serangga terdiri dari tiga bagian, yaitu
bagian depan, tengah dan belakang. Bagian depan dan belakang
memiliki susunan yang mirip dinding tubuh. Dengan demikian
penyerapan pada bagian depan dan belakang sama seperti
bagian dinding tubuh. Dalam hal ini bagian tengah alat
pencernaan makanan tidak memiliki peran khusus.
(Sastrodihardjo, 1979: 57-58).
D. PESTISIDA SINTETIK
Pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh)
dan secara umum pengertian pestisida ini sangatlah luas yang mencakup
produk-produk yang digunakan dibidang pengelolaan tanaman (pertanian,
perkebunan, kehutanan), peternakan, kesehatan hewan, perikanan,
(pengendalian rayap), pestisida rumah tangga, fumigasi serta pestisida
industri (Nikada, 2012).
Proses penyebaran pestisida ke lingkungan (udara dan air) yaitu
melalui penyemprotan pestisida yang terbawa angin (driff). Sebab utama
terjadinya pencemaran lingkungan oleh pestisida adalah pengendapan
(deposit) dan residu pestisida. Deposit ialah bahan kimia pestisida yang
terdapat pada suatu permukaan pada saat segera setelah penyemprotan atau
aplikasi pestisida, sedangkan residu ialah bahan kimia pestisida yang
terdapat di atas atau di dalam suatu benda dengan implikasi penuaan
(aging), perubahan(alteration) atau kedua-duanya. Residu permukaan atau
residu efektif adalah banyaknya materi yang tertinggal, misalnya pada
tanaman setelah aplikasi (Pohan, 2004).
Pestisida sintetik Dursban adalah salah satu pestisida yang spesifik
untuk memberantas hama pada tanaman sawi. Kandungan dalam pestisida
sistetik ini adalah klorpirifos, merupakan zat kimia yang mempunyai
dampak sebagai racun kontak, racun lambung dan racun pernafasan.
E. PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)
Pada umumnya budidaya tanaman sayuran masih banyak kendala
yang dihadapi. Salah satu diantaranya adalah serangan hama yang dapat
menurunkan hasil panen. Ratarata serangan oleh hama penusuk pengisap
dapat menurunkan hasil panen sebanyak 40%-80%, serangan oleh lalat buah
kehilangan hasil panen keseluruhan yang yang diakibatkan oleh organisme
pengganggu tanaman dapat mencapai 40%- 55%. (Pasetriyani,2010: 34)
PHT adalah cara pendekatan dalam pengendalian hama yang
didasarkan pada pertimbangan ekologi. Selain pertimbangan ekologi juga
termaktub efisiensi ekonomi dalam kerangka pengelolaan agro ekosistem
secara menyeluruh. PHT merupakan instrumen penting bagi mendorong
peningkatan produktivitas hasil pertanian dan sekaligus berperan dalam
pelestarian lingkungan. Karena konsep PHT teruji dalam sikap dan
perbuatan yang ramah lingkungan. PHT berawal dari kesadaran manusia
terhadap bahaya penggunaan pestisida yang terus meningkat baik bagi
lingkungan hidup maupun kesehatan masyarakat. PHT mengendalikan hama
secara alami. Pengendalian hama secara alami adalah pengendalian hama
yang terjadi di alam tanpa campur tangan manusia. Kita tahu, alam terdiri
atas faktor fisik atau non hayati dan hayati . Faktor tersebut dapat menjadi
pembatas atau penyekat perkembangbiakan hama.
Penggunaan teknik pengendalian hama dalam konsep PHT adalah
sebagai berikut:
a. Secara kultur teknis menggunakan varietas resisten, mengatur pola
bertanam.
b. Secara biologis menggunakan musuh-musuh alami.
d. Secara kimia menggunakan pestisida selektif, seminimal mungkin atau
menggunakan pestisida biorasional, dan pestisida botani. Jadi dalam
pengendalian hama terpadu perlu dikembangkan upaya pengendalian
hama tanaman sayuran yang kompatibel sehingga dapat mengurangi
penggunaan pestisida kimia (Pasetriyani, 2010: 35)
Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) berkembang dan
diterapkan sampai saat ini oleh karena dilandasi oleh beberapa prinsip dasar
sebagai berikut:
a. Pemahaman Sifat Dinamika Ekosistem Pertanian
Usaha pengendalian hama, adalah salah satu cara dari proses
produksi pertanian guna memperoleh hasil semaksimal mungkin dari
lahan pertanian bagi kepentingan petani dan masyarakat luas.
Sedangkan proses produksi pertanian meliputi berbagai kegiatan
pengelolaan lingkungan pertanian atau agro-ekosistem yang ditujuan
untuk pencapaian sasaran produktivitas tertentu. Jadi PHT merupakan
bagian integral dari pengelolaan agro-ekosistem. Oleh karena itu agar
diperoleh hasil pengendalian hama yang baik diperlukan pemahaman
tentang sifat agro-ekosistem yang sedang dikelola.
Sama dengan sifat dari ekosistem-ekosistem lain di biosfer
agro-ekosistem dikuasai oleh kaidah-kaidah ekologi yang berlaku secara
umum, namun karena terdapat beberapa ciri khas maka dalam
penampakannya agro-ekosistem berbeda dengan ekosistem lainnya
b. Analisis Biaya-Manfaat Pengendalian Hama
Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian hama merupakan
total uang yang dikeluarkan untuk membeli pestisida, varietas tahan
hama, untuk menyewa alat pengendalian dan membayar tenaga
pengendali hama. Manfaat yang diperoleh dari usaha pengendalian
hama berupa nilai rupiah dari hasil yang diperoleh. Selisih antara nilai
manfaat dan biaya pengendalian hama secara kasar dan dianggap
sebagai keuntungan dari usaha pengendalian hama.
c. Toleransi Tanaman Terhadap Kerusakan
Perlu kita mengerti bahwa semua tanaman tentu memiliki tingkat
toleransi terhadap adanya kerusakan yang dikarenakan serangga atau
oleh penyebab lainnya. Hal itu berarti bahwa adanya tingkat kerusakan
tidak mempengaruhi produksi tanaman. Oleh karena itu adanya
populasi hama tertentu pada tanaman yang kita usahakan mungkin
tidak akan mengakibatkan kerugian apapun pada kita.
d. Budidaya Tanaman yang Sehat
Tanaman yang sehat tentunya akan lebih bertahan terhadap
serangan hama bila dibandingkan dengan tanaman yang lemah. Juga
tanaman yang sehat akan lebih cepat mengatasi kerusakan yang terjadi
akibat serangan hama dengan mempercepat pembentukan anakan atau
e. Pemantauan Lahan
Sangat sulit atau bahkan tidak bisa bagi kita untuk meramalkan
kapan terjadinya letusan hama. Sifat dinamika populasi hama sangat
khas pada setiap lahan untuk waktu tertentu. Untuk dapat mengikuti
perkembangan hama dan musuh alami di lahan serta menentukan
tindakan pengendalian yang perlu dilaksanakan, tidak ada jalan lain
selain petani harus mengadakan pemantauan lahannya secara rutin
(Untung, K, 1996: 17-22).
Untuk menunjang konsep PHT tersebut dalam rangka pengurangan
penggunaan bahan insektisida perlu dicari alternatif pengendalian yang
bersifat ramah lingkungan antaralain penggunaan bahan bioaktif (insektisida
nabati, attraktan, repelen), musuh alami (parasitoid dan predator serta
patogen), serta penggunaan perangkap berperekat.
F. PESTISIDA NABATI
Penggunaan pestisida di lingkungan pertanian menjadi masalah yang
sangat dilematis, terutama pada tanaman sayuran yang sampai sat ini masih
menggunakan insektisida kimia sintetis secara intensif. Di satu pihak dengan
digunakannya pestisida maka kehilangan hasil yang diakibatkan organisme
penggangu tanaman (OPT) dapat ditekan, tetapi akan menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan seperti berkembangnya ras hama yang resisten
terhadap insektisida, resurjensi hama, munculnya hama sekunder,
terbunuhnya musuh alami hama dan hewan bukan sasaran lainnya, serta
pengunaan pestisida akan sulit menekan kehilangan hasil yang diakibatkan
OPT (Kardinan, 2001; Rahmawati, 2012:171)
Sejarah menunjukkan bahwa pengendalian hama dengan
memanfaatkan pestisida nabati banyak dilakukan sebelum tahun 1940’an. Era setelah itu adalah era pestisida kimiawi, yang kemudian berdampak luas
pada kehidupan organisma di muka bumi (Haryono, 2011: 2)
Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial
insektisida nabati adalah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae
dan Rutaceae, namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk
ditemukannya famili tumbuhan lain. Didasari oleh banyaknya jenis
tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai insektisida maka penggalian
potensi tanaman sebagai sumber insektisida botani sebagai alternatif
pengendalian hama tanaman cukup tepat. (Rahmawati, 2012:172)
Biopestisida adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari bahan
hidup. Yang akan diuraikan di sini adalah biopestisida yang terbuat dari
tanaman sehingga disebut Pestisida Nabati. Kandungan bahan kimia dalam
tanaman tersebut menunjukkan bioaktivitas pada serangga, seperti bahan
penolak (repellent), penghambat makan (antifeedant), penghambat
perkembangan serangga (insect growth regulator), dan penghambat
peneluran (oviposition deterrent) (Alif, dkk, 2012: 68)